TENTANG
Dan
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Daerah Otonomi Kabupaten Kutai Barat.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut Pemerintah
Kabupaten adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten
yang terdiri atas Bupati dan Perangkat Daerah Kabupaten.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas -luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
5. Bupati adalah Bupati Kabupaten Kutai Barat.
6. Kepala Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut Sekda adalah Sekretaris
Daerah Kabupaten Kutai Barat.
7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan
daerah, sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
8. Perangkat Daerah, adalah Badan/Dinas/Kantor dilingkungan Pemerintah
Kabupaten Kutai Barat.
9. Kepala Perangkat Daerah adalah Badan Pendapatan Daerah Kabupaten
Kutai Barat.
10. Kas Daerah adalah, Kas Daerah tempat penyimpanan uang daerah
ditetapkan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan daerahdan
digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang
ditetapkan.
11. Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dengan persetujuan
bersama Bupati.
12. Peraturan Bupati adalah Peraturan Bupati Kutai Barat.
13. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
14. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke Kas Daerah.
15. Bendahara Penerima adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk
menerima menyimpan, menyetorkan/mengusahakan dan
mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka
pelaksaan APBD pada perangkat daerah.
16. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
17. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
18. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
19. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD
adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan
peraturan Daerah.
20. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan
nama lain adalah Perda Kabupaten.
21. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan
Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
22. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenai Pajak.
24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
25. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya,
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
26. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
27. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman.
28. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
29. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-
rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan
bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau NJOP pengganti.
30. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat
BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
31. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah
dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
32. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta Bangu.nan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam
undang- undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
33. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah
Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/
atau jasa tertentu.
34. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual
dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
35. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang
disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
36. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman
dengan dipungut bayaran/ biaya yang mencakup juga rumah makan,
cafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga dan
catering.
37. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu
pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan
listrik.
38. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi
dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau
fasilitas lainnya.
39. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di
luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk
ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok
usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan
tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
40. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara.
41. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan
semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi,
dan/ atau keramaian untuk dinikmati.
42. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
43. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan,
menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap
sesuatu.
44. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
45. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di
bawah permukaan tanah.
46. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam
dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
47. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah
mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam
peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
48. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan
dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
49. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia
fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta., dan collocalia linchi.
50. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
51. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB
adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
52. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut
Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas
pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
53. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender,
kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender.
54. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
55. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah yang bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula
disediakan olej sektor swasta.
56. Perijinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam
rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksud
untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas
kegiatan, pemanfaatn ruang, serta pengunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana, atau fasiltas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
57. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat,
dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
58. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu
lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan
Kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
59. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas
waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan
tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
60. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu satu Tahun Pajak.
61. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD
adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan/atau bukan objek paja, dan/atau harta dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
62. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
63. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok yang
terutang.
64. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDKN,
adalah surat ketetapan pajak yang adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
65. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administratif da jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
66. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan
pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak
yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
67. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD,
adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok
retribusi yang terutang.
68. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar
daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
69. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah
surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
70. Surat Pemberitaan adalah surat yang berisi pemberitahuan kepada Wajib
Pajak, bahwa jumlah pajak yang terhutang sama besarnya dengan jumlah
pajak yang sudah dibayar.
71. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah
berupa bunga dan/atau denda.
72. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah
surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administrasi
berupa bunga dab/atau denda.
73. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang- undangan perpajakan
daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat
Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat
Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat
Keputusan Keberatan.
74. Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak adalah
75. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan
terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak
Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang BayarTambahan, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau terhadap
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib
Pajak.
76. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat,
dalam Masa Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan
peraturan perundangan-undangan perpajakan.
77. Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang
berkaitan dengan pajak, sesuai dengan Undang-undang Nomr 19 tahun
1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa (Lembaran
Negara Tahun 1959 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850);
78. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya
disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
79. Pembukuan adalah adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut.
80. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT,
adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
81. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
82. Tindakan pemeriksaan adalah tindakan yang dilakukan oleh petugas per-
pajakan dalam rangka melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak,
untuk mencari bahan-bahan guna penghitungan jumlah pajak yang
terhutang dan jumlah pajak yang harus dibayar.
83. Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS, adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Kutai Barat yang diberi wewenang khusus oleh Undang- undang untuk
melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah Kabupaten
Kutai Barat yang memuat ketentuan pidana.
84. Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan daerah adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, untuk mencari
dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana dibidang Pajak Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
85. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan
/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
86. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan
perundang- undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi,
termasuk pemungut retribusi tertentu.
87. Pelayanan Kesehatan adalah segala kegiatan Pelayanan Kesehatan yang
diberikan kepada pasien dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan,
rehabilitasi medik dan Pelayanan Kesehatan lainnya.
88. Rumah Sakit Umum Daerah yang selanjutnya disebut RSUD adalah Unit
PelaksanaTeknis Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Barat yang merupakan
unsure pelaksana operasional Dinas Kesehatan dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan masyarakat.
89. Laboratorium Kesehatan adalah Unit Pelaksana teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten Kutai Barat yang merupakan unsur pelaksana operasional
Dinas Kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan laboratorium.
90. Klinik Pengobatan Paru dan Kusta adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Barat yang merupakan unsur pelaksana
opaerasional Dinas Kesehatan dalam menyelenggarakan pelayana
kesehatan paru dan kusta.
91. Pelayanan rawat Jalan adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi,
diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik, rehabilitasi mental dan
pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal di ruang rawat inap.
92. Pelayanan Rawat Darurat adalah pelayanan kepada pasien tingkat lanjutan
yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah/menanggulangi resiko
kematian atau cacat, cidera diri atau menciderai orang lain.
93. Pelayanan Rawat Sehari (one day care) adalah pelayanan kepada pasien
untuk observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis
dan/atau pelayanan kesehatan lain dan menempati tempat tidur kurang
dari 1 (satu) hari.
94. Administrasi/Rekam Medis adalah pelayanan kepada pasien untuk
mendata identitas dan catatan yang diperlukan untuk kepentingan pasien
di RSUD.
95. Tindakan Medis Operatif adalah tindakan bedah yang dilaksanakan oleh
tenaga medis di RSUD.
96. Tindakan Medis Non Operatif adalah tindakan tanpa pembedahan yang
akan digunakan untuk penegakan diagnosa atau terapitik di RSUD.
97. Laboratorium adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien di RSUD
untuk menunjang penegakan diagnosa dan pemberian terapi.
98. Radiologi adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien di RSUD untuk
menunjang penegakan diagnosa dan pemberian terapi.
99. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggungjawab kepada pasien yang berkaitan dengan kesediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien di Rumah Sakit Umum Daerah.
100. Rehabilitasi Medik adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien di RSUD
untuk memperbaiki fungsi pada organ tertentu.
101. Pelayanan Akupuntur adalah serangkaian tindakan pengobatan dan/atau
perawatan yang menggunakan teknik stimulasi pada titik-titik tertentu
dipermukaan tubuh untuk tujuan promotive, preventif, sympotomatic dan
paliatif.
102. Pelayanan Konsultasi Khusus dan Medikolegal adalah pelayanan yang
diberikan dalam bentuk konsultasi kesehatan secara klinis, konsultasi gizi,
VCT, sanitasi, berhenti merokok, psikologi dan konsultasi yang
berhubungan dengan hukum di RSUD.
103. Pemeriksaan Elektro medik adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien
di RSUD untuk menunjang penegakan diagnosa dan pemberian terapi.
104. Pelayanan Ambulance adalah pelayanan transportasi untuk pasien yang
memerlukan pelayanan rujukan kerumah sakit lain di RSUD.
105. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
106. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional.
107. Bidan Praktik Swasta yang selanjutnya disingkat BPS adalah bidan praktik
perorangan yang memiliki tempat praktik, dan fasilitas penunjang praktik,
serta ikatan perjanjian kerjasama dengan Puskesmas tentang Pelayanan
Persalinan bagi peserta Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh
BPJS.
108. Pelayanan Pasien adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional, jaminan lainnya atau Pasien
umum di RSUD di Kabupaten Kutai Barat.
109. Pelayanan Medik adalah pelayanan terhadap pasien yang dilaksanakan oleh
tenaga medik.
110. Pelayanan Farmasi adalah pelayanan penyediaan dan informasi obat.
111. Jasa Pelayanan adalah imbalan yang diterima oleh pelaksana pelayanan
atas jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka observasi, diagnosisi,
pengobatan, konsultasi, visite, rehabilitasi medik dan mental atau
pelayanan lainnya.
112. Retribusi pemakaian kekayaan daerah, yang selanjutnya disebut retribusi,
adalah pungutan yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang
menggunakan/ menikmati pelayanan jasa pemakaian kekayaan daerah.
113. Pasar rakyat adalah suatu area tertentu tempat bertemunya pembeli dan
penjual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan proses jual-
beli berbagai jenis barang konsumsi melalui tawar menawar.
114. Jasa Sarana adalah imbalan yang diterima oleh palaksana atas jasa sarana
yang digunakan untuk kepentingan pelayanan kepada pasien atau
pelayanan lainnya.
115. Laboratorium Lingkungan adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Lingkungan
Hidup dan Pengelolaan Sampah Kabupaten Kutai Barat yang merupakan
unsur pelaksana operasional yang mempunyai kemampuan dan
kewenangan melaksanakan pengujian parameter kualitas lingkungan.
116. Rumah potong hewan yang selanjutnya disingkat RPH adalah sebuah
bangunan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan
pemotongan hewan.
117. Penginapan / Pesanggrahan /Villa adalah Tempat penginapan
/Pesanggrahan / Villa termasuk di dalamnya Wisma, asrama, balai
Istirahat Pekerja, Pondok, Hotel dan Motel yang dimiliki dan/atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah.
118. Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah adalah penjualan hasil
produksi usaha Pemerintah Daerah.
119. Kendaraan Umum adalah Kendaraan bermotor yang disediakan untuk
dipergunakan oleh umum dan dipungut bayaran.
120. Mobil Penumpang adalah setiap Kendaraan bermotor yang dilengkapi
sebanyak - banyaknya 8 (delapan) tempat duduk, tidak termasuk tempat
duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan
bagasi.
121. Bus Kecil adalah kendaraan bermotor dengan kapasitas 9(sembilan) sampai
dengan 16 (enam belas) dengan ukuran dan jarak antar tempat duduk
normal tidak termasuk tempat duduk pengemudi dengan panjang
kendaraan 4-6, 5 (empat sampai dengan enam setengah) meter.
122. Bus Sedang adalah kendaraan bermotor dengan kapasitas16(enam belas)
sampai dengan 28 (dua puluh delapan) dengan ukuran danjarak antar
tempat duduk normal tidak termasuk tempat duduk pengemudi dengan
panjang kendaraan lebih dari 6,5-9 (enam setengah sampai dengan
sembilan) meter.
123. Bus Besar adalah kendaraan bermotor dengan kapasitas lebih dari 28 (dua
puluh delapan) dengan ukuran dan jarak antar tempat duduk normal tidak
termasuk tempat duduk pengemudi dengan panjang kendaraan lebih dari 9
(sembilan) meter.
124. Taksi adalah Kendaraan Umum dengan jenis mobil penumpang yang diberi
tanda khusus dan dilengkapi dengan Argo Meter.
125. Izin Insidentil adalah izin yang dapat diberikan kepada perusahaan
angkutan yang telah memiliki izin trayek untuk menggunakan kendaraan
bermotor cadangannya menyimpang dari izin trayek yang dimiliki, berlaku
untuk 1 (satu) kali perjalanan pulang pergi dan paling lama 14 (empat
belas) hari dan tidak dapat diperpanjang.
126. Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada
pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai
dengan standar teknis bangunan gedung.
127. Usaha Perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum
untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan
menyimpan, mendinginkan, mengangkut atau mengawetkan ikan untuk
tujuan komersial.
128. Usaha Penangkapan Ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk
memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan
dengan alat atau dengan cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, mengolah atau mengawetkannya.
