Jika kita lihat dari penyebarannya, keberadaan PTN memang masih kurang. Pada
2014, M. Nuh selaku Mendikbud juga mengakui bahwa penyebaran PTN masih
belum merata. Sebagai contoh di Jawa Barat sejumlah PTN hanya terkonsentrasi di
Bandung dan Bogor. Kebanyakan Perguruan Tinggi Negeri terletak di kota-kota
besar seperti ibukota provinsi. Berbeda dengan PTS yang hampir ada di semua
daerah atau kabupaten.
Dengan fakta adanya data ini sangat masuk akal jika kemudian muncul pertanyaan,
Mengapa perbandingan jumlah antara PTN dan PTS masih sangat jauh?
Mungkinkah ini adalah salah satu bukti kurangnya keseriusan pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia?
Dalam mengkaji permasalahan ini, sepatutnya kita melihat dari berbagai sudut
pandang. Dari sisi yayasan penyelenggara PTS, ini merupakan sebuah keuntungan
ketika jumlah PTN masih lebih sedikit. Kehadiran PTS di tengah masyarakat menjadi
sebuah solusi walau untuk beberapa hal menimbulkan berbagai dilema.
Dilihat dari sudut pandang pemerintah, dalam hal ini mereka memang mengakui
bahwa keberadaan PTN masih kurang merata. Pihak pemerintah hingga saat ini
juga masih berupaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas PTN untuk
kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia. Pada 2010, pemerintah mengadakan
program peralihan 29 perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi negeri.
Lebih lanjut tentang berita peralihan status perguruan tinggi tersebut hingga saat ini
masih belum tuntas. Dengan pertimbangan masih adanya permasalahan yang
mengiringi program tersebut, pemerintah melakukan moratorium perubahan bentuk
PTS menjadi PTN terhitung sejak 1 agustus 2013. Presiden Republik Indonesia Joko
Widodo menyatakan bahwa kebijakan ini cukup baik untuk meningkatkan asas
pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia, khususnya di wilayah terdepan, terluar,
dan tertinggal.
Sesuai data dari PDDIKTI jumlah Perguruan Tinggi Swasta hampir sebelas kali lipat
dari jumlah Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Hal ini semoga saja bukanlah
pertanda ketidak seriusan pemerintah. Karena bagimanapun juga pemerintah masih
terus berupaya untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik di seluruh pelosok
negeri. Untuk selanjutnya masyarakat masih berharap pemerintah mampu
memberikan akses pendidikan yang murah dan mudah dengan adanya PTN yang
lebih banyak lagi.
Pernyataan Pak Anis menarik untuk dikaji, dibuktikan lebih lanjut. Apa benar sekolah
negeri dan swasta dipandang sama oleh pemerintah? Apa benar kualitas sekolah
negeri-swasta itu sama? Dan bagaimana masyarakat memandang kedua macam
sekolah tersebut?
Secara umum masyarakat memandang, sekolah negeri dan swasta dibedakan pada
hal-hal berikut: pertama, kepemilikan. Sekolah negeri adalah sekolah miilik umum dan
dibiayai oleh negara dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Berdasarkan UUD
1945 Pasal 31 ayat 4, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional. Sedangkan sekolah swasta adalah sekolah yang dimiliki oleh
perorangan atau sekelompok masyarakat dalam bentuk yayasan atau organisasi
kemasyarakatan.
Keempat, Fasilitas. Jika menyinggung fasilitas, sekolah negeri dan swasta juga
berbeda. Bila melihatnya pada sekolah swasta yang bonafid sekolah swasta bisa
mengungguli sekolah negeri yang menyandarkan bantuan negara. Tapi secara umum
fasilitas sekolah negeri relatif lebih baik, karena tidak semua sekolah swasta memiliki
finansial lebih.
Kemudian bagaimana dengan kualitas kedua sekolah tersebut? Bila melihat dari aspek
prasarana atau fasilitas, sekolah swasta relatif lebih baik. Karena sekolah yang sudah
memperoleh kepercayaan masyarakat lebih mudah memungut biaya, seperti biaya
bangunan atau lainnya. Sebaliknya, sekolah negeri relatif sulit melakukannya. Namun,
demikian tidak sedikit sekolah negeri yang berfasilitas tak kalah karena kelihaian kepala
sekolah dalam mengusulkan bantuan ke pemerintah. Sebaliknya, tidak sedikit sekolah
swasta yang berfasilitas minim karena kurang dipercayai mesyarakat.
Kalau dilihat dari aspek pengajar, harusnya sekolah negeri lebih baik sebab mereka
(para guru) mayoritas pegawai negeri yang gajinya lebih dari cukup. Sehingga mereka
lebih fokus mengajar, dibanding guru honorer. Sebaliknya, di sekolah swasta. Guru
PNS idealnya lebih baik, lebih berkualitas, lebih profesional. Namun demikian, pada
prakteknya hal tersebut tidak menjamin, bergantung pada masing-masing guru. Bisa
jadi guru honorer lebih berkualitas baik.
