Anda di halaman 1dari 12

Strategi Sekolah Mengatasi Kekurangan Pembiayaan Pendidikan Di Bawah Slogan

Sekolah Gratis Dari Bos Dan Bosda2


Erdi, M.Si
FISIP Universitas Tanjungpura Pontianak,
Kalimantan Barat Indonesia

Abstrak
Pendidikan merupakan faktor yang secara signifikan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM), oleh karena itu pembangunan pendidikan memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan
melibatkan indikator-indikator ekonomi, kependudukan, kependidikan maupun potensi sumber daya alam.
Implementasi dari kebijakan di bidang pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar dilakukan secara
terpusat melalui penetapan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Sekolah Daerah
(BOSDA). Tidak jarang kemudian kebijakan ini ditanggapi sebagai kebijakan umum yang ”mengharamkan”
sekolah untuk melakukan pemungutan iuran pendidikann dan memandang keberadaan BOS dan BOSDA
sebagai saatu-satunya pembiayaan pendidikan.Sejak diumumkan adanya BOS dan BOSDA pada tahun 2006
oleh pemerintah yang menyatakan sekolah gratis untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), terjadi penurunan
tingkat partisipasi orang tua murid dalam dunia pendidikan. Masyarakat kemudian menyerahkan urusan
pembiayaan pendidikan sepenuhnya kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Sementara bantuan yang
disebut BOS dimaksud adalah relatif kecil dan tidak mencukupi keperluan yang sebenarnya. Kondisi ini
cukup menyulitkan para pelaksana di unit pelaksana satuan pendidikan. Kemudian, terdapat beberapa daerah
dan sekolah yang “keluar dari belenggu kebijakan BOS” dan melakukan inisiasi unik untuk menyelesaikan
persoalan pendanaan sekolah. Diantara daerah dimaksud adalah Kebupaten Melawi yang menerapkan MBS
untuk menyiasati kekurangan dana BOS, Kabupaten Kubu Raya dengan mengurangi perjalanan dinas pejabat
publik dan mengalokasikan kelebihan dana dari perjalanan dinas untuk menambah pembiayaan bidang
pendidikan; dan Pemerintah Kota Singkawang dengan kebijakan mendirikan sekolah berbasis keunggulan
local dengan mengintegrasikan kurikulum dengan keunggulan local daerah. Semua itu memerlukan kebijakan
khusus dan keberanian pelaku pendidikan. Makalah ini berusaha untuk mendiskripsikan tiga kebijakan
khusus daerah yang unik itu dan saya sebut sebagai reformasi dan transformasi pendidikan daerah yang
berani keluar dari “cengkraman BOS” untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan daerah di
tengah keterbatasan sumberdaya yang dimiliki daerah dalam rangka mewujudkan pendidikan berkualitas.
Ketiga daerah dimaksud adalah Kabupaten Melawi, Kabupaten Kubu Raya dan Kota Singkawang. Tujuan
dari makalah ini adalah untuk menularkan implementasi “best practice” dalam bidang pendidikan dari
Kalimantan Barat bagi Indonesia.

Keywords: pendidikan gratis, keperluan sekolah, transformasi pendidikan daerah dan belenggu
kebijakan.

____________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan faktor yang secara signifikan mampu meningkatkan kualitas


Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu pembangunan pendidikan memerlukan
perencanaan yang komprehensif dengan melibatkan indikator-indikator ekonomi,
kependudukan, kependidikan maupun potensi sumber daya alam. Sejalan dengan hal itu,
strategi kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia yang diarahkan pada kemampuan kecakapan dan keterampilan hidup (life skill)
para peserta didik. Pendidikan kecakapan hidup ini sangat relevan dengan pengembangan
pendidikan kejuruan, yakni pendidikan yang mempersiapkan peserta didik agar dapat

