Anda di halaman 1dari 17

BIROKRAT GARDA DEPAN DALAM

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik”

Dosen pengampu : Bp. Sendy Noviko, S.Sos, MPA.

Disusun oleh : Kelompok 8

1. Graha Wangsa Rakyan Jati F1B020044


2. Sekar Ayu Kinanthi F1B020045
3. Vivin Dwi Ayuningsih F1B020073

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Proses implementasi kebijakan sebenarnya merupakan proses yang sangat


sulit dan memiliki proses yang panjang juga kompleks. Tahapan implementasi inilah
yang nantinya sangat menentukan suatu keberhasilan atau kegagalan dari suatu
kebijakan publik. Jika implementasi tersebut dilakukan dengan baik, maka
keberhasilan dan tujuan-tujuan kebijakan publik akan mudah dicapai. Namun
sebaliknya, apabila implementasi dilakukan kurang baik, maka keberhasilan dan
tujuan kebijakan publik akan sulit dicapai. Implemenasi dikatakan sebagai tahapan
yang penting (critical stage), karena tahapan ini merupakan “jembatan” antara dunia
konsep dengan dunia realita. Dunia konsep yang dimaksud disini tercermin dalam
kondisi ideal, sesuatu yang dicita-citakan untuk diwujudkan sebagaimana
terformulasikan dalam dokumen kebijakan. Sementara dunia nyata, yaitu realitas
dimana masyarakat sebagai kelompok sasaran kebijakan sedang bergelut dengan
berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik.
Secara umum pendekatan implementasi yang dipakai ada dua jenis, yaitu top
down dan bottom up. Pendekatan top down adalah pendekatan implementasi yang
memandang proses implementasi bergerak dari “atas” ke “bawah”, bagaimana tujuan
suatu kebijakan dipahami dan diimplementasikan oleh para implementer yang
strukturnya berjenjang dari pusat ke daerah. Pendekatan bottom up memahami proses
implementasi dari arah yang sebaliknya. Dalam pendekatan ini kegagalan atau
keberhasilan implementasi akan sangat dipengaruhi bagaimana interaksi antar para
aktor yang berada pada level “paling bawah” dalam hierarkis implementasi dan
bagaimana mereka dapat mempengaruhi dan mendapatkan dukungan dari aktor-aktor
yang berada pada hierarki lebih tinggi. Pendekatan top down memberikan pengaruh
terhadap struktur organisasi yang bersifat multi-level dan hierarkis. Sedangkan,
pendekatan bottom up menjadi dasar terhadap pemahaman hubungan jaringan yang
bersifat horizontal antar unit kerja dalam struktur organisasi implementasi. Namun,
yang penting dalam implementasi kebijakan ini yaitu adalah Organisasi
Implementasi, yang mana harus memiliki kapasitas organisasi di dalamnya seperti
2

yang dikemukakan oleh Goggin et.al. Organisasi implementasi atau implementing


agency merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu
implementasi, maksudnya adalah keberadaan organisasi atau lembaga yang diberi
mandat untuk mengimplementasikan suatu kebijakan. Dilihat dari posisinya,
implementing agency ini memiliki peran yang sangat vital, sebab lembaga inilah yang
akan menjamin kegiatan delivery mechanism (mekanisme penyampaian) berjalan
lancar. Tanpa delivery mechanism yang baik tentu tujuan kebijakan yang telah
dirancang sebelumnya tidak akan tercapai. Agar pemerintah dapat menjalankan tugas
untuk mengeksekusi berbagai kebijakan tersebut maka kemudian dibentuklah
organisasi yang solid yang kemudian disebut sebagai Birokrasi Garda Depan.
Birokrasi tersebut terbagi menurut spesialisasinya yang terdiri dari berbagai
kementerian/lembaga atau dinas/SKPD pada level pemerintah daerah. Selain
dilakukan secara horizontal kemudian juga dilakukan secara vertikal dalam wujud
levelling pemerintah, yaitu pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Meskipun
implementing agency yang terlibat dalam implementasi kebijakan publik bisa sangat
beragam, akan tetapi sebenarnya birokrasi sampai saat ini masih memiliki posisi yang
paling dominan dibanding dengan organisasi yang lain. Birokrasi masih menjadi
tulang punggung bagi tercapainya berbagai tujuan kebijakan publik.
1.2. Rumusan Masalah
A. Apa dan siapa Birokrat Garda Depan?
B. Bagaimana Birokrat Garda Depan dan penyampaian informasi?
C. Adakah korelasi antara Birokrat Garda Depan dan diskresi?
D. Bagaimana mengukur kinerja Birokrat Garda Depan dalam implementasi
kebijakan publik?
1.3. Tujuan
A. Untuk mengetahui apa dan siapa Birokrat Garda Depan
B. Untuk mengetahui Birokrat Garda Depan dan penyampaian informasi
C. Untuk mengetahui korelasi antara Birokrat Garda Depan dan diskresi
D. Untuk mengetahui cara mengukur kinerja Birokrat Garda Depan dalam
implementasi kebijakan publik
3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Birokrat Garda Depan


