Anda di halaman 1dari 40

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMO DAERAH DALAM

PENGEMBANGAN SUMBER-SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN

KONTRIBUSINYA TERHADAP PENINGKATAN ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA DAERAH DI KOTA SURAKARTA

A. PENDAHULUAN

Salah satu bentuk pelaksanaan system demokrasi dalam sebuah

pemerintahan adalah dengan memberlakukan asas desentralisasi dalam hubungan

pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Dengan asas desentralisasi ini

maka sebagian urusan pemerintah (pusat) akan diserahkan kepada daerah atau

masyarakat setempat, sekaligus dianggap sebagai bagian dari proses partisipasi

masyarakat dalam bernegara. Dengan memberikan ruang partisipasi kepada

daerah, berarti memberikan ruang bagi warga Negara atau masyarakat untuk

terlibat dalam pengambilan keputusan. Agar pelaksanaan asas desentralisasi dapat

berjaland engan baik, maka kepada daerah diberikan otonomi untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri. Pengertian mengurus dan mengatur rumah

tangganya sendiri ini di dalamnya mengandung pengertian self finance, yaitu

daerah dituntut untuk secara mandiri mengatur keuangannya. Termasuk di

dalamnya adalah menyediakan pendanaan bagi pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan di daerahnya.

Oleh karena itu untuk mengatur apakah pelaksanaan otonomi daerah dapat

berjalan dengan baik atau tidak, dapat kita lihat dari kemampuan pemerintah

daerah dalam melakukanpembiayaan pemerintahan secara mandiri. Dalam koteks

1
anggaran pemerintah daerah, dapat dilihat dari kemampuan pemerintah daerah

untuk menghimpun besaran pendatan asli daerah (PAD). Besarnya PAD menjadi

salah satu ukuran dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi pada

suatu daerah. Untuk mencapai penerimaan dari PAD secara maksimal, akan

sangat tergantung dari kemampuan dan tindakan atau kebijakan pemerintah

daerah untuk memanfaatkan segenap potensi yang dimilikinya. Bagi daerah yang

memiliki sumber daya alam yang besar, maka PAD bukanlah persoalan yang

berarti. Namun bagi daerah tertentu yang potensi kekayaan alamnya terbatas,

pemerintahnya dituntut untuk lebih kreatif menghasilkan pos-pos pendapatan

yang mampu menyumbangkan PAD yang berarti. Oleh karena itu partisipasi

masyarakat harus terus diberdayakan untuk menunjang tugas pemerintah daerah

menggerakkan segenap sumber dayanya agar menjadi lebih produktif

Kota Surakarta adalah salah satu daerah di Indonesia yang mempunyai

cirri khas sebagai sebuah kawasan perkotaan yang sedang mengalami

pertumbuhan yang secara pesat. Sebagai kawasan perkotaan, PAD- nya tentu

tidak bergantung pada sumber daya alam yang dimilikinya. Dengan

mengandalkan potensi ekonomi yang berbasiskan pada industri, jasa dan

perdagangan, pemerintah Kota Surakarta dituntut untuk mampu menyediakan

pendanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

Berdasarkan kondisi di atas, maka penulis tertarik untuk membuat

makalah yang didasarakan pada data-data dari Pemerintah Kota Surakarta tentang

Pendapatan Asli Daerah Tahun 1999-2003, dengan judul Implementasi Kebijakan

Otonomi Daerah dalam Pengembangan Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

2
dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah di Kota Surakarta.

B. PERUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini yang menjadi pokok permasalahan adalah :

Bagaimanakah implementasi kebijakan otonomi daerah dalam mengembangkan

sumber-sumber pendapatan asli daerah, kontribusi yang diberikan terhadap

Peningkatan APBD serta Faktor pendukung dan hambatannyaa di Kota

Surakarta?

C. PEMBAHASAN

1. Tahapan Kebijakan

Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan

perhatian kita untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making

process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan

dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Thomas R. Dye

mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever government choose to

do is on not to do” (Thomas R Dye dalam Esmi Warassih, 1999: 131).secara

sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan dalam kalimat sebagai

berikut: (Thomas R. Dye, 1981:77).

a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)

b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)

3
c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan

kenyatan (what defference it makes?)

Menurut Richard Rose (dikutip dari Dunn) mendefinisikan

kebijakan publik (public policies) sebagai rangkaian pilihan yang kurang lebih

satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan termasuk keputusan-

keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan-badan pejabat

pemerintah yang diformulasikan ke dalam isu-isu publik dari masalah

pertahanahan, energi, kesehatan sampai kepada permasalahan pendidikan,

kesejahteraan dan kejahatan.

Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif

yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yagn sadar oleh para pelaku kebijakan

sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang

dapat diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya, setidak-tidaknya

menyangkut 3 (tiga) unsur penting yaitu : (Thomas R Dye, 1981:89)

(1) Pelaku kebijakan

(2) Kebijakan publik

(3) Lingkungan kebijakan

Ketertiban antara hukum dan kebijakan publik akan semakin

relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi selalu

melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda di tiap tempat, karena

memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian pula keterlibatan

lembaga di dalam proses implementasi selalu akan bekerja di dalam konteks

4
sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal balik yang dapat saling

mempengaruhi.

Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga

pemerintah dalam berbagai jenjang /tingkat, baik propinsi maupun tingkat

kabupaten. Setiap jenjang pelaksanaan pun amsih membutuhkan pembentukan

kebijaksanaan lebih lanjut dalam berbagai bentuk peraturan perundang-

undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut.

Apabila sarana yang dipilih adalah hukum sebagai suatu proses

pembentukan kebijaksanaan publik, maka faktor-faktor non hukum akan

selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Untuk

mengantisipasi hal ini diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan meliputi:

(1) menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan

tujuan, standard pelaksana, biaya dan waktu yang jelas;

(2) melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staf, biaya,

resources, prosedur, dan metode, dan

(3) membuat jadual pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk

menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai rencana.

Dengan demikian, jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan

program tersebut akan segera diambilkan tindakan yang sesuai. Secara

singkat, pelaksanaan suatu program melibatkan unsur penetapan waktu,

perencanaan dan monitoring.