129. Usaha Pengangkutan Ikan adalah kegiatan yang khusus melakukan
pengumpulan dan/atau pengangkutan ikan dengan menggunakan kapal
pengangkutan ikan, baik yang dilakukan oleh perusahaan Perikanan
maupun oleh Perusahaan bukan Perusahaan Perikanan.
130. Usaha Pengumpulan dan Pengangkutan Ikan adalah usaha mengumpulkan
hasil perikanan dan mengangkut hasil perikanan ke tempat pemasaran
dengan menggunakan alat pengangkutan darat.
131. Usaha Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan dan atau membiakkan ikan, memanen hasilnya dengan alat
atau cara apapun, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan,
mengangkut atau mengawetkannya untuk tujuan komersial.
132. Usaha Pengolahan Hasil Perikanan adalah usaha atau perlakuan produksi
pada saat ikan dipanen dan/atau pengolahannya baik secara tradisional
yaitu pengolahan secara sederhana seperti pengeringan, pengasinan,
pemindangan, pengasapan dan lain-lain, maupun secara modern seperti
pembekuan dan pengalengan.
133. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara
asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
134. Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
135. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut RPTKA
adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu
tertentu.
136. Pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah pemberian Pengesahan RPTKA
Perpanjangan kepada pemberi kerja TKA.
137. Pengendalian Lalu Lintas adalah pungutan atas penggunaan ruas jalan
tertentu, koridor tertentu, kawasan tertentu pada waktu tertentu, dan
tingkat kepadatan tertentu.
138. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yangmerupakan batas
waktu bagi Wajib Retribusi untukmemanfaatkan jasa dan perizinan tertentu
dari Pemerintah Daerah.
139. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah
bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
140. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnyadisingkat SKRD, adalah
surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok
retribusi yang terutang.
141. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat
SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar
dari pada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
142. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah
surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif
berupa bunga dan/atau denda.
143. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan
data objek dan subjek retribusi, penentuan besarnya retribusi yang
terutang sampai kegiatan penagihan Retribusi kepada Wajib Retribusi serta
pengawasan penyetorannya.
144. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi Daerah dan/atau untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan Retribusi Daerah.
145. Penyidikan tindak pidana di bidang Retribusi adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang Retribusi
Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
146. Insentif Pemungut Retribusi yang selanjutnya disebut insentif adalah
tambahan penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan atas kinerja
tertentu dalam melaksanakan pemungutan retribusi.
BAB II
PAJAK
Bagian Kesatu
Umum
Paragraf 1
Jenis Pajak
Pasal 2
Jenis pajak yang diatur dalam peraturan daerah ini, meliputi:
a. PBB- P2;
b. BPHTB;
c. PBJT;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.
Pasal 3
Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a, huruf d, huruf e, huruf h
dan huruf i merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati
atau Pejabat yang disebut Official Assessment.
Pasal 4
Pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g
merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh
Wajib Pajak disebut Self Assessment
Bagian Kedua
Pajak Bumi dan Bangunan-P2
Paragraf 1
Nama, Objek Pajak dan Subjek Pajak
Pasal 5
Atas setiap Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan untuk sektor Perdesaan dan
Perkotaan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan dipungut dengan nama Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.
Pasal 6
(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada pasal (5) termasuk permukaan Bumi hasil
kegiatan reklamasi atau pengurukan.
(3) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada pasal (5)
adalah kepemilikan, penguasaan, dan/ atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan
Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai
barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan,
pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat
makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan
lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass
Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transifl, atau yang sejenis;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP
tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh
Pemerintah.
Pasal 7
(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas
Bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
Bangunan.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 8
(1) Dasar pengenaan PBB- P2 adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses
penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2
di dalam wilayah kabupaten Kutai Barat, NJOP tidak kena pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk
setiap Tahun Pajak.
(5) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan sebesar 50%
(lima puluh perseratus) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,
kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai
dengan perkembangan wilayahnya.
(7) Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 9
(1) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaaan dan Perkotaan ditetapkan sebesar
0.2%;
(2) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan
produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu
perseratus).
Pasal 10
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dengan tarif
PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan, Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 11
(1) Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah
menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
(3) Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak
objek PBB-P2.
Bagian Ketiga
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
Paragraf 1
Nama Objek Pajak Dan Subjek Pajak
Pasal 12
Atas setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dipungut pajak dengan
nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 13
(1) Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukandalamperseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah; dan
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. Hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan:
a. Untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan
lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau
barang milik Daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas
badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan
Menteri;
d. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. oleh oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
f. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah;
dan
g. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 15
(1) Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli
dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak
bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang
digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan
pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai
perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp
80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di
wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
(6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas
atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk
suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(7) Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat
menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada
nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Pasal 16
Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5 % (lima persen).
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
Pasal 17
(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi
nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 16.
(2) BPHTB yang tentang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan
berada.
Pasal 18
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual
beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar- menukar, hibah, hibah
wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha,
dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan
peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk
putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru
atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru
di luar pelepasan hak; atau
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
Bagian Keempat
PBJT
Paragraf 1
Nama, Objek Pajak dan Subjek Pajak
Pasal 19
Agar setiap pelayanan yang meliputi penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang
dan jasa tertentu dipungut dengan nama Pajak Barang dan Jasa tertentu.
Pasal 20
(1) Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa
tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/ atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.
Pasal 21
(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau
Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan,
penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi
dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi batas sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah)
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual
Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan
pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
Pasal 22
(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b adalah
penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah, Pemerintah Daerah dan
penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan
perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti
sosial lainnya yang sejenis;
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang
tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
e. Konsumsi tenaga listrik…………………….
Pasal 23
(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi jasa
penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang
rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalow/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan
panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
Pasal 24
(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet)
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan
untuk karyawannya sendiri;
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan
negara asing dengan asas timbal balik; dan
d. penyelenggaraan tempat parkir dalam kegiatan sosial keagamaan, kegiatan hari ulang
tahun kabupaten/kecamatan/kampung.
Pasal 25
(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan
secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan
perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana
salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
c.
Pasal 26
(1) Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan,
penyerahan, dan/ atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 27
(1) Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen atas barang
atau jasa tertentu.
(2) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar
pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku
di wilayah Kabupaten Kutai Barat.
(3) Dasar Pengenaan PBJT (Jasa Parkir, adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada penyelenggara tempat Parkir.
(4) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk
pemotongan harga Parkir dan Parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa
Parkir.
(5) Pembayaran Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jenis pembayaran
untuk Parkir tetap, progresif,
dan Parkir khusus termasuk penyediaan penitipan kendaraan bermotor.
(6) Dalam hal penyelenggara tempat Parkir tidak memungut sewa Parkir kepada penerima
jasa Parkir, dasar pengenaan Pajak Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dihitung dengan memperhatikan luas area Parkir, jumlah kendaraan yang diparkir
disetiap hari, jumlah hari operasional tempat penyelenggaraan Parkir dalam 1 (satu)
bulan dan jenis tarif sewa Parkir tetap.
Pasal 28
(1) Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif PBJT dari penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman untuk
nilai omzet:
a. melebihi Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) sampai dengan Rp. 3.000.000,- per bulan
ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen).
b. melebihi Rp. 3.000.000 (lima juta rupiah) per bulan ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen).
(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi
dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma
lima persen).
4. Tarif PBJT dari jasa perhotelan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
5. Khusus tarif Jasa Parkir ditetapkan sebagai berikut:
a. 5% (lima persen) bagi penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir;
b. 10% (sepuluh persen) bagi penyediaan atau penyelenggaraan tempagt parkir yang
dikelola oleh pihak ketiga; dan/atau
c. 10% (sepuluh persen) bagi pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
6. Tarif PBJT dari jasa kesenian dan hiburan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
7. Khusus tarif BPJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan
mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan, Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 29
(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan
PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud
dalam pasal 28.
(2) PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/
atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
(3) Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang
dan jasa tertentu dilakukan.
Pasal 30
(1) Saat terutang PBJT atas Tenaga Listrik ditetapkan pada saat konsumsi/pembayaran
atas Tenaga Listrik.
(2) Saat terutangnya Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan pada saat
orang pribadi/Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif PBJT atas Tenaga
Listrik dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau
dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
(3) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1
(satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
(4) Masa Pajak dan Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Paragraf 1
Nama, Objek Pajak dan Subjek Pajak
Pasal 31
Agar setiap penyelenggaraan Reklame di pungut Dengan nama Pajak Reklame.
Pasal 32
(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan /billboard/ videotron/ megatron;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat/stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame film/ slide;
i. Reklame peragaan;
j. Reklame didalam gedung (indoor); dan
k. Reklame yang menempel di dinding.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta
mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi
untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat
usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama
pengenal usaha atau profesi tersebut, dan diselenggarakan di atas tanah/bangunan
yang bersangkutan;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
e. Reklame yang memuat lembaga yang bergerak dibidang
f. pendidikan dan kesehatan dan diselenggarakan di atas tanah/bangunan yang
bersangkutan;
g. Reklame yang dipasang untuk kegiatan amal dan sosial pada lokasi yang
diperbolehkan;
h. Reklame yang memuat nama tempat ibadah;
i. Reklame diselenggarakan oleh perwakilan diplomatik, perwakilan konsulat,
perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan atau lembaga organisasi
internasional, serta partai politik; dan
j. semata-mata mengenai kepemilikan atau peruntukkan tanah dan diselenggarakan di
atas tanah tersebut.
Pasal 33
(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan
Reklame.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 34
(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan,
lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan
ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui
dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Perbup.
Pasal 35
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25 % (dua puluh lima persen).
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan dan Saat Pajak Terutang
Pasal 36
(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dengan tarif
Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
(2) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut
diselenggarakan.
(3) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf
e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha
penyelenggara Reklame terdaftar.
(4) Saat Pajak Terutang adalah sejak saat penyelenggaraan reklame
Bagian Keenam
PAT
Paragraf 1
Nama, Objek Pajak dan Subjek Pajak
Pasal 37
Agar setiap pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah dikenakan pajak dengan nama
Pajak Air Tanah.
Pasal 38
(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. keperluan adat;
Pasal 39
(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 40
(1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian
antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya
pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang
didasarkan atas faktor - faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/ atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/ atau
pemanfaatan air.
Pasal 41
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur dengan
berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(2) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah
mendapat pertimbangan dari Menteri.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 42
(1) Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) Penentuan volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan dihitung berdasarkan
kubikasi.
(3) Dalam hal pemanfaatan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum menggunakan
meterisasi, pemanfaatan air dihitung secara jabatan dengan prinsip rasionalitas dan
kewajaran.
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan, Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 43
(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan
PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
(2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah.
(3) Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 30 (tiga puluh) hari kalender.
(4) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/ atau pemanfaatan Air Tanah.
Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Paragraf 1
Nama, Objek Pajak dan Subjek Pajak
Pasal 44
Atas setiap pengambilan mineral bukan logam dan batuan, dipungut pajak dengan nama
Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan.
Pasal 45
(1) Setiap orang pribadi atau Badan yang mengambil mineral bukan logam dan batuan di
daerah dipungut pajak dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
(2) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. obsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. fosfat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeloit;
ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
meliputi pengambilan MBLB:
a. Untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjual belikan/dipindahtangankan;
b. Untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel
listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;
c. Untuk keperluan.
Pasal 46
(1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau badan yang
mengambil mineral bukan logam dan batuan;
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau badan yang
mengambil mineral bukan logam dan batuan.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 47
(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil
pengambilan mineral bukan logam dan batuan;
(2) Nilai Jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan volume /
tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga patokan masing-masing jenis
mineral bukan logam dan batuan;
(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual
rata-rata tiap tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah daerah
yang bersangkutan;
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di tetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu
bara.
Pasal 48
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 20 % (Dua puluh persen).
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan, Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 49
(1) Besaran Pokok MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan
pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif pajak MBLB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48;
(2) Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 30 (tiga puluh) hari kalender
(3) Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan MBLB.
(4) Saat pajak terutang adalah sejak saat pengambilan hasil Mineral Bukan Logam dan
Batuan.
Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet
Paragraf 1
Nama, Objek Pajak dan Subjek Pajak
Pasal 50
Agar setiap kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet oleh orang
pribadi atau Badan dikenakan pajak dengan nama Pajak Sarang Burung Walet.
Pasal 51
(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang
Burung Walet.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah:
a. pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan
pajak.
Pasal 52
(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
Paragraf 2
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak
Pasal 53
(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku
di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet.
Pasal 54
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus).
Paragraf 3
Wilayah Pemungutan, Masa Pajak dan Saat Pajak Terutang
Pasal 55
(1) Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagai mana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54.
(2) Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 30 (tiga puluh) hari kalender.
(3) Saat Pajak terutang adalah sejak penjualan Sarang Burung Walet.
(4) Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan
Sarang Burung Walet
Bagian Kesembilan
Opsen
Pasal 56
Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
a. PKB; dan
b. BBNKB.
Pasal 57
Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 merupakan Wajib Pajak
atas jenis Pajak:
a. PKB; dan
b. BBNKB.
Pasal 58
(1) Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
a. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh persen);
b. Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh persen)
Pasal 59
(1) Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Bupati.
BAB IV
PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN MASA PAJAK
Bagian Kesatu
Pendaftaran Wajib Pajak
Pasal 60
(1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d dan huruf e wajib mendaftarkan
objek Pajak kepada Bupati atau Pejabat dengan menggunakan:
a. Surat Pendaftaran Objek Pajak Daerah untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan
penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d dan huruf
e;
(2) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf
g, diwajibkan mendaftarkan diri kepada Bupati atau Pejabat untuk mendapatkan nomor
pokok Wajib Pajak Daerah.
(3) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri,
Bupati atau Pejabat secara jabatan menerbitkan nomor pokok Wajib Pajak Daerah
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
Pasal 61
(1) Masa Pajak Berlaku untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan
oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f, dan
huruf g.
(2) Ketentuan masa Pajak dikecualikan untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 huruf b.
BAB V
PENETAPAN, PEMBAYARAN, PELAPORAN, DAN KETENTUAN PAJAK
Bagian Kesatu
Penetapan Pajak
Pasal 62
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang atas jenis Pajak yang
dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d
dan huruf e berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 60 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD.
(2) Bupati secara jabatan dapat menerbitkan SKPD berdasarkan data yang diperoleh atau
dimiliki oleh Daerah dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(3) Bupati menetapkan Pajak terutang atas PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam PasaL 60 ayat (1) huruf b
dengan menggunakan SPPT.
(4) Bupati dapat menerbitkan SKPD dalam hal sebagai berikut:
a. SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara
tertulis oleh Bupati atau oleh Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam
Surat Teguran; dan/atau
b. Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
Pasal 63
(1) Besarnya Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan
Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dan huruf e dihitung dengan cara
mengalikan tarif Pajak dengsn dasar pengenaan Pajak.
(2) Besarnya Pajak terutang untuk PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan pengenaan Pajak setelah dikurangi
NJOP tidak kena Pajak.
(3) Dasar pengenaan Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d dan huruf e meliputi:
a. Nilai sewa Reklame untu Pajak Reklame;
b. Nilai perolehan air tanah untuk Pajak Air Tanah; dan
c. NJOP untuk PBB-P2
(4) Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah
yang ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 64
(1) Besarnya Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan
penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c,
huruf f dan huruf g dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar
pengenaan Pajak.
(2) Besarnya Pajak terutang untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak setelah
dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak.
(3) Dasar pengenaan Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan
penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c,
huruf f dan huruf g.
a. Nilai perolehan objek Pajak untuk BPHTB.
b. Jumlah yang dibayarkan oleh konsumen atas:
1. Jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran untuk
Pajak Restoran;
2. Nilai jual tenaga listrik untuk PBJT Tenaga Listrik;
3. Jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel untuk Pajak
Hotel;
4. Jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat
parkir untuk PBJT jasa parkir; dan
5. Jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara
hiburan untuk Pajak Hiburan.
c. Nilai jual hasil pengambilan MBLB untuk Pajak MBLB; dan
d. Nilai jual sarang burung walet untuk Pajak Sarang Burung Walet.
Pasal 65
(1) Jumlah pembayaran kepada hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) huruf
a termasuk;
a. Jumlah pembayaran setelah potong harga; dan
b. Jumlah pembayaran atas pembelian voucher menginap.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar kepada Hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (3) huruf a merupakan voucher atau bentuk lain yang diberikan secara cuma-cuma
dengan dasar pengenaan Pajak sebesar harga berlaku.
Pasal 66
(1) Jumlah pembayaran yang diterima restoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (3) huruf b termasuk;
a. Jumlah pembayaran setelah potongan harga; dan
b. Jumlah pembelian dengan menggunakan voucher makana dan minuman.
(2) Jumlah pembayaran yang seharusnya diterima restoran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (3) huruf b merupakan harga jual makanan dan minuman dalam hal
voucher atau bentuk lain yang diberikan secara cuma-cuma.
Pasal 67
(1) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat (3) huruf d
ditetapkan:
a. untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran, nilai jual
tenaga listrik adalah:
1. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian
kWh/variabel ynag ditagihkan dalam rekening listrik, untuk Tenaga Listrik yang
dibayar setelah penggunaan; dan
2. jumlah pembelian Tenaga Listrik.
b. untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, nilai jual Tenaga Listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku diwilayah Kabupaten Kutai
Barat.
(2) Berdasarkan nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan
Pajak atas penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
Bagian Kedua
Pembayaran Pajak Terutang
Pasal 68
(1) Wajib Pajak membayar atau menyetor Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
(2) Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk
jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf d dan huruf e paling lama:
a. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimnya SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 ayat (1); dan
b. 6 (enam) bulan sejak diterima SPPT sebagaiman dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3).
(3) Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk
jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f dan huruf g paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya Pajak.
Pasal 69
(1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f dan huruf g
mengisi SPTPD.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat omzet dan jumlah
Pajak terutang dalam satu masa Pajak.
Pasal 70
(1) Wajib Pajak menyampaikan SPTPD yang dilampiri SSPD kepada Bupati atau Pejabat
yang ditunjuk untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f dan huruf
g.
(2) SSPD untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dipersamakan
sebagai SPTPD.
(3) SSPD untuk BPHTB dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
(4) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah berakhirnya masa
Pajak.
(5) Bupati melakukan Penelitian atas SPTPD dan SSPD yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
Bagian Keempat
Ketetapan Pajak
Pasal 71
(1) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Bupati dapat
menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri
berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal
2 huruf b, huruf c, huruf f dan huruf g.
(2) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal:
a. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain, Pajak yang terutang tidak atau
kurang dibayar;
b. SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) tidak disampaikan kepada
Bupati dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
c. kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi.
(3) Jumlah Pajak yang tercantum dalam SKPDKB yang diterbitkan dalam hal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dihitung secara jabatan.
(4) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data
baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan
Pajak yang terutang.
(5) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang
terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit Pajak.
Pasal 72
(1) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (2) huruf a dan huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat
dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya Pajak.
(2) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100%
(seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak
melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan Pemeriksaan.
(4) Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (2) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua
puluh lima persen) dari pokok Pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya Pajak.
(5) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.
Pasal 73
(1) Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Bupati.
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati
tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak
dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang
Pajak tersebut.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan,
Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
BAB VI
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 74
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan;
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan
pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan;
(3) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Bupati
dibayar dengan menggunakan SKPD/SPPT/SPTPD/SKPDKB/SKPDKBT atau dokumen
lain yang dipersamakan;
(4) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa karcis
dan nota perhitungan;
(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
menggunakan SPTPD/SKPDKB/SKPDKBT atau dokumen lain yang dipersamakan.
Pasal 75
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat
menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak terutang tidak
atau kurang dibayar;
2) Jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu tertentu dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam surat teguran;
3) Jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung
secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru, dan atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang;
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit
pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka (1). dan angka 2). dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2 % (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak
saatterutangnya pajak.
(3) Jumlah Kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100 %
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak
melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(5) Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a angka (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25 % (dua puluh
lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 %
(dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya
pajak.
Pasal 76
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan
Bupati atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, dan ketentuan lainnya berkaitan dengan
pemungutan pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 77
(1) Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB,
dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Bupati;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak
Pasal 78
(1) Bupati dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah
tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif ditambah bunga sebesar
2 % (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat
terutangnya pajak;
(3) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan
sanksi administratif berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan dan ditagih
melalui STPD.
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal 79
(1) Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan
paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak;
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi jangka
waktu paling lama satu (1) bulan sejak tanggal diterbitkan;
(3) Bupati atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan
dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 80
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT,SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak
dan atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat
Paksa;
(2) Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan.
Bagian Keempat
Keberatan dan Banding
Pasal 81
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang
ditunjuk atas suatu:
a. SPPT;
b. SKPD;
c. SKPDKB;
d. SKPDKBT;
e. SKPDLB;
f. SKPDN; dan
g. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan perundang
undangan perpajakan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan
alasan yang jelas;
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi kerena keadaan diluar kekuasaannya;
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak;
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
(2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan;
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Bupati atau pejabat yang
ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai
tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal 82
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal surat
keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan;
(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak, atau nenambah besarnya pajak terutang;
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak
memberi suatu keputusan, keputusan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 83
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati;
(2) Permohonan Banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
dalam bahasa indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut;
(3) Pengajuan Permohonan Banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai
dengan satu (1) bulan sejak Tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal 84
(1) Jika Pengajuan Keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat)bulan;
(2) Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkanya SKPDLB;
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 50 % (lima puluh persen) dari jumlah pajak
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan;
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa
denda sebesar 50 % (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
dikenakan;
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi Administratif
Pasal 85
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat membetulkan
SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung dan atau kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang undangan perpajakan
daerah;
Pasal 86
(1) Atas kelebihan pembayaran Pajak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Bupati;
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas bulan), sejak diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memberikan keputusan;
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati
tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak
dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan;
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu utang pajak tersebut;
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB;
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan,
Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak;
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB VIII
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 87
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib
Pu8ajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan daerah;
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan atau Surat Paksa; dan
b. adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak
langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, kadaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat
Paksa tersebut;
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak
dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah;
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran
dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 88
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi kerena hak untuk melakukan penagihan
sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan;
(2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan piutang Pajak Daerah yang sudah
kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(3) Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan
Peraturan Bupati.
BAB IX
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 89
(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan;
(2) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuaan atau
pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 90
(1) Bupati berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan daerah tentang
Pajak Daerah;
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan obyek pajak yang terhutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu
dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan
Peraturan Bupati.
BAB X
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 91
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dapat diberi insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu;
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 92
(1) Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perpajakan daerah;
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan
perpajakan daerah;
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan;
b. Pejabat dan atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan
keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang
melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang
Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk;
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan
memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya;
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama
tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara
pidana dan perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 93
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang
khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang
Perpajakan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana;
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah agar keterangan
atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan, tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana perpajakan Daerah;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan,
sehubungan dengan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah;
d. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen berkenaan dengan tindak pidana dibidang
perpajakan Daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan
bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan Daerah;
g. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat
pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda,
dan atau dokumen yang dibawa;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. Menghentikan Penyidikan;
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 94
(1) Wajib Pajak yang kerena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar;
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Pasal 95
Tindak pidana dibidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu
lima (5) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya
Bagian Tahun Pajak atau berakhirnyaTahun Pajak yang bersangkutan.
Pasal 96
(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang karena kealpaannya tidak
memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah);
(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar;
(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan
sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib
Pajak, kerena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 97
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, dan Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2)
merupakan penerimaan daerah.
BAB XIV
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi
Pasal 98
(1) Jenis Retribusi terdiri atas:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
c. Retribusi Perijinan Tertentu.
(2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian ijin
tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
(4) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan
yang digunakan/dinikmati.
Bagian Kedua
Jenis Pelayanan Retribusi
Pasal 99
a. Pelayanan kesehatan;
b. Pelayanan kebersihan;
c. Pelayanan parkir di tepi jalan umum;
d. Pelayanan pasar; dan
e. Pengendalian lalu lintas.
