Anda di halaman 1dari 60

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2.1. Kajian Teoretis


2.1.1. Kebijakan Pemerintah Bidang Pajak dan Retribusi Daerah
Dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas umum
pemerintahan dan memperlancar pembangunan, diperlukan suatu
kebijakan berupa ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman,
pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan kegiatan aparatur
pemerintah, di samping melakukan koordinasi, dan integrasi, juga
melakukan sinkronisasi. Maksudnya supaya pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah dapat berjalan dengan lancar dan berhasil dengan baik,
adanya kesatuan tindakan dan tindakan itu harus serasi, seirama, dan
selaras antara satu dengan lainnya.
Lingkup kebijakan pemerintah dapat dibedakan menjadi kebijakan
nasional dan kebijakan daerah. Kebijakan nasional adalah kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang bersifat fundamental dan
strategis dalam mencapai tujuan nasional. Kebijakan daerah adalah
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebagai pelaksanaan
otonomi daerah.
Dengan demikian kebijakan dalam bidang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah di era otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan yang diberikan, dan
kebijakan pemerintah daerah dalam mendukung kebijakan pemerintah
pusat tersebut harus disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah beserta perubahannya, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, dan berbagai peraturan perundang-undangan
terkait lainnya.
Ruang lingkup kebijakan pemerintah dapat ditinjau dari beberapa
aspek, yaitu:
1. aspek substansi (sektor/bidang), yaitu: aspek sosial ekonomi, budaya,
administrasi, lingkungan hidup dan lain sebagainya;

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 1
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

2. aspek strata, yaitu: kebijakan strategis, kebijakan


eksekutif/manajerial, dan kebijakan teknis operasional;
3. aspek status hukum, yaitu: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri dan lain
sebagainya9.
Implementasi atau pelaksanaan kebijakan pemerintah bukanlah
sekedar berkaitan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan
politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran
birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia juga menyangkut masalah konflik,
keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan 10. Oleh
karena itu tidaklah keliru apabila dikatakan bahwa pelaksanaan
kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijakan.
Harold D. Laswell mengatakan bahwa kebijakan publik adalah
suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang
terarah. Selain itu David Easton menyatakan bahwa kebijakan publik
adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada
seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang
seperti pemerintah11.
Pada dasarnya Kebijakan Publik memiliki implikasi sebagai
berikut:
1. bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan
penetapan tindakan-tindakan pemerintah;
2. bahwa Kebijakan Publik itu tidak cukup hanya dinyatakan dalam
bentuk teks-teks formal, namun juga harus dilaksanakan atau
diimplementasikan secara nyata;
3. bahwa Kebijakan Publik pada hahekatnya harus memiliki tujuan-
tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun jangka
pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu;
4. dan akhirnya segala proses yang ada diperuntukan bagi pemenuhan
kepentingan masyarakat12.
9
Soetaryono dalam Istislam, 2000, Kebijakan dan Hukum Lingkungan Sebagai Instrumen
Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan, Arena Hukum, Nomor 10 Tahun
Keempat, Maret 2000, Jakarta, hal. 75.
10
M. Grindie dalam Wahab Solichin Abdul, 1991, Analisis Kebijakan, PT. Bumi Aksara,
Jakarta, hal. 57.
11
Eddy Wibowo, et.al., 2004, Hukum dan Kebijakan Publik, Penertbit YPAPI, Yogyakarta,
hal. 20.
12
Irfan Islamy, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,
Jakarta, hal. 14.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 2
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Selain kebijakan pemerintah/publik ada juga kebijaksanaan.


Untuk memahami proses serta bentuk kebijaksanaan, pada intinya
mengkaji letak serta bekerjanya hukum di masyarakat yang semakin
besar perannya sebagai sarana untuk membawa berbagai perubahan-
perubahan. Dengan mendasarkan pada defenisi kebijaksanaan yang
dikemukakan oleh Jay A. Sigler, maka pengertian kejibaksanaan adalah
tindakan sebagai wujud kewenangan pemerintah, atau dengan kata lain
pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan masyarakat13.
Hukum sebagai acuan pemerintah termasuk pemerintah daerah
untuk melaksanakan wewenangnya, yang di dalam menjalankan
wewenangnya itu diwujudkan dalam kebijaksanaan. Dengan demikian,
hukum dan kebijaksanaan merupakan unsur yang penting dalam
perkembangan politik.
Kebijakan pembangunan yang salah satunya adalah pembangunan
ekonomi pada umumnya memiliki kompleksitas yang tinggi dan luas,
karena berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat dalam suatu
komunitas tertentu. Kegiatan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu yang
langsung dikelola oleh pemerintah dan yang dikelola oleh swasta. Bentuk
kegiatan yang paling penting tentu saja berupa produksi yang akan
dinikmati konsumen akhir atau masyarakat pada umumnya 14.
Untuk sampai pada suatu kebijakan pembangunan tersebut, maka
diperlukan suatu dokumen-dokumen yang akan menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan sampai dengan pelaksanaannya. Hal tersebutlah
yang mendasari diperlukannya suatu perencanaan. Pengertian
perencanaan adalah teknik, cara untuk mencapai tujuan; tujuan untuk
mewujudkan maksud dan sasaran tertentu yang telah ditentukan
sebelumnya dan telah dirumuskan dengan baik oleh Badan
Perencanaan Pusat. Pengertian perencanaan tersebut tidak terlalu jauh
berbeda dengan definisi yang ada pada Undang-Undang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional15, yaitu Perencanaan adalah suatu
proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui

13
Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan
Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, hal 2.
14
Jan Tin Bergen, 1973, Rencana Pembangunan, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 24.
15
Pasal 1 angka1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 3
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.


Bagi Negara berkembang termasuk Indonesia, perencanaan
pembangunan masih mempunyai peranan yang sangat besar sebagai alat
untuk mendorong dan mengendalikan proses pembangunan secara lebih
cepat dan terarah. Ada 3 (tiga) alasan utama mengapa perencanaan
pembangunan masih tetap banyak digunakan di Negara berkembang,
yaitu: Pertama, karena makanisme pasar belum berjalan secara
sempurna, karena kondisi masyarakat banyak yang masih sangat
terbelakang tingkat pendidikannya sehingga belum mampu bersaing
dengan golongan yang sudah maju dan mapan. Disamping itu, informasi
belum tersebar secara merata ke seluruh tempat karena masih banyak
daerah yang terisolir karena keterbatasan prasarana dan sarana
perhubungan. Dalam hal ini peranan pemerintah yang dilakukan secara
terencana menjadi sangat penting dan menentukan proses
pembangunan. Kedua, karena adanya ketidakpastian masa datang
sehingga perlu disusun strategi, kebijakan dan perencanaan untuk
mengantisipasi kemungkinan buruk yang mungkin timbul di kemudian
hari berikut tindakan dan kebijakan preventif yang perlu dilakukan.
Ketiga, untuk dapat memberikan arahan dan koordinasi yang lebih baik
terhadap para pelaku pembangunan, baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat secara keseluruhan sehingga terwujud proses pembangunan
yang terapdu, bersinergi dan saling menunjang satu sama lain 16.
Setiap rencana mengandung tiga ciri khas, yaitu: (1) selalu
mengenai masa mendatang; (2) selalu mengandung kegiatan-kegiatan
tertentu dan bertujuan yang akan dilakukan; dan (3) harus ada alasan,
sebab, motif atau landasan, baik personal, organisasional maupun
kedua-duanya menjadi sangat penting17.
Dalam pelaksanaannya, perencanaan memerlukan kemampuan
berpikir tertentu, dan oleh karena itu banyak orang tidak dapat
menjalankan rencana dengan baik. Dengan demikian di dalam
perencanaan ataupun perencanaan pembangunan, perlu diketahui
adanya 5 (lima) hal pokok18, yaitu:

16
Sjafrizal, 2009, Teknis Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, Baduose
Media, Jakarta, hal. 5-6.
17
Prajudi Admosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hal. 177.
18
Tri Hayati, et.al, 2005, Administrasi Pembangunan Suatu Pendekatan Hukum Dan
Perencanaannya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 41.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 4
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

1. Permasalahan-permasalahan pembangunan suatu masyarakat yang


dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat
diusahakan, dalam hal ini sumber-sumber daya ekonomi dan sumber
daya lainnya;
2. Tujuan serta sasaran rencana yang ingin dicapai;
3. Kebijakan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana
dengan melihat penggunaan sumber-sumbernya dan pemilihan
alternatif-alternatif yang terbaik;
4. Penterjemahan dalam program-program atau kegiatan-kegiatan
usaha konkrit; dan
5. Jangka waktu pencapaian tujuan.
Selanjutnya mengenai sifat dari perencanaan, menurut Prajudi
Atmosudirdjo19 bahwa rencana mempunyai sifat-sifat tertentu menurut
kehendak daripada administrator, yaitu dibedakan menjadi single use
plan, standing plan, dan repeat plan. Yang dimaksud dengan single use
plan adalah rencana yang bersifat satu kali pakai saja. Sesudah rencana
tersebut selesai dilaksanakan dan diselenggarakan, maka rencana
tersebut sudah tidak berlaku lagi. Yang dimaksud dengan standing plan
adalah rencana yang bersifat permanen dan yang selalu harus
dipergunakan setiap kali muncul keperluan yang sama. Sedangkan yang
dimaksud dengan repeat plan adalah rencana yang secara terus menerus
harus dilakukan, secara berulang-ualang sampai pada perintah berhenti.
Dari aspek substansi, perencanaan adalah penetapan tujuan dan
penetapan alternatif tindakan, seperti pernyataan dari Widjojo
Nitisastro20 sebagai berikut: “Perencanaan ini pada asasnya berkisar
kepada dua hal, yang pertama, ialah penentuan pilihan secara sadar
mengenai tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu
tertentu atas dasar nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang
bersangkutan, dan yang kedua, ialah pilihan diantara cara-cara
alternatif serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut”.
Mengikuti Lincolin Arsyad21 menurut jangka waktunya,
perencanaan pembangunan dapat diklasifikasi atas 3 jenis, yaitu:
a. Perencanaan Jangka Panjang, biasanya mencakup jangka waktu 10-
25 tahun. Perencanaan jangka panjang disebut juga sebagai
19
Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Op.Cit, hal. 89.
20
Bintoro Tjokroamidjojo, 1985, Perencanaan Pembangunan, Cetakan ke-18 tahun 1985,
Toko Gunung Agung, Jakarta, hal. 14.
21
Sjafrizal, 2009, Op.Cit, hal. 27-29.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 5
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

perencanaan perspektif yang berisikan arah pembanguan secara


umum.
b. Perencanaan Jangka Menengah, biasanya mencakup waktu 4-5
tahun, tergantung dari masa jabatan Presiden atau Kepala Daerah.
Perencanaan jangka menengah pada dasarnya merupakan jabaran
dari perencanaan jangka panjang sehingga bersifat lebih operasional.
c. Perencanaan Jangka Pendek, biasanya mencakup waktu hanya 1
tahun, sehingga seringkali juga dinamakan sebagai rencana tahunan.
Rencana ini pada dasarnya adalah merupakan jabaran dari Rencana
Jangka Menengah. Perencanaan tahunan ini bersifat sangat
operasional karena di dalamnya termasuk program dan kegiatan,
lengkap dengan pendanaannya.
Kebijakan Pemerintah di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah yang kemudian mengalami perubahan seiiring dengan
dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih
efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk
memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui
restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan
Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis
Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal
ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak
pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi
pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan
sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya
pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak
terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan
berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain
integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur
perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan
persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 6
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen


Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu
PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya
merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat
meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak,
karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta
memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan
keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level
pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. Sementara itu,
penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber
penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin
dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan
mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena
perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen
Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi
perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah
Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi
Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.
Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32
(tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan.
Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan
dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut
dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan
yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi
beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi
kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan
implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta
Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi
yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang
lebih luas.
Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada
Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka
pemberian insentif fiscal untuk mendorong perkembangan investasi di

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 7
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi


dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan
pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi
yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

2.1.2. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah


Eksistensi Pemerintah Daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia memang dijamin dan dikehendaki oleh Konstitusi. Pasal 18
Amandemen UUD 1945 dengan tegas menyatakan:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kota dan kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kota dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.