Selain organisasi implementasi ada aktor yang cukup berperan dan
mempengaruhi suatu proses implementasi kebijakan, yaitu birokrat garda depan atau
yang disebut juga dengan frontline bureaucrats atau street-level bureaucrats.
Mereka ini adalah SDM birokrasi yang secara langsung menjalankan peran untuk
mewujudkan tujuan kebijakan, seperti: mendata kelompok sasaran yang eligible,
melakukan sosialisasi, mendistribusikan keluaran kebijakan kepada kelompok
sasaran, memastikan bahwa keluaran kebijakan dimanfaatkan oleh kelompok sasaran
secara benar agar tujuan kebijakan dapat tercapai. Untuk lebih jelasnya, Birokrat
Garda Depan adalah organisasi yang secara langsung berinteraksi dengan kelompok
sasaran dalam pelaksanaan program untuk mencapai tujuan kebijakan atau program.
Atau dengan kata lain, pekerja layanan publik yang berinteraksi langsung dengan
warga negara dalam pekerjaan mereka, dan yang memiliki diskresi substansial dalam
pelaksanaan pekerjaan mereka disebut birokrat tingkat jalanan (Lipsky, 1980).
Birokrat tingkat kecil adalah pemain kunci dalam setiap proses implementasi
kebijakan (Riccucci, 2005).
Dalam menjalankan tugasnya ini peran birokrat garda depan menjadi sangat
vital karena berbagai tantangan tugas yang harus mereka pecahkan, yaitu sebagai
berikut :
1. Memahami tujuan kebijakan yang diimplementasikan. Permasalahan yang sering
muncul adalah adanya perbedaan persepsi akan tujuan kebijakan. Oleh karena itu
tugas birokrat garda depan harus memahami dengan benar tentang tujuan
kebijakan yang diimplementasikan agar tidak terjadi perbedaan penafsiran
dengan aparat lain.
2. Melakukan hubungan dengan lembaga lain. Dalam hal ini birokrat harus bisa
melakukan hubungan dengan lembaga lain dengan baik, karena implementasi
suatu kebijakan pasti melibatkan lebih dari satu lembaga.
4

3. Menyampaikan informasi pada kelompok sasaran. Agar implementasi suatu


kebijakan memperoleh hasil yang optimal, maka masyarakat yang menjadi
kelompok sasaran perlu memperoleh informasi yang memadai tentang kebijakan
yang akan diimplementasikan, penyampaian informasi ini sering disebut dengan
sosialisasi.
Pertama, sebagaimana dikatakan oleh Winarno (2011), bahwa yang dinamakan
aktor-aktor juga ada dalam proses implementasi kebijakan. Ia berperan serta
menstimulus output formulasi kebijakan menjadi program yang lebih operasional.
Jika aktornya beragam, substansi kebijakan berpotensi distimulus, diorganisasi, dan
diinterpretasikan secara berbeda oleh setiap aktor. Perbedaan yang terjadi dapat
sejalan dengan substansi kebijakan hasil formulasi, sejalan tetapi dengan sedikit
pergeseran, atau bahkan bertolakbelakang. Unsur politik dalam implementasi
kebijakan juga menjadi hal lain yang dapat berpengaruh kepada persepsi. Menurut
Purwanto (2012), birokrat garda depan adalah aktor yang sangat berpengaruh dalam
ranah implementasi kebijakan. Ia sangat berpengaruh karena memiliki sumber daya
yang besar (dana, kompetensi, informasi) dan satu kemampuan unik yakni
kemampuan menjembatani. Ulasan ini ingin mengatakan bahwa di samping latar
belakang aktor, dalam implementasi, faktor yang akan berpengaruh adalah
keberadaan aktor yang betul-betul diciptakan untuk mengatasi satu persoalan tertentu
di masyarakat dan ‘powerfull’.
Jika mengacu pada dikohotomi politik administrasi maka implementing
agency adalah eksekutif atau pemerintah. Untuk itu maka pemerintah membentuk
organisasi yang solid yang disebut birokrasi. Dalam rangka ini dilakukan pembagian
tugas secara vertical (yaitu berdasar level jenjang pemerintahan) maupun horizontal
(berdasar kementrian atau SKPD). Pelibatan legislatif lebih banyak dilakukan melalui
jaring asmara (menjaring aspirasi masyarakat), juga dalam bentuk sosialisasi
kebijakan. Swasta juga berperanan dalam implementasi dalam bentuk kemitraan
(Public Privat partnership/ PPP). Mengapa swasta banyak dilibatkan (swasta punya
keunggulan dalam hal cara kerja, SDM, kecepatan adopsi perkembangan iptek). Civil
society organizations (CSOs), seperti: LSM, paguyuban, ormas, organisasi
keagamaan, dan sebagainya. Ini disebabkan CSOs lebih dekat dengan kelompok
5

