Anda di halaman 1dari 167

BUPATI MAJALENGKA

PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN BUPATI MAJALENGKA


NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN DAN PELAYANAN PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAJALENGKA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Peraturan


Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak
Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik, dan ketentuan
Pasal 4 ayat (5), Pasal 13 ayat (3), Pasal 54, Pasal 60 ayat (5), Pasal
66 ayat (6), Pasal 69 ayat (5), Pasal 70 ayat (4), Pasal 73 ayat (5),
Pasal 84, Pasal 87 ayat (7), Pasal 89 ayat (4), Pasal 90 ayat (6),
Pasal 99 ayat (5), Pasal 100 ayat (3), Pasal 102 ayat (4), Pasal 103
ayat (1), Pasal 103 ayat (11), Pasal 104 ayat (7), Pasal 105 ayat (8),
Pasal 113 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023
Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
serta ketentuan Pasal … Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka
Nomor … Tahun … tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Pengelolaan dan
Pelayanan Pajak Daerah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa
Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor
43) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta
dan Kabupaten Subang dengan mengubah Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2851);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-Undang ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6856);
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5601) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6856);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2022 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6757);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
lndonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran
Negara Republik lndonesia Nomor 6628);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang
Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga
Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023
Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6848);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang
Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6881);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka Nomor … Tahun …
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran
Daerah Kabupaten Majalengka Tahun … Nomor …, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Majalengka Nomor …);

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG PENGELOLAAN DAN PELAYANAN


PAJAK DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan:

2
1. Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut Daerah adalah
Daerah Kabupaten Majalengka.
2. Bupati adalah Bupati Majalengka.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.
4. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
5. Kepala Perangkat Daerah adalah Kepala Perangkat Daerah
yang mempunyai kewenangan dalam bidang Pendapatan
Daerah Kabupaten Majalengka.
6. Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang
ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh
penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh
pengeluaran daerah.
7. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
8. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat
dikenai Pajak.
9. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan
usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
11. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang
selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
12. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan
perairan pedalaman.
13. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di
bawah permukaan Bumi.
14. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP
adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan

3
harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan
baru, atau NJOP pengganti.
15. Daftar Biaya Komponen Bangunan yang selanjutnya disingkat
DBKB adalah daftar yang dibuat untuk memudahkan
perhitungan nilai bangunan berdasarkan pendekatan biaya
yang terdiri dari biaya komponen utama dan/atau biaya
komponen material bangunan dan biaya komponen fasilitas
bangunan.
16. Klasifikasi NJOP adalah pengelompokan nilai jual rata-rata
atas permukaan bumi berupa tanah dan/atau bangunan
yang digunakan sebagai pedoman untuk memudahkan
penghitungan pajak yang terutang.
17. Zona Nilai Tanah yang selanjutnya disingkat ZNT adalah
pengelompokan nilai jual rata-rata bumi.
18. Nilai indikasi rata-rata yang selanjutnya disingkat NIR adalah
penetapan nilai rata-rata NJOP pada setiap ZNT.
19. Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi
atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
20. Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/ atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
21. Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
22. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan
hak atas tanah dan/atau Bangunan.
23. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah
perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang
pribadi atau Badan.
24. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah,
termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya,
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang
pertanahan dan Bangunan.
25. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat
PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir
atas konsumsi barang dan/ atau jasa tertentu.
26. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu
yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
27. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau
minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik
secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui
pesanan oleh restoran.
28. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan
dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
29. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh
suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk
bermacam peralatan listrik.

4
30. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang
dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum,
kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
31. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan
tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan
memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir,
baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun
yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan
tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
32. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau
penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan,
permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/ atau keramaian
untuk dinikmati.
33. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
34. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang
bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan
komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan,
atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
35. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak
atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
36. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah
atau batuan di bawah permukaan tanah.
37. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya
disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam
dan/atau di permukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
38. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat
MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana
dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang
mineral dan batu bara.
39. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
40. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia,
yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia
esculanta, dan collocalia linchi.
41. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB
adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor.
42. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik
kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau
perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli,
tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan kedalam
badan usaha.
43. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta
gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat
atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan
oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang
bersangkutan.