(1) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (1) huruf a meliputi:
(2) apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan
nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
(3) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi
Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat
kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk
fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
f. pelayanan jasa kepelabuhanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
j. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi
organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak
mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf c meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung;
b. penggunaan tenaga kerja asing; dan
c. pengelolaan pertambangan rakyat.
(5) Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaiman dimaksud pada ayat (4) huruf a
merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah.
(6) Retribusi pengunaan tenaga kerja asing sebagaiman dimaksud pada ayat (4) huruf b
merupakan dana kompensasi pengunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana
pengunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.
(7) Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf
c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang
izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi
kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
Bagian Ketiga
Retribusi Pelayanan Kesehatan
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek Retribusi
Pasal 100
Dengan nama Retribusi Pelayanan Kesehatan dipungut Retribusi atas pelayanan
kesehatan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 101
(1) Objek Retribusi pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan di puskesmas,
puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan dan tempat pelayanan
kesehatan lainnya yang sejenis, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh pemerintah
daerah;
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan adalah pelayanan pendaftaran
dan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan Pihak
Swasta.
Pasal 102
(1) Subjek Retribusi adalah Orang Pribadi dan/atau Badan yang mendapatkan pelayanan
kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kutai Barat.
(2) Wajib Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah orang pribadi dan/atau Badan yang
menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran retribusi pelayanan kesehatan, termasuk pemungutan atau pemotongan
Retribusi Pelayanan Kesehatan.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 103
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan penggunaan layanan tindakan medik, kelas
rawat inap, dan fasilitas penunjang diagnostik.
Pasal 104
Retribusi Pelayanan Kesehatan termasuk Golongan Retribusi Jasa Umum.
Paragraf 3
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Jasa
Pasal 105
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi
dimaksudkan untuk menutup biaya penyelenggaraan Kesehatan dengan
mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan aspek keadilan;
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk biaya investasi prasarana,
biaya operasional dan pemeliharaan;
(3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan atas dasar jenis pelayanan dan kelas perawatan, dengan
memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu.
Paragraf 4
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 106
(1) Struktur dan tarif retribusi digolongkan berdasarkan jenis pelayanan kesehatan.
(2) Struktur dan besaran tarif retribusi terdiri dari komponen jasa sarana dan jasa
pelayanan yang ditentukan berdasarkan perhitungan harga satuan (unit cost)
(3) Struktur dan besaran tarif retribusi pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Kutai
Barat tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
TARIF LAYANAN
RSUD HARAPAN INSAN SENDAWAR KABUPATEN KUTAI BARAT
C PELAYANAN PENYAKIT
MATA
1 Ekstraksi Corpus Alineum 16.800 10.500 16.800 RFS 42.000
Mata Tanpa Komplikasi
F LABORATORIUM
F.1 Kimia Darah
1 Gula Darah Stick 12.000 6.000 12.000 RFS 30.000
2 Gula Darah Photometer 9.000 4.500 9.000 RFS 22.500
F.2 Hematologi
1 Darah Rutin 12.000 6.000 12.000 RFS 30.000
F.3 Urinologi
1 Urin rutin Stick 9.000 4.500 9.000 RFS 22.500
F4 Lain Lain
1 Widal 36.000 18.000 36.000 RFS 90.000
G RADIOLOGI
1 Manus 21.000 10.500 21.000 RFS 52.500
H ELEKTROMEDIK
1 Pengukuran BMI 4.800 2.400 4.800 RFS 12.000
A RAWAT INAP
1 Rawat Inap Umum 15.000 7.500 15.000 RFS 37.500
A RAWAT JALAN
A TINDAKAN PREVENTIF
1 Pembersihan Karang Gigi 9.000 4.500 9.000 RFS 22.500
(Manual Scalling) Satu Regio
B. PENAMBALAN
1 Tumpatan Sementara Untuk 18.000 9.000 18.000 RFS 45.000
Perawatan Saraf (Kunjungan I)
5 Visum Luar
12 Pelayanan Ambulans
Paragraf 5
Tata Cara Penetapan Retribusi
Pasal 107
(1) Penetapan Retribusi dilakukan dengan menerbitkan SKRD
(2) Bentuk dan isi SKRD sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh
Bupati
Paragraf 6
Peninjauan Tarif Retribusi
Pasal 108
(1) Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan dapat ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun
sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) ketentuan lebih lanjut mengenai peninjauan Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 7
Wilayah Pemungutan
Pasal 109
Retribusi terutang dipungut di Wilayah Daerah tempat pelayanan diberikan
Paragraf 8
Tata Cara Pemungutan
Pasal 110
Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Pasal 111
(1) Pembayaran retribusi dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang
ditunjuk, dengan menggunakan SSRD berdasarkan jumlah yang ditetapkan
dalam SKRD, SKRD;
(2) Dalam hal pembayaran retribusi dilakukan ditempat lain yang ditunjuk, maka
hasil penerimaan retribusi harus di setor ke Rekening Kas Umum Daerah 1
(satu) hari kerja.
Paragraf 9
Tata Cara Pembayaran
Pasal 112
(1) Pembayaran Retribusi harus dilakukan secara tunai dan lunas.
(2) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau
kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua
persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
ditagih dengan menggunakan STRD.
(3) Penagihan retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan
Surat Teguran.
(4) Tata Cara pelaksanaan pemungutan retribusi ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 10
Saat Terutang
Pasal 113
Saat retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD
Bagian Keempat
Retribusi Pelayanan Kebersihan
Paragraf 1
Nama, Objek, Subjek dan Wajib Retribusi
Pasal 114
Dengan nama Retribusi Pelayanan Kebersihan dipungut Retribusi atas pelayanan
Kebersihan.
Pasal 115
(1) Objek Retribusi pelayanan Kebersihan adalah pelayanan kebersihan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
a. pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi TPS;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke
lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah;
c. penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir sampah;
d. pelayanan kebersihan pada event/kegiatan tertentu.
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. pelayanan kebersihan jalan umum;
b. taman milik Pemerintah Daerah;
c. tempat ibadah; dan
d. sosial dan
e. Tempat umum lainnya.
Pasal 116
(1) Subjek Retribusi meliputi orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan kebersihan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
dan/atau penyedia jasa berupa pelayanan kebersihan.
(2) Dikecualikan dari Subjek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
kelompok masyarakat/badan usaha milik desa yang melakukan pengambilan dan/atau
pengangkutan secara mandiri.
(3) Wajib Retribusi pelayanan kebersihan adalah orang pribadi atau Badan yang menurut
ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran Retribusi Pelayanan Kebersihan, termasuk pemungutan atau pemotongan
Retribusi Pelayanan Kesehatan.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 117
Tingkat penggunaan jasa Pelayanan Kebersihan diukur berdasarkan Frekuensi layanan
dan/atau volume sampah
Pasal 118
Komponen biaya Retribusi meliputi:
a. biaya pengumpulan;
b. biaya pengangkutan;
c. biaya operasioanal dan pemeliharaan; dan/atau
d. biaya pengolahan dan/atau pemrosesan akhir.
Paragraf 3
Prinsip penetapan, Struktur, Besarnya Tarif dan Masa Retribusi
Pasal 119
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan ditetapkan
sebagai berikut:
2. Pendidikan
Swasta Satuan Pendidikan
a. Prasekolah/ Rp.9.000,00/ yang dikelola oleh
Dasar/ bulan
Menengah swasta.
b. Perguruan Ti nggi
Negeri Pendidikan Rp.9.000,00/
Non Formal bulan
3. Pelayanan 1. Rumah Sakit Rumah sakit yang
Persampaha Pemerintah tidak dikelola oleh
n/ a. Rumah Sakit Tipe Pemerintah
Rp.100.000,00/
A Kabupaten Kutai
Kebersihan di bulan
b. Rumah Sakit Tipe B Barat.
Sarana Rp. 90.000,00/
c. Rumah Sakit Tipe
Kesehatan C bulan
d. Rumah Sakit Tipe Rp. 80.000,00/
D bulan
Rp. 70.000,00/
2. Rumah Sakit Bulan
Swasta
a. Rumah Sakit Tipe
A Rumah Sakit yang
b. Rumah Sakit Tipe dikelola oleh
Rp.150.000,00/
B swasta.
bulan
c. Rumah Sakit Tipe Rp.140.000,0
C 0/
bulan
Rp.120.000,0
0/
3. Sarana bulan
Pelayanan
Kesehatan
antara lain Sarana Pelayanan
a. Klinik Kesehatan yang
tidak dikelola oleh
Praktek Dokter/ Rumah
Pemerintah
Bersalin
Kabupaten Kutai
Rp.100.000,00/
bulan Barat.
Rp. 50.000,00/
bulan
4. Pelayanan 1. RumahTangga Sampah Rumah
Persampahan Rumah Tangga Rp. 10.000,00/ Tangga Gedung
bulan
/ Kebersihan Pemerintah
2. Pemerintah
ditempat/ Pemerintah Rp.250.000,00/
bangunan bulan
non usaha
5. Pelayanan 1. Usaha Mikro Rp. 15.000,00/ Usaha mikro
Persampah antara lain bulan adalah usaha
a maracangan, produktif milik
n/Kebersih warung dan orang
an depot.
ditempat perorangan
bangunan 2. Usaha kecil dan/atau badan
untuk a. Usaha kecil Rp. 30.000,00/ usaha perorangan.
usaha antara lain bulan
apotek,wartel/ Usaha Kecil
warnet dan adalah usaha
panti-panti ekonomi produktif
pijat/salon yang berdiri
b. Kios penjahit Rp. 30.000/ sendiri, yang
pakaian bulan dilakukan oleh
orang perorangan
atau badan usaha
yang bukan
merupakan anak
3. Usaha menengah
perusahaan atau
a. Usaha menengah Rp. 50.000,00/
bukan cabang
1, antara lain bulan
perusahaan
minimarket/
bengkel sepeda
motor, industri Usaha Menengah
rumah tangga dan
bengkel las. 1 adalah adalah
usaha ekonomi
b. Swalayan produktif yang
berdiri sendiri,
c. Tambal Ban yang dilakukan
oleh orang
d. Usaha Menengah Rp. perorangan atau
2, antara lain 100.000,00/ badan usaha yang
bengkel mobil, Bulan bukan merupakan
dealer sepeda anak perusahaan
motor/mobil, Rp. 20.000,00/ atau cabang
showroom mobil Bulan perusahaan.
dan ruko/
Rp.
pertokoan, dll
100.000,00/
bulan
4. Usaha Besar meliputi
antara lain pabrik, Usaha Menengah
2 adalah adalah
pergudangan, bank
usaha ekonomi
dan real estate. produktif yang
berdiri sendiri,
yang dilakukan
5. Perusahaan Luas oleh orang
25.000 perorangan atau
m2keatas badan usaha yang
Rp. bukan merupakan
6. RESTORAN 100.000,00/ anak perusahaan
Bulan atau cabang
perusahaan.
7. HOTEL
a. Hotel Melati/
Losmen/Non Usaha Jasa yang
Bintang dikelola/ dikuasai
1) Di bawah 50
oleh perorangan
kamar
2) Diatas 50 atau badan hukum
kamar swasta dengan
b. Hotel tingkat klasifikasi
Berbintang sesuai dengan
Rp.
500.000,00/ keberadaanya.
8. PASAR
1. Pasar bulan
Pemerintah
4. Pedagang Kaki
Lima
Rp.
5. Membuang
100.000,00/
sampah secara
langsung ke TPA bulan
Rp.
atau Kelebihan 150.000,00/
Volume sampah. bulan
6. Membuang Rp.
sampah tinja ke 200.000,00/
instansi bulan
pengolahan
lumpur tinja/IPL
Rp. 5.000,00/
(minimal 2 kios/bulan
3
M )
Rp.10.000,00/
kios/bulan
Rp.
75.000,00/
bulan
Rp. 10.000,00/
bulan
Rp.
30.000,00/Satu
Kali Buang
Sampah
Rp. 15.000,00/
satu kali buang
Pasal 120
(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan indeks harga dan harga perkembangan perkenomian.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Bupati sepanjang tidak menambah objek Retribusi.
Pasal 121
(1) Masa Retribusi ditetapkan 1 (satu) bulan.