sasaran, sifatnya non profit, organisasinya fleksibel dan mempunyai basis norma kuat
dimata sasaran kebijakan terutama untuk program yang orientasi sosialnya tinggi,
seperti: pendampingan anak jalanan, HIV AIDS, dn sebagainya.
2.2. Birokrat Garda Depan dan Penyampaian Informasi
Agar implementasi suatu kebijakan memperoleh hasil yang optimal, maka
masyarakat yang menjadi kelompok sasaran perlu memperoleh informasi yang
memadai tentang kebijakan yang akan diimplementasikan tersebut. Penyampaian
informasi tentang suatu kebijakan dalam implementasi sering disebut sebagai
sosialisasi. Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, yaitu :
1. Tatap muka langsung, dalam sosialisasi jens ini implementer kebijakan akan
mengundang kelompok sasaran dan stakeholder yang terlibat dalam
implementasi kebijakan untuk bertemu secara langsung. Dalam pertemua ini
implementer akan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan.
2. Melalui media cetak dalam bentuk selebaran, pengumuman, stiker, advertorial di
media cetak,
3. Melalui media elektronik seperti TV dan Radio, bentuk sosialisasi dengan dua
media ini dapat berisi materi seperti yang dimuat di media cetak atau dengan
penyajian yang lebih menarik dalam bentuk ceramah, drama, film pendek, dan
lain-lain.
4. Melalui media internet, sosialisasi dengan media ini membuka peluang bagi
implementer untuk melakukan sosialisasi kebijakan dan program pembangunan
dengan lebih mudah dan interaktif.
Jika paradigma lama memandang bahwa sosialisasi bertujuan untuk
memberitahukan apa yang akan dilakukan oleh implementer dalam implementasi
suatu kebijakan dengan berbagai cara dengan menggunakan berbagai media.
Sedangkan dalam cara pandang yang baru sosialisasi yang terbaik adalah melibatkan
kelompok sasaran dalam proses perumusan kebijakan yang akan berimplikasi
terhadap mereka. Secara teoritis paradigma konsultasi publik akan memberi ruang
bagi keberhasilan implementasi yang lebih besar dibanding dengan paradigma
sosialisasi. Sosialisasi kebijakan sangat penting untuk mendukung agar implementasi
6

dapat berjalan dengan baik hal ini dikarenakan kebijakan akan menimbulkan dampak
yang berbeda-beda bagi masyarakat.
Prottas (1979) seperti dikutip oleh Kim (2010:17) mengemukakan bahwa ada tiga
tipologi birokrat garda depan berkaitan dengan penyampaian informasi kebijakan
yang dilakukan, yaitu :
1. Suppress information burreaucrats, birokrat yang termasuk kategori ini adalah
mereka yang justru menyembunyikan sebagian informasi yang seharusnya
disampaikan kepada kelompok sasaran. Hal ini berarti birokrasi garda depan
tidak menjelaskan secara detail hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan yang
sedang diimplementasikan terutama yang berkaitan dengan hak-hak kelompok
sasaran, seperti: pelayanan gratis, transfer, atau hibah yang dapat dinikmati oleh
kelompok sasaran.
2. Provide inadequate information burreaucrats, birokrat garda depan tipe ini
adalah birokrat yang dalam menyediakan informasi kepada kelompok sasaran
dilakukan dengan tidak lengkap sehingga kelompok sasaran kurang memiliki
pemahaman yang komprehensif tentang tujuan dan manfaat kebijakan yang dapat
membuat kelompok sasaran mengalami kebingungan.
3. Provide supportive information burreaucrats, birokrat garda depan tipe ini
adalah yang paling ideal. Dalam menjalankan tugasnya para birokrat memberikan
informasi secara memadai, akurat, dan adil kepada masyarakat yang menjadi
kelompok sasaran kebijakan.
Disamping tipe birokrasi, keberhasilan sosialisasi kebijakan masih dipengaruhi
beberapa faktor lain. Salah satunya adalah “diskresi”, yaitu keleluasaan para birokrat
garda depan untuk membuat keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
sosialisasi sesuai dengan situasi dan kondisi dilapangan. Diskresi yang diperlukan
dalam kegiatan sosialisasi terutama pendistribusian informasi misalnya terkait
dengan metode penyampaian informasi yang digunakan (tatap muka atau
menggunakan media cetak dan elektronik) dan bahasa yang digunakan. Bahaya yang
akan muncul dengan dilakukannya diskresi dalam penyampaian informasi yang
menyebabkan tidak lengkapnya pemahaman kelompok sasaran tentang kebijakan
adalah ketidaklengkapan informasi mengakibatkan kelompok sasaran tidak terlihat
7

