Anda di halaman 1dari 66

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANGGARAN TERHADAP

KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN DASAR


( Studi Tentang Persepsi Implementasi Kebijakan Anggaran Pendidikan
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas di Kota Tasikmalaya,
Kota Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya dan Kab. Bogor)

Oleh Liestyodono

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia tercatat telah

terjadi pergantian beberapa undang-undang ( UU ), antara lain : UU No. 1 Tahun 1945,

UU No.2 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No.5 Tahun

1974, UU no.22 Tahun 1999, dan yang terakhir adalah UU No.32 Tahun 2004 yang

merupakan penjabaran dari ketentuan pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B Undang-

Undang Dasar 1945 ( hasil amandemen ). Ibarat pendulum, setiap peraturan perundang-

undangan tentang pemerintahan daerah sejak UU No.1 Tahun 1945 sampai dengan UU

No. 32 Tahun 2004 yang berlaku sekarang , selalu cenderung mewakili titik yang sangat

diametral yakni titik desentralisasi dan dekonsentrasi. Hal ini mengesankan bahwa

sejarah panjang otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan kebijakan dekonsentrasi

dan desentralisasi seiring dengan diterapkan sebagai suatu yang mematikan, bukan

sebagai sebuah kontinum serta hanya berkutat pada pencarian struktur pemerintahan dan

format politik.

Terjadinya dikhotomi antara desentralisasi dan dekonsentrasi sepanjang sejarah

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia seringkali justru menjauhkan implementasi

otonomi daerah dari tujuan utamanya yakni untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ( UU No.32/2004 ) melihat

1
desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai suatu yang bersifat kontinum bukan suatu yang

bersifat dikotomis dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga

diharapkan kesejahteraan masyarakat akan lebih meningkat. Hal ini berkonsekuensi

kepada paradigma otonomi daerah menurut UU No.32/2004 lebih mengedepankan aspek

desentralisasi administrasi dibandingkan dengan desentralisasi politik. Untuk itulah UU

No.32/2004 menjadikan aspek efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan

daerah sebagai koridor dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Sejak dikeluarkannya UU NO................... tentang perimbangan keuangan pusat

dan daerah, permasalahan keuangan menjadi salah satu sumber kontroversi, terutama

yang berkaitan dengan ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan

perimbangan keuangan antara pusa dan daerah serta dalam penyelenggaraan kewenangan

desentralisasi bidang keuangan di daerah. Sehingga pengelolaan keuangan daerah belum

secara maksimal diaplikasikan, khususnya dibidang pengelolaan dan

pertanggungjawaban anggaran daerah. Sampai dengan saat ini masih dapat dilihat bahwa

pengalokasian anggaran lebih banyak digunakan untuk kepentingan aparat dibandingkan

dengan belanja publik, sehingga pengalokasian anggaran untuk kepentingan pelayanan

publik, terutama yang bersifat dasar masih jauh dari aspirasi dan harapan masyarakat

selaku stake holder.

Di lapangan dapat dilihat diantaranya tergambar dalam penentuan belanja sektor

pendidikan sebagai salah satu pelayanan dasar publik. Selama lima tahun pelaksanaan

otonomi daerah, (2001-2005), belanja rutin pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dan

kebudayaan rata-rata kurang dari 3 persen dari APBN, sedangkan sektor perdagangan

berkisar 80 persen. Padahal tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan

2
pendidikan sangat besar. Lebih dari 90 persen sekolah daar ( SD ) berstatus milik

pemerintah. Sementara itu tekad untuk memperbaiki pelayanan pendidikan dasar masih

dihadapkan pada persoalan tidak meratanya kesempatan, rendahnya kualitas dan

relevansi pendidikan serta lemahnya manajemen penyelenggara pendidikan.

Masih belum optimalnya pelayanan pendidikan dasar di Jawa Barat diantaranya

tidak terlepas dari besaran pengalokasian anggaran pendidikan, naik dari pemerintah

pusat maupun daerah melalui APBN, APBD provinsi dan APBD Kota/ Kabupaten.

Kebijakan anggaran yang berpihak pada sektor pendidikan baru diperhatikan dengan

sungguh-sungguh oleh pemerintah pada tahun 2002 sejalan dengan amandemen UUD

1945, sehingga pada ayat 4, pasal 31 ditegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran

pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional.

Lebih ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang

Sisdiknas, ditegaskan bahwa warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar yang berada

pada usia 7 – 15 tahun ( pasal 6 ). Dalam pembiayaan kegiatan belajar mereka,

pemerintah danb pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna

terselenggaranya pendidikan bagi setiap warganegara yang berusia 7 – 15 tahun ( pasal

11:2). Mengenai pengaturan, khususnya pengalokasian dana pendidikan UU sisdiknas

pun memberikan acuan lebih nyata pada pasal 49: (1) Dana pendidikan selain gaji

pendidik dan biaya pendidikan kedinasan ,.dialokasikan minimal 20 persen dari APBN

pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Hal ini menunjukkan bahwa

pemerintah daerah mengemban peran yang sangat besar dalam memberikan pelayanan

pendidikan kepada masyarakat.

3
Namun realitasnya tidak semua pemerintah daerah konsisten dengan ketentuan

tersebut beberapa pemeritah daerah di jawa barat masih mengeluarkan kebijakan

anggaran pendidikan kurang dari 20 persen dari APBD. Beragam persoalan krusial pada

bidang pendidikan di Jawa barat salah satunya bermuara pada lemahnya implementasi

kebijakan anggaran dalam bentuk peraturan daerah tentang APBD, sebagai produk

bersama antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah. Perhatian lembaga-lembaga

tersebut belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan pencerdasan masyarakat banya..

Fakta yang tidak dapat dibantah lagi, meskipun UU sudah mengamanatkan bahwa

anggaran pendidikan harus menyentuh angka 20 persen tapi dalam kenyataannya masih

jauh dari harapan.

Berdasaarkan permaalahan diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian

lebih jauh mengenai PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANGGARAN

TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN DASAR

( Studi Tentang Persepsi Implementasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Berdasarkan UU

No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas di Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kabupaten

Tasikmalaya dan Kab. Bogor)

4
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena-fenomena yang diungkap di atas sebagai latar belakang

penelitian, maka peneliti dapat mengemukakan Problem Statement sebagai berikut:

“Implementasi kebijakan Anggaran Pendidikan di Kabupaten .................belum efektif,

sehingga upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan dasar memenuhi

harapan yang diinginkan. Dari Problem Statement ini, peneliti mengemukakan research

question sebagai berikut:

1) Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan anggaran pendidikan terhadap

kualitas pelayanan pendidikan dasar.

2) Seberapa besar pengaruh komunikasi terhadap kualitas pelayanan pendidikan dasar.

3) Seberapa besar pengaruh sumber daya terhadap kualitas pelayanan pendidikan dasar.

4) Seberapa besar pengaruh sikap pelaksana terhadap kualitas pelayanan pendidikan

dasar.

5) Seberapa besar pengaruh struktur birokrasi terhadap kualitas pelayanan pendidikan

dasar.

Tujuan Penelitian

Pertama, memperoleh pemahaman tentang komunikasi organisasi, sumber daya,

sikap pelaksana, dan struktur birokrasi yang merupakan dimensi dari

implementasi kebijakan publik. Kedua, memperoleh gambaran umum melalui

hasil kajian dan analisis tentang implementasi kebijakan anggaran, pengaruhnya

terhadap kualitas pelayanan pendidikan dasar.

1.4. Kegunaan Penelitian

Secara teoritik, hasil penelitian ini dapat menambah khasanah kajian

5
implementasi kebijakan publik dan ilmu administrasi publik pada umumnya.

Secara praktis dapat memberikan masukan bagi para praktisi , khususnya yang

secara langsung menangani bidang kebijakan anggaran, seperti anggota legislatif

dan eksekutif daerah.

6
II. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan publik yang telah disahkan tidak akan bermanfaat apabila tidak

diimplementasikan, karena implementasi kebijakan publik berusaha untuk mewujudkan

kebijakan publik yang masih bersifat abstrak kedalam realita. Artinya pelaksanaan

kebijakan publik berusaha menghasilkan outcome yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

Dalam hal ini, dapat ditekankan bahwa bisa saja dalam tahapan perencanaan dan

perumusan formulasi kebijakan dilakukan dengan sebaik-baiknya, tetapi jika pada

tahapan pelaksanaannya tidak diperhatikan optimalisasi implementasinya, maka apa yang

diharapkan dari sebuah produk kebijakan itu. Pada akhirnyapun dipastikan pada tahapan

evaluasi kebijakan, akan menghasilkan panilaian bahwa antara formulasi dan

implementasi kebijakan tidak seiring sejalan, bahwa implementasi dari kebijakan itu

tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan pelaksanaan keputusan diantara

pembentukan sebuah kebijakan, seperti hanya pasal-pasal sebuah undang-undang

legislatif, keluarnya sebuah peraturan eksekutif, dan keluarnya keputusan pengadilan,

atau keluarnya standar peraturan dan konsekuensi dari kebijakan bagi masayarakat yang

mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya. Jika sebuah kebijakan diambil secara

tepat, maka kemungkinan kegagalanpun masih bisa terjadi, jika proses implementasinya

tidak tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang handal sekalipun jika diimplementasikan

secara tidak baik dan optimal, maka kebijakan tersebut gagal untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan para pembuatnya. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa implemetasi kebijakan

7
pada substansinya adalah cara yang tepat untuk melaksanakan agar sebuah kebijakan

yang baik dapat mencapai tujuan sebagimana yang telah ditetapkan oleh para pembuat

kebijakan. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, Nugroho (2003:158)

menawarkan dua pilihan langkah, yaitu: “Langsung mengimplementasikan dalam bentuk

program-program, dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan

publik tersebut”. Agar setiap kebijakan dapat diimplementasikan, maka seharusnya pula

memperhatikan apa dan bagaimana bentuk program yang realistis, sehingga dapat

memenuhi kepentingan publik.

Sementara itu Abdul Wahab (1997:53) mengatakan bahwa implementasi

kebijakan adalah:

Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang,


namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan
eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan lazimnya, keputusan
tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara
tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk
menstruktur/mengatur proses implementasinya.

Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan

mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin

lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik,

keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak

salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari

keseluruhan proses kebijakan.

Begitu pentingnya tentang implementasi sebuah kebijakan, maka persyaratan

utama yang harus diperhatikan adalah bahwa mereka yang harus mengimplementasikan

suatu keputusan mesti tahu apa yang mereka harus kerjakan. Keputusan kebijakan dan

peraturan implementasi mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat sebelum bisa

8
diikuti. Jika kebijakan harus diimplementasikan secara tepat, ukuran implementasi mesti

tidak hanya diterima, akan tetapi harus juga jelas.

Keseluruhan proses penetapan kebijakan baru bisa dimulai atau diimplemetasikan

apabila tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah

dirancang dan juga sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan dan

sasaran tersebut. Efektivitas dari implementasi kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh

perilaku pelaksananya (policy stakeholders) serta lingkungan (environment), karena

mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah dan lingkungan

kebijakan (policy environment) yang merupakan konteks khusus dimana kejadian-

kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi, sehingga proses kebijakan merupakan proses

yang dialektis dimana dimensi obyektif dan subjektif dari pembuatan kebijakan tidak

dapat dipisahkan dari prakteknya.

Relevansinya dengan hal itu, Wibawa (1994:19) mengemukakan bahwa:

implementasi kebijakan merupakan:

Suatu rangkaian kegiatan yang sengaja dilakukan untuk meraih kinerja. Mereka
merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan antara berbagai
faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja kebijakan. Kinerja kebijakan pada
dasarnya merupakan penilaian atas tingkat standar dan sasaran. Menurutnya,
sebagai suatu kebijakan tentulah mempunyai standar dan sasaran tertentu yang
harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan.

Dengan demikian bahwa implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta

yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-

keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk

mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun

waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai

9
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan

kebijakan. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan

tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi

oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikan, tahap implementasi terjadi hanya

setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi

kebijakan tersebut.