Berangkat dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa

pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya disertai dengan

5
action plan. Di Indonesia, untuk dapat melakukan program-program

pemerintah sebagaimana tercantum dalam GBHN maupun Repelita, maka

perlu dijabarkan lebih konkrit dalam bentuk peraturan perundangan. Gledden

dalam Esmi Warassih mengklsifikasikan kebijaksanaan itu menurut tinggi

rendahnya tingkatan/level, yaitu :

(1) kebijaksanaan politis (political policy);


(2) kebijakan eksekutif (executive policy);
(3) kebijaksanaan administratif (administrative policy); dan
(4) kebijaksanaan teknis atau operasional (techniocal or operasional policy).
Mengenai tingkatan kebijaksanaan ini telah tampak di dalam perundang-
undangan di Indonesia. (Esmi Warassih, 2005: 137).
Dalam mempelajari kebijakan publik (public policy), ada 3 (Tiga)

fase/tahapan/proses yang harus diketahui yaitu:

1. Tahap formulasi

2. tahap implementasi

3. tahap evaluasi

Grindle dan Thomas dalam (T.Saiful Bahri, Hessel Nogi S.

Tangkilisan, Mira Subandini, 2004: 39) mengatakan bahwa kentalnya dimensi

public dalam proses kebijakan publik mereka menganggap bahwa pada

dasarnya kebijakan publik itu berada dalam sebuah realitas politik makro dan

mikro yang sangat kompleks. Berbagai elemen dan situasi yang melingkupi

keadaan sosio politik sebuah bangsa akan sangat menentukan seperti apa

bangunan kebijakan publik yang akan dihasilkan.

Kepercayaan akan adanya faktor-faktor politis yang mempengaruhi

keduanya itu bukan berarti kita kemudian menganggap bahwa hukum dan

6
kebijakan publik sangat tergantung pada politik dan tidak memiliki

independensi dan netralitas. Seperti anggapan umum bahwa idealnya hukum

harus berdiri pada posisi yang tidak berpihak pada kekuatan politik manapun,

serta hukumpun harus lah pasati dan tidak mutlak berubah-ubah sesuai

berubah-ubahnya masyarakat. Hukum harus memiliki kepatian yang dapat

ditaati pada waktu dan tempat manapun. Demikian pula dengan kebijakan

publik sebagai instrument yang hendak memberikan solusi-solusi terbaik bagi

masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, maka seharusnya kebijakan

publik terkonsentrasi pada pencarian solusi terbaik. Kebijakan publik tidak

boleh terkontaminasi oleh intervensi-intervensi pihak yang secara politik lebih

kuat bila dibandingkan dengan yang lain. Sebab, apabila sebuah kebijakan

publik sudah terkontaminasi oleh pihak-pihak yang lebih kuat, maka

kebijakan publik yang dihasilkan akan selalu berpihak dan menguntungkan

mereka-mereka yang kuat. Dan lebih parahnya, kebijakan publik tersebut

mungkin seringkali akan merugikan pihak-pihak yang lemah secara politik.

Karena kepentingan dari pihak yang lemah secara politik akan terabaikan

2. Masalah Kebijakan

Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa seperti

yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencapai

masyarakat adil dan makmur baik materiil maupun spiritual (GBHN).

Pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang ini mempunyai arti

tersendiri karena memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas Pemerintah

Daerah dituntut untuk lebih menyiapkan diri sehingga mampu mengantisipasi

7
sedini mungkin segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam

persaingan, baik persaingan yang dating dari luar negeri maupun persaingan

yang datang dari dalam negeri sendiri.

Suatu Negara dengan wilayah yang luas membutuhkan suatu

system pemerintahan (governance) yang baik. System ini sangat diperlukan

setidaknya oleh dua hal : pertama sebagai alat untuk melaksanakan berbagai

pelayanan public di berbagai daerah. Kedua sebagai alat bagi masyarakat

setempat untuk dapat berperan serta aktif dalam menentukan arah dan cara

mengembangkan taraf hidupnya sendiri dengan peluang dan tantangan yang

dihadapi dalam koridor kepentingan-kepentingan nasional.

Untuk tujuan itu banyak yang harus kita lakukan, salah satunya

adalah masalah kebijakan desentralisasi, yaitu pelimpahan tanggung jawab

fiscal, politik dan administrasi kebijakan dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah. Di Indonesia lingkungan legal dan regulasi pokok untuk

desentralisasi terangkum dalam tiga undang-undang yaitu UU No. 22 Tahun

1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No,. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU No. 34

Tahun 2000 tentang Perubahan UU Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ketiga undang-undang tersebut

tidak berdiri sendiri secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan untuk

mewujudkan daerah otonom yang ekonomis, efisien, efektif, transparan,

akuntabel, dan responsive secara berkesinambungan. Pada era reformasi

sekarang ini, dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang tadi sangat

8
penting artinya dalam kehidupan sisten ketatanegaraan khususnya system

pemerintahan pusat dan daerah, serta system hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah karena akan membawa perubahan yang

mendasar pada upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Selama ini kritik yang muncul adalah terlalu dominannya peranan

Pemerintah Pusat terhadap pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini

seringkali mematikan aspirasi, inisiatif dan prakarsa daerah, sehingga

memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis

dari pusat. Contoh klasik dari fenomena tersebut adalah penyusunan anggaran

daerah yang bersifat line-item dan incrementallism. Dengan dasar seperti ini,

anggaran daerah masih berat menahan arahan, batasan, serta orientasi

subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Selain itu istilah otonomi banyak

bersifat politis. Disebutkan bahwa otonomi pada daerah Kabupaten/Kota, akan

bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab, tapi dalam kenyataannya

fleksibilitas yang diberikan bagi Pemerintah Daerah kurang memadai.

Otonomi yang didengung-dengungkan tidak disertai dengan pelimpahan

peralatan dan perlengkapan, personal serta pembiayaan khusus dari

pemerintah pusat. Selain DKI Jakarta daerah-daerah lain sangat tergantung

pada sumber dana yang berasal dari pusat, yang sebagian besar bersifat

specific grants dan sedikit saja yang bersifat block grants.

Selain tuntutan otonomi yang sangat kuat dari Pemerintah Daerah,

tuntutan akan perimbangan keuangan angata pusat dan daerah yang lebih

rasional, proporsional, dan nyata tidak hanya sekedar jargon-jargon politik.