5
44. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase
tertentu.
45. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut
Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh
kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
46. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya
disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh
kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan.
47. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat
NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan daerahnya.
48. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD
adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
49. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi
Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan
Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut
berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi
dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk
jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
50. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu)
tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
51. Bagian Tahun Pajak adalah
52. Pajak Yang Terutang adalah Pajak yang harus dibayar pada
suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau
dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
53. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari
penghimpunan data objek dan subjek Pajak, penentuan
besarnya Pajak yang terutang sampai kegiatan Penagihan
Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak serta pengawasan
penyetorannya.
54. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya
disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
55. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat
SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk
melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
56. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang
selanjutnya disingkat LSPOP adalah lampiran surat yang
digunakan oleh Wajib Pajak PBB-P2 untuk melaporkan data
subjek dan objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

6
undangan perpajakan daerah dan lampiran tidak terpisahkan
dari bagian SPOP.
57. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat
SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
58. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD
adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
59. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya
disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk
memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada
Wajib Pajak.
60. Surat Tanda Terima Setoran yang selanjutnya disebut STTS
adalah Bukti Pelunasan PBB-P2.
61. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang
selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak
yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah
kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak,
besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih
harus dibayar.
62. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang
selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah
ditetapkan.
63. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya
disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena
jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang
atau seharusnya tidak terutang.
64. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD
adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau
sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
65. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau
kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang
terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, surat
ketetapan Pajak nihil, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan
Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
66. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas
keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, surat
ketetapan Pajak nihil, SKPDLB, atau terhadap pemotongan
atau pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib
Pajak.
67. Stimulus adalah pengurangan terhadap besaran NJOP bumi
pada tahun pajak berjalan yang ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.
68. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu
keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
69. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas
banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan
oleh Wajib Pajak.

7
70. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang Pajak dan biaya penagihan Pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat
paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah
disita.
71. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar
termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda,
dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan
Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
72. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat
untuk menegur Wajib Pajak untuk melunasi Utang Pajak atau
utang Retribusi.
73. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak
dan biaya Penagihan Pajak.
74. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan
suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban Pajak dan/atau untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan Daerah.
75. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak
yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus,
pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
76. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN,
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
77. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD
adatah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Daerah.
78. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang
tertentu.
79. Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disingkat BPN
adalah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Majalengka.
80. Pejabat Pembuat Akta yang selanjutnya disingkat PPAT
adalah Pejabat Pembuat Akta yang memiliki wilayah kerja di
Kabupaten Majalengka.
81. Kantor Pejabat Pelayanan Lelang Negara yang selanjutnya
disingkat KPPLN adalah Kantor Pejabat Pelayanan Lelang
Negara yang membawahi wilayah Kabupaten Majalengka.

BAB II
PENGATURAN UMUM PAJAK
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2
Jenis Pajak terdiri dari atas:

8
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT atas:
1. makanan dan/atau Minuman;
2. tenaga listrik;
3. jasa perhotelan;
4. jasa parkir; dan
5. jasa kesenian dan hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.

Pasal 3
(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. Pajak Reklame;
c. PAT;
d. Opsen PKB; dan
e. Opsen BBNKB;
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang
dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak
terdiri atas:
a. BPHTB;
b. PBJT atas:
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Jasa Perhotelan;
4. Jasa Parkir; dan
5. Jasa Kesenian dan Hiburan.
c. Pajak MBLB; dan
d. Pajak Sarang Burung Walet.

Bagian Kedua
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 4
(1) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau
Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atau suatu
jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
perpajakan Daerah.
(2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang
untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan
sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar menjadi dasar bagi
Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak
yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.

9
(3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang
untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan
sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau
jangka waktu jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan
kalender.

