BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
sasaran, sifatnya non profit, organisasinya fleksibel dan mempunyai basis norma kuat
dimata sasaran kebijakan terutama untuk program yang orientasi sosialnya tinggi,
seperti: pendampingan anak jalanan, HIV AIDS, dn sebagainya.
2.2. Birokrat Garda Depan dan Penyampaian Informasi
Agar implementasi suatu kebijakan memperoleh hasil yang optimal, maka
masyarakat yang menjadi kelompok sasaran perlu memperoleh informasi yang
memadai tentang kebijakan yang akan diimplementasikan tersebut. Penyampaian
informasi tentang suatu kebijakan dalam implementasi sering disebut sebagai
sosialisasi. Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, yaitu :
1. Tatap muka langsung, dalam sosialisasi jens ini implementer kebijakan akan
mengundang kelompok sasaran dan stakeholder yang terlibat dalam
implementasi kebijakan untuk bertemu secara langsung. Dalam pertemua ini
implementer akan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan.
2. Melalui media cetak dalam bentuk selebaran, pengumuman, stiker, advertorial di
media cetak,
3. Melalui media elektronik seperti TV dan Radio, bentuk sosialisasi dengan dua
media ini dapat berisi materi seperti yang dimuat di media cetak atau dengan
penyajian yang lebih menarik dalam bentuk ceramah, drama, film pendek, dan
lain-lain.
4. Melalui media internet, sosialisasi dengan media ini membuka peluang bagi
implementer untuk melakukan sosialisasi kebijakan dan program pembangunan
dengan lebih mudah dan interaktif.
Jika paradigma lama memandang bahwa sosialisasi bertujuan untuk
memberitahukan apa yang akan dilakukan oleh implementer dalam implementasi
suatu kebijakan dengan berbagai cara dengan menggunakan berbagai media.
Sedangkan dalam cara pandang yang baru sosialisasi yang terbaik adalah melibatkan
kelompok sasaran dalam proses perumusan kebijakan yang akan berimplikasi
terhadap mereka. Secara teoritis paradigma konsultasi publik akan memberi ruang
bagi keberhasilan implementasi yang lebih besar dibanding dengan paradigma
sosialisasi. Sosialisasi kebijakan sangat penting untuk mendukung agar implementasi
6
dapat berjalan dengan baik hal ini dikarenakan kebijakan akan menimbulkan dampak
yang berbeda-beda bagi masyarakat.
Prottas (1979) seperti dikutip oleh Kim (2010:17) mengemukakan bahwa ada tiga
tipologi birokrat garda depan berkaitan dengan penyampaian informasi kebijakan
yang dilakukan, yaitu :
1. Suppress information burreaucrats, birokrat yang termasuk kategori ini adalah
mereka yang justru menyembunyikan sebagian informasi yang seharusnya
disampaikan kepada kelompok sasaran. Hal ini berarti birokrasi garda depan
tidak menjelaskan secara detail hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan yang
sedang diimplementasikan terutama yang berkaitan dengan hak-hak kelompok
sasaran, seperti: pelayanan gratis, transfer, atau hibah yang dapat dinikmati oleh
kelompok sasaran.
2. Provide inadequate information burreaucrats, birokrat garda depan tipe ini
adalah birokrat yang dalam menyediakan informasi kepada kelompok sasaran
dilakukan dengan tidak lengkap sehingga kelompok sasaran kurang memiliki
pemahaman yang komprehensif tentang tujuan dan manfaat kebijakan yang dapat
membuat kelompok sasaran mengalami kebingungan.
3. Provide supportive information burreaucrats, birokrat garda depan tipe ini
adalah yang paling ideal. Dalam menjalankan tugasnya para birokrat memberikan
informasi secara memadai, akurat, dan adil kepada masyarakat yang menjadi
kelompok sasaran kebijakan.
Disamping tipe birokrasi, keberhasilan sosialisasi kebijakan masih dipengaruhi
beberapa faktor lain. Salah satunya adalah “diskresi”, yaitu keleluasaan para birokrat
garda depan untuk membuat keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
sosialisasi sesuai dengan situasi dan kondisi dilapangan. Diskresi yang diperlukan
dalam kegiatan sosialisasi terutama pendistribusian informasi misalnya terkait
dengan metode penyampaian informasi yang digunakan (tatap muka atau
menggunakan media cetak dan elektronik) dan bahasa yang digunakan. Bahaya yang
akan muncul dengan dilakukannya diskresi dalam penyampaian informasi yang
menyebabkan tidak lengkapnya pemahaman kelompok sasaran tentang kebijakan
adalah ketidaklengkapan informasi mengakibatkan kelompok sasaran tidak terlihat
7
secara aktif dalam pelaksanaan kebijakan/program. Akibat lain yang lebih serius dari
penyampaian informasi yang kurang memadai adalah kesalahpahaman atau miss-
informasi.
Agar sosialisasi dapat dilakukan dengan baik, oleh karenanya perlu ada prinsip-
prinsip (panduan tentang informasi paling minimal yang perlu disampaikan kepada
sasaran kebijakan) yang harus dipatuhi oleh seorang birokrat, yaitu : tujuan program,
manfaat program, persyaratan masyarakat untuk memperoleh akses terhadap
program tersebut, mekanisme pelaksanaan serta partisipasi masyarakat, kendala-
kendala atau dampak yang mungkin muncul, strategi untuk mengatasi kendala yang
terjadi.