Sebagai pertimbangan awal dalam pra-kondisi implementasi kebijakan, maka kita

juga perlu mencermati apa yang kemukakan oleh Abdul Wahab (1997:55) bahwa:

1) Kebijakan harus dibedakan dengan keputusan, 2) Kebijakan tidak serta-merta


dapat dibedakan dari administrasi, 3) Kebijakan mencakup perilaku dan harapan,
4) Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan, 5)
Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai, yang mungkin
dapat diantisipasikan sebelumnya atau mungkin belum diantisipasi, 6) Kebijakan
kebanyakan didefinisikan dengan memasukkan perlunya setiap kebijakan melalui
tujuan atau sasaran tertentu baik secara eksplisit ataupun implisit, 7) Kebijakan
muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu, 8) Kebijakan
meliputi baik hubungan yang bersifat antar organisasi ataupun yang bersifat
intraorganisasi, 9) Kebijakan negara menyangkut peran kunci dari lembaga-
lembaga pemerintah walaupun tidak secara ekslusif, dan 10) Kebijakan itu
dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.

Dari konsepsi diatas, dapat ditegaskan bahwa kebijakan publik yang siap

diimplementasikan secara baik dan tepat sasasan, dan seterusnya bagaimana kebijakan

tersebut dapat dievaluasi untuk memperoleh umpan balik mengarah kepada perbaikan

atau revisi kebijakan.

Olehnya itu dapat dikatakan pula bahwa kebijakan publik yang

diimplementasikan dengan baik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan

secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan publik sekaligus mendorong

terciptanya partisipasi publik dalam pembangunan secara luas. Oleh karena itulah, dalam

aspek implementasi kebijakan itu merupakan upaya untuk memahami : a) apa yang patut

10
dan layak dilakukan serta apa tidak perlu dilakukan oleh pemerintah dan implementor

dalam tahapan implementasi kebijakan, b) apa penyebab atau yang mempengaruhinya,

dan c) apa dampak dari kebijakan publik tersebut jika dilaksanakan atau tidak

dilaksanakan.

Sehubungan dengan itu pula, Nugroho (2003:115) menegaskan bahwa

implementasi kebijakan adalah:

Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai dicapainya hasil


kebijakan. Kebijakan pada umumnya dirumuskan dengan strategi tersendiri yang
menyangkut dengan pengambilan keputusan bagi kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan atau negara dalam menjalankan misi pemerintah. Kebijakan
biasanya dilakukan dengan bentuk kegiatan formal. Kebijakan yang telah diambil,
dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial
dan manusia.

Selanjutnya Subarsono (2005:12) mengemukakan bahwa : “Aspek implementasi

dalam proses kebijakan publik harus memperhatikan siapa yang terlibat dalam

implementasi kebijakan, dan apa yang mereka kerjakan, serta apa dampak dari isi

kebijakan itu”. Sementara Suharto (2005:14) menyatakan bahwa : “Implementasi

kebijakan itu merupakan proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil”.

Untuk mencapai hasil yang diinginkan dari sebuah Implementasi kebijakan,

menurut Josy Adiwisastra dalam prolognya pada buku Tachjan (2006 : xv) sangat

tergantung pada :

Keberhasilan mengidentifikasikan jejaring kerjasama antar aktor yang terlibat


dalam perumusan kebijakan publik itu, karena pada akhirnya aktor itulah yang
akan melaksanakan apapun kebijakan publik yang dibuat. Karena itu, sejak
tahapan formulasi kebijakan publik sudah harus diketahui secara pasti siapa yang
berkepentingan, bagaimana interaksi antar aktor terbentuk, serta strategi apa yang
digunakan untuk mencapai kepentingan itu.

Dari pandangan diatas, lebih menegaskan bahwa keberhasilan implementasi

kebijakan tidak hanya terletak pada kemampuan dari implementor atau pelaksana

11
kebijakan, akan tetapi bagaimana para pembuat/penentu atau aktor kebijakan tersebut

dapat bertanggungjawab sampai pada keberhasilan pelaksanaan implementasi setiap

kebijakan yang dibuatnya.

Disamping itu pula kita patut menyadari bahwa tercapai tidaknya misi dari sebuah

produk kebijakan dalam proses implementasinya, juga tidak dapat dipisahkan atau

dilepaskan dari sebuah sistem. Tentang sistem itu sendiri menurut Winardi (1997:64) :

“Sebagai suatu kumpulan keseluruhan elemen-elemen, yang saling berinteraksi dan

menuju kearah pencapaian tujuan atau sasaran tertentu. Sebuah sistem dipastikan

dikelilingi oleh lingkungannya”. Produk kebijakan publik yang siap diimplementasikan

pasti akan didukung dan dipengaruhi lingkungan sekitarnya sebagai sebuah sistem

(sosial, ekonomi, politik, dan budaya). Dimana pada suatu saat kebijakan menyalurkan

masukannya pada lingkungan sekitarnya, namun pada saat yang sama atau yang lain,

lingkungan sekitar membatasi dan memaksanya pada perilaku yang harus dikerjakan oleh

implementor kebijakan. Artinya, interaksi antara lingkungan kebijakan dan implementasi

kebijakan publik itu sendiri memiliki hubungan yang saling pengaruh.

Oleh karena itulah, sebuah kebijakan yang tersusun dengan baik dan

diimplementasikan terarah dalam suatu sistem yang baik, maka seharusnya

memperhatikan hal-hal yang dikemukakan Winardi (1990:120), yakni: “a)

memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian, b) bersifat konsisten dan tidak ada

kebijakan yang saling bertentangan, c) harus sesuai dengan keadaan yang berkembang, d)

membantu pencapaian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-fakta obyektif, serta e)

sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal.”

Dari pandangan tersebut setidaknya dapat dipahami bahwa lingkungan kebijakan

12
yang lebih spesifik perlu pemaknaan yang pluralistik dalam sistem lingkungan yang lebih

makro maupun mikro. Hal ini dapat meliputi: Pertama, lingkungan umum di luar

pemerintahan dalam arti pola-pola yang melibatkan faktor sosial, ekonomi, politik, dan

nilai-nilai tertentu. Kedua, lingkungan di dalam pemerintahan dalam arti institusional,

seperti: karakteristik birokrasi, sumberdaya yang dimiliki, sumberdaya finansial yang

tersedia. Ketiga, lingkungan khusus yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Tidak

hanya itu, beberapa bentuk lingkungan lain yang dapat mempengaruhi kegiatan

implementasi kebijakan publik, antara lain: karakteristik geografis, seperti sumber alam,

iklim dan topografi; variabel demografi, seperti populasi masyarakat, persebaran usia,

hingga lokasi; budaya dan krisis politik; sistem sosial; serta sistem ekonomi,

pengangguran, kriminalitas.

Demikian pentingnya implementasi kebijakan, sehingga dalam tahapan ini sangat

membutuhkan kerjasama antar semua pihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) dalam

kerangka mencapai optimalisasi dari implementasi kebijakan itu sendiri. Abdul Wahab

(1990 : 10) mengemukakan bahwa : “Implementasi kebijakan merupakan suatu yang

penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan itu sendiri”.

Suatu kebijakan hanya merupakan rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip jika

tidak diimplementasikan dengan baik.

Edwards III (1980:9) mengemukakan: “In our approach to the study of policy

implementation, we begin in the abstract and ask: What are the preconditions for

successful policy implementation? What are the primary obstacles to successful policy

implementation?” Untuk menjawab pertanyaan penting itu, maka Edwards III (1980:10)

menawarkan dan mempertimbangkan empat faktor dalam mengimplementasikan

13
kebijakan publik, yakni: “Communication, resourches, dispositions or attitudes, and

bureaucratic structure”.

Dalam proses implementasi kebijakan, komunikasi memegang peranan penting

karena pelaksana harus mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Perintah untuk

melaksanakan kebijakan harus diteruskan kepada aparat, tepat, dan konsisten. Kurangnya

sumber daya akan berakibat ketidakefektifan penerapan kebijakan. Disposisi atau sikap

pelaksana diartikan sebagai keinginan kesepakatan di kalangan pelaksana untuk

menerapkan kebijakan. Jika penerapan kebijakan akan dilaksanakan secara efektif, maka

pelaksana bukan hanya mengetahui apa yang harus mereka kerjakan dan memiliki

kemampuan untuk menerapkannya, tetapi mereka juga harus mempunyai keinginan untuk

menerapkan kebijakan tersebut. Akhirnya struktur birokrasi mempunyai dampak atas

penerapan dalam arti bahwa penerapan itu tidak akan berhasil jika terdapat kekurangan

dalam struktur birokrasi tersebut.

1) Faktor Komunikasi (Communication)

Sehubungan dengan pentingnya faktor komunikasi dalam implementasi kebijakan

publik, Edwards III (1980:10) menegaskan :

For Implementation to be effective, those whose responsibility it is to implement a


decision must know what they are supposed to do. Orders to implement policies
must be transmitted to the appropriate personnel, and they must be clear,
accurate, and consistent. If the policies decision-makers wish to see implemented
are not clearly specified, they may be misunderstood by those at whom they are
directed. Obviously, confusion by implementers about what to do increases the
chances that they will not implement a policy as those who passed or ordered it
intended.

Implementasi kebijakan dapat berjalan secara efektif, jika yang bertanggungjawab

terhadap implementasi sebuah kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukannya.

14
Perintah untuk mengimplementasikan kebijakan harus disampaikan secara jelas, akurat,

dan konsisten kepada orang-orang yang mampu. Jika implementasi kebijakan yang

diharapkan oleh pembuat kebijakan tampak tidak secara jelas, mungkin saja terjadi

kesalahpahaman oleh para pelaksana yang ditunjuk. Jelas sekali bahwa kebingungan

yang dialami para pelaksana mengenai masalah yang harus dilakukannya dapat memberi

peluang untuk tidak mengimplementasikan kebijakan sebagaimana dikehendaki oleh para

pembuat kebijakan.

Faktor komunikasi menunjukkan peranan sebagai acuan agar pelaksana kebijakan

mengetahui persis apa yang akan mereka kerjakan. Berarti komunikasi juga dapat

dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana-pelaksana kebijakan sehingga

penerapan kebijakan tidak keluar dari sasaran yang dikehendaki. Dengan demikian

komunikasi tersebut harus dinyatakan dengan jelas, tepat, dan konsisten,

Tidak sempurnanya aspek komunikasi juga dapat mengakibatkan para pelaksana

menafsirkan kebijakan sebagai otoritas, seperti tindakan-tindakan untuk menyempitkan

kebijakan umum menjadi tindakan-tindakan spesifik. Otoritas ini tidak akan diperiksa

sebagaimana mestinya guna mendahulukan tujuan semula dari pembuat kebijakan.

Dengan demikian instruksi implementasi tidak tertransmisikan dan terdistorsi dalam

proses transmisi. Inkonsistensi dapat mengakibatkan hambatan yang serius bagi

implementasi kebijakan. Sebaliknya, petunjuk-petunjuk yang terlalu detail dapat

menghambat implementasi kebijakan itu sendiri karena dipahami sebagai pembatasan

kreatifitas dan kemampuan beradaptasi.

Persyaratan pertama supaya implementasi kebijakan dapat berfungsi efektif

adalah mengetahui apa yang harus dilakukan. Sebuah kebijakan dan instruksi

15
implementasi harus ditransmisikan kepada personel-personel yang tepat sebelum

dilaksanakan. Komunikasi semacam ini harus akurat dan harus dipahami oleh para

pelaksananya. Banyak hambatan transmisi komunikasi mengenai implementasi sebuah

kebijakan.

Jika sebuah kebijakan hendak diimplementasikan secara sempurna, maka

instruksi implementasi tidak hanya dapat diterima saja tapi pesan-pesan di dalamnya pun

harus dapat diterima dengan jelas. Jika tidak, para pelaksana akan kesulitan mengenai

tindakan yang harus dilakukan, mereka akan leluasa menafsirkan implementasi kebijakan

tersebut, sebuah penafsiran yang mungkin saja berbeda dengan maksud atasannya.

Tegasnya, bahwa apa yang dikomunikasikan dalam rangka efektivitas implementasi

kebijakan, mesti memperhatikan dan didukung oleh sistem transmisi yang baik,

konsistensi dan kejelasan pesan dan perintah dari pembuat kebijakan, yang harus

dijalankan oleh implementor kebijakan secara baik, benar, dan prosedural.

2) Faktor Sumber Daya (Resources)

Sehubungan dengan faktor Resourches (Sumber Daya), Edwards III (1980:10)

menjelaskan :

Important resources include staff of the proper size and with the necessary
expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and
on the compliance of others involved in implementation; the authority to ensure
tha policies are carried out as they are intended; and facilities (including
buildings, equipment, land, and supplies) in which or with which to provide
services. Insufficient resourches will mean that laws will not be enforced, services
will not be provided, and reasonable regulations will not be developed.

