Anda di halaman 1dari 9

Alokasi anggaran pendidikan dasar di kabupaten/kota dan pengaruhnya terhadap angka

partisipasi sekolah.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Upaya upaya pemerintah untuk membangun pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat
terlihat cukup besar. Pasal 31 Undang Undang dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan untuk itu pemerintah bertanggung jawab
membiayainya. Melalui perubahan pasal 31 UUD 1945, upaya tersebut makin diperkuat
dengan adanya ketetapan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang
kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Prosentase yang sama
juga dimandatkan untuk dialokasikan oleh setiap daerah dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) masing masing. Usaha pemerintah membangun pelayanan pendidikan
terlihat juga melalui langkah langkah penyiapan dan penyesuian perangkat peraturan-
perundangannya. Langkah –langkah itu dilakukan seiring dengan perubahan tatanan politik
pemerintahan sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah yang diatur Undang-undang
(UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Salah satu langkah dimaksud adalah
pengesahan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang
dilakukan pemerintah setelah melalui proses dan polemik panjang. Pertimbangan terhadap
keberadaan politik otonomi daerah cukup tercermin dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini. Pada
pasal-pasal yang mengatur hak kewajiban pemerintah disektor pendidikan, misalnya kata
“pemerintah” (pusat) selalu berdampingan dengan kata “pemerintah daerah”, UU ini juga
mengatur tanggung jawab pengelolaan pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan, yaitu
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 50).
Dalam prakteknya upaya upaya untuk membangun pendidikan tersebut dihadapkan pada
berbagai masalah, sehingga jaminan atas hak dan kewajiban setiap warga negara untuk
mendapat dan mengikuti pendidikan masih belum memadai.
Sejak Otonomi Daerah ditetapkan sejak tahun 2001, jumlah Kabupaten dan kota pun
telah bertambah hingga saat ini telah terbentuk dan mencapai sebanyak 542 Kabupaten/kota
pada saat ini namun demikian pemerintah pusat tetap memberlakukan moratorium usulan
pembentukan daerah otonom baru hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Semakin
bertambahnya jumlah daerah otonom maka semakin beragam persoalan pendidikan dasar
disuatu daerah, karena daerah otonom baru cenderung tidak memprioritaskan bidang
pendidikan dasar sebagai hal yang urgent bagi peserta didik baru sehingga alokasi bidang
pendidikan pada APBD dibawah persentase sebagaimana ditetapkan undang undang yaitu
sebesar 20 %. Daerah otonom baru pada awal berdirinya cenderung lebih memprioritaskan
bidang bidang yang tidak berdampak langsung kepada masyarakat misalnya : Pembangunan
sarana dan prasarana gedung perkantoran, pengadaan kendaraan dinas untuk Kepala Daerah
dan pejabat daerah dan sebagainya. Dengan diserahkannya penyelanggaraan pendidikan
dasar dan menengah didaerah menjadi kewenangan bagi pemerintah daerah, maka
diharapkan dari penyerahan kewenangan tersebut menghasilkan output pendidikan yang
relevan dan bermutu. Pada kenyataannya setelah otonomi daerah berjalan hampir dua
dekade, terdapat keragaman kualitas output pendidikan di Indonesia. Beberapa penyebab
utamanya adalah perbedaan alokasi biaya pendidikan dan kemampuan setiap daerah dalam
menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah. Kajian ini lebih memfokuskan pada
alokasi anggaran pendidikan dasar pada Kabupaten dan Kota dan pengaruhnya terhadap
angka partisipasi sekolah.
B) Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan diatas maka masalah masalah yang dihadapi dapat
dirumuskan, sebagai berikut :
1. Pembagian urusan pemerintahan pada sektor pendidikan dasar antar tingkat
Pemerintahan dan adanya amanat UU untuk mengalokasikan minimal 20% pada
APBD Pemerintah Daerah terutama APBD Kabupaten/Kota menimbulkan beban
anggaran yang berat bagi keuangan pemerintah daerah. Sehingga perlu kebijakan
yang lebih fleksibel agar daerah pemekaran baru diberi rentang waktu tertentu
misalnya : daerah tersebut sudah jauh lebih mampu dari sisi kemampuan
keuangannya.
