Anda di halaman 1dari 11

REFORMASI DAN REORIENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT-DAERAH


peremuan kesembilan

 
Drs. Trilaksono Nugroho, MS., adalah Staf Pengajar Administrasi Negara Unibraw yang kini
menjabat Sekretaris Badan Pertimbangan Penelitian FIA Unibraw dan masih aktif sebagai Sekretaris
AIDI Cabang Malang. Memperoleh gelar sarjana dari FIA Unibraw (1985) dan Magister dari
Universitas Padjajaran Bandung pada Bidang Administrasi Negara (1990). 

Abstraksi 
Reformasi penyelenggaraan pemerintah-an daerah di Indonesia pada dasarnya harus
dapat dipahami sebagai suatu perubahan kearah perbaikan tanpa merusak, atau sedapat
mungkin tetap dapat memelihara kontinyuitas yang telah ada oleh mereka yang
memimpin suatu sistem pemerintahan. 
Untuk dapat mewujudkan keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah,
maka arah kebijakan otonomi dae-rah harus mengacu pada : (a) Self Regulat-ing Power,
(b) Self Modifiying Power, (c) Local Political Support, (d) Financial Recources, dan (d)
Developing Brain Power, yang pada dasarnya telah menjiwai pasal-pasal Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. 
Dengan mengacu pada arah kebijakan tersebut, maka daerah akan diberi ruang yang
cukup untuk dapat mengelola kepen-tingannya, sehingga dapat memberi kesem-patan
masyarakat daerah untuk berperan serta dalam proses-proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, baik di bidang peme-rintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang sesuai
dengan yang dikehendakinya. 

Pendahuluan 
Dengan telah disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Peme-rintah
Daerah mengisyaratkan adanya secer-cah harapan bagi daerah terhadap reformasi
penyelenggaraan pemerintahan Daerah di Indonesia, dari kondisi yang selama ini kurang
memberikan ruang yang cukup bagi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah, menjadikan daerah
sedikit terlepas dari kungkungan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah. 
Dalam kaitan dengan implementasi kebi-jakan reformasi penyelenggaraan pemerin-tahan
daerah di Indonesia, yang harus dipa-hami semua pihak adalah makna dan arti reformasi
itu sendiri secara benar, yaitu reformasi sebagai suatu langkah perubahan kearah
perbaikan tanpa merusak atau seraya memelihara dengan diprakarsai oleh mereka yang
memimpin suatu sistem. Hal ini perlu disadari bahwa tanpa reformasi sistem itu bisa
goyah, atau dengan kata lain sebaiknya reformasi itu diprakarsai dari sistem itu sendiri
sehingga metode reformasi akan dapat bersifat gradual, bertahap dan berke-sinambungan
(Faisal Tamin, 1998:2). 
#Karenanya, arah kebijakan refoemasi dan reorientasi dalam penyelenggaraan Pemerin-
tah Daerah di Indonesia seharusnya menga-cu kepada berbagai permasalahan yang sela-
ma ini selalu dijadikan bahan perdebatan dalam melakukan kajian terhadap hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain adalah : 
(1) Distribusi kewenangan yang tergam-bar sebagai piramida terbalik, dimana kewe-
nangan ditingkat pusat sangat besar dan di tingkat daerah semakin mengecil terlebih-
lebih pada Daerah Tingkat II. Kondisi ini akibat adanya alasan pembenar yang ber-
asumsi bahwa Pemerintah Daerah belum di-anggap mampu untuk melaksanakan sebagi-
an besar urusan-urusan pemerintah, karena dihadapkan pada Sumber Daya Manusia yang
terbatas. 
(2) Hubungan Kepala Daerah dan DPRD yang kurang serasi, akibat kedudukan DPRD
berada di bawah bayang-bayang Kepala Daerah. Dengan demikian DPRD menjadi sulit
untuk dapat bergerak secara proporsi-onal dalam menjalankan tugas dan fungsi-nya
sebagai lembaga perwakilan rakyat yang bertugas mengawasi dan mengontrol penye-
lenggaraan pemerintahan, serta sebagai tem-pat untuk me-nyalurkan aspirasi
masyarakat. 
(3) Pendapatan daerah yang kecil meng-hambat bagi Pemerintah Daerah untuk me-
laksanakan tugas-tugas pemerintahan yang terus semakin meningkat untuk memberi-
pkan pelayanan kepada masyarakat. Kecil-nya pendapatan daerah seringkali disebab-kan
oleh lapangan Pajak Daerah dan Retri-busi Daerah sangat terbatas. Kondisi seperti ini
masih diper-buruk dengan kebijakan pengaturan perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang masih menggunakan pola-pola bagi hasil pajak dan non pajak, subsidi
daerah otonom (SDO) yang dipandang kurang menguntungkan daerah. 