9
Demikian pula tuntutan atas pemerintahan yang baik (good governance)

dalam arti pemerintahan yang bersih (jujur), terbuka (transparan), dan

bertanggungjawab (akuntabel) terhadap masyarakat. Dengan demikian

perimbangan keuangan pusat dan daerah yang adil saja belum cukup, masih

harus diperlukan pengelolaan atas keuangan daerah, baik yang berasal dari

pusat maupun yang berasal dari Pemerintah Daerah sendiri. Kedepan

diharapkan adanya pengelolaan keuangan daerah yang baik serta dapat

meningkatkan ekonomis, efisiensi dan efektivitas pelayanan public dan

kesejahteraan masyarakat.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, secara

jelas disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia (Pasal 1, huruf e, UU No.22/1999). Hal ini berarti

otonomi menjadi hal yang sangat penting bagi daerah. Otonomi yang

diberikan kepada daerah kota dan kabupaten didasarkan pada asas

desentralisasi dalam wujud otonomi yang sangat luas, nyata dan

bertanggungjawab. Otonomi mencakup pula kewenangan yang penuh dalam

menyelenggarakan urusan rumah tangganya, mulai dari tahap perencanakan

sampai dengan tahap pelaporan dan evaluasi. Konsekuensi logis dari

desentralisasi tersebut, akan ada pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

dalam menggunakan dana, baik yang berasal dari pemerintah pusat (sesuai

dengan urusan yang telah diserahkan) maupun dana yang berasal dari

Pemerintah Daerah sendiri. Untuk pengelolaan dana yang cukup besar ini

10
diperlukan juga peraturan pelaksana yang lebih konkret dan lebih jelas, seperti

Peraturan Daerah.

Dalam rangka pertanggungjawaban public, Pemerintah Daerah

harus melakukan optimalisasi anggaran yang dilakukan secara ekonomi,

efisiensi dan efektivitas (value for money) untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Pengalaman yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa

manajemen keuangan daerah masih memprihatinkan. Anggaran daerah,

khususnya pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam

mendorong laju pembangunan di daerah. Di sisi lain banyak ditemukan

pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala

prioritas dan kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas,

karena kualitas perencanaan anggaran daerah relative lemah. Lemahnya

perencanaan anggaran juga diikuti dengan ketidakmampuan Pemerintah

Daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan.

Sementara itu pengeluaran daerah terus meningkat, sehingga hal tersebut

meningkatkan fiscal gap. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan

underfinancing atau overfinancing yang pada gilirannya akan mempengaruhi

tingkat ekonomi, efisiensi dan efektivitas unit kerja pemerintah daerah.

Pembahasan yang berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas

ditinjau dari aspek system pengelolaan keuangan daerah memang telah

banyak dilakukasn diantaranya adlaah Insukondro dkk. (1994) membahas

mengenai pajak dan retribusi sebagai sumber utama PAD, menemukan bahwa

pada umumnya peran retribusi daerah lebih dominant dalam menentukan

11
besarnya PAD. Sumbangan PAD terhadap total penrimaan APBD rendah,

karena upaya merealisasikan peningkatan PAD tidak didasarkan pada potensi

PAD, tetapi ditargetkan berdasarkan realisasi tahun sebelumnya. Medi (1996)

meneliti kinerja pengelolaan keuangan daerah, bahwa untuk mencapai

efisiensi pengelolaan keuangan daerah maka pengeluaran-pengeluaran yang

tidak bermanfaat sedapat mungkin dikurangi, untuk mencapai efektivitas perlu

menggali sumber-sumber pendapatan baru.

Kuncoro (1995) mengamati masalah rendahnya Pendapatan Asli

Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah di 27 propinsi di Indonesia

selama tahun 1984/1985-1990/1991, sehingga menimbulkan ketergantungan

yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat dan menganjurkan diberikannya

otonomi keuangan daerah yang relative luas sehingga daeraqh mampu

menggali sumber-sumber keuangannya sendiri dan memanfaatkannya dengan

optimal. Hal ini diperkuat juga dengan fakta bahwa hanya 38,88% penerimaan

propinsi-propinsi di Indonesia yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah

(PAD) sendir, sehingga menimbulkan ketergantungan keuangan Pemerintah

Daerah kepada Pemerintah Pusat yang sangat tinggi (Nazara, 1997:17-25)

Radianto (1997) menganalisa tentang peranan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) dalam membiayai pembangunan di seluruh Daerah Tingkat II

Maluku dengan melihat pengaruh tingkat perkembangan ekonomi daerah dan

bantuan Pemerintah Pusat terhadap Derajat Otonomi Fiskal, menemukan

bahwa tingkat perkembangan ekonomi daerah dan jumlah penduduk

mempunyak pengaruh positif terhadap perubahan derajat otonomi fiscal

12
daerah. Selanjutnya Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian

di Amerika Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi dan

menemukan bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negative terhadap

pertumbuhan ekonomi. Implikasinya adalah pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah harus dapat mendorong penerimaan melalui pajak dan

menggunakannya secara tepat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat

strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Devas (1997) menyatakan desentralisasi telah menjadi tema yang

utama dari pemerintah akhir-akhir ini. Namun pendekatan desentralisasi di

antara Negara-negara mempunyai perbedaan yang lebar. Intinya,

desentralisasi berbeda maksudnya oleh orang yang berbeda, namun penting

dalam proses politik dan ekonomi suatu daerah. Kim (1997) meneliti peran

sector public local dalam pertumbuhan ekonomi regional Korea

menyimpulkan bahwa peran Pemerintah Daerah di dalam pertumbuhan

ekonomi regional adalah signifikan. Pendapatan pajak dan non pajak daerah

memiliki pengaruh negative signifikan pada pertumbuhan ekonomi regional.

Sementara investasi dan konsumsi Pemerintah Daerah memiliki pengaruh

positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Mardiasmo (2001) membahas pengelolaan keuangan daerah yang

berorientasi pada kepentingan public menyimpulkan bahwa line-item dan

incrementalism sebaiknya diganti dengan model yang lebih baik, agar

anggaran daerah lebih dekat dengan gerak dinamis kebutuhan dan prioritas

masyarakat. Khan (1994) dalamd penemuannya mengemukakan bahwa

13
analisis terhadap value for money (VFM) juga dapat melihat lebih jauh

keefektifan dari system dan prosedur pengawasan internal. Aspek manajemen

keuangan daerah, memberdayakan internal auditor (inspektorat) dan

pengembangan mekanisme horizontal communication merupakan prasyarat

untuk meningkatkan akuntabilitas anggaran daerah. Dari segi pengambilan

keputusan perlu juga difikirkan tentang peranan DPRD, independensi,

kemandirian, dan kinerja DPRD harus ditingkatkan agar dapat bersama-sama

meningkatkan kinerja value for money, akuntabilitas, transparansi dan

responsivitas Pemerintah Daerah sepanjang waktu.

Pengertian system adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur

yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang

menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu

organisasi, sedangkan prosedur-prosedur yang saling berhubungan disusun

sesuai dengan skema yang menyeluruh adalah suatu urut-urutan pekerjaan

kerani (clerical), biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu baguan atau

lebih, disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap

transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi (Baridzwan, 1998:3).