1015
bekerja dalam bidang tertentu (UU Sisdiknas No: 20. 2003) sesuai dengan kompetensi
lulusan.
Dalyono (2005) menyatakan bahwa keberhasilan belajar anak didik dipengaruhi
oleh keadaan sekolah tempat belajarnya. Faktor yang mempengaruhi tersebut adalah
kualitas guru, metode pengajaran, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak didik,
keadaan fasilitas atau perlengkapan d isekolah, keadaan ruanganbelajar, jumlah murid per
kelas, pelaksanaan tata tertib sekolah dan sebagainya. Oleh karena itu, prestasi belajar yang
baik selain dipengaruhi adanya motivasi dari dalam diri (intern) dan luar diri (ekstern)
harus juga ditunjang oleh adanya sarana dan prasarana yang lengkap.
Sarana dan prasarana merupakan masalah yang esensial dalam pendidikan sehingga
pembaharuan pendidikan tidak sekadar memperbaharui gedung sekolah, tetapi juga
mencakup masalah yang paling dominan yaitu alat peraga. Bila suatu sekolah kurang
memperhatikan fasilitas atau sarana dan prasarana pendidikan maka para siswa tersebut
kurang bersemangat untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Hal ini mengakibatkan
prestasi belajar anak didik menjadi rendah.
Keterbatasan sarana dan prasarana sekolah menyeruak setelah pemerintah
meluncurkan slogan pendidikan gratis melalui sistem BOS yang kemudian ditambahkan
lagi oleh daerah melalui BOSDA. Keberadaan BOS dan BOSDA sebagai unsur
pembiayaan pendidikan telah mengalihkan partisipasi masyarakat seakan pembiayaan
pendidikan dipindahkan hanya menjadi urusan pemerintah semata.
Lalu masalah yang timbul kemudian adalah “apakah sarana dan prasarana sekolah
yang disiapakan melalui pendanaan BOS dan BOSDA tersebut dapat mencukupi keperluan
ril sekolah dan apa yang dapat ditempuh pihak sekolah dalam rangka mencukupinya guna
mewujudkan pendidikan yang berkualitas?
Makalah ini mencoba untuk mengurai benang kusut dalam pembiayaan pendidikan
dengan melihat best practice yang telah dilakukan oleh beberapa daerah di Kalimantan
Barat di tengah keterbatasan sumberdaya untuk pembiayaan pembiayaan pendidikan.

A. MELIHAT BESARAN BOS PADA JENJANG SD, SMP DAN SMA


Semula, saat pembiayaan pendidikan dengan skim dari dana BOS untuk SMP
Reguler dan SMP Terbuka adalah sama yaitu sebesar Rp 354.000 per siswa per tahun
sehingga besaran dana BOS untuk setiap siswa per semester hanya sebesar Rp 177.000.
Alokasi dana BOS ke sekoleh kemudian adalah dengan mengalikan jumlah siswa dengan
angka konstan tersebut. Hal yang sama adalah pembiayaan BOS untuk SD yang besarnya

1016
Rp 397.000 per siswa per tahun dan untuk di wilayah kota dan Rp 400.000 per siswa per
tahun untuk perdesaan
Merujuk pada Panduan BOS 2012 atau Petunjuk Teknis BOS 2012 yang dijelaskan
pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 51 tahun
2011 tanggal 5 Desember 2011 tentang Standar Biaya Non Personalia dikatakan bahwa
alokasi BOS per siswa telah sesuai dengan standar tersebut. Yang jelas, besar biaya satuan
BOS tahun 2012 yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung
berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan SD/SDLB sebesar Rp 580.000 per siswa per
tahun dan SMP/SMPLB/SMPT/SATAP sebesar Rp 710.000 per siswa per tahun.
Sementara BOS SMA sederajat yang telah digelontorkan oleh pemerintah
dikabarkan sebesar Rp 2,118 triliun. Itu adalah dana untuk memenuhi keperluan
pembiayaan pendidikan sebanyak 4,23 juta anak SMA se Indonesia. BOS SMA untuk
tahun pelajaran 2013-2014 ini juga dianggap sudah sangat besar sehingga Irjen
Kemendikbud berharap agar anggaran yang telah dikucurkan itu benar-benar dapat
mengurangi secara signifikan biaya pendidikan di jenjang SMA dan sederajat.
Bila di jenjang SD dan SMP telah dijamin gratis, maka di SMA memang belum
dapat menjamin gratis karena unit cost BOS SMA baru dipatok pemerintah sebesar Rp 1
juta per siswa per tahun, sementara sekolah telah ada yang menetapkan Sumbangan
Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) di atas Rp 100 ribu per bulan. Kemendikbud sendiri
memperkirakan, rata-rata biaya ril operasional di tingkat SMA adalah sebesar Rp 1,5 juta
hingga Rp 2 juta per tahun per siswa; sementara pemerintah baru mematok sebesar Rp 1
juta per tahun. Dan oleh karena itu, Irjen Kemendikbud itu mengharapkan sekolah dapat
menurunkan biaya SPP mereka hingga 50% dari besaran yang sudah ditetapkan selama ini.
Sementara bagi sekolah yang telah menetapkan biaya SPP di bawah angka Rp 100.000 per
bulan disarankan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswanya.
Untuk membunyikan besaran BOS di atas, maka perlu dihubungkan dengan jumlah
mata pelajaran sehingga penyerapan dana BOS dimaksud dapat dengan mudah dimaknai.
Untuk itu, penulis kemudian mencoba untuk browsing ke situs
http://pustakaaslikan.blogspot.com/2013/05/isi-kurikulum-2013-mata-pelajaran.html. Dari
situs ini diperoleh keterangan bahwa jumlah pelajaran SD sebanyak 8 mata pelajaran (MP),
SMP sebanyak 10 MP dan SMA/Sederajat sebanyak 9 MP. Dengan informasi ini, besaran
dana bos terdistribusi sebagai berikut:
Tabel 1
Distribusi Serapan Dana BOS Per Siswa/MP/SMT