(4) Kelembagaan Pemerintah Daerah dengan Dinas-Dinas Daerahnya, belum men-
cerminkan adanya suatu Lembaga yang benar-benar dibentuk atas pertimbangan be-ban
kerja atau volume kerja sebagai bagian dari pelaksanaan distribusi kewenangan, sehingga
tercermin tidak efisien baik dari segi pembiayaan maupun pengisian perso-
nilnya.Terdapat kecenderungan bahwa no-menklatur pembentukan kelembagaan Dinas
Daerah sebagai perangkat Pemerintah Dae-rah diatur secara seragam baik jumlah ja-
batannya maupun nomenklaturnya, sehingga tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
daerah yang bersangkutan. 
(5) Tersumbatnya partisipasi dan peran serta masyarakat diakibatkan adanya kecen-
derungan dan anggapan yang kuat bahwa pemerintahlah yang memiliki tanggung-jawab
yang besar dalam melaksanakan ke-giatan-kegiatan pembangunan dan kebijak-an-
kebijakan publik. Akibatnya, banyak ke-giatan-kegiatan pembangunan dan pelayanan
publik yang seharusnya dapat diserahkan ke-pada kekuatan di luar pemerintahan seperti
LSM atau pihak Swasta, masih sepenuh-nya dilakukan oleh Pemerintah termasuk
Pemerintah Daerah. 
Dengan adanya berbagai permasalahan otonomi daerah sebagaimana yang telah
dikemukakan, pemerintah melalui Undang-Undang No.22 Tahun 1999 telah memper-
luas kewenangan pelaksanaan otonomi dae-rah dengan menyerahkan sepenuhnya bebe-
rapa bidang (desentralisasi politik dan administratif) urusan pemerintahanan kepa-da
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 
Bidang-bidang pemerintahan yang wajib dilak-sanakan oleh Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota meliputi : Pekerjaan Umum, Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan,
Pertanian, Perhubungan, Industri dan Per-dagangan, Penanaman Modal, Lingkungan
Hidup, Pertanahan, Koperasi, dan Tenaga Kerja. 
Sementara itu kewenangan Pemerintah Pusat terbatas pada penanganan Bidang Politik
Luar Negeri, Hankam, Peradilan, Moneter/ Fiskal dan Agama, serta bidang-bidang
tertentu seperti : Kebijakan Peren-canaan Nasional, Dana Perimbangan, Sistem
Administrasi Negara, Pembinaan dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia dan
Pemberdayaan Sumber Daya Alam dan teknologi tinggi yang strategis, Konservasi dan
Standarisasi Nasional. 
#Sedangkan kewenangan Propinsi baik sebagai Daerah Otonom maupun Wilayah
Administratif diberikan batasan kewena-ngan,yaitu hanya menyelenggarakan bidang-
bidang urusan pemerintahan yang tidak mampu ditangani oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Daerah Kota, atau bidang-bidang urusan Pemerintahan yang sifatnya lintas
Daerah Kabupaten/Kota. 
Sebagai konsekwensi atas perluasan pe-limpahan kewenangan kepada Daerah Kabu-
paten dan Daerah Kota pada sebagian besar bidang pemerintahan tersebut, membawa
konsekwensi terhadap kesiapan Daerah un-tuk menerima peningkatan tugas dan tang-
gung jawab yang harus diembannya. 

B. Kebijakan Mendasar Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. 


Untuk dapat mewujudkan otonomi bagi Daerah agar memiliki keleluasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Daerah, maka menurut Agus Syamsuddin (1999: 5)
terkait dengan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, Self Regulating Power, yaitu
kemampuan mengatur dan melak-sanakan otonomi Daerah demi kesejahteraan
masyarakat di daerahnya. 
Kedua, Self Modifying Power, yaitu ke-mampuan melakukan penyesuaian-penyesu-aian
dari peraturan yang ditetapkan secara nasional dengan kondisi daerah. 
Ketiga, Local Political Support, yaitu menyelenggarakan pemerintahan daerah yang
mempunyai legitimasi luas dari ma-syarakat, baik pada posisi Kepala Daerah sebagai
unsur eksekutif maupu DPRD se-bagai unsur legislatif. Dukungan politik lo-kal ini akan
sekaligus menjamin efektivitas pe-nyelenggaraan pemerintahan dan pemba-ngunan. 