Sumber daya yang penting meliputi staf dalam ukuran yang tepat dengan keahlian

yang diperlukan; informasi yang cukup dan relevan tentang cara untuk

mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat di dalam

16
implementasi; kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini dilakukan semuanya

sebagai dimaksudkan; dan berbagai fasilitas (termasuk bangunan, peralatan, tanah dan

persediaan) di dalamnya atau dengan memberikan pelayanan. Sumber daya yang tidak

cukup akan berarti bahwa Undang-undang tidak akan diberlakukan, pelayanan tidak akan

diberikan, dan peraturan-peraturan yang layak tidak akan dikembangkan.

Faktor sumber daya tidak hanya mencakup jumlah sumber daya manusia/aparat

semata melainkan juga mencakup kemampuan sumber daya manusia untuk mendukung

pelaksanaan kebijakan tersebut. Hal ini dapat menjelaskan tesis bahwa sumber daya yang

memadai dan memenuhi kualifikasi akan menghasilkan pelaksanaan kebijakan yang tepat

dan efektif.

Betapapun jelas dan konsistennya perintah implementasi kebijakan dan akuratnya

perintah tersebut disampaikan namun apabila orang-orang yang bertanggungjawab

terhadap implementasi kebijakan tersebut kekurangan sumber daya dalam pekerjaan

mereka, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya yang

penting antara lain jumlah staf yang cukup dengan keahlian yang memadai, informasi

yang cukup dan relevan mengenai instruksi implementasi kebijaken, otoritas yang

menjamin bahwa kebijakan tersebut dilaksanakan sesuai dengan apa yang dimaksud, dan

fasilitas, termasuk bangunan-bangunan, tanah, dan suplai untuk memberikan pelayanan.

Sumber daya yang tidak mencukupi menunjukkan bahwa hukum tidak akan dapat

dilaksanakan, pelayanan tidak akan dilaksanakan, dan aturan-aturan yang masuk akal

tidak akan disusun.

3) Faktor Sikap Pelaksana (Dispositions)

Menyangkut sikap pelaksana yang juga sebagai salah satu faktor implementasi

17
kebijakan, kembali Edwards III (1980:11) menjelaskan :

The dispositions or attitudes of implementations is the third critical factor in our


approach to the study of public policy implementation. If implementation is to
proceed effectively, not only must implementers know what to do and have the
capability to do it, but they must also desire to carry out a policy. Most
implemntors can exercise considerable discretion in the implementation io
policies. One of the reasons for this is their independence from their nominal
superiors who formulate the policies. Another reason is the complecity of the
policies themselves. The way in which implementers exercise their dicretion,
however, depends in large part upon their dispositions toward the policies. Their
attitudes, in turn, will be influenced by their views toward the policies per se and
by how they see the policies effecting their organizational anf personal interests.

Sikap pelaksana merupakan faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai

studi implementasi kebijakan publik. Jika implementasi kebijakan diharapkan

berlangsung efektif, para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang

harus dilakukan dan memiliki kapabilitas untuk melaksanakannya tetapi mereka juga

harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Kebanyakan para

pelaksana menggunakan sedapat mungkin otoritas dalam mengimplementasikan sebuah

kebijakan. Salah satu alasan mengenai hal ini disebabkan independensi mereka terhadap

pembuat kebijakan. Alasan yang lain adalah kompleksitas dari kebijakan itu sendiri.

Meskipun cara lain para pelaksana menggunakan otoritasnya tergantung dari disposisi

mereka yang mengacu kepada kebijakan-kebijakan tersebut namun pada akhirnya sikap

merekalah yang akan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap kebijakan tersebut

dan bagaimana mereka melihat kebijakan akan berdampak terhadap kepentingan

perorangan dan organisasi mereka.

Para pelaksana tidak selalu melaksanakan kebijakan sesuai dengan keinginan

pembuat kebijakan. Akibatnya pembuat kebijakan sering berhadapan dengan tugas-tugas

untuk memanipulasi atau bekerja dalam lingkungan disposisi para pelaksananya atau

18
bahkan membatasi otoritasnya.

Jika para pelaksana mendapatkan disposisi yang baik terhadap kebijakan tertentu,

mereka cenderung melaksanakannya diluar yang telah diharapkan pembuat kebijakan

sebelumnya. Tetapi ketika perilaku dan perspektif para pelaksana berbeda dari pembuat

keputusan, proses implementasi kebijakan menjadi secara tak terbatas lebih

membingungkan.

Berkenaan dengan sikap pelaksana ini, mesti juga disadari bahwa pelaksanaan

sebuah kebijakan hanya akan efektif jika dilaksanakan oleh aparatur/implementor

kebijakan yang menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai wujud perilaku

yang baik dalam menyukseskan setiap program kebijakan yang akan diimplementasikan,

akan tetapi juga para pembuat kebijakan hendaknya menyadari bahwa implementor juga

membutuhkan insentif baik berbentuk, pengakuan, penghargaan, dan dukungan agar

tercipta kondisi yang simbiosis mutualisme antara pembuat dan implementor kebijakan

dalam rangka mengoptimalkan implementasi kebijakan publik.

4) Faktor Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)

Berkenaan dengan struktur birokrasi sebagai salah satu faktur implementasi

kebijakan, Edwards III (1980:11) menjelaskan:

Even If sufficient resources to implement a policy exist and implementers know


what to do and want to do it, implementation may still be thwarted because of
deficiencies in bureaucratic structure. Organizational fragmentation may hinder
the coordination necessary to implement successfully a complex policy requiring
the cooperation of many people, and it may also waste scarce resources, inhibit
change, create confusion, lead to policies working at cross-purposes, and result
in important functions being overlooked.

Meskipun sumber daya untuk mengimplementasikan kebijakan telah mencukupi

dan para pelaksana mengetahui apa yang harus dilakukan serta bersedia

19
melaksanakannya, implementasi kebijakan masih terhambat oleh inefisiensi struktur

birokratis. Fragmentasi organisasi dapat menghambat koordinasi yang diperlukan guna

keberhasilan kompleksitas implementasi sebuah kebijakan yang membutuhkan kerjasama

dengan banyak orang. Hal ini menyebabkan terbuangnya sumber daya yang langka,

menutup kesempatan, menciptakan kebingungan, menggiring kebijakan-kebijakan untuk

menghasilkan tujuan silang, dan mengakibatkan fungsi-fungsi penting menjadi

terlupakan.

Sebagai administrator kebijakan unit organisasi, mereka membangun standar

prosedur oprasional untuk menangani tugas rutin sebagaimana biasanya mereka tangani.

Sayangnya standar dirancang untuk kebijakan-kebijakan yang telah berjalan dan kurang

dapat berfungsi dengan baik untuk kebijakan-kebijakan baru sehingga sulit terjadi

perubahan, penundaan, pembaharuan, atau tindakan-tindakan yang tidak dikehendaki.

Standar kadang-kadang lebih menghambat dibandingkan membantu implementasi

kebijakan.

Para pelaksana kebijakan akan mengetahui apa yang harus dilakukan dan

mempunyai keinginan dan sumber daya untuk melakukan kebijakan, tetapi mereka akan

tetap dihambat proses implementasinya oleh struktur organisasi yang mereka layani. Asal

usul karakterisitik organisasi, fragmentasi birokrasi yang berbeda akan tetap menghambat

implementasi kebijakan. Mereka selalu menghambat implementasi kebijakan,

pemborosan sumber daya, menyebabkan tindakan yang tidak diharapkan, menghambat

koordinasi, akibat proses kebijakan pada maksud yang berlawanan, dan sebab beberapa

kebijakan yang gagal.

Oleh karena itulah, untuk mengantisipasi kegagalan dalam implementasi

20
kebijakan tersebut, maka faktor organisasi juga harus diperhatikan, khususnya dalam

perspektif kejelasan struktur dan kehandalan tim kerja organisasi pelaksana kebijakan

kearah pencapaian tujuan dari setiap kebijakan itu sendiri.

Model yang diperkenalkan oleh duet Van Meter & Van Horn (1975 : 12), disebut

sebagai A Model of The Policy Implementattion Process, yang mengemukakan adanya

enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian

(performance). Model ini menunjukkan hubungan antara variabel-variabel bebas

(independent variable) dengan variabel terikat (dependent variable) mengenai

kepentingan-kepentingan, serta hubungan di antara variabel bebas.

Implementasi kebijakan dilakukan untuk meraih kinerja yang tinggi berlangsung

dalam antarhubungan berbagai faktor. Suatu kebijakan menegaskan standar dan sasaran

tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada

dasamya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran dirumuskan secara

spesifik dan kongkrit. Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik yang berupa

dana maupun insentif lain. Kinerja kebijakan akan rendah apabila dana yang dibutuhkan

tidak disediakan oleh pemerintah secara memadai.

Kejelasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif apabila

tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas pengukuhan.

Semua pelaksana harus memahami apa yang diidealkan oleh kebijakan yang

implementasinya menjadi tanggung jawab mereka. Hanya saja komunikasi adalah proses

yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadinya penyimpangan. Ini menyangkut

persoalan kewenangan dan kepemimpinan. Dalam organisasi, atasan mestinya mampu

21
mengkondisikan organisasi bawahan atau pelaksana untuk memiliki idealita sebagaimana

yang dikehendaki oleh kebijakan.

Persoalan di atas juga berkaitan erat dengan karakteristik birokrasi pelaksana.

Struktur birokrasi pelaksana, yang memiliki karakteristik, norma dan pola hubungan

sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Organisasi pelaksana

memiliki variabel: (1) kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian,

(3) dukungan politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan

kebebasan komunikasi, dan (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan.

Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang

mereka implementasikan, dan menentukan seberapa tinggi kinerja kebijakannya. Kognisi,

netralitas, dan obyektivitas para individu pelaksana sangat mempengaruhi bentuk respons

mereka terhadap semua variabel tersebut. Wujud respons individu pelaksana menjadi

penyebab dari berhasil dan gagalnya implementasi kebijakan. Jika pelaksana tidak

memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih apabila sistem nilai yang mempengaruhi

sikapnya berbeda dengan sistem nilai pembuat kebijakan, maka implementasi tidak akan

efektif.

Charles Jones (1984 : 166) mengatakan bahwa implementasi kebijakan adalah

suatu suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program dengan

memperhatikan tiga aktivitas utama kegiatan, yaitu:

1) Organisasi, pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit serta


metode untuk menunjang agar program berjalan, 2) Interpretasi, menafsirkan agar
program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta
dilaksanakan, dan 3) Aplikasi (penerapan), berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan
rutin yang meliputi penyediaan barang dan jasa.

Apa yang dikemukakan sebagai pegangan bagi para implementor kebijakan,

22
dengan menyadari bahwa implementasi kebijakan itu merupakan hal yang paling berat,

karena dalam tataran inilah masalah-masalah yang kadang tidak ditemui dalam

perumusan kebijakan, akan muncul di lapangan disaat kebijakan itu diimplementasikan.

Berorientasi pada berbagai definisi dan model implementasi kebijakan baik

ditinjau dari segi wujud, proses maupun fungsi, maka untuk kepentingan penelitian

sehubungan dengan teori yang digunakan untuk mempertegas variabel bebas (X) yakni :

implementasi kebijakan Anggaran pendidikan, maka peneliti memilih teori implementasi

kebijakan menurut Edwards III yang mengedepankan empat faktor implementasi, yakni:

1) komunikasi (communication), 2) sumber daya (resources) 3) sikap pelaksana

(dispositions), dan 4) struktur birokrasi (bureaucratic structure).

Pemilihan terhadap teori Edwards III tersebut didasarkan pada pertimbangan

bahwa secara substansial bahwa empat faktor implementasi kebijakan menurut teori

Edwards III tersebut diarahkan ke aparat birokrasi pemerintahan baik sebagai aktor

maupun sebagai implementor kebijakan. Dengan demikian teori ini relevan dengan objek

penelitian menyangkut kebijakan anggaran pendidikan , yang aktor dan implementor

kebijakannya adalah didominasi oleh aparatur pemerintah kabupaten, kecamatan, dan

desa/kelurahan. Oleh karena itulah, maka peneliti memandang bahwa Teori Edwards III

tersebut relevan dengan locus dan focus yang diteliti.

2.2. Kualitas Pelayanan Publik

Pelayanan Publik sering dilihat sebagai representasi dari eksistensi birokrasi

pemerintahan, karena hal itu bersentuhan langsung dengan tuntutan kebutuhan faktual

masyarakat terhadap peranan pemerintah. Filosofi pelayanan publik seharusnya

menempatkan rakyat sebagai subyek dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

23
Moralitas dari pelayanan publik merupakan derivasi dari filosofi tersebut, yaitu

pemberdayaan rakyat dalam relasinya dengan struktur kekuasaan.

Secara lebih eksplisit dinyatakan oleh Sianipar (1999:5) pelayanan publik dapat

dinyatakan sebagai segala sesuatu bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan

aparatur pemerintah dalam bentuk barang dan jasa, yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejalan dengan

pendapat di atas maka Sen (1999:25) mengatakan “public service generally means

services rendered by the public sector-the state or government”. Oleh karena itu Anoop

(1999:21) mengingatkan kepada pemerintah bahwa “public services are services that

are demanded by the public not what the government thinks…”. Pernyataan ini dilandasi

suatu pemikiran bahwa kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah bersumber

dari rakyat, sehingga maju atau mundurnya, kuat atau lemahnya suatu pemerintahan

ditentukan oleh rakyat. Karena pentingnya dukungan rakyat ini pulalah maka pemerintah

harus berupaya memberikan pelayanan yang baik kepada mereka.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka pemerintah hendaknya selalu

berorientasi pada masyarakat, dengan menerapkan konsep pelayanan yang berwawasan

masyarakat (community-based service). Menurut Sianipar (1999:14) konsep pelayanan

yang berawawasan masyarakat adalah “suatu pemikiran, perencanaan dan pelaksanaan

tugas pemerintahan yang berorientasi terhadap pemenuhan kebutuhan, keperluan dan

kepentingan masyarakat”. Jadi fokus pelayanan adalah masyarakat. Lebih lanjut Sianipar

mengatakan bahwa untuk menjadi seorang yang profesional dalam memberikan

pelayanan maka aparatur negara harus memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang

bidang tugas masing-masing sebagaimana dinyakan bahwa pelayanan profesional adalah

24
kemampuan seseorang yang memiliki profesi melayani kebutuhan orang lain atau

profesional menanggapi kebutuhan khas orang lain.

Selanjutnya Ibrahim (2006:18), berkenaan dengan pelayanan publik dapatlah

dipersepsikan kedalam beberapa hal yang sangat esensial berkenaan dengan pelayanan

publik:

Bahwa pemerintah/pemerintahan sudah seharusnya menganut paradigma

berorientasi pada kepentingan masyarakat (customer driven) dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat luas, mempersiapkan seluruh perangkat untuk memenuhi

paradigma tersebut secara sistemik (sejak masikan-proses-keluaran-hasil/dampaknya),

sehingga terwujud pelayanan publik yang berkualitas (yang sedapat mungkin tangible,

reliable, responsive, aman dan penuh empati dalam pelaksanaannya). Untuk itu

diperlukan aturan main yang tegas, lugas dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan

lingkungan, yang cirinya selalu berubah dengan cepat dan kadang penuh dengan ketidak

pastian. Disinilah terletak’seni dan ilmu pelayanan’ yang harus dikembangkan pemerintah

bersama seluruh lapisan masyarakat, harus ada integrasi antara seluruh stakeholders

pembangunan.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah agar berfokus pada

kebutuhan/keinginan masyarakat sebagai pelanggan antara lain dengan mendengarkan

suara/aspirasi masyarakat atas pelayanan yang diterima, Osborn dan Gaebler (1992:177),

menyatakan sebagai berikut :

There are different ways to listen the voice customer : Customer Surveys, Customer

Follow-up, Community Surveys, Customer Contact, Customer Contact Report,

Customer Councils, Focus Groups, Customer Interview, Electronic Mail, Customer

25
Service Trainning, Test Marketing, Quality Guarantees, Ombudsmen, Compalint

Tracking System,800 members, Sugestion Boxes or Form.

Dalam hubungannya dengan penelitian tentang kualitas pelayanan kesehatan, yang

merupakan salah satu dari layanan jasa. Jasa diartikan sebagai setiap tindakan atau

perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya

bersifat tidak berwujud fisik (intangible) dan tidak menghasilkan suatu kepemilikan

(Tjiptono, 1996:23). Jasa merupakan aktivitas, manfaat dan kepuasan yang ditawarkan

oleh suatu pihak kepada pihak lain. Jasa yang bersifat tidak berwujud fisik maksudnya

tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi.

Oleh karena itu orang tidak bisa menilai kualitas jasa sebelum orang tersebut

merasakannya atau mengkonsumsi jasa itu. Namun demikian, produk jasa dapat

berhubungan dengan produk fisiknya. Dalam pelayanan kesehatan yang sifatnya tidak

berwujud fisik, dalam prosesnya dan keluarannya sangat dipengaruhi dan didukung oleh

produk fisik seperti peralatan dan petugas kesehatan, ruang pemeriksaan, kebersihan

gedung, dan fasilitas pendukung lainnya.

Konsep kualitas pelayanan dapat dipahami pula melalui perilaku konsumen

(Consumer Behavior), yaitu suatu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam

mencari, membeli, menggunakan, dan mengevaluasi suatu produk maupun pelayanan

yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka. Selanjutnya, Zeithaml,et al.

(1990:20), menyatakan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh dua hal, yaitu Expected

service dan Preceived service. Expected service dan Preceived service ditentukan oleh

Dimention of service quality yang terdiri dari sepuluh dimensi, yaitu : tangible

(terjamah), reliability (handal), responsiveness (tanggap), competence (kompeten),

26
courtesy (ramah), credibility (dapat dipercaya), security (aman), access (akses),

communication (komunikasi), understanding the customer (memahami pelanggan).

Expected service (pelayanan yang diharapkan) dipengaruhi oleh word of mouth (kata

yang diucapkan), personal need (kebutuhan personal), past experience (pengalaman masa

lalu), dan external communication (komunikasi eksternal)

Kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan masyarakat

pengguna serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi apa yang diharapkan

masyarakat pengguna. Baik atau buruknya kualitas jasa tergantung dari kemampuan

penyedia jasa dalam memenuhi harapan masyarakat pengguna secara konsisten dan

berakhir pada persepsi masyarakat pengguna. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas yang

baik bukanlah diukur atau dirasakan oleh penyedia jasa layanan, namun dirasakan oleh

masyarakat sebagai penerima layanan tersebut.

Untuk melihat pelayanan itu berkualitas dan memenuhi keinginan pelanggan atau

masyarakat, mempunyai cara-cara tertentu, antara lain seperti yang dinyatakan Kotler

(1996:48), bahwa cara mengamati dan mengukur kepuasan pelanggan adalah dengan

sistem keluhan dan saran, survei kepuasan pelanggan, pengamatan pada kepuasan

pelanggan. dengan demikian fokus pada kebutuhan/ keinginan masyarakat diartikan

sebagai orientasi pemerintah terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat atas layanan

yang diinginkan masyarakat.

Konsep kualitas pelayanan dapat dipahami pula melalui perilaku konsumen

(Consumer Behavior), yaitu suatu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam

mencari, membeli, menggunakan, dan mengevaluasi suatu produk maupun pelayanan

yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka. Selanjutnya, Zeithaml,et al.

27
(1990:20), menyatakan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh dua hal, yaitu Expected

service dan Preceived service. Expected service dan Preceived service ditentukan oleh

Dimention of service quality yang terdiri dari sepuluh dimensi, yaitu : tangible

(terjamah), reliability (handal), responsiveness (tanggap), competence (kompeten),

courtesy (ramah), credibility (dapat dipercaya), security (aman), access (akses),

communication (komunikasi), understanding the customer (memahami pelanggan).

Expected service (pelayanan yang diharapkan) dipengaruhi oleh word of mouth (kata

yang diucapkan), personal need (kebutuhan personal), past experience (pengalaman masa

lalu), dan external communication (komunikasi eksternal)

Dari kesepuluh dimensi kualitas pelayanan, kemudian Zeithaml,et al (1990:26),

menyederhanakan menjadi lima dimensi yang dinyatakan dengan SERVQUAL

Dimensions, yaitu:

1) Tangibles (kualitas pelayanan yang berupa sarana fisik perkantoran, komputerisasi

administrasi, ruang tunggu, tempat informasi, dan sebagainya);

2) Reliability (kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang

terpercaya);

3) Responsiveness (kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan

secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen);

4) Assurance (kemampuan dan keramahan, serta sopan santun pegawai dalam

meyakinkan kepercayaan konsumen);

5) Emphaty (sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen)

Dengan mempelajari konsep service quality yang diketengahkan oleh Zeithaml, et

28
al., pertanyaan yang muncul apakah konsep tersebut dapat diaplikasikan untuk mengukur

kualitas pelayanan pada sektor publik? Penulis berkeyakinan bahwa pengukuran kualitas

pelayanan pada organisasi publik dengan menggunakan indikator-indikator service

quality, dapat dilakukan dengan syarat dilakukan modifikasi dari beberapa item (dari 22

item pertanyan dalam service quality) dalam atribut-atribut service quality yang

disesuaikan dengan kondisi organisasi sektor publik. Keyakinan tersebut ditunjang oleh

pernyataan Zeithaml (1990:xi), pada halaman pengantar dari bukunya, bahwa metode

service quality yang ditulis dalam buku tersebut dapat digunakan dan dipraktekkan untuk

semua tipe pelayanan organisasi yang beroriantasi profit maupun bukan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa untuk mengukur kualitas

pelayanan publik tidak cukup hanya menggunakan indikator tunggal, tetapi harus

menggunakan multi-indicator dari aspek proses pelayanan dan aspek output atau hasil

pelayanan. Dari sekian banyak indikator tersebut, kesemuanya dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu indikator kualitas pelayanan yang beroriantasi pada proses dan

indikator yang berorientasi pada hasil.

Untuk mengukur kualitas jasa/pelayanan kesehatan, dalam penelitian ini peneliti

mengunakan konsep Zeithaml, et al. (1990:26), memiliki lima dimensi, yaitu:

Kehandalan (reliability), Ketanggapan (responsiveness), Keyakinan/jaminan (assurance)

dan Empati (emphaty), Berwujud (tangible). Kualitas pelayanan kesehatan dalam

penelitian ini diartikan sebagai tingkat pencapaian hasil pelaksanaan kegiatan dari suatu

sistem pelayanan kesehatan dalam merespons dinamika yang terjadi dalam masyarakat

secara tepat dan efisien.

2.2. Hipotesis

29
Berdasarkan latar belakan penelitian dan kajian pustaka, peneliti mengajukan

hipotesis penelitian sebagai berikut:

1) Besarnya pengaruh implementasi Kebijakan Anggaran pendidikan terhadap kualitas

pelayanan pendidikan ditentukan oleh faktor komunikasi, sumber daya, sikap

pelaksana, dan struktur birokrasi.

2) Besarnya pengaruh komunikasi terhadap kualitas pelayanan pendidikan ditentukan

oleh transmisi, konsistensi, dan kejelasan komunikasi.

3) Besarnya pengaruh sumber daya terhadap kualitas pelayanan pendidikan, ditentukan

oleh keadaan staf, informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas.

4) Besarnya pengaruh sikap pelaksana terhadap kualitas pelayanan pendidikan,

ditentukan oleh perilaku dan insentif.

5) Besarnya pengaruh struktur birokrasi terhadap kualitas pelayanan pendidikan,

ditentukan oleh kejelasan struktur organisasi anggaran pendidikan dan tim kerja

pelaksana anggaran pendidikan.

30
BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN

1.1 Metode Penelitian

1.1.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menjelaskan dan menganalisis tingkat keterpengaruhan variabel

bebas (independent variable) terhadap variabel terikat (dependent variable). Untuk

itulah, maka penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan metode eksplanatori

survey, yakni: menjelaskan dan menganalisis besarnya pengaruh implementasi kebijakan

anggaran pendidikan terhadap kualitas pelayanan pendidikan dasar baik secara parsial

maupun secara utuh pengaruh dari faktor-faktor implementasi kebijakan tersebut.

Pertimbangan mendasar penelitian ini dilakukan dengan desain kuantitatif, adalah

bahwa faktor-faktor implementasi kebijakan, yakni: komunikasi, sumberdaya, sikap

pelaksana, dan struktur birokrasi, berikut dimensi-dimensinya dapat diukur dengan

menggunakan statistik terapan. Untuk selanjutnya data hasil penelitian tersebut diuji

sesuai tidaknya dengan hipotesis penelitian yang telah dirumuskan sebagai jawaban

sementara terhadap rumusan masalah penelitian, sebagaimana pula sesuai dengan maksud

dan tujuan penelitian.