Menurut Jaya (1999: 11) keuangan daerah adalah seluruh tatanan, perangkat

kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan

dan belanja daerah. Menurut Mamesah (1995:16) keuangan daerah adalah

semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula

segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang daapat dijadikan

kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah

14
yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan yang

berlaku.

3. Strategi Kebijakan

Mardiasmo (2000:3) mengatakan bahwa Kebijakan di bidang

pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang

diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah:

1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan public

(public oriented)

2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan

anggaran daerah pada khususnya

3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan

yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan

perangkat daerah lainnya

4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan

pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value

for money, transparansi dan akuntabilitas

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS Daerah

baik ratio maupun dasar pertimbanganya

6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggara, anggarak kinerja, dan

anggaran multi tahunan

7. Prinsip pengadaaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih

professional

15
8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, paran DPRD,

peran akuntan public dalam pengawasan, pemberian opini dan rating

kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada public

9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan,

peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan

10. pengembangan system informasi keuangan daerah untuk menyediakan

informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah

daerah terhadap penyebarluasan informasi

Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000,

tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban keuangan Daerah, dalam

ketentuan umumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keuangan

daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang

termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam

kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selanjutnya dalam pasal

4 dan 5 dikatakan pula bahwa, pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara

tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisiensi,

efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas

keadilan dan kepatuhan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran

tertentu.

16
1. Tanggung jawab (accountability)

Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada

lembaga atau orang yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu

adalah pemerintah pusat, DPRD, kepala Daerah dan masyarakat umum

2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan (HO)

Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga

mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka

pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu

yang telah ditentukan

3. Kejujuran

Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya

harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat

dipercaya

4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)

Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa

sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan

untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-

rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya

4. Kebijakan Terpilih

Dalam hal pengimplementasian Kebijakan, aparat pengelolaan

keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan

pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai

17
Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah

di mana merupakan perwujudan dari rencana kerja keuangan tahunan

pemerintah dareah, selain berdasar ketentuan-ketentuan umum yang berlaku

juga berdasarkan pada :

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang

pemerintah Daerah

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan propinsi sebagai Daerah

otonom

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

5. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000 tentang

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan

Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2000 tentang

Informasi Keuangan Daerah

Mardiasmo (2001) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari

Pemerintah Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah

pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau

anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah merupakan instrument

kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya

18
pengembangan kapabilitas dan efektivitas Pemerintah Daerah. Anggaran

daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya

pendapatan dan pengeluaran, alat Bantu untuk pengambilan keputusan dan

perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang akan

dating. Ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat koordinasi bagi semua

aktivitas di semua aktivitas berbagai unit kerja

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada

hakekatnya merupakan instrument kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh

karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan

terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan

riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat

memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada

kepentingan masyarakat.

Peran anggaran dalam penentuan arah dan kebijakan pemerintah

daerah, tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai

tujuan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara pelayanan public. Oleh

karena itu Pemerintah Daerah perlu memperhatikan bahwa pada hekekatnya

anggaran daerah merupakan perwujudan amanat rakyat pada pihak eksekutif

dan legislative untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum

kepada masyarakat dalam batas otonomi daerah yang dimilikinya. Untuk itu

Dalam hal penyusunan anggaran mencakup beberapa kebijakan sebagai

berikut:

19
1. Keadilan anggaran. Keadilan merupakan salah satu misi utama yang

diemban oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan berbagai

kebijakan, khususnya dalam pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan

umum akan meningkat dan kesempatan kerja juga akan makin bertambah

apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah

dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme

perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut

mengharuskan pemerintah Daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau

belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional

oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan

besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan

nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan

bagi masyarakat daerah

2. Efisiensi dan efektivitas anggaran yang perlu diperhatikan dalam prinsip

ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat

menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna

kepentingan masyarakat. Secara umum kelemahan yang sangat menonjol

dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk

mengembangkan instrument teknis perencanaan anggaran yang

berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat

lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya dalam penyusunan

anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas

kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenaan

20
dengan itu maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta

harga satuannya akan meurpakan factor penentu dalam meningkatkan

efisiensi dan efektivitas anggaran.

3. Anggaran berimbang dan deficit. Pada hakekatnya penerapan prinsip

anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang

pengeluaran akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas

penerimaanya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD

tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi

melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis

sesuai dengan prinsip deficit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi

belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah

yang realistis, baik berasal dari PAD, dana perimbangan keuangan,

maupun pinjaman daerah. Di sisi lain kelebihan target penerimaan tidak

harus dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam

pasal cadangan atau pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada

rencanan kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan

4. Disiplin anggaran. Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan

secara konsisten. APBD adalah rencana pendapatan dan pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuks atu tahun

anggaran tertentu yang ditetapkan dengan PEraturan Daerah. Pencatatan

atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi

keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan

kegiatan/proyek yang belum atau tidak tersedia kredit anggarannya dalam

21
APBD perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus

dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan

APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal

pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang

tersedia pada setiap pos atau pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran,

oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atua proyek

melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu

pula, harus dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik

antar unit kerja, antara belanja rutin dan belanja pembangunan, serta harus

diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu

indicator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala

prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan

pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian akan

dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak

efisien

5. Transparansi dan akuntabilitas anggaran. Transparansi dan akuntabilitas

dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran

dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban

pemerintah Daerah kepada masyarakat, maka dalam proses pengembangan

wacana public di daerah sebagai salah satu instrument control pengelolaan

anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk

mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh

karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang

22
lengkap, akurat dan tepat waktu, untuk kepentingan masyarakat,

Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dalasm format yang akomodatif

dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah.

Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan

pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan

dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada

pihak legislative, masyarakat, maupun pihak-pihak yang bersifat

independent yang memerlukan

Strategi kebijakan dan prioritas APBD adalah suatu tindakan dan

ukuran untuk menentukan keputusan perencanaan anggaran daerah yang

berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan yang dipilih diantara alternative

kegiatan-kegiatan yang lain, untuk mencapai tujuan dan sasaran dari

pemerintah daerah. Plafon anggaran adalah batasan anggaran

tertinggi/maksimum yang dapat diberikan kepada unit kegiatan dalam rangka

membiayai segala aktivitasnya. Plafon anggaran hanya ditujukan untuk

perencanaan anggaran belanja investasi bukan belanja rutin.

