Anda di halaman 1dari 53

WALI KOTA TEBING TINGGI

PROVINSI SUMATERA UTARA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TEBING TINGGI


NOMOR TAHUN 2023

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA TEBING TINGGI

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka tindak lanjut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
dimana disebutkan bahwa dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah
ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah.
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota
Tebing Tinggi.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 9 Drt Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Kota-Kota Kecil dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1092);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
-2-

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;


6. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1979 tentang Perubahan Batas Wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1979 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3133);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian
dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaran Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6041);
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
2036) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 157);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TEBING TINGGI
dan
WALI KOTA TEBING TINGGI

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI
DAERAH KOTA TEBING TINGGI

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kota Tebing Tinggi.
2. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Kota Tebing Tinggi.
3. Wali Kota adalah Wali Kota Tebing Tinggi.
4. Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah adalah Badan
Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah Kota Tebing Tinggi.
-3-

5. Perangkat Daerah adalah Lembaga/Organisasi pada Pemerintah Daerah yang


bertanggung jawab kepada Wali Kota dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang pajak daerah dan
retribusi daerah sesuai dengan peraturan perundang–undangan.
7. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
8. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan.
9. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
10. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
12. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan
perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,
termasuk pemungut retribusi tertentu.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap.
14. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat
PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
15. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
16. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di
atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
17. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
18. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB
adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
-4-

19. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.
20. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang di bidang pertanahan dan bangunan.
21. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak
yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa
tertentu.
22. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau
diserahkan kepada konsumen akhir.
23. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang
disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
24. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan
dipungut bayaran.
25. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit
tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
26. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa
terkait lainnya dengan dipungut bayaran, uang mencakup juga motel, losmen,
gubug pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan, rumah
kos dan sejenisnya.
27. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan
jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
28. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di
area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
bermotor.
29. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua
jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau
keramaian untuk dinikmati.
30. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
31. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
32. Pajak air tanah selanjutnya yang disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
33. Air tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan dibawah
permukaan tanah.
-5-

34. Pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di
permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
35. Mineral bukan logam dan batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah
mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan
perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
36. Pajak sarang burung walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang buruk walet.
37. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia
fuchliap haga, collacolia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
38. Opsen adalah pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu.
39. Opsen pajak kendaraan bermotor yang selanjutnya disebut opsen PKB adalah
obsen yang dikenakan oleh kota/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
40. Opsen bea balik nama kendaraan bermotor yang selanjutnya disebut opsen
BBNKB adalah opsen yang di kenakan oleh kota/kota atas pokok BBNKB sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
41. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak.
42. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayaran pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
43. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain
yang diatur dengan Peraturan Wali Kota paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang
menjadi dasar wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak
yang terhutang.
44. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya (satu) tahun kalender.
45. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam
Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
46. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut dengan SKPD adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak terutang.
47. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disebut dengan SPPT
adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
48. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disebut SSPD adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang telah
ditunjuk oleh Wali Kota.
49. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data
objek dan subjek pajak, penentuan besamya pajak yang terutang sampai kegiatan
penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
-6-

50. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,


keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
51. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah
yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
52. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan
oleh Wali Kota menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk
membayar seluruh pengeluaran daerah
53. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan.
54. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan barang, jasa, dan/ atau perizinan.
55. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan
perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,
termasuk pemungut retribusi tertentu.
56. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan.
57. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula
disediakan oleh sektor swasta.
58. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan,
pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
59. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu
bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dari Pemerintah Kota Tebing
Tinggi.

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
-7-

(1) Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar
hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah bagi pemerintahan
daerah, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah bagi masyarakat.
(2) Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Dibuat atau tidak?
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:


a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Pemungutan Pajak dan Retribusi;
d. Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan;
e. Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi;
f. Kerahasiaan Data Wajib Pajak.
g. Ketentuan Pidana. (dibuat atau tidak?)

BAB IV
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 4

(1) Jenis Pajak yang dipungut terdiri atas:


a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.
-8-

Bagian Kedua
PBB-P2
Pasal 5

(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil
kegiatan reklamasi atau pengerukan.
(3) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan
dengan kompleks Bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar permanen;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan / kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. menara telekomunikasi.
(4) Yang dikecualikan dari obyek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah kepemilikan, penguasaan, dan/ atau pemanfaatan atas:
a. bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah,
dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik
negara atau barang milik Daerah;
b. bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan,
pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
c. bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat
makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak;
e. bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan
lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
-9-

g. bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass
Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
h. bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota; dan
i. bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh
Pemerintah.

Pasal 6

(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

Pasal 7

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.


(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses
penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2
di satu wilayah kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(5) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 paling rendah 20% (dua
puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah
dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
(6) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,
kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan wilayahnya.
(7) Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.

Pasal 8

(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:


- 10 -

a) Untuk NJOP sampai dengan Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)


ditetapkan sebesar 0,125% (nol koma seratus dua puluh lima persen) per
tahun;
b) Untuk NJOP di atas Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai
dengan Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,200%
(nol koma dua ratus persen) per tahun; dan
c) Untuk NJOP di atas Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan
sebesar 0,300% (nol koma tiga ratus persen) per tahun.

(2) Dalam hal objek pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan
sebagai berikut:
a) Untuk NJOP sampai dengan Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
ditetapkan sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen) per
tahun;
b) Untuk NJOP di atas Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ditetapkan
sebesar 0,125% (nol koma seratus dua puluh lima persen) per tahun; dan
c) Penetapan lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan dengan Keputusan
Wali Kota.