2. Perlunya bagi Pemerintah Daerah untuk diberikan alokasi transfer DAK Fisik yang
lebih besar untuk membiayai aktivitas belajar siswa sekolah dasar di
Kabupaten/Kota. Pemberian alokasi yang lebih besar tersebut harus diikuti dengan
pengelolaan pengeluarannya yang lebih efisien sehingga dana yang di keluarkan
bisa dilihat bentuknya secara fisik bentuk sarana dan prasarana yang dibiayai.
3. Perlunya pendampingan dari Kementerian pusat dalam hal ini Kementerian
pendidikan dan kebudayaan dalam mengelola dan mengalokasikan dana
pendidikan dasar di daerah otonom yang mengalami kesulitan dalam mengelola
peruntukkan dana pendidikan dasar tersebut.
4. Pengalokasian dana pendidikan tidak tepat sasaran, pengalokasian bukan untuk
secara langsung ditujukan kepada peserta didik tetapi dialokasikan pada
pengadaan barang barang yang digunakan untuk pegawai Dinas pendidikan
misalnya: pengadaan lap top untuk pegawai Dinas Pendidikan Pemda
Kabupaten/Kota, sehingga tujuan untuk membiayai kebutuhan setiap peserta
didik menjadi terkendala.
5. Persentase besaran alokasi dana pendidikan dasar ini yang penggunaannya lebih
tertuju kepada belanja pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota berpengaruh
pada angka partisipasi sekolah di sekolah sekolah dasar disuatu Kabupaten/Kota.

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat diperoleh proporsi anggaran untuk belanja
pegawai di dinas pendidikan kabupaten/kota sampel sangat bervariasi yang mana alokasi
untuk belanja pegawai mencapai rata rata sekitar 70 %, besarnya dana pendidikan diluar
belanja pegawai akan dibahas pada seksi Pembahasan. Sebagaimana dikemukakan pada poin
d perumusan masalah diatas maka alokasi sektor pendidikan dasar jelas tidak berpihak
kepada kepentingan siswa secara langsung tetapi lebih untuk dimanfaatkan untuk belanja
pegawai Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten/Kota, untuk mengatasi hal seperti ini peran
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota perlu mengkritisi usulan RAPBD yang diajukan
oleh Pemerintah Daerah agar keberpihakan terhadap pembiayaan sektor pendidikan dasar
dapat dirasakan oleh rakyat.
Sesuai dengan judul policy brief ini, pengalokasian dana pendidikan dasar akan dikaitkan
dengan angka partisipasi sekolah pada siswa sekolah dasar pada Kabupaten/kota, besarnya
tingkat angka partisipasi sekolah tersebut akan dilihat apakah hal ini disebabkan karena
alokasi yang lebih kecil dibanding alokasi untuk belanja pegawai dan ataukah ada faktor
faktor lainnya yang menyebabkannya.
C) Faktor faktor pendorong terselenggaranya angka partisipasi sekolah
Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa penyerahan kewenangan yang besar kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di era otonomi
daerah salah satunya pada sektor pendidikan dasar menjadikan sektor ini pada awalnya tidak
sepenuhnya dianggap sebagai sektor yang penting oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat walaupun amanat undang undang telah
menetapkan minimal sebesar 20 %, dari 542 Kabupaten/Kota yang ada yang sudah mengikuti
ketentuan ini ada juga yang belum mengikuti, bagi Pemda Kabupaten/ Kota yang sudah
mengikuti ketentuan undang undang sebesar 20 % tapi dalam hal pengalokasiannya yang
belum tepat sasaran, karena porsi terbesar dari alokasi tersebut lebih tertuju untuk digunakan
bagi belanja pegawai Dinas Pendidikan, alokasi untuk terselenggaranya pendidikan dasar
tersebut hanya memperoleh porsi persentase yang lebih kecil. Hal ini bisa dilihat pada tabel
terdapat beberapa Kabupaten/Kota sampel. Terselenggaranya angka partisipasi sekolah
disuatu Kabupaten/Kota sangat tergantung kepada beberapa hal yaitu:
1) Perkembangan Anggaran Pendidikan di suatu Kabupaten/Kota
Di era otonomi daerah seperti saat ini tuntutan alokasi anggaran pendidikan yang
lebih besar menjadi suatu fenomena yang perlu menjadi perhatian perumus anggaran
atau pemerintah daerah setempat. Anggaran sektor pendidikan Kabupaten/Kota
(rasio anggaran sektor pendidikan per penduduk usia sekolah) sudah relatif besar dan
hal ini diharapkan akan mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah di daerah yang
bersangkutan.