Belanja rutin adalah pengeluaran yang memanfaatkan hanya untuk

satu tahun anggarna dan tidak menambah asset atau kekayaan bagi daerah.

Anggaran biaya rutin dibiayai dari PAD dan sumber-sumber lainya. Belanja

investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun

anggaran dan akan menambah asset kekayaan daerah, serta selanjutnya akan

menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya

23
Untuk menentukan strategi dan prioritas APBD, diperlukan beberapa

criteria atau variable. Beberapa variable yang digunakan untuk menentukan

strategi dan prioritas APBD adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan fungsi dan program tersebut dalam mencapai arah dan

kebijakan APBD. Arah dan kebijakan umum APBD merupakan hasil

kesepatan antara legislative dengan pemnerintah daerah, yang berisi

aspirasi-aspirasi masyarakat daerah. Dengan demikian, pelaksanaan

fungsi-fungsi yang sesuai dengan arah dan kebijakan umum APBD, berarti

melaksanakan segala hal yang menjadi aspirasi masyarakat

2. Kemampuan program tersebut dalam mencapai tujuan dan sasaran yang

diterapkan. Tujuan dan sasaran Pemerintah Daerah dikembangkan dalam

pelaksanaan program/kegiatan oleh unit kerja. Program-program yang

dilaksanakan tersebut seharusnya merupakan program-program yang

mampu mendukung tujuan dan sasaran pembangunan daerah, sehingga

tujuan dan sasaran pembangunan daerah dapat tercapai

3. Kemampuan program tersebut dalam memenuhi kebutuhan riil

masyarakat. Tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan dan fasilitas public

semakin nyata dan kian hari kian banyak. Pemerintah seharusnya peka

terhadap tuntutan tersebut. Namun demikian kepekaan tersebut harus

diimbangi dengan pilihan yang tepat akan kebutuhan-kebutuhan yang

mendesak, dan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat

4. Kemampuan program tersebut dalam pendanaan pembangunan.

Keterbatasan dana pembangunan yang ada menghendaki pemilihan pada

24
pembangunan kebutuhan masyarakat yang menjadi skala prioritas. Untuk

itu maka pelaksanaan program pun harus sesuai dengan besarnya dana

yang tersedia

Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) Kabupaten Kutai diawali dengan proses penentuan rencana plafon

APBD sesuai dengan siklus anggaran yang dimulai dari :

1. Proses penentuan penerimaan daerah

2. proses penentuan belanja rutin

3. proses penentuan belanja pembangunan

Selanjutnya hasil rencana anggaran yang telah disusun secara

terpadu diajukan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan dan kemudian

disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pengajuan

kepada DPRD ini dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja

Daerah (RAPBD) guna dibahas dan disetujui oleh DPRD, sehingga

penetapannya dapat dituangkan di dalam peraturan daerah (Perda)

5. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dalam Mengembangkan

Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta

Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dalam Mengembangkan

Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta, dapat ditemukan

dalam visi, misi dan strategi Kota Surakarta. Visi, misi dan strategi tersebut

dituangkan dalam Perda Kota Surakarta tentang Program Pembangunan

Daerah (Properda) Kota Surakarta 2003-2008. penyusunan APBD merupakan

25
bagian integral dari tugas pemerintah daerah untuk mewujudkan tujuan

pembangunan sekaligus tujuan pemberian otonomi daerah. Supaya tugas

dapat dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan strategi berupa sinergi

antara 3 pilar utama dalam pembangunan, yaitu masyarakat, legislative, dan

eksekutif dalam pelaksanaan penyelenggaraan daerah

Ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan, termasuk dalam

penyusunan anggaran di Kota Surakarta harus melibatkan secara sinergis antar

subyek atau pelaku pembangunan, yaitu masyarakt, legislative (DPRD Kota),

dan eksekutif (pemerintah kota). Di samping itu, pelaksanaan

penyelenggaraan pembangunan harus berdasarkan pada potensi dan

kemampuan daerah dengan menerapkan asas kepastian hukum, kepentingan

umum, keterbukaan, proporsional dan akuntabilitas

Menyadari adanya keterbatasan sumber daya alam yang dimilikinya,

maka untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, diperlukan adanya

pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memperhatikan

tantangan global, serta pemahaman terhadap segala potensi Kota Surakarta

yang memiliki daya saing tinggi, terutama dalam hal peningkatan sumber

daya manusia mennuju terbentuknya masyarakat madani. Kebijakan untuk

mengembangkan sumber-sumber PAD dalam rangka mengimplementasikan

kebijakan otonomi daerah di Kota Surakarta dituangkan di dalam visi, misi,

dan arah kebijakan pembangunan Kota Surakarta. Visi Kota Surakarta adalah

terwujudnya Kota Surakarta sebagai kota Budaya yang bertumpu pada potensi

perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata dan olah raga

26
Sedangkan misi yang ingin dicapai adalah:

a. Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat

dalam semua bidang pembangunan

b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan

dalam penggunaan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi guna

mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat madani

c. mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemicu

tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi

d. Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan hak asasi manusia

dan demokrasi bagi seluruh elemen masyarakat, utamanya para

penyelenggara pemerintah

Misi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam strategi kebijakan

pembangunan Kota Surakarta sebagai berikut:

a. Optimalkan terwujudnya Kota Surakarta sebagai kota budaya dengan citra

budaya Kota Surakarta sebagai asset udaha, didukung oleh sumber daya

manusia yang beriman dan bertagwa, professional dan handal

b. Optimalkan peran strategi Kota Surakarta sebagai pusat pelayanan dan

pusat industri jasa bagi daerah sekitarnya

c. Membuka peluang kerjasama yang saling menguntungkan dengan daerah

lain

d. Revitalisasi ekonomi masyarakat di segala bidang dalam rangka

peningkatan kualitas sumber daya manusia, membuka peluang usaha,

penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat

27
e. Membuka peluang pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan terhadap pembangunan