BAB III
PBB-P2
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup
Pasal 5
(1) Tata cara pengelolaan PBB-P2 dalam Peraturan Bupati ini
meliputi:
a. tata cara pendaftaran dan pendataan PBB-P2;
b. tata cara penilaian PBB-P2;
c. tata cara penerbitan SPPT PBB-P2;
d. tata cara pembayaran dan/atau penyetoran PBB-P2;
e. tata cara mutasi /pemecahan Objek/Subjek Pajak PBB-P2;
f. tata cara penerbitan salinan SPPT PBB-P2;
g. tata cara penerbitan STPD PBB-P2:
h. tata cara pengajuan keberatan;
i. tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif
PBB-P2;
j. tata cara pembetulan SPPT yang tidak benar;
k. tata cara pembatalan SPPT yang tidak benar;
l. tata cara penentuan kembali tanggal jatuh tempo;
m. tata cara pengembalian kelebihan pembayaran dan
kompensasi PBB-P2;
n. tata cara pengurangan PBB-P2;
o. tata cara penagihan PBB-P2;
p. tata cara pemberian informasi PBB-P2;
q. tata cara penerbitan surat keterangan NJOP
r. tata cara penetapan klasifikasi NJOP
s. tata cara pemberian stimulus;
t. tata cara penghapusan piutang PBB-P2; dan
u. tata cara pembuatan DBKB.
(2) Pendaftaran dan Pendataan PBB-P2 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a merupakan pelaksanaan pendaftaran
Objek Pajak PBB-P2 yang belum terdaftar pada administrasi
Pemerintah Daerah dan pembentukan basis data PBB-P2 yang
dilakukan oleh Kepala Perangkat Daerah.
(3) Penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan pelaksanaan tata cara penilaian individual Objek
PBB-P2.
(4) Penerbitan SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan proses penerbitan berdasarkan cetak masal

10
PBB-P2, pembuatan salinan SPPT PBB-P2 dan sebagai tindak
lanjut atas keputusan keberatan, pengurangan dan pembetulan.
(5) Pembayaran dan/atau penyetoran PBB-P2 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan proses pembayaran
PBB-P2 yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui payment online
system pada tempat pembayaran PBB-P2 atau tempat
pembayaran elektronik yang harus dilunasi paling lama 6 (enam)
bulan sejak tanggal diterimanya SPPT PBB-P2 oleh Wajib Pajak.
(6) Mutasi/pemecahan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf e merupakan perubahan atas data objek/Wajib Pajak yang
diakibatkan oleh jual beli, waris, hibah, dan lain-lain.
(7) Penerbitan salinan SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f adalah proses penerbitan SPPT sebagai pengganti SPPT
yang hilang/belum diterima Wajib Pajak.
(8) Penerbitan STPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g adalah apabila SPPT atau SKPD PBB-P2 tidak atau
kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran ditambah
sanksi administrasi 1% (dua persen) setiap bulan untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(9) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
h adalah proses pengajuan keberatan dan banding atas suatu
penerbitan SPPT dan/atau SKPD PBB-P2.
(10) Pengurangan, Pembatalan dan/atau penghapusan
SPPT/SKPD/STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
adalah proses penerbitan keputusan pengurangan dan/atau
penghapusan yang diberikan kepada Wajib Pajak pribadi atau
badan dengan alasan tertentu.
(11) Pembetulan SPPT tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf j adalah meliputi pembetulan atas kesalahan atau
kekeliruan dalam penetapan PBB-P2.
(12) Pembatalan SPPT adalah pembatalan SPPT yang seharusnya
tidak diterbitkan karena tidak sesuai dengan ketentuan.
(13) Penentuan kembali tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf k adalah penentuan kembali tanggal/saat
jatuh tempo pembayaran atas permohonan wajib pajak karena
keterlambatan diterimanya SPPT karena sebab tertentu.
(14) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf l adalah proses penyelesaian atas
kelebihan pembayaran PBB-P2 kepada wajib pajak.
(15) Pengurangan PBB-P2 Terutang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n adalah pemberian pengurangan pembayaran
atas permohonan wajib pajak terhadap ketetapan PBB-P2 yang
terutang.
(16) Penagihan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m
adalah tata cara penagihan wajib pajak yang tidak membayar
atau kurang bayar setelah jatuh tempo pembayaran.
(17) Pemberian informasi PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf o adalah pemberian informasi PBB-P2 atas permohonan
wajib pajak.