Agar keberadaan data penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai ukuran

besaran pengaruh dari setiap variabel penelitian, maka penelitian ini akan dilakukan

pengujian kausalitas dari faktor-faktor implementasi pada variabel bebas (X) terhadap

variabel terikat (Y). Oleh karena itulah, maka analisis data yang digunakan adalah

analisis regresi linier multipel yang dilanjutkan dengan menggunakan analisis jalur (Path

Analysis). Dengan teknik path analysis akan diketahui besaran pengaruh variabel X

31
terhadap Y baik secara total maupun secara parsial.

3.1.2. Operasionalisasi Variabel

Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi: 1) variabel bebas (independent

variable) dengan simbol X yakni: Implementasi Kebijakan Angaran Pendidikan dan

variabel terikat (dependent variable) dengan simbol Y, yakni: Kualitas Pelayanan

Pendidikan Dasar.

Operasionalisasi variabel implementasi kebijakan pendidikan

Implementasi Komunikasi antar 1. Keberadaan program sosialisasi


Kebijakan organisasi 2. Kesesuaian isi pesan sosialisasi
Anggaran 3. Kejelasan pesan
Pendidikan 4. Kualitas media sosialisasi
5. Kualitas koordinasi antar lembaga
6. Kecocokan sistem koordinasi
Sumber daya 1. Kecukupan jumlah sarana dan prasarana
2. Dampak sarana dan prasarana
3. Kecukupan jumlah dana
4. Dampak dana terhadap tugas
5. Upaya memenuhi kebutuhan tugas
6. Kecukupan jumlah personal
7. Upaya memenuhi keterbatasan personal
Sikap Pelaksana 1. Pengetahuan pelaksana anggaran
pendidikan
2. Pemahaman pelaksanaan anggaran
pendidikan
3. Motivasi pelaksana anggaran pendidikan
4. Tujuan undividu pelaksana anggaran
pendidikan
5. Keinginan pelakana anggaran pendidikan
Struktur Birokrasi 1. Struktur organisasi pelaksana anggaran
pendidikan
2. Pembagian tugas dan wewenang
3. Hubungan instruksi antar pelaksana
anggaran
4. Koordinasi antar pelaksana anggaran
5. Standar dan prosedur operasional

32
Operasionalisasi variabel kualitas pelayanan pendidikan dasar

Kualitas Berwujud 1. Kelengkapan srana prasarana


Pelayanan (Y) (Tangibles) 2. Lokasi strategis
(Zeithaml,1990: (Y1) 3. Kenyamana ruangan
26) 4. Kecukupan petugas
5. Kebersihan
Kehandalan 1. tepat waktu
(Reliability) 2. Kesesuaian prosedur
(Y2) 3. Kesetaraan/perlakuan sama dari petugas
4. Kesederhanaan
5. Ketepatan
Ketanggapan 1. Ketanggapan kebutuhan pelanggan
(Responsiveness) 2. Penerimaan kritik dan saran
(Y3) 3. Penuh perhatian
4. Kemudahan
5. Memiliki pengetahuan yg memadai
Keyakinan/jaminan 1. Keamanan
(Assurance) 2. Kepastian hukum
(Y4) 3. Kepercayaan
4. Tanggungjawab
5. Kejelasan petunjuk pelayanan
Empati 1. Pemahaman kebutuhan pelanggan
(Empathy) 2. Keinginan membantu pelanggan
(Y5) 3. Kesesuaian pelayanan dengan kebutuhan
4. kepedulian dengan pelanggan
5. Keinginan menindaklanjuti kritik

1.1.2 Unit Analisis, Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

3.1.3.1. Populasi

Di dalam Encyclopedia of Education Evaluation tertulis : A population is a set (or

collection) of all elements possessing one or more attributes of interest. Sugiyono

(2001:57) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka populasi dalam penelitian ini adalah 25

dinas, dengan jumlah realisasi pelayanan pendidikan dasar ( Wajar diknas 9 tahun) adalah

19.772 sekolah dasar dan 2.294 sekolah menengah pertama. Populasi dalam penelitian ini

33
adalah aparatur pada dinas pendidikan , secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel
Jumlah Populasi Aparatur Dinas Pendidikan

No. Sasaran Paramedik Jumlah


1 Dinas pendidikan 4
2 SLTP
3 SD
Jumlah
Sumber :

3.1.3.2. Teknik Penarikan sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi dan ditentukan berdasarkan karakteristik

populasi dengan pengambilan yang representatif. Peneatas dasar pertimbangan

keterbatasan waktu dan biaya dalam penelitian karena besarnya ruang lingkup populasi

sasaran yang diteliti.

Pada pemilihan tingkat pertama, dipilih dua dinas kota dan dua dinas kabupaten di

jawa barat berdasarkan jumlah pelayanan dasar ( SD dan SMP). Berdasarkan jumlah SD

dan SMP, diambil sampel satu dinas pendidikan baik di kota maupun kabupaten yang

pelayanan pendidikannya paling banyak, dan paling sedikit. Berasarka perhitungan, maka

didapat sampel penelitian yaitu Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kabupaten

Purwakarta dan Kabupaten Indramayu.

1.1.3 Teknik pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan

pendapat Neuman (1997:30), dalam pengumpulan data kuantitatif tersebut, dilakukan

34
melalui survey dengan menggunakan alat pengumpul data berupa angket dengan jawaban

yang telah dikategorikan dalam bentuk angka, mengikuti skala likert. Data yang

dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan prosedur pengumpulan data dan

teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1) Angket; teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data yang dilakukan melalui

penyebaran daftar pertanyaan yang bersifat tertutup, yang setiap pertanyaan sudah

disediakan alternatif jawaban, sehingga responden hanya memilih salah satu jawaban

yang dianggap sesuai dengan kenyataan.Teknik pengumpulan data dengan angket ini

dalam rangka mendapatkan data primer tentang Kemampuan Aparatur (X1), Perilaku

Aparatur (X2), dan Kualitas Pelayanan Kesehatan (Y). Pengukuran data dilakukan

dengan menggunakan skala Likert yang telah dimodifikasi. Angket disusun

berdasarkan urutan variabelnya masing-masing jawaban yang menurut responden

paling tepat, dipilih dengan memberikan tanda silang (X) pada jawaban yang tersedia.

Penilaian atas pilihan jawaban untuk angket yang disediakan adalah sebagai berikut :

 Sangat Baik/sangat memuaskan/sangat sesuai/sangat paham, diberi skor 5.

 Baik/memuaskan/sesuai/paham, diberi skor 4.

 Cukup baik/cukup memuaskan/cukup sesuai/cukup paham/cukup setuju,

diberi skor 3.

 Kurang Baik/kurang memuaskan/kurang sesuai/kurang paham diberi skor 2.

 Tidak Baik/tidak memuaskan/tidak sesuai/tidak paham, diberi skor 1.

Skala likert diperuntukkan dalam mengukur sikap, tanggapan dan pendapat responden

terhadap fenomena yang diteliti. Skala Likert memiliki gradasi dari yang sangat

positif sampai yang sangat negatif. Untuk pernyataan yang positif gradasi skornya

35
5,4,3,2,1 sedangkan pernyataan yang negatif gradasi skornya 1,2,3,4,5.

2) Observasi; teknik ini mendiskripsikan secara rinci setting yang diamati, kegiatan

yang terjadi dalam setting tersebut, partisipan yang terlibat, mengamati semua

keadaan dan kegiatan, serta berinteraksi dengan partisipan. Pengamatan ini

menitikberatkan pada kemampuan dan perilaku aparatur sekaligus juga terhadap

kualitas pelayanan kesehatan. Observasi ini dimaksudkan untuk memeriksa dan

mendalami proses wawancara dan penyebaran angket dengan keadaan dan situasi

yang terkait dengan masalah penelitian.

3) Studi Dokumentasi dan kepustakaan; teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan

data sekunder melalui sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan fokus masalah

yang diteliti, baik yang sifatnya kajian teoritik maupun dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan administrasi pemerintahan daerah dan administrasi pelayanan

publik.

4) Wawancara: sebagai teknik komunikasi langsung untuk mendapatkan informasi

secara lebih mendalam melalui wawancara dengan narasumber. Tujuannya adalah

untuk mengetahui lebih jauh kemampuan dan perilaku aparatur dan pengaruhnya

terhadap kualitas pelayanan kesehatan.

1.1.4 Analisis Instrumen Penelitian

Pertanyaan kepada aparatur pemerintahan daerah dan masyarakat dengan

menggunakan skala pengukuran Likert dan masing-masing terdiri dari lima pilihan

jawaban yang bersifat ordinal. Oleh karena itu sebelum data hasil penelitian tersebut

dianalisis, perlu diuji dahulu instrumen penelitian yang disusun dengan cara menguji

36
ketepatan (validity), ketetapan (reliability), dan internal konsistensi. Masing-masing cara

tersebut dihitung dengan langkah-langkah sebagai berikut:

3.2.5.1 Analisis Validitas Instrumen Penelitian

Analisis validitas instrumen penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah alat

ukur yang digunakan mampu mengukur obyek yang diukurnya, untuk itu sebuah alat

ukur dikatakan valid apabila alat tersebut mampu mengukur obyek yang diukurnya

(Mueller, 1986:69-75). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

kesahihan suatu instrumen penelitian (Arikunto, 1998:160). Oleh karena itu untuk

mengukur validitas instrumen, penulis menggunakan validitas internal yaitu: berupa uji

validitas dengan menganalisis butir pada masing-masing variabel (analisis pada tiap

variabel secara terpisah).

Langkah-langkah dalam menganalisis tiap butir pada masing-masing variabel

sebagai berikut :

1) Skor butir pertanyaan dipandang sebagai nilai X dan skor total dipandang sebagai

nilai U;

2) Mengkorelasikan butir-butir pernyataan dalam angket dengan skor total

menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson, dengan rumus sebagai

berikut :

n  xy    X   Y 
r
n X 2
  X 
2
 n  Y 2
 Y 
2

Keterangan:

rxy = koefisien validitas item yang dicari

X = skor butir pertanyaan

37
Y = skor total pertanyaan

3.6.2. Analisis Reliabilitas Instrumen

Uji reliabilitas angket dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsistensi

instrumen angket sebagai alat ukur, sehingga hasil suatu pengukuran dapat dipercaya.

Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan

pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama (homogen) diperoleh hasil yang relatif

sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Dalam hal

ini, relatif sama berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil di

antara hasil beberapa kali pengukuran (Azwar, 1992:4). Formula yang dipergunakan

untuk menguji reliabilitas instrumen angket dalam penelitian ini adalah Koefisien Alfa

(α) dari Cronbach (1951).

 k    i 
2

Rumus: r11   .1  


 k  1 
2
 t 
Sumber: Azwar (1992).

1.1.5 Penskalaan dan Konversi Data

Item-item alat pengumpul data dalam penelitian ini mengacu kepada skala yang

dikembangkan oleh Likert. Skala pengukuran semua variabel dalam penelitian ini adalah

pengukuran pada skala ordinal. Untuk kepentingan analisis data dengan Path Analysis

yang mensyaratkan tingkat pengukuran variabel sekurang-kurangnya interval, indeks

pengukuran variabel ini ditingkatkan menjadi data dalam skala interval melalui method

of successive intervals (Al Rasyid, 2005).

Berikut langkah kerja untuk menaikkan tingkat pengukuran dari skala pengukuran

38
ordinal ke tingkat skala pengukuran interval melalui method of successive intervals :

1. Perhatikan banyaknya (frekuensi) responden yang menjawab (memberikan) respon

terhadap alternatif (kategori) jawaban yang tersedia.

2. Bagi setiap bilangan pada frekuensi oleh banyaknya responden (n), kemudian

tentukan proporsi untuk setiap alternatif jawaban responden tersebut.

3. Jumlahkan proporsi secara beruntun sehingga keluar proporsi kumulatif untuk setiap

alternatif jawaban responden

4. Dengan menggunakan Tabel Distribusi Normal Baku, hitung nilai z untuk setiap

kategori berdasarkan proporsi kumulatif pada setiap alternatif jawaban responden

tadi.

5. Menghitung nilai skala (scale value) untuk setiap nilai z dengan menggunakan

rumus :
Density at lower limit - Density at upper limit
SV =
Area under upper limit - Area under lower limit

6.

7.