Pasal 9

(1) Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dengan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Wali Kota dapat menetapkan PBB-P2 minimal terhadap ketetapan pajak dengan
batasan nominal tertentu dengan Keputusan Wali Kota.
Pasal 10

(1) Tahun Pajak PBB-P2 yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah
menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
(3) Masa pajak dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember pada tahun
berkenaan.
(4) Jatuh tempo pembayaran PBB-P2 ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
(5) Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak
objek PBB-P2 di wilayah Kota Tebing Tinggi.

Bagian Ketiga
- 11 -

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)


Pasal 11

(1) Objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan
lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau
barang milik Daerah;
- 12 -

b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk


pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur sesuai dengan
peraturan menteri yang membidangi keuangan;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah;
dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

(1) Subjek Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.

Pasal 13

(1) Dasar pengenaan BPHTB yaitu nilai perolehan objek pajak.


(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di
luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran
usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan
pembeli dalam lelang.
- 13 -

(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan BPHTB yang digunakan yakni NJOP yang digunakan dalam
pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan atau
pengakuan apabila tidak disertai alat bukti perolehan yang sah.
(4) Harga transaksi adalah harga perolehan atas objek pajak yang terjadi, wajar dan
terukur sesuai dengan tahun peristiwa hukum.
(5) Nilai Pasar adalah nilai pasar wajar rata-rata yang dapat mewakili nilai tanah
dan/atau bangunan di wilayah terjadinya peralihan hak sesuai dengan tahun
peristiwa hukum.
(6) Nilai Pasar selanjutnya diatur dalam Peraturan Wali Kota.
(7) Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) belum ditetapkan pada saat terutangnya BPHTB, NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan dapat didasarkan pada Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan
Bangunan.
(8) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) adalah bersifat sementara.
(9) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak, Badan Pengelolaan
Keuangan dan Pendapatan Daerah atau instansi yang berwenang di kota yang
bersangkutan.
(10) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar
Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama
setiap Wajib Pajak dalam satu tahun masa pajak.
(11) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak
karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi waris atau hibah wasiat, termasuk
suami/istri, ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(12) Apabila di antara ahli waris atau penerima hibah wasiat di luar ketentuan ayat
(11), ditetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah).

Pasal 14

Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

Pasal 15
- 14 -

Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) setelah dikurangi
nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (10), ayat (11), atau ayat (12) dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14.

Pasal 16

(1) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:


a) pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli
untuk jual beli;
b) pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar,
hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan
usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c) pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris
mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
d) pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap untuk putusan hakim;
e) pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f) pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk
pemberian hak baru di luar pelepasan hak;
g) Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda tangani akta; dan
h) pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
(2) BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan dimaksud
pada ayat (1).
(3) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi
pelayanan lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat
pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(4) lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Keempat
PBJT
Pasal 17

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa
tertentu yang meliputi:
- 15 -

a. Makanan dan/atau Minuman;


b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.

Pasal 18

(1) Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang
disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan
dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan
minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan,
penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan
lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
penyerahan makanan dan/atau minuman:
a. dengan peredaran usaha bruto/omzet tidak melebihi Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per bulan.
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata
menjual makanan dan/atau minuman;
c. dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya
menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada Bandar
udara.
(3) Penyedia penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet
di atas Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sampai dengan
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
b. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet
di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
- 16 -

c. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet


di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); dan
d. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet
di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Klasifikasi penyedia sebagaimana ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Wali
Kota.
Pasal 19

(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b adalah
penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah,
penyelenggara negara lainnya dan tempat yang digunakan oleh kedutaan,
kosulat serta perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan,
dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu
yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
d. konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 20

(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi jasa
penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang
rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
- 17 -

j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan


k. glamping.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti
asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.

Pasal 21

(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:


a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya
digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
c. jasa tempat parkir yang diselengarakan oleh kedutaan, konsulat, dan
perwakilan Negara asing dengan azas timbal balik.

Pasal 22

(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e
meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang
dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
- 18 -

f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;


g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan
dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya,
wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun
binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yakni Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
c. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.

Pasal 23

(1) Subjek Pajak PBJT yaitu konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib Pajak PBJT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan,
penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.

Pasal 24

(1) Dasar pengenaan PBJT yaitu jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang
atau jasa tertentu.
(2) Dasar pengenaan PBJT Makanan dan/atau Minuman adalah penjualan dan/atau
penyerahan Makanan dan/atau Minuman dipungut atas setiap pelayanan yang
disediakan dengan pembayaran atas Penjualan dan/atau penyerahan Makanan
dan/atau Minuman.
(3) Dasar Pengenaan PBJT Konsumsi Tenaga Listrik adalah Nilai jual tenaga
listrik.
(4) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan:
a) dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, nilai
jual tenaga listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah
dengan biaya pemakainan kWh/variable yang ditagihkan dalam rekening
listrik.
- 19 -

b) dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunanaan listrik, jangka waktu
pemakain listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di Kota Tebing
Tinggi.
(5) Dasar Pengenaan PBJT Jasa Perhotelan adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyedia jasa perhotelan.
(6) Dasar Pengenaan PBJT Jasa Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada penyelenggara jasa parkir.
(7) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk
potongan harga parkir dan parkir cuma–cuma yang diberikan kepada penerima
jasa parkir.
(8) Dasar pengenaan PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jumlah uang yang
diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggaran jasa kesenian dan
hiburan.
(9) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
termasuk potongan harga jasa kesenian dan hiburan serta tiket cuma–cuma yang
diberikan kepada penerima jasa kesenian dan hiburan.
(10) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis
yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.