Tinggi rendahnya rata rata anggaran pendidikan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh
pendapatan asli daerah (PAD) daerah yang bersangkutan, alokasi dana dekonstrasi
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi maupun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta jumlah anak usia sekolah di masing
masing kabupaten/kota.
2) Perkembangan Pendapatan Perkapita di Kabupaten/kota
Pendapatan rumah tangga (orang tua) akan menjadi salah satu penyebab naik
turunnya tingkat partisipasi sekolah di Kabupaten/Kota. Secara umum pendapatan
per kapita di daerah Kota lebih tinggi dari daerah Kabupaten dan hal ini berbanding
lurus dengan angka partisipasi sekolah, dimana angka partisipasi sekolah daerah Kota
lebih tinggi dari daerah Kabupaten. Tinggi rendahnya pendapatan keluarga erat
kaitannya dengan keberhasilan anak dalam belajar di sekolah. Keluarga yang mampu
dan berpenghasilan cukup, cenderung memberikan fasilitas yang memadai kepada
anaknya, dalam memenuhi kebutuhan pendidikannya. Sedangkan keluarga yang
miskin atau pendapatannya rendah cenderung kurang mampu memenuhi
perlengkapan belajar anak mereka (tempat belajar, peralatan belajar, uang sekolah)
dan pada gilirannya menimbulkan kekecewaan yang mendalam pada diri anak dan
menyebabkan motivasi belajar anak menjadi menurun.
3) Perkembangan Pendidikan Orang tua di Kabupaten/Kota
Pendidikan orang tua juga akan berbanding lurus dengan tingkat partisipasi sekolah
anak-anaknya, karena pada diri setiap anak terdapat suatu dorongan daya untuk
meniru, dengan dorongan ini anak dapat melakukan sesuatu yang telah dilakukan
orang tuanya. Masa ini juga merupakan masa sensitif bagi anak, sebab apa yang dilihat
dan apa yang didengarnya akan selalu ditiru tanpa mempertimbangkan baik dan
buruknya. Dalam hal ini sangat diharapkan kewaspadaan serta perhatian yang besar
dari orang tua, karena masa meniru ini secara tidak langsung turut membentuk watak
anak dikemudian hari. Dengan demikian faktor identifikasi dan meniru pada anak-
anak amat besar, sehingga mereka menjadi terbina, terdidik, dan belajar dari orang
tuanya langsung. Dalam lingkungan keluarga, pendidikan yang berlangsung
didalamnya adalah pendidikan informal, dengan orang tua sebagai pendidik. Orang
tua adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya, karena secara
kodrati ibu dan bapak diberikan anugrah oleh Allah berupa naluri orang tua. Kasih
sayang dan pengertian keluarga khususnya orang tua akan meninggalkan yang positif
dalam perkembangan jiwa anak.Untuk itu sudah sepantasnya orang tua menjadi
teladan yang baik bagi anak.

C). PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian diatas bahwa desentralisasi pendidikan dalam kerangka otonomi
daerah menuntut tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam mengatasi
permasalahan pendidikan, permasalahan dibidang pendidikan dari dulu hingga era otonomi
belum bergeser. Persoalan pendidikan didaerah masih sekitar sarana dan prasarana yang
tidak lengkap misalnya : ketersedian ruang belajar yang masih kurang, kursi dan meja belum
tersedia, jumlah dan mutu tenaga pengajar yang kurang dengan ketersebaran yang tidak
merata. Akibatnya kegiatan belajar mengajar yang mengarah pada upaya perbaikan hasil
belajar sulit terwujud.
Banyak pihak menilai pelayanan pendidikan diera otonomi daerah tidak menunjukkan
kemajuan yang berarti, bahkan cenderung memburuk. Permasalahan ini disebabkan
pengelolaan APBD (alokasi anggaran pendidikan) yang belum sepenuhnya mendukung
pelaksanaan desentralisasi pendidikan, sehingga menjadi kendala pencapaian sasaran
program yang telah ditetapkan, khususnya dalam meningkatkan pelayanan pendidikan dasar.
