Anda di halaman 1dari 20

1.

TAHAPAN-TAHAPAN DAN PROSES LAHIRNYA KEBIJAKAN PUBLIK

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang
menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan
publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita
dalam mengkaji kebijakan publik.

Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda.
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut :

1. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda
kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus
kabijakan.

Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara masalah
yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan- alasan
tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

2. Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan
(policy alternatives/policy options) yang ada.

Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih


sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing
actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

1
3. Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,
pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut
tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen
pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.

Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa
yang lain munkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Tahap evaluasi kebijakan

Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk
melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah
dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum.

Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan
dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak dalam serangkaian
kegiatan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas
perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan monitoring dan evaluasi kebijakan
adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Berikut adalah gambar yang menunjukkan proses kebijakan publik yang dikemukakan William
N. Dunn.38

2
1. Fase Penyusunan Agenda

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada
agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda
untuk waktu lama.

Ilustrasi : Legislator negara dan co- sposornya menyiapkan rancangan undang- undang
mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui.
Atau rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.

2. Fase Formulasi Kebijakan

Karakteristik : Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah.


Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan
dan tindakan legislatif.

Ilustrasi : Peradilan Negara Bagian mempertimbangkan pelarangan penggunaan tes


kemampuan standar seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias
terhadap perempuan dan minoritas.

3. Fase Adopsi Kebijakan

Karakteristik : Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas


legislatif, konsensus di antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

Ilustrasi : Dalam keputusan Mahkamah agung pada kasus Roe.v. Wade tercapai
keputusan mayoritas bahwa wanita mempunyai hak untuk mengakhiri kehamilan melalui
aborsi.

4. Fase Implementasi Kebijakan

Karakteristik : Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi


yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.

3
Ilustrasi : Bagian Keuangan Kota mengangkat pegawai untuk mendukung peraturan baru
tentang penarikan pajak kepada rumah sakita yang tidak lagi memiliki status
pengecualian pajak.

5. Fase Penilaian Kebijakan

Karakteristik : Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pemeritnahan menentukan


apakah badan-badan eksekutif, legislatif dan peradilan undang-undang dalam pembuatan
kebijakan dan pencapaian tujuan.

Ilustrasi : Kantor akuntansi publik memantau program- program kesejahteraan sosial


seperti bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan
luasnya penyimpangan/korupsi.

Sementara itu dalam pandangan Ripley, tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai berikut :

4
1. Tahap Penyusunan Agenda Kebijakan

Dalam tahap ini ada 3 kegiatan yang perlu dilaksanakan:

 Membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar


dianggap sebagai masalah. Hal ini penting karena bisa jadi suatu gejala yang oleh
sekelompok masyarakat tertentu dianggap sebagai masalah, tetapi oleh kelompok
masyarakat yang lainnya atau bahkan oleh para elite politik bukan dianggap sebagai suatu
masalah.
 Membuat batasan masalah. Tidak semua masalah harus masuk dalam penyusunan
agenda kebijakan dan memiliki tingkat urgensi yang tinggi, sehingga perlu dilakukan
pembatasan terhadap masalah-masalah tersebut.
 Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah.
Memobilisaasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisasi kelompok-

5
kelompok yang ada dalam masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui
media massa dan sebagainya.

2. Tahap Formulasi dan Legitimasi Kebijakan

Pada tahap ini analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang
berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan
alternatif- alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan negosiasi, sehingga
sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.

3. Tahap Implementasi Kebijakan

Pada tahap ini perlu memperoleh dukungan sumberdaya, dan penyusunan organisasi
pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar
implementasi kebijakan tersebut berjalan dengan baik.

4. Tahap Evaluasi terhadap Implementasi, Kinerja dan Dampak Kebijakan

Tindakan (implementasi) kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, yang
memerlukan proses berikutnya yakni evaluasi. Hasil evaluasi tersebut berguna bagi penentuan
kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan
berhasil.

Pakar kebijakan publik, James Anderson, dalam bukunya yang berjudul “Public Policy Making,
menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut:

 Formulasi masalah (problem formulation)


Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan?
Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah.
 Formulasi kebijakan (formulation)
Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif- alternatif untuk memecahkan
masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

6
 Penentuan kebijakan (adaption)

Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus
dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi
untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?

 Implementasi (implementation)
Siapa yamg terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa
dampak dari isi kebijakan?
 Evaluasi (evaluation)

Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang


mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan
untuk melakukan perubahan atau pembatalan?

Michael Howlet dan M. Ramesh sebagaimana yang dikutip Subarsono41 menyatakan bahwa
proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:

 Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa
mendapat perhatian dari pemerintah.
 Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan pilihan-pilihan
kebijakan oleh pemerintah.
 Pembuatan kebijakan (decicion making), yakni proses ketika pemerintah memilih
untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.
 Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk melaksanakan
kebijakan supaya mencapai hasil.
 Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil
atau kinerja kebijakan.

Proses kebijakan sebagai proses pembuatan kebijakan yang berbeda dengan perumusan
kebijakan. Perumusan kebijakan merujuk pada aspek-aspek bagaimana masalah-masalah
menjadi perhatian aktor pembuat kebijakan publik, bagaimana kebijakan dipilih dari berbagai

7
alternatif yang saling berkompetisi. Pembuatan kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam
kebijakan publik yang berupa rangkaian keputusan.

Proses kebijakan publik merupakan proses yang rumit, yaitu:

 Melibatkan percabangan yang luas.

Yaitu berhubungan dengan keseluruhan sistem, perubahan pada satu aspek sosial akan
berdampak pada keseluruhan sistem.

 Melibatkan perspektif jangka panjang.

Keputusan dalam proses kebijakan publik diharapkan bukan hanya berdampak positif
pada jangka waktu yang pendek tetapi juga diharapkan sampai jangka waktu yang
panjang.

 Menggunakan sumber-sumber kritis untuk meraih kesempatan yang diterima


dalam lingkungan yang berubah.

Sumber daya manusia dan bukan manusia harus dikondisikan agar selalu dapat
mendukung situasi dan lingkungan yang dinamis yang dihadapi proses kebijakan publik.

 Merupakan proses intelektual.

Artinya tahap-tahap di dalam proses kebijakan publik membutuhkan pemikiran-


pemikiran yang rasional.

 Kelanjutan proses sosial yang dinamis.

Proses kebijakan publik merupakan proses sosial yang dinamis dari implementasi hingga
perbaikan dan penyesuaian kebijakan terhadap lingkungan yang berubah. Setiap
perubahan sosial yang terjadi akan direspons oleh aktor kebijakan publik melalui
perubahan kebijakan publik.

Proses kebijakan publik menurut Charles O. Jones

8
Jones mengemukakan sebelas (11) tahapan dalam proses kebijakan publik, yang dimulai dengan
perumusan masalah dan diakhiri dengan termination. Adapun tahap-tahap tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Perception/definition
Mendefinisikan masalah adalah tahap awal dari proses kebijakan publik. Manusia
menghadapi masalah karena ada kebutuhan (needs) yang tidak dapat dipenuhi. Negara
bertugas membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam rangka welfare state .
Mengakses kebutuhan tidaklah sederhana, dibutuhkan sikap responsif, kepekaan terhadap
prakiraan- prakiraan kebutuhan masyarakat. Masalah masyarakat (public problems)
sangatlah kompleks, pembuat kebijakan sering mengalami kesulitan membedakan antara
masalah dan akibat dari masalah.
2. Aggregation
Tahap mengumpulkan orang-orang yang mempunyai pikiran sama dengan pembuat
kebijakan. Atau mempengaruhi orang-orang agar berpikiran sama terhadap suatu
masalah. Dapat dilakukan melalui penulisan di media massa, penelitian atau orasi.
3. Organization
Mengorganisasikan orang-orang yang berhasil dikumpulkan tersebut ke dalam wadah
organisasi baik formal maupun informal.
4. Representation
Mengajak kumpulan orang-orang yang berpikiran sama terhadap suatu masalah untuk
mempengaruhi pembuat kebijakan agar masalah tersebut dapat diakses ke agenda setting.
5. Agenda Setting

Terpilihnya suatu masalah ke dalam agenda pembuat kebijakan.