secara aktif dalam pelaksanaan kebijakan/program. Akibat lain yang lebih serius dari
penyampaian informasi yang kurang memadai adalah kesalahpahaman atau miss-
informasi.
Agar sosialisasi dapat dilakukan dengan baik, oleh karenanya perlu ada prinsip-
prinsip (panduan tentang informasi paling minimal yang perlu disampaikan kepada
sasaran kebijakan) yang harus dipatuhi oleh seorang birokrat, yaitu : tujuan program,
manfaat program, persyaratan masyarakat untuk memperoleh akses terhadap
program tersebut, mekanisme pelaksanaan serta partisipasi masyarakat, kendala-
kendala atau dampak yang mungkin muncul, strategi untuk mengatasi kendala yang
terjadi.
2.3. Birokrat Garda Depan dan Diskresi
Diskresi yang diberikan kepada para birokrat garda depan merupakan elemen
penting untuk memberikan keluasaan para birokrat dalam menyesuaikan panduan
implementasi kebijakan dengan realitas yang mereka temui di lapangan. Diskresi
diberikan dengan asumsi bahwa keterbatasan pembuat kebijakan memiliki informasi
terbatas dan tidak lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan persoalan
kebijakan yang akan dipecahkan, karakteristik kelompok sasaran, kondisi sosial,
ekonomi, dan politik dimana kebijakan akan diimplementasikan.
Diskresi harus dipahami sebagai upaya menutup gap keterbatasan kapasitas
policy maker dalam merumuskan policy guidline yang mampu dijadikan sebagai
pedoman oleh implementer kebijakan yang sebagian besar adalah birokrat garda
depan yang bertugas di lapangan. Dengan realita bahwa kondisi dilapangan tidak
selalu dapat diantisipasi dengan baik dalam policy guidline tersebut. Pentingnya
diskresi ini karena proses implementasi berada pada lingkungan yang kompleks serta
penuh dengan ketidakpastian. Dengan berbagai macam problematika yang harus
diatasinya, diskresi dalam kerangka implementasi kebijakan kemudian dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Diskresi yang berorientasi pada perwujudan kepentingan publik. Diskresi jenis
ini lebih diarahkan sebagai upaya untuk mewujudkan nilai-nilai publik atau
kepentingan publik agar tujuan kebijakan dapat diwujudkan.
8

2. Diskresi yang lebih berorientasi kepada kepentingan para implementer. Diskresi


jenis ini boleh dikatakan sebagai bentuk penyimpangan atau penyalahgunaan
kewenangan.
Lipsky menyoroti tentang adanya diskresi yang dapat terjadi. (Lipsky,
1980)mengatakan bahwa “unlike lower-level worker in most organization,
street-level bureaucrats have considerable discretion in determining the nature,
amount, and quality of benefits and sanctions provided by their agencies”. Lipsky
memaknai diskresi sebagai derajat kebebasan dalam menggunakan kewenangan
oleh masing-masing individu, baik dalam proses pengambilan keputusan
maupun pelaksanaan kebijakan sehubungan dengan pelayanan yang akan
diberikan kepada masyarakat. Adanya derajat kebebasan ini, dapat memungkinkan
masing-masing birokrat level bawah dalam suatu organisasi pelayanan publik untuk
menggunakannya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,
meskipun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan yang berbeda
dan oleh dorongan yang juga tidak sama.
Hal ini menyebabkan tidak seragamnya pelayanan yang diperoleh masyarakat
oleh para birokrat level bawah. Bentuk diskresi menurut Lipsky, adalah sebagai
berikut:
a. Pembatasan terhadap akses dan permintaan, birokrat level bawah membatasi
akses dan permintaan dengan cara mempermainkan biaya pelayanan, waktu
pelayanan, membatasi informasi dan mempermainkan psikologi masyarakat.
b. Ketidakadilan administrasi, barang publik dan pelayanan didistribusikan
dengan menentukan biaya dan membatasi jumlahnya. Barang publik dan
pelayanan juga didistribusikan dengan cara mendistribusikan sesuai dengan
kelas masyarakat dan klaim dari masyarakat. Pelayanan publik didistribusikan
secara berbeda oleh pemberi layanan berdasarkan empat sebab. Pertama,
sebagian masyarakat menuntut birokrasi untuk dapat merespon dan mengerti
kondisi mereka dalam upaya mendapatkan pelayanan. Kedua, pemberi
layanan menginginkan adanya peningkatan dalam hidup masyarakat penerima
layanan. Ketiga, pemberi layanan membutuhkan adanya pembedaan terhadap
9