8. Melakukan transformasi nilai skala (transformed scale value) dari nilai skala ordinal

ke nilai skala interval, dengan terlebih dahulu menentukan angka indeks skala interval

(SIx) yang diperoleh dari pengurangan angka satu (diperoleh dari nilai skala yang

nilainya kecil atau harga negatif terbesar yang kemudian diubah menjadi sama dengan

satu) dengan SVi terkecil (= SVMin). SIx = 1 - SVMin. Sehingga untuk setiap alternatif

jawaban, skala internalnya dapat diketahui dengan rumus : SIx = SVi + SIx

39
1.1.6 Rancangan Uji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, penelitian ini menggunakan

Analisis Jalur (Path Analysis). Analisis ini dikembangkan antara lain oleh Wright (1934)

dalam Al Rasyid (1993), Dengan tujuan menerangkan akibat langsung dan tidak langsung

seperangkat variabel, sebagai variabel penyebab (exogenous variable) terhadap

seperangkat variabel lainnya yang merupakan variabel akibat (endogenous variable).

Dengan analisis jalur dapat diketahui besarnya pengaruh masing-masing variabel

penyebab terhadap variabel akibat. Besarnya pengaruh (relatif) dari suatu variabel

eksogenus ke variabel endogenous tertentu, dinyatakan oleh bilangan koefisien jalur

(path coefficient) dari eksogenus tersebut ke endogenusnya.

Alasan digunakannya model analisis jalur tersebut sebagai berikut. Pertama,

tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat sejauhmana pengaruh variabel eksogenus

terhadap variabel endogenus. Kedua, hubungan kausal antar variabel yang hendak diuji

dibangun atas dasar kerangka teoritis tertentu yang mampu menjelaskan hubungan

kausalitas antar variabel tersebut.

Adapun asumsi yang mendasari analisis jalur ini adalah: 1) hubungan antar

variabel haruslah bersifat linier dan aditif, 2) semua variabel residu tidak mempunyai

korelasi satu sama lain, 3) pola hubungan antar variabel adalah pola yang tidak

melibatkan arah pengaruh yang timbal balik (rekursif), dan 4) tingkat pengukuran semua

variabel sekurang-kurangnya interval atau yang dibuat interval. (Kusnendi, 2005:4).

Hipotesis penelitian sebagaimana dikemukakan terdahulu dapat digambarkan

dalam Diagram Jalur sebagai berikut :

40
Gambar 3. 1
Diagram Jalur

 y 

 yx
1

X1 Y

41
Keterangan :

X1 : Variabel implementasi kebijakan anggaran pendidikan

Y : Variabel kualitas pelayanan pendidikan dasar

 : Variabel yang mempengaruhi variabel kualitas pelayanan pendidikan dasar di

luar variabel implementasi kebijakan anggaran pendidikan

 yx1 : Koefisien jalur variabel X1 terhadap Y, menggambarkan besarnya pengaruh

langsung variabel X1 terhadap Y

 y : Koefisien jalur variabel residu  terhadap Y, menggambarkan besarnya

pengaruh langsung variabel residu  terhadap Y

Untuk melakukan pengujian hipotesis yang telah ditentukan di atas, maka penulis

mengikuti langkah kerja yang sampaikan oleh Harun Al Rasyid (2004: 4) berikut ini :

1. Menentukan hipotesis statistik (H0 dan H1) yang sesuai dengan hipotesis penelitian

yang diajukan,

2. Menentukan taraf kemaknaan/nyata α (level of significance α),

3. Mengumpulkan data melalui sampel peluang (probaility sample/random sampel),

4. Menentukan statistik uji yang tepat,

5. Menentukan titik kritis dan daerah kritis (daerah penolakan) H0,

6. Menghitung nilai statistik uji berdasarkan data yang dikumpulkan. Lalu

memperhatikan apakah nilai hitung statistik uji jatuh di daerah penerimaan atau

daerah penolakan,

7. Membuat kesimpulan.

42
1.1.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian, dibagi menjadi dua yaitu teknik analisis

data deskriptif dan teknik analisis data inferensial (Arikunto, 1990). Teknik analisis data

penelitian secara deskriptif dilakukan melalui statistika deskriptif, yaitu statistik yang

digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan

data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat generalisasi

hasil penelitian. Termasuk dalam teknik analisis data statistik deskriptif antara lain

penyajian data melalui tabel, grafik, diagram, persentase, frekuensi, perhitungan mean,

median atau modus.

Sementara itu teknik analisis data inferensial dilakukan dengan statistik

inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan membuat

kesimpulan yang berlaku umum. Ciri analisis data inferensial adalah digunakannya

rumus statistik tertentu (misalnya uji t atau uji F). Hasil dari perhitungan rumus statistik

inilah yang menjadi dasar pembuatan generalisasi dari sampel bagi populasi. Berkaitan

dengan statistik inferensial sebagai salah satu teknik analisis data penelitian Arikunto

(1990:388) menjelaskan bahwa: “Statistik inferensial berfungsi untuk

menggeneralisasikan hasil penelitian sampel bagi populasi. Sesuai dengan fungsi tersebut

maka statistik inferensial cocok untuk penelitian sampel”.

Berdasarkan uraian di atas, analisis data dalam penelitian ini akan diarahkan

untuk menjawab permasalahan sebagaimana diungkapkan pada rumusan masalah. Untuk

mempermudah dalam mendeskripsikan data penelitian, digunakan kriteria tertentu yang

mengacu pada rata-rata skor kategori angket yang diperoleh responden. Penggunaan skor

kategori ini digunakan sesuai dengan lima kategori skor yang dikembangkan dalam skala

43
Likert dan digunakan dalam penelitian ini. Adapun kriteria yang dimaksud adalah sebagai

berikut.

Tabel 3.4
Kriteria Analisis Data Deskripsi

Rentang Kategori Skor Penafsiran


1,00 – 1,79 Sangat Tidak Baik/Sangat Rendah
1,80 – 2,59 Tidak Baik/Rendah
2,60 – 3,39 Cukup/Sedang
3,40 – 4,19 Baik/Tinggi
4,20 – 5,00 Sangat Baik/Sangat Tinggi
Sumber : diadaptasi dari skor kategori Likert

Sementara untuk kepentingan generalisasi dan menjawab permasalahan

sebagaimana diungkapkan pada rumusan masalah, maka teknik analisis data yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Analisis Jalur (Path Analysis). Analisis ini

dikembangkan antara lain oleh Sewall Wright (1934) dalam Harun Al Rasyid (1993).

Dengan tujuan menerangkan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat variabel,

sebagai variabel penyebab (exogenous variable) terhadap seperangkat variabel lainnya

yang merupakan variabel akibat (endogenous variable). Dengan analisis jalur dapat

diketahui besarnya pengaruh masing-masing variabel penyebab terhadap variabel akibat.

Besarnya pengaruh (relatif) dari suatu variabel eksogenus ke variabel endogenus tertentu,

dinyatakan oleh bilangan koefisien jalur (path coefficient) dari eksogenus tersebut ke

endogenusnya.

Alasan digunakannya model analisis jalur tersebut, selain karena tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk melihat sejauhmana pengaruh variabel eksogenus terhadap

variabel endogenus, adalah karena hubungan kausal antar variabel yang hendak diuji

dibangun atas dasar kerangka teoritis tertentu yang mampu menjelaskan hubungan

44
kausalitas antar variabel tersebut.

Langkah kerja yang dapat dilakukan dalam Model Analisis Jalur (Path Analysis

Models), adalah sebagai berikut Harun Al Rasyid (2005:7):

1. Menggambar dengan jelas diagram jalur yang mencerminkan proposisi hipotetik yang

diajukan, lengkap dengan persamaan strukturalnya.

2. Menghitung matriks korelasi antar variabel.

X1 X2 Y

1 rx1 x 2 rx1 y 
 1 rx 2 y 
R=

 1 

Formula untuk menghitung koefisien korelasi yang dicari adalah menggunakan

Pearson’s Coefficient of Correlation (Product Moment Coefficient) dari Karl Pearson.

Alasan penggunaan teknik koefisien korelasi dari Karl Pearson ini adalah karena

variabel-variabel yang hendak dicari korelasinya memiliki skala pengukuran interval.

Rumus Pearson’s Coefficient of Correlation (Product Moment Coefficient) :

n xy    x   y 
rxy 
n x     x n y     y  
2 2 2 2 (Sumber : Sudjana, 1996)

3. Menghitung matriks korelasi variabel eksogenus.


X1 X2

45
1 rx1 x 2 
R =
 1 

4. Menghitung matriks invers korelasi variabel eksogenus.


X1 X2

C11 C12 
R1-1 = 
 C22 

5. Menghitung semua koefisien jalur melalui rumus :

  yx1  C11 C12   ryx1 


    C22  ryx 
 yx2    2
6. Menghitung besarnya pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung serta pengaruh

total variabel eksogenous terhadap variabel endogenous secara parsial, dengan

rumus :

 Besarnya pengaruh langsung variabel eksogenous terhadap

variabel endogenus = p x u xi x px u xi

 Besarnya pengaruh tidak langsung variabel eksogenous

terhadap variabel endogenus = p xu xi x r x1 x2 x p xu x i

 Besarnya pengaruh total variabel eksogenus terhadap variabel

endogenus adalah penjumlahan besarnya pengaruh langsung dengan besarnya

pengaruh tidak langsung = [p xu xi x p xu x i ] + [p xu x i x r x1 x2 x p xu xi ]

7. Menghitung R2 xu ( x1 , x 2 ... x k ) , yaitu koefisien determinasi total X1, X2, … Xk terhadap

Xu atau besarnya pengaruh variabel eksogenous secara bersama-sama (gabungan)

terhadap variabel endogenous dengan menggunakan rumus :

46
 rxu x1 
r 

R 2 xu ( x1 , x2 ,...xk )   xu x1  xu x2 ...  xu xk   xu x2 
 ... 
 
rxu xk 

8. Menghitung besarnya variabel residu, yaitu variabel yang mempengaruhi variabel

endogenus di luar variabel eksogenus, dengan rumus :

p xu  1  R 2 xu ( x1 , x2 ,..., xk )

9. Menguji kebermaknaan (test of significance) setiap koefisien jalur yang telah

dihitung, dengan statistik uji yang digunakan adalah (Harun Al Rasyid, 2005:10):

p xu xi
t
(1  R 2 xu ( x1 x2 ...xk ) )Cii
n  k 1

Kriteria pengujian : Ditolak H0 jika nilai hitung t lebih besar dari nilai tabel t –

student. (t0 > ttabel (n-k-1)).

10. Menguji kebermaknaan (test of significance) koefisien jalur secara keseluruhan yang

telah dihitung, dengan statistik uji yang digunakan adalah (Nirwana Sitepu, 2002):

(n  k  1)( R 2 xu ( x1 , x2 ,...xk ) )
F
k (1  R 2 xu ( x1 , x2 ,... xk ) )

Kriteria pengujian : Ditolak H0 jika nilai hitung F lebih besar dari nilai tabel F. (F0 >

Ftabel (k, n-k-1)).

1.1.8 Jadwal Waktu Penelitian

Proses penulisan, penelitian dan penyusunan laporan penelitian secara

keseluruhan dapat dirinci sebagai berikut.

47
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi


Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Penerbit PT Bumi Aksara.
--------------------------------. 1998. Analisis Kebijakan Publik : Teori dan Aplikasinya.
Semarang : Penerbit Fakultas Ilmu Administrasi Univ. Brawijaya.
Al Rasyid, Harun. 1993. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Bandung :
Program Pascasarjana UNPAD.
---------------------. 1994. Statistik Sosial. Bandung : Unpad.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Rineka
Cipta : Jakarta.
Dunn, Willian.N. 1981. Public Policy Analysis : An Introduction. USA : Prentice-
Hal,Inc., Englewood Cliffs,N.J.07632.
--------------------. 1992. Analisis Kebijaksanaan Publik. Terjemahan Muhajir Darwis.
Yogyakarta : Penerbit PT. Hanindita.
-----------------------. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Terjemahan
Samodra Wibawa,dkk. Yogyakarta : Penerbit Gajah Mada University Press.
Danim, Sudarwan. 2000. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta : Penerbit PT
Bumi Aksara.
Edwards III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington, D.C:
Congressional Quarterly Press.
Esmara, Hendra. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta : Penerbit
PT Gramedia.
Goggin, Malcolm L, et. All. 1990. Implementation Theory and Practice : Toward and
Third Generation, Scoot. Illinois : Foresman and Company.
Grindle, Merilee S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. New
Jersey : Princeton University Press.
Hewlett, Michael & M. Ramesh. 2003. Studying Public Policy : Policy Cycles and Policy
Subsystems. Oxford Penerbir : University Press

48
Islamy, Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bumi
Aksara.
Jones, Charles O. 1996. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy. Terjemahan Ricky
Ismanto. Jakarta : Penerbit PT RajaGrafmdo Persada.
Lembaga Administrasi Negara (LAN). 2000. Akuntabilitas dan Good Governance.
Jakarta : Penerbit LAN dan BPKP
Nudgroho D, Riant. 2003. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.
Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo.
-------------------------. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang. Jakarta
: Penerbit PT Elex Media Komputindo.
Putra, Fadillah. 2005. Kebijakan Tidak Untuk Publik. Yogyakarta : Penerbit Resist Book.
Patton, Carl V. & David S. Wawicki. 1986. Basic Methods of Policy Analysis and
Planning. USA : Prentice-Hal,Inc., Englewood Cliffs,N.J.07632.
Paranarka, AMW dan Prijono, Onny S. 1996. Pemberdayaan, Konsep Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta : CSIS.
Sabatier, Paul A. 1993. Top-down and Bottom-up Approach to Implementation Research.
Dalam hil, Michael (red). The Policy : A Reader. Hertfordshire: Hervester
Wheatsheaf.
Saefuddin, Asep. 2003. Menuju Masyarakat Mandiri. Jakarta : Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Singarimbun, Masri & Sofian Efendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyarakta : Pererbit Pustaka Pelajar.
Sudriamunawar, Haryono. 2006. Kepemimpinan, Peran Serta, dan Produktivitas.
Bandung : Penerbit Mandar Maju.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Suharto, Edi, 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung : Penerbit AIPI Bandung –
Puslit KP2W Lemlit Unpad.
Tangkilisan, Hesel Nogi S. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Yogyakarta :
Penerbit Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia & Lukman Offset.