1017
BESARAN DANA
JUMLAH SERAPAN/MP/SMT
JENJANG BOS/SMT/SISWA
MP (RP)
(RP)
SD 290.000 8 6.042

SMP 355.000 10 5.917

SMA 500.000 9 9.259


Sumber: Analisis Penulis, 2014

Dari gambaran tabel di atas, barulah dapat dibunyikan betapa kecil pembiayaan
pendidikan di Indonesia, yang tidak sampai Rp 10.000,00 per bulan per mata pelajaran per
siswa. Jumlah ini masih lebih besar dari uang jajan harian anak kelas IV SD di wilayah
perkotaan yang terkadang diberikan lebih dari Rp 10.000 per hari oleh orang tuanya.
Sementara tujuan akhir melalui proses pembelajaran ini sebagai sasaran puncak dan
evaluasi proses pembelajaran adalah lulus semua kompetensi dasar melalui
penyelenggaraan ujian nasional.
Oleh karena itu, implementasi dari BOS yang kemudian ditambah dengan BOSDA
dari beberapa daerah di Kalbar dan juga di Indonesia dapat dikatakan lebih besar harapan
ketimbang usaha nyata. Sungguh, merupakan sebuah mukjizat dari Allah SWT atas usaha
gigih siswa, dukungan moral orang tua serta pengabdian luar biasa guru dan insan pendidik
di negeri ini sehingga dapat menjadikan kualitas pendidikan di Indonesia tidak kalah baik
dengan kualitas pendidikan di negara lain yang telah mengalokasikan GNP mereka sebesar
20% untuk pendidikan, sementara Indonesia baru mampu mengalokasikan GNP kepada
sector pendidikan sebesar 0.08% (Global Growth Competitiveness Index, 2013).

B. STRATEGI DAN BEST PRAKTICE DARI BEBERAPA DAERAH DI


KALBAR
1. Pemerintah Kota Singkawang: Penerapan Kurikulum Kepariwisataan Melalui
Kearifan Lokal dan Menjalin Kerjasama Para Pihak

Singkawang merupakan salah satu Pemeerintah Daerah di Kalimantan Barat yang


meletakkan basis pembangunan masyarakat pada bidang pariwisata. Pemerintah Kota
Singkawang telah menempatkan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor pengungkit
pembangunan sektor lain. Guna mewujudkan tujuan ini, salah satunya dilakukan melalui
pembangunan pendidikan keahlian yang selaras dengan kekuatan potensi atau daya dukung
sektor pariwisata yang ada di Kota Singkawang. Salah satu satuan tingkat penyelenggara