masyarakat penerima layanan. Keempat, pembedaan terhadap masyarakat


membantu pemberi layanan dalam mengatur beban kerja mereka.
c. Mengatur masyarakat dan situasi kerja, birokrat level bawah mengatur
masyarakat dan menagtur situasi kerja dengan cara sebagai berikut:
d. Mempengaruhi mentalitas klien, birokrat level bawah mempengaruhi
mentalitas klien dengan cara, pertama mereka mengubah tujuan agar
sesuai dengan kemampuan yang miliki. Kedua, mereka memberikan
pelayanan yang minimal kepada masyarakat, hal tersebut mereka lakukan
karena mereka tidak bisa memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
semua masyarakat pengguna layanan sesuai dengan standar yang telah
ditentukan
2.4. Mengukur Kinerja Birokrat Garda Depan dalam Implementasi Kebijakan
Publik
Birokrat Garda Depan menempati posisi paling akhir yang berinteraksi secara
langsung dengan kelompok sasaran. Para birokrat garda depan ini yang secara nyata
menginterpretasikan tentang tujuan kebijakan: Menentukan siapa kelompok sasaran,
mendistribusikan keluaran kebijakan dalam bentuk pelayanan, hibah, dan lain-lain
dengan frekuensi dan kualitas yang mereka tentukan. Tentu mengukur kinerja para
birokrat garda depan tidak mudah untuk dilakukan.Variasi kebijakan dan program
yang mereka implementasikan membuat ukuran tentang kinerja yang dapat dipakai
untuk menilai hasil pekerjaan mereka secara seragam menjadi hampir mustahil
dilakukan. Sebagai gambaran, mengukur kinerja para guru yang menjalankan
program-program peningkatan tidak akan sama dengan kinerja dokter yang
mengimplementasikan program peningkatan pertanian yang mengimplementasikan
kesejahteraan petani.
Suatu pendekatan dapat dilakukan untuk mengukur kinerja kebijakan atau
program. Pendekatan pertama sejauh mana aparat birokrasi garda depan tersebut
menentukan pencapaian tujuan organisasi yang diberi mandat untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan. Untuk mengetahui kontribusi garda depan
dalam pencapaian tujuan organisasi dapat dilakukan dengan:
10

A. Memetakan posisi birokrat tersebut dalam konstelasi organisasi secara


keseluruhan;
B. Mengidentifikasi tugas birokrasi tersebut dalam implementasi suatu kebijakan;
C. Mengidentifikasi pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya
D. Membandingkan pencapaian dengan beban tugas yang diberikan
Pendekatan kedua adalah menilai apakah cara pencapaian hasil pekerjaan yang
dilakukan oleh para birokrat garda depan tersebut memenuhi prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance). Pendekatan kedua ini sangat relevan
ketika keluaran suatu kebijakan atau program berupa pelayanan kepada kelompok
sasaran, seperti: program pendingkatan kualitas pendidikan, kesehatan, pertanian,
dan lain-lain. Dalam studi pelayanan publik ada tiga cara untuk mengukur kinerja
pelayanan publik, yaitu: pendekatan proses (process approach), pendekatan hasil
(output approach), dan pendekatan gabungan antara proses dan hasil (procons and
output approaches).
Dalam pendekatan proses, kinerja seorang birokrat garda depan diukur dari
berbagai indikator, yaitu: responsiveness accountability. Sedangkan dalam
pendekatan hasil, kinerja birokrat garda depan diukur dengan beberapa indikator,
yaitu: efficiency, effectiveness, economy dan equity. Pendekatan gabungan
menggunakan beberapa indikator seperti kepuasan, efisiensi, produksi, keadaptasian,
dan pengembangan. Selain indikator tersebut, pendekatan gabungan juga
menggunakan indikator-indikator berikut, seperti: tampilan fisik (tangible),
keterandalan (reliability), pertanggungjawaban (responsibility), kompetensi
(competence), kesopanan (courtesy), kredibilitas (credibility), keamanan (security),
akses (access), komunikasi (communication),dan pengertian (understanding)
2.5. Implementasi Kebijakan Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet
di Kota Pekanbaru
Usaha sarang burung walet di Kota Pekanbaru diatur melalui Peraturan
Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Izin Usaha Pengelolaan
dan Pengusahaan Sarang Burung Walet di Kota Pekanbaru. Dalam kebijakan
tersebut disebutkan bahwa setiap orang atau badan yang mengelola dan
mengusahakan sarang burung walet harus mempunyai izin dari Walikota. Izin
11

pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet berlaku maksimal selama 5


(lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali atas persetujuan Walikota.
Permohonan izin ditujukan kepada Dinas Peternakan Kota Pekanbaru, yang
kemudian dilanjutkan dengan penelitian dan penilaian langsung di lapangan,
yang dilakukan secara koordinatif oleh Tim Penilai yaitu Dinas Tata Kota Kota
Pekanbaru, Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, Dinas Pendapatan Daerah Kota
Pekanbaru, Bapedalda Kota Pekanbaru, Dinas Peternakan Kota Pekanbaru,
Bagian Perekonomian Pemerintah Kota Pekanbaru, serta instansi terkait lainnya.
Sedikitnya 103 permohonan izin penangkaran sarang burung walet pada tahun
2018 di Kota Pekanbaru ditolak pihak Badan Perizinan Terpadu (BPT) Kota
Pekanbaru. Alasan penolakan karena keberadaan dan lokasinya tidak sesuai dengan
aturan-aturan yang ada. Untuk lokasi yang ditolak permohonan izinnya tersebar
disemua kecamatan terutama yang ada di Kota Pekanbaru.
Sebagian besar usaha sarang burung walet diketahui tidak memiliki
izin, bahkan di beberapa kecamatan tercatat nyaris hampir secara keseluruhan tidak
memiliki izin. Melihat rendahnya tingkat kepatuhan pengusaha sarang burung walet
dalam memiliki izin usaha mengindikasikan bahwa kebijakan pengelolaan dan
pengusahaan sarang burung waket yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota
Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007 belum dilaksanakan secara optimal. Terlebih lagi,
fenomena banyaknya usaha sarang burung walet yang tidak memiliki izin tidak
ditindaklanjuti oleh pemerintah selaku pihak regulator dengan memberikan sanksi
yang tegas terhadap keberlangsungan usaha tersebut.
Walaupun regulasi yang mengatur pengusahaan sarang burung walet telah
diterbitkan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, namun usaha penangkaran sarang
burung walet di Kota Pekanbaru saat ini sangat meresahkan warga, apalagi
jika letaknya di tengah Kota Pekanbaru dan berdekatan dengan pemukiman warga
dikarenakan bunyinya dari kaset rekaman burung walet yang cukup keras terdengar
hingga ke pemukiman serta timbulnya beberapa penyakit yang bisa mengganggu
kesehatan manusia seperti mual-mual, batuk dan beberapa penyakit lainnya.
Usaha sarang burung walet ini dibuat diatas Rumah Toko (Ruko) yang memang
dibangun dikhususkan untuk membuat sarang walet. Apabila persoalan ini
12

dibiarkan terus menerus akan berdampak negatif, diantaranya menimbulkan polusi


udara dan terganggunya jam istirahat warga akibat bisingnya suara kaset
musik yang diputar ditempat-tempat penangkaran walet tersebut.
Selanjutnya, bisa juga merusak tatanan kota dan kesehatan lingkungan
dengan perkembangan bibit penyakit dari sarang burung walet tersebut.
Contohnya saja penangkaran sarang burung walet di kawasan Tanjung Rhu,
sangat meresahkan warga. Karena, suara burung walet menimbulkan kebisingan
yang luar biasa sehingga membuat warga susah untuk beristirahat baik maupun
malam hari. Selanjutnya, suara kaset musik yang berfungsi sebagai pemancing
burung walet berada didalam ruko yang tersebut tidak pernah berhenti,
sehingga ibadah warga terganggu.
Hal ini tidak tanggung-tanggung akibat dari sarang burung walet ini
menimbulkan bau busuk serta suara berisik. Menurut peneliti burung dari Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mas Nurjito, idealnya pengembangan sarang
burung walet dilakukan di dataran rendah dengan ketinggian maksimum
1.000 mdpl. Daerah tersebut harus jauh dari jangkauan pengaruh kemajuan
teknologi dan perkembangan masyarakat. Untuk menjaga keamanan burung walet,
sarangnya harus berada di daerah yang jauh dari gangguan burung-burung buas
pemakan daging. Idealnya, pengembangan burung walet dilakukan di persawahan,
padang rumput, hutan-hutan terbuka, pantai, danau, sungai, dan rawa-rawa.
Implementasi Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007
Implementasi kebijakan akan berhasil jika didukung oleh beberapa faktor
yang dapat mewujudkan kebijakan tersebut. Penelitian ini yang mengkaji tentang
implementasi Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007 Tentang
Izin Usaha Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet di Kota
Pekanbaru, akan dijabarkan faktor-faktor yang dapat mendukung pelaksanaan
peraturan daerah tersebut adalah; komunikasi, sumber daya yang ada, disposisi
kebijakan dan struktur birokrasi yang dapat mendukung kebijakan tersebut.
Komunikasi, merupakan unsur terpenting dalam mengimplementasikan suatu
kebijakan. Komunikasi menunjukkan bahwa setiap kebijakan akan dapat
dilaksanakan denganbaik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksana
13