Atas dasar amanah UUD 1945 tersebut, maka sekarang berlaku


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2022. Berdasarkan undang-undang ini terdapat
tujuan dan prinsip yang perlu dijadikan acuan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, antara lain Pemerintah daerah berwenang untuk

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 8
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas


otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi has kepada daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan
Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa,
dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di
samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis
globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara
kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau
pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah,
tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap
ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada
negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan
Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan
oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan,

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 9
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai


tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan
mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya
sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak
bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk
mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat
dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan
sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam
bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga
memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap
memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai
satu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh kepala daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat
Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari
kekuasaan pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari
negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada
ditangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka
Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang
terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah.
DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan
demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra
sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 10
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala


daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan
Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu
oleh Perangkat Daerah.
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak,
kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam
beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang
ini secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara
terintegrasi.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan
yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang
berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan,
perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar,
arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,
pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan
fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan
dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat
dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pada hakekatnya
merupakan penerapan konsep teori areal division of power22 yang
membagi kekuasaan secara vertikal sesuatu negara. Dalam sistem ini,
kekuasaan negara akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak,
dan pemerintah daerah di lain pihak. Sistem pembagian kekuasaan
dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah antara negara
yang satu dengan yang lain tidak akan sama, termasuk Indonesia yang
secara legal konstitusional menganut sistem Negara Kesatuan.
Kehendak politik pemerintah dalam menegakkan demokrasi
melalui asas desentralisasi, adalah harus sungguh-sungguh merupakan
desentralisasi kerakyatan, dalam arti bahwa keleluasaan otonomi yang
dilancarkan kepada daerah bukan untuk mengembangkan kekuasaan

22
Koesworo, E., 2001, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,
Yayasan Pariba, Jakarta, hal 289.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 11
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

birokrasi pemerintah daerah, namun guna memberikan kesempatan


kepada rakyat setempat untuk berperan, berprakarsa, dan
memberdayakan potensi masyarakat dan wilayah daerah setempat.
Dengan demikian, kekuasaan yang dilimpahkan kepada pemerintah
daerah dimaksudkan sebagai wahana dalam memberikan facilitating
kepada masyarakat setempat melalui peran serta dan pemberdayaan
masyarakat.
Inti persoalannya adalah seberapa jauh keleluasan otonomi daerah
dapat diberikan kepada daerah, agar daerah tersebut dapat berfungsi
sebagai Daerah Otonomi yang mandiri, berdasarkan asas demokrasi dan
kedaulatan rakyat, tanpa menganggu stabilitas nasional dan keutuhan
persatuan/kesatuan bangsa. Kemandirian daerah otonom yang kuat
justru harus menjadi penyangga bagi tetap terjaga dan terpeliharanya
eksistensi negara dan bangsa. Dengan kata lain, bagaimana mencari
titik-keseimbangan antara kehendak politik centrifugal, yang melahirkan
politik desentralisasi, dan mendudukkan posisi centripetal yang
melahirkan sebagian central power untuk menjamin tetap terpeliharanya
identitas dan integrasi bangsa. Sulit untuk menetapkan formula yang
tepat guna mencari penyelesaian masalah tersebut, oleh karena hal itu
akan sangat dipengaruhi oleh konfigurasi-politik pada suatu masa
tertentu, dan hampir bisa dipastikan, bahwa setiap negara dalam
mencari titik-keseimbangan tersebut selalu memperhitungkan
pertirnbangan-pertimbangan ekonomi, politik, sosial, kesejahteraan dan
keamanan. Namun bagaimanapun sulitnya menetapkan formula, harus
dicari formula yang tepat, objektif, dan rasional, serta penuh kearifan
dengan memandang persoalan ini adalah untuk kepentingan masyarakat
bangsa, dan bukan untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok
tertentu.
Dengan demikian, timbul pemikiran perlunya memberikan
kewenangan otonomi daerah pada tingkat wilayah yang paling dekat
dengan rakyat. Hal ini didasarkan kepada pemikiran, bahwa dalam
pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya tersimpul makna
pendewasaan politik rakyat daerah di mana terwujud peran serta dan
pemberdayaan masyarakat, melainkan juga sekaligus bermakna
mensejahterakan rakyat. Sebab, bagaimanapun juga tuntutan
pemerataan, tuntutan keadilan yang sering dilancarkan, baik

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 12
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

menyangkut bidang ekonomi maupun politik pada akhirnya akan


menjadi fokus utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Dengan perubahan yang sangat mendasar ini, dampak yang akan
sangat dirasakan oleh pemerintah daerah, bukan hanya sekedar
menyangkut kepada perubahan sistem dan struktur pemerintahan
daerah, melainkan dan terutama kepada kesiapan dan ketersediaan
sumber daya manusia, baik secara kuantitatil maupun kualitatif yang
akan berperan dan berfungsi sebagai motor penggerak jalannya
pemerintahan daerah yang kuat, efektif, efisien dan akuntabel. Sumber
daya manusia aparatur yang diperlukan bukan hanya yang memiliki
keterampilan dan kemampuan profesional di bidangnya. melainkan juga
memiliki etika dan moral yang tinggi serta memiliki dedikasi dan
pengabdian terhadap masyarakat.
Sejauh ini sudah terlihat bahwa kebijaksanaan pemberian otonomi
daerah yang dikaitkan dengan masalah sentralisasi dan desentralisasi
dalam pemerintahan tergantung pada banyak hal. Menurut Bintoro
Tjokroamidjojo23, setidak-tidaknya ada tiga hal yang menjadi
pertimbangan apakah suatu negara menganut sentralisasi atau
desentralisasi. Pertama, seringkali filsafah politik bangsa tertentu
tercermin pada tata-cara penyelenggaraan pemerintahannya. Negara
dengan pandangan sosialis yang tradisional lebih cenderung
melaksanakan sentralisasi. hal ini berlaku sekalipun sistem
kenegaraannya bersifat federal. Kedua, struktur konstitusional dan
sistem pemerintahan negara tertentu juga berpengaruh. Di dalam pola
yang ideal, negara-negara yang memiliki bentuk kesatuan lebih
cenderung ke arah sentralisasi. Akan tetapi, dalam kenyataan empiris,
negara kesatuan dapat juga memberikan desentralisasi dan otonomi
yang luas. Sebaliknya, di negara dengan struktur federal juga ditemui
kebijaksanaan, rencana, dan program pemerintahan yang bersifat
sentralistis. Ketiga, seringkali masalah sentralisasi dan desentralisasi
terkait pula dengan tingkat perkembangan bangsa pada negara-negara
yang baru merdeka .
Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria

23
Bintoro Tjokroamidjojo, l985, Pengantar Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta,
hal 81.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 13
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan


keserasian hubungan antara susunan pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri
atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Kriteria eksternalitas yang dimaksud adalah penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Sedangkan kriteria akuntabilitas adalah
penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan
jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan. Dan yang dimaksud dengan kriteria efisiensi
adalah penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan
berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang
dapat diperoleh.
Dengan adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah bukan berarti semua berjalan dengan mulus.
Pelaksanaan otonomi daerah tidak semudah membalik telapak tangan,
diperlukan kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola dan
menyelenggarakan kewenangan tersebut dengan baik dan benar. Tujuan
desentralisasi adalah untuk demokrasi, efektivitas dan efisiensi, serta
keadilan. Apabila tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan timbul
dan muncul sumber-sumber keresahan dan krisis di tengah-tengah
masyarakat24.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah mengatur mengenai kewenangan pemerintah provinsi
sebagaimana tergambar dalam Pasal 11 yang mengatakan:
(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam
Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar.
(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
24
Widjaja, HAW., 2005, Penyelenggaraan Otonomi di lndonesia, PT. Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, hal. 41.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 14
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan


Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan
Pelayanan Dasar.
Selanjutnya Pasal 12 UU Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan:
(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
dan
f. sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 15
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Selain itu Pasal 13 UU Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan:
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada
prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional.
(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.
(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi
adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 16
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih


efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan selalu memperhatikan
kepentingan serta aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian
hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, dalam arti:
a. Mampu membangun kerja sama antar daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan
antar daerah.
b. Mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah
dengan pemerintah.
c. Mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah
negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Karena itu, agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan
tujuan yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan:
a. Pembinaan berupa pemberian pedoman dalam kegiatan penelitian,
pengembangan, perencanaan, dan pengawasan.
b. Memberikan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi,
pengendalian, koordinasi, pemamtauan, dan evaluasi.
c. Memberikan fasilitas berupa pemberian peluang kemudahan,
bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 17
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan


peraturan perundang-undangan25.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan pemberian
otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang
bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah
dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, kepada daerah
perlu diberikan kewenangan-kewenangan sebagai urusan rumah
tangganya26.
M. Arif Nasution27 berpendapat, dalam suatu Negara kesatuan,
otonomi tidak dapat dipahami sebagai pemberian kebebasan dari suatu
daerah untuk melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan
kehendak daerah tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara
komprehensif. Disadari sepenuhnya bahwa konflik kepentingan selalu
terjadi di manapun, karena di satu sisi ada keinginan untuk
melaksanakan otonomi sesuai dengan kewenangannya, tetapi di sisi lain
dihadapkan dengan kepentingan dan keinginan untuk tetap
mempertahankan Negara Kesatuan sebagai suatu bangsa.
Penerapan otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk
mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok
masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas daerah
dan lingkungan setempat, sehingga kebijakan publik dapat lebih
diterima dan produktif dalam memenuhi kebutuhan serta rasa keadilan
masyarakat.

2.1.3. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber

25
Marcus Lukman, 2007, Hukum Tata Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, PMIH
Untan Press, Singkawang, hal 132.
26
Soenyono, 2001, Prospek Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, dalam buku Otonomi Daerah Perspektif Teoritis dan
Praktis oleh Andi A. Malarangeng, dkk, Cetakan Pertama, Bigraf Publishing, Yogyakarta, hal
107.
27
Arif Nasution, M., 2000, Demokratisasi dan Problema Otonomi Daerah, Mandar Maju,
Bandung, hal. v.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 18
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan


pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah, maka dilakukan perluasan objek
pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam
penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan,
peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan
potensi daerah.
Ketentuan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah terdapat
dalam Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 yang menyatakan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah
ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Pemerintahan daerah
dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang
telah ditetapkan undang-undang.

2.1.3.1. Pajak Daerah


Beberapa pakar hukum dan perpajakan mendefenisikan pengertian
pajak, antara lain Adriani mengatakan pajak adalah iuran masyarakat
kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayar menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung tugas negara untuk menyelengarakan pemerintahan 28.
Selain itu ada juga yang mendefenisikan Pajak sebagai pungutan wajib
yang biasanya berupa uang yang harus dibayarkan oleh penduduk
sebagai sumbangan wajib kepada negara/pemerintah sehubungan
pendapatan29.
Masyarakat pada umumnya telah menyadari bahwa pajak yang
dipungut oleh Negara/daerah digunakan untuk menjalankan roda
pemerintahan/pemerintah daerah demi menjamin kelangsungan hidup
Negara/daerah. Untuk memahami makna fungsi pajak daerah dapat
dilihat beberapa pengertian tentang Pajak di antaranya: Pajak menurut

28
Wikipedia Ensiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/ wiki/pajak#Defenisi, April
2007
29
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2002, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai pustaka, Jakarta, hal. 812.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 19
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Soeparman Soehamidjaya30 adalah iuran wajib berupa uang yang


dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna
menutup biaya produksi barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum. Menurut Rochmat Soemitro 31 Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapat jasa timbal balik, yang dapat langsung ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Kebijakan otonomi daerah mengharuskan adanya beberapa
kewenangan atau penyediaan barang publik dilakukan oleh tingkat
pemerintah yang lebih rendah. Tentunya hal itu harus diikuti pula
dengan penyerahan atau pemberian kewenangan memungut pajak atau
retribusi kepada pemerintah yang lebih rendah. Apabila kewenangan
untuk memperoleh pendapatan lebih rendah dibandingkan dengan yang
dimiliki oleh tingkat pemerintah yang diatasnya, maka akan terjadi
ketidakseimbangan kemampuan fiskal (vertical fiscal imbalance) antar
level pemerintahan yang selanjutnya gap tersebut dapat ditutup dengan
adanya transfer32.
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah33. Pengerian lain
mengenai pahjak daerah yaitu Pajak Daerah merupakan pajak yang
dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami
wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang
diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang
dibayarkannya.
Pajak Daerah menurut Davey34 yaitu:
a. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan
dari daerah itu sendiri.
b. Pajak yang ditetapkan dan/atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.

30
Sebagaimana dikutip Brotodiharjo R. Santoso, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT
Eresco, Jakarta, hal. 5
31
Rochmat Sumitro, 1988, Pajak dan Pembangunan, PT. Eresco, Bandung, hal. 8.
32
Bird, R. M. (1993). “Threading the fiscal labyrinth: Some issues in fiscal
decentralization”. National Tax Journal 46, hal. 207–227
33
Mardiasmo, 2009. Perpajakan (Edisi Revisi Tahun 2009). Yogyakarta : Andi, hal. 12.
34
Davey, Kenneth. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah Praktek-Praktek Internasional
dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga. Jakarta : UI Press

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 20
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

c. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan Pemerintah Pusat tetapi


penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
d. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat,
tetapi hasil pungutannya diberikan kepada Pemerintah Daerah.
Untuk itu, perlu dipikirkan jenis pajak dan retribusi apa saja yang
sesuai untuk diberikan kepada tiap level pemerintahan 35. Jenis pajak
yang mungkin bagus untuk daerah adalah yang memiliki kriteria sebagai
berikut: basis pajaknya tidak bergerak/tetap dalam suatu wilayah
(immobile); jenis basis pajaknya terdistribusi merata antar daerah; dan
mampu menghasilkan penerimaan yang stabil36.
Berbagai literatur menyebutkan bahwa pajak properti (tanah dan
bangunan) adalah jenis pajak yang sesuai kriteria untuk daerah. Selain
itu, terdapat beberapa jenis pajak daerah yang objek pajaknya bersifat
immobile dan bukan merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah
pusat. Contoh dari jenis pajak tersebut adalah pajak hotel dan pajak
reklame yang diterapkan di Indonesia. Namun terdapat beberapa macam
pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat yang bisa diserahkan kepada
daerah dengan beberapa skema di antaranya adalah pajak pendapatan,
pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan.
Skema pemberian kewenangan pajak ke daerah tersebut dapat
menjadi indicator seberapa besar tingkat otonomi yang diberikan kepada
daerah. Terdapat 3 (tiga) skema pemberian kewenangan pajak ke daerah
yaitu: (1) murni menjadi pajak daerah di mana kontrol atas basis dan
tarif pajak dimiliki oleh daerah; (2) overlapping taxes/piggyback di mana
basis pajak merupakan basis pajak nasional namun ada bagian daerah
dalam menentukan besar tarif pajak; (3) bagi hasil pajak di mana basis
dan tarif pajak di bawah kendali pemerintah pusat untuk kemudian
dibagikan ke daerah dengan porsi tertentu (Anwar Shah, 1994). Terkait
administrasi perpajakan antarlevel pemerintahan, terdapat 4 (empat)
model yang dapat diterapkan menurut Charles L. Vehorn dan Ehtisham
Ahmad, yaitu:

