Anda di halaman 1dari 2

Bacaan

salah satu aspek penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah memastikan pendidikan
bisa diakses oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Artinya, tidak boleh seorangpun warga negara tercegat
haknya menikmati pendidikan tinggi karena faktor biaya. Namun rupanya ini cuma jadi mimpi yang tak
berkesudahan karena pada kenyataannya sampai saat ini negara kita belum sanggup mewujudkannya.

Berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional oleh biro pusat statistik (BPS), masih ada sekitar 4,5 juta
anak indonesia yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah. Dan sebagian besar alasannya karena
kemiskinan.

Kemudian, menilik situasi pendidikan tinggi misalnya jumlah angka partisispasi kasar (APK) pendidikan
tinggi kita masih sangat rendah dan merupakan yang terendah di ASEAN yakni 31, 75 persen pada tahun
2017 yang hingga saat ini belum ada perubahan secara signifikan_ bandingkan dengan Malaysia yang
sudah 50-60 persen. Artinya, dari jumlah penduduk indonesia usia 19-24 tahun, baru 31, 75 persen yang
berhasil menyentuh bangku pendidikan tinggi.

Potret situasi semacam ini tentu saja mengisyaratkan bahwa ada yang tidak beres dari system
pendidikan maupun kenegaraan kita.

Liberalisasi Pendidikan

Sejak kebijakan neoliberalisme merasuk ke dunia pendidikan, biaya pendidikan melonjak naik. BPS
mencatat biaya pendidikan naik 10 persen setiap tahunnya. Sedangkan ZAP finance menghitung justru
kenaikan biaya pendidikan mencapai 20 persen per tahun. Disisi lain, daya beli rakyat yang terus
merosot. Kendati pemerintah mencoba mengatasi persoalan itu dengan menebar kartu indonesia pintar
(KIP), tetapi jangkauannya baru sekitar 18 juta anak.

Kemudian pada perguruan tinggi kita, sejak orde baru politik pendidikan tinggi di Indonesia sudah
menghamba pada kepentingan bisnis. Banyak pendidikan tinggi berdiri hanya sekedar untuk meraup
keuntungan; mulai dari pungutan biaya pada mahasiswa, kurikulum yang berbasis pasar, prakter hingga
jual beli ijazah.

Faktanya, dari sekitar 4600-an perguruan tinggi di indonesia, sebanyak 4200 atau 91 persen diantaranya
adalah perguruan tinggi swasta (PTS). Ironisnya, kendati jumlah PTS mencapai 91 persen tetapi daya
tampung mahasiswanya hanya 63 persen. Karena orientasi hanya sekedar meraup untung, banyak PTS
beroperasi dibawah standar layanan akademik. Bahkan, banyak kampus abal abal yang sekedar
membuka layanan bisnis jual beli ijazah. Jangan heran jika ada sekitar 3340 perguruan tinggi yang tidak
terakreditasi.

Kemudian setelah orde baru tumbang, seiring dengan angin liberalisasi yang sangat kencang, dunia
pendidikan pun tidak lewat dari terpaannya. Lahirlah berbagai regulasi yang membentangkan karpet
merah bagi liberalisasi pendidikan tinggi. Mulai PP No. 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan
tinggi negara sebagai badan hukum, kemudian disusul UU No.20 tahun 2003 tentang sisitem pendidikan
nasional, lalu puncaknya UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
Regulasi-regulasi itu mendesak perguruan tinggi berubah menjadi “badan hukum” yang dikelola
layaknya koperasi. Dengan jargon “otonomi” perguruan tinggi dipaksa mandiri termasuk dalam
pembiayaan pendidikan.

Tentu saja sebagai konsekwensinya, perguruan tinggi didorong untuk mencari pembiayaan sendiri
melalui pengelolaan dana abadi, pembebanan biaya pendidikan pada mahasiswa, menciptakan badan
usaha dan membangun kerjasama dengan pihak swasta. Pada intinya, negara pelan-pelan dihilangkan
tanggungjawabnya dalam mengurusi pendidikan, termasuk dalam soal pembiayaan.

Kita kemudian diperkenalkan dengan sistem uang kuliah tunggal ( UKT) yang mengatur besaran terif
pendidikan setiap mahasiswa disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua atau pihak yang
menanggung biaya pendidikannya. Walhasil, ada kelas atau pengelompokan tarif pendidikan untuk
mahasiswa.

Faktanya, selain menciptakan kasta-kasta , UKT juga mendongkrak biaya pendidikan semakin mahal.
Tidak heranlah ketika sistem tersebut banyak ditolak oleh mahasiswa diberbagai perguruan tinggi di
Inddonesia.

Biaya pendidikan yang semakin mahal, mencegat kesempatan rakyat indonesia untuk mengakses
pendidikan tinggi. Ini yang membuat angka partisipasi pendidikan tinggi kita tetap rendah meskipun
jumlah lembaga pendidikan tinggi sangat banyak di Indonesia. Selain itu, melalui UU pendidikan tinggi,
perguruan tinggi semakin dipaksa mempererat hubungan dengan dunia industri. Tak heran jika
kurikulum dan orientasi pendidikan kita semakin “rasa pabrik”.

Membaca kenyataan pahit dalam dunia pendidikan kita tentunya negara harus dipanggil kembali
kewajibannya untuk mengurusi penyelenggaraan pendidikan Nasional. Mulai dari persoalan
pembiayaan, infrastruktur, kurikulum, kelembagaan, hingga soal metode pengajaran. Karena selama
syarat-syarat kemajuan itu tidak dilaksanakan maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa tidak
akan menemui jalannya

Anda mungkin juga menyukai