1018
pendidikan yang mencoba mensinergikan potensi pariwisata (keunggulan lokal di bidang
pariwisata) dengan pendidikan adalah SMK Negeri 3 Kota Singkawang.
Penetapan Singkawang sebagai kota tujuan kunjungan wisata tidak muncul secara
tiba-tiba. Daerah ini, menurut sesepuh Tionghoa Singkawang3) dianggap sebagai kota
leluhur yang pasti akan didatangi oleh banyak orang, tidak hanya untuk urusan upacara
adat dan sembahyang kubur (cheng beng), tetapi juga menikmati atraksi budaya yang
dikaitkan dengan kalender kepariwisataan.
Tidak jarang, para wisatawan dimaksud memerlukan pemandu wisata dan berbagai
keperluan yang terintegrasi ke dalam agen perjalanan wisata sehingga keberadaan pekerja
pariwisata menjadi keperluan berkelanjutan dan sejalan dengan penetapan Kota
Singkawang sebagai destinasi utama di Kalimantan Barat, baik oleh pemerintah Kota
Singkawang maupun oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Keperluan akan tenaga
profesional di bidang kepariwisataan menjadi sesuatu yang tidak dapat dipungkiri adanya.
Status ini kemudian ditangkap oleh pihak sekolah dengan mendirikan Program Studi
(Prodi) khusus berbasis kepariwisataan.
Sebagaimana diakui oleh dewan guru di SMKN 3 bahwa ketersediaan fasilitas atau
sarana dan prasarana pendidikan sangat berpengaruh besar pada keberhasilan pendidikan.
Kondisi sarana dan prasarana penunjang belajar yang masih tergolong kurang dapat
menyebabkan para siswa kurang bersemangat dalam belajar sehingga mengakibatkan
prestasi belajar anak didik menjadi rendah. Hasilnya adalah tidak tercapainya tujuan
investasi sumberdaya manusia. Percaya dengan proposisi ini, para guru dan pimpinan
sekolah berupaya memenuhi kekurangan atas keperluan sekolah dengan mengupayakan
kerjasama dengan pihak lain.
Sebagai unit penyelenggara pendidikan, ketersediaan sarana dan prasarana
merupakan masalah esensial yang dihadapi oleh sekolah ini. Tidak mungkin sekolah ini
memiliki semua unit praktik yang diperlukan siswa, seperti hotel praktik, taman wisata
praktik, agen perjalanan wisata praktik dan lain-lain.
Dalam hal gedung saja misalnya, sekolah ini masih menumpang tanah milik Dinas
Sosial Provinsi Kalimantan Barat. Masalah lainnya adalah masih minimnya perhatian
pemerintah daerah, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Singkawang c.q. Dinas
Pendidikan dalam memenuhi keperluan akan sarana dan prasarana sekolah. Jadi, dalam hal
pemenuhan sarana dan prasarana, SMKN 3 Kota Singkawang ini menghadapi beberapa
3
Hasil Wawancara dengan Salah Seorang Anggota DPRD Kota Singkawang dari Fraksi Partai Golkar
pada tanggal 20 Maret 2013, pukul 10.30 di Sekretariat Partai Golkar Kota Singkawang dan dengan
F.X Asali, tokoh masyarakat Tionghoa di Kalimantan Barat

1019
kendala infrastruktur dan supra struktur, seperti status tanah yang masih hak pakai, sarana
gedung yang belum mencukupi, sarana laboratorium berikut peralatan dan sarana praktek
lapangan.
Di tengah keterbatasan kapasitas dan kewenangan, adalah tidak mungkin pihak
sekolah menyediakan sendiri berbagai keperluan itu sehingga jalan yang mereka tempuh
adalah mencari mitra pendukung bagi pelaksanaan kurikulum pendidikan. Cara ini
dianggap sebagai cara yang paling efektif dilakukan oleh pihak sekolah. Di tengah
keterbatasan anggaran dari pemerintah daerah pada satu sisi dan besarnya peluang
pengembangan pariwisata pada sisi lainnya, sekolah kemudian melaksanakan kemitraan
dengan berbagai pihak sehingga tujuan pendidikan kepariwisataan ini dapat dilaksanakan,
meskipun dengan berbagai macam kekurangan.
Cara kedua adalah dengan menyulap beberapa bagian ruang yang ada untuk
dijadikan Front Office Hotel, Kamar Inap dan lain-lain sehingga siswa secara langsung
praktek di situ dengan dipandu oleh Guru. Empat gambar berikut memperlihatkan
fenomena ini.