11
(18) Penerbitan Surat Keterangan NJOP PBB-P2 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf p adalah penyelesaian
permohonan penerbitan Surat Keterangan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) yang diajukan Wajib Pajak. Penerbitan SK-NJOP
dimaksud diterbitkan pada tahun berjalan, sebelum dilakukan
penetapan SPPT PBB-P2 tahun berikutnya.
(19) Klasifikasi NJOP adalah pengelompokan nilai jual rata-rata atas
permukaan bumi berupa tanah dan/atau bangunan yang
digunakan sebagai pedoman untuk memudahkan penghitungan
pajak yang terutang.
(20) Stimulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q adalah
pengurangan terhadap besaran NJOP bumi pada tahun pajak
berjalan yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(21) Penghapusan Piutang PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf p adalah penyelesaian Penghapusan Piutang PBB-P2
yang menjadi wewenang Bupati/Kepala Perangkat Daerah.
(22) DBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q adalah
pembuatan Daftar Biaya Komponen Bangunan yang dijadikan
sebagai dasar untuk penghitungan nilai bangunan dengan
menggunakan pendekatan biaya (cost approach method).
(23) Pendekatan Biaya adalah suatu pendekatan penentuan nilai
dengan cara menghitung keseluruhan biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh bangunan pada kondisi baru sesuai tanggal
penilaian, dikurangi dengan penyusutan (depreciate) yang terjadi
pada bangunan.

Bagian Kesatu
Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan PBB-P2
Paragraf 1
Tata Cara Pendaftaran Objek PBB-P2
Pasal 6

(1) Wajib Pajak PBB-P2 wajib mendaftarkan diri dan/atau Objek


PBB-P2 kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah dengan
menggunakan SPOP.
(2) Pendaftaran objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia yang ditujukan kepada Bupati melalui Kepala
Perangkat Daerah;
b. mengisi SPOP, termasuk LSPOP, dengan jelas, benar dan
lengkap;
c. Wajib Pajak yang memiliki nomor pokok wajib pajak
mencantumkan nomor pokok wajib pajak dalam kolom yang
tersedia dalam SPOP;
d. surat permohonan dan SPOP termasuk LSPOP sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, ditandatangani oleh
Wajib Pajak PBB-P2 dan dalam hal ditandatangani oleh bukan

12
Wajib Pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa bermaterai
cukup;
e. surat permohonan dan SPOP termasuk LSPOP disampaikan
kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya SPOP oleh
Wajib Pajak PBB-P2 atau kuasanya;
f. melampirkan dokumen pendukung sebagai berikut:
1. fotokopi kartu tanda penduduk/kartu tanda penduduk
sementara atau surat keterangan domisili dari Kepala Desa
dengan mencantumkan nomor induk kependudukan;
2. fotokopi akta pendirian Badan atau bukti pendirian Badan
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dalam hal Wajib Pajak PBB-P2 berbentuk
Badan;
3. fotokopi bukti kepemilikan/penguasaan/pemanfaatan
tanah dapat berupa sertifikat/akta peralihan hak/girik/
surat keterangan tanah dari Kepala Desa dan/atau Surat
Pernyataan Kepemilikan dan/atau Surat Pernyataan
perolehan hak atas tanah dan bangunan dari Wajib Pajak
bermaterai cukup;
4. fotokopi persetujuan bangunan gedung bagi yang memiliki
bangunan; dan
5. fotokopi nomor pokok wajib pajak bagi yang memiliki
nomor pokok wajib pajak;
6. dalam hal Wajib Pajak bukan pemilik tanah/bumi
dan/atau bangunan harus melampirkan surat
pernyataan/persetujuan dari pemilik tanah/bumi
dan/atau bangunan bersangkutan.
(3) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Wajib
Pajak PBB-P2 diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh
Kepala Perangkat Daerah.
(4) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk orang
pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
(5) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Badan
dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
(6) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak mendaftarkan diri, Bupati melalui Kepala Perangkat
Daerah secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data
yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.

Pasal 7
(1) Kepala Perangkat Daerah melakukan pendataan Wajib Pajak
PBB-P2 dan Objek Pajak PBB-P2 untuk memperoleh,
melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak PBB-P2
dan/atau Wajib Pajak PBB-P2, termasuk informasi geografis
Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
(2) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi
seluruh bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah.

13
(3) Pendataan objek dan subjek PBB-P2 dilakukan Pemerintah
Kabupaten dengan menuangkan hasilnya dalam formular SPOP
dan/atau LSPOP.
(4) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara:
a. penyampaian dan pemantauan pengembalian SPOP;
b. identifikasi Objek Pajak;
c. verifikasi data Objek Pajak; dan
d. pengukuran bidang Objek Pajak apabila diperlukan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak PBB-P2 tidak lagi memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat
(1), Kepala Perangkat Daerah dapat melakukan penonaktifan
atau penghapusan NPWPD secara jabatan atau atas dasar
permohonan Wajib Pajak.
(6) Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD atas dasar
permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Kepala Perangkat Daerah harus menerbitkan keputusan dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima
secara lengkap.
(7) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak
diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan,
permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(8) Penonaktifan atau penghapusan NPWPD secara jabatan atau
atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
a. tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
b. tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan,
banding, gugatan, atau peninjauan kembali.