(2) Dikecualikan dari masa Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi:
a. pedagang/penyedia jasa pada kios, los, pelataran pasar; dan
b. penyelenggara event/kegiatan tertentu.
(3) Pengecualian masa Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan 1 (satu)
hari.
(4) Saat Retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
Paragraf 4
Tata cara pemungutan, pembayaran dan setoran Retribusi
Pasal 122
(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
karcis, kupon, atau kartu berlangganan.
(3) Pembayaran Retribusi harus dibayar lunas sekaligus.
(4) Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
setiap bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan isi SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 123
(1) Pembayaran Retribusi dilakukan di tempat pemungutan Retribusi Pelayanan
Kebersihan.
(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanda bukti pembayaran
yang sah.
(3) Seluruh hasil penerimaan Retribusi wajib disetor ke Kas Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, dan tempat
pembayaran Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 5
Saat terutang, istansi pemungut dan denda retribusi
Pasal 124
(1) Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang bayar, ditagih dengan menggunakan
STRD.
(2) Penagihan Retribusi yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului
dengan Surat Teguran.
(3) Pengeluaran Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan setelah 7
(tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran.
(4) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran, Wajib Retribusi harus
melunasi Retribusi yang terutang.
(5) Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penagihan dan penerbitan Surat Teguran
diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 124
(1) Instansi pemungut adalah Perangkat Daerah yang mempunyai tugas dan fungsi di
bidang persampahan.
(2) Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 125
(1) Wajib Retribusi yang tidak melaksanakn kewajibannya membayar Retribusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (4) sehingga merugikan keuangan daerah
diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 3 (tiga)
kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang bayar.
(2) Pengenaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kewajiban
Wajib Retribusi untuk membayar Retribusi.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan Negara.
Bagian Kelima
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 126
Dengan nama Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dipungut Retribusi atas
pelayanan parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 127
(1) Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah penyediaan pelayanan
parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
ketentuan Perundang-undangan;
(2) Subjek Retribus Pelayanan Parkir Di Tepi jalan Umum adalah orang pribadi dan/atau
Badan yang memperoleh pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh
pemerintah Daerah;
(3) Wajib Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi jalan Umum adalah Orang pribadi dan/atau
Badan yang menurut peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi
Pelayanan Parkir di tepi jalan Umum.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 128
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis kendaraan dan jangka waktu parkir.
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 129
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Parkir di tepi jalan umum ditetapkan
sebagai berikut:
Bagian Keenam
Retribusi Pelayanan Pasar
Paragraf 1
Nama, Objek, Subjek dan Golongan
Pasal 129
Dengan nama Retribusi Pelayanan Pasar dipungut Retribusi atas Pelayanan Fasilitas Pasar
Rakyat yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 130
(1) Objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, meliputi jenis pelayanan
fasilitas Pasar berupa:
a. Toko;
b. Kios;
c. Los;
d. Bak;
e. Warung; dan
f. Pelataran.
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelayanan fasilitas Pasar yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, dan pihak Swasta.
Pasal 131
(1) Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati
Pelayanan Fasilitas Pasar yang dikelola Pemerintah Daerah.
(2) Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang - undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi,
termasuk pemungut atau pemotongan Retribusi.
Pasal 132
Retribusi Pelayanan Pasar di Daerah digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 133
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan lokasi, jenis, dan luas bangunan serta luas
pemakaian tanah di lokasi Pasar di Daerah.
Paragraf 3
Prinsip dalam Penetapan Struktur dan Besaran Tarif Retribusi
Pasal 134
(1) Prinsip dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Pasar dilakukan dengan
memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat,
aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan
pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
Paragraf 4
Struktur dan Besaran Tarif Retribusi
Pasal 135
Struktur dan besaran tarif Retribusi Pelayanan Pasar ditetapkan sebagai berikut:
Pasal 136
(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Bupati.
Paragraf 5
Wilayah dan tata cara pemungutan
Pasal 137
Retribusi terutang dipungut di wilayah Daerah.
Pasal 138
Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan.
Pasal 139
(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
karcis, kupon, dan kartu langganan.
(3) Pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi paling lambat tanggal 15 (lima belas) setiap
bulan.
(4) Dalam hal Wajib Retribusi tidak membayar sesuai waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap
bulan dari Retribusi yang terutang dan ditagih dengan menggunakan STRD.
(5) Pemungutan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didahului dengan
surat teguran.
(6) Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 140
(1) Pemungutan Retribusi dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang Pasar melalui juru pungut yang ditunjuk dan ditetapkan
oleh Kepala Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang
Pasar atas nama Bupati.
(2) Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada Wajib
Retribusi.
Pasal 141
(1) Retribusi Pelayanan Pasar dipungut secara manual atau secara elektronik.
(2) Pemungutan Retribusi secara manual maupun secara elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(3) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa:
a. karcis;
b. surat tanda setoran (STS); atau
c. kwitansi.
(4) Pemungutan Retribusi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan fingerprint atau kartu e-Retribusi.
(5) Penggunaan fingerprint atau kartu e-Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 142
(1) Pemungutan Retribusi menggunakan SKRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141
ayat (2) dinyatakan sah apabila telah ditandatangani Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Pasar.
(2) Karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) huruf a, sebelum dipergunakan
harus diperporasi atau diberi tanda pengesahan oleh Perangkat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pendapatan Daerah.
(3) Surat tanda setor (STS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) huruf b,
dinyatakan sah apabila telah mendapat tanda pengesahan dari bank penyimpan Kas
Umum Daerah.
(4) Kwitansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (3) huruf c, dinyatakan sah
apabila telah mendapat tanda pengesahan dari Bendahara Penerimaan Perangkat
Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Pasar.
Bagian Ketujuh
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 143
Dengan nama Retribusi Pengendalian Lalu Lintas adalah pungutan atas penggunaan ruas
jalan tertentu, koridor tertentu, kawasan tertentu pada waktu tertentu, dan tingkat
kepadatan tertentu.
Pasal 144
(1) Objek Retribusi Pengendalian Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada
waktu tertentu oleh kendaraan bermotor perseorangan dan barang.
(2) Jenis perizinan di bidang angkutan jalan meliputi:
a. izin usaha angkutan orang;
b. izin usaha angkutan barang;
c. izin trayek mobil bus;
d. izin operasi mobil penumpang;
e. izin insidentil;
f. izin usaha agen jasa angkutan;
g. izin usaha mobil derek;
h. izin usaha sekolah mengemudi;
i. izin usaha tempat parkir khusus;
j. izin penggunaan jalan diluar fungsinya;
k. izin usaha bengkel umum;
l. izin usaha bengkel khusus / tertunjuk; dan
m. rekomendasi andalalin.
(3) Subjek Retribusi Pengendalian Lalu Lintas meliputi orang perseorangan dan Badan
hukum yang menggunakan kendaraan bermotor perseorangan dan barang pada ruas
jalan, koridor, atau kawasan yang dikenakan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas.
(4) Tidak termasuk kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. sepeda motor;
b. kendaraan penumpang umum;
c. kendaraan pemadam kebakaran; dan
d. ambulans.
Pasal 145
(1) Ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 144 ayat (3) ditetapkan berdasarkan kriteria:
a. memiliki 2 (dua) jalur jalan yang masing-masing jalur memiliki paling sedikit 2 (dua)
lajur; dan
b. tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum massal dalam trayek.
(2) Angkutan umum massal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi
standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di
bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 146
(1) Waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) ditentukan
berdasarkan tingkat kepadatan lalu lintas pada suatu ruas jalan, koridor atau kawasan
tertentu.
(2) Tingkat kepadatan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kriteria:
a. memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan
pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,9 (nol koma
sembilan); dan
b. kecepatan rata-rata sama dengan atau kurang dari 10 (sepuluh) km/jam,
berlangsung secara rutin pada setiap hari kerja.
(3) Penetapan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan setelah berkoordinasi dengan forum lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 147
(1) Pemerintah daerah yang akan melaksanakan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
terlebih dahulu mengajukan permohonan penetapan pemenuhan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 146 kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana
dan prasarana lalulintas dan angkutan jalan.
(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan menetapkan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan.
Pasal 148
Untuk pelaksanaan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas, Pemerintah Daerah wajib
menyediakan sistem dan peralatan yang diperlukan untuk menerapkan pembatasan lalu
lintas kendaraan bermotor perseorangan dan barang.
Pasal 149
(1) Penerimaan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas diperuntukkan bagi peningkatan kinerja
lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Peningkatan kinerja lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
meliputi kegiatan:
a. perbaikan pada ruas jalan, koridor atau kawasan yang dilakukan pembatasan;
b. pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan pada ruas jalan,
koridor, atau kawasan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan
dan/atau persimpangan;
c. pemeliharaan dan pengembangan teknologi untuk kepentingan lalu lintas; dan
d. peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Peningkatan pelayanan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit meliputi kegiatan:
a. penambahan dan pemeliharaan jalur dan lajur dan/atau jalan khusus untuk
angkutan umum massal;
b. penambahan dan pemeliharaan sarana dan fasilitas pendukung angkutan umum
massal; dan
c. penggunaan dan pengembangan teknologi informasi untuk kepentingan pelayanan
angkutan umum massal.
Pasal 150
(1) Efektivitas pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diukur
berdasarkan biaya kemacetan.
(2) Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi biaya
modal, biaya operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya bunga.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 151
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan pemanfaatan ruang, penggunaan sarana
prasarana atau fasilitas yang diberikan Pemerintah Daerah serta jangka waktu lamanya
izin.
Paragraf 3
Prinsip dan Sasaran Dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 152
(1) Dalam penetapan tarif Retribusi Pengendalian Lalu Lintas harus memenuhi prinsip
penetapan dan sasaran yang meliputi:
a. efektivitas pengendalian lalu lintas; dan
b. dapat menutup biaya penyelenggaraan.
(2) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan
pada tujuan untuk mengganti sebagian atau seluruhnya biaya penyelenggaraan
pemberian izin, kecuali retribusi Izin Usaha Angkutan Orang dan Izin Usaha Angkutan
Barang.
(3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi
Pengendalian Lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdasarkan
kebijaksanaan Daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa, kemampuan
masyarakat dan aspek keadilan.
(4) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam rangka pembinaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang,
penggunaan sarana prasarana atau fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
Paragraf 4
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 153
Struktur dan besarnya tarif retribusi pengendalian lalu lintas dimaksud dalam Pasal 152
ditetapkan sebagai berikut:
5. Izin Insidentil:
a. Mobil bus kapasitas Rp. 15.000,- 1 x perjalanan
tempat duduk 10 - 15
b. Mobil bus kapasitas Rp. 20.000,- 1 x perjalanan
tempat duduk 16 - 27
c. Mobil bus kapasitas Rp. 25.000,- 1 x perjalanan
tempat duduk 28 ke atas
d. Mobil penumpang/taksi Rp. 10.000 1 x perjalanan
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 155
Dengan nama Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir,
Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainya dipungut retribusi atas pelayanan
penyediaan tempat pasar grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas pasar /pertokoan yang
dikontrakan, yang disediakan/ atau yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 156
(1) Objek Retribusi Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir,
Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainnya adalah penyediaan fasilitas pasar grosir
berbagai jenis barang dan fasilitas pasar grosir dan/atau pertokoan yang dikontrakkan,
yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah;
(2) Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas
pasar yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD dan Pihak Swasta;
(3) Subjek Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar Grosir, Pertokoan,
dan Tempat Kegiatan Usaha Lainya adalah orang pribadi dan/atau Badan yang
menggunakan/memanfaatkan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang dan fasilitas
pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang disediakan / diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah;
(4) Wajib Retribusi Pasar Grosir dan/ atau Pertokoan adalah orang pribadi dan/atau badan
yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Pasar Grosir
dan/atau Pertokoan.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 157
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis bangunan, fasilitas, klasifikasi tempat
dan jangka waktu.