f. Meningkatkan pelayanan public dengan memberikan kemudahan pada

semua lapisan masyarakat

Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam mengembangkan

sumber-sumber PAD, maka misi dan strategi tersebut selanjutnya dijabakan

ke dalam Arah Kebijakan di Bidang Ekonomi Kota Surakarta. Arah kebijakan

tersebut dimaksudkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan

menghidupkan dan meningkatkan peran pengusaha kecil, sector informal,

menengah dan koperasi di bidang perdagangan dan industri, jasa, pariwisata,

industri rumah tangga, kerajinan dan agrobisnis terutama yang berpeluang

eksport agar lebih efisien, berdaya saing berdasarkan keunggulan komparatif,

termasuk pengembangan pasar produk dan pusat pelayanan bagi daerah

penyangga dan lain-lain. Di samping itu pemerintah Kota Surakarta juga

melaksanakan upaya penerapan efisiensi dan transparansi anggaran serta

profesionalisme pengelola BUMD

Perwujudan kepemerintahan yang baik dimulai dengan pengelolaan

keuangan secara baik dan benar. Salah satu dampak pelaksanaan otonomi

daerah dan desentralisasi fiscal adalah perlunya dilakukan reformasi

manajemen keuangan daerah, yang meliputi manajemen penerimaan daerah,

manajemen pengeluaran daerah, dan manajemen pembiayaan daerah. Atas

dasar konsep dan pengertian tersebut, arah kebijakan yang dituangkan ke

dalam Properda Kota Surakarta Tahun 2003-2008 meliputi : 1) Kebijakan

28
peningkatan pendapatan daerah; 2) Kebijakan belanja daerah; 3) Kebijakan

pembiayaan daerah

Kebijakan untuk meningkatkan sumber-sumber pendapatan daerah

tersebut, secara lebih rinci dapat dilihat pada misi pembangunan di bidang

ekonomi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dilakukan dengan :

a. Memantapkan dan mengembangkan otonomi daerah tingkat II yang nyata,

dinamis, serasi dan bertanggungjawab

b. Meningkatkan kemampuan dan kemandirian daerah dalam merencanakan

dan mengelola pembangunan daerah

c. Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan

efisiensi dan efektifitas pembangunan daerah

d. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat

e. Tercapainya pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi, menyelaraskan

pertumbuhan ekonomi, pemerataan golongan penduduk antar wilayah

f. Menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk

atau golongan pra sejahtera

Kebijakan Pemerintah kota Surakarta untuk meningkatkan pendapatan

asli daerahnya dijabarkan secara rinci dalam kebijakan dan Rencana Strategi

Peningkatan Pendapatan Daerah. Adapun arah dari kebijakan peningkatan

pendapatan daerah adalah untuk :

a. Meningkatkan pengelolaan pendapatan daerah secara cermat, tepat dan

lain-lain

29
b. Mengembangkan potensi sumber-sumber pendapatan daerah dengan

pengaruh seminimal mungkin terhadap penambahan beban masyarakat,

lingkungan dan tata ruangnya

c. Mengembangkan potensi sumber pendapatan daerah tanpa mengganggu

proses produksi dan distribusi barang dan jasa di masyarakat

d. Mengupayakan secara inovatif dan terus menerus sumber pendapatan

daerah sesuai batas kewenangan daerah yanag diatur menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku

e. Menyempurnakan perencanaan anggaran pendapatan daerah sesuai dengan

potensi sumber pendapatan daerah

f. Menyusun program pembangunan daerah yang berdimensi pada

peningkatan pengelolaan sumber pendapatan daerah

Rencana strategi untuk meningkatkan pendapatan daerah agar sesuai

dengan arah kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai

berikut:

a. Pengembangan potensi daerah terpadu

Kebijakan ini ditempuh dengan mengidentifikasikan sumber potensi

pendapatan daerah dan menghimpun sinergis dari para pelaku ekonomi

daerah secara bersama menggali dan memanfaatkan peluang ekonomi

tersebut

b. Pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat

Dalam usaha meningkatkan pendapatan asli daerah guna mendorong

perkembangan ekonomi yang cukup tinggi dengan mengembangkan

30
kerjasama antara usaha besar, menengah dan kecil dalam bentuk

efektifitas dan efisiensi usaha agar dapat meningkatkan keuntungan dan

daya saing ekonomi

c. Pengembangan sumber daya manusia

Peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya aparatur pemerintah

harus ditingkatkan. Disamping itu juga kewirausahaan (entrepreneur)

perlu dikembangkan bagi para pelaku ekonomi sehingga peluang ekonomi

dapat dimanfaatkan secara optimal

d. Intensifikasi dan efektifitas pendapatan daerah

Pos-pos penerimaan daerah diintesifkan dan diperluas sebagai upaya

meningkatkan kemampuan daerah untuk membiayai kegiatan

pembangunan

e. Deregulasi dan debirokrasi

Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, sumber penerimaan yang

sudah ada diterbitkan dan menggali sumber penerimaan yang baru. Selain

itu perlu diciptakan iklim usaha yang sehat melalui deregulasi dan

debirokrasi di segala bidang untuk meningkatkan penanaman modal baik

PMA maupun PMDN

6. Evaluasi Pelaksanaan

Evaluasi kebijakan publik dikatakan sebagai hal yang paling

menetukan dalam keseluruhan proses kebijakan publik, karena dalam evaluasi

kebijakan publik akan terlihat apakah kebijakan publik yang ada hasil dan

31
dampak yang dihasilkan sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum.

Evaluasi kebijakan publik adalah sebagai hakim yang menentukan kebijakan

yang ada telah sukses atau telah gagal mencapai tujuan dan dampak-

dampaknya. Evaluasi kebijakan publik juga sebagai dasar bagi apakah

kebijakan yang ada layak diteruskan, direvisi atau bahkan dihentikan sama

sekali

Dalam konteks baru, kita tidak boleh serta merta langsung dapat

mempercayai slogan-slogan yang mengatakan bahwa sebuah kebijakan publik

telah berhasil ketika kita belum melihat bagaimana hasil dari evaluasi

kebijakan publik. Yaitu sebuah evaluasi kebijakan publik yang seara tranparan

menjelaskan mengenai cara-cara bagaimana implementasi yang membawa

keberhasilan itu dicapai atas dasar criteria macam apa keberhasilan tadi

diukur. Dalam konteks analisis kebijakan publik, baik peneliti maupun

pengambil kebijakan publik sebenarnya sama-sama berkepentingan dengan

upaya pengujian terhadap hasil (output) atau dampak (outcome) kebijakan

publik (T.Saiful Bahri, Hessel Nogi S.Tangkilisan, Mira Subandini, 2004:

104).

Asumsi yang mendasari pemikiran baru sebenarnya cukup sederhana,

yaitu bahwa dengan meneliti dan memfokuskan diri pada suatu program,

maka seseorang akan termotivasi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih

baik mengenai kualitas dan dampak dasri kebijakan publik atas proses

pelayanan yang sedang dievaluasi tersebut. Yang menarik adalah bahwa

manfaat dari evaluasi baru ternyata tidak sama. Masing-masing pihak pada

32
masing-masing struktur yang didudukinya, akan melihat manfaat dari evaluasi

kebijakan publik secara berbeda-beda, tergantung kepentingannya.