49
--------------------------------. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta : Penerbit
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia & Lukman Offset.
Umar, Husein. 2005. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Jakarta : Penerbit
PT Gramdia Pustaka Utama.
Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Proses dan Analisis. Jakarta : Intermedia.

Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Prenada Media.

Creswell, John W. 1994. Research Design,Qualitatif and Quantitatif Approach. UK-New


Delhi-California: Sage- Publication.

______________2002. Desain Penelitian,Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.


Terjemahan. Nur Khabibah,dkk. Yakarta : Kik Press.

Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen kualitas,penerapan konsep-konsep dalam


manajemen bisnis total. Jakarta : Gramedia.

______________. 2002. Total Quality Management. Jakarta : Gramedia.

______________.2007. Team Oriented Problem Solving. Jakarta : Gramedia.

Kotler, Philip. 1994. Marketing Management,Analysis, Planning,Implementation and


Control, Prentice Hall International.Eight Edition.

____________1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan


Pengendalian. Alih Bahasa Ancella Anitawati Hermawan. Jakarta : Penerbit
Salemba Empat

Kusnendi. 2005. Analisis Jalur,Konsep dan Aplikasi Dengan Program SPSS & LISREL
8.JPE. Bandung : FPIPS.

________. 2004. Konsep dan Aplikasi Model Persamaan Struktur ( SEM ) Dengan
Program LISREL 8. Bandung : JPE-FPIPS.

Lovelock, Christopher. 1994. Product Plus, How Product + Service = Competitive


Advantage, Mac Graw-Hill, Inc.

Lukman, Sampara.1999. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta : STIA-LAN Press.

Moenir, A.S. 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

Rasyid, Harun Al. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan penyusunan skala. Bandung :
Pascasarjana Unpad.

Rusidi. 1993. Metode dan Teknik Penelitian ilmu-ilmu sosial. Bandung: Program
Pascasarjana Unpad.

50
Singarimbun, Masri dan Sofyan Efendi, 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta:LP3ES.

Spenser, Lyle M.JR. & Signe M. Spenser.1993. Competence at Work. Models for
Superrior Performance. John Willey & Sons Inc.

Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta.

Tjiptono, Fandi. 1996. Manajemen Jasa. Yogyakarta : Andi.

Tjiptono, Fandi, Gregorius Chandra. 2005. Service, Quality. Satisfaction. Yogyakarta :


Andi.

Tjiptono, Fandi dan Anastasia Diana, 2003. Total Quality Management (Edisi Revisi).
Yogyakarta : Andi.

A. Dokumen dan Peraturan Perundangan

Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1457/Menkes/SK/X/2003. Tentang Standar


pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/kota.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/2003 Tentang pedoman


penyelenggaraan pelayanan.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Nomor.


63/KEP/M.PAN/7/2003.Tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan
publik.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 118/2004. Tentang


penanganan pengaduan masyarakat.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 119/2004. Tentang


Pemberian penghargaan Citra Pelayanan Prima.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26/MENPAN/2/2004.


Tentang Petunjuk teknis transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.(24 Februari 2004).

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/MENPAN/2/2004.


Tentang Pedoman umum penyusunan indeks kepuasan masyarakat unit pelayanan
instansi pemerintah ( 24 Februari 2004).

KeputusanMenteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Nomor 25/KEP/MENPAN/4/2002.


Tentang Pedoman pengembangan budaya kerja aparatur negara ( 25 april 2002 ).

51
Lampiran 1:

ANGKET PENELITIAN

No. Responden :.............................

Identitas:

1. Masa Kerja : ...............................................

2. Tingkat Pendidikan : 1. S3 4. SMU/SMA


2. S2 5. D3/S0
3. S1

3. Jabatan Sekarang : ..............................................

4. Pangkat/Golongan : ..............................................

5. Dinas/Instansi : ..............................................

6. Alamat : ..............................................

Petunjuk Pengisian Angket:


Bapak/Ibu/Sdr. dapat memilih satu item jawaban dari pertanyaan yang menurut
Bapak/Ibu/Sdr paling sesuai dengan pengalaman dan kenyataan di lapangan, dengan
memberi tanda silang (X) pada alternatif jawaban yang tersedia.
ANGKET UNTUK VARIABEL BEBAS (X)
Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Kecamatan (PPK)
I. Komunikasi
- Transmisi
1. Menurut Bapak/Ibu, apakah Penentu/pengambil kebijakan PPK dalam menyampaikan
program kepada implementor/pelaksana kebijakan PPK dilakukan dengan cepat?
a. Sangat cepat
b. Cepat
c. Cukup cepat
d. Kurang cepat
e. Tidak cepat sama sekali

2. Menurut Bapak/Ibu, apakah Penentu/pengambil kebijakan PPK dalam menyampaikan

52
program kepada implementor/pelaksana kebijakan PPK sesuai dengan aturan PPK?
a. Sangat sesuai
b. Sesuai
c. Cukup sesuai
d. Kurang sesuai
e. Tidak sesuai sama sekali
3. Menurut Bapak/Ibu, apakah selama ini Penentu/pengambil kebijakan PPK tidak
mengalami kemandekan dalam penyampaian pesan program kepada
implementor/pelaksana kebijakan PPK?
a. Tidak pernah terjadi kemandekan
b. Sering Terjadi kemandekan
c. Kadang-kadang terjadi kemandekan
d. Selalu terjadi kemandekan
e. Mandek terus
- Konsistensi
4. Menurut Bapak/Ibu, apakah Penentu/pengambil kebijakan PPK selalu konsisten
dalam menyampaikan pesan program kepada implementor/pelaksana kebijakan PPK
untuk kepentingan kelompok tani?
a. Sangat konsisten
b. Selalu Konsisten
c. Cukup konsisten
d. Kadang-kadang konsisten
e. Tidak pernah konsisten sama sekali
5. Menurut Bapak/ibu, apakah tugas implementor/pelaksana PPK yang disampaikan
kepada kelompok tani tidak kontradiktif dengan kebijakan PPK?
a. Sangat tidak kontradiktif
b. Tidak kontradiktif
c. Kadang-kadang kontradiktif
d. Selalu kontradiktif
e. Kontradiktif terus
6. Menurut Bapak/ibu, apakah keputusan yang dilaksanakan selama ini adalah
keputusan yang cermat untuk dilaksanakan oleh implementor/pelaksana kebijakan
PPK?
a. Sangat cermat
b. Selalu Cermat
c. Cukup cermat
d. Kadang-kadang cermat
e. Tidak cermat sama sekali
-Kejelasan
7. Menurut Bapak/ibu, apakah para implementor/pelaksana PPK dalam menjalankan
Program yang jelas sesuai dengan kebijakan program PPK?
a. Sangat jelas
b. Selalu Jelas
c. Cukup jelas
d. Kurang jelas
e. Tidak jelas sama sekali

53
8. Menurut Bapak/ibu, apakah para implementor/pelaksana PPK dalam menjalankan
Program sesuai dengan tahapan program PPK?
a. Sangat sesuai
b. Selalu Sesuai
c. Cukup sesuai
d. Kurang sesuai
e. Tidak sesuai sama sekali
9. Menurut Bapak/ibu, apakah Penentu/pengambil kebijakan PPK dalam memberi
informasi tidak membingungkan para implementor/pelaksana PPK dalam
melaksanakan program PPK?
a. Sama sekali tidak membingungkan
b. Tidak membingungkan
c. Selalu membingungkan
d. Membingungkan
e. Cukup membingungkan

II. Sumber Daya


- Staf
10. Menurut Bapak/ibu, apakah selama pelaksanaan program PPK didukung oleh staf
pelaksana yang memadai?
a. Selalu Sangat memadai
b. Sangat Memadai
c. Cukup memadai
d. Kurang memadai
e. Tidak memadai sama sekali
11. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK memiliki Pendidikan yang relevan
dengan program PPK?
a. Sangat relevan
b. Relevan
c. Cukup relevan
d. Kurang relevan
e. Sama sekali tidak relevan
12. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK memiliki Pengetahuan yang
memadai tentang program PPK
a. Sangat memadai
b. Memadai
c. Cukup memadai
d. Kurang memadai
e. Tidak memadai sama sekali
13. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK memiliki keahlian yang memadai
dibidang pertanian tanaman jagung?
a. Sangat memiliki keahlian
b. Memiliki keahlian
c. Cukup memiliki
d. Kurang memiliki
e. Tidak memiliki sama sekali

54
- Informasi
14. Menurut Bapak/ibu, apakah dalam pelaksanaan tahapan program PPK didukung oleh
data potensi pertanian yang lengkap?
a. Sangat lengkap
b. Lengkap
c. Cukup lengkap
d. Kurang Lengkap
e. Tidak lengkap sama sekali
15. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK memberikan Informasi yang jelas
kepada petani tentang program PPK?
a. Sangat jelas
b. Jelas
c. Cukup jelas
d. Kurang jelas
e. Tidak jelas sama sekali
16. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK dalam melaksanakan program
memberikan Informasi yang akurat tentang program PPK?
a. Sangat akurat
b. Akurat
c. Cukup akurat
d. Kurang akurat
e. Tidak akurat sama sekali
- Wewenang
17. Menurut Bapak/ibu, apakah penentu/pengambil kebijakan PPK memiliki otoritas
(kewenangan) dalam memberi perintah kepada para pelaksana PPK dalam
melaksanakan tugas-tugas PPK?
a. Sangat Memiliki otoritas
b. Memiliki
c. Cukup memiliki
d. Kurang memiliki
e. Tidak memiliki sama sekali
18. Menurut Bapak/ibu, apakah penentu/pengambil kebijakan PPK memiliki
tanggungjawab dalam menyukseskan program PPK?
a. Sangat memiliki
b. Memiliki
c. Cukup memiliki
d. Kurang memiliki
e. Tidak memiliki sama sekali
19. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK bertanggungjawab atas pelaksanaan
semua tahapan program PPK?
a. Sangat bertanggungjawab
b. Bertanggungjawab
c. Cukup bertanggungjawab
d. Kurang bertanggungjawab
e. Tidak bertanggungjawab sama sekali
20. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK dalam melaksanakan program sesuai

55
dengan pembagian tugas dalam tahapan PPK?
a. Sangat sesuai
b. Sesuai
c. Cukup sesuai
d. Kurang sesuai
e. Tidak sesuai sama sekali
-Fasilitas-fasilitas
21. Menurut Bapak/Ibu, apakah para pelaksana PPK dalam melaksanakan program PPK
didukung oleh Sarana yang memadai?
a. Sangat memadai
b. Memadai
c. Cukup memadai
d. Kurang memadai
e. Tidak memadai sama sekali
22. Menurut Bapak/Ibu, apakah sarana PPK yang ada dapat menunjang pelaksanaan
program PPK?
a. Sangat menunjang
b. Menunjang
c. Cukup menunjang
d. Kurang menunjang
e. Tidak menunjang sama sekali
23. Menurut Bapak/Ibu, apakah para pelaksana PPK dalam melaksanakan program PPK
didukung oleh prasarana yang memadai?
a. Sangat memadai
b. Memadai
c. Cukup memadai
d. Kurang memadai
e. Tidak memadai sama sekali
24. Menurut Bapak/Ibu, apakah prasarana PPK yang ada dapat menunjang pelaksanaan
program PPK?
a. Sangat menunjang
b. Menunjang
c. Cukup menunjang
d. Kurang menunjang
e. Tidak menunjang sama sekali
25. Menurut Bapak/Ibu, dalam hal penggunaan fasilitas-fasilitas PPK, apakah para
pelaksana PPK menggunakannya secara bertanggungjawab?
a. Sangat bertanggungjawab
b. Bertanggungjawab
c. Cukup bertanggungjawab
d. Kurang bertanggungjawab
e. Tidak bertanggungjawab sama sekali

