13
Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan
Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, hal 2.
14
Jan Tin Bergen, 1973, Rencana Pembangunan, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 24.
15
Pasal 1 angka1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
16
Sjafrizal, 2009, Teknis Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Baduose
Media, Jakarta, hal. 5-6.
17
Prajudi Admosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal. 177.
18
Tri Hayati, et.al, 2005, Administrasi Pembangunan Suatu Pendekatan Hukum Dan
Perencanaannya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 41.
22
Koesworo, E., 2001, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,
Yayasan Pariba, Jakarta, hal 289.
23
Bintoro Tjokroamidjojo, l985, Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta,
hal 81.
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Selain itu Pasal 13 UU Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan:
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada
prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional.
(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.
(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi
adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
25
Marcus Lukman, 2007, Hukum Tata Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, PMIH
Untan Press, Singkawang, hal 132.
26
Soenyono, 2001, Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam buku Otonomi Daerah Perspektif Teoritis dan
Praktis oleh Andi A. Malarangeng, dkk, Cetakan Pertama, Bigraf Publishing, Yogyakarta, hal
107.
27
Arif Nasution, M., 2000, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju,
Bandung, hal. v.
28
Wikipedia Ensiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/ wiki/pajak#Defenisi, April
2007
29
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2002, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai pustaka, Jakarta, hal. 812.
30
Sebagaimana dikutip Brotodiharjo R. Santoso, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT
Eresco, Jakarta, hal. 5
31
Rochmat Sumitro, 1988, Pajak dan Pembangunan, PT. Eresco, Bandung, hal. 8.
32
Bird, R. M. (1993). “Threading the fiscal labyrinth: Some issues in fiscal
decentralization”. National Tax Journal 46, hal. 207–227
33
Mardiasmo, 2009. Perpajakan (Edisi Revisi Tahun 2009). Yogyakarta : Andi, hal. 12.
34
Davey, Kenneth. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-Praktek Internasional
dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga. Jakarta : UI Press
35
Musgrave, Richard A. (1983). “Who Shoud Tax, Where and What?”, In Tax Assignment
in Federal Countries, Ed. By Charles E. McLure Jr., Canberra: Center For Research On Federal
Financial Relations, Australian National University.
36
Ter-Minassian, T. (1997). “Intergovernmental Fiscal Relations in a Macroeconomic
Perspective: An Overview”. Fiscal Federalism in Theory and Practice. T. Ter-Minassian.
Washington DC: International Monetary Fund, hal. 3-24.
37
McLure, Charles E. (1983). Tax Assignment in Federal Countries. Centre for Research
on Federal Financial Relations, Australian National University.
38
Martínez, Jorge; Vázquez. (2008). “Revenue Assignments in the Practice of Fiscal
Decentralization” in Núria Bosch & José M. Durán (ed.). Fiscal Federalism and Political
Decentralization, chapter 2. Edward Elgar Publishing.
39
Sidik, Machfud. 2007. A New Perspective on Intergovernmental Fiscal Relations:
Lessons from Indonesia's Experience. Jakarta: Ripelge.
41
Brotodihardjo, 1991, Op.Cit., hal. 67.
42
Fisher, Ronald C. 1996. State and Local Public Finance: Institutions, Theory, and
Policy. 2nd Edition Burr Ridge, Illinois: Richard D. Irwin Incorporated, hal. 174-175.
47
Devas, Nick, et.al (1989), Keuangan Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, hal. 64
48
Sadono Sukirno, 2006, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hal. 3.
49
Ibid, hal. 4.
50
Mulya Lubis, T., 1992, Hukum dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 14.
51
Nurul Fajri Chikmawati, 2003, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, termuat dalam
buku Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 79.
55
Mochtar Kusumaatmadja, 1979, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 2.
56
Purnadi Purbacaraka dan Sorjono Soekanto, 1978, Perihal Kaidah Hukum, Alumni,
Bandung, hal. 67.
57
Mertokusumo, 1996, Op.Cit., hal. 68.
58
Soleman, B, Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993, hal. 36
59
Mubyarto, 1993, Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 21-22.
60
Mubyarto, 1993, Op.cit., hal. 27-28.
dukungan politik dari kalangan aktor ekonomi politik global 69. Teori
modernisasi meliputi pemikiran dalam pembangunan ekonomi dan
perubahan sosial, baik bersifat teoritis maupun empiris yang berorientasi
pada kebijaksanaan pembangunan dengan mengacu kepada dua hal
mendasar, yaitu: Pertama memandang masyarakat negara sedang
berkembang (NSB) sebagai suatu sistem sosial yang sedang mengalami
perubahan sosial sebagai akibat masuknya pengaruh atau tekanan dari
Dunia Barat, terutama melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua
adalah memandang perubahan (simbiosis mutualisme) antara komponen-
komponen struktural dalam masyarakat negara sedang berkembang
tersebut70.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi dewasa ini, teori modernisasi
yang dipraktekkan oleh NIM semata-mata ditujukan untuk kepentingan
ekonomi, politik, dan budaya yang notabene hanya menguntungkan
elite- elite politik dan penguasa dari kelompok etnik tertentu yang
dominan, sehingga dapat memperkuat statusquo mereka dengan
menggunakan arah dan model pembangunan yang dilegitimasi melalui
teori di atas71. Dengan alasan tersebut teori ini telah digunakan untuk
menutupi watak imperialisme Barat terhadap NSB, yaitu dengan jalan
menciptakan ketergantungan yang sebenarnya bertentangan dengan
prinsip modernisasi72.
Sisi lain kelemahan teori modernisasi adalah dapat menimbulkan
disintegrasi sosial tradisional dn memudarnya nilai-nilai kesukuan 73.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila Alqadrie 74 menyatakan bahwa
teori modernisasi adalah model pembangunan yang hanya menekankan
pada pendekatan satu dimensi (uni dimensional approach) dengan
menekankan pada perlunya menghilangkan kondisi “tradisional” menuju
masyarakat “modern”, sehingga model pembangunan ini cenderung
membuat NSB terlepas dan menjadi asing dari akar budaya serta tradisi
mereka sendiri. Keberhasilan pembangunan bukan saja mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GNP) yang berjalan dengan cukup
69
Mas’oed, 1994, Op.Cit., hal. 41.
70
Hoogvelt, 1985, Op.Cit., hal. 85.
71
Alqadrie, Syarif Ibrahim, 1993, Kemiskinan dan Paradigma Ilmu Sosial: Reorientasi
Kebijaksanaan Pembangunan Dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Fisip Untan, Tanggal 18 September 1993, Pontianak, hal. 51.
72
Hoogvelt, 1985, Op.Cit., hal. 100.
73
Redfield dalam Hoogvelt, 1985, Ibid, hal. 87.
74
Alqadrie, 1993, Op.Cit., hal. 21.
75
Sanderson, Stephen, K., 1993, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial, Edisi II, Terjemahan Farid Wajidi dan S. Meno, Rajawali, Jakarta, hal. 234.
76
Mas’oed, 1994, Op.Cit., hal. 47-48.
77
Ismawan, 1992, Op. Cit., hal. 4-9.
78
Mas’oed, 1994, Op.Cit., hal. 29–32.
80
Hartono, Sunaryati, 1988, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta,
Bandung, hal. 10.
81
Hary C. Hand, 1994, Op.Cit., hal. 177.
82
Nurul Fajri C, 2003, Op.Cit., hal. 80.
83
Ratih Lestarini, 1988, Ilmu Ekonomi dan Hukum dalam buku Disiplin hukum dan
Disiplin Sosial, Penyunting Soerjono Soekanto dan Otje Salman, Rajawali Press, Jakarta, hal.
139.
84
Sunaryati Hartono, 1988, Op.Cit., hal. 6.
85
Johannes Ibrahim dan Lindawaty, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Refika Aditama, Bandung, hal. 24.
86
Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
87
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, halaman.385-
386.
88
Pasal 5 beserta penjelasannya
89
Pasal 6 beserta penjelasannya
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan,
Pajak Parkir, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Tanah, PBB-P2, BPHTB,
dan Pajak Sarang Burung Walet. Dari 11 jenis pajak tersebut, PBB-P2 dan
BPHTB merupakan jenis pajak baru yang dialihkan kewenangan
pemungutannya dari Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah dalam
UU PDRD. Selain itu, terdapat beberapa objek pajak yang diperluas yaitu
objek pajak hotel dan restoran. Selain perluasan objek pajak, kepada
pemerintah Daerah juga diberikan diskresi penetapan tarif sesuai dengan
batasan tarif yang ditetapkan dalam undang-undang.
Terkait dengan pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah di Kota
Singkawang telah ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010
tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Daerah
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan.
. Dalam Peraturan Daerah ini terdapat 11 (sebelas) jenis pajak, yaitu
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir,
Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), dan Bea Perolehan Ha katas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD,
terdapat sekitar 30 jenis retribusi dengan kewenangan penetapan tarif
sepenuhnya diserahkan kepada daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip
yang diatur dalam undang-undang. Dalam perjalanannya jumlah retribusi
dalam UU PDRD tersebut ditambahkan dengan 2 retribusi baru yang
ditetapkan dalam PP Nomor 97 Tahun 2012 yaitu Retribusi Pengendalian
Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing (IMTA), sehingga jumlah retribusi daerah menjadi 32 jenis.
Terkait dengan pelaksanaan pemungutan Retribusi Daerah di Kota
Singkawang telah ditetapkan:
a. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum
(Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 27);
b. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Retribusi Jasa Usaha
2.2. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur
Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara/Daerah
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2022, bahwa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan fungsinya
menarik pajak daerah dan retribusi daerah. Pengelolaan pajak baik pajak
pusat maupun daerah didasarkan pada Undang-Undang. Filosofis ini
tercermin pada Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 bahwa pengelolaan pajak
telah mengikutsertakan rakyat melalui wakil-wakilnya di legislatif. 90 Tanpa
persetujuan dari rakyat melalui DPR/DPRD maka pemungutan dan
pengalokasian pajak menjadi tidak sah.91
90
Dahliana Hasan, (Dosen FH UGM) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 12 Februari 2020
91
ibid
92
ibid
93
ibid
94
ibid
95
Faisal Akbar Nasution, (Dosen FH USU) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 18 Februari 2020
96
ibid
97
ibid
98
Dahliana, Loc.Cit
99
ibid
100
ibid