program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target group). Komunikasi


akan terjalin dengan baik jika pelaksana kebijakan memahami tujuan kebijakan
dan ukuran dalam pencapaian tujuan kebijakan. Salah satu bentuk komunikasi
yang dibangun dalam melaksanakan kebijakan pemerintah terhadap objek kebijakan
adalah mensosialisasikan kebijakan yang telah ditetapkan. Pelaksana kebijakan
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007 yang terdiri dari beberapa
dinas terkait telah memahami maksud dan tujuan penerbitan kebijakan tersebut.
Upaya komunikasi yang dilakukan tentunya melakukan sosialisasi terhadap
pengusaha sarang burung walet.
Sumber daya, merupakan salah satu unsur yang dapat menunjang
pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sumber daya yang
dimaksud, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya
yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Sumber
daya manusia adalah tersedianya tenaga atau pegawai yang melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007.
Sumber daya finansial adalah kecukupan anggaran untuk mengimplementasikan
Perda tersebut. Ketersediaan sumber daya untuk meneliti dampak yang ditimbulkan
oleh penangkaran sarang burung walet di Kota Pekanbaru terhadap kesehatan
masyarakat belum dilakukan.
Disposisi yang dimaksud adalah dengan memperhatikan karakteristik yang
menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter yang penting
dimiliki oleh implementor adalah, kejujuran, komitmen dan demokratis.
Maksudnya adalah seluruh elemen yang terkait dengan Peraturan Daerah Kota
Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007, perlu memiliki komitmen untuk melaksankan
kebijakan yang telah ditetapkan. Disposisi yang ditetapkan menunjukan bahwa,
setiap dinas yang terkait memiliki komitmen untuk melaksanakan Peraturan Daerah
Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007, namun secara teknis belum adanya tim yang
dibentuk untuk menertibkan sarang burung walet tersebut. Kondisi ini akan
mempengaruhi upaya dalam melaksanakan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru
Nomor 3 Tahun 2007, yang pada akhirnya peraturan daerah tersebut tidak
berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ada dalam peraturan daerah tersebut.
14

Jika tidak ada kebijakan yang ditetapkan untuk melakukan kerjasama dalam
pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007, maka akan
dikhawatirkan munculnya berbagai masalah yang akan menambah masalah dalam
mewujudkan ketertiban masyarakat, khususnya ketertiban dan keamanan
masyarakat di Kota Pekanbaru.
Struktur birokrasi dibentuk untuk memudahkan dalam pelaksanaan
kebijakan, koordinasi dan pembagian tugas dalam pelaksanaan kebijakan
pemerintah. Struktur birokrasi menunjukkan bahwa struktur birokrasi menjadi
penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua
hal penting, pertama adalah mekanisme, dan struktur organisasi pelaksana
sendiri. Hal ini berarti bahwa birokrasi yang ada mulai dari tingkat Kota
Pekanbaru hingga kecamatan perlu ditetapkan struktur birokrasi yang jelas dalam
pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007. Struktur
birokrasi yang ada dalam mengimplementasikan kebijakan yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2007, belum adanya Standart
Operational Prosedur (SOP) yang dapat menjalankan aturan yang telah ditetapkan
tersebut. Kondisi ini akan mempengaruhi kualitas kebijakan, terutama kinerja dari
pemerintah daerah dalam menerapkan aturan yang telah ditetapkan oleh aktor
kebijakan.
Koordinasi lintas sektor menjadi kunci dalam pelaksanaan kebijakan.
Kekurangan dalam paksaan hukum dan koordinasi dengan otoritas lokal yang kuat
menjadi alasan utama terhambatnya proses implementasi. Koordinasi lintas
level yang berbeda dan distribusi kekuatan dalam tatanan governance yang
kompleks perlu dipertimbangkan lebih serius dalam pelaksanaan kebijakan.
Penyertaan otoritas lokal dan pembangunan kapasitas menjadi penting untuk
efektifitas implementasi kebijakan.
15