III. Sikap Pelaksana


- Perilaku
26. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK patuh dalam melaksanakan tugas-

56
tugas dalam program PPK?
a. Sangat patuh
b. Patuh
c. Cukup patuh
d. Kurang patuh
e. Tidak patuh sama sekali
27. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK memiliki sikap yakin dalam
menyukseskan tugas-tugas dalam program PPK?
a. Sangat yakin
b. Yakin
c. Cukup yakin
d. Kurang yakin
e. Tidak yakin sama sekali
28. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK memiliki kepercayaan diri dalam
menyukseskan tugas-tugas dalam program PPK?
a. Sangat percaya diri
b. Percaya diri
c. Cukup percaya diri
d. Kurang percaya diri
e. Tidak percaya diri sama sekali
29. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK selalu respon terhadap tugas-tugas
dalam program PPK?
a. Sangat respon
b. Respon
c. Cukup respon
d. Kurang respon
e. Tidak respon
- Insentif
30. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK membutuhkan pengakuan atas
kinerjanya dalam melaksanakan tugas-tugas dalam program PPK?
a. Sangat membutuhkan
b. Membutuhkan
c. Cukup membutuhkan
d. Kurang membutuhkan
e. Tidak membutuhkan sama sekali
31. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK diberi penghargaan lisan oleh
penentu/pengambil kebijakan PPK atas kinerjanya dalam melaksanakan tugas-tugas
dalam program PPK?
a. Selalu diberi penghargaan
b. Diberikan penghargaan
c. Cukup diberi penghargaan
d. Kurang diberi penghargaan
e. Sama sekali tidak diberi penghargaan
32. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK diberi penghargaan tertulis oleh
penentu/pengambil kebijakan PPK atas kinerjanya dalam melaksanakan tugas-tugas
dalam program PPK?

57
a. Selalu diberi penghargaan
b. Diberikan penghargaan
c. Cukup diberi penghargaan
d. Kurang diberi penghargaan
e. Sama sekali tidak diberi penghargaan
33. Menurut Bapak/ibu, apakah penentu/pengambil kebijakan PPK selalu memberi
dukungan moril kepada Para implementor dalam melaksanakan tugas-tugas dalam
program PPK?
a. Selalu memberi dukungan
b. Memberi dukungan
c. Cukup memberi dukungan
d. Kurang memberi dukungan
e. Tidak memberi dukungan sama sekali
34. Menurut Bapak/ibu, apakah penentu/pengambil kebijakan PPK selalu memberi
dukungan materil kepada Para implementor dalam melaksanakan tugas-tugas dalam
program PPK?
a. Selalu memberi dukungan
b. Memberi dukungan
c. Cukup memberi dukungan
d. Kurang memberi dukungan
e. Tidak memberi dukungan sama sekali

IV. Struktur Birokrasi


- Kejelasan Struktur Organisasi Pelaku PPK
35. Menurut Bapak/ibu, apakah Organisasi Pelaku PPK dari tingkat Kabupaten,
Kecamatan sampai Desa/ Kelurahan memiliki struktur yang sederhana?
a. Sangat sederhana
b. Sederhana
c. Cukup sederhana
d. Kurang sederhana
e. Tidak sederhana
36. Menurut Bapak/ibu, apakah Organisasi Pelaku PPK dari tingkat Kabupaten,
Kecamatan sampai Desa/Kelurahan memiliki struktur yang fleksibel?
a. Sangat fleksibel
b. Fleksibel
c. Cukup fleksibel
d. Kurang fleksibel
e. Tidak Fkelsibel sama sekali
37. Menurut Bapak/ibu, apakah Organisasi Pelaku PPK dari tingkat Kabupaten,
Kecamatan sampai Desa/Kelurahan memiliki tujuan yang jelas?
a. Sangat jelas
b. Jelas
c. Cukup jelas
d. Kurang jelas
e. Tidak jelas sama sekali
- Team Kerja Pelaksana PPK

58
38. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK dalam menjalankan program PPK
memiliki fungsi yang jelas dalam organisasi pelaku PPK?
a. Sangat jelas
b. Jelas
c. Cukup jelas
d. Kurang jelas
d. Tidak jelas sama sekali
39. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK selalu efektif dalam menjalankan program
PPK?
a. Sangat efektif
b. Efektif
c. Cukup efektif
d. Kurang efektif
e. Tidak efektif sama sekali
40. Menurut Bapak/ibu, apakah para pelaksana PPK memiliki daya dukung tim kerja yang kuat
dalam menjalankan program PPK?
a. Sangat memiliki
b. Memiliki
c. Cukup memiliki
d. Kurang memiliki
e. Tidak memiliki sama sekali

PETUNJUK PENGISIAN ANGKET:

59
Pilihlah salah satu jawaban yang paling sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu Jawaban yang
sesuai diberi dengan tanda silang (X) pada kolom angka 5, 4, 3, 2, atau 1.

KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN (Y)

A. KEHANDALAN

1. Apakah selama ini petugas memiliki kecermatan dalam pelaksanaan tugas pelayanan
pendidikan.
5 4 3 2 1
sangat cermat cermat cukup cermat kurang cermat tidak cermat
2. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki ketepatan dalam membuat resep/ mendiagnosa
pasien.
5 4 3 2 1
sangat tepat tepat cukup tepat kurang tepat tidak tepat
3. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kemampuan memahami tugasnya dalam melayani
pasien.
5 4 3 2 1
sangat mampu mampu cukup mampu kurang mampu tidak mampu
4. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kehandalan dalam menggunakan peralatan
kesehatan.
5 4 3 2 1
sangat handal handal cukup handal kurang handal tidak handal

60
KETANGGAPAN

5. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh


petugas/paramedik yang memiliki ketanggapan dalam melayani pasien.
5 4 3 2 1
sangat tanggap tanggap cukup tanggap kurang tanggap tidak tanggap
6. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedis yang memiliki kecepatan dalam merespon kebutuhan pasien.
5 4 3 2 1
sangat cepat cepat cukup cepat kurang cepat tidak cepat
7. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki ketanggapan dalam menyelesaikan keluhan pasien.
5 4 3 2 1
sangat tanggap tanggap cukup tanggap kurang tanggap tidak tanggap
8. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki ketanggapan atas besarnya biaya yang dibebankan
pasien.
5 4 3 2 1
sangat tanggap tanggap cukup tanggap kurang tanggap tidak tanggap

B. KEYAKINAN

9. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh


petugas/paramedik yang memiliki kemampuan menjelaskan informasi kesehatan
ketika melayani pasien.
5 4 3 2 1
sangat jelas jelas cukup jelas kurang jelas tidak jelas
10. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kemampuan memberikan kepastian tentang biaya
pelayanan kesehatan kepada pasien.
5 4 3 2 1
sangat pasti pasti cukup pasti kurang pasti tidak pasti
11. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kemampuan memberikan jaminan keamanan
pemakaian obat atau peralatan kepada pasien.
5 4 3 2 1
sangat mampu mampu cukup mampu kurang mampu tidak mampu

12. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kemampuan menyelesaikan pelayanan tepat waktu.

61
5 4 3 2 1
selalu sering kadang-kadang jarang tidak pernah

C. EMPATI

13. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kemampuan untuk mendahulukan kepentingan
pasien.
5 4 3 2 1
selalu sering kadang-kadang jarang tidak pernah

14. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kemampuan untuk memberikan informasi tentang
biaya pelayanan secara terbuka.
5 4 3 2 1
sangat terbuka terbuka cukup terbuka kurang terbuka tidak terbuka

15. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki kemampuan untuk mengetahui kebutuhan pasien.
5 4 3 2 1
sangat tinggi tinggi cukup tinggi kurang tinggi rendah

16. Apakah selama ini pelaksanaan tugas pelayanan di puskesmas dilakukan oleh
petugas/paramedik yang memiliki sifat ramah kepada pasien.
5 4 3 2 1
sangat ramah ramah cukup ramah kurang ramah tidak ramah

D. BERWUJUD

17. Bagimana penampilan petugas/paramedik dalam melayani bapak/ibu di puskesmas


ini.
5 4 3 2 1
sangat baik baik cukup baik kurang baik tidak baik
18. Bagaimana kenyamanan sarana pelayanan kesehatan di puskesmas ini.
5 4 3 2 1
sangat nyaman nyaman cukup nyaman kurang nyaman tidak nyaman

62
19. Bagaimana kemudahan persyaratan memperoleh pelayanan di puskesmas ini.
5 4 3 2 1
sangat mudah mudah Cukup mudah Kurang mudah Tidak mudah
20. Bagaimana keterjangkauan biaya pelayanan kesehatan di puskesmas ini.
5 4 3 2 1
sangat terjangkau cukup kurang tidak
terjangkau terjangkau terjangkau terjangkau
21. Bagaimana kedisiplinan petugas/paramedik yang melayani bapak/ibu di puskesmas
ini
5 4 3 2 1
sangat disiplin disiplin cukup disiplin kurang disiplin tidak disiplin

63
64
Lampiran 3:

PEDOMAN WAWANCARA
Untuk Counter Information

Identitas:

a. Tingkat Pendidikan : ..............................................

b. Jabatan/Pekerjaan : ..............................................

b. Alamat : ..............................................

Untuk Variabel X : Implementasi Kebijakan PPK


I. Komunikasi
1) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang pelaksanaan / implementasi kebijakan PPK
di Kabupaten Gorontalo?
2) Bagaimana proses komunikasi antara pimpinan dan pelaksana kebijakan PPK selama
ini?

II. Sumber Daya


1) Bagaimana pendapat bapak/ibu terhadap ketersediaan sumber daya baik aparatur
pelaksana PPK, maupun fasilitas sarana prasarana PPK?
2) Apakah menurut bapak/ibu sumber daya yang ada dalam kegiatan PPK mendukung
pelaksanan kegiatan PPK?

III. Sikap Pelaksana


1) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang sikap para pelaksana kebijakan PPK selama
ini?
2) Apakah menurut bapak/ibu sikap aparatur pelaksana kebijakan PPK cenderung tidak
bertanggungjawab dalam pelaksanaan kebijakan PPK?

IV. Struktur Birokrasi


1) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang keberadaan organisasi pelaku PPK di
kabupaten Gorontalo?
2) Menurut bapak/ibu bagaimana sebaiknya struktur dan fungsi dari organisasi pelaku
PPK yang ideal?

Untuk Variabel Y, Peningkatan Produkitivitas Jagung

I. Dimensi Modal
1) Bagaimana pendapat bapak/ibu soal modal/dana yang digunakan dalam aktivitas

65
usahatani jagung di kabupaten Gorontalo?
2) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kebijakan pemerintah daerah dalam
pengadaan modal/dana bagi usahatani jagung?
3) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang pengelolaan modal/dana yang bersumber dari
dana PPK?
4) Apakah kelompok tani jagung memanfaatkannya untuk kepentingan usaha taninya?

II. Dimensi Skills


1) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kecakapan dan ketrampilan petani dalam
menjalankan usaha tani jagungnya?
2) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kemampuan para pelaksana PPK dalam
melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada petani jagung?

III. Dimensi Aksessibilitas


1) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang pemberian kemudahan oleh pemerintah
daerah kepada para petani jagung, dalam memperoleh dana atau modal
usahataninya?
2) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang pemasaran hasil produksi jagung, apakah
pemerintah daerah memberi kemudahan sampai pada pemasaran hasil produksi
jagung?
3) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang pemanfaatan teknologi pertanian dalam usaha
tani jagung, apakah pemerintah daerah juga memfasilitasi pengadaannya?
4) Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kemampuan petani dalam memperoleh
informasi tentang pertanian tanaman jagung, apakah pemerintah daerah melalui
program PPK memberi kemudahan kepada petani dalam memperoleh informasi
pertanian di kabupaten Gorontalo?

66

Anda mungkin juga menyukai