Gambar 1 dan 2
Salah satu ruang pada SMK yang dijadikan Front Office Hotel dan Guru
yang memandu Praktek Kerja Industri (Prakerin)
Selain persoalan fasilitas (sarana dan prasarana) praktek, sekolah ini masih
memiliki beberapa persoalan. Dari hasil wawancara dengan Kepala Sekolah dan Dewan
Guru di SMKN 3 Kota Singkawang, terdapat beberapa persoalan yang terkait pemenuhan
keperluan sarana dan prasarana sekolah, diantaranya status tanah seklah yang belum tuntas
sehingga sekolah ini tidak dapat memperoleh bantuan dari pusat, pada sisi lain perhatian
pemerintah kota masih sangat kecil; keterbatasan dana untuk pembelian atau pengadaan
alat peraga yang memaksa pihak sekolah untuk “mengemis’ dengan pihak lain (semua
pengusaha yang memiliki keterkaitan dengan ketiga porodi kepariwisataan, mulai dari
pengusaha jasa pariwisata hingga pengusaha hiburan, hotel, restoran dan lain-lain); dan

1020
kekurangan guru bidang prodi yang kemudian dapat dipenuhi dengan kehadiran guru dari
kalangan profesional untuk mengajar di kelas untuk beberapa mata pelajaran tertentu.

Gambar 3 dan 4.
Salah satu ruang pada SMK yang dijadikan seakan-akan Kamar Hotel
dan Guru yang memandu Prakerin Siswa Perhotelan
Hasil “mengemis” ini kemudian melahirkan kondisi SMK ini dalam kekurangan
tetapi telah mampu melahirkan lulusan yang berkualitas. Hingga 2014, paling tidak telah
terdapat sebanyak 60 bentuk kerjasama sekolah dengan pihak lain seperti ditampilkan pada
tabel 2.
Tabel 2
Para Pihak yang Telah Menjalin Kerjasama Dengan SMKN 3 Singkawang
dan Bidang yang Dikerjasamakan
No Jenis Usaha Kaitan Bidang Pendidikan Jumlah MoU
1 Hotel dan Restoran Prodi Jasa Boga 8

2 Penginapan Prodi Akomodasi 7

3 Usaha Perjalanan Wisata Prodi Perjalanan Wisata 30

4 Penjahit dan Konveksi Prodi Tata Busana 6

5 Pengusaha Objek Wisata Seluruh Prodi 9


Jumlah MoU 60
Sumber: Peneliti, diringkas dari kumpulan MoU SMKN 3, 2013
Dari tabel 2 banyak hal yang telah didapat oleh siswa sejak sekolah menjalankan
kemitraan dengan pelaku industri. Selain dapat secara langsung memanfaatkan berbagai
fasilitas di perusahaan, siswa juga diberikan bimbingan secara langsung oleh pemilik
usaha, sementara para guru pembimbing juga mengikuti kegiatan praktek itu sehingga
antara teori dengan praktek dapat terperbaiki dari masa ke masa. Beberapa sarana sekolah
yang terkait dengan praktek memang tidak mampu disediakan oleh sekolah. Sebagai
contoh adalah keperluan hotel praktek, yang sudah dicoba difasilitasi oleh pihak sekolah
dan Pemerintah Kota Singkawang kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