35
Musgrave, Richard A. (1983). “Who Shoud Tax, Where and What?”, In Tax Assignment
in Federal Countries, Ed. By Charles E. McLure Jr., Canberra: Center For Research On Federal
Financial Relations, Australian National University.
36
Ter-Minassian, T. (1997). “Intergovernmental Fiscal Relations in a Macroeconomic
Perspective: An Overview”. Fiscal Federalism in Theory and Practice. T. Ter-Minassian.
Washington DC: International Monetary Fund, hal. 3-24.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 21
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

a. administrasi perpajakan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat,


namun terdapat skema bagi hasil dan transfer ke daerah;
b. administrasi perpajakan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat,
namun dengan memberikan kewenangan jenis pajak tertentu kepada
daerah;
c. multilevel administration, pusat dan daerah melaksanakan
administrasi perpajakan dengan disertai skema bagi hasil dan
transfer; dan
d. daerah melakukan administrasi perpajakan sendiri atas jenis pajak
yang telah diserahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat.
Untuk meningkatkan local taxing power dan kemampuan
keuangan pemerintah daerah, dapat dilakukan beberapa hal di
antaranya adalah: (1) memperluas basis pajak; (2) menambah jenis
pajak; (3) memberikan piggyback tax; (4) menyederhanakan jenis pajak;
(5) memperbaiki system perpajakan daerah; (6) menaikkan tarif.
Overlapping taxes/piggybacking taxes dapat menjadi salah satu alternatif
penambahan penerimaan daerah. Dalam hal ini, pemerintah daerah
diberikan kewenangan tarif atas basis pajak nasional di samping tarif
lain yang dikenakan oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain, dalam
satu basis pajak dikenakan dua macam tarif pajak. Salah satu jenis
pajak yang dapat diterapkan dengan menggunakan sistem piggyback
adalah pajak pendapatan. Namun hal ini tidak berarti bahwa terjadi
administrasi ganda, di mana setiap level pemerintahan melakukan
administrasi perpajakan untuk jenis pajak yang sama. Penerapan
piggyback ini akan lebih baik apabila dilakukan harmonisasi di mana
pengelolaan administrasi perpajakan hanya dilakukan oleh pemerintah
pusat saja, sehingga dapat mengurangi atau meminimalkan biaya yang
mungkin timbul dan ditanggung, baik oleh administratornya maupun
wajib pajaknya37.
Dari berbagai teori mengenai tax assignment, dapat ditarik suatu
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dalam penentuan tax
assignment38, yaitu: (1) prinsip manfaat, yang menekankan bahwa
sumber pendapatan harus berkorelasi dengan benefit yang disediakan

37
McLure, Charles E. (1983). Tax Assignment in Federal Countries. Centre for Research
on Federal Financial Relations, Australian National University.
38
Martínez, Jorge; Vázquez. (2008). “Revenue Assignments in the Practice of Fiscal
Decentralization” in Núria Bosch & José M. Durán (ed.). Fiscal Federalism and Political
Decentralization, chapter 2. Edward Elgar Publishing.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 22
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

pemerintah, harus diimplementasikan semaksimal mungkin; (2) sumber-


sumber pendapatan daerah harus memiliki basis pajak yang relatif
merata antar daerah. Pajak yang dikelola oleh daerah tidak boleh
memiliki basis pajak yang berbeda-beda antar daerah untuk membantu
meminimalkan kesenjangan fiskal antar pemerintah daerah dan
mengurangi beban equalization grant; (3) sumber pajak daerah sebaiknya
memiliki basis pajak yang tidak bergerak untuk meminimalisasi
kecenderungan kompetisi pajak antardaerah. Meskipun begitu, tidak
semua kompetisi pajak tidak diinginkan. Kompetisi yang moderat dapat
memberikan insentif untuk menjadi lebih efisien; (4) pajak yang dikelola
oleh daerah harus netral secara geografis, dalam arti tidak mengganggu
kepentingan nasional dan internasional, tidak mendistorsi lokasi dari
aktivitas ekonomi di seluruh wilayah nasional, dan tidak diekspor keluar
daerah. Sebab, ekspor keluar daerah akan menyebabkan orang yang
membayar pajak tersebut bukanlah orang yang akan menerima manfaat
dari pelayanan publik yang disediakan pemerintah daerah tersebut; (5)
harus ada persyaratan kelayakan administratif, sehingga pajak daerah
dapat diimplementasikan tanpa meningkatkan compliance cost dan
administrative cost; (6) pajak daerah harus memiliki basis pajak yang
secara umum stabil; (7) pajak daerah harus terlihat dengan jelas,
sehingga beban pajaknya benar-benar dipahami oleh penduduk setempat
meskipun pemerintah daerah bisa memiliki pemikiran lain tentang hal
ini; dan (8) tax assignment harus stabil dari waktu ke waktu. Penetapan
tax assignment yang berubah-ubah dan tidak stabil akan dapat
mengakibatkan kurangnya keseragaman, kompleksitas yang tidak perlu,
dan insentif negatif terhadap mobilisasi pendapatan.
Berkaitan dengan konteks Indonesia39, Sidik mengutarakan bahwa
secara luas pajak daerah yang baik harus memenuhi ketiga belas kriteria
ini:
a. The tax must be suitable as a regional government tax;
b. The tax must be politically acceptable at national and regional levels;
c. The tax base must not overlap (double taxation);
d. There is wisdom in avoiding very high tax rate;
e. The estimated potential yield of the new revenue source should
represent a substantial additional contribution to the present total of
local revenue;

39
Sidik, Machfud. 2007. A New Perspective on Intergovernmental Fiscal Relations:
Lessons from Indonesia's Experience. Jakarta: Ripelge.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 23
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

f. The gross costs of collecting the revenue must be acceptably small


compared to the yield of the revenue;
g. The tax must not prejudice national economic policies or is not heavily
redistributive;
h. The tax must not seriously change the allocation of economic resources
within the regional government area or between regions, nor disrupt
intra-or inter-regional trade;
i. The tax burden must be affordable;
j. The tax must not be regressive;
k. The tax must not unfairly discriminate between particular sections
of the community;
l. Ease of administration; and
m. The tax must not deter taxpayers from taking proper action to comply
with environmental conservation needs.

Ketiga belas kriteria pajak daerah yang secara luas telah


diterima di Indonesia tersebut adalah bahwa pajak berada atau muncul
dalam wilayah pemerintah daerah, diterima secara politis pada level
nasional dan regional, tidak tumpang tindih dengan jenis
pungutan pajak lain, ada kebijaksanaan untuk menghindari tarif
pajak yang sangat tinggi, estimasi penerimaan pajak memberikan
kontribusi yang berarti bagi penerimaan daerah, total biaya pemungutan
lebih rendah dibandingkan penerimaannya, tidak merugikan kebijakan
ekonomi, tidak mengubah alokasi sumber daya ekonomi dan
mengganggu perdagangan dalam atau antar wilayah, beban pajak
terjangkau, tidak harus regresif, tidak diskriminatif, administrasi yang
mudah, dan pajak tidak menghalangi wajib pajak dalam mengambil
tindakan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan konservasi lingkungan.
Perbedaan antara pajak negara dan pajak daerah terletak pada
sumber bagi pemungutan pajak, yaitu sumber bagi pemungutan pajak
negara relatif tidak terbatas, sedangkan objek-objek yang dapat
dikenakan pajak daerah terbatas jumlahnya. Hal tersebut berarti objek
yang telah menjadi sumber bagi suatu pungutan pajak negara tidak
boleh dipergunakan lagi. Dalam hal suatu pungutan pajak oleh daerah
akan merupakan suatu pajak ganda, maka daerah hanya dapat
memungut tambahan (atau opsen) saja atas pajak yang dipungut oleh
negara itu40.

2.1.3.2. Retribusi Daerah


Selain pajak juga terdapat retribusi, antara keduanya terdapat
40
Brotodiharjo, R. Santoso. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT. Redika
Aditama, hal. 107.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 24
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

perbedaan prinsipil. Retribusi menurut Brotodihardjo 41 adalah suatu


pembiayaan yang memang ditujukan semata-mata oleh si pembayar
untuk mendapatkan suatu prestasi tertentu dari Pemerintah.
Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan
salah satu Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu
sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan
daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan
masyarakat. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali
potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi
selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Retribusi merupakan salah satu jenis pungutan yang dikenakan
pemerintah daerah kepada masyarakat di samping pajak. Retribusi
bersama-sama dengan pajak digunakan oleh pemerintah daerah untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Dengan kata lain, pajak dan retribusi adalah harga yang
dibayar oleh masyarakat atas pelayanan atau barang/jasa yang
disediakan oleh pemerintah. Pajak merupakan harga atas barang/jasa
yang dikenakan kepada masyarakat tanpa mengkaitkan langsung
dengan pelayanan yang diterima masyarakat, namun hasil pajak
tersebut digunakan oleh pemerintah untuk menyediakan pelayanan yang
dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Berbeda dengan pajak, retribusi merupakan harga yang
dibayarkan oleh masyarakat atas pelayanan atau konsumsi barang/jasa
yang secara khusus disediakan bagi masyarakat tersebut. Perbedaan
pengertian pajak dan retribusi tersebut dapat dilihat dari pendapat
Ronald C. Fisher42 yang menyatakan bahwa:
“User charges, prices charged by governments for specific services or
privileges and used to pay for all or part of the cost of providing those
services, have always been important but have become increasingly so in
the past decade. They are to be distinguished from financing services
through general taxes, with no direct relationship between tax payment
and service received.“

Secara tradisional, untuk membedakan apakah suatu pelayanan


jasa cocok dibiayai dengan pajak atau retribusi adalah dengan

41
Brotodihardjo, 1991, Op.Cit., hal. 67.
42
Fisher, Ronald C. 1996. State and Local Public Finance: Institutions, Theory, and
Policy. 2nd Edition Burr Ridge, Illinois: Richard D. Irwin Incorporated, hal. 174-175.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 25
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

membedakan apakah layanan tersebut merupakan public goods atau


private goods. Public goods adalah layanan yang konsumsinya tidak
mempengaruhi kesempatan konsumsi orang lain (non-rivalry) dan
sulit/mahal untuk menghindari orang lain yang tidak bersedia
membayar untuk mengkonsumsinya (nonexcludable) atau sulit untuk
menghindari orang lain mendapatkan manfaat dari layanan tersebut
(free-rider) atau dengan kata lain layanan tersebut disediakan secara
kolektif dan tidak diskriminatif. Sebaliknya, private goods adalah layanan
yang konsumsinya mempengaruhi kesempatan konsumsi orang lain atau
hanya memberikan manfaat bagi orang tertentu. Secara teoritis, layanan
yang bersifat public goods dibiayai dari pajak dan layanan yang bersifat
private goods dibiayai dari retribusi.
Praktik pengenaan retribusi di Indonesia tidak berbeda dengan
yang dilakukan di beberapa negara. Daerah cenderung untuk memungut
berbagai jenis retribusi, yang sebagian besar hasil penerimaannya
kurang memadai. Dari berbagai macam pungutan retribusi, sebagian
menghasilkan penerimaan yang cukup besar, khususnya yang
dikenakan dengan alasan untuk biaya perizinan, walaupun belum
sepenuhnya digunakan untuk pelayanan kepada penerima izin dan juga
bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Namun fokus
pengenaan retribusi tersebut adalah memperoleh pendapatan untuk
tujuan umum, sehingga pada kenyataannya pengenaan retribusi
tersebut menyerupai pajak atas kegiatan-kegiatan yang bersangkutan.
Sejalan dengan prinsip dasar retribusi yang merupakan
pungutan/pembayaran atas suatu layanan khusus yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan, maka
kewenangan pemungutan retribusi akan sangat tergantung pada jenis
layanan yang dapat disediakan oleh Pemerintah Daerah.
Sesuai dengan prinsip desentralisasi, terdapat pembagian
kewenangan antarlevel pemerintahan termasuk dalam penyediaan
layanan umum dan perizinan. Namun, pemungutan retribusi atas
layanan umum/perizinan harus dilakukan secara sangat selektif
sehingga tidak kontraproduktif pada akses dan jangkauan masyarakat
kepada layanan dasar publik yang sebenarnya merupakan tugas
mendasar dari Pemerintah Daerah. Di sisi lain, masih terdapat berbagai
layanan komersial yang tidak diatur dalam pembagian kewenangan,