Keempat, Financial Recources, yaitu mengembangkan kemampuan dalam me-ngelola
sumber-sumber penghasilan dan ke-uangan yang memadai untuk membiayai kegiatan-
kegiatan pemerintahan, pembangu-nan dan pelayanan masyarakat yang segera menjadi
kebutuhannya. 
Kelima, Developing Brain Power, yaitu mem-bangun sumberdaya manusia aparatur
pemerintah dan masyarakat yang handal yang bertumpu pada kapabilitas intelektual
dalam menyelesaikan berbagai masalah. 
Sebagai implikasi dari kerangka pemi-kiran tersebut, maka hal-hal yang bersifat
mendasar dari Undang-Undang No. 22 Ta-hun 1999 yang tidak dijumpai dari un-dang-
undang sebelumnya yang mengatur Pemerintah Daerah (Undang-Undang No. 5 Tahun
1974) yaitu : 
(1) Penyelenggaraan otonomi daerah, yang semula dilakukan dengan pola berta-hap,
sekarang dilakukan dengan penyera-han secara total, bulat, utuh dan menyelu-ruh
terhadap semua kewenangan pemerin-tahan kecuali 7 (tujuh) bidang tertentu seper-ti
Bidang Luar negeri, Hankam, Moneter/ Fiskal, Peradilan dsb. yang tetap ditangani
Pemerintah Pusat 
(2) Pelaksanaan asas-asas pemerintahan bagi Propinsi, dipergunakan asas Desentrali-sasi
dan Dekonsentrasi, sehingga Propinsi berfungsi sebagai Daerah Otonom sekaligus
sebagai Wilayah Administrasi, sehingga Gu-bernur disamping berstatus sebagai Kepala
Daerah sekaligus sebagai Kepala Wilayah. 
(3) Asas desentralisasi sepenuhnya dite-rapkan pada Daerah Kabupaten dan Kota,
sedangkan Kecamatan tidak lagi sebagai perangkat Dekonsentrasi dan Wilayah Ad-
ministratsi, akan tetapi sepenuhnya menjadi perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan sepenuhnya diserahkan kepa-
da Daerah masing-masing. 
(4) Pemerintah Daerah terdiri dari Ke-pala Daerah dan Perangkat Daerah lainnya,
sedangkan DPRD bukan lagi sebagai unsur Pemerintah Daerah akan tetapi merupakan
kelembagaan mandiri yang mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi
daerah serta dapat sebagai tempat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat agar ke-
pentingan-kepentingannya tercermin dalam kebijakan Pemerintah Daerah. 
(5) Kepala Daerah Kabupaten dan Kota dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD,
sedangkan Gubernur selaku Kepala Wilayah Administrasi bertanggung jawab kepada
Presiden akan tetapi selaku Kepala Daerah tetap bertanggungjawab kepada DPRD.
Untuk itu Peraturan Daerah yang di-susun cukup ditetapkan oleh Kepala Daerah dan
DPRD tanpa perlu pengesahan pejabat diatasnya. 
(6) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,pem-
berhentian, penetapan pensiun, gaji, tunja-ngan dan kesejahteraan, pendidikan dan
pelatihan pegawai sesuai kebutuhan dan ke-mampuan Daerah. Pada bidang keuangan
daerah, sumber-sumbernya dapat berasal dari PAD, Dana perimbangan, Pinjaman daerah
dan lain- lain pendapatan yang sah. 
(7) Kepada Kabupaten dan Kota diberi-kan otonomi yang luas, sedangkan pada Propinsi
otonominya terbatas. Kewenangan yang ada pada Propinsi adalah otonomi yang sifatnya
lintas kabupaten dan kota. Di samping itu kewenangan pada bidang-bi-dang tertentu
yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota. 
(8) Wilayah Propinsi ditetapkan pula meliputi wilayah laut sepanjang 12 Mil di-hitung
secara lurus dari garis pangkal pantai, sedangkan Wilayah Kabupaten/Kota yang
berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 
wilayah laut Propinsi (4 Mil). Dengan ke-wenangan ini memungkinkan Daerah un-tuk
menggali potensi yang berada di lautan dalam upaya meningkatkan PAD. 
(9) Kelembagaan Daerah disamping DPRD sebagai lembaga legislatif, dibentuk pula
kelembagaan eksekutif yaitu Kepala Daerah, Sekertaris Daerah, Dinas-Dinas Daerah
atau Lembaga Staf teknis lainnya yang dapat dibentuk berdasarkan kebutu-han Daerah.