2.3. Birokrat Garda Depan dan Diskresi
Diskresi yang diberikan kepada para birokrat garda depan merupakan elemen
penting untuk memberikan keluasaan para birokrat dalam menyesuaikan panduan
implementasi kebijakan dengan realitas yang mereka temui di lapangan. Diskresi
diberikan dengan asumsi bahwa keterbatasan pembuat kebijakan memiliki informasi
terbatas dan tidak lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan persoalan
kebijakan yang akan dipecahkan, karakteristik kelompok sasaran, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik dimana kebijakan akan diimplementasikan.
Diskresi harus dipahami sebagai upaya menutup gap keterbatasan kapasitas
policy maker dalam merumuskan policy guidline yang mampu dijadikan sebagai
pedoman oleh implementer kebijakan yang sebagian besar adalah birokrat garda
depan yang bertugas di lapangan. Dengan realita bahwa kondisi dilapangan tidak
selalu dapat diantisipasi dengan baik dalam policy guidline tersebut. Pentingnya
diskresi ini karena proses implementasi berada pada lingkungan yang kompleks serta
penuh dengan ketidakpastian. Dengan berbagai macam problematika yang harus
diatasinya, diskresi dalam kerangka implementasi kebijakan kemudian dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Diskresi yang berorientasi pada perwujudan kepentingan publik. Diskresi jenis
ini lebih diarahkan sebagai upaya untuk mewujudkan nilai-nilai publik atau
kepentingan publik agar tujuan kebijakan dapat diwujudkan.
8
Jika tidak ada kebijakan yang ditetapkan untuk melakukan kerjasama dalam
pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007, maka akan
dikhawatirkan munculnya berbagai masalah yang akan menambah masalah dalam
mewujudkan ketertiban masyarakat, khususnya ketertiban dan keamanan
masyarakat di Kota Pekanbaru.
Struktur birokrasi dibentuk untuk memudahkan dalam pelaksanaan
kebijakan, koordinasi dan pembagian tugas dalam pelaksanaan kebijakan
pemerintah. Struktur birokrasi menunjukkan bahwa struktur birokrasi menjadi
penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua
hal penting, pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana
sendiri. Hal ini berarti bahwa birokrasi yang ada mulai dari tingkat Kota
Pekanbaru hingga kecamatan perlu ditetapkan struktur birokrasi yang jelas dalam
pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007. Struktur
birokrasi yang ada dalam mengimplementasikan kebijakan yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007, belum adanya Standart
Operational Prosedur (SOP) yang dapat menjalankan aturan yang telah ditetapkan
tersebut. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas kebijakan, terutama kinerja dari
pemerintah daerah dalam menerapkan aturan yang telah ditetapkan oleh aktor
kebijakan.
Koordinasi lintas sektor menjadi kunci dalam pelaksanaan kebijakan.
Kekurangan dalam paksaan hukum dan koordinasi dengan otoritas lokal yang kuat
menjadi alasan utama terhambatnya proses implementasi. Koordinasi lintas
level yang berbeda dan distribusi kekuatan dalam tatanan governance yang
kompleks perlu dipertimbangkan lebih serius dalam pelaksanaan kebijakan.
Penyertaan otoritas lokal dan pembangunan kapasitas menjadi penting untuk
efektifitas implementasi kebijakan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Proses implementasi kebijakan sebenarnya merupakan proses yang sangat sulit
dan memiliki proses yang panjang juga kompleks. Dalam pendekatan ini kegagalan
atau keberhasilan implementasi akan sangat dipengaruhi bagaimana interaksi antar
para aktor yang berada pada level "paling bawah" dalam hierarkis implementasi dan
bagaimana mereka dapat mempengaruhi dan mendapatkan dukungan dari aktor-
aktor yang berada pada hierarki lebih tinggi. Namun, yang penting dalam
implementasi kebijakan ini yaitu adalah Organisasi Implementasi, yang mana harus
memiliki kapasitas organisasi di dalamnya seperti yang dikemukakan oleh Goggin
et.al. Meskipun implementing agency yang terlibat dalam implementasi kebijakan
publik bisa sangat beragam, akan tetapi sebenarnya birokrasi sampai saat ini masih
memiliki posisi yang paling dominan dibanding dengan organisasi yang lain.
Birokrat Garda Depan selain organisasi implementasi ada aktor yang cukup
berperan dan mempengaruhi suatu proses implementasi kebijakan, yaitu birokrat
garda depan atau yang disebut juga dengan frontline bureaucrats atau street-level
bureaucrats. Mereka ini adalah SDM birokrasi yang secara langsung menjalankan
peran untuk mewujudkan tujuan kebijakan, seperti: mendata kelompok sasaran yang
eligible, melakukan sosialisasi, mendistribusikan keluaran kebijakan kepada
kelompok sasaran, memastikan bahwa keluaran kebijakan dimanfaatkan oleh
kelompok sasaran secara benar agar tujuan kebijakan dapat tercapai.
Untuk lebih jelasnya, Birokrat Garda Depan adalah organisasi yang secara
langsung berinteraksi dengan kelompok sasaran dalam pelaksanaan program untuk
mencapai tujuan kebijakan atau program. Agar implementasi suatu kebijakan
memperoleh hasil yang optimal, maka masyarakat yang menjadi kelompok sasaran
perlu memperoleh informasi yang memadai tentang kebijakan yang akan
diimplementasikan, penyampaian informasi ini sering disebut dengan sosialisasi.
16
DAFTAR PUSTAKA