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 158
Struktur dan besaran tarif Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar
Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
156 ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Paragraf 4
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha Berupa Pasar
Grosir, Pertokoan, dan Tempat Kegiatan Usaha Lainya adalah sebagai berikut :
a. Biaya Pendaftaran Masuk :
1. Kontruksi beton (Permanen) :
a. Ruko (Rumah Toko) Rp. 3.500.000,00
b. Petak Toko Rp. 2.500.000,00
2. Semi Permanen :
a. Petak Toko Rp. 1.500.000,00
b. Petak Kios Tertutup Rp. 500.000,00
c. Petak Kios Perancang Rp. 200.000,00
d. Petak Kios Terbuka Rp. 100.000,00
2. Semi Permanen :
a. Ruko Rp. 250,00
b. Toko dan kios Rp. 200,00
c. Rumah makan Rp. 150.00
d. Pemancangan/ Penjual daging Rp. 100,00
e. Los Rp. 75,00
f. Warung dan jasa Rp. 50,00
g. Peralatan Rp . 50,00
c. Tempat usaha dagang dan jasa yang menggunakan bangunan tempat lapangan
terbuka yang disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk berjualan Rp. 1.000,-/hari;
d. Biaya masuk untuk huruf a angka 1 dan 2 berlaku untuk masa lima tahun, dan
dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 159
Pemindahtanganan/pengalihnamaan penyewa-penyewa petak Pasar Grosir/ Pertokoan
harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk.
Bagian Kesembilan
Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi dan Hasil Hutan
Termasuk Fasilitas Lainya Dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 160
Dengan nama Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil Bumi dan Hasil
Hutan Termasuk Fasilitas Lainya Dalam Lingkungan Tempat Pelelangan dipungut atas
penyediaan tempat yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk
melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan
serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan;
Pasal 161
(1) Objek Retribusi Tempat Pelelangan adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara
khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak,
hasil bumi dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang
disediakan ditempat pelelangan;
(2) Termasuk objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang
dikontrakkan oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat
pelelangan;
(3) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat
pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD dan Pihak
Swasta;
(4) Subjek Retribusi Tempat Pelelangan adalah orang pribadi dan/atau Badan yang
menggunakan/menikmati fasilitas tempat pelelangan;
(5) Wajib Retribusi Tempat Pelelangan adalah orang pribadi dan/atau Badan yang menurut
Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran
Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Tempat Pelelangan.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 162
Tingkat penggunaan jasa pemanfaatan fasilitas lain yang disediakan ditempat pelelangan
ikan Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya diukur berdasarkan
jasa pemakaian, fasilitas, jenis, luas lahan, volume, jumlah dan waktu pemakaian.
Paragraf 3
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi
Pasal 163
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan
Ikan, Ternak, Hasil Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya dalam
Lingkungan Tempat Pelelangan didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang
diperoleh apabila pelayanan Tempat Pelelangan Ikan dilakukan secara efisien dan
berorientasi pada harga pasar.
Paragraf 4
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 164
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Penyediaan Tempat Pelelangan Ikan, Ternak, Hasil
Bumi, dan Hasil Hutan Termasuk Fasilitas Lainnya dalam Lingkungan Tempat Pelelangan
ditetapkan sebagai berikut:
No Jenis Tarif Retribusi Satuan Besar Tarif Retribusi
1. Es Balok Rp/balok 42.000,00
2. Ruang Pendingin/ Cold
Storage
a. Cold Storage (CS) Rp/kg/3 hari 1.000,00
b. Air Blast Frizzer Rp/kg 3.500,00
(ABF)
3. Parkir
a. Motor Rp/parkir 1.500,00
b. Mobil/pick up Rp/parkir 2.500,00
c. Truck Rp/parkir 4.000,00
4. Darmaga (Tambat Kapal) Rp/GT/Etmal 1.100,00
Bagian Ketiga
Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 165
Dengan nama Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan dipungut
retribusi atas pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 166
(1) Objek Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan adalah
pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah;
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelayanan tempat parkir yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah,
BUMN, BUMD dan Pihak Swasta;
(3) Subjek Retribusi Tempat Khusus Parkir adalah orang pribadi dan/atau Badan yang
menggunakan/memanfaatkan fasilitas tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki
dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
(4) Wajib Retribusi Tempat Khusus Parkir adalah orang pribadi dan/atau Badan yang
menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Tempat Khusus
Parkir.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 167
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jangka waktu dan jenis kendaraan yang
menggunakan tempat parkir khusus.
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 168
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan
Jalan ditetapkan sebagai berikut:
Bagian Keempat
Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan / Villa
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 169
Dengan nama Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa dipungut Retribusi atas
pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki dan/atau
dikelola oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 170
(1) Objek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa adalah pelayanan tempat
Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah;
(2) Dikecualikan dari objek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat
penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh
Pemerintah, BUMN, BUMD dan Pihak Swasta;
(3) Subjek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa adalah orang pribadi
dan/atau Badan yang menggunakan/menikmati fasilitas tempat
penginapan/pesanggrahan/villa;
(4) Wajib Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa adalah orang pribadi dan/atau
badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi
Tempat Penginapan/Pesanggrahan /Villa.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 171
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan fasilitas kamar, jangka waktu pemakaian dan
pelayanan.
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 172
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa ditetapkan
sebagai berikut:
1. Penginapan/mess pemda
N OBJEK RETRIBUSI TARIF SATUAN
O (RP)
1. Penginapan/Mess AC
1. Single Bed 100.000,00 Kamar/ Hari
2. Double Bed 150.000,00 Kamar/ Hari
3. Triple Bed 175.000,00 Kamar/Hari
3. Ruang Pertemuan/Rapat
1. Kapasitas 60 orang 525.000,00 Per Hari
350.000,00 Per Hari
Bagian Kelima
Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 173
Dengan nama Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak dipungut Retribusi atas
pelayanan penyediaan fasilitas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak termasuk
pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan,
dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 174
(1) Objek Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak adalah pelayanan penyediaan
fasilitas rumah pemotongan hewan termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan
sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah;
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan yang disediakan, dimiliki,
dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan Pihak Swasta;
(3) Subjek Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak adalah orang pribadi
dan/atau Badan yang menggunakan/menikmati fasilitas rumah pemotongan hewan
termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong,
yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
(4) Wajib Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak adalah orang pribadi atau
Badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi
Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 175
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan, jenis fasilitas, jenis hewan
ternak dan jangka waktu.
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 176
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan Ternak ditetapkan
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan daging dan hewan yang di potong ddirumah potong hewan dikenakan
retribusi:
Jenis Tarif (Rupiah)
a. Sapi, Kerbau, Kuda Rp 14.000/ekor
b. Babi, Kambing, Domba Rp 7.500/ekor
c. Babi Guling/babi dibawah umur Rp 1.500/ekor
d. Ayam potong, ayam, itik Rp 250/ekor
3. Pemeriksaan daging hewan yang dipotong diluar rumah potong hewan dikenakan
retribusi:
Tarif (Rupiah)
a. Sapi, Kerbau dan Kuda Rp 12.000/ekor
b. Kambing, Domba, Biri-biri Rp 1.000/ekor
c. Ayam Rp 500/ekor
4. Pemeriksaan ulang terhadap daging dari luar daerah Kabupaten Kutai Barat (atas
permintaan dan tidak wajib) dikenakan retribusi sebesar:
Tarif (Rupiah)
a. Sapi, Kerbau dan Kuda Rp 1.000/ekor
b. Kambing, Domba, Biri-biri Rp 1.000/ekor
c. Ayam Rp 750/ekor
Bagian Keenam
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 177
Dengan nama Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan dipungut retribusi atas pelayanan jasa
kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan,
dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 178
(1) Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan adalah pelayanan jasa kepelabuhanan,
termasuk fasilitas lainnya yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah
Daerah;
(2) Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelayanan jasa
kepelabuhanan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN,
BUMD dan Pihak Swasta;
(3) Subjek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan adalah orang pribadi atau Badan yang
memperoleh pelayanan jasa kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya dilingkungan
pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
(4) Wajib Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan adalah orang pribadi dan/atau Badan yang
menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Pelayanan
Kepelabuhanan.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 179
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan dan jangka waktu. Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 180
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Jasa Kepelabuhanan ditetapkan sebagai
berikut:
1. Retribusi Kepelabuhan
Bagian Ketujuh
Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olah raga
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 181
Dengan nama Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olah Raga dipungut
retribusi atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki
dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
Pasal 182
(1) Objek Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olah raga adalah pelayanan
tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah;
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki,
dan/atau dikelola oleh Pemerintah;
(3) Subjek Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olah raga adalah orang
pribadi dan/atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan tempat rekreasi,
pariwisata dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah
Daerah;
(4) Wajib Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olah raga adalah orang
pribadi dan/atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi
diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 183
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan dan jangka waktu pemakaian
fasilitas yang ada di tempat rekreasi, pariwisata dan tempat olahraga.
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 184
Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olah
Raga ditetapkan sebagai berikut:
b. Tarif sewa penggunaan fasilitas dan tempat olah raga sebagai berikut:
NAMA SARANA GOL. TARIF TARIF (RP) KET
OLAH RAGA
1 2 3 4
1. Gedung olah Perhari 2. 500.000 Perhari
raga…..
2. Stadion Sepak Perhari 1. 500.000 Perhari
Bola …..
3. Lapangan Golf…. 3 Hol 100.000 Perhari
7 Hol 150.000 Perhari
9 Hol 170.000 Perhari
Bagian Kedelapan
Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang Dengan Menggunakan
Kendaraan Di Air
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 185
Dengan nama Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang Atau Barang Dengan
Menggunakan Kendaraan di Air dipungut retribusi atas pelayanan penyeberangan orang
atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah;
Pasal 186
(1) Objek Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan
Kendaraan di Air adalah pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan
menggunakan kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
(2) Dikecualikan dari Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelayanan penyeberangan yang dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan Pihak
Swasta;
(3) Subjek Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan
Kendaraan di air adalah orang pribadi dan/atau Badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air
yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah;
(4) Wajib Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan
Kendaraan di Air adalah orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-
undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk
pemungut atau pemotong Retribusi Penyeberangan di Air.
Paragraf 2
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 187
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis pelayanan, jenis fasilitas dan jangka
waktu.
Paragraf 3
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 188
Prinsip Penetapan, Struktur dan besarnya tarif Retribusi Pelayanan Penyeberangan Orang
Atau Barang Dengan Menggunakan Kendaraan di Air ditetapkan sebagai berikut:
Bagian Kesembilan
Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek Retribusi
Pasal 189
Dengan nama Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah dipungut
Retribusi sebagai pembayaran atas penjualan hasil produksi usaha daerah.
Pasal 190
(1) Objek Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah adalah penjualan
hasil produksi usaha benih ikan yang dimiliki dan atau dikelola oleh Pemerintah
Daerah.
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penjualan hasil produksi usaha benih ikan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola
oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak
swasta.
Pasal 191
Subjek Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah adalah orang pribadi
atau Badan yang membeli hasil produksi yang dimiliki dan / atau dikelola oleh Pemerintah
Daerah.
Paragraf 2
Golongan Retribusi
Pasal 192
Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah digolongkan sebagai retribusi
jasa usaha.
Paragraf 3
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 193
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan biaya yang dikeluarkan dan produksi yang
dihasilkan.
Paragraf 4
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi
Pasal 194
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Penjualan Hasil Produksi
Usaha Pemerintah Daerah didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana climaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang
diperoleh apabila pelayanan Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah
Daerah dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Paragraf 5
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 195
(1) Struktur tarif Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah digolongkan berdasarkan
jenis dan ukuran hasil produksi yang dijual.