1021
Setelah membuat perencanaan akan keperluan dan kemudian ditanggapi secara serius,
permasalahan kemudian datang akibat status tanah yang tidak jelas, sehingga upaya itu
kandas di tengah jalan karena hanya sebab bangunan dan tanah sekolah yang bukan
dimiliki sekolah atau Pemerintah Kota Singkawang.
.
2. Kabupaten Kubu Raya: Pengurangan Perjalanan Dinas Pejabat dan Penundaan
Pembangunan Rumah Dinas Bupati Untuk Menambah BOSDA
Indikator Pendidikan Dasar 9 tahun secara keseluruhan di Kabupaten Kubu Raya
(KKR) hingga tahun 2011 belum terlampaui, terutama pada Angka Partisipasi Murni
Sekolah Menengah Pertama (APM-SMP/MTs) yang kondisinya masih rendah, yakni 75,03
dan hanya aman pada Kecamatan Sungai Raya. Sementara APM pada jenjang pendidikan
SD telah mencapai 92,54 dan diperkirakan akan tercapai. Sementara APM Pra Sekolah
6,77 juga masih belum aman hingga tahun 2015 karena terbatasnya sarana dan prasarana
pendidikan.
Proporsi anak usia sekolah di Kabupaten ini antara yang sekolah dengan yang tidak
sekolah masih cukup besar. Anak usia SD yang bersekolah berjumlah 22.677 orang dan
sebanyak 2.844 orang tidak sekolah lagi. Sementara anak di usia SMP yang sekolah
berjumlah 8.846 orang dan yang tidak sekolah 3.527 orang, Begitu juga anak usia SMA,
yang sekolah hanya berjumlah 4.183 orang dan sebenyak 6.948 sudah tidak sekolah.
Hingga tahun 2011, secara umum, tantangan penuntasan program wajib belajar
(WAJAR) di Kabupaten Kubu Raya, selain terkait dengan luasnya wilayah kabupaten yang
juga menimbulkan persoalan dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Kondisi
yang lebih memprihatinkan terjadi pada daerah-daerah yang tergolong terpencil dan
wilayah kepulauan, yag hanya dapat ditempuh dengan jalur transportasi air dan pulau-
pulau terpencil dimana hampir seluruh sarana dan prasarana pendidikan tidak refresentatif.
Pemerintah daerah KKR kemudian mengeluarkan dan melaksanakan lima paket kebijakan
daerah, yakni:
1. Melaksanakan dan mendistribusikan BOS sebagai program nasional, pemerintah dan
menambahkan Dana BOS dengan menyediakan BOSDA yang diambilkan dari
APBD dengan mengurangi alokasi program dinas lain. Dengan kebijakan ini, KKR
dapat memenuhi angka 20% dari APBD untuk urusan pendidikan.
2. Membangun sekolah dan ruang kelas baru dengan rasio yang cukup dan kemudian
menjemput anak untuk sekolah. Tantangan yang dihadapi adalah justru anak pada
daerah kepulauan dan kawasan terpencil tidak mau lagi sekolah dan memilih bekerja

1022
atau membantu orang tua. Kondisi ini dapat menyebabkan angka putus sekolah pada
jenjang SMP dan SMA semakin besar.
3. Memprogramkan sertifikasi guru dengan terlebih dahulu memberikan rangsangan
untuk menamatkan pendidikan setara S1.
4. Mengirim guru ke daerah khusus dengan pemberian tunjangan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan daerah dengan memilih guru dengan kualifikasi dan
komitmen tinggi atau mengangkat guru baru yang berasal dari daerah setempat
meskipun kebijakan ini terkadang dianggap sebagai kebijakan yang diskriminatif.
Hal ini pun terjadi pada pendistribusian tenaga pendidik atau guru. Kalau tidak ada
kebijakan khusus seperti ini, maka distribusi guru di wilayah perkotaan lebih dari
mencukupi dibanding dengan jumlah guru di perdesaan.
5. Membangun sekolah dengan kebijakan khusus, yakni SD-SMP satu Atap. Meskipun
mendapat tantangan dari pemerintah yang berada di atasanya yang notabene hanya
melihat persyaratan pendirian sekolah mengikuti perundangan yang berlaku dan
mengabaikan kondisi faktual di lapangan, namun pemerintah KKR tetap
melaksanakan kebijakan ini sebagai bentuk kebijakan lokal dalam rangka
menjangkau penuntasan wajib belajar 9 tahun di seluruh wilayah KKR.
Selain 5 kebijakan daerah di atas, masih terdapat dua kebijakan luar biasa yang telah
dilakukan oleh pemerintah daerah KKR. Kedua kebijakan dimaksaud adalah:
1. Mengurangi perjalanan dinas para Kepala SKPD se-KKR dan mengakumulasikan
dana perjalanan dinas yang tidak terpakai itu menjadi dana BOSDA. Semula, Dana
BOSDA KKR tahun 2011 hanya sebesar Rp 6 miliar dan kemudian tahun 2012 setelah
ditambah dari akumulasi biaya perjalanan dinas yang tidak dipakai menjadi Rp 11
miliar. Dana ini kemudian digunakan untuk menjangkau program wajib belajar bagi
kaum perempuan di kawasan tertinggal, wajar 9 tahun bagi keluarga miskin dan
marginal.
2. Menunda pembangunan rumah dinas bupati. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya
mengalihkan anggaran pembangunan rumah dinas bupati senilai Rp 6 miliar untuk
perumahan guru dan sarana pendidikan di kabupaten tersebut. “Menjelang pengesahan
APBD tahun 2011, Bupati Kubu Raya membatalkan alokasi pembangunan rumah
dinas Bupati dan dialihkan untuk pembangunan rumah dinas guru di daerah terpencil
dan pembangunan sarana fisik sekolah. Selain itu, pemerintah juga mengalihkan
sebesar Rp 1 M dana pembelian mobil dinas Bupati kepada penyediaan motor bagi
tenaga-tenaga lapangan pendidik di daerah tertinggal.