Pasal 25

(1) Tarif PBJT dari Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman
ditetapkan dengan klasifikasi sebagai berikut:
a. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet
diatas Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sampai dengan
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) ditetapkan sebesar 3% (tiga
persen);
b. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet
diatas Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 5% (lima persen) ;
c. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet
diatas Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen) ;
d. Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman dengan omzet
diatas Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 10 %
(sepuluh persen).
(2) Tarif PBJT dari Konsumsi Tenaga Listrik ditetapkan :
a) konsumsi tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam ditetapkan sebesar 3% (tiga persen).
- 20 -

b) konsumsi tenaga listrik dari sumber selain yang diatur pada ayat (a) tarif
PBJT tenaga listrik ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
c) konsumsi tenaga listrik yang dihasilkan sendiri ditetapkan 1,5% (satu koma
lima persen).
(3) Tarif PBJT dari Jasa Perhotelan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(4) Tarif PBJT dari Jasa parkir ditetapkan:
a) Sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah pembayaran yang dibayar kepada
penyelenggara tempat parkir.
b) Untuk parkir cuma-cuma sebesar 10% (sepuluh persen) dari perkiraan
jumlah kendaraan oleh penyedia dikali tarif retribusi parkir tepi jalan
berkenaan.
(5) Tarif PBJT dari jasa kesenian dan hiburan ditetapkan :
a) tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang
dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu 10% (sepuluh
persen);
b) pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana:
1. pagelaran kesenian tradisional 5% (lima persen)
2. pagelaran kesenian modern 10%(sepuluh persen)
3. musik 10%(sepuluh persen)
4. busana 10% (sepuluh persen)
c) kontes kecantikan 10% (sepuluh persen);
d) kontes binaraga 10% (sepuluh persen);
e) pameran 10% (sepuluh persen);
f) pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap 10%(sepuluh persen);
g) pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor 10% (sepuluh persen);
h) permainan ketangkasan 10% (sepuluh persen);
i) olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan
dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran 10% (sepuluh persen);
j) rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya,
wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun
binatang 10% (sepuluh persen);
k) panti pijat dan pijat refleksi 10% (sepuluh persen);
l) diskotek, karaoke, kelab malam, bar 60% (enam puluh persen);
m) mandi uap/spa 40% (empat puluh persen).

Pasal 26
- 21 -

(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan tarif PBJT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2) PBJT yang terutang dipungut di wilayah tempat penjualan, penyerahan,
dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
(3) Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi
barang dan jasa tertentu dilakukan.
(4) Masa PBJT adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

Bagian Kelima
Pajak Reklame
Pasal 27

(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.


(2) Penyelenggaraan Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik di dalam
ruangan maupun di luar ruangan.
(3) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. reklame papan/billboard/videotron/megatron;
b. reklame kain;
c. reklame melekat/stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame film/slide; dan
i. reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian,
warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang
berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan
tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang
mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut dengan luas
bidang tidak melebihi 1 m2 (satu meter persegi) dan jumlah yang dipasang
tidak melebihi 1 (satu) unit;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintahan
Daerah;
- 22 -

e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan


keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
f. Reklame dalam ruangan yang tidak terlihat dari luar yang hanya berisi
identitas dari pemilik/yang menguasai gedung berkenaan tanpa iklan
komersial.

Pasal 28

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
Reklame.
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi
atau Badan, wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut.
(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut
menjadi wajib pajak reklame.

Pasal 29

(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.


(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak
Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
a. jenis;
b. bahan yang digunakan;
c. lokasi penempatan;
d. waktu penayangan;
e. jangka waktu penyelenggaraan;
f. jumlah; dan
g. ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan
menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.
- 23 -

Pasal 30

Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25 % (Dua Puluh Lima Persen).

Pasal 31

(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dengan
tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
(2) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame
tersebut diselenggarakan.
(3) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha
penyelenggara Reklame terdaftar.
(4) Masa Pajak Reklame ditetapkan berdasarkan jangka waktu lamanya
pemasangan.
Bagian Keenam
PAT
Pasal 32

(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


(2) Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. kegiatan Pemerintah dan Pemerintahan daerah.

Pasal 33

(1) Subjek PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan Air Tanah.

Pasal 34
- 24 -

(1) Dasar pengenaan PAT yaitu nilai perolehan Air Tanah.


(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil
perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan
biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
a) jenis sumber air;
b) lokasi sumber air;
c) tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d) volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e) kualitas air; dan
f) tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
pengambilan dan/atau pemanfaatan air .
(5) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman
pada Nilai Perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 35

Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

Pasal 36

(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dengan tarif
PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
(2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah.
(3) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Tanah.
(4) Masa pajak air tanah adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu)
bulan kalender.

Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Pasal 37
- 25 -

(1) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. obsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. fosfat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
- 26 -

ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak
diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel,
penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan
tanah.

Pasal 38

(1) Subjek Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil dan/atau
memanfaatkan MBLB.
(2) Wajib Pajak MBLB yaitu orang pribadi atau Badan yang mengambil dan/atau
memanfaatkan MBLB.

Pasal 39

(1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian
volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis
MBLB.
(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga
jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di
wilayah Daerah yang bersangkutan.
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan
batu bara.

Pasal 40

Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 15% (lima belas persen).

Pasal 41
- 27 -

(1) Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(2) Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan
MBLB.
(3) Masa pajak MBLB adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan
Kalender.

Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Pasal 42

(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet yaitu pengambilan dan/atau pengusahaan
sarang Burung Walet.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah
dikenakan penerimaan negara bukan pajak.

Pasal 43

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet yaitu orang pribadi atau Badan yang
melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.

Pasal 44

(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung
Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang
berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.

Pasal 45

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
- 28 -

Pasal 46

Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayal (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45.
Bagian Kesembilan
Opsen
Pasal 47

Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:


a. PKB;
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.

Pasal 48

(1) Subjek pajak untuk Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a
adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan
bermotor.
(2) Wajib Pajak untuk Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a
adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki kendaraan bermotor.
(3) Subjek pajak untuk Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf
b adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kendaraan
bermotor.
(4) Wajib Pajak untuk Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b
adalah orang pribadi atau Badan yang menerima kendaraan bermotor.
(5) Subjek pajak untuk Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
huruf c adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
(6) Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
huruf c adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.

Pasal 49

Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:


a. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen);
b. Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
- 29 -

c. Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen),


dihitung dari besaran Pajak terutang.

Pasal 50

Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.

BABV
RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi
Pasal 51

(1) Jenis Retribusi terdiri atas:


a. retribusi Jasa Umum;
b. retribusi Jasa Usaha; dan
c. retribusi Perizinan Tertentu.
(2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan
pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/ atau perizinan.
(4) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas
layanan yang digunakan/dinikmati.

Bagian Kedua
Jenis Pelayanan Retribusi
Pasal 52

(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a yang dipungut retribusi meliputi:
a. Pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
- 30 -

d. pelayanan pasar.
(2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut
Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan
kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-
cuma.
(3) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a yang tidak dipungut retribusi meliputi
Retribusi Pengendalian lalu Lintas.
(4) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi
Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b yang dipungut
meliputi:
a. pemakaian kekayaan daerah;
b. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
c. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
d. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan perlu dibahas
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan
fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak
mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dimasukkan dalam retribusi pemakaian kekayaan daerah.
(5) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi
Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b yang tidak
dipungut meliputi:
a. Retribusi pasar grosir dana tau pertokoan;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan
termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
d. pelayanan jasa kepelabuhanan; dan
e. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga; dan
f.pelayanan penyebrangan orang atau barang dengan mengunakan kendaraan di
air.
(6) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan
Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c yang dipungut
meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung; dan
b. penggunaan tenaga kerja asing.
(7) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan
Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c yang tidak
dipungut meliputi pengelolaan pertambangan rakyat.
- 31 -

(8) Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh
Daerah.
(9) Retribusi pengunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b
merupakan dana kompensasi pengunaan tenaga kerja asing atas pengesahan
rencana pengunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga
kerja asing.

Bagian Ketiga
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 53

Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat


penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.

Pasal 54

Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 merupakan jumlah


penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah
Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.

Pasal 55

Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 merupakan nilai rupiah yang
ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.

Pasal 56

(1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ditinjau kembali paling
lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa
melakukan penambahan objek Retribusi.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam
Peraturan Wali Kota.
- 32 -

Bagian Keempat
Objek, Subjek Retribusi, Wajib Retribusi, Tingkat Penggunaan Jasa, dan Tarif
Retribusi

Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Kesehatan
Pasal 57

(1) Objek Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Kesehatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a yaitu Pelayanan kesehatan yang
dimiliki dan atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, meliputi: puskesmas,
puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan dan tempat
pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis kecuali pelayanan pendaftaran.
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan adalah pelayanan
pendaftaran, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan BUMN/pemerintah,
pihak swasta dan yang secara ketentuan dibebaskan biaya retribusinya oleh
pemerintah.
(3) Subjek Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Kesehatan yaitu orang pribadi
atau badan hukum penjamin yang memperoleh Pelayanan Kesehatan atau
pelayanan penunjang kesehatan.
(4) Wajib Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Kesehatan yaitu orang pribadi
atau badan hukum penjamin yang memperoleh Pelayanan Kesehatan yang
diwajibkan membayar retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
(5) Badan hukum penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) meliputi :
a. BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan Asuransi Jasa Raharja
(khusus kecelakaan Lalu Lintas);
b. Lembaga asuransi komersial;
c. Perusahaan dan atau Institusi yang bekerjasama dengan Puskesmas,
Labkesda, Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah
(6) Ketentuan wajib retribusi sebagaimana ayat (4) untuk pasien dengan
penjaminan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dilakukan berdasarkan
perjanjian kerjasama, meliputi pembayaran dengan kapitasi dan / atau
pembayaran berdasarkan paket klaim sesuai peraturan perundangan yang
berlaku.
(7) Dalam hal Kejadian Luar Biasa (KLB), bencana alam dan/atau bencana non
alam yang dinyatakan secara resmi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah, masyarakat yang terkena dampak langsung dibebaskan dari retribusi
dan tarif pelayanan kesehatan tertentu sesuai dengan ketentuan perundangan
yang berlaku.
(8) Pemeriksaan spesimen terkait program pemerintah atau pemerintah daerah
dalam pemberantasan penyakit menular tertentu dibebaskan dari pungutan
- 33 -

retribusi atau tarif pelayanan kesehatan dan dijamin oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dalam bentuk biaya Program atau sumber pembiayaan lain
yang sah.
(9) Penggantian pembebasan retribusi atau tarif pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (9), dan ayat (10) yang menjadi kewenangan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dibebankan pada Keuangan Pemerintah atau keuangan
pemerintah Daerah sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 58