Bagian Kedua
Tata Cara Penilaian Objek PBB-P2
Pasal 8
(1) Penilaian objek PBB-P2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah baik
secara massal maupun secara individual dengan menggunakan
pendekatan penilaian yang telah ditentukan.
(2) Hasil penilaian objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai dasar penentuan NJOP.
(3) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.

Pasal 9
Penilaian massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dapat berupa:
a. penilaian massal tanah;
b. penilaian massal bangunan dengan menyusun DBKB objek pajak
standar;
c. Penilaian massal bangunan dengan menyusun DBKB objek pajak
non standar atau khusus.

14
Pasal 10
Penilaian secara individual sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dapat berupa:
a. penilaian individual untuk objek pajak berupa Bumi dengan
pendekatan data pasar;
b. penilaian individual untuk objek pajak berupa bangunan dengan
pendekatan biaya dan/atau perbandingan dengan nilai
bangunan lain yang sejenis dan/atau menghitung nilai perolehan
baru setelah dikurangi nilai penyusutan; dan
c. penilaian individual untuk objek pajak bangunan dengan
pendekatan kapitalisasi pendapatan;

Pasal 11
Dalam hal pendataan dan penilaian, Bupati dapat bekerjasama
dengan penilai pemerintah, penilai publik, instansi lain yang terkait,
pihak ketiga dan/atau mitra kerja yang ditunjuk.

Bagian Ketiga
Tata Cara Penerbitan SPPT PBB-P2
Pasal 12
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang
berdasarkan SPOP dengan menggunakan SPPT.
(2) SPPT sebagaimana dimaksud ayat (1) diterbitkan setelah
dilakukan penetapan Keputusan Bupati tentang Penetapan
Klasifikasi dan besaran NJOP sebagai dasar pengenaan PBB-P2
(3) SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
dan ditandatangani oleh Kepala Perangkat Daerah.
(4) Dalam rangka meningkatkan efisiensi pelaksanaan tugas,
penandatanganan SPPT PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat dilakukan dengan:
a. cap dan tanda tangan basah, untuk ketetapan Pajak di atas
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan
b. cap dan cetakan tanda tangan, untuk ketetapan Pajak
dibawah Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(5) SPPT PBB-P2 dapat diterbitkan melalui:
a. pencetakan massal;
b. pencetakan dalam rangka :
1. pembuatan salinan SPPT PBB-P2;
2. penerbitan SPPT PBB-P2 sebagai tindak lanjut atas
keputusan keberatan, pengurangan atau pembetulan;

Bagian Keempat
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran PBB-P2
Pasal 13
(1) Pemungutan PBB-P2 dilarang diborongkan.
(2) Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran PBB-P2
yang terutang dengan menggunakan SSPD berdasakan SPPT
PBB_P22 dan/atau NOPD.

15
(3) Pembayaran dan/atau penyetoran PBB-P2 sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran
berbasis elektronik.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum
tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan
melalui pembayaran tunai.
(5) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi paling
lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib
Pajak.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat
pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib
Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan
menggunakan STPD yang diterbitkan oleh Bupati.

Pasal 14
Pembayaran atau penyetoran PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4) dapat dibayar melalui Bank atau
tempat lain yang ditunjuk oleh Bupati, atau melalui petugas
pemungut yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 15
(1) Pembayaran PBB-P2 melalui Bank atau tempat lain yang
ditunjuk oleh Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dapat dilakukan secara langsung ke tempat pembayaran yang
ditunjuk sebagaimana tercantum dalam SPPT/ STPD.
(2) Pembayaran dengan cek Bank/Giro Bilyet Bank, baru dianggap
sah apabila telah dilakukan kliring.
(3) Wajib Pajak menerima STTS atau bentuk lain sebagai bukti telah
melunasi pembayaran PBB-P2 dari Bank atau tempat lain yang
ditunjuk oleh Bupati.
(4) Bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Bupati berkewajiban
mengirimkan STTS kepada Wajib Pajak yang melakukan
pembayaran PBB-P2 melalui kiriman uang/transfer.

Pasal 16
Pembayaran melalui petugas pemungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Wajib Pajak menyetorkan pembayaran PBB-P2 melalui petugas
pemungut;
b. petugas pemungut yang menerima setoran pembayaran PBB-P2
dari Wajib Pajak menyetorkan ke Bank atau tempat lain yang
ditunjuk oleh Bupati pada hari yang sama;
c. Wajib Pajak yang membayar melalui petugas yang ditunjuk
menerima bukti pembayaran sementara yang sah; dan

16
d. Wajib pajak menerima STTS sebagai bukti pembayaran PBB-P2
yang sah dari tempat pembayaran melalui petugas pemungut.

Bagian Kelima
Tata Cara Mutasi/pemecahan Objek /Subjek Pajak PBB-P2
Pasal 17
(1) Atas dasar pengalihan Objek PBB-P2, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan mutasi/ pemecahan Objek PBB-P2 dan
Wajib Pajak PBB-P2.
(2) Kelengkapan permohonan mutasi Objek PBB-P2 dan Wajib Pajak
PBB-P2, meliputi:
a. surat permohonan mutasi;
b. bukti perolehan/pengalihan Objek Pajak yang ditanda tangani
oleh para pihak dan diketahui Kepala Desa/Lurah dan/atau
Surat Pernyataan Kepemilikan dan/atau Surat Pernyataan
perolehan hak atas tanah dan bangunan dari Wajib Pajak
bermaterai cukup;
c. bukti lunas PBB-P2 tahun sebelumnya;
d. mengisi SPOP dan LSPOP;
e. fotokopi surat setoran BPHTB/SSPD BPHTB apabila nilai
transaksi lebih dari NJOP tidak kena pajak;
f. fotokopi kartu tanda penduduk/ kartu tanda penduduk
sementara atau surat keterangan domisili dari Kepala Desa
dengan mencantumkan nomor induk kependudukan;
g. fotokopi bukti kepemilikan/penguasaan/pemanfaatan tanah
dapat berupa sertifikat/akta peralihan hak/girik/ dokumen
lain yang sejenis;
h. surat pengantar dari Kepala Desa; dan
i. surat kuasa bermaterai cukup apabila dikuasakan.
(3) Penyelesaian mutasi / pemecahan / penggabungan Objek Pajak
PBB-P2 dan Wajib Pajak PBB-P2 melalui penelitian
kantor/lapangan dan penuangan dalam Berita Acara melalui
proses pemutakhiran data Objek Pajak.

Bagian Keenam
Tata Cara Penerbitan Salinan SPPT PBB-P2
Pasal 18
(1) Atas dasar belum diterimanya SPPT atau sebab lain, wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan penerbitan salinan SPPT, secara
perorangan atau kolektif ke Perangkat Daerah.
(2) Kelengkapan persyaratan pengajuan penerbitan SPPT meliputi:
a. surat permohonan penerbitan salinan;
b. surat pengantar dari Kepala Desa/Lurah;
c. STTS lunas PBB-P2 tahun sebelumnya atau tahun berjalan;
d. fotokopi kartu tanda penduduk/kartu tanda penduduk
sementara atau surat keterangan domisili dari Kepala
Desa/Lurah dengan mencantumkan nomor induk
kependudukan; dan
e. surat kuasa bermaterai cukup apabila dikuasakan;

17
f. surat keterangan hilang SPPT dari kepolisian yang memuat
data NOPD yang dimohon dalam hal Wajib Pajak kehilangan
SPPT.

Bagian Ketujuh
Tata cara Penerbitan STPD
Pasal 19
(1) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak
terutangnya Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat
menerbitkan STPD.
(2) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan
STPD untuk jenis Pajak yang dipungut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a. Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau
kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
b. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar
setelah jatuh tempo pembayaran; atau
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga
dan/ atau denda.
(3) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar
ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa
bunga sebesar l% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak
yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak
saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
(4) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b, dikenai sanksi administratif berupa bunga
sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak
yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh
tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran,
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung
penuh I (satu) bulan.

Bagian Kedelapan
Tata Cara Pengajuan Keberatan PBB-P2
Pasal 20
Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan PBB-P2 atas SPPT kepada
Bupati atau Kepala Perangkat Daerah dalam hal:
a. Wajib Pajak berpendapat bahwa luas objek PBB-P2 atau nilai
jual objek PBB-P2 tidak sebagaimana mestinya;
b. terdapat perbedaan penafsiran ketentuan peraturan PBB-P2.

Pasal 21

18
(1) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
harus memenuhi persyaratan:
a. surat permohonan keberatan;
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. diajukan kepada Kepala Perangkat Daerah;
d. dilampiri SPPT asli yang diajukan keberatan;
e. mencantumkan jumlah PBB-P2 yang terutang menurut
perhitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang
mendukung pengajuan keberatannya;
f. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT kecuali apabila Wajib Pajak atau kuasanya
dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan kahar;
g. keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada huruf f meliputi:
1. bencana alam;
2. kebakaran;
3. kerusuhan massal atau huru-hara;
4. wabah penyakit; dan/ atau
5. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati melalui
Kepala Perangkat Daerah.
h. surat keberatan ditanda tangani oleh Wajib Pajak, dan dalam
hal surat keberatan ditanda tangani oleh bukan Wajib Pajak
harus dilampiri dengan surat kuasa bermaterai cukup.
(2) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar
Pajak terutang dalam SPPT paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui Wajib Pajak dengan melampirkan bukti setoran.
(3) Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat
atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat
keberatan yang diberikan Bupati atau pejabat yang ditunjuk
kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat
keberatan.
(4) Untuk memperkuat alasan pengajuan keberatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pengajuan keberatan disertai dengan:
a. fotokopi identitas Wajib Pajak, dan fotokopi identitas kuasa
Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;
b. fotokopi bukti kepemilikan tanah; dan/atau
c. fotokopi persetujuan bangunan Gedung;
d. fotokopi pendukung lainnya yang berkenaan dengan objek
pajak yang diajukan
(5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu
pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(6) Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
tidak termasuk sebagai Utang Pajak.

Pasal 22

19
(1) Pengajuan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dilakukan verifikasi lebih lanjut.
(2) Pengajuan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dianggap bukan sebagai surat
keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(3) Dalam hal pengajuan keberatan tidak dapat dipertimbangkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Perangkat Daerah
dalam waktu jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak tanggal penerimaan surat keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), harus memberitahukan secara
tertulis disertai alasan yang mendasari kepada Wajib Pajak atau
kuasanya.
(4) Dalam hal pengajuan keberatan tidak dapat dipertimbangkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak masih dapat
mengajukan Keberatan kembali sepanjang memenuhi jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf f.

Pasal 23
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan
atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan
Pemeriksaan.
(3) Keputusan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3).
(4) Keputusan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan
dapat berupa:
a. menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan
hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut
Wajib Pajak;
b. menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan
hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang
menurut Wajib Pajak;
c. menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil
penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat
keputusan / ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib
Pajak; atau
d. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal
Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari
Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang
diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

20
Pasal 24
(1) Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen)
per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari
bulan dihitung penuh I (satu) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dihitung
sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat
Keputusan Keberatan.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.

Bagian Kesembilan
Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administratif
PBB-P2
Pasal 25
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan
sanksi administratif PBB-P2 yang dikenakan karena kekhilafan.

Pasal 26
Untuk mendukung permohonan pengurangan atau penghapusan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
permohonan dilampiri dengan:
a. fotokopi identitas Wajib Pajak atau fotokopi identitas kuasa Wajib
Pajak dalam hal dikuasakan; dan
b. Dokumen pendukung yang dapat menunjukan bahwa denda
administratif dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahan Wajib Pajak.

Bagian Kesepuluh
Tata Cara Pembetulan atau Pembatalan SPPT yang Tidak Benar
Pasal 27
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk karena jabatan atau atas
permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan atau membatalkan
SPPT atau STPD PBB-P2 yang tidak benar.
(2) Pembetulan SPPT tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan akibat
kesalahan tulis atas:
a. NOPD;
b. nama;
c. alamat;
d. luas tanah dan/atau bangunan;
e. kesalahan hitung; dan

21
f. kekeliruan penerapan ketentuan seperti kekeliruan penerapan
tarif, NJOPTKP dan sanksi administratif.
(3) Pembatalan SPPT merupakan pembatalan SPPT yang seharusnya
tidak diterbitkan karena tidak sesuai dengan ketentuan
ketetapan pajak terutang dalam hal objek pajak terkena bencana
alam atau sebab lain yang luar biasa, dan ketetapan pajak yang
seharusnya tidak terutang.
(4) Pengajuan pembetulan atau pembatalan SPPT paling lama 3 (tiga)
bulan dari sejak diterima SPPT dan bisa diperpanjang apabila
diperlukan.

Pasal 28
Untuk mendukung permohonan pembetulan SPPT atau STPD PBB-
P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, permohonan dilampiri
dengan:
a. fotokopi identitas Wajib Pajak atau fotokopi identitas kuasa Wajib
Pajak dalam hal dikuasakan;
b. dokumen pendukung yang dapat menunjukan bahwa SPPT atau
STPD PBB-P2 tidak benar;
c. fotokopi surat pemberitahuan pengajuan keberatan PBB-P2 tidak
dapat dipertimbangkan, dalam hal Wajib Pajak pernah
mengajukan keberatan atas SPPT; dan/atau
d. fotokopi bukti pelunasan PBB-P2 tahun sebelumnya.

Pasal 29
(1) Permohonan pembatalan SPPT atau STPD PBB-P2, yang tidak
benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, diajukan
secara perseorangan.
(2) Dalam hal Wajib pajak SPPT tidak ditemukan dan/atau dengan
permasalahan yang sama, permohonan pembatalan sebagaimana
angka 1 (satu) diatas dapat diajukan secara kolektif.
(3) Persyaratan permohonan pembatalan SPPT atau STPD meliputi:
a. mengajukan permohonan Pembatalan;
b. surat kuasa bermaterai cukup (apabila dikuasakan);
c. fotokopi identitas Wajib Pajak atau fotokopi identitas kuasa
Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;
d. surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa
Wajib Pajak tidak memiliki objek pajak yang tercantum dalam
SPPT dan/atau terdapat lebih dari 1 (satu) SPPT pada objek
PBB-P2 tersebut.
(4) Surat Pernyataan atau surat keterangan dari Kepala Desa, dalam
hal subjek pajak tidak diketemukan dan fisik objek pajak yang
tercantum dalam SPPT tidak ada, tidak memiliki objek pajak atau
objek pajak tidak ada subjek pajaknya atau subjek dan objeknya
tidak ada.

Bagian Kesebelas
Tata Cara Penentuan Kembali Tanggal Jatuh Tempo
Pasal 30

22
(1) Atas dasar keterlambatan diterimanya SPPT PBB-P2 tahun
berjalan Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penentuan
kembali tanggal jatuh tempo.
(2) Permohonan penentuan kembali tanggal jatuh tempo diajukan
dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut:
a. SPPT PBB-P2 yang sudah diterima yang dilengkapi dengan
tanggal bukti penerimaan;
b. surat kuasa (apabila dikuasakan; dan
c. fotokopi identitas Wajib Pajak atau fotokopi identitas kuasa
Wajib Pajak dalam hal dikuasakan.

Bagian Kesebelas
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran dan Kompensasi
PBB-P2
Pasal 31
(1) Atas dasar kelebihan pembayaran Pajak terhutang Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran atau kompensasi PBB-P2 kepada Bupati melalui
Kepala Perangkat Daerah.
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
dilampaui dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan,
permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap
dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai Utang Pajak lainnya, kelebihan
pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang
Pajak lainnya.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan
setelah Lewat 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga
sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
(7) Pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
disertai dengan alasan yang jelas dan dilengkapi persyaratan
sebagai berikut:
a. asli STTS asli dan fotokopi STTS;
b. bukti lunas PBB-P2 tahun sebelumnya;
c. Surat Kuasa (apabila dikuasakan);
d. Fotokopi identitas Wajib Pajak atau fotokopi identitas kuasa
Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;
e. Nomor rekening atas nama wajib pajak.

23
(8) Pemberian kompensasi PBB-P2 diberikan berdasarkan
permohonan dari wajib pajak untuk pajak terhutang dan pajak
tahun berjalan dengan dilengkapi:
a. Asli STTS dan fotokopi STTS;
b. surat kuasa apabila dikuasakan;
c. fotokopi identitas Wajib Pajak atau fotokopi identitas kuