Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN

PERKAPITA TERHADAP ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH DI KAB.


DOMPU TAHUN 2016-2020

Nurul Faizah

Nim : A1A018109

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MATARAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini dengan
judul “ANALISIS ALOKASI ANGGARAN PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN
PERKAPITA TERHADAP ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH DIKAB.DOMPU TAHUN
2016-2020”

Terwujudnya proposal skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepadasemua pihak yang telah membantu dalam pembuatan proposal skripsi ini.

Semoga segala bantuan yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan di sisi Allah SWT
sebagai amal ibadah, Amin.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-
perbaikan kedepan. Amin yaa Rabbal ‘ Alamiin

Mataram, 14 September 2021

Penulis

NURUL FAIZAH
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Otonomi daerah di indonesia telah disempurnakan melalui satu paket Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Dengkan dikeluarkannya satu paket Undang-Undang Daerah tersebut, dituntut pula
kesiagapan maupun kesiapan pemerintah daerah dalam menanggapi kebijakan desentralisasi.

Desentralisasi pendidikan merupakan suatu kerangka kewenangan kebijakan pengelolaan


pendidikan yang menggeser paradigma sentralisasi semasa pemerintahan orde baru. Konsep
desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang dilimpahkan. Dari suatu
tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen berikutnya yang berada di dalamnya, atau
tetap ditahan pada tingkat puncak (sentralisasi).

Dengan demikian desentralisasi pendidikan mengacu pada pemberian kewenangan


kebijakan dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Tujuan
diberlakukannya desentralisasi adalah terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan.
Adanya pengembangan keberagaman potensi peserta didik dan lingkungannya dalam konteks
kurikulum diversifiksi yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, meningkatnya `
partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, serta sistem penyelenggaraan
pendidikan yg lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu desentralisasi merupakan program
peningkatan tanggung jawab yang lebih besar untuk pemerintahan tingkat provinsi dan
kabupaten dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Implementasi Undang-Undang Nomor 32 serta Nomor 33 Tahun 2004 telah menciptakan


sebuah paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada
kepentingan publik. Paradigma baru tersebut menurut lebih besarnya akuntabilitas dan
transparansi dari pengelolaan anggaran serta larangan bagi daerah untuk membuat peraturan
daerah (PERDA) tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Munculnya
beberapa Perda tentang pendapatan ini merupakan respon pertama pemerintah kota/kabupaten
dalam upaya untuk meningkatkan PAD, padahal di sisi lain Perda-Perda baru tentang
pendapatan ini akan memunculkan permasalahan baru berkaitan dengan ekonomi biaya
tinggi.
Konsekuensi diberlakukannya desentralisasi pendidikan di kabupaten dompu yaitu
terjadinya peran pendidikan yang berkiblat pada inovasi pemerintah daerah (termasuk
kabupaten/kota) serta partisipasi masyarakat. Pemerintah daerah kabupaten/kota dompu
dituntut kreasinya untuk mewujudkan kualitas pendidikan .

Dikabupaten/kota dompu, kesempatan memperoleh pendidikan masih belum merata


terutama pada jenjang pendidikan menengah (SLTP dan SLTA). Dengan kata lain masih
banyak penduduk yang termarginalkan oleh sistem pendidikan khususnya pendidikan formal.
sisi lain yang dihadapi adalah belum kongruennya hasil pendidikan formal. Pembangunan
dibidang pendidikan masih banyak mengalami hambatan, yang membuat lulusannya kurang
memadai dan banyak yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Disini konsep desentralisasi pendidikan, terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan
desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep
desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar
pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yg lebih


luas dibidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke
pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan
pada tingkat sekolah.

Dilihat dari sisi anggaran, sektor pendidikan merupakan sektor publik yang menjadi
prioritas pada pembangunan, hal ini terlihat dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap sektor
pendidikan. Besarnya alokasi anggaran sektor pendidikan pada Anggaran Pendapatan
Belanjan Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tersebut
harusnya diiringi oleh peningkatan angka partisipasi sekolah (APS) terutama pada tingkat
pendidikan menengah di Kabupaten Dompu. Dimana tingkat tingkat (angka) partisipasi
sekolah merupakan salah satu indikator untuk melihat gambaran secara umum penduduk usia
sekolah yang bersekolah pada jenjang pendidikan tertentu.

Kabupaten Dompu sebagai bagian dari Propinsi NTB, diberikan wewenang oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri.
Kemudian pelayanan terhadap masyarakat dapat dilaksanakan dengan optimal termasuk
pelayanan dasar masyarakat disektor pendidikan. Namun dunia pendidikan menghadapi
berbagai tantangan dalam mengahadapi perubahan yaitu adanya tuntutan masyarakat untuk
memperoleh kesempatan pendidikan adapun kebijakan pemerintah daerah yang dilakukan
dengan prioritas anggaran pendidikan melalui program perluasan dan pemerataan akses
pendidikan yan dituangkan dalam rencana pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun
2016-2020 (RPJMD Kab.Dompu 2016-2020).

Mengingat hal tersebut, dalam rangka meletakkan dasar yang kuat untuk pelaksanaan dan
pengaturan APBD khususnya terkait dengan belanja pendidikan pada masa yang akan datang,
maka sejak dini perlu dilakukan analisis terhadap sumber-sumber pembiayaan dan berbagai
analisis penting lainnya terkait dengan APBD. Oleh karena itu, diharapkan Kabupaten
Dompu dapat menggunakan dana dengan efektif dan efisien untuk peningkatan pelayanan
pada masyarakat dengan disertai pertanggung jawaban atas penggunaan dana tersebut.

Berdasarkan data BPS Prov.Nusa Tenggara Barat tahun 2014 diketahui bahwa penduduk
usia 10 tahun keatas Provinsi NTB rata-rata hanya mengenyam pendidikan tamatan sekolah
dasar (SD) yaitu sebesar 28,12%. Berdasarkan data dari pusat data dan statistik pendidikan
dan kebudayaan (PDSPK) kementrian pendidikan dan kebudayaan, pada tahun ajaran
2014/2015 angka partisipasi kasar (APK) PAUD sederajat 66,12% APK SD/MI/ sederajat
109,78% APK SMP/Mts/sederajat 107,18% dan APK SM 91,52%. Berdasarkan data BPS,
pada tahun 2014 Angka Partisipasi Sekolah (APS) 7-12 tahun mencapai 99,11%, APS 13-15
mencapai 97,27% dan APS 16-18 tahun baru mencapai 75,68%. Yang berarti masih banyak
anak-anak usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah. Hal ini juga menunjukkan adanya
kecenderungan masyarakat hanya mengenyam pendidikan dasar sampai tingkat sekolah
menengah pertama.

Masih relatif rendahnya tingkat partisipasi sekolah di Kabupaten Dompu tentunya disebabkan
oleh banyak faktor. Dari banyak faktor penyebab rendahnya tingkat partisipasi sekolah di
Kabupaten Dompu, maka faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat
partisipasi sekolah di Kabupaten Dompu adalaha anggaran sektor pendidikan, pendapatan
perkapita. Hal ini konsisten dengan hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi
(2004) menemukan bahwa rasio pengeluaran pemerintah untuk bidang pendidikan (alokasi
anggaran sektor pendidikan) dan pendapatan perkapita.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang peneliti ajukan
adalah sebagai berikut :
1. Apakah proporsi anggaran pendidikan di Kabupaten Dompu tahun 2016-2020 sudah
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional ?
2. Bagaimana pengaruh anggaran sektor pendidikan terhadap angka partisipasi sekolah
(APS) ?
3. Bagaimana pengaruh pendapatan perkapita terhadap angka partisipasi sekolah (APS)
4. Bagaimana dampak anggaran pendidikan terhadap angka partisipasi sekolah di
Kabupaten Dompu tahun 2016-2020?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah proporsi anggaran
pendidikan di Kabupaten Dompu tahun 2016-2020 sudah sesuai dengan amanat
Undang-Undang No 20 tahun 2003 sisdiknas
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh anggaran sektor pendidikan
terhadap angka partisipasi sekolah
3. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita terhadap angka partisipasi
sekolah
4. Untuk mengetahui dampak anggaran pendidikan terhadap angka partisipasi
sekolah di Kabupaten Dompu tahun 2016-2020

1.3.2 Manfaat Penelitian


1. Secara akademik penelitian ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mencapai kebulatan studi program strata satu (S1) di Fakultas Ekonomi
Universitas Mataram
2. Secara teoritis dapat dijadikan sebagai referensi dan pertimbangan sekaligus dapat
memberikan yang berarti bagi para peneliti lainnya yg berminat untuk meneliti
permasalahan yang sama
3. Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan tambahan
referensi bagi pemerintah di Kabupaten Dompu dalam memutuskan kebijakan di
masa yang akan datang

1.4 Perumusan Hipotesis


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Hasil studi Alisyahbana (2003) tentang Analisis Alokasi Anggaran Pendidikan di era
ekonomi daerah di kabupaten Bandung, Sumedang, Pandeglang dan Semarang memperoleh
hasil yaitu sebagian besar APBD di 4 kabupetan sampel penelitian tahun 2002 di alokasikan
untuk sektor pendidikan, besarnya sekitar 40-50 persen dari total belanja APBD. Dan
sebagian dari alokasi tersebut antara 70-92 persen di gunakan untuk belanja pegawai. Dengan
demikian, maka mandat pasal 49 UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
yang menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji dan biaya kedinasan di alokasikan
minimal 20 persen dari APBN dan APBD bagi sebagian besar daerah nampaknya sulit untuk
dapat di penuhi dalam waktu dekat.

Toyamah dan Usman (2002) tentang Alokasi Anggaran Pendidikan di era otonomi
daerah dan implikasinya terhadap terhadap pelayanan pendidikan dasar di 6 kabupaten yaitu
Pekan Baru, Cilegon, Bandung, Lombok Barat, Bandar Lampung dan Pasuruan memperoleh
hasil bahwa proporsi anggaran pembangunan sektor pendidikan Realisasi 2001 dan rencana
2002 rata-rata sekitar 8 persen dari total anggaran pembangunan atau sekitar 2 persen dari
total APBD. Proporsi anggaran ini menurun jika dibandingkan tahun 1999/2000 yang
masing-masing mencapai sekitar 11-3 persen. Pada tahun 2001 dan 2002 angaran yang di
kelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kota mencapai lebih dari 30 persen dari
total APBD. Dan merupakan penerima anggaran terbesar dibandingkan yang diterima dan
dinas lainnya.

Proporsi Anggaran belanja pegawai mencapai 40 persen dari total anggaran rutin
APBD atau sekitar 90 persen dari total anggaran dinas tersebut. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar pegawai daerah adalah guru. Hanya kota pasuruan dan Cilegon yang telah
mengalokasikan dana pendidikan di luar belanja pegawai lebih dari 20 persen dari APBDnya.

Istijoso dan Wibowo (2002) tentang analisis Kebijakan Fiskal pada Era otonomi
Daerah (Studi Kasus:Sektor Pendidikan Di Kota Surakarta), diperoleh hasil bahwa porsi
alokasi dana APBD untuk belanja rutin dan pembangunan sebelum otonomi daerah dan pada
saat pelaksanan otoda terjadi perubahan yang mendasar. Pada saat pelaksanaan otonomi
daerah porsi belanja pembangunan tersedot untuk kebutuhan belanja rutin. Tahun anggaran
1999/2000 belanja rutin dialokasikan 59,48 persen dari total APBD, pada tahun anggaran
2001 meningkat sebesar 16,98 persen menjadi 76,46 persen. Belanja pembangunan yang pada
tahun anggaran 1999/2000 dialokasikan sebesar 40,52 persen dri total APBD, pada tahun
anggaran 2001 hanya dialokasikan sebesar 23,54 persen.

Pegeseran porsi belanja pembangunan ke belanja rutin tersebut diakibatkan oleh


adanya pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan Dokumen (P3D) dari instansi vertikal
kepada pemerintah daerah, sehingga pengeluaran rutin untuk belanja pegawai dan belanja non
pegawai menjadi membengkak. Hal ini membawa dampak bergesernya Alokasi Anggaran
pembangunan tidak terkecuali Anggaran di sektor Pendidikan untuk memenuhi kebutuhan
belanja rutin.

2..2 Kajian Teoretis

2.2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daaerah (APBD) merupakan instrumen yang akan
menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan
pendapatan maupun Belanja Daerah (BD), untuk menjamin agar APBD dapat disusun dan
dilaksanakan dengan baik dan benar, maka di atur landasan administratif dalam pengelolaan
anggaran daerah yang mengatur antara lain prosedur dan teknis penganggaran yang harus
diikuti secara tertib dan taat asas (Darise, 2006:141).

Anda mungkin juga menyukai