(1) Tingkat penggunaan jasa layanan kesehatan dihitung berdasarkan perkalian


antara jenis-jenis pelayanan kesehatan, jenis-jenis pelayanan penunjang
kesehatan, kelas perawatan, klasifikasi tindakan medik, klasifikasi asuhan
keperawatan, parameter pemeriksaan dengan frekuensi pelayanan/pemeriksaan
yang diterima pasien atau pihak penjamin dengan besaran retribusi/ tarif
pelayanan.
(2) Prinsip penetapan besaran retribusi/tarif pelayanan kesehatan adalah untuk
meningkatakan mutu pelayanan dengan memperhatikan kemampuan
masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas pelayanan
kesehatan.
(3) Sasaran penetapan besaran retribusi/ tarif pelayanan adalah untuk menutup
sebagian dan/atau seluruh biaya penyelenggaraan pelayanan serta tidak
mengutamakan mencari keuntungan dengan tetap memperhatikan kemampuan
ekonomi sosial masyarakat dan daya saing untuk pelayanan sejenis pada kelas
privat.
(4) Struktur Besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Kesehatan
tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini sebagai bagian yang tidak
terpisahkan.
(5) Dalam hal besaran tariff retribusi atas jenis pelayanan yang belum tercantum
pada lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai bentuk
pengembangan pelayanan ditetapkan sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Paragraf 2
Retribusi jasa umum berupa Pelayanan Kebersihan

Pasal 59

(1) Objek Retribusi jasa umum berupa Pelayanan Kebersihan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b yaitu Pelayanan Kebersihan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah meliputi :
- 34 -

a. Pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya kelokasi pembuangan


sementara;
b. Pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan
sementara ke lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah; dan
c. Penyedian lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah.
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi jasa umum berupa Pelayanan Kebersihan
adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan
tempat yang dapat digunakan oleh masyarakat umum lainnya.
(3) Subjek Retribusi jasa umum berupa Pelayanan Kebersihan yaitu orang pribadi
atau badan yang memperoleh pelayanan kebersihan.
(4) Wajib Retribusi jasa umum berupa Pelayanan Kebersihan yaitu orang pribadi
atau badan yang memperoleh pelayanan kebersihan yang diwajibkan membayar
retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
(5) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kebersihan dihitung atas komponen
biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan layanan kebersihan diantaranya
sarana prasarana kebersihan, petugas kebersihan, asuransi, dan pajak kendaraan
bermotor.
(6) Struktur Besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Kebersihan
tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini sebagai bagian yang tidak
terpisahkan.

Paragraf 3
Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum

Pasal 60

(1) Objek Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c yaitu pelayanan parkir
di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Subjek Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
yaitu orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan parkir di tepi jalan
umum di wilayah Kota Tebing Tinggi.
(3) Wajib Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum yaitu
orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan parkir di tepi jalan umum
yang diwajibkan membayar retribusi.
(4) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan parkir di tepi jalan umum dihitung atas
komponen biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan layanan parkir di tepi
jalan umum diantaranya biaya penyediaan atau lokalisasi tempat parkir dan
petugas parkir.
- 35 -

(5) Struktur Besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Parkir di Tepi
Jalan Umum tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini sebagai bagian
yang tidak terpisahkan.

Paragraf 4

Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Pasar

Pasal 61

(1) Objek Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) huruf d yaitu pelayanan penyediaan fasilitas pasar
tradisional/ sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah
Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang.
(2) Dikecualikan dari Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Pasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh
BUMN, BUMD dan pihak swasta.
(3) Subjek Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Pasar yaitu orang pribadi atau
badan yang memperoleh pelayanan pasar.
(4) Wajib Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Pasar yaitu orang pribadi atau
badan yang memperoleh pelayanan pasar yang diwajibkan membayar retribusi.
(5) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan pasar dihitung atas komponen biaya
yang dikeluarkan dalam menghasilkan layanan pasar diantaranya biaya
pemeliharaan pasar, keamanan, kebersihan, dan petugas pasar.
(6) Struktur Besaran tarif Retribusi Jasa Umum berupa Pelayanan Pasar tercantum
dalam Lampiran Peraturan Daerah ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

Paragraf 5

Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah

Pasal 62

(1) Objek Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah yang tidak
mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau
optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (4) huruf a yaitu pelayanan penyediaan atas pemanfaatan aset
Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat
- 36 -

Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status


kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu
penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset
Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pemanfaatan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut.
(3) Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah yang tidak
mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau
optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah orang pribadi atau
badan yang memperoleh hal atas pemanfaatan asset daerah.
(4) Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah yang tidak
mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau
optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah orang pribadi atau
badan yang memperoleh hal atas pemanfaatan asset daerah yang diwajibkan
membayar retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
(5) Tingkat penggunaan jasa berupa pemanfaatan aset Daerah yang tidak
mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau
optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diukur berdasarkan frekuensi
jangka waktu dan jenis pelayanan.
(6) Struktur Besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa pemanfaatan aset Daerah
yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah
dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hal atas pemanfaatan asset daerah.