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 26
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

sehingga Pemerintah Daerah dapat memungut retribusi atas berbagai


jenis layanan komersial sepanjang dapat disediakan oleh Pemerintah
Daerah. Namun demikian, keterlibatan Pemerintah Daerah dalam
penyediaan layanan komersial harus dilakukan secara hati-hati (prudent)
dan selektif, sehingga tidak berdampak negatif pada perekonomian di
daerah.
Sementara itu, untuk jenis retribusi yang dapat dipungut dan
berpotensi mendapatkan hasil yang besar, pemerintah daerah umumnya
menunjukkan kebijakan tarif yang lemah, tidak berhubungan secara
langsung dengan biaya penyediaan layanan, kurangnya perhatian yang
diberikan terhadap perbedaan tarif sesuai dengan kemampuan
masyarakat, serta jarangnya dilakukan peninjauan tarif.
Dalam literatur-literatur mengenai keuangan negara dan keuangan
daerah, terdapat banyak ahli yang mengajukan definisi dan peristilahan
yang pada akhirnya merujuk pada suatu konsep yang dikenal sebagai
retribusi daerah. Satu hal yang sangat jelas dalam membahas masalah
retribusi daerah adalah sulitnya kesamaan pandangan mengenai apa
yang termasuk dalam cakupan pembahasan mengenai hal ini. C. Kurt
Zorn menegaskan bahwa: One clear thing about user charges and fees is
that there is a lack of agreement about what should be includes under
rubric “user charges and fees”.43
Dalam satu sisi, retribusi merupakan semacam mekanisme pasar
dalam sektor publik, di mana terjadi suatu transaksi antara pemerintah
dengan warga masyarakat memiliki kaitan erat antara sejumlah uang
yang dibayarkan dengan manfaat yang diterima. Dengan menggunakan
pengertian ini, maka retribusi dapat mencakup: Fees and charges, rents
and royalties, earmarked excise taxes, permits and licenses … revenue
from the sale of government property, interest on government loans,
premium collected for disaster or other special insurance, receipts of public
enterprises, the revenue raised from government created property right,
and premiums or annuity payments for government retirement or health
program.44
Retribusi juga dapat didefinisikan sebagai bagian dari suatu
beneficiary charges, atau suatu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh
43
C. Kurt Zorn, (1991), User Charges and Fees, Dalam John F. Patersen dan Dennis F.
Strachoto (Eds.), Local Government Finance: Concepts and Practices, Government Finance
Officers Association, Chicago, hal 136
44
Ibid, hal 136.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 27
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

konsumen dalam suatu proses pertukaran tidak langsung dengan jasa


layanan yang diberikan oleh pemerintah. Beneficiary charges are defined
as payments made by consumers in “direct exchange for government
services received” and include user charges and fees, license and permit
fees, and special assessment. User charges are defined as payments that
can be avoided by not using the service without regard to whether the
service possesses public good characteristic. License and permit fees
represent payments by consumers for government- produced services (such
as inspection and regulation). Special assessment are directly linked to
benefits received by property and its owners.45
Termasuk dalam definisi ini adalah retribusi yang merupakan
suatu bentuk pembayaran yang dapat dihindari jika tidak
mengkonsumsi layanan tanpa memperhatikan apakah layanan yang
diberikan berkarakteristik barang publik, lisensi dan perizinan yang
merupakan pembayaran konsumen kepada pemerintah atas jasa yang
diberikannya (seperti pengawasan dan pengaturan), serta special
assessment yang secara langsung terkait dengan manfaat yang diterima
dan berdampak atas kepemilikan suatu properti.
Definisi lain mengenai retribusi adalah suatu harga yang
dikenakan atas pembelian sukarela atas layanan publik yang diberikan
oleh pemerintah, di mana manfaatnya diterima secara individual, dan
erat kaitannya dengan karakteristik pure public goods. A narrower
definitions of user charges states they are “prices charged for voluntarily
purchased, publicly provided services that, while benefiting specific
individuals, are closely associated with pure public goods”. This definition
excludes revenue raised by local government utilities – including water,
sewage, electric, and gas utilities – because utility charges are publicly
prices for publicly provided products that are truly private in nature. Also
excluded are license and permit fees – because they are associated with
privileges granted by government, not publicly provided goods and special
assessments they are not voluntary.46
Yang tercakup dalam definisi ini adalah retribusi yang diterima
oleh pemerintah daerah yang memberikan pelayanan tertentu, seperti
layanan air bersih dan layanan pembuangan sampah, di mana
pemerintah daerah menetapkan suatu harga untuk dikenakan kepada
45
Ibid, hal 137.
46
Ibid

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 28
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

masyarakat atas layanan yang diberikannya walaupun sebenarnya


layanan tersebut memiliki karakteristik private goods. Definisi ini juga
mencakup biaya yang dibayarkan atas lisensi serta perizinan yang
diberikan oleh pemerintah, karena pemerintah memberikan suatu
privileges kepada individu untuk melakukan/mempergunakan sesuatu
di mana lisensi dan/atau izin ini tidak disediakan secara publik dan
bukan pembayaran sukarela atas specialassessments yang dilakukan
oleh pemerintah kepada warganya.
Kebijakan memungut bayaran untuk barang dan layanan yang
disediakan pemerintah berpangkal pada pengertian efisiensi ekonomi.
Dalam hal ini orang perorangan bebas menentukan besar layanan
tertentu yang hendak dinikmatinya, harga layanan dapat memainkan
peranan penting dalam menjatah permintaan, mengurangi
penghamburan dan dalam memberikan isyarat yang perlu kepada
pemasok mengenai besar produksi layanan tersebut.
Selain itu, penerimaan dari pungutan adalah sumber daya untuk
menaikkan produksi sesuai dengan keadaan permintaan. Karena itu,
harga harus disesuaikan sehingga penawaran dan permintaan akan
barang dan layanan disesuaikan sehingga penawaran dapat selaras.
Tetapi, memungut bayaran hanya tepat untuk barang dan layanan yang
bersifat “pribadi” dengan kata lain untuk barang dan layanan yang dapat
dinikmati hanya jika orang membayar. Sebaliknya, barang “masyarakat”
bermanfaat untuk semua orang terlepas dari berapa mereka membayar.
Dalam kenyatan, perbedaan antara barang pribadi dan barang
masyarakat tidak selalu jelas. Terutama karena ada “dampak atas pihak
luar” (eksternalitas), artinya konsumsi seseorang dapat menimbulkan
manfaat (atau kerugian) untuk orang lain atau masyarakat. Contohnya
adalah layanan kesehatan.
Teori ekonomi mengatakan harga barang atau layanan yang
disediakan pemerintah hendaknya didasarkan pada biaya tambahan
(marginal cost) yakni biaya untuk melayani konsumen yang terakhir.
Karena sebagian besar layanan pemerintah disediakan dari kedudukan
monopoli, maka manfaat ekonomi untuk masyarakat akan paling tinggi
jika pemerintah menetapkan harga layanan bersangkutan seolah-olah
ada pasar bersaing, dan memproduksi jasa itu dititik tempat biaya
tambahan sama dengan penerimaan tambahan (marginal revenue). Harga

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 29
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

ini akan menentukan tingkat permintaan sehingga sesuai dengan


penawaran, dan akan memberikan isyarat dan sumber daya yang
diperlukan untuk memungkinkan penawaran dinaikkan sesuai dengan
permintaan. Akhirnya, ada masalah yang menyangkut pemerataan dan
keadilan.
Dari sudut pemerataan, umumnya dianggap pantas orang kaya
membayar lebih besar dari pada orang miskin. Dari sudut keadilan,
banyak pendapat yang mengatakan hanya mereka yang menarik
manfaat dari layanan bersangkutan yang seharusnya ditarik bayaran
dan mereka harus membayar biaya penuh.
Pendapat yang lain lagi mengenai perlakuan yang adil
mengatakan, pungutan untuk suatu layanan harus seragam di seluruh
negeri, terlepas dari perbedaan harga dalam menyediakan layanan itu.
Tanpa melupakan semua masalah ini, dapat dikatakan asas harga sama
dengan biaya tambahan dapat dijadikan pedoman yang berguna dalam
menentukan harga di sektor masyarakat. Pada akhirnya, soal harga ini
menyangkut soal mencari keseimbangan antara manfaat dan kerugian
dalam menggunakan sumber daya secara keseluruhan akibat
penyimpangan dari asas harga sama dengan biaya tambahan.
Ada beberapa cara lain yang lebih rumit untuk menentukan harga,
misalnya tarif dua lapis dapat membantu menembus biaya pembelian
prasarana sementara memungkinkan asas harga sama dengan biaya
tambahan ditetapkan sampai tingkat konsumsi. Tarif beban puncak
(peakload tariffs) juga suatu bentuk harga sama dengan biaya tambahan
yang menjatah daya terpasang pada saat-saat sibuk. Subsidi silang dan
harga bertingkat dapat memberikan keadilan yang lebih besar dan
bahkan menaikkan penerimaan total dalam beberapa hal tertentu. Juga
dalam hal permintaan harus dibatasi, harga diatas biaya tambahan
dapat digunakan sebagai macam pajak, seperti dalam hal parkir. 47
Konsep pengaturan pajak dan retribusi berlandaskan bahwa
konsepsi retribusi sebagai suatu hal yang berbeda dengan pajak, hanya
dapat dipungut dengan mempertimbangkan pemberian layanan yang
jelas kepada pembayar retribusi, atau mempertimbangkan penerbitan
izin yang berkaitan dengan kegiatan yang harus dikendalikan untuk
kepentingan masyarakat. Konsep retribusi dimaksud sama dengan

47
Devas, Nick, et.al (1989), Keuangan Daerah di Indonesia, UI Press, Jakarta, hal. 64

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 30
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

konsep retribusi di Indonesia selama ini harus ditentukan dalam salah


satu dari tiga kategori berikut, yang masing-masing dihubungkan
dengan tujuan tarif:
a. layanan umum, untuk masing-masing jenis retribusi daerah harus
ditetapkan kebijakan tarifnya secara jelas dalam peraturan daerah
yang bersangkutan. Kebijakan tersebut harus memperhatikan setiap
petunjuk dari pemerintah pusat untuk sektor yang bersangkutan,
biaya yang dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam pemberian layanan,
dan pertimbangan kemampuan masyarakat;
b. layanan komersial, tarif harus ditetapkan sesuai dengan prinsip-
prinsip komersial untuk mendapatkan keuntungan yang layak; dan
c. biaya perizinan, terbatas pada perizinan dengan kepentingan umum
yang jelas, yang tarifnya harus berkaitan dengan biaya yang
dikeluarkan pemerintah daerah dalam mengatur kegiatan yang
diberikan izinnya, serta perkiraan biaya eksternal (biaya dampak
pemberian izin).

2.1.3. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi


Istilah pembangunan ekonomi atau adakalanya pembangunan
saja, merupakan istilah yang sudah sering didengar dan dibaca, dan
tentunya tidak sulit menerangkan artinya. Pada umumnya
pembangunan ekonomi diartikan sebagai rangkaian usaha dalam suatu
perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga
infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan
semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi
semakin meningkat. Sebagai implikasi dari perkembangan ini
diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendapatan
meningkat, dan kemakmuran masyarakat menjadi semakin tinggi.
Selain istilah pembangunan ekonomi juga terdapat istilah ekonomi
pembangunan. Istilah ekonomi pembangunan mempunyai arti yang
sangat berbeda dari istilah pembangunan ekonomi, tetapi kedua istilah
tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Ekonomi
pembangunan adalah suatu bidang studi dalam ilmu ekonomi yang
mempelajari tentang masalah-masalah ekonomi di negara-negara
berkembang, dan kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan untuk

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 31
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

mewujudkan pembangunan ekonomi48. Dengan demikian pembangunan


ekonomi dan ekonomi pembangunan terkait dengan berbagai masalah
ekonomi yang dihadapi negara berkembang dan berbagai kebijakan yang
perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut dan mempercepat
tingkat pembangunan ekonomi.
Lebih lanjut dikatakan oleh Sadono Sukirno 49 bahwa analisis
mengenai masalah dan kebijakan ekonomi akan memperhatikan hal-hal
yang terkait dengan:
1. Menerangkan asal mula perkembangan perhatian dan
pemikiran terhadap isu-isu mengenai pembangunan ekonomi.
2. Menerangkan arti pembangunan ekonomi dan
membedakannya dengan pertumbuhan ekonomi.
3. Melihat ciri-ciri utama keadaan ekonomi dan sosial di negara
berkembang.
4. Membicarakan persoalan pokok yang perlu diperhatikan dalam
usaha memahami masalah dan kebijakan pembangunan di negara
berkembang.
Kegiatan ekonomi dewasa ini semakin rumit dan kompleks. Arus
perdagangan dan jasa telah melintas batas-batas negara sehingga
yurisdiksi negara menjadi tidak signifikan lagi. Persoalan-persoalan baru
muncul dan memerlukan penanganan segera. Mengingat sifatnya yang
sangat kompleks tersebut, maka persoalan-persoalan perekonomian ini
memerlukan penanganan yang multidisipliner, bilateral dan bahkan
multinasional.
Di tingkat domestik, kegiatan-kegiatan perekonomian membawa
persoalan-persoalan baru sebagai akibat dari pengaruh ekonomi global
maupun akibat dari dinamika perubahan-perubahan sosial yang ada di
dalam masyarakat. Banyak pranata ekonomi baru yang muncul di
tengah-tengah masyarakat, yang sebelumnya tidak pernah dijumpai.
Pranata atau lembaga baru itu tentunya menuntut segera melengkapi
dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya agar tidak
terjadi kekosongan hukum. Beberapa di antaranya memang telah
dibuatkan peraturan pendukungnya, namun dirasakan respon hukum
terhadap perkembangan ini sangat lamban. Hal ini mengingat bahwa

48
Sadono Sukirno, 2006, Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hal. 3.
49
Ibid, hal. 4.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 32
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

sifat hukum yang sebetulnya konservatif. Hukum ini sering sekali


berubah kalau nilai-nilai sudah berubah50.
Pendapat di atas sebetulnya tidak juga disetujui sepenuhnya oleh
para ahli hukum yang cenderung menafsirkan hukum sebagai agent of
modernization atau yang ditulis oleh Rescoe Pound sebagai law as a
instrument of social engineering. Barangkali kedua pendapat ini ada
benarnya dan dapat dibuktikan penerapannya di Indonesia, bahwa
hukum itu selain untuk menciptakan ketertiban dan keadilan, juga
sebagai sarana untuk melakukan perubahan atau rekayasa sosial. Hal
ini dilakukan agar tercipta suatu sistem yang efisien sehingga dapat
menunjang kegiatan perekonomian51.
Hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama. Kalau
manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi
sentuhan atau kontrak, baik yang menyenangkan maupun yang
merupakan konflik. Dalam keadaan seperti itu hukum tidak diperlukan.
Di dalam masyarakat walaupun bagaimana primitifnya, manusia selalu
menjadi subyek hukum, menjadi penyandang hak dan kewajiban.
Hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan
bersama. Sebagai konsekuensinya, maka tata hukum bertitik tolak pada
penghormatan dan perlindungan manusia. Penghormatan dan
perlindungan manusia ini tidak lain merupakan pencerminan dari
kepentingannya sendiri. Dalam penghormatan manusia ini terdapat
persyaratan-persyaratan umum untuk berlakunya peraturan-peraturan
hidup yang disediakan bagi manusia. Jadi hukum terdapat dalam
masyarakat manusia. Dalam setiap masyarakat selalu terdapat sistem
hukum, ada masyarakat ada hukum (ibi societas ibi ius).
Manusia adalah Zoon Politikon, dan bahwa manusia (masyarakat)
merupakan pengertian komplementer. Selaku makhluk sosial ia tidak
dapat hidup seorang diri lepas dari masyarakat. Ia harus hidup
berkelompok, karena hidup berkelompok akan lebih menjamin
terlindungi kepentingan-kepentingannya. Manusia membutuhkan
masyarakat, oleh karena itu ia akan mempertahankan kelangsungan
hidup masyarakat tempat ia hidup. Sebaliknya manusia perlu memenuhi

50
Mulya Lubis, T., 1992, Hukum dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 14.
51
Nurul Fajri Chikmawati, 2003, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, termuat dalam
buku Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 79.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 33
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

kebutuhan atau kepentingan individualnya. Ia harus mempertahankan


dirinya sendiri.
Apa yang dikemukakan di atas tidak lain merupakan percerminan
sifat manusia yang menginginkan kebutuhan dan kepentingannya
dipenuhi. Di dalam diri manusia terdapat tiga hasrat atau nafsu
(Zevenbergen, Nanninga, dan Komen), yaitu hasrat yang individualistis
(egoistis atau atomistis), hasrat yang kolektivistis (transpersonal atau
organis) dan hasrat yang bersifat mengatur atau menjaga
keseimbangan52.
Timbulnya hukum sekurang-kurangnya harus ada kontak antara
dua orang. Kontak ini dapat bersifat menyenangkan (misalnya kontak
antara dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya akan menimbulkan
hukum perkawinan) dan kontak yang bersifat tidak menyenangkan yaitu
yang bersifat sengketa atau perselisihan. Tetapi pada hekekatnya hukum
baru ada, baru dipersoalkan apabila terjadi konflik kepentingan. Konflik
kepentingan ini terjadi apabila dalam melaksanakan kepentingan atau
memenuhi kebutuhan manusia merugikan orang lain. Manusia pada
umumnya mencari benarnya sendiri. Kalau kepentingannya terganggu ia
cendrung menyalahkan manusia lain, ia akan mempertengkarkan siapa
yang salah, siapa yang melanggar, siapa yang berhak, apa hukumnya. Di
sinilah baru dipersoalkan hukum.
Hukum pada hakekatnya baru timbul (untuk dipermasalahkan)
atau terjadi pelanggaran kaedah hukum, konflik, kebatilan, atau tidak
hukum (unlaw, onrecht). Kalau segala sesuatu berlangsung dengan
tertib, lancar tanpa terjadinya konflik atau pelanggaran hukum, maka
tidak akan ada orang mempersoalkan hukum. Baru kalau terjadi
pelanggaran kaedah hukum, sengketa atau bentrokan, maka akan
dipertanyakan ada hukumnya, siapa yang berhak, siapa yang bersalah
dan sebagainya. Oleh karena itu, maka raison d’etrenya hukum adalah
konflik kepentingan manusia, conflict of human interest.
Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum
mempunyai tujuan, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan
52
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty,
Yogyakarta, hal. 27

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 34
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum


bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam
masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan
masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.
Dalam beberapa literatur dikenal beberapa teori tentang tujuan
hukum, yaitu teori Etis, teori utilities, dan teori campuran. Menurut teori
etis hukum semata-mata bertujuan untuk keadilan. Isi hukum
ditentukan oleh keyakinan manusia yang etis tentang yang adil dan yang
tidak. Dengan perkataan lain hukum menurut teori ini bertujuan
merealisir atau mewujudkan keadilan. Keadilan meliputi dua hal, yaitu
yang menyangkut hakekat keadilan dan yang menyangkut isi atau
norma untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.
Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau
tindakan dan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut
pandangan subyektif (subyektif untuk kepentingan kelompoknya,
golongannya, dan sebagainya). Melebihi norma-norma lain. Dalam hal ini
ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak
yang menerima perlakuan, seperti: orang tua dengan anaknya, majikan
dengan buruhnya, hakim dan yustisiabel, pemerintah dan warganya
serta kreditur dengan debitur.
Pada umumnya keadilan merupakan penilaian yang hanya dilihat
dari pihak yang menerima perlakuan saja, para yustisiabel (pada
umumnya pihak yang dikalahkan dalam perkara perdata) menilai
putusan hakim tidakadil. Jadi penilaian keadilan paha umunya hanya
ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan.
Apakah pihak yang melakukan tindakan atau kebijaksanaan tidak dapat
menuntut tindakan atau kebijaksanaan itu dinilai adil 53. Kalau
kebijaksanaan pemerintah telah dipertimbangkan masak-masak bahwa
hal tersebut untuk kepentingan umum, demi kepentingan orang banyak,
tetapi ada warega negara yang tidak sepenuhnya terpenuhi
kebutuhannya, apakah kebijaksanaan itu dapat dinilai tidak adil?.
Keadilan kiranya tidak harus hanya dilihat dari satu pihak saja, tetapi
harus dilihat dari dua pihak.
Tentang isi suatu keadilan sukar untuk memberi batasannya,
Aristoteles54 membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu Justitia
53
Mertokusumo, 1996, Op.Cit., hal. 65.
54
Ibid

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 35
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

distributive (distributive justice, verdelente atau begevende gerechtigheid)


dan justitia commulativa (remedial justice, vergelende atau
ruilgerechtigheid).
Justitia Distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa
menjadi hak atau jatahnya (suum cuique tribuere/to each his own). Jatah
ini tidak sama untuk seriap orang, tergantung pada kekayaan, kelahiran,
pendidikan, kemampuan dan sebagainya, sifatnya adalah proporsional.
Yang dinilai di sini ialah adalah apabila setiap orang mendapatkan hak
atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan,
kedudukan, kemampuan dan sebagainya. Justitia distributive
merupakan tugas pemerintah untuk warganya, menuntut apa yang
dapat dituntut oleh warga masyarakat.
Justitia commulativa memberi kepada setiap orang sama
banyaknya. Dalam pergaulan di dalam masyarakat justitia commulativa
merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamanya. Di sini yang
dituntut adalah kesamaan. Yang adil ialah apabila setiap orang
diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.
Kalau justitia distributive itu meruapakan urusan pembentuk
undang-undang, maka justitia distributive merupakan urusan hakim.
Hakim memperhatikan hubungan perorangan yang mempunyai
kedudukan proseuil yang sama tanpa membedakan orang (equality
before the law). Kalau justitia distributive itu sifatnya proporsional, maka
justitia commulativa karena memperhatikan kesamaan, maka sifatnya
mutlak.
Menurut teori Utilitis, hukum ingin menjamin kebahagiaan yang
terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the
greatest good of the greatest number). Pada hakekatnya menurut teori ini
tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau
kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang banyak.
Teori Campuran mendasarkan pendapat Mochtar
Kusumaatmadja55 yang mengatakan bahwa tujuan pokok dan utama
dari hukum ialah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini syarat
pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang
teratur. Di samping ketertriban, tujuan lain dari hukum adalah

55
Mochtar Kusumaatmadja, 1979, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 2.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 36
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut


masyarakat dan zamannya.
Menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto 56 tujuan hukum adalah
kedamaian hidup antar pribadi yang meliputiketertiban ekstern antar
pribadi dan ketenangan intern pribadi. Mirip dengan pendapat Van
Apeldoorn yang mengatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur
pergaulan hidup manusia secara damai.
Sedangkan Soebekti57 berpendapat bahwa hukum itu mengabdi
kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan para rakyatnya. Dalam mengabdi kepada tujuan negara itu
dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban.
Studi hukum dalam masyarakat kiranya akan berkepentingan
pula terhadap konsepsi mengenai fungsi hukum. Makna hukum dapat
didekati dari fungsi-fungsi dasar yang dikerjakan oleh hukum di dalam
masyarakat. Dapat ditunjukan bahwa hukum memperoleh fungsi yang
sesuai dalam pembagian tugas di dalam keseluruhan struktur sosial.
Berdasarkan aksioma dari fungsionalisme-struktural yang diajukan oleh
Thomas F. O’Dea58 bahwa segala yang tidak berfungsi akan lenyap
dengan sendirinya, dan karena hukum tetap ada, maka dengan
demikian hukum itu fungsional.
Melihat eksistensi dari hukum seperti yang telah penulis uraikan
di atas, tergambar bahwa hukum sangat diperlukan dalam mengatur
kehidupan masyarakat, terutama dalam rangka melaksanakan
pembangunan (ekonomi) agar berjalan dengan baik dan lancar.
Berkaitan dengan peranan hukum dalam pembangunan, penting artinya
melihat dan mengkaji secara mendalam mengenai pembangunan
tersebut, seperti mengenai pendekatan pembangunan dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan.
Berkaitan dengan pendekatan pembangunan, partisipasi
masyarakat sangat diperlukan, terutama pendekatan pembangunan
yang bertumpu pada komunitas (community development). United Nations
Centre for Regional Development (UNCRD) merumuskan pembangunan
masyarakat sebagai berikut:

56
Purnadi Purbacaraka dan Sorjono Soekanto, 1978, Perihal Kaidah Hukum, Alumni,
Bandung, hal. 67.
57
Mertokusumo, 1996, Op.Cit., hal. 68.
58
Soleman, B, Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993, hal. 36

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 37
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

a. Pembangunan masyarakat sebagai pengadaan


pelatihan masyarakat, yaitu identik dengan peningkatan pelayanan
sosial dan pemberian fasilitas sosial, seperti kesehatan, peningkatan
gizi, pendidikan yang secara keseluruhan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
b. Pembangunan masyarakat sebagai upaya
terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan
bervariasi, sebagai upaya mencapai tujuan sosial (social goals), seperti
keadilan, pemerataan peningkatan budaya, kedamaian fikiran dan
sebagainya.
c. Pembangunan masyarakat sebagai upaya
terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia paradigma
pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered
development), yaitu manusia sebagai subjek pembangunan yang
utama59.
Sebagai derivasi logis dari pembangunan yang berpusat pada
manusia, maka fokus utamanya haruslah menekankan pada
pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas (community based
resource management), dengan ciri-ciri sebagaimana dikemukakan
Kontens60 sebagai berikut :
a. Prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus pada masyarakat itu
sendiri.
b. Fokus utamanya adalah peningkatan kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat
pada komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka.
c. Pendekatan ini mentoleransi variasi lokal yang sifatnya fleksibel
dengan kondisi setempat.
d. Pendekatan ini menekankan pada proses belajar sosial (social
learning) yang mana terdapat interaksi antara birokrasi dan
masyarakat mulai dari perencanaan sampai kepada evaluasi proyek
dengan mendasarkan diri pada saling belajar.
e. Pembentukan jaringan kerja antara birokrat dengan LSM dan
satuan-satuan organisasi lokal setempat yang mandiri.

59
Mubyarto, 1993, Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi,
Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 21-22.
60
Mubyarto, 1993, Op.cit., hal. 27-28.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 38
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Sementara itu Bambang Ismawan61 membagi pendekatan


pembangunan menjadi 3 (tiga) pendekatan sebagai berikut:
1. Teori Menetes Kebawah (The Trickle Down Theory), yaitu pendekatan
pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi
yang hasilnya selain dinikmati juga diharapkan dapat dinikmati oleh
masyarakat luas.
2. Pendekatan Kebutuhan Dasar (Basic Needs Approach), yaitu
pendekatan pembangunan yang menekankan pada kebutuhan pokok
masyarakat seperti pemenuhan makanan, sandang, perumahan, gizi
keluarga, pendidikan kesehatan, dan sebagainya dengan jalan
menciptakan kesempatan kerja dan keluarga berencana. Pendekatan
ini dipelopori oleh Paul Streiten 62 dengan penekanan pada
kebijaksanaan pembangunan untuk menghapus kemiskinan absolut
dalam waktu singkat. Dalam beberapa hal pendekatan ini cukup
berhasil, misalnya dalam menurunkan angka kematian bayi dan
mengurangi angka kemiskinan absolut. Sementara itu Soejatmoko
memandang model kebutuhan dasar ini memerlukan kerangka
kebijaksanaan makro untuk pembangunan, antara lain penyediaan
lapangan pekerjaan dan pemerataan, bukan hanya mengejar
pertumbuhan ekonomi semata. Selain itu juga pembangunan harus
mempunyai komitmen dari atas ke bawah (top down), yaitu
melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pengambilan keputusan,
dan pelaksanaan pembangunan.
3. Pembangunan dari dalam (Development from Within), yaitu
pembangunan yang berusaha mengembangkan potensi, kepercayaan
dan kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisir diri
serta membangun sesuai dengan tujuan yang mereka kehendaki.
Ketiga pendekatan di atas dapat saja dipakai bersama-sama, akan
tetapi yang paling tepat untuk diterapkan di daerah adalah pendekatan
pembangunan yang ketiga, yaitu pembangunan dari dalam (development
from within) karena pendekatan ini bertumpu pada kepentingan
masyarakat secara langsung, di mana masyarakat ditempatkan bukan
hanya sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek dari pembangunan,
sedangkan pendekatan pembangunan pertama dan kedua cenderung
61
Ismawan, Bambang dan Kartjono, 1985, Kemandirian Kelompok Swadaya dan
Peranannya Dalam Penciptaan Peluang Kerja, dan Berusahaan di Pedesaan, Dalam Mubyarto,
Penyunting Peluang Kerja dan Berusaha di Pedasaan, VPFE-UGM, Yogyakarta, hal. 4-9.
62
Syahrir, 1994, Pikiran Politik Syahrir, LP3ES, Jakarta, hal 59.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 39
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