Sebagaimana diketahui di suatu negara bahwa Pendidikan merupakan salah satu hal utama
dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Saat ini, potret penyelenggaraan pendidikan
dasar di Indonesia saat ini sedang terpuruk, kalah jauh dibandingkan dengan negara tetangga
disekitar kita. Salah satu penyebabnya adalah belum signifikannya alokasi anggaran pada
sektor pendidikan. Alokasi belanja sosial yang lebih baik memang bukan satu satunya
masalah yang menghambat pada sektor pendidikan. Namun jika alokasi anggaran lebih
signifikan, tentu saja peningkatan partisipasi, akses, penyediaan dan perbaikan sarana-sarana
akan memiliki peluang lebih besar dalam memenuhi kewajiban negara pada penyelenggaraan
pendidikan kepada masyarakat. Pendidikan di Indonesia menghadapi dilemma terbatasnya
anggaran di satu pihak dan tuntutan peningkatan mutu di lain pihak. Anggaran memang
penting, tetapi yang lebih diperlukan adalah adanya kesepakatan nasional tentang kebijakan
pembangunan pendidikan yang didukung oleh kebersamaan tekad untuk melaksanakannya.
Oleh karenanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah mempraktekkan keterbukaan
dan upaya pengefisienan penggunaan anggaran yang tersedia. Pemerrintah pusat dan daerah
harus berupaya mencegah kebocoran anggaran. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat
juga harus bertanggungjawab dalam menghindari terjadinya kesenjangan yang mencolok
antar daerah, baik dalam proses maupun kinerja sektor pendidikan, Disamping itu semua,
dialog terbuka dan berkesinambungan dengan masyarakat harus terus dijalin, sehingga
dengan dibukanya dialog dengan masyarakat ini dapat diketahui kekurangan yang terjadi
dalam penyelenggaraan pendidikan dasar di daerah dan pemerintah dapat segera
mengantisipasi langkah langkah tindak lanjut perbaikannya. Hal yang sangat krusial saat ini
adalah rendahnya kualitas lulusan peserta didik diluar Jawa dibandingkan dengan lulusan
peserta didik di Pulau Jawa, Pemerintah sudah berupaya memfasilitasi dengan melakukan
sertifikasi guru dan memberikan tunjangan kepada guru yang sudah disertifikasi namun
standar kelulusan peserta didik diluar pulau Jawa belum terlihat adanya perbaikan terutama
di wilayah Indonesia TImur. Satu hal yang juga penting hendaknya alokasi yang dianggarkan
untuk terselenggaranya pendidikan dasar haruslah tidak digunakan untuk belanja rutin
pegawai, pemerintah harus membuat kebijakan anggaran penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik terpisah dengan anggaran rutin pegawai Dinas Pendidikan sehingga tujuan
untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah dapat tercapai. Hal tersebut dapat terlaksana
jika antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah punya kemauan untuk saling bersinergi
untuk mengatasi permasalahan rendahnya angka partisipasi sekolah di daerah. Kalau dilihat
dari sisi Pemerintah pusat sebenarnya sudah cukup banyak sumber sumber pendanaan yang
ditransfer kedaerah dalam rangka desentralisasi Pendidikan seperti : DAK Pendidikan, Dana
Dekon/TP, Tunjangan Profesi Guru, dana BOS, Nampaknya implementasi di daerah masih
terkendala adanya kepentingan yang belum sejalan dengan keinginan Pemerintah pusat, jadi
hal inilah harus dituntaskan agar angka partisipasi sekolah meningkat. Upaya untuk
meningkatkan angka partisipasi sekolah diseluruh Kabupaten/Kota di negara kita sangat
tergantung kepada :
1. Tersedianya alokasi anggaran yang memadai dan mencukupi untuk mendukung
terselenggaranya partisipasi sekolah bagi peserta didik yang telah memasuki usia
sekolah.
2. Tersedianya tenaga pendidik yang berkualitas dan telah tersertifikasi untuk
menghasilkan angka partisipasi sekolah yang juga memiliki standar kualitas yang baik.
3. Tersedianya prasarana sekolah yang memadai antara lain : ruang kelas, meja dan
kursi, perpustakaan dan lain lain.