1023
Dengan dua kebijakan pengalihan anggaran ini, Pemerintah KKR bertekad untuk
menuntaskan wajar 9 tahun pada tahun 2015, menurunkan angka melek huruf menjadi
angka baseline 93% pada penduduk usia 15 tahun ke atas dan membuat kesetaraan gender,
terutama di bidang pendidikan yang angkanya masih cukup tinggi di KKR ini.

3. Kabupaten Melawi: Penerapan MBS melalui SPM Sekolah

Sejak diumumkannya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada tahun 2006 oleh
pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah gratis untuk pendidikan dasar (SD dan SMP),
terjadi penurunan tingkat partisipasi orang tua murid dalam dunia pendidikan. Masyarakat
kemudian menyerahkan urusan pembiayaan pendidikan sepenuhnya kepada pemerintah
daerah. Sementara bantuan yang disebut BOS dimaksud adalah relatif kecil dan tidak
mencukupi keperluan yang sebenarnya. Kondisi ini cukup menyulitkan para pelaksana di
unit pelaksana satuan pendidikan.
Pada sisi lain, sebagai kabupaten baru, kebijakan ini tentu sedikit membebani
Pemerintah Daerah Kabupaten Melawi karena pembiayaan pendidikan yang hanya berasal
dari BOS dengan kondisi infrastruktur daerah dan infrastruktur sekolah yang sangat minim,
cukup menyedot anggaran daerah. Oleh karena itu, pemerintah melalui Dinas Pendidikan
dan Bappeda “mencari akal” untuk mengembalikan tingkat partisipasi masyarakat dalam
dunia pendidikan seperti sebelum adanya kebijakan BOS dan BOSDA. Dengan demikian,
sejak 2011, semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan akhirnya memutuskan untuk
tetap melaksanakan Program Pemerintah melalui BOS dan BOSDA serta menggali potensi
lokal melalui keterlibatan para pihak dalam pemenuhan keperluan sekolah secara wajar.
Salah satu jalan ke arah itu adalah pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) agar
tercipta Standar Pelayanan Minimal (SPM) di sekolah.
Kenyataan yang terjadi pada sekolah adalah kucuran dana dari BOS hanya dapat
membantu sekitar 48% dari total keperluan sekolah. Hal ini diungkapkan oleh Kepala
Sekolah SD dan Kepala SMP di Pinoh Selatan. Kekurangan biaya operasional sekolah
sebesar 52% dapat ditambahkan hingga mencapai unit cost keperluan sekolah yang ideal
(minimal). Dengan demikian, mestinya bilamana konsep pendidikan gratis dimaksud yang
diterapkan, maka APBD harus menanggung kekurangan dari BOS melalui pendanaan atau
skema BOSDA sebesar 52%. Tetapi, hal itu tidak mungkin dilakukan karena keperluan itu
mendapai Rp 115,623,450,000.00 atau 45% dari Total APBD Kabupaten saat itu.
Pliihan pelaksanaan MBS oleh Pemerintah Kabupaten Melawi adalah membuat
MBS melalui SPM pada 20 sekolah (SD dan SMP) yang dilakukan dalam konteks untuk