Kepentingan masing-masing pihak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Dilihat dari kepentingan


para pejabat yang bertanggungjawab pada tingkat kebijakan;
2) dilihat dari kepentingan
para pejabat yang bertanggungjawab pada tingkat program;
3) Dilihat dari kepentingan
para staf program yang bekerja pada tingkat local atau pada tingkat
proyek;
4) Dilihat dari kepentingan
kelompok sasaran, yaitu individu-individu dan kelompok-kelompok untuk
siapa program itu diciptakan dan kepada siapa manfaat dan berbagai
kegiatan pembangunan ditujukan (Solichin Abdul Wahab, 1997:8-9)

Secara akademis, menurut (Fadillah Putra, 2001: 67) evaluasi kebijakan

publik dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu:

a) Evaluasi administrasi

Evaluasi administrasi adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan

dalam lingkup pemerintahan atau di dalam instansi-instansi. Atau

umumnya evaluasi baru dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang

terkait dengan program tertentu.

b) Evaluasi yudisial

Evaluasi yudisial terhadap kebijakan publik adalah evaluasi yang

dilakukan yang berkaitan dengan objek-objek hukum

c) Evaluasi politik

Evaluasi politik umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik

parlemen maupun parpol, serta masyarakat. Sering kali di dunia nyata,

evaluasi politik ini dapat mengalahkan evaluasi kebijakan publik yang

33
lainnya. Hal tersebut sebenarnya tidak masalah, asalkan pada ruangan

tersebut terdapat proses akomodasi atas berbagai penilaian politik tersebut

secara terbuka, fair, dan tidak ada dominasi.

7. Kontribusi PAD terhadap peningkatan APBD Kota Surakarta

Besarnya penerimaan daerah dalam APBD Kota Surakarta selama kurun waktu

lima tahun terakhir adalah sebagai berikut:

Tabel 1
Penerimaan APBD Kota Surakarta
Tahun 1999-2003
No Uraian 1999 2000 2001 2002 2003
Penerimaan
1 PAD 19.888.069.111 21.913.828.479 35.640.533.633 44.938.084.099 54.815.684.238
2 Dana 7.991.066.247 11.209.828.479 17.213.998.689 17.695.213.851 260.313.989.585
Perimbangan
3 Pinjaman 0 0 0 0 7.000.000.000
Daerah
4 Lain-lain 1.146.107.169 0 10.354.485.091 18.438.962.668 30.038.203.356
penerimaan
5 Sisa tahun 0 0 0 0 4.315.707.715
lalu
29.025.242.527 33.122.842.179 63.200.017.413 81.072.260.618 356.483.584.894
Sumber : DIPENDA Kota Surakarta

Jumlah penerimaan dalam APBD Kota Surakarta selama lima tahun

terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini ditunjukkan

dengan semakin meningkatnya jumlah penerimaan dari tahun ke tahun yang terus

meningkat. Peningkatan yang paling besar ditunjukkan pada tahun 2003, yaitu

lebih dari 300% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun dari sejumlah

peningkatan tersebut sebagian besar peningkatan terjadi karena meningkatnya

jumlah dana perimbangan, yaitu dari Rp. 17.695.213.851,00 menjadi Rp.

260.313.989.585,00. Meskipun mengalami peningkatan yang sangat tinggi, jika

dicermati ternyata pos dana perimbangan yang memberi kontribusi yang sangat

besar. Oleh karena itu peningkatan yang terjadi tersebut belum merupakan

34
kemampuan daerah sendiri yang secara mandiri mampu menghimpun dana

sebesar itu. Dana perimbangan menunjukkan pemberian dari pemerintah pusat

atau subsidi, meskipun nilainya juga diambil dari pungutan yang dilakukan di

daerah

Di samping itu peningkatan juga terjadi karena adanya pinjaman daerah

sebesar Rp. 7.000.000.000,00 dan sisa anggaran tahun lalu sebesar Rp.

4.315.707.715,00 yang pada tahun sebelumnya tidak ada. Muncunya pos

anggaran penerimaan dari sector pinjaman daerah merupakan hal baru dalam

penerimaan pemerintah Kota Surakarta. Artinya bahwa pos ini baru dapat

diperoleh pada tahun tersebut. Oleh karena itu wajar terjadi peningkatan, karena

disbanding dengan tahun sebelumnyas tidak ada. Penerimaan dari sector lain-lain

juga mengalami peningkatan sebesar hamper 100%, hal ini menandakan bahwa

kreatifitas Pemerintah kota Surakarta untuk menciptakan sumber-sumber

penerimaan baru yang sah juga semakin baik.

Sedangkan besarnya kontribusi PAD terhadap APBD pada tahun 2003, meskipun

dari segi jumlah terjadi peningkatan hamper 10 milyar, namun prosentasenya

mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 55,43% pada tahun

sebelumnya menjadi 15,38% pada tahun 2003. Jauh dari angka rata-rata

kontribusi PAD terhadap APBD selama lima tahun terakhir, yaitu sebesar 52,38

(lihat table 2)

Turunya prosentase kontribusi PAD terhadap APBD pada tahun 2003

tidak lepas dari meningkatnya kontribusi dana perimbangan yang sangat pesat.

Besarnya dana perimbangan yang diterima oleh Kota Surakarta pada tahun 2003

35
meningkatn sangat dratis membuat prosentase kontribusi dari sector yang lain

menjadi sangat kecil. Meskipun secara nominal mengalami peningkatan

Tabel 2
Kontribusi PAD terhadap APBD Kota Surakarta
Tahun 1999-2003
tahun PAD APBD Kontribusi
1999 19.888.069.111 29.025.242.527 68,5%
2000 21.913.828.479 33.122.842.179 66,16%
2001 35.640.533.633 63.200.017.413 56,39%
2002 44.938.084.099 81.072.260.618 55,43%
2003 54.815.684.238 356.843.584.894 15,38%
Rata-rata 52,38%
Sumber : DIPENDA Kota Surakarta