Selanjutnya ketimpangan dan kesenjangan antara sekolah pun tak dapat terhindarkan.
Yang kuat semakin megah, maju, dengan jumlah siswa besar. Sementara sebaliknya,
bagi sekolah yang terpinggirkan. Senandung yang kaya makin kaya, yang miskin makin
miskin ala Roma Irama berlaku dalam pendidikan di negeri kita. Kaitan dengan
ini, sudah tak dibedakan lagi antara sekolah negeri dan sekolah swasta.
Oleh karena itu, menurut hemat saya penegasan Menteri Anis Baswedan beberrapa
hari lalu di Indramayu itu, harus dijadikan pertama, dasar pijakan setiap pengambilan
keputusan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahwa pemberian
bantuan, fasilitas itu semata-mata berdasarkan kebutuhan bukan karena faktor
kedekatan, lobi-melobi, apalagi faktor politik.
Kedua, ajakan membuat prioritas. Artinya pemerintah harus membuat skala prioritas
dalam pemberian bantuan fasilitas atau lainnya. Skala prioritas dibuat berdasarkan
kondisi ril di lapangan setelah terlebih dahulu dilakukan penelitian dan kajian. Sehinga
ketimpangan dan kesenjangan dapat diminimalisir.
Walhasil, pernyataan Anis Baswedan bahwa tidak ada bedanya sekolah negeri dengan
sekolah swasta jelas masih perlu dibuktikan. Jangan dijadikan sekadar retorika belaka.
Kemudian pernyataan itu harus menjadi peringatan untuk semua elemen dalam
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sehingga ke depan senandung Roma
Irama, bisa berubah menjadi, yang miskin jadi kaya, yang kaya tetap kaya. Artinya
sekolah pinggiran, kumuh, terpencil berubah menjadi sekolah unggulan. Dan sekolah
favorit, maju tetap diunggulkan. Ini menjadi tantangan kita semua. Bagaimana bisa? Wa
Allhu Alam
Berita Rekomendasi
Salut, Anak Petani Sagu Hobi Membaca Buku hingga Raih Prestasi Tingkat Nasional
Bantu Kaum Difabel, Ratusan Sekolah Percontohkan Inklusif Akan Disiapkan
Namin berpendapat, kurikulum 2013 adalah kurikulum yang bagus, namun sistem
penilaiannya rumit. Selain itu, CEO gurubicara.com ini juga menyayangkan
dihapuskannya pelajaran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada kurikulum
2013.
"Padahal menghadapi MEA itu keterampilan menggunakan teknologi sangat penting.
Sehingga saya sendiri akan menyetujui diberlakukannya kurikulum 2013, tentunya
dengan beberapa perbaikan," lanjutnya.
Permasalahan berikutnya, yakni guru. Menurut dia, guru merupakan ujung tombak
pendidikan. Tetapi, saat ini guru minim mendapatkan pelatihan yang aplikatif dan
berkualitas.
"Guru banyak yang masih mengajar pakai cara zaman dahulu, padahal sekarang
sudah zaman digital. Ditambah siswa yang dihadapinya lahir di zaman digital.
Praktik mengajar seperti ini kebanyakan terjadi di sekolah-sekolah negeri. Bahkan,
kepala sekolahnya sendiri banyak yang usinya tua, dan sudah hampir pensiun,"
tuturnya.
Ketiga, kata Naiman, budaya literasi di kalangan guru masih sangat lemah.
Sedangkan permasalahan keempat buku teks pelajaran yang digunakan masih
lower order thinking skill (LOTS).
"Misalnya, membahas tentang sunat. Buku di Indonesia masih sekadar membahas
apa itu sunat. Padahal kalau buku di luar negeri sampai detail membahas siapa
orang pertama yang disunat dan sebagainya," tandas pria yang pernah menjadi guru
lebih dari 10 tahun tersebut.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa
dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami sakit. Dunia pendidikan yang
sakit ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi
manusia, tetapi dalam kenyataannya sering kali tidak begitu. Sering kali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan
yang ada.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau
menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah
pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta
didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang
sebagai safe deposit box, di mana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak murid dan
bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya
menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model
pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan
bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan
pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis
terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi)
merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan
manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita
telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal
yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
strategi kebudayaan Asia, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan
penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional.
Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak
mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia
pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi
kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan
masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya
dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Secara garis besar ada dua solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan
pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi
siswa.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit
dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang ber-SDM
tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor-
faktor yang bersifat teknis di antaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana
fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru,
rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan
pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia
adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek,
sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk
memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka di
sinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala
permasalahan pendidikan di Indonesia