untuk mengabaikan inisiatif masyarakat, karena perencanaan dibuat


oleh pemerintah (dari atas) yang kadangkala bertentangan dengan
kebutuhan masyarakat di daerah.
Pembangunan daerah akan lebih partisipatif dengan memberikan
kelonggaran kepada masyarakat untuk mengembangkan otoaktivitas dan
kemandiriannya. Kemandirian masyarakat akan tumbuh dan meningkat
jika lingkungannya mendukung. Hal ini dapat terwujud bila tercipta
suatu kondisi kebijaksanaan atau perencanaan dari atas (top down)
serasi dengan perencanaan dari bawah (bottom up), sehingga akan dapat
membangkitkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah 63.
Hakekat dari pembangunan adalah mengangkat harkat dan
martabat manusia beserta masyarakatnya sehingga setiap karya dan
upaya pembangunan harus dilaksanakan secara manusiawi 64. Dengan
demikian pembangunan adalah perencanaan yang disusun dengan
sengaja yang terdapat di dalam masyarakat menuju ke arah
pertumbuhan serta perubahan65. Sedangkan Mely G. Tan66
mengungkapkan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu keadaan
dan proses yang didalamnya seluruh potensi manusia, fisik dan mental
mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara optimal, karena
subyek dan obyek pembangunan itu adalah manusia.
Lebih lanjut Katz67 mengemukakan bahwa pembangunan sebagai
proses perubahan berbagai aspek kehidupan manusia membutuhkan
suatu agen perubah (agent of change) yang benar–benar memiliki
kekuasaan dan sumber daya yang besar. Dari pengertian ini jelaslah
bahwa pemerintah lebih berpeluang dan berwenang dalam
melaksanakan program-program pembangunan.
Mochtar Mas’oed68 berpendapat bahwa berbagai pemikiran
mengenai pembangunan dapat diringkas ke dalam suatu tipologi, yaitu
dirumuskan berdasarkan beberapa kriteria issue, yaitu makna yang
diberikan pada pembangunan, siapa aktor utamanya, mekanisme apa
63
Sri Edi Swasono, 1988, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Universitas
Indonesia Press, Jakarta, hal. 87.
64
Wibisono dalam Pardoyo, 1993, Sekularisasi Dalam Polemik, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, hal. 236.
65
Hoogevelt, Ankie, M.M., 1985, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Penyunting
Alimantan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 235.
66
Pardoyo, 1993, Op.Cit., hal. 240.
67
Priyo Budi Santoso, 1993, Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan
Struktural, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 133.
68
Mochtar Mas’oed, 1994, Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 29-32.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 40
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

yang dipergunakan dan ideologi apa yang mendasarinya. Secara garis


besar dapat diidentifikasi 3 (tiga) pola pemikiran dalam praktek
pembangunan yang berkembang di Indonesia, dengan pendekatan yang
berbeda, yaitu politik sebagai panglima (PSP), ekonomi sebagai panglima
(ESP) dan moral sebagai panglima (MSP) yang dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Politik sebagai panglima (PSP)
Pendekatan ini memprioritaskan pertimbangan politik dalam proses
pembangunan dan menekankan peranan negara, yang diwakili para
birokratnya sebagai aktor utama pembangunan atau dengan kata lain
esensi dari proses pembangunan adalah pembinaan kekuatan negara.
b. Ekonomi sebagai panglima (ESP)
Pendekatan ini lebih mengutamakan peranan pengusaha dan
korporasi dalam proses pembangunan, melalui alokasi sumber daya
dan pembuatan keputusan ekonomi atas dasar pertimbangan pasar,
yaitu kekuatan permintaan masyarakat lebih suka bekerja tanpa
intervensi pemerintah (bebas).
c. Moral sebagai panglima (MSP)
Pendekatan ini masih menjadi perdebatan di kalangan cendikiawan
dan berasal bukan dari elit penguasa atau pemerintah. Cara paling
efektif untuk menangani persoalan kemiskinan adalah dengan
membantu masyarakat menemukan kekuatan mereka
sendiri/kemandirian. Pendekatan ini menganjurkan pengaktifan
kembali lembaga–lembaga komunitas lokal, yang menimbulkan
pengorganisasian politik berupa gerakan–gerakan sosial yang issue
oriented dan memiliki aspirasi global melebihi batas–batas negara.
Fungsi dari lembaga–lembaga tersebut adalah memobilisasi kekuatan
dari bawah dengan tujuan pengendalian kondisi–kondisi kehidupan
yang fundamental, seperti pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
dan hak asasinya. Lembaga Swadaya masyarakat merupakan contoh
konkrit dari gerakan masyarakat ini.
Pendekatan ESP dan PSP sebenarnya bertitik tolak pada teori yang
sama, yaitu teori modernisasi dan teori pertumbuhan ekonomi. Suatu
hal yang unik dari kedua pendekatan ini adalah popularitasnya di
kalangan pelaku pembangunan negara-negara dunia ketiga dan kuatnya

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 41
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

dukungan politik dari kalangan aktor ekonomi politik global 69. Teori
modernisasi meliputi pemikiran dalam pembangunan ekonomi dan
perubahan sosial, baik bersifat teoritis maupun empiris yang berorientasi
pada kebijaksanaan pembangunan dengan mengacu kepada dua hal
mendasar, yaitu: Pertama memandang masyarakat negara sedang
berkembang (NSB) sebagai suatu sistem sosial yang sedang mengalami
perubahan sosial sebagai akibat masuknya pengaruh atau tekanan dari
Dunia Barat, terutama melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua
adalah memandang perubahan (simbiosis mutualisme) antara komponen-
komponen struktural dalam masyarakat negara sedang berkembang
tersebut70.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi dewasa ini, teori modernisasi
yang dipraktekkan oleh NIM semata-mata ditujukan untuk kepentingan
ekonomi, politik, dan budaya yang notabene hanya menguntungkan
elite- elite politik dan penguasa dari kelompok etnik tertentu yang
dominan, sehingga dapat memperkuat statusquo mereka dengan
menggunakan arah dan model pembangunan yang dilegitimasi melalui
teori di atas71. Dengan alasan tersebut teori ini telah digunakan untuk
menutupi watak imperialisme Barat terhadap NSB, yaitu dengan jalan
menciptakan ketergantungan yang sebenarnya bertentangan dengan
prinsip modernisasi72.
Sisi lain kelemahan teori modernisasi adalah dapat menimbulkan
disintegrasi sosial tradisional dn memudarnya nilai-nilai kesukuan 73.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila Alqadrie 74 menyatakan bahwa
teori modernisasi adalah model pembangunan yang hanya menekankan
pada pendekatan satu dimensi (uni dimensional approach) dengan
menekankan pada perlunya menghilangkan kondisi “tradisional” menuju
masyarakat “modern”, sehingga model pembangunan ini cenderung
membuat NSB terlepas dan menjadi asing dari akar budaya serta tradisi
mereka sendiri. Keberhasilan pembangunan bukan saja mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GNP) yang berjalan dengan cukup

69
Mas’oed, 1994, Op.Cit., hal. 41.
70
Hoogvelt, 1985, Op.Cit., hal. 85.
71
Alqadrie, Syarif Ibrahim, 1993, Kemiskinan dan Paradigma Ilmu Sosial: Reorientasi
Kebijaksanaan Pembangunan Dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Fisip Untan, Tanggal 18 September 1993, Pontianak, hal. 51.
72
Hoogvelt, 1985, Op.Cit., hal. 100.
73
Redfield dalam Hoogvelt, 1985, Ibid, hal. 87.
74
Alqadrie, 1993, Op.Cit., hal. 21.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 42
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

tinggi, tetapi juga meningkatnya kemiskinan relatif, kesenjangan sosial


yang semakin melebar, serta ketergantungan NSB kepada NIM, lebih
lanjut Stephen K. Sanderson 75 mengasumsikan teori modernisasi sebagai
suatu jalan untuk mengatasi keterbelakangan NSB dan dengan demikian
keterbelakangan yang terjadi selama ini adalah sebagai akibat
banyaknya kekurangan dan kelemahan yang ada dalam diri mereka
sendiri.
Mas’oed76 mengemukakan masa depan pendekatan MSP akan
sangat dipengaruhi oleh konteks kebijakan pemerintah yang mentolerir
pendekatan MSP, dan munculnya kebijakan tersebut akan ditentukan
pula oleh pendukung strategi pendekatan MSP untuk :
a. Membentuk kelompok aliansi yang cukup besar untuk memenangkan
pertarungan dalam arena politik nasional demi pendekatan MSP (teori
kelompok kepentingan).
b. Kampanye dikalangan negara–negara dan badan–badan internasional
pemberi bantuan asing agar mereka mengutamakan pendekatan MSP
(Theori Discourse and power).
c. Menunjukkan kepada elit penguasa bahwa kepentingan individual
mereka untuk berkuasa sangat terkait dengan memperhatikan
kepentingan rakyat dilapisan bawah, yaitu kelompok masyarakat
yang juga diperjuangkan oleh pendukung pendekatan MSP (Theori
rational choice).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diungkapkan bahwa
pendekatan yang sangat tepat dengan pembangunan masyarakat dalah
pendekatan pembangunan yang menekankan pada aspirasi masyarakat
(bottom up), yaitu pembangunan pada aspirasi masyarakat (bottom up),
yaitu pembangunan dari dalam (development from within)77, dan
pendekatan pembangunan yang menekankan pada moral sebagai
panglima78, karena keduanya menekankan pada basis pembangunan
pada manusia atau komunitas sebagai subyek sekaligus obyek
pembangunan.
Pendekatan pembangunan yang menekankan pada manusia
dengan sendirinya juga harus ditunjang oleh partisipasi masyarakat

75
Sanderson, Stephen, K., 1993, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial, Edisi II, Terjemahan Farid Wajidi dan S. Meno, Rajawali, Jakarta, hal. 234.
76
Mas’oed, 1994, Op.Cit., hal. 47-48.
77
Ismawan, 1992, Op. Cit., hal. 4-9.
78
Mas’oed, 1994, Op.Cit., hal. 29–32.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 43
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

sebagai faktor utama keberhasilannya. Melibatkan masyarakat secara


aktif berarti memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada
masyarakat untuk merumuskan masalah-masalah mereka, memobilisir
sumber–sumber setempat dan mengembangkan kelompok atau
organisasi lokal. Kushodiwijaya79 menyatakan bahwa untuk
melaksanakan pembangunan daerah diperlukan peningkatan prakarsa
dan partisipasi rakyat di daerah.
Apabila masalah-masalah pokok yang bertalian dengan
pelaksanaan konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan, maka
harus jelas persoalan dan cara mengatasinya, yang harus dilakukan
adalah menemukan.menentukan mekanisme yang hendak digunakan
untuk melaksanakan beberapa ketentuan yang diatur oleh hukum.
Mekanisme ini harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
mengenai perundang-undangan, dalam hal ini terutama ketentuan
dalam UUD 1945 yang menetapkan bahwa undang-undang dibuat oleh
Presiden bersama-sama dengan dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam tahap pertama pembangunan nasional, kegiatan ekonomi
terpusat pada usaha meningkatkan pertanian, menarik modal asing
untuk mengelola kekayaan tambang, minyak dan gas bumi dan
pemulihan infrastruktur yang terbengkalai selama kurang lebih tiga
puluh tahun. Perdagangan internasional dalam periode ini terbatas pada
perdagangan komoditi tradisional Indonesia, seperti: karet, timah, the
dan kopi serta barang-barang lainnya. Perdagangan barang infrastruktur
dan pasar jasa tidak berkembang hingga pertengahan tahun delapan
puluhan, didorong oleh jatuhnya harga-harga komoditi di permulaan
tahun delapan puluhan.
Pembentukan hukum dan perancangan undang-undang di
Indonesia di dalam suasana pembangunan seperti sekarang ini tidak lagi
terbatas pada meningkatkan status kebiasaan yang sudah berlaku di
dalam masyarakat menjadi undang-undang atau hukum, akan tetapi
lebih dari itu bahwa pembentukan hukum dan perancangan undang-
undang harus mampu menemukan kaidah-kaidah hukum bagi
hubungan-hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat.
Di dalam msyarakat yang tidak membangun secara berencana,
kebiasaan yang membentuk hukum, sebaliknya dalam masyarakat
79
Hagul, Feter, (Editor), 1992, Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat,
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 120.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 44
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Indonesia yang membangun secara berencana, maka hukumlah yang


harus membentuk kebiasaan. Dalam kaitannya dengan pembentukan
hukum untuk melaksanakan pembangunan, ada perbedaan hakiki
antara cara pembentukan hukum dalam hukum adapt, dan cara
pembentukan hukum dalam masyarakat Indonesia yang modern. Dalam
hubungannya hukum dengan pembangunan, maka terdapat empat
fungsi hukum80, yaitu:
1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan,
2. Hukum sebagai sarana pembangunan,
3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan,
4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Hubungan antara hukum dan pembangunan ekonomi sangat erat
sekali dan terdapat pengaruh timbal balik. Pembaharuan dasar-dasar
pemikiran di bidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-
dasar sistem hukum yang bersangkutan, maka penegakan asas-asas
hukum yang sesuai juga akan memperlancar terbentuknya struktur
ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya penegakan asas-asas
hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur
ekonomi yang dicita-citakan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut di atas, maka dalam rangka
usaha menuju ke struktur ekonomi Pancasila, kaidah-kaidah hukum
yang melandasinya juga harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh Pancasila. Dengan perkataan lain, bahwa
sistem hukum nasional Indonesia benar-benar harus menjadi suatu
sistem hukum Pancasila dan hukum ekonomi nasional Indonesia
merupakan bagian hukum Pancasila tersebut.
Weber81 mengatakan bahwa kepentingan-kepentingan kelas yang
ada di masyarakat semakin beragam dan mempunyai perbedaan yang
tajam dari masa sebelumnya. Laju komunikasi bisnis modern yang
makin cepat membutuhkan sistem hukum yang berfungsi secara tepat
dan dapat diramalkan, seperti sistem hukum yang dijamin dengan
kekuatan paksaan yang terkuat. Pada akhirnya kehidupan ekonomi
modern tersebut dengan karakter dasar yang dimilikinya telah
menyingkirkan kelompok-kelompok kepentingan lainnya yang

80
Hartono, Sunaryati, 1988, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta,
Bandung, hal. 10.
81
Hary C. Hand, 1994, Op.Cit., hal. 177.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 45
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

sebelumnya mengemban dan mendapat jaminan hukum.