Paragraf 6
Retribusi Jasa Usaha berupa Penyediaan Tempat Khusus Parkir
di Luar Badan Jalan

Pasal 63

(1) Objek Retribusi Jasa Usaha berupa Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar
Badan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) huruf b yaitu
pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki dan/ atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi Jasa Usaha berupa Penyediaan Tempat
Khusus Parkir di Luar Badan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
- 37 -

pelayanan tempat parkir yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh


Pemerintah, BUMN, BUMD dan pihak swasta.
(3) Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar
Badan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan
tempat khusus parkir pemerintah daerah.
(4) Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar
Badan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan
tempat khusus parkir pemerintah daerah yang diwajibkan membayar retribusi,
termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
(5) Tingkat penggunaan jasa atas Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan
Jalan diukur berdasarkan frekuensi, jangka waktu penggunaan fasilitas dan jenis
kendaraan
(6) Struktur Besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa Penyediaan Tempat Khusus
Parkir di Luar Badan Jalan tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini
sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
Paragraf 7
Retribusi Jasa Usaha berupa Pelayanan Rumah Pemotongan
Hewan Ternak

Pasal 64

(1) Objek Retribusi Jasa Usaha berupa Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan
Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) huruf d yaitu pelayanan
penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan
pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan,
dimiliki dan/ atau dikelola Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi Jasa Usaha berupa Pelayanan Rumah
Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak yang disediakan, dimiliki
dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan pihak swasta.
(3) Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan
Ternak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan dan/atau
menikmati/ memakai fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang
disediakan, dimiliki, dan atau dikelola Pemerintah Daerah.
(1) Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan
Ternak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan dan/atau
menikmati/ memakai fasilitas rumah pemotongan hewan ternak yang
disediakan, dimiliki, dan atau dikelola Pemerintah Daerah yang diwajibkan
membayar retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
(4) Tingkat penggunaan jasa Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak diukur
berdasarkan jenis pelayanan, jenis fasilitas dan jenis hewan ternak.
- 38 -

(5) Struktur Besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa Pelayanan Rumah
Pemotongan Hewan Ternak tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini
sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

Paragraf 8
Retribusi Perizinan Tertentu berupa Persetujuan Bangunan Gedung

Pasal 65

(1) Objek Retribusi Perizinan Tertentu berupa Persetujuan Bangunan Gedung


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (6) huruf a yaitu pelayanan atas
penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi oleh
Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi Perizinan Tertentu berupa Persetujuan
Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah khusus untuk
bangunan milik pemerintah, pemerintah daerah dan bangunan yang memiliki
fungsi keagamaan/ peribadatan.
(3) Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa Retribusi Perizinan Tertentu berupa
Persetujuan Bangunan Gedung adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh pelayanan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung dan
sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa Retribusi Perizinan Tertentu berupa
Persetujuan Bangunan Gedung adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh pelayanan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung dan
sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang diwajibkan membayar retribusi, termasuk pemungut
atau pemotong retribusi.
(5) Tingkat penggunaan jasa Persetujuan Bangunan Gedung diukur berdasarkan
biaya penyelenggaraan penerbitan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat
laik fungsi yang meliputi penerbitan dokumen, inspeksi penilik bangunan,
penegakan hukum, penatausahaan dan biaya dampak negative dari penerbitan
persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.
(6) Struktur Besaran tarif dan cara ukur Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung
tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini sebagai bagian yang tidak
terpisahkan.

Paragraf 9
Retribusi Perizinan Tertentu berupa Penggunaan Tenaga Kerja Asing
- 39 -

Pasal 66

(1) Objek Retribusi Perizinan Tertentu berupa Penggunaan Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (6) huruf b yaitu pelayanan atas
pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai
wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan perundang-undangan
mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi Perizinan Tertentu berupa Persetujuan
Bangunan Gedung Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah khusus untuk penggunaan tenaga kerja asing, badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan dan jabatan tertentu di
lembaga pendidikan.
(3) Subjek Retribusi Jasa Usaha berupa Retribusi Perizinan Tertentu berupa
Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah orang pribadi atau badan pemberi kerja
tenaga kerja asing yang telah memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana ketentuan perundangan.
(4) Wajib Retribusi Jasa Usaha berupa Retribusi Perizinan Tertentu berupa
Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah orang pribadi atau badan pemberi kerja
tenaga kerja asing yang telah memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana ketentuan perundangan yang diwajibkan membayar retribusi,
termasuk pemungut atau pemotong retribusi.
(5) Tingkat penggunaan jasa atas Penggunaan Tenaga Kerja Asing diukur
berdasarkan jangka waktu perpanjangan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA) dan jumlah tenaga kerja asing yang dipekerjakan yang
dipergunakan untuk penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan,
penegakan hukum, penatausahaan, biaya dampak negatif dari pemberian izin
dan kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.
(6) Besaran tarif Retribusi Jasa Usaha berupa Retribusi Perizinan Tertentu
ditetapkan sebesar 100 USD (Seratus Dollar Amerika Serikat) per jabatan per
orang per bulan.

BAB VI
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
- 40 -

Pasal 67

Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan
tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.

Pasal 68

(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, d, e, h dan
dan I merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali kota.
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, c, f dan g
merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh
Wajib Pajak.
(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan
surat pemberitahuan pajak terutang.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
(5) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak
kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Retribusi daerah dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi
Daerah (SKRD)/ karcis atau dokumen lain yang dipersamakan
(7) Pembayaran Pajak dan Retribusi daerah yang terutang dilaksanakan di Kas
Umum Daerah
(8) Dalam hal pembayaran pajak dan retribusi daerah yang terutang di tempat lain
yang ditentukan oleh Wali Kota/Kepala Daerah, hasil pembayaran retribusi
disetor secara bruto ke Kas Umum Daerah dalam jangka waktu 1 x 24 jam
pada setiap hari kerja
(9) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis pajak dan retribusi
diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan
penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
(10) Penerimaan retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung
digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 69

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Wali Kota
dapat menerbitkan :
- 41 -

a) SKPDKB jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak


yang terulang tidak atau kurang dibayar;
b) SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
c) SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga 2
% (dua persen) setiap bulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan
sebesar 100 %(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib
Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 % (dua
puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administra.berupa bunga
sebesar 2 %. (dua persen) setiap bulan, dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(6) Tata cara penerbitan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN atau
dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (1)
dan (2) diatur dengan Keputusan Wali Kota
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPOP,
SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN atau dokumen lain yang
dipersamakan diatur dengan Keputusan Wali Kota
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemungutan pajak dan retribusi dan
pemanfaatan penerimaan atas pajak dan retribusi tersebut diatur dengan
peraturan Wali Kota.

Bagian Kedua
Penagihan, Keberatan, Gugatan Dan Pemeriksaan Pajak Dan Retribusi Daerah

Pasal 70

(1) Wali Kota dapat menerbitkan STPD apabila:


a. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar,
b. dari hasil pemeriksaan SSPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai
akibat salah tulis dan/atau salah hitung:
- 42 -

c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
d. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak Ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terulang dalam STPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi
berupabunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima
belas)bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan tata cara penyampaian STPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditelapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
(4) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT sebagaimana dimaksud pada Pasal …..
ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 4 (empat) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
(5) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding,
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dībayar bertambah merupakan
dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1
(satu)b ulan sejak tanggal diterbitkan.
(6) Pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pada
saat jatuh tempo pembayarannya tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan
sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang
dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(7) Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar
2% (dua persen) setiap bulan.
(8) Pajak yang terutang dibayar ke Kas Umum Daerah atau tempat pembayaran
lain yang ditunjuk oleh Wali Kota.
(9) Dalam hal pembayaran ditempat lain yang ditunjuk oleh Wali Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penyetoran hasil pembayaran dilakukan
dalam tempo 1x 24 jam pada setiap hari kerja.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran
dan penundaan pembayeran pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota
(11) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat Lain yang sejenis sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat
jatuh tempo pembayaran.
(12) Termasuk Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat Lain yang sejenis
pada ayat (11) dapat berupa :
a. Pemasangan tanda berupa stiker/plang penunggak pajak pada objek pajak,
diberikan kepada wajib pajak yang telah diterbitkan Surat Tagihan
dan/atau yang memiliki tunggakan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk
jenis PBB-P2.
- 43 -

b. Pemasangan tanda berupa stiker/plang penunggak pajak pada objek


pajak,diberikan kepada wajib pajak 7 hari setelah diterbitkan Surat
Tagihan ke 3 untuk jenis pajak selain PBB-P2.
c. Penonaktifan Nomor Objek Pajak untuk jenis PBB-P2 dan tidak
diterbitkan ketetapan pajak sementara, diberikan kepada wajib pajak yang
telah diterbitkan Surat Tagihan dan/atau yang memiliki tunggakan
sekurang-kurangnya 3 tahun atau berdasarkan hasil penelitian.
(13) Pencabutan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (12) dapat dicabut apabila
:
a. Atas pemasangan tanda stiker/plang penunggak pajak apabila wajib pajak
telah melunasi tunggakan pajak
b. Atas penonaktifan Nomor Objek Pajak untuk jenis PBB-P2 apabila wajib
pajak telah melaporkan dan menyanggupi pembayaran pajak atas objek
pajak yang dimiliki/ dikuasai dan/atau dimanfaatkan yang telah
dinonaktifkan, selanjutnya akan diaktifkan kembali serta diterbitkan
ketetapan pajak sejak tahun pajak dinonaktifkan atau sejak wajib pajak
memiliki/menguasai dan/atau memanfaatkan objek pajak
(14) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis disampaikan kepada Wajib Pajak, Wajib
Pajak harus melunasi pajak yang terutang.
(15) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat Lain yang sejenis sebagaimana
pada ayat (1) dikeluarkan oleh Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk.
(16) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan
Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat
ditagih dengan Surat Paksa.
(17) Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(18) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau
kurang membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 %
(dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang
bayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
(19) Retribusi terutang dilunasi selambat - lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(20) Dalam tempo 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal jatuh tempo pembayaran
retribusi yang terutang, Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk mengeluarkan
surat peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis, sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan retribusi yang terutang.
(21) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya surat
peringatan atau surat teguran atau surat lain yang sejenis, Wajib Retribusi harus
melunasi Retribusi yang terutang.
- 44 -

(22) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja retribusi yang terutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilunasi, retribusi terutang ditagih
dengan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD).
(23) Surat teguran atau surat tagihan atau surat lain yang sejenis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk.
(24) Hasil penagihan retribusi yang terutang disetor secara bruto ke Kas Daerah
dalam jangka waktu 1 x 24 jam pada setiap hari kerja.
(25) Wali Kota berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(26) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen yang menjadi dasarnya
dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(23) Apabila pada saat pemeriksaan, Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka pajak terutang ditetapkan secara
jabatan.
(24) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan
Peraturan Wali Kota.

Pasal 71

(1) Wajib Pajak dan retribusi daerah dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g. SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai
alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan daam jangka wakru paling lama 3 (tiga) bulan Sejak
tanggal surat sebagimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali jIka wajib Pajak dan
Retribusi Daerah dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
- 45 -

(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Tanda penerimaan Surat keberatan yang diberikan oleh Wali Kota atau pejabat
yang ditunjuk atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui surat pos tercatat
sebagai tanda bukti penerimaan Surat Keberatan.
(7) Wali Kota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan atas keberatan
pajak dan 6 (enam) bulan atas keberatan retribusi sejak tanggal Surat Keberatan
diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(8) Keputusan Wali Kota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(9) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah lewat dan
Wali Kota tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian
keberatan diatur dengan Peraturan Wali Kota.