6. Formulation
Tahap ini merupakan tahap yang paling kritis, masalah dapat diredefinisi dan
memperoleh solusi yang tidak populer di masyarakat tetapi merupakan kepentingan
kelompok mayor dari para pembuat kebijakan. Hal ini disebabkan interaksi para pembuat
kebijakan baik sebagai individu, kelompok ataupun partai) yang dilakukan melalui
negosiasi, bargaining, responsivitas dan kompromi dalam memilih alternatif-alternatif.

9
Formulasi juga membahas siapa yang melaksanakan dan bagaimana cara melaksanakan
output kebijakan.
7. Legitimation
Proses pengesahan dari alternatif yang terpilih (public policy decision making).
8. Budgeting
Penganggaran yang disediakan untuk implementasi kebijakan. Kadang terjadi kasuistis di
mana anggaran disediakan di tahap awal sebelum perception, atau sesudah implementasi.
Ketersediaan dana juga mempengaruhi penyusunan skala prioritas.
9. Implementation
Kebijakan publik yang telah dilegitimasi siap dilaksanakan apabila dana telah tersedia,
namun secara kasuistis kadang terjadi, kebijakan tetap harus dilaksanakan sedangkan
dana belum dapat dicairkan.
10. Evaluation
Menilai hasil implementasi kebijakan, setelah menentukan metode- metode evaluasi.
Merupakan tahap di mana upaya dilakukan untuk menemukan faktor-faktor penghambat
dan pendorong serta kelemahan dari isi dan konteks kebijakan itu sendiri. Evaluasi
kebijakan membutuhkan bantuan proses monitoring.
11. Adjusment/Termination
Tahap penyesuaian kebijakan publik untuk menentukan apakah perlu direvisi ataukah
diakhiri karena kebijakan telah selesai atau mengalami gagal total.

Proses kebijakan publik menurut Harold Laswell

Sepaham dengan Jones adalah Harold Laswell, namun tahap-tahap proses kebijakan
publik disusunnya dengan lebih sederhana. Laswell menyebut proses kebijakan publik sebagai
policy cycle yang terdiri atas 7 tahapan. Perbedaan rumusan Laswell terletak pada kedudukan
evaluasi dan terminasi. Menurutnya terminasi dilakukan terlebih dahulu sebelum evaluasi
dengan pemahaman terminasi adalah tahap penyesuaian kebijakan dengan kelompok sasaran dan
evaluasi adalah tahap perbaikan.

10
Tahap-tahap policy cycle Harold Laswell adalah sebagai berikut.

1. Intelligence
Jones menyebut tahap ini sebagai mendefinisikan masalah. Data-data dan informasi dari
suatu masalah dikoleksi, diproses dan dilakukan disseminasi.
2. Promotion
Pada tahapan ini upaya-upaya dilakukan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan agar
masalah tersebut dapat diakses menjadi kebijakan publik. Upaya-upaya yang dilakukan
menyerupai tahap-tahap dari Jones yaitu organization , representation dan agenda
setting.
3. Prescription
Merupakan tahap formulasi, masalah yang terpilih berusaha diselesaikan melalui
pengusulan, seleksi dan penilaian alternatif.
4. Invocation
Proses pengesahan atau persetujuan dari alternatif yang terpilih sehingga menjadi
kebijakan publik disertai penyusunan sanksi bagi kelompok sasaran yang melanggar
kebijakan tersebut.
5. Application
Kebijakan publik yang telah dilegitimasi siap dilaksanakan apabila dana telah tersedia,
namun secara kasuistis kadang terjadi, kebijakan tetap harus dilaksanakan sedangkan
dana belum dapat dicairkan.
6. Termination
Tahap penyesuaian kebijakan publik dengan kelompok sasaran.
7. Appraisal
Menilai hasil penyesuaian kebijakan, menemukan faktor-faktor penghambat dan
pendorong untuk perbaikan atau diakhirinya suatu kebijakan.