(2) Struktur dan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
b. Tarif Retribusi bibit dan/atau induk ternak hasil produksi usaha peternakan:
KOMODITI PETERNAKAN HARGA
PENJUALAN TERNAK UNGGAS
1. Ternak Unggas
A. Ayam
a. DOC (1 - 2 hr) 5.000 - 12.000/ekor
b. Starter (>2 hr - 2 bl) 12.000 - 30.000/ekor
c. Grower (> 2bl - 5 bl) 30.000 - 40.000/ekor
d. Layer (> 5 bl) 30.000/kg
B. Itik
a. DOC (1 - 2 hr) 5.000 - 10.000/ekor
b. Starter (>2 hr - 2 bl) 15.000 - 25.000/ekor
c. Grower (> 2bl - 5 bl) 25.000 - 40.000/ekor
d. Layer (> 5 bl) 50.000/ekor
2. Kelinci
a. Anak (1 hr - 3 bl) 15.000-25.000/ekor
b. Muda (>3 bl - 6 bl) 25.000-60.000/ekor
c. Dewasa (> 6 bl) 60.000-80.000/ekor
3. Ternak Kecil
A. Kambing
a. Anak (1 hr - 8 bl) 300.000-500.000/ekor
b. Muda (>8 bl - 12 bl) 500.000-1.500.000/ekor
c. Dewasa (> 12 bl) 1.500.000-2.500.000/ekor
B. Domba
a. Anak (1 hr - 8 bl) 300.000-500.000/ekor
b. Muda (>8 bl - 12 bl) 500.000-1.500.000/ekor
c. Dewasa (> 12 bl) 1.500.000-2.500.000/ekor
4 Ternak Besar
Sapi
a. Anak (1 hr - 6 bl) Ekor 1.000.000-2.500.000/ekor
b. Muda (>6 bl - 12 bl) Ekor 2.500.000-5.000.000/ekor
c. Dewasa (> 12 bl) 5.000.000-15.000.000/ekor
PENJUALAN BENIH/TELUR TERNAK
1. Ternak Unggas
A. Telur Ayam
a. Telur tetas Butir 2.500-5.000/butir
b. Telur konsumsi 2.000/butir
B. Telur Itik
a. Telur tetas 3.000,-/butir
b. Telur konsumsi 2.000,-/butir
PENJUALAN TERNAK POTONG
1. Ayam Kg/berat hidup 25.000-35.000/kg berat hidup
2. Itik Kg/berat hidup 25.000-35.000/kg berat hidup
3. Kambing/Domba Kg/berat hidup 45.000-65.000/kg berat hidup
4. Sapi 50.000-70.000/kg berat hidup
PENJUALAN PRODUKSI SUSU
1. Susu Sapi -
2. Susu Kambing -
Komoditi Pertanian
BENIH PADI-PALAWIJA
BENIH PADI 50.000 - 60.000,-
1. BS (Benih Penjenis) 25.000 - 30.000,-
2. BD (Benih Dasar) 15.000 - 20.000,-
3. BP (Benih Pokok) 10.000 - 15.000,-
4. BR (Benih Sebar) 10.000 - 15.000,-
5. Benih Bina -
6. Konsumsi Eks Benih -
7. Konsumsi 8.000 - 12.000,-
Paragraf 6
Peninjauan Tarif Retribusi
Pasal 196
(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Bupati.
Bagian Kesepuluh
Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah Yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas
dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah Dengan
Tidak Mengubah Status Kepemilikan Sesuai Dengan Ketentuan peraturan PerUndang-
Undangan.
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 197
Semua pemakaian kekayaan milik daerah dipungut retribusi dengan nama retribusi
pemakaian kekayaan daerah.
Pasal 198
(1) Objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah adalah pemakaian kekayaan daerah;
(2) Pemakaian kekayaan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemakaian :
a. Penyewaan tanah;
b. Bangunan gedung dan ruangan;
c. Kendaraan bermotor
d. Alat – alat berat; dan
e. Alat inventaris lainnya.
(3) Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut; dan
b. penggunaan kekayaan daerah oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 199
Subjek retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati kekayaan
daerah.
Pasal 200
Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan pemakaian
kekayaan daerah dan wajib melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau
pemotong retribusi.
Paragraf 2
Golongan Retribusi
Pasal 201
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha.
Paragraf 3
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 202
Tingkat penggunaan jasa pemakaian kekayaan daerah diukur berdasarkan jenis dan jangka
waktu pemakaian kekayaan daerah.
Paragraf 4
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 203
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi pemakaian kekayaan
daerah didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak;
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah keuntungan yang
diperoleh apabila pelayanan jasa tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi
pada harga pasar.
Paragraf 5
Struktur dan Besaran Objek Retribusi
Pasal 204
Struktur dan besaran tarif Retribusi Pemakaian kekayaan Derah ditetapkan sebagai
berikut:
Pemakaian Tanah :
Tarif retribusi=3,33 % x (LT x NT) Keterangan:
LT:Luas Tanah (m2)
NT:Nilai Tanah berdasarkan hasil penilaian dengan estimasi terendah
menggunakan NJOP (per m2)
Pemakaian Prasarana Bangunan : Tarif retribusi=6,64% x HP x Nsp
Keterangan:
HP:
1 2 3 4
16 Rumah Dinas Daerah Untuk seluruh Golongan 12% dari Gaji Pokok
Rumah Dinas Penghuni per tahun
b. /Barang/ Kendaraan
Khusus
b.1. Rp. 500.000 sekali derek
b.1. Mobil penumpang
umum
b.2. Mobil b.2. Rp. 600.000 sekali Derek
Bus/Barang/Kendara
an Khusus
c. Diluar wilayah
Kabupaten Kutai Barat
c.1. Rp 800.000 sekali Derek
c.1. Mobil Penumpang
Umum
c.2. Rp 900.000 sekali Derek
c.2. Mobil Bus
/Barang/ Kendaraan Khusus
4 ExaVator 300.000/jam
b. KegiatanSos
ial
non profit
2 Kursi Jati a. Komersial a. Rp. 4.000,00
per unit/ hari
b. Kegiatansosi b. 50% dari tariff
al fretribusi
non profit
Pararaf 6
Peninjauan Kembali Retribusi
Pasal 205
(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali;
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian;
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Bupati.
BAB XVI
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 206
(1) Jenis Retribusi Perizinan Tertentu terdiri atas:
a. Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung;
b. Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing; dan
c. Retribusi Pengolahan Pertambangan Rakyat.
(2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan
pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah
Daerah.
(3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/ atau perizinan.
(4) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas
layanan yang digunakan/ dinikmati.
Bagian Kesatu
Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek
Pasal 207
Dengan nama Retribusi PBG dipungut Retribusi atas penerbitan PBG dan
penerbitan SLF Bangunan Gedung atau Prasarana Bangunan Gedung.
Pasal 208
(1) Objek Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada pasal 207 adalah penerbitan
PBG dan SLF.
(2) Penerbitan PBG San SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan layanan dan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG,
inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan
plakat SLF.
(3) Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
a. pembangunan baru;
b. Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau
SLF;
c. PBG perubahan untuk:
1. perubahan fungsi Bangunan Gedung;
2. perubahan lapis Bangunan Gedung;
3. perubahan luas Bangunan Gedung;
4. perubahan tampak Bangunan Gedung;
5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung
yang mempunyai aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
6. perkuat Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau
berat;
7. perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya;
atau
8. perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
(4) PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan
perawatan.
(5) Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
penerbitan PBG dan SLF untuk bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan.
Paragraf 2
Subjek Reribusi
Pasal 209
(1) Subjek Retribusi PBG adalah setiap orang pribadi atau Badan yang memperoleh
PBG dan SLF.
(2) Wajib Retribusi PBG yang selanjutnya disebut Wajib Retribusi, adalah orang
pribadi atau badan yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi
PBG.
Paragraf 2
Golongan Retribusi
Pasal 210
Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung digolongkan sebagai Retribusi Perizinan
Tertentu.
Paragraf 4
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 211
(1) Besarnya Retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara
tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan Retribusi
PBG.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya
penyelenggaraan penyediaan layanan.
(3) Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. indeks lokalitas dan Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan
Gedung; atau
b. harga satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung untuk prasarana
Bangunan Gedung.
(4) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
a. bangunan gedung; dan
b. prasarana bangunan gedung
(5) Formula bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri
atas:
a. luas total lantai;
b. indeks terintegrasi; dan
c. indeks bangunan gedung terbangun.
(6) Formula prasarana bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b terdiri dari:
a. volume;
b. indeks prasarana bangunan gedung; dan
c. indeks bangunan gedung terbangun.
Paragraf 5
PRINSIP DAN SASARAN PENETAPAN BESARAN TARIF RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Prinsip dan Sasaran
Pasal 212
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi PBG didasarkan pada
tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan
penerbitan PBG dan SLF.
(2) Biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi penerbitan dokumen PBG dan SLF, inspeksi Penilik bangunan,
penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari penerbitan
PBG dan SLF tersebut.
Bagian Kedua
Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi
Pasal 213
(1) Struktur dan besaran tarif Retribusi PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan
pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk :
a. Bangunan Gedung.
Tarif PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan rumus :
V x I x Ibg
x HS pbg
V : Volume
I : Indeks Prasarana Bangunan Gedung
Ibg : Indeks Bangunan GedungTerbangun
HSpbg : harga satuan Retribusi Prasarana Bangunan
Gedung
(2) Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
rumus:
If x (bp x Ip) x Fm
If : Indeks Fungsi
Bp : Bobot Parameter
Ip : Indeks Parameter
Fm : Faktor Kepemilikan
(3) Struktur indeks perhitungan Retribusi, SHST dan tarif Retribusi prasarana
bangunan tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(4) Tarif sebagaimana dimaksud ayat (3) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun
sekali.
(5) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
(6) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Paragraf 1
Nama, Objek Dan Subjek Retribusi
Pasal 214
Dengan nama Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing dipungut Retribusi sebagai
pembayaran atau pemberian atas Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Pasal 215
(1) Objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 adalah pemberian
Penggunaan Tenaga Kerja Asing kepada pemberi kerja Tenaga Kerja Asing yang
telah memiliki IMTA dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Tidak termasuk objek Retribusi pemberian Penggunaan Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Perpanjangan IMTA bagi instansi
Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial,
lembaga keagamaan dan jabatan tertentu dilembaga pendidikan.
Pasal 216
(1) Subjek Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah Pemberi Kerja Tenaga
Kerja Asing yang memperoleh Perpanjangan IMTA.
(2) Wajib Retribusi pemberian Penggunaan Tenaga Kerja Asing adalah yang
selanjutnya disebut Wajib Retribusi, adalah orang pribadi atau Badan yang
diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja
Asing.
Paragraf 2
Golongan Retribusi
Pasal 217
Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing digolongkan sebagai Retribusi Perizinan
Tertentu.
Paragraf 3
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 218
Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya
penyelenggaraan izin.
Pasal 219
(1) Struktur dan besarnya tarif retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing
ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan ke Kas Daerah
dengan uang rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat
pembayaran retribusi oleh Wajib Retribusi.
Paragraf 4
Prinsip Sasaran Penetapan Besaran Tarif Retribusi
Pasal 220
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja
Asing didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaran Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan,
penegakan hukum, penatausahaan, biaya dampak negatif dari Perpanjangan
IMTA, dan kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja
lokal.
(3) Prinsip Penetapan, Struktur dan besarnya tarif Retribusi Penggunaan Tenaga
Kerja Asing ditetapkan sebesar US$100 (seratus dolar Amerika Serikat) per
orang/per bulan pada saat diterbitkannya SKRD berdasarkan notifikasi.
Paragraf 5
Masa Retribusi dan Saat Retribusi Terutang
Pasal 221
(1) Masa Retribusi Perpanjangan IMTA adalah jangka waktu yang ditetapkan dalam
izin perpanjangan yang diberikan.
(2) Saat Retribusi Terutang atas Perpanjangan IMTA adalah pada saat
diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Bagian Ketiga
Retribusi Pengelolaan Pertambangan Rakyat
Paragraf 1
Nama, Objek dan Subjek Retribusi
Pasal 222
Dengan nama Retribusi Pengelolaan Pertambangan Rakyat dipungut retribusi
sebagai pembayaran atas pelayanan pemberian Izin Usaha Pertambangan Rakyat.
Pasal 223
(1) Obyek Retribusi adalah Pemberian Izin Usaha Pertambangan Rakyat untuk :
a. Penyelidikan Umum;
b. Eksplorasi;
c. Eksploitasi;
d. Pengolahan / Pemurnian;
e. Pengangkutan / Penjualan;
f. Jasa pertambangan umum.
(2) Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Izin Usaha
Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
Paragraf 2
Golongan Retribusi
Pasal 224
Retribusi Pengelolaan Pertambangan Rakyat digolongan sebagai Retribusi Perizinan
Tertentu.
Paragraf 3
Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa
Pasal 225
Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi Pengelolaan Pertambangan Rakyat diukur
berdasarkan jenis dan jumlah izin yang diberikan untuk tiap bidang Usaha
Pertambangan Rakyat.
Paragraf 4
Prinsip Penetapan, Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 226
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi didasarkan pada tujuan
untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya Pelaksanaan Pemberian Izin.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penelitian
administrasi perusahaan, peninjauan lapangan, penyediaan data dan biaya
transportasi dalam rangka pengawasan dan pengendalian.
Paragraf 5
Struktur dan Besarnya Tarif
Pasal 227
(1) Struktur Tarif Retribusi digolongkan berdasarkan jenis izin bidang Usaha
Pertambangan Rakyat.
NO JENIS IZIN USAHA PENGELOLAAN TARIF RETRIBUSI
PERTAMBANGAN RAKYAT
1. SKPKP Penyelidikan Umum Rp. 250/Ha
2. SKPKP Eksplorasi Rp. 500/Ha
3. SKPKP Eksploitasi Rp. 5.000/Ha
4. SKPKP Pengolahan/Pemurnian Rp. 1.000.000
5. SKPKP Pengangkutan Rp. 1.000.000
6. SKPKP Penjualan Rp. 1.000.000
7. SIPD- PU Rp. 5.000/Ha
8. SIPD - Ex Rp.10.000/Ha
9. SIPD - E Rp. 150.000/Ha.
10 SIPD - P Rp. 500.000
.
11 SIPD - Pn Rp. 500.000
.
12 SIUJPU Rp. 250.000
.
BAB XVII
Wilayah Pemungutan
Pasal 228
Retribusi terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pelayanan diberikan.
Pasal 229
Saat terutangnya retribusi adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau dokumen
lain yang dipersamakan.
BAB XVIII
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi
Pasal 230
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan
dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan
masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan
tersebut;
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan
pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal;
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa,
penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
Pasal 231
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha
didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak;
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan
secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Pasal 232
(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu
didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya
penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan;
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan
hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin
tersebut.
Pasal 233
(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali;
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 234
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Pajak yang masih terutang berdasarkan
Peraturan mengenai jenis Pajak Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Peraturan Daerah ini, sepanjang tidak diatur dalam Peraturan yang bersangkutan
masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat
terutang.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 235
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Kutai
Barat Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Kutai Barat Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kutai
Barat Tahun 2010 Nomor 146) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Kutai Barat Tahun 2013 Nomor 33), dinyatakan dicabut dan tidak
berlaku lagi.
Pasal 236
Hal hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang
mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 89
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan Penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kutai Barat.
Ditetapkan di Sendawar,
Pada tanggal, ... ... 2022
FX. YAPAN
Diundangkan di Sendawar,
Pada tanggal, ... ... 2022.
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN KUTAI BARAT,
AYONIUS
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT TAHUN 2022 NOMOR...
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH
NOMOR… … 2022
TENTANG
PAJAK DAERAH DANA RETRIBUSI DAERAH
I. PENJELASAN UMUM.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022
tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan otonomi yang luas, nyata,
dan bertanggungjawab, pembiayaan pemerintahan dan bersumber dari pajak
daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD, khususnya bersumber
dari Pajak Daerah perlu ditingkatkan sehingga kemandirian daerah dalam hal
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dapat terwujud.
Untuk meningkatkan pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayanan
kepada masyarakat serta meningkatkan pertumbuhan perekonomian di daerah
diperlukan penyediaan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
hasilnya memadai.
Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien,
Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak
dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber
perpajakan Daerah yang baru, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang
berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan
untuk:
(1) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga
menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak;
(2) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh
lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan;
(3) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan
(4) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,
sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya
simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak daerah
berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas
parkir vallet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga
(objek olahraga permainan).
Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB.
Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil
pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa
menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat
sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan
memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level
pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Sementara itu,
penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru
diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan
pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah
yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD
akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan
ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1) : Cukup Jelas.
Ayat (2) : Cukup Jelas
Ayat (3)
Huruf a : Cukup Jelas
Huruf b : Cukup Jelas
Huruf c : Cukup Jelas
Huruf d : Cukup Jelas
Huruf e : Cukup Jelas
Huruf f : Cukup Jelas
Huruf g : Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur
kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya
terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis” adalah jalur
yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk
moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada
stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas
makan/minum, dan fasilitas hiburan stasiun.
Huruf h : Cukup Jelas
Huruf I : Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas.
Pasal 8
Ayat 1 Cukup Jelas.
Ayat 2 Cukup Jelas.
Ayat 3 Cukup Jelas.
Ayat 4 Cukup Jelas.
Ayat 5 Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup Jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Cukup Jelas.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1) : Cukup Jelas.
Ayat (2) : Cukup Jelas.
Ayat (3) : Cukup Jelas.
Ayat (4) : Cukup Jelas.
Ayat (5) : Cukup Jelas.
Ayat (6) : Cukup Jelas.
Ayat (7) : Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain
waris atau hibah waris yang berlaku pada kebudayaan dan adat
istiadat di Daerah tertentu dimana tanah/bangunan yang diperoleh
tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Cukup Jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1) : Penjelasan ???
Ayat (2) : Cukup Jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup Jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf a : Cukup Jelas.
Huruf b : Cukup Jelas.
Huruf c : Cukup Jelas.
Huruf d : Cukup Jelas.
Huruf e : Cukup Jelas.
Huruf f : Cukup Jelas.
Huruf g : Cukup Jelas.
Huruf h : Cukup Jelas.
Huruf i : Cukup Jelas.
Huruf j: Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang
difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan
kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi
selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk
persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu tahun).
Huruf k : Cukup Jelas.
Ayat (2)
Huruf a : Cukup Jelas.
Huruf b : Cukup Jelas.
Huruf c : Cukup Jelas.
Huruf d : Cukup Jelas.
Huruf e : Yang dimaksud dengan “persewaan ruangan untuk
diusahakan di hotel” adaalah ruangan yang disewa oleh
pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti
kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di
dalam hotel.
Pasal 26
Cukup Jelas.
Pasal 27
Cukup Jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a : Cukup Jelas.
Huruf b : Cukup Jelas.
Huruf c : Cukup Jelas.
Huruf d : Cukup Jelas.
Huruf e : Cukup Jelas.
Huruf f : Cukup Jelas.
Huruf g : Cukup Jelas.
Huruf h : Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah
bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena
dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang
berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti
permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang,
paintball, dan sebagainya
Huruf i : Yang dimaksud dengan “olahraga Permainan” adalah bentuk
persewaan ruang alat alat olahraga seperti tempat kebugaran
(fitness center), lapangan futsal, lapangan teknis, kolam
renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas
penggunaannya.
Huruf j : Cukup Jelas
Huruf k : Cukup Jelas
Huruf l : Cukup Jelas
Pasal 30
Ayat (1) : Cukup Jelas.a
Ayat (2) : Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib
Pajak termasuk penyediaan jasa akomodasi yang dipasarkan oleh
pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel.
Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah
pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang
menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan
penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan adalah kegiatan penggunaan Air
Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Pasal 41
Ayat (1) : Cukup Jelas.
Ayat (2) : Cukup Jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
II. RETRIBUSI
Pasal 99 : Cukup jelas.
Pasal 100 : Cukup jelas.
Pasal 101 ayat (1) : Cukup jelas.
ayat (2) huruf a : Pendaftaran adalah pelayanan terhadap orang yang
berkunjung ke Puskesmas untuk keperluan
observasi, diagnosis, pengobatan tanpa tindakan.
huruf b : Pelayanan tindakan kesehatan umum adalah
pelayanan tindakan yang diberikan kepada
seseorang dalam rangka observasi, diagnosis,
pengobatan yang meliputi ; Pelayanan klinik umum,
pelayanan bedah, pelayanan penyakit mata,
pelayanan penyakit Telinga Hidung Tenggorokan
(THT), pelayanan klinik IMS dan Napza,
Laboratorium, Radiologi, Elektromedik.
Sarana Medis = unit cost penggunaan sarana medis + unit cost pemeliharaan sarana
medis
Unit Cost penggunaan sarana medis = Depresiasi
Tindakan
Sarana nonmedis = unit cost penggunaan sarana non medis + unit cost pemeliharaan sarana non
medis
Unit Cost penggunaan sarana non medis = Depresiasi
Tindakan
LAMPIRAN :
PERATURAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR ....... TAHUN 2022 TENTANG
PENGELOLAAN TARIF RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN PADA UNIT
PELAKSANA TEKNIS DAERAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RATAMA
KABUPATEN KUTAI BARAT
DRAFT TARIF LAYANAN
UPTD RSUD PRATAMA KABUPATEN KUTAI BARAT
A. RAWAT JALAN
3. Tarif Asuhan Keperawatan (Askep) dan Asuhan Kebidanan (Askeb) Mandiri Rawat Jalan
No Poliklinik JS JP Tarif
1 Poliklinik Spesialis Rp2.640 Rp1.760 Rp4.400
2 Poliklinik Gigi dan Mulut Rp1.680 Rp1.120 Rp2.800
3 Poliklinik Umum Rp1.680 Rp1.120 Rp2.800
Poliklinik Kesehatan Ibu
4 dan Anak - Keluarga Rp1.680 Rp1.120 Rp2.800
Berencana (KIA-KB)
4. Tarif Asuhan Kefarmasian Rawat Jalan
No Klinik JS JP Tarif
1 Konseling Farmasi Rp23.160 Rp15.440 Rp38.600
2 Pengkajian Resep Rp1.680 Rp1.120 Rp2.800
B. RAWAT INAP
C. RAWAT DARURAT
F. TINDAKAN MEDICOLEGAL
No Kelompok JS JP Tarif
Visum kecelakaan Lalu
1 Rp49.000 Rp32.000 Rp81.000
Lintas
2 Visum kekerasan fisik Rp75.400 Rp50.000 Rp125.400
3 Visum kekerasan seksual Rp91.400 Rp60.000 Rp151.400
4 Visum jenazah Rp107.100 Rp72.000 Rp179.100
B. RADIOLOGI
NO JENIS PEMERIKSAAN JS JP Tarif
1 Kepala AP/PA Rp50.580 Rp33.720 Rp84.300
2 Gigi Intraoral Rp59.820 Rp39.880 Rp99.700
3 Thoraks AP/PA Rp44.160 Rp29.440 Rp73.600
4 Pelvis AP Rp54.300 Rp36.200 Rp90.500
Ext. Atas Digiti AP-Lateral
5 Rp55.560 Rp37.040 Rp92.600
(Paket)
Ext. Bawah Digiti AP-
6 Rp56.040 Rp37.360 Rp93.400
Lateral (Paket)
7 Columna Vertebrae Rp56.520 Rp37.680 Rp94.200
Oesophagomaagduodenogr
8 Rp86.400 Rp57.600 Rp144.000
aphy
9 Colon In Loop Rp60.480 Rp40.320 Rp100.800
Blast Niech Oversicht
10 Rp64.440 Rp42.960 Rp107.400
(BNO)
Uretrocystography
11 Rp189.000 Rp126.000 Rp315.000
(Retrograde)
12 Fistulography Rp189.000 Rp126.000 Rp315.000
13 Cholangiography T-Tube Rp189.000 Rp126.000 Rp315.000
14 Hysterosalphyngography Rp189.000 Rp126.000 Rp315.000
Intravenous Pyelography
15 Rp116.280 Rp77.520 Rp193.800
(IVP)
16 USG Rp63.780 Rp42.520 Rp106.300
C. ELEKTROMEDIK
NO JENIS LAYANAN JS JP Tarif
1 Elektrokardiography (EKG) Rp80.280 Rp53.520 Rp133.800
E. KAMAR JENAZAH
NO JENIS LAYANAN JS JP Tarif
Penyimpanan Jenazah /
1 Rp109.800 Rp72.000 Rp181.800
Hari
2 Perawatan Jenazah Rp231.400 Rp154.000 Rp385.400
3 Pemulasaran Jenazah Rp253.500 Rp169.000 Rp422.500
4 Rekonstruksi Jenazah Rp657.800 Rp438.000 Rp1.095.800
PELAYANAN ADMINISTRASI