Untuk membiayai ketiga hal diatas Pemerintah Kabupaten/Kota harus fokus
mengalokasikan anggaran yang terpisah dari belanja rutin pegawai Dinas Pendidikan.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas dan sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang
berusia 7 - 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan
bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan
dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat. Sebagai konsekuensi, Pemerintah Pusat dan Daerah wajib memberikan
layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan
SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat. Dengan demikian seharusnya tidak
ada lagi permasalahan yang menghambat program pendidikan dasar atau angka
partisipasi sekolah karena pemerintah telah menyediakan sumber pembiayaan dan
disalurkan oleh Pemerintah ke Pemerintah Daerah dalam bentuk dana BOS (Biaya
Operasional Sekolah) yaitu program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk
penyediaan pendanaan biaya operasi bagi satuan pendidikan dasar sebagai
pelaksanaan program wajib belajar. Namun demikian, ada beberapa jenis pembiayaan
investasi dan personalia yang diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS. Dana BOS
ditujukan terutama untuk stimulus bagi daerah, dan bukan sebagai pengganti dari
kewajiban daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan dalam Anggaran
Pendapatan Dan belanja Daerah (APBD) baik untuk BOS Daerah dan atau Bantuan
Operasional Pendidikan. Pada dasarnya bentuk belanja Pemerintah pusat untuk
Pendidikan dapat dikategorikan sebagai Dana Dekonstrasi yang dialokasikan untuk
Kementerian Pendidikan Nasional sebagai tugas Pemerintah Pusat di daerah
jumlahnya cukup substansial tapi dari tahun ke tahun terus menurun, yang mana
alokasi dana Dekonstrasi ini kedepannya secara bertahap akan dialihkan ke DAK (Dana
Alokasi Khusus) bidang Pendidikan Nasional. Selama beberapa tahun ini Pemerintah
kabupaten/kota telah menerima dana alokasi khusus pendidikan untuk mendukung
“Program Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun”, khususnya di daerah miskin dan di
daerah yang terkena bencana alam, menurut panduan Kementerian Depdiknas,
anggaran DAK digunakan untuk mendanai kegiatan :
 Rehabilitasi gedung sekolah (rehabilitasi gedung, konstruksi dan perbaikan
kamar mandi, pengadaan perabotan kelas, rak buku, dan perbaikan rumah
penjaga, guru dan kepala sekolah).
 Pengadaan fasilitas dan perpustakaan pendidikan (alat bantu visual, buku
pelajaran khusus, buku acuan dan fasilitas multimedia).
Sumber pembiayaan yang berasal dari Pemerintah pusat sebenarnya sudah teralokasi sesuai
peruntukannya dalam upaya untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, namun demikian
di era otonomi daerah ini kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dasar sudah menjadi
kewenangan Pemerintah daerah dan dalam implementasinya masih banyak ditemui di
Kabupaten/Kota terdapat angka partisipasi sekolah yang rendah terutama di wilayah timur
dan daerah terpencil. Untuk mengatasi hal ini perlu sinergi yang baik antara Pemerintah pusat
dan Pemerintah daerah agar rendahnya angka partisipasi sekolah dapat teratasi. Peran
masyarakat juga sangat penting guna menginformasikan kepada Pemerintah pusat dan
daerah bahwa telah terjadi kendala dalam pelaksanaan upaya upaya meningkatkan angka
partisipasi sekolah misalnya : terbatasnya penghasilan orang tua murid, ruang kelas yang tidak
memadai, kekurangan tenaga pengajar/guru yang bertugas didaerah terpencil dan
sebagainya.
Dari uraian diatas dapat diketahui bagaimana pandangan dan perilaku Birokrat Pemerintah
daerah dalam pelaksanaan tingkat partisipasi sekolah di wilayahnya yaitu :
1. Dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi pendidikan Pemda cenderung berupaya
untuk meningkatkan PAD sebanyak banyaknya. Kantor kantor dinas pelayanan publik
didorong untuk menjadi sumber penerimaan PAD termasuk kantor Dinas Pendidikan
di Kabupaten/Kota ditugaskan untuk menghimpun penerimaan iuran sekolah dari
orang tua murid, yang mana para birokrat di Dinas Pendidikan Pemda sering
menganggap sektor pendidikan adalah sebagai “revenue center”, sehingga tidak
searah dengan upaya upaya yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Pusat diatas.
Padahal pendidikan merupakan investasi “human capital” dalam jangka panjang.
2. Adanya anggapan dan kengganan unit Pemerintahan untuk menyerahkan
kewenangan sepenuhnya kepada Pemerintah daerah karena menurut mereka apabila
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah berarti kehilangan kekuasaan dan
kegiatan proyek sektor pendidikan di daerah, juga mereka menganggap sumber daya
manusia di Pemda belum memiliki kompetensi untuk melaksanakan wewenang
tertentu misalnya untuk merancang kurikulum pendidikan dasar di daerah.
3. Proses dan keputusan pengalokasian anggaran sektor pendidikan belum berpihak
pada upaya peningkatan pelayanan publik yang utama, anggaran sektor pendidikan
dari tahun ketahun yang dikucurkan pemerintah terus mengalami peningkatan.
Namun nampaknya peningkatan dana dari APBD belum cukup untuk
mengkompensasi dana yang sebelumnya mengalir kesektor pendidikan melalui
anggaran sektoral. Sebagai contoh, sebelum otonomi daerah dana operasional yang
berasal dari Kanwil Pendidikan setempat untuk sebuah SLTP Terbuka yang dikelola
oleh salah satu SLTP di Kabupaten OKU Sumatera Selatan sebesar Rp. 1 juta perbulan.
Setelah otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten mengalokasikan Rp. 1 juta
pertriwulan, Dari contoh tersebut, terlihat alokasi bidang pendidikan merosot tajam,
baik nilai mutlaknya maupun prosentasenya, sebaliknya anggaran untuk DPRD
meningkat pesat. Contoh tersebut mengindikasikan bahwa dengan otonomi daerah
kabupaten/kota merasa bebas menentukan kebijakannya sendiri, yang dalam
beberapa hal dinilai masyarakat bersifat kontra produktif. Oleh karena itu, muncul
pendapat bahwa sektor pendidikan seharusnya tidak termasuk urusan yang
diotonomikan. Kalaupun sektor pendidikan harus diotonomikan, maka
pelaksanaannya perlu dilakukan secara bertahap
Bahasan diatas, menunjukkan bahwa Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan
telah berupaya untuk terus memberikan alokasi anggaran yang semakin besar dan
semakin meningkat guna meningkatkan angka partisipasi sekolah di wilayah
Kabupaten/Kota, namun demikian dalam pelaksanaannya terkendala pada birokrasi
Pemda Kabupaten/Kota sebagai unit pemerintahan yang berwenang mengurus
penyelenggaraan program wajib belajar 9 tahun belum sepenuhnya menyadari bahwa
terselanggaranya wajib belajar dan meningkatnya angka partisipasi sekolah merupakan
tugas dan kewenangan yang tidak dapat diabaikan dan diserahkan kembali kepada
Pemerintah pusat. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sektor pendidikan dasar
kewenangannya sudah diserahkan kepada Pemda Kabupaten/Kota, sementara
Pemerintah pusat hanya membantu dari sisi pendanaan secara nasional guna mendukung
Dterlaksananya program wajib belajar 9 tahun dan peningkatan angka partisipasi sekolah
D). Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan diatas, terdapat beberapa hal yang dapat penulis
rekomendasikan untuk perbaikan proses alokasi anggaran pendidikan guna meningkatkan
angka partisipasi sekolah dan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di Kabupaten/Kota :
1. Perlu peningkatan alokasi anggaran sektor pendidikan terutama bagi daerah daerah yang
belum mencapai minimal 20 persen diluar belanja pegawai (gaji, honor dan sebagainya) dan
efektifitas penggunaannya supaya anggaran tersebut tepat sasaran.
2. Perlu sosialisasi yang intensif dan berkesinambungan terhadap rumah tangga rumah tangga
yang pendapatan perkapitanya rendah (miskin) dan tingkat pendidikan orang tuanya yang
rendah, bahwa betapa pentingnya pendidikan bagi anak anak mereka.
3. Sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus selalu ditingkatkan dalam hal
pembiayaan wajib belajar 9 tahun dan meningkatkan angka partisipasi sekolah jadi bukan
lagi saling lempar tanggungjawab, wajib belajar Sembilan tahun dan peningkatan angka
partisipasi sekolah memang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, namun apabila
dari sisi APBD Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan hendaknya Pemerintah Pusat
memberikan tambahan subsidi atas kekurangan tersebut.
4. Untuk memberikan peningkatan alokasi dana pendidikan dasar, maka perlu pendataan dan
pemetaan yang lebih komprehensif yang bersifat individual tentang anak usia sekolah yang
tidak bersekolah atau tidak melanjutkan sekolah, sebagai bahan kebijakan penegmbangan
pendidikan dan kebijakan pengalokasian anggaran tambahan guna pemberian beasiswa agar
anak dapat melanjutkan pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai