Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 2

NAMA : DITA ANANDA PUTRI


NIM : 856818212
MATKUL : MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

1. STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)


Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Provinsi sebagai
daerah otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan pemerintah pusat untuk
menetapkan kebijakan tentang perencanaan nasional yang menjadi pedoman atau
acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi, kabupaten/ kota sebagai daerah
otonom. Dalam rangka standardisasi itulah, maka Mendiknas menerbitkan Kepmen
No. 053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang pedoman Penyusunan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Isi SPM tersebut adalah Pedoman SPM Penyelenggaraan TK, SD, SMP. SMA, SMK,
dan SLB sebagai berikut.(1). Dasar hukum (2). Tujuan penyelenggaraan sekolah (3).
Standar kompetensi (4). Kurikulum (5). Peserta didik (6). Ketenagaan (7). Sarana dan
prasarana (8). Organisasi (9). Pembiayaan (10). Manajemen (11). Peran serta
masyarakat

Pedoman administrasi Sekolah Menengah Pertama berisikan.


1. Pendahuluan (latar belakang, tujuan, pendekatan, dan ruang lingkup).
2. Organisasi sekolah (struktur, fungsi dan tugas, mekanisme hubungan kerja, dan alur
kerja).
3. Penyelenggaraan administrasi sekolah (pengertian, tujuan, dan ruang lingkup).
4. Komponen administrasi (kurikulum, kesiswaan, tenaga kependidikan, sarana,
persuratan dan kearsipan, dan peran serta masyarakat.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 129a/U/2004


Tentang Standar Pelayanan Minimal ( SPM ) bidang Pendidikan,

(1) SPM Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah


(MTs) terdiri atas : (a). 90 persen anak dalam kelompok usia 13-15 tahun bersekolah
di SMP/MTs. ( b). Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah
siswa yang ber-sekolah. ( c). 90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana
minimal sesuai dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional. (d). 80 persen
sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas
administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya. (e). 90 persen dari jumlah guru SMP
yang diperlukan ter-penuhi.(f). 90 persen guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai
dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional. ( g). 100 persen siswa memiliki
buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran. (h). Jumlah siswa SMP/MTs per
kelas antara 30– 40 siswa. (i). 90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu
pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS di kelas I dan II. (j). 70
persen dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)/
Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar


Kemdiknas terbitkan Permendiknas nomor 15 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal atau SPM pendidikan dasar.
Kemdiknas telah menerbitkan regulasi baru yakni Permendiknas nomor 15 tahun
2010 tentang Standar Pelayanan Minimal atau SPM pendidikan dasar. Oleh karen itu
Direktorat Mandikdasmen mengadakan sosialisasi Standar pelayanan Minimal
Pendidikan Dasar di Jakarta. SPM Pendidikan Dasar ini bertujuan untuk peningkatan
dan pemerataan mutu pendidikan SD/MI dan SMP/ MTs.
SPM pendidikan dasar dapat diartikan sebagai ketentuan tentang jumlah dan mutu
layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk SD
dan SMP dan Kandepaguntuk MI dan MTs secara langsung maupun secara tidak
langsung melalui sekolah dan madrasah.
SPM diharapkan mampu mempersempit kesenjangan mutu pendidikan yang
kedepannya juga diharapkan berimplikasi pada mengecilnya kesenjangan sosial
ekonomi.
SPM mulai diberlakukan tahun 2011 dengan tahapan rehabilitasi sarana dan prasarana
sekolah pelatihan guru dan tenaga pendidik. Maka diharapkan dalam waktu tiga tahun
atau pada tahun 2013 seluruh SD/MI dan SMP/MTs sudah melaksanakan SPM.
Standar pelayanan minimal pendidikan dasar selanjutnya disebut SPM Pendidikan
Dasar adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan
formal yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Pendidikan merupakan ketentuan tentang jumlah dan mutu layanan
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Kantor Wilayah
Kementerian Agama, dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota secara
langsung maupun secara tidak langsung melalui sekolah dan madrasah. Penerapan
SPM dimaksudkan untuk memastikan bahwa di setiap sekolah dan madrasah
terpenuhi kondisi minimum yang dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya
proses pembelajaran yang memadai.
SPM Pendidikan meliputi layanan-layanan :
* yang merupakan tanggung-jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota yang
menjadi tugas pokok dan fungsi dinas pendidikan untuk sekolah atau kantor
departemen agama untuk madrasah (misalnya: penyediaan ruang kelas dan
penyediaan guru yang memenuhi persyaratan kualifikasi maupun kompetensi);
*yang merupakan tanggung-jawab tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota c/q
Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama - karena layanan diberikan oleh
pihak sekolah dan madrasah, para guru dan tenaga kependidikan, dengan dukungan
yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama
(contoh: persiapan rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar siswa terjadi di
sekolah, dilaksanakan oleh guru tetapi diawasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota).
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai tanggungjawab
Pemerintah Kabupaten/Kota c/q oleh Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian
Agama dalam menyelenggarakan layanan pendidikan.
SPM Pendidikan menyatakan secara tegas dan rinci berbagai hal yang harus
disediakan dan dilakukan oleh dinas pendidikan, sekolah/madrasah untuk memastikan
bahwa pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
SPM menyatakan dengan jelas dan tegas kepada warga masyarakat tentang tingkat
layanan pendidikan yang dapat mereka peroleh dari sekolah/ madrasah di daerah
mereka masing-masing.
SPM tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan tahapan menuju pencapaian Standar
Nasional Pendidikan (SNP).
Dengan ditetapkannya SPM Bidang Pendidikan Dasar maka setiap daerah perlu
menyusun perencanaan program/kegiatan untuk mencapai SPM. Untuk mengukur
sejauh mana kinerja dinas pendidikan telah mencapai SPM atau belum maka dinas
pendidikan perlu melakukan pemetaan terhadap kinerja layanan dinas
pendidikan/depag serta sekolah-sekolah (SD/MI dan SMP/MTs). Dari pemetaan
tersebut diketahui kinerja mana yang belum mencapai SPM dan kinerja mana yang
sudah mencapai SPM.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dinas pendidikan perlu menganalisis
pencapaian masing-masing indikator yang tercantum dalam standar pelayanan
minimum (SPM) bidang pendidikan. Hasil analisis kondisi pencapaian SPM
digunakan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan, program, kegiatan
dan juga pembiayaan ketika menyusun dokumen rencana strategis pencapaian SPM.
Dengan demikian dalam mengembangkan rencana peningkatan mutu pendidikan
setiap kabupaten/kota perlu memperhatikan kondisi pencapaian SPM di daerah
masing-masing. Setiap tahun program pencapaian SPM perlu dilaksanakan sampai
SPM benar-benar tercapai. Pelaksanaan dan capaian program juga di monitor dan
dievaluasi sehingga diketahui indikator apa saja yang belum dicapai, dan berapa
perkiraan biaya yang diperlukan untuk mencapai SPM. Sehingga diharapkan semua
kabupaten/kota telah mencapai SPM pada tahun 2014

2. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah


yang efektif dan produktif. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang
memberikan luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka
kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola
sumber daya atau sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas
kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat
dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu dan mengontrol pengelolaan
pendidikan. Dalam pada itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah
harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri
menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat
maupun pemerintah.16 MBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) yang lebih besar kepada
sekolah, memberikan fleksibilitas/ keluwesan lebih besar kepada sekolah, mendorong
partisipasi secara langsung dari warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha),
dan meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.17 Kemajuan lembaga pendidikan
sangat berpotensi bila mempunyai merencanaan yang bersifat: (1) makro, yaitu
perencanaan yang mempunyai ruang lingkup nasional. Perencanaan makro berusaha
menetapkan tujuan yang ingin dicapai, kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan
cara-cara mencapai tujuan itu pada tingkat nasional. Menurut Myers dan Stonehill
sebagaimana dikutip oleh Hadiyanto dalam bukunya yang berjudul: Mencari sosok
Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia, Manajemen berbasis sekolah
merupakan suatu strategi untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui pengalihan
otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke daerah dan ke masing-
masing sekolah, sehingga kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua peserta
didik mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap proses pendidikan, dan juga
mempunyai tanggung jawab untuk mengambil keputusan yang menyangkut
pembiayaan, personal dan kurikulum sekolah.18 Perwujudan pendidikan yang efektif
dan efisien, hendaklah mewujudkan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai wujud dari
reformasi pendidikan, sehingga kepala sekolah, guru, peserta didik dan orangtua
peserta didik mempunyai andil yang sangat penting untuk mengawasi jalannya proses
belajar mengajar pada lembaga pendidikan. Dengan demikian, akan terjadi sistem
yang positif secara sentralisasi dan desentralisasi. Manajemen berbasis sekolah (MBS)
adalah bentuk manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada
sekolah dalam mengambil keputusan yang partisipatif yang melibatkan secara
langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah. Penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berdasarkan kajian pelaksanaan di negara-
negara yang sudah maju, maupun yang tersurat dan tersirat dalam kebijakan
pemerintah dan UU sisdiknas NO. 20 Tahun 2003, tentang Pendidikan Berbasis
Masyarakat pasal 55 ayat 1: Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan
berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan
agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Berkaitan
dengan pasal tersebut setidaknya ada empat aspek yaitu: kualitas (mutu) dan
relevansi, keadilan, efektifitas dan efisiensi, serta akuntabilitas. Kebijakan MBS
bertujuan mencapai mutu quality dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya,
dengan tolok ukur penilaian pada hasil output dan outcome bukan pada metodologi
atau prosesnya. Antara mutu dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu
kesatuan substansi, pendidikan yang bermutu adalah yang relevan dengan berbagai
kebutuhan dan konteksnya. Teori yang digunakan MBS untuk mengelola sekolah
didasarkan pada empat prinsip, yaitu Prinsip Ekuifinalitas, Prinsip Desentralisasi,
Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri, dan Prinsip Inisiatif Sumber Daya Manusia. 1.
Prinsip Ekuifinalitas (Principle of Equifinality) 2. Prinsip Desentralisasi (Principle of
Decentralization) 3. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri 4. Prinsip Inisiatif Manusia
(Principle of Human Initiative)
3. peranan kepala sekolah sebagai pemimpin, sebagai berikut :
1) Sebagai pelaksana (executive)
Seorang pemimpin tidak boleh memaksakan kehendak sendiri terhadap kelompoknya.
Ia harus berusaha memenuhi kehendak dan kebutuhan kelompoknya, juga program
atau rencana yang telah ditetapkan bersama
2) Sebagai perencana (planner)
Sebagai kepala sekolah yang baik harus pandai membuat dan menyusun perencanaan,
sehingga segala sesuatu yang akan diperbuatnya bukan secara sembarangan saja,
tatapi segala tindakan diperhitungkan dan bertujuan.
3) Sebagai seorang ahli (expert)
Ia haruslah mempunyai keahlian terutama yang berhubungan dengan tugas jabatan
kepemimpinan yang dipegangnya.
4) Mengawasi hubungan antara anggota-anggota kelompok (contoller of internal
relationship)
Menjaga jangan sampai terjadi perselisihan dan berusaha mambangun hubungan yang
harmonis.5) Mewakili kelompok (group representative)
Ia harus menyadari, bahwa baik buruk tindakannya di luar kelompoknya
mencerminkan baik buruk kelompok yang dipimpinnya.
6) Bertindak sebagai pemberi ganjaran / pujian dan hukuman.
Ia harus membesarkan hati anggota-anggota yang bekerja dan banyak sumbangan
terhadap kelompoknya.
7) Bertindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and modiator)
Dalam menyelesaikan perselisihan atau menerima pengaduan antara anggota-
anggotanya ia harus dapat bertindak tegas, tidak pilih kasih atau mementingkan salah
satu anggotanya.
8) Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya
Ia haruslah bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan anggota-anggotanya
yang dilakukan atas nama kelompoknya.
9) Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (idiologist)
Seorang pemimpin hendaknya mempunyai kosepsi yang baik dan realistis, sehingga
dalam menjalankan kepemimpinannya mempunyai garis yang tegas menuju kearah
yang dicita-citakan.
10) Bertindak sebagai ayah (father figure)
Tindakan pemimpin terhadap anak buah/kelompoknya hendaknya mencerminkan
tindakan seorang ayah terhadap anak buahnya.

Kepala sekolah memiliki peran sebagai pemimpin di sekolahnya dan bertanggung jawab
dan memimpin proses pendidikan di sekolahnya, yang berkaitan dengan peningkatan mutu
sumber daya manusia, peningkaan profesionalisme guru, karyawan dan semua yang
berhubungan dengan sekolah dibawah naungan kepala sekolah. Jika kepala sekolah tidak
bisa menajalankan perannya sebagai pemimpin maka sekolah tersebut mutu pendidikannya
tidak akan berkembang.

Anda mungkin juga menyukai