Untuk mendapatkan gambaran kemampuan daerah secara mandiri, maka harus

dilihat perkembangan penerimaan APBD Kota Surakarta dari setiap komponen

PAD-nya. Berikut ini kita lihat perbandingan perolehan PAD Kota Surakarta

menurut komponennya dalam table berikut ini

Tabel 3
Perbandingan Perolehan Komponen PAD Kota Surakarta
Tahun 1999-2003
No Pos 1999 2000 2001 2002 2003
Penerimaan
1 Pajak Daerah 9.154.634.854 9.621.536.662 15.880.303.712 20.943.450.996 24.656.997.669
2 Retribusi 9.558.255.723 9.929.961.832 16.723.167.571 20.093.596.865 26.678.119.563
Daerah
3 Laba 252.772..913 285.426.000 388.992.000 466.364.400 664.397.000
Perusahaan
4 Lain-lain 922.406.621 2.085.903.985 2.648.070.350. 3.488.671.838 2.816.170.006
PAD
5 jumlah 19.888.069.111 21.913.828.479 .35.640.533.633 44.938.084.099 54.815.684.238
Sumber : DIPENDA Kota Surakarta

Dari segenap komponen tersebut, hamper semuanya mengalami peningkatan yang


cukup berarti pada setiap tahunnya. Hanya dari komponen lain-lain PAD saja
yang pada tahun 2003 mengalami penurunan. Yang menarik adalah kontribusi

36
komponen pajak daerah dan retribusi daerah pada tahun 2001 mengalami
peningaktan yang sangat signifikan dibandingkan dari tahun sebelumnya

8. Faktor-faktor Pendukung dan Faktor-faktor Penghambat Pengembangan

PAD Kota Surakarta

a. Faktor Pendukung

Upaya pemerintah Kota Surakarta untuk meningkatkanPAD mendapat

dukungan kuat dari segenap jajaran pemerintah kota dan badan legislative.

Sehingga pada beberapa waktu terakhir ini telah dihasilkan beberapa

ketentuan baru dan sumber-sumber pendapatan baru yang mampu

memberikan kontribusi besar pada PAD. Dukungan tersebut berupa

pembinaan aparatur pelaksana maupun berbagai produk hukum yang mampu

memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

b. Faktor Penghambat

Kebijakan pemerintah Kota Surakarta untuk mengembangkan PAD

memerlukan partisipasi aktif masyarakat. Artinya adalah bahwa dalam proses

pengambilan kebijakan, diperlukan pemahaman, respond an pelaksanaan yang

melibatkan masyarakaat dengan penuh kesadaran. Terutama dalam hal

pengembangan sumber-sumber PAD yang berkaitan dengan pungutan yang

membebani masyarakat, seperti pajak dan retribusi daerah

Krisis ekonomi dimana biaya penyelenggaraan pemerintahan semakin

besar, dan di sisi lain beban hidup masyarakat semakin berat tentunya

berimbas pada pertimbangan pemerintah untuk menerapkan besaran pungutan.

Sumber daya alam yang dimiliki kota Surakarta sangat terbatas, oleh karena

37
itu penerimaan masih terkonsentrasi pada sector-sektor pungutan pajak daerah

dan retribusi daerah, yang pada prinsipnya membebani masyarakat. Padahal

kemampuan masyarakat untuk membayar pungutan semakin terbatas

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Implementasi kebijakan otonomi daerah untuk meningkatkan PAD

Kota Surakarta, dituangkan ke dalam Perda Nomor 12 Tahun 2003 tentang

Program Pembangunan Daerah Kota Surakarta tahun 2003-2008. Kebijakan

dalam mengembangkan sumber-sumber PAD, menghasilkan pertumbuhan

PAD Kota Surakarta yang cukup stabil. Namun kontribusi PAD terhadap

APBD pada tahun terakhir mengalami penurunan drastic, hal ini disebabkan

karena terjadi peningkatan kontribusi dana perimbangan dari pemerintah

pusat yang sangat tinggi. Artinya adalah bahwa turunnya kontribusi PAD

terhadap APBD bukan karena menurunnya pendapatan dari sector PAD,

tetapi karena meningkatnya dana perimbangan dari pemerintah pusat

Dukungan segenap komponen pemerintahan dan DPRD Kota

Surakarta merupakan factor pendukung bagi pemerintah untuk

meningkatkan penerimaan daerah dari sector PAD. Namun imbas dari krisis

ekonomi membuat biaya pengeluaran semakin meningkat, tetapi

kemampuan masyarakat semakin berat. Masih terpakunya sumber

pendapatan dari komponen pungutan tentu semakin membebani masyarakat

38
2. Saran

Perlu adanya usaha yang maksimal didalam pengimplementaian

kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah daerah dibidang

Otonomiu daerah. Hal ini bertujuan memaksimalkan Pewndapatan Daerah

khuisusnya Pendapatan Asli Daerah dalam mensukseskan Pelaksanaan

Otonomi daerah.

39
DAFTAR PUSTAKA

Ateng syafrudin, 1976. Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah. Tarsito,


Bandung
AG. Subarsono, 2005, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasinya,
Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Baridwan, 1997, Analisis Nilai Tambah Informasi Laporan Arus kas, Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia, Vol 12 No. 2
Bagir Manan, 1989. Pemerintah Daerah Bagian I, Penataan Administratif and
Organization Planning University Gadjah Mada, Yogyakarta
Dasril Munir, dkk, 2004, Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah, Yayasan
Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia: Yogyakarta
Deddy Supriyadi Bratakusumah dan Dadang Solihin.2001. Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Devas, 1997, Indonesian “what do we mean by Decentralization Public Administration
and Development. Vo. 17.
Eddi Wibowo dkk, 2004, Hukum dan Kebijakan Publik,Yayasan Pembaharuan
Administrasi Publik Indonesia: Yogyakarta
Esmi Warassih Pujirahayu,2005. Pranata Hukum sebuah Telaah Sosiologis, Semarang:
Suryandaru Utama
H. Lexi J.Moleong, 1991. Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya,
Bandung
Khan 1994, Value For Money Studies In Revenue Auditing, International Journal of
Government Auditing. Vol. 21
Mardiasmo, 1999, Otonomi Daerah yang Berorientaswi Pada Kepentingan Publik
Natiopnal Seminar Promoting Good Governance 1999.
Mamesah, 1995, Sistem Adminisatrasi Keuangan Daerah, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Nuriman Hasibuan. 1991, Agustus, Otonomi dan Desentralisasi Keuangan Daerah.
Salah Satu Bentuk Perwujudan Demokrasi Ekonomi, Prisma nomer 8 Tahun XX
Pariata Wastra, 1983. Management Pembangunan Daerah. Ghalia Indonesia, Jakarta
Victor Situmorang,1993. Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika,
Jakarta
Thomas R. DYE, 1981, Understanding Public Policy. Florida: State University
Undang-Undang No.22 Tahun 1999 diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah

40

Anda mungkin juga menyukai