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Proses implementasi kebijakan sebenarnya merupakan proses yang sangat sulit
dan memiliki proses yang panjang juga kompleks. Dalam pendekatan ini kegagalan
atau keberhasilan implementasi akan sangat dipengaruhi bagaimana interaksi antar
para aktor yang berada pada level "paling bawah" dalam hierarkis implementasi dan
bagaimana mereka dapat mempengaruhi dan mendapatkan dukungan dari aktor-
aktor yang berada pada hierarki lebih tinggi. Namun, yang penting dalam
implementasi kebijakan ini yaitu adalah Organisasi Implementasi, yang mana harus
memiliki kapasitas organisasi di dalamnya seperti yang dikemukakan oleh Goggin
et.al. Meskipun implementing agency yang terlibat dalam implementasi kebijakan
publik bisa sangat beragam, akan tetapi sebenarnya birokrasi sampai saat ini masih
memiliki posisi yang paling dominan dibanding dengan organisasi yang lain.
Birokrat Garda Depan selain organisasi implementasi ada aktor yang cukup
berperan dan mempengaruhi suatu proses implementasi kebijakan, yaitu birokrat
garda depan atau yang disebut juga dengan frontline bureaucrats atau street-level
bureaucrats. Mereka ini adalah SDM birokrasi yang secara langsung menjalankan
peran untuk mewujudkan tujuan kebijakan, seperti: mendata kelompok sasaran yang
eligible, melakukan sosialisasi, mendistribusikan keluaran kebijakan kepada
kelompok sasaran, memastikan bahwa keluaran kebijakan dimanfaatkan oleh
kelompok sasaran secara benar agar tujuan kebijakan dapat tercapai.
Untuk lebih jelasnya, Birokrat Garda Depan adalah organisasi yang secara
langsung berinteraksi dengan kelompok sasaran dalam pelaksanaan program untuk
mencapai tujuan kebijakan atau program. Agar implementasi suatu kebijakan
memperoleh hasil yang optimal, maka masyarakat yang menjadi kelompok sasaran
perlu memperoleh informasi yang memadai tentang kebijakan yang akan
diimplementasikan, penyampaian informasi ini sering disebut dengan sosialisasi.
16

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, N. (n.d.). Analisis Garda Depan. Retrieved November 2, 2022, from


https://www.academia.edu/36310202/Analisis_garda_depan
Candra Sopian, R. A. (2021). Implementasi Kebijakan Penganggulangan Penyakit di
Kabupaten Bandung (Studi Kasus Penanggulangan Covid 19 di Puskesmas
Majalaya) Tahun 2021. Responsive Journal, IV(3), 173-188.
Kadji, Y. (2015). Formulasi dan Implementasi Kebijakan Publik: Kepemimpinan dan
Perilaku Birokrasi dalam Fakta Realitas. Gorontalo: UNG Press Gorontalo.
Kasmad, R. (2018). Implementasi Kebijakan Publik. Kedai Aksara. Retrieved November
2, 2022
Malik, J. (n.d.). Peran Birokrat Garda Depan Dalam Implementasi Kebijakan. Retrieved
November 1, 2022, from https://www.scribd.com/doc/316167626/Peran-
Birokrat-Garda-Depan-dalam-Implementasi-Kebijakan-pptx
Peran Birokrat Garda Depan Dalam Implementasi Kebijakan. (2018, Maret 2). Retrieved
from https://fdokumen.com/document/peran-birokrat-garda-depan-dalam-
implementasi-kebijakanpptx.html
Rusfiana, A. Y. (2016). Teori & Analisis Kebijakan Publik (1 ed.). Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Sulistyastuti, E. A. (2012). Implementasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia. Yogyakarta: Gava Media.
Suprapto, A. A. (2019). Implementasi Kebijakan Diskresi Pada Pelayanan Kesehatan
Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 7(1), 1388-1394.
Tresiana, N. (n.d.). Kebijakan Publik Teori dan Praktek Model-Model Pengelolaan
Pembangunan Daerah. Yogyakarta: Suluh Media.
Yuda, I. (2018). Implementasi Kebijakan Perlindungan Anak Terhadap Tingginya
Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Brebes. Doctoral dissertation, Faculty of
Social and Politic Sciences.

Anda mungkin juga menyukai