Proses kebijakan publik menurut Garry D. Brewer

Seperti halnya Laswell, Brewer menyusun proses kebijakan publik lebih disederhanakan
ke dalam 6 tahapan. Yaitu Invention/Initiation ,tahap perumusan masalah, Estimation yaitu tahap
pengusulan alternatif-alternatif, Selection , alternatif-alternatif yang tersedia diseleksi dan dinilai

11
untuk dipilih yang terbaik. Alternatif terpilih selanjutnya disahkan sebagai kebijakan publik.
Implementation, tahap aplikasi sesudah kebijakan publik mendapat pengesahan, Evaluation,
berbeda dengan Laswell tetapi sependapat dengan Jones, bahwa kebijakan dinilai terlebih dahulu
sebelum dilakukan Termination , yaitu penyesuaian kebijakan.

Dalam praktek, tahap-tahap tersebut tidak selalu demikian, sebagai contoh pembuatan
kebijakan publik di Amerika Serikat melewati tahap-tahap:

1. Identifikasi masalah,
2. Proposal, yaitu pengajuan usulan alternatif- alternatif,
3. Proses Decicision Making , dalam proses ini digunakan model incremental, analogizing,
segmented . Proses ini juga membentuk differensial akses dan policy networks, melalui
bargaining/compromise, short-run.
4. Penyusunan program-program,
5. Implementasi,
6. Evaluasi.

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang
menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan
publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita
dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi tahap-
tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn
sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007) adalah sebagai berikut :

1. Tahap penyusunan agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam
agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para
perumus kabijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula
masalah karena alasan- alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

12
2. Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif
atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan
kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-masing actor akan bersaing
dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

3. Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan
peradilan.

4. Tahap implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program
tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil
dilaksanakan oleh unit-unit administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial
dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing.
Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors),
namun beberapa yang lain munkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Tahap evaluasi kebijakan

Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk
melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-
ukuran atau kriteria-kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apaka kebijakan publik

13
yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum.

14
2. CONTOH KEBIJAKAN PUBLIKNYA LAHIRNYA UNDANG UNDANG NO 6
TAHUN 2014 TENTANG DESA
1. Dasar Pemikiran
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan)
menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
“Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan
Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-
daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah
yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu
akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib
tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan
nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers)ini untuk
menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam
suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik
Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan
masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan
Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan
Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat
(7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka
kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam
Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

15
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang
diatur dalam undang-undang”.
Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang
Desa, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa PrajaSebagai Bentuk Peralihan
Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia;
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah;
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
g. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan
h. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat
mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini
sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan
ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut
kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat,
serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan
antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu
pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk
diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun
demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat
merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan.
Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan
local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini

16
merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa
Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan
perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut
pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang
perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum
adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa,
serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi
seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan
perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang efektif,
pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan masyarakat dan
pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan
Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang ini.
Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam
kedududukan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis,
dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
2. Tujuan dan Asas Pengaturan.
a. Tujuan
Tujuan kebijakan/pengaturan Pemerintah negara Republik Indonesia dibentuk
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara
Indonesia. Desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu

17
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Dengan demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang
No 6 tahun 2014 merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan
RepublikIndonesia;
2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia;
3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab;
6) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum;
7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan
masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional;
8) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan
9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
b. Asas Pengaturan
Asas pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:
1) rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;

18
3) keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku
di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara;
4) kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip
saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa
dalam membangun Desa;
5) kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun
Desa;
6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu
kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan
masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
9) kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
10) partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
11) kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
12) pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
13) keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secaraterkoordinasi, terintegrasi,
dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program
pembangunan Desa.

19
DAFTAR PUSTAKA

https://academia.idu. Proses lahirnya kebijakan Publik


UU No 6. (2016). Tentang Desa

20

Anda mungkin juga menyukai