Sedangkan kelembagaan yang ada di daerah seperti Pembantu Gubernur, Pembantu
Bupati/Walikotamadya Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kantor De-partemen
dihapus. 
C. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam Uu. No. 22/1999. 
Prinsip-prinsip otonomi daerah yang di-jadikan pedoman dalam implementasi Un-dang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 ten-tang Pemerintahan Daerah dapat dikemuka-kan
sebagai berikut : 
(1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta po-tensi dan keanekaragaman Daerah. (2) Pe-
laksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada prinsip-prinsip otonomi luas, dinamis, nyata
dan bertanggungjawab dalam kerangka ne-gara kesatuan. 
(3) Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh Diletakkan pada Daerah Kabu-
paten dan Kota, sedangkan otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. 
4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi Negara, sehing-ga tetap
terjamin hubungan yang serasi an-tara Pemerintah Pusat dan Daerah serta an-tar Daerah. 
5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom,
karenanya dalam suatu Daerah Kabupaten dan Kota tidak ada lagi Wilayah
Administrasi. 
(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi ba-dan
legislatif DPRD, baik sebagai fungsi le-gislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaran Pemerintah-an Daerah. 
(7) Pelaksanaan asas Dekonsentrasi dile-takkan pada Daerah Propinsi dalam kedudu-
kannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah ter-
tentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. 
(8) Pelaksanaan tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada
Daerah, tetapi juga dari Pemerin-tah dan Daerah kepada Desa dengan diser-tai
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta mempertanggungjawabkan kepada yang me-
nugaskannya. 
Dengan telah dikeluarkannyanya bebera-pa macam Peraturan Pemerintah (PP) pada
tanggal 6 Mei 2000, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah akan
diwujudkan sebagai berikut : 
(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Peme-rintah Daerah
sebagai Badan Ekse-kutif Daerah. 
(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepa-la Daerah beserta perangkat daerah lainnya
seperti Dinas-Dinas Daerah. 
(3) Setiap Daerah dipimpin oleh Kepa-la Daerah sebagai kepala eksekutif, yang dalam
bertugas dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah. 
(4) Kepala Daerah Propinsi disebut Gu-bernur yang karena jabatannya me-rangkap
sebagai Kepala Wilayah yang merupakan wakil pemerintah. 
a. Dalam menjalankan tugas dan ke-wenangannya sebagai Kepala Dae-rah, Gubernur
bertanggung jawab kepada DPRD. 
b. Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur berada di-bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden. 
(5) Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati dan Kepala Daerah Kota di-sebut Walikota.
Sedangkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah, Bupati/
Wali-kota bertanggungjawab kepada DPRD. 
(6) Perangkat Daerah terdiri dari Sekretaris Daerah, Dinas-Dinas Daerah dan lembaga
Tehnis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan Daerah. 
(7) Sekertariat Daerah. 
a. Sekretariat daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah. 
b. Sekretaris daerah Propinsi diang-kat oleh Gubernur atas persetu-juan pimpinan DPRD
dari Pega-wai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. 
c. Sekretaris Propinsi karena jaba-tannya sekaligus merangkap seba-gai Sekertaris
Wilayah. 
d. Sekretaris Daerah Kabupaten atau Sekretaris Daerah Kota diangkat oleh Bupati atau
Walikota atas persetujuan Pimpinan DPRD dari PNS yang memenu-hi syarat. 
e. Sekretaris Daerah bertanggung-jawab kepada Kepala aerah yang mengangkat-nya. 
f. Apabila Sekretaris daerah berhala-ngan dalam melaksanakan tugas-nya, maka tugas
Sekretaris Daerah dapat dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 
(8) Dinas Daerah merupakan unsur pe-laksana Pemerintah Daerah. Dinas Daerah
dipimpin oleh Kepala Dinas yang diangkat oleh Kepala Daerah dari PNS. yang
memenuhi syarat atas usul Sekertaris Daerah. Kepala Dinas bertanggung jawab kepada 
Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. 
(9) Penyelenggaraan wewenang yang di-limpahkan oleh Pemerintah (Pusat) kepada
Gubernur (Propinsi) selaku Wakil Pemerintah dalam rangka asas Dekonsentrasi,
dilaksanakan sepenuh-nya oleh Dinas Propinsi. 
(10) Kecamatan. 
a. Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin
oleh Kepala Kecamatan (Camat). 
b. Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota
dari PNS, yang memenuhi syarat. 
c. Camat bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota 
(11) Kelurahan. 
a. Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan
(Lurah)
b. Lurah diangkat dari PNS. yang memenuhi syarat oleh Walikota/ Bupati atas usul
Camat 
c. Lurah dalam melaksanakan tugas-nya bertanggung jawab kepada Camat. 
(12) Pemerintahan Desa. 
a. Pemerintah Desa terdiri atas Kepa-la Desa yang disebut dengan nama lain dan
Perangkat Desa. 
b. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat 
c. Calon Kepala Desa yang terpilih dengan suara terbanyak, ditetap-kan oleh Badan
Perwakilan Desa (BPD), dan disyahkan oleh Bupati. 
d. Masa jabatan Kepala Desa paling lama 10 tahun atau dua kali masa jabatan. 
e. Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain ber-fungsi mengayomi
adat istiadat, 
membuat Peraturan Desa, menam-pung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta
melakukan pe-ngawasan terhadap penyelengga-raan Pemerintahan Desa. 
D. Reorientasi Dan Perspektif Pelaksanaan Otonomi Daerah 
Perluasan Otonomi Daerah sebagaimana tercermin dalam kebijakan pemerintah melalui
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupa-kan suatu
peluang untuk memberdayakan daerah dalam melaksanakan tugas peme-rintahan,
pembangunan dan kemasyarakat-an. Namun demikian dalam pelaksanaannya akan
banyak ditemukan masalah dan kenda-la antara lain sebagai berikut : 
(1) Otonomi Daerah yang berarti kepe-milikan kewenangan atau otoritas lokal oleh
daerah yang bersangkutan. Pada hakekat-nya hal ini merupakan pengembalian hak
daerah untuk mengambil inisiatif dan pra-karsa kreatif bagi kepentingan masya-rakat.
Dalam hal ini berarti pula secara administratif dan politis, maka daerah harus dapat
secara terkendali dapat menyelengga-rakan kekuasa-annya tanpa banyak campur tangan
Pemerintah Pusat. 
Hal ini penting oleh karena untuk meng-hindari bias operasional dari implementasi UU.
No. 22/1999 akan muncul baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Dae-rah. Bias
operasional ini dapat berupa ketidakjelasan atau kerancuan mekanisme dilapangan
maupun ketumpang tindihan fungsional kelembagaan. 
(2) Otonomi daerah harus diimplemen-tasikan dalam kerangka orientasi agar dae-rah
benar-benar mampu mengambil inisia-tif dan prakarsa kreatif menuju keberlangsu-ngan
dan keberhasilan pembangunan daerah yang pada gilirannya nanti, inisiatif dan prakarsa
kreatif daerah itu akan dilaksa-nakan sendiri dan penentuan hasilnya juga akan kembali
kepada daerah yang bersangkutan. 
(3) Implementasi otonomi daerah harus di-dukung oleh segenap kemampuan Peme-
rintah Daerah, struktur kelembagaannya dan masyarakat daerah itu sendiri. Kemam-puan
tersebut secara nyata harus memiliki tiga komponen dasar berupa kemampuan peren-
canaan, kemampuan pelaksanaan dan ke-mampuan kontrol atau pengawasan. Sehi-ngga
dengan demikian ke tiga demensi ini yang akan dapat menggerakkan roda pemba-ngunan
di daerah secara otonom dan ber-orientasi pada kepentingan masyarakat. 
(4) Pemerintah Daerah harus melakukan penataan restrukturisasi kelembagaan dae-rah
agar kondusif bagi pelaksanaan otono-mi. Karenanya, arah restrukturisasi harus di-
tujukan pada penataan kelembagaan sesuai kebutuhan daerah setempat seperti dalam
membentuk Dinas 
Daerah atau penyatuan kelembagaan Kanwil/Kandep kedalam Dinas Daerah me-nuju
kelembagaan yang efektifitas dan efi-sien sehingga tidak terjebak pada terjadi-nya
keruwetan-keruwetan birokratis pasca perluasan otonomi daerah. 
(5) Proses restrukturisasi kelembagaan daerah harus diiringi dengan penyiapan apa-ratur
Pemerintah sebagai sumberdaya manu-sia yang benar-benar profesional dan visi-oner.
Sumber Daya Manusia ini nantinya harus dapat diatur dan dikelola secara tepat dalam
suatu iklim kerja yang dinamis dan demokratis, baik menyangkut rekruitmen, seleksi dan
penempatan maupun pengem-bangan karier serta komposisi prestasi. Dengan demikian
aparatur Pemerintah ini akan dapat menggerakkan lembaga-lembaga daerah melalui ide
dan prakarsa-prakarsa kreatif menuju terwujudnya otonomi daerah sebagaimana yang
diharapkan. 
(6) Untuk dapat tercapainya otonomi daerah sebagaimana yang diharapkan terse-but,
maka yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah diperlukan adanya 
persepsi yang sama dari semua pihak, baik para pengambil keputusan dan pelaksana-nya,
serta masyarakat luas terutama masya-rakat di daerah yang nantinya akan merasa-kan
hasilnya melalui pemberdayaan dalam kerangka mencapai masyarakat madani yang
diharapkan bersama akan segera dapat ter-wujud. 
Karenanya, pada bagian akhir tulisan ini dapat dikemukakan format disain otonomi
daerah sebagai implikasi dari kebijaksana-an reformasi penyelenggaraan pemerintahan
sebagaimana diatur dalam UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai
berikut : 
(1) Demokratisasi akan berjalan secara lebih transparan penuh keterbukaan dan semakin
menumbuhkan peran dan kemam-puan masyarakat untuk melibatkan dirinya dalam
proses pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pemba-
ngunan. 
(2) Kemandirian daerah dalam menye-lenggarakan urusan rumah tangganya akan
semakin terwujud sehingga mampu meng-hadapi segenap tantangan, hambatan, gang-
guan dan ancaman yang akan selalu meng-hadang pada masa-masa mendatang. 
(3) Terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan yang dapat memberdayakan kemampuan pemerintah daerah dalam me-
nyelenggarakan urusan rumah tangga dae-rahnya. 
(4) Pelimpahan kewenangan kepada Daerah dalam penyelenggaraan urusan pe-
merintahan akan diberikan secara luas, mes-kipun masih dalam bingkai negara kesa-tuan.
Dalam hal ini distribusi kewenangan yang jelas kepada Daerah menjadi hal yang penting
dibanding jenis urusan itu sendiri. 
(5) Pelimpahan kewenangan harus ter-wujud dengan adanya pendekatan pengam-bilan
keputusan atas sesuatu kegiatan pe-merintahan dan pembangunan pada peme-rintahan
Daerah Kabupaten dan Kota, ter-utama dalam proses-proses pemberian per-
ijinan yang mendorong terwujudnya iklim investasi yang kompetitif. 
(6) Mendorong adanya privatisasi pe-nyelenggaraan sebagian urusan pemerintah
(desentralisasi pelayanan publik) kepada pihak swasta dan LSM/NGO secara bertahap
dengan secara cermat harus tetap memper-hatikan kondisi dan kemampuan masyara-kat.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah tetap bertindak sebagai pengatur dalam melaku-kan
desentralisasi pelayanan publik. 
E. Penutup 
Dengan uraian yang telah dikemu-kakan, dapat disimpulkan bahwa paradigma otonomi
daerah menuntut suatu arah kebi-jakan reformasi penyelenggaraan pemerin-tahan, pada
upaya memberi ruang pada daerah yang memungkinkan peran serta aktif masyarakat
dalam proses-proses kebijakan pemerintahan dan pembangunan. 

DAFTAR PUSTAKA 

Mawhood Philip, Local Government in The Third World, John Wiley & Sons, Toronto,
1983 
Gerry Stoker, Governance as Theory : Fife Proposition, The Privatisation of Urban
Services in Europe, 1997. 
Faisal Tamin, Reformasi dan Reorientasi Paradigma Otonomi Daerah (Makalah),
Seminar HMI Cab. Malang, 1998. 
Henry Teune, Local Government and Democratic Political Development, Annals
AAPSS, 1996. 
Solinger J. Dorothy, Despite Decentrali-zation : Disadvantages, Dependence and
Ongoing Central Power in the Inland-the Case of Wuhan (Journal), The China Quarterly,
1996. 
Syamsuddin Agus, Mengenal Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Makalah), Seminar Kadin-PWI Kabupaten
Bondowoso, 2000. 
Thomas G. Kingsley, Prespectives on Devolution (Journal), The American Planning
Assosiation, Chicago, 1996. 
Trilaksono N., Prospek Otonomi Daerah : Implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah (Makalah), Pentaloka DPRD Kotamadya Pasuruan,
2000. 
Moch. Mafud MD. Reformasi Tatanan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Makalah),
Seminar Otonomi Daerah Unibraw, 2000.

Anda mungkin juga menyukai