1024
menumbuhkan berbagai bentuk nilai kebersamaan sehingga pembiayaan sekolah bukan
hanya tanggung jawab pemerintah dan insan pendidikan, tetapi juga menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta.
Indikator SPM Pendidikan Dasar sebagaimana tertuang dalam Permendiknas
Nomor 15 Tahun 2010 mencakup 10 indikator. Pihak sekolah kemudian membuat urutan
prioritas keperluan yang antara lain adalah (1) ruang kelas sesuai rasio murid, (2)
ketersediaan mebel sekolah bagi siswa, (3) ketersediaan tenaga guru, (4) peningkatan
kualitas guru (percepatan S1), (5) sertifikasi guru (6) ketersediaan alat peraga; (9)
ketercukupan buku teks dan buku pengayaan, serta (10) keberadaan laboratorium. Untuk
mengetahui keperluan ril di atas, sekolah kemudian mengajak komite sekolah untuk
membuat perencanaan dan kemudian secara bersama-sama pula berjuang mencari
pendanaan bagi pemenuhannya.
Setelah diupayakan ketersediaannya dalam dua tahun, bantuan pun tidak kunjung
tiba, Pihak komite kemudian memutuskan untuk melakukan pengumpulan dana bagi
pembelian bahan dan mengerjakan pembangunannya secara gotong-royong. Hasilnya
adalah terbangun sebanyak 3 (tiga) ruang kelas baru seperti yang terlihat pada Gambar 5
dan 6 dihalaman berikutnya.

Gambar 5 Gambar 6
Salah satu lokal sekolah hasil kumpulan dana Kondisi Ruang Belajar dengan tambahan
Komite Sekolah meja dari dana kumpulan komite

Hadirnya komite menyelesaikan persoalan keperluan sarana sedikit membantu


sekolah dalam mengatur jam belajar sehingga jam belajar siswa yang tadinya akan dibuat
pagi dan sore, tidak jadi dilaksanakan. Para guru pun menjadi senang karena tidak harus
datang ke sekolah pagi dan sore sehingga ada waktu yang digunakan guru untuk
melaksanakan aktivitas lain, termasuk menggarap kebun karet yang menjadi sector
unggulan di Kabupaten Melawi ini.

1025
C. KESIMPULAN: LESSON LEARNED KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Dari pemaparan tiga model best practice di atas, pelajaran penting yang dapat
dipetik oleh pemerintah, pelaku pendidikan, pelaksana teknis pendidikan dan para pihak
lainnya, termasuk para pemilik perusahaan yang beroperasi di daerah untuk:
1. Para stakeholder pendidikan seperti guru, kepala sekolah, siswa, orang tua murid dan
masyarakat untuk menyatukan langkah dengan ikut mengawasi dan berpartisipasi
aktif dalam proses pengelolaan dan BOS. Hal ini akan sangat berpengaruh kepada
efektifitas penggunaan dana BOS itu sendiri dan kedua kekurangan dana dapat
dicarikan solusi dengan berusaha atau mengajak pihak lain yang peduli dan
berkepentingan dengan pendidikan.
2. Para pelaku pendidkan atau pihak lembaga pendidikan untuk bersikap kooperatif dan
terbuka dengan menerapkan asas tranparansi dan akuntabilitas terutama dalam
pengelolaan dana BOS. Transparansi dan akuntabilitas yang dilakukan dalam
pengelolaan BOS diharapkan dapat memancing para pihak untuk ikut secara
bersama-sama memikirkan keberlangsungan proses, outpun dan kualitas pendidikan
di daerah.
3. Kepada pemangku kebijakan untuk tetap mengkaji dan mengevaluasi kebijakan yang
dikeluarkan, termasuk efektifitas pengelolaan dana BOSDA dan dukungan kepada
sekolah untuk mengupayakan pendanaan dari luar sekolah yang tidak bersifat
mengikat.

RUJUKAN

Dalyono . 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta.


Erdi. 2012. Laporan Pencapaian Pembangunan Millinim Kabupaten Kubu Raya 2011.
Stain Pontianak Press. Pontianak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

1026

Anda mungkin juga menyukai