Pasal 72

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan
Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Wali
Kota.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan
keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(4) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen ) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat bulan).
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan
pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(6) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
- 46 -

(7) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dikenakan.
(8) Dalam hal permohonon banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen dari
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Pasal 73

(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan
pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal penagihan.
(3) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan lain selain
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal diterima keputusan yang digugat.
(4) Jangka waktu dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak mengikat apabila
jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
penggugat.
(5) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah 14
(empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan
penggugat.
(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1
(satu) Surat Gugatan.
(7) Hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan banding dan gugatan,
sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan Daerah ini dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan Penghapusan Atau
Pengurangan Sanksi Serta Pengembalian Kelebihan Pembayaran

Pasal 74

(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Wali Kota dapat
membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN atau
SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Wali Kota dapat :
- 47 -

a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga,


denda dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena
kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT,
STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan
atau diterbitkan tidak sesuai dengantata cara yang ditentukan;
e. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak terutang dalam hal objek
pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
f. mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak,
seperti :
1. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab
akibat tertentu, atau
2. digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata
tidak mencari keuntungan
(3) Dalam hal Pembetulan, Mutasi, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan,
Pengurangan atau Penghapusan sanksi administratif, dapat dilimpahkan kepada
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah setelah disetujui
Wali Kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan
sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
(5) Atas kelebihan pembayaran Pajak dan retribusi daerah, Wajib Pajak dan
retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Wali Kota.
(6) Wali Kota dalam jangka waktu paling Iama 12 (dua belas) bulan untuk
kelebihan pajak dan paling lama 6 (enam bulan untuk kelebihan retribusi, sejak
diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud padaayat (1), harus memberikan keputusan.
(7) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan
Wali Kota tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian
pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB/SKRDLB harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(8) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak atau retribusi lainnya, kelebihan
pembayaran Pajak atau retribusi tersebut sebagaimana dimaksud padaayat (5)
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
(9) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
- 48 -

(10) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau retribusi dilakukan setelah
lewat 2 (dua) bulan, Wali Kota memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) setiap bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran
pajak
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Keempat
Kadaluarsa Penagihan Dan Penghapusan Piutang

Pasal 75

(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak dan/atau retribusi menjadi kedaluwarsa
setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun untuk pajak dan 3 (tiga) tahun untuk
retribusi terhitung sejak saat terutangnya pajakdan/ atau, kecuali apabila Wajib
Pajak dan/atau retribusi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau
retribusi daerah.
(2) Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tertangguh apabila :
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dan/atau retribusi dari Wajib Pajak dan atau
retribusi, baiklangsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal
penyampaian Surat Paksatersebut.
(4) Pengakuan utang pajak dan/atau retribusi secara langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dan/atau retribusi dengan
kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum
melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan
pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak dan/atau retribusi.
(6) Piutang Pajak dan/atau retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak
untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
- 49 -

(7) Wali Kota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Daerah dan/atau
retribusi yang yang sudah kadaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak dan/atau
retribusi yang yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Wali Kota.
(9) Dalam hal atas piutang pajak yang tidak diketahui keberadaan wajib pajaknya
selama lima tahun pajak, Wali Kota dapat menonaktifkan piutang pajak;
(10) Piutang pajak yang telah dinonaktifkan dapat diaktifkan kembali sejak tahun
pajak dinonaktifkan atau sejak Wajib Pajak memiliki, menguasai, dan/atau
memanfaatkan objek pajak tersebut.

Bagian Kelima
Pemberian Keringanan, Pengurangan, Dan Pembebasan Pajak Dan Retribusi Daerah

Pasal 76

(1) Wali Kota dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan


penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
(2) Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran
sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(3) Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran
dapat dilimpahkan kepada Kepala Organisasi Perangkat Daerah Pemungut
pajak dan retribusi daerah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan Wali Kota.

Bagian Keenam
Peninjauan Tarif

Pasal 77

(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan ekonomi.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagai peninjauan tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.

Bagian Ketujuh
- 50 -

Insentif Pemungutan

Pasal 78

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentir
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VII
PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI
DALAM RANGKA MENDUKUNG KEMUDAHAN BERINVESTASI

Pasal 79

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/Wali


Kota/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di
daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan,
keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi,
dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas
permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan
oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, meliputi:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam,
kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya
unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain
yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai
program prioritas Daerah; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program
prioritas nasional.
- 51 -

(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan
kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Wali Kota dalam
memberikan insentif fiskal tersebut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif fiskal sebagaimana
dimaksud padaayat (2) ditetapkan dengan Perkada.

BAB VIII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK

Pasal 80

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan
atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga
ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah:
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam
sidang pengadilan; dan
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk
memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi
Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang
Keuangan Daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis
kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan,
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang
ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum
acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan
nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan
antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang
diminta.
- 52 -

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 81

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan
Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan
Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 82

Terhadap hak dan kewajiban wajib pajak dan wajib retribusi yang belum diselesaikan
sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah sebelumnya

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 83

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah sebelumnya di
bidang pajak dan retribusi daerah di Kota Tebing Tinggi di cabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 84

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.


- 53 -

Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tebing Tinggi

Ditetapkan di .........
pada tanggal
WALI KOTA TEBING TINGGI,

ttd,

Anda mungkin juga menyukai