Dukungan kepada kepentingan ekonomi melalui penerapan
aturan-aturan hukum dapat dilakukan melalui pemaksaan pemenuhan
syarat-syarat tertentu yang dikehendaki kalangan yang mendukung
kepentingan ekonomi. Pentingnya hukum dalam menjamin jalannya
perekonomian dapat dilihat dalam perencanaan pembangunan ekonomi.
Suatu perencanaan ekonomi misalnya, membutuhkan kepastian
mengenai kekuatan pemilikan atas tanah, gedung dan kekayaan lainnya,
agar kesemuanya dapat diperhitungkan secara tepat dan akurat
khususnya berkaitan dengan cost. Tanpa bantuan hukum semua itu
sulit diperhitungkan karena akan tergantung pada pihak-pihak (tidak
ada kepastian). Jaminan kepastian hukum diperlukan pada setiap unsur
kegiatan perencanaan ekonomi seperti kontrak, pajak, dan sebagainya.
Jaminan perlindungan dan kepastian hukum tidak hanya
diperlukan pada peraturan yang mengatur masalah-masalah yang
terkait langsung dengan bidang perekonomian atau investasi saja, tetapi
lebih dari itu berbagai peraturan perundangan yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi keberadaan atau keberlangsungan
penyelenggaraan perekonomian juga dituntut berpihak pada kepentingan
ekonomi secara makro.
Konsep pendekatan ekonomi terhadap hukum, yang disebut juga
sebagai the economic approach to law dikemukakan oleh Richard A.
Posner, yang kemudian sebagai penghargaan atas ide-idenya maka ia
mendapatkan sebutan sebagai the father of economic approach to law.
Buku yang mengupas topik ini berjudul Economic Analysis fo Law.
Beberapa sarjana yang sealiran dengan Posner antara lain adalah
Ackerman Burrows, Veljanovski, Coase, Murphy, Colemen dan Polinsky.
Mereka ini telah memberikan kontribusi serta pengayaan dengan
tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan pendekatan ekonomi terhadap
hukum82.
Hubungan antara ekonomi dan hukum termasuk dalam salah satu
ikatan yang klasik antara hukum dengan kehidupan ssosial di luar
hukum. Ditinjau dari sudut ekonomi, maka kepentingan untuk
memahami hukum sebagai salah satu lembaga di masyarakat adalah
perlu oleh karena peranannya yang sangat menentukan kebijakan

82
Nurul Fajri C, 2003, Op.Cit., hal. 80.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 46
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

perekonomian yang akan diambil.


Penerapan ilmu ekonomi terhadap hukum sebenarnya merupakan
hal yang baru. Sebelumnya istilah hukum dan ekonomi diartikan sebagai
penerapan ekonomi dalam bidang hukum yang melindungi kegiatan
ekonomi terhadap persaingan curang dan monopoli di Amerika Serikat.
Istilah ini kadang-kadang juga diterapkan dalam bidang hukum pajak,
hukum perusahaan, aturan-aturan kepentingan umum, dan
sebagainya83.
Memberikan kepastian di masa yang akan datang merupakan
salah satu peran hukum. Hukum beserta lembaga-lembaganya, seperti
lembaga legislatif dan yudikatif memberi jaminan kepada setiap orang
bahwa segala hubungan-hubungan hukum di dalam masyarakat dapat
diatur dan ditetapkan dengan pasti.
Peningkatan efisiensi secara terus menerus merupakan salah satu
perhatian sistem ekonomi. Oleh karena itu sistem ekonomi harus
senantiasa diusahakan agar dapat menampung ide-ide baru dan
disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang berubah agar tercapai tingkat
efisiensi yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat
perombakan atau penggantian lembaga-lembaga yang lama dengan yang
baru atau merevisi peraturan yang ada. Dengan demikian peranan
hukum adalah memberi penormaan-penormaan tentang tindakan-
tindakan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh serta apa
yang seharusnya dilakukan.
Namun demikian hal ini akan menimbulkan permasalahan lain.
Perubahan ini akan berpengaruh terhadap tatanan atau nilai-nilai sosial
budaya yang ada dalam masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan
ekonomi tidak selalu selaras dengan pikiran-pikiran serta sikap-sikap
budaya masyarakat, bahakan mungkin bertentangan. Efisiensi,
rasionalisasi, mekanisasi, dan sebagainya merupakan istilah-istilah
ekonomi yang sering dipergunakan berkaitan dengan proses
perkembangan ekonomi, mungkin dapat menimbulkan benturan-
benturan dengan tata nilai yang ada. Peran hukum dalam hal ini
dituntut untuk menyerasikan berbagai perbedaan tersebut.
Uraian di atas menunjukkan bahwa antara sistem hukum dan

83
Ratih Lestarini, 1988, Ilmu Ekonomi dan Hukum dalam buku Disiplin hukum dan
Disiplin Sosial, Penyunting Soerjono Soekanto dan Otje Salman, Rajawali Press, Jakarta, hal.
139.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 47
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

sistem ekonomi terdapat hubungan yang sangat erat dan saling


mempengaruhi (pengaruh timbal balik). Kalau pada satu pihak
pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi ikut mengubah
dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang bersangkutan, maka
penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar
terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Tetapi sebaliknya
penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat
terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan84.
Sesungguhnya pembangunan yang dicita-citakan oleh UUD 1945
adalah pembangunan ekonomi dan pembangunan hukum yang
mencakup juga pembangunan politik dan budaya. Hakekat dari kata
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah wujud
dari keadilan dari berbagai segi. Pasal-pasal yang terdapat dalam UUD
1945 justru tidak semata-mata terbatas pada pemenuhan kebutuhan
pokok tetapi juga mengandung makna perlunya pembangunan politik,
perlunya negara terlibat dalam pengelolaan kekayaan negara untuk
dipergunakan bagi kemakmuran rakyat banyak.
Namun demikian juga tidak dapat dipungkiri tentang adanya skala
prioritas pembangunan. Sektor ekonomi ternyata mendapat prioritas
utama, hal ini dapat dmaklumi karena Indonesia berada dalam daerah
pengaruh welfare state ideology. Ide negara kesejahteraan terlihat dari
adanya ketentuan pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan
pembangunan itu harus mempunyai perasaan keadilan. Hukum tidak
lagi terbatas pada memperkuat sistem tetapi justru mempercepat
berubahnya sistem. Dua hal yang kelihatannya menonjol dalam hal ini,
yaitu pembangunan dan pemerataan. Dua sisi ini merupakan outcame
yang wajar dan inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum
ekonomi.
Indonesia sebagai negara berkembang pada dekade terakhir ini
mengalami kemajuan yang cukup pesat, walaupun kemajuan tersebut
ditandai masa-masa cukup sulit karena baru saja bangkit dari krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Secara umum kemajuan yang dicapai
bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan tidak diraih begitu
saja akan tetapi memerlukan kerja keras serta kerjasama segenap
lapisan masyarakat secara terus menerus serta berkesinambungan.

84
Sunaryati Hartono, 1988, Op.Cit., hal. 6.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 48
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Pembangunan yang dilakukan demi kemajuan negara Indonesia


merupakan pembangunan yang dilakukan secara menyeluruh serta
menyentuh segenap aspek kehidupan masyarakat dalam arti tidak
hanya menitikberatkan pada satu bidang tertentusaja. Pembangunan
pada bidang ekonomi merupakan pengerak utama pembangunan,
namun pembangunan ekonomi ini harus disertai upaya saling
memperkuat, terkait, serta terpadu dengan pembangunan bidang
lainnya.
Hukum merupakan salah satu bidang yang harus dibangun untuk
memperkokoh bangsa Indonesia di dalam menghadapi kemajuan serta
perkembangan ilmu, teknologi, dan seni yang sangat pesat. Masalah
hukum bukanlah masalah yang berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan
erat dengan masalah-masalah kemasyarakatan lainnya. Ismail Saleh 85
menyatakan: Memang benar ekonomi merupakan tulang punggung
kesejahteraan masyarakat, dan memang benar bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi adalah tiang-tiang penopang kemajuan suatu bangsa,
namun tidak dapat disangkal bahwa hukum merupakan pranata yang
pada akhirnya menentukan bagaimana kesejahteraan yang dicapai
tersebut dapat dinikmati secara merata, bagaimana keadilan sosial dapat
diwujudkan dalam kehidupan masyarakat, dan bagaimana kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa kebahagiaan bagi
rakyat banyak.
Pembangunan perekonomian yang dibina serta dikembangkan
tanpa memperhatikan keseimbangan serta ketertiban akan menciptakan
ketidakseimbangan. Oleh karena itu sangat perlu dibangun serta dibina
dengan baik sehingga dapat memberikan sumbangan positif bagi
kemajuan bangsa Indonesia.

2.2. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan


Norma
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan terletak pada
hierarkinya. Hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan pada asas: peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan

85
Johannes Ibrahim dan Lindawaty, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Refika Aditama, Bandung, hal. 24.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 49
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Perundang-undangan yang lebih tinggi.86 Selain asas tersebut, dalam


doktrin ilmu hukum masih terdapat beberapa asas yang berkenaan
dengan kepastian peraturan perundang-undangan, yaitu:87
a. Lex posterior derogat legi priori : Hukum yang berlaku kemudian
membatalkan hukum yang terdahulu.
b. Lex specialis derogat legi generali : Hukum khusus membatalkan
hukum umum.
c. Lex superior derogat legi inferiori : Hukum yang derajatnya lebih tinggi
membatalkan hukum derajatnya lebih rendah.
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi: 88
a. Kejelasan tujuan: bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas apa yang hendak
dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat: dibuat oleh
lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Jika tidak, dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan: benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan
Perundang-undangannya.
d. Dapat dilaksanakan: memperhitungkan efektifitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan: benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan: memenuhi persyaratan teknis penyusunan,
sistematika, pilihan kata atau terminologi, bahasa hukumnya jelas,
dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan: transparan atau terbuka bagi masyarakat luas mulai dari
proses perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan, agar

86
Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
87
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, halaman.385-
386.
88
Pasal 5 beserta penjelasannya

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 50
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-


luasnya untuk memberikan masukan yang diperlukan.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
asas89:
a. Asas pengayoman: setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan: mencerminkan perlindungan dan penghormatan
hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan: mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan: mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan: senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila.
f. Asas bhinneka tunggal ika: memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan. bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Asas keadilan: harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi
setiap warga negara tanpa kecuali.
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan: tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum: dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan: mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa, dan negara.
Dalam penyusunan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan

89
Pasal 6 beserta penjelasannya

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 51
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Retribus Daerah menggunakan asas sebagai berikut:


a. Universalitas
Asas ini menghendaki agar setiap penerimaan daerah melalui perpajakan
dan retribusi daerah, baik itu kebijakannya maupun alokasinya
dituangkan ke dalam peraturan daerah terkait Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
b. Equality
Asas ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak daerah yang dilakukan
oleh pemerintah daerah harus sesuai dengan kemampuan dan
penghasilan wajib pajak. Pemerintah Daerah tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak. Oleh karena itu, dalam menentukan
tarif pajak daerah menerapkan prinsip progresif di mana kepemilikan
kendaraan ke dua dan berikutnya akan dikenakan tarif lebih tinggi.
c. Certainty
Asas ini mensyaratkan bahwa semua pungutan pajak harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan, sehingga bagi yang melanggar akan
dapat dikenai sanksi hukum. Berdasarkan asas ini, maka di dalam
pengaturan ini diatur bahwa jenis, objek, wajib pajak dan retribusi
daerah beserta tarifnya harus diatur dalam peraturan daerah.
d. Efficiency
Asas ini mengharuskan bahwa biaya pemungutan pajak diusahakan
sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih
besar dari hasil pemungutan pajak. Dengan demikian, beberapa
simplifikasi dilakukan terhadap pajak dan retribusi daerah. Beberapa
jenis retribusi yang tidak memberikan hasil besar namun berpotensi
menghambat pelayanan publik dihapuskan.

2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, Serta


Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD) telah menetapkan 16 jenis pajak daerah, yang
terdiri dari 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota.
Adapun 5 jenis pajak provinsi tersebut terdiri dari: Pajak Kendaraan
Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan
11 jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari: Pajak Hotel, Pajak Restoran,

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 52
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan,
Pajak Parkir, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Air Tanah, PBB-P2, BPHTB,
dan Pajak Sarang Burung Walet. Dari 11 jenis pajak tersebut, PBB-P2 dan
BPHTB merupakan jenis pajak baru yang dialihkan kewenangan
pemungutannya dari Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah dalam
UU PDRD. Selain itu, terdapat beberapa objek pajak yang diperluas yaitu
objek pajak hotel dan restoran. Selain perluasan objek pajak, kepada
pemerintah Daerah juga diberikan diskresi penetapan tarif sesuai dengan
batasan tarif yang ditetapkan dalam undang-undang.
Terkait dengan pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah di Kota
Singkawang telah ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010
tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Daerah
Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan.
. Dalam Peraturan Daerah ini terdapat 11 (sebelas) jenis pajak, yaitu
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir,
Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), dan Bea Perolehan Ha katas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD,
terdapat sekitar 30 jenis retribusi dengan kewenangan penetapan tarif
sepenuhnya diserahkan kepada daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip
yang diatur dalam undang-undang. Dalam perjalanannya jumlah retribusi
dalam UU PDRD tersebut ditambahkan dengan 2 retribusi baru yang
ditetapkan dalam PP Nomor 97 Tahun 2012 yaitu Retribusi Pengendalian
Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Asing (IMTA), sehingga jumlah retribusi daerah menjadi 32 jenis.
Terkait dengan pelaksanaan pemungutan Retribusi Daerah di Kota
Singkawang telah ditetapkan:
a. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum
(Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 27);
b. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Retribusi Jasa Usaha

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 53
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

(Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan


Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 33);
c. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Perizinan
Tertentu (Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 2013 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 34);
d. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum
(Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 2020 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 72);
e. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Retribusi Jasa Usaha
(Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 2020 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 73);
f. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Perizinan
Tertentu (Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 2020 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 74); dan
g. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan
Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Singkawang Tahun 20202
Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Singkawang Nomor 81).
Melalui bauran kebijakan berupa pembatasan jenis pajak daerah
dan retribusi daerah yang diikuti dengan adanya perluasan basis pajak
daerah dan pemberian kewenangan penetapan tarif, pelaksanaan UU
Nomor 28 Tahun 2009 telah mampu meningkatkan penerimaan PDRD
dan kemandirian fiskal daerah tanpa menimbulkan dampak negatif
berlebih terhadap perekonomian daerah.
Dengan jenis pajak dan retribusi tersebut, selama 12 tahun terakhir
pendapatan APBD Kabupaten/Kota termasuk Kota Singkawang masih
bertumpu pada Dana Perimbangan. Meskipun secara nominal PDRD
mengalami peningkatan sejak ditetapkannya Undang-Undang PDRD,
namun secara proporsi masih belum memperlihatkan perkembangan yang
signifikan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun dalam Undang-Undang
PDRD telah terdapat penambahan 2 jenis pajak baru yaitu PBB-P2 dan
BPHTB yang berdampak pada kenaikan penerimaan pajak, namun
kenaikan penerimaan pajak tersebut belum mampu mengikuti kenaikan

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 54
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

kebutuhan belanja APBD yang jauh lebih besar sehingga masih


mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat untuk menutup
selisihnya.
Berdasarkan data dan berbagai analisis, terlihat bahwa keleluasaan
pemerintah provinsi dalam menyesuaikan PAD-nya untuk menutup setiap
tambahan kenaikan belanja jauh lebih tinggi daripada keleluasaan
pemerintah kabupaten/kota dalam menutup setiap tambahan kenaikan
belanja. Hal ini juga mengindikasikan bahwa melalui perubahan
kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang dilakukan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, Pemerintah lebih fokus pada
penguatan diskresi dan kewenangan perpajakan (local taxing power)
khususnya bagi pemerintah kabupaten/kota. Dengan adanya penguatan
local taxing power diharapkan kontribusi PDRD terhadap PAD akan
semakin meningkat utamanya bagi Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk
Kota Singkawang.
Selain permasalahan basis pajak (dasar dikenakannya pajak, baik
berupa kebendaan maupun aktivitas, seperti properti, konsumsi,
penghasilan, sumber daya alam) yang masih relatif rendah, administrasi
pemungutan pajak juga belum optimal. Dari berbagai informasi diketahui
bahwa terjadi peningkatan tax ratio untuk tiap wilayah per tahunnya
meskipun tidak terlalu signifikan. Namun demikian, tax elasticity yang
mengukur dampak perubahan penerimaan PDRD terhadap perubahan
kondisi ekonomi yang dilihat dari naik turunnya PDRB masih bersifat
elastis. PDRB merupakan jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam
jangka waktu tertentu, sehingga sering digunakan dalam melihat kinerja
perekonomian daerah. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan PDRB
diikuti pula dengan kenaikan penerimaan PDRD.
Walaupun ratio elastisitasnya mengalami tren yang menurun
dengan kemungkinan disebabkan kinerja perekonomian yang menurun.
Perubahan kebijakan atas PDRD terkait dengan penambahan jenis pajak,
perluasan basis pajak, dan pemberian diskresi penetapan tarif pajak di
satu sisi memberi dampak kepada peningkatan penerimaan pajak daerah.
Namun di sisi lain, dengan melihat potensi sebenarnya yang dimiliki oleh
daerah, masih jauh dari harapan dan diperlukan upaya lagi untuk lebih
meningkatkan kapasitas keuangan daerah.

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 55
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Dalam prakteknya selama ini terdapat beberapa jenis pajak daerah


yang memiliki karakteristik serupa dan memiliki basis pajak yang sama
(basis konsumsi), yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Penerangan Jalan, dan Pajak Parkir. Pembedaan 5 jenis pajak yang
memiliki karakteristik sama dimaksud selama ini menimbulkan
administrasi yang tidak sederhana bagi Wajib Pajak yang memiliki usaha
hotel, restoran, hiburan, parkir, serta menggunakan tenaga listrik
sekaligus.
Dalam implementasi UU Nomor 28 Tahun 2009 selama ini, apabila
terdapat satu wajib pajak yang menyelenggarakan kelima aktivitas
tersebut, wajib membayar 5 jenis pajak daerah dan melaporkan 5 jenis
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Dalam rangka
menyederhanakan administrasi wajib pajak serta memudahkan
pemantauan pemungutan pajak terintegrasi oleh Pemda, kelima jenis
pajak yang berkarakteristik sama dimaksud diintegrasikan menjadi satu
jenis pajak dalam U ndang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yaitu Pajak atas
Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Terkait dengan jenis-jenis pajak daerah berbasis konsumsi yang
diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Hiburan dan Pajak Parkir
mengatur tarif maksimum yang relatif lebih tinggi dari jenis pajak
konsumsi lainnya. Pajak daerah berbasis konsumsi pada umumnya
dikenakan pada tarif maksimum 10%, begitu juga pajak pusat berbasis
konsumsi (PPN). Namun Pajak Hiburan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
dikenakan dengan lapisan tarif 10% s.d. 75% tergantung pada jenis
hiburannya, sehingga belum sepenuhnya mendukung kemudahan
berusaha. Sebagai contoh hiburan permainan ketangkasan (misalnya
timezone, funworld, dsb) yang merupakan hiburan anak dan keluarga
dikenakan tarif maksimum 75%, sehingga kurang sesuai dengan sifat
hiburan ketangkasan yang pada dasarnya merupakan hiburan
masyarakat umum, bukan hiburan yang bersifat mewah (luxury) atau
hiburan yang perlu dikendalikan.
Begitu juga dengan jasa parkir yang dikenakan Pajak Parkir dengan
tarif maksimum 30%, berbeda dengan tarif pajak pusat dan pajak daerah
atas penyerahan jasa sebesar 10%, sehingga belum sepenuhnya
mendukung kemudahan berusaha bagi industri dan aktivitas
perkantoran. Lebih lanjut, mekanisme Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 56
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

kabupaten/kota selama ini menimbulkan permasalahan keterlambatan


diterimanya Pajak provinsi bagian kabupaten/kota, mengingat Pemda
provinsi pada umumnya menyalurkan bagi hasil Pajak Provinsi secara
periodik dan bergantung pada kebijakan daerah masing-masing. Oleh
karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 diperkenalkan
opsen Pajak Provinsi untuk kabupaten/kota dengan tujuan agar ketika
Wajib Pajak melakukan pembayaran pajak provinsi kepada Pemda
provinsi, seketika bagian kabupaten/kota atas pajak provinsi tersebut
dapat diterima secara paralel oleh Pemda kabupaten/kota, begitu juga
sebaliknya opsen pajak kabupaten/kota kepada provinsi.
Adapun 3 jenis pajak daerah yang memperkenalkan opsen pajak
antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota adalah PKB,
BBNKB, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan. Untuk dapat
mengakomodir opsen tersebut, agar beban Wajib Pajak tidak bertambah
signifikan (relatif tetap) tarif PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 diturunkan.
Dari sisi administrasi perpajakan daerah, kendala yang dihadapi
saat ini adalah adanya keterbatasan sumber daya manusia, manajemen
database dan teknologi informasi dalam rangka mendukung kinerja
pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah.

2.2. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur
Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Negara/Daerah
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2022, bahwa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan fungsinya
menarik pajak daerah dan retribusi daerah. Pengelolaan pajak baik pajak
pusat maupun daerah didasarkan pada Undang-Undang. Filosofis ini
tercermin pada Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 bahwa pengelolaan pajak
telah mengikutsertakan rakyat melalui wakil-wakilnya di legislatif. 90 Tanpa
persetujuan dari rakyat melalui DPR/DPRD maka pemungutan dan
pengalokasian pajak menjadi tidak sah.91
90
Dahliana Hasan, (Dosen FH UGM) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 12 Februari 2020
91
ibid

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 57
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Pengelolaan pajak dibedakan menjadi dua, yaitu pengelolaan pajak


oleh pemerintah pusat yang disebut sebagai pajak pusat dan pengelolaan
pajak yang dikelola pemerintah daerah yang disebut sebagai pajak
daerah.92 Kegiatan pengelolaan pajak meliputi kegiatan
pengadministrasian pajak dan pendistribusian hasil pajak untuk
kepentingan umum.93 Pembedaan pengelolaan pajak ini didasarkan pada
asas desentralisasi di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan sebagian kekuasaan penyelenggaraan negara
yang diserahkan oleh pemerintah pusat.94
Secara teori dengan dilaksanakannya asas desentralisasi
pemerintahan, memberikan konsekuensi melahirkan otonomi daerah
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan
yang menjadi urusan pada setiap pemerintah daerah (local governement)
yang menjalankannya, adalah menimbulkan pembagian kewenangan pada
sektor keuangan untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah
tangga (otonomi) pada pemerintahan daerah tersebut. Pada prinsipnya
setiap daerah otonom harus dapat membiayai sendiri semua
kebutuhannya terutama yang yang bersifat anggaran rutin
penyelenggaraan pemerintahannya.
Jika untuk menutupi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang bersifat rutin ini, daerah masih mengandalkan bantuan
keuangan dari pusat maka sesungguhnya daerah itu tidaklah otonom lagi.
Jika diartikan bahwa otonomi itu dipandang sebagai hak, wewenang bagi
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga
daerah sendiri, maka pada gilirannya akan menimbulkan kewajiban bagi
segenap aparatur pemerintah daerah untuk mensejahterakan
masyarakatnya dan sekalius juga meningkatkan laju pertumbuhan
perekonomian daerahnya. Oleh sebab itu, adanya sejumlah dana
(anggaran) yang relatif memadai dan mencukupi merupakan prasyarat
penting bagi pencapaian hasil maksimal di dalam mengembangkan
otonomi yang dimilikinya. Dengan kata lain, bahwa untuk memungkinkan
daerah dapat menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri
dengan baik dibutuhkan sumber-sumber pembiayaan yang cukup besar
pula.

92
ibid
93
ibid
94
ibid

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 58
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat dimengerti jika


kondisi keuangan daerah dapat disebutkan sebagai salah satu indikator
tingkat kualitas kemampuan daerah dalam menyelenggarakan mekanisme
pemerintahan di tingkat daerah, terutama dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Prasyarat menentukan kualitas kemampuan
daerah ini salah satunya tercermin dari keadaan alokasi tanggungjawab
daerah memanfaatkandan menggali sumber-sumber pendapatan yang
tersedia, meskipun hal tersebut tidak terlepas dari kehendak politik
(political will) serta kemampuan keuangan pemerintah pusat. Idealnya
dalam hal pembiayaan atas pelaksanaan asas desentralisasi (otonomi),
setiap daerah seharusnya mempunyai kesanggupan untuk membiayai
dirinya sendiri dari sumber-sumber pendapatan daerah (khususnya PAD)
yang dimilikinya.95
Undang-Undang pemerintahan daerah Nomor 23 Tahuun 2014 yang
juga mengatur tentang sumber-sumber pendapatan daerah, pada
ketentuan Pasal 285 ayat (1) disebutkan bahwa PAD diantaranya adalah
PDRD, yang selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 286 ayat (1) UU
tentang Pemerintahan Daerah akan diatur lebih lanjut dengan undang-
undang dan peraturan daerah.96
Secara atribusi berdasarkan ketentuan 286 ayat (1) UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemungutan PDRD
yang masing-masing telah menjadi kewenangan pemerintahan daerah
sesuai dengan tingkatannya yakni Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten dan Pemerintah Kota selama ini telah melahirkan berbagai
peraturan daerah untuk memungut PDRD sesuai dengan kewenangannya
masing-masing.97 Untuk pengelolaan pajak daerah dilaksanakan oleh
Gubernur atau Bupati c.q. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan
Aset Daerah (DPPKAD) atau nama lain yang memiliki fungsi
sejenis.98Pengadministrasian pajak daerah berhubungan dengan
pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah daerah
baik provinsi maupun kota.99 Kewenangan ini didasarkan pada UU

95
Faisal Akbar Nasution, (Dosen FH USU) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 18 Februari 2020
96
ibid
97
ibid
98
Dahliana, Loc.Cit
99
ibid

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 59
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

tentang PDRD dan peraturan daerah sebagai peraturan


pelaksanaannya.100
Dalam rangka penguatan kewenangan pemungutan pajak oleh
daerah (local taxing power), rancangan kebijakan yang disusun oleh
pemerintah diantaranya, berupa penerapan pajak daerah baru dengan
memperhatikan kondisi perekonomian, penerapan opsen PKB dan BBNKB
dari Provinsi ke Kabupaten/Kota, penerapan opsen Pajak MBLB dari
Kabupaten/Kota ke Provinsi, penyesuaian kebijakan eksisting dengan
melakukan restrukturisasi jenis pajak daerah (dari 16 menjadi 14 jenis
pajak termasuk memperkenalkan Pajak Barang dan Jasa Tertentu),
rasionalisasi retribusi daerah (dari 32 menjadi 18 jenis pelayanan), dan
melakukan penyesuaian tarif pajak dan retribusi.
Pengaturan pajak daerah baru selain untuk meningkatkan PAD juga
ditujukan untuk memberikan peran bagi Pemda dalam. Pajak daerah baru
tersebut diharapkan menjadi landasan baru pelaksanaan sinergi
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam pemungutan untuk
optimalisasi pendapatan Negara dan daerah. Secara konsep, pajak baru
tersebut diharapkan akan menimbulkan tanggung jawab Pemda yang
selama ini hanya dilakukan Pemerintah Pusat.
Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah mendorong
peningkatan PAD sekaligus dapat mengkompensasi berbagai pungutan
yang dihapuskan untuk penyediaan layanan dasar wajib dan kemudahan
berusaha. Berdasarkan hasil simulasi penerapan kebijakan pengaturan
PDRD. Berkaitan dengan penghapusan retribusi, hasil simulasi
menunjukkan memang terdapat penurunan atas penerimaan retribusi
dalam PAD. Namun demikian, secara total hal tersebut tidak terlalu
memberikan dampak besar terhadap APBD. Dampak positif atas
pengaturan penghapusan sebagian retribusi tersebut antara lain terhadap
peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan
menciptakan ekosistem iklim usaha yang kondusif dengan pengurangan
jenis-jenis pungutan daerah.

100
ibid

Naskah Akademik Peraturan Daerah Kota Singkawang


tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
II - 60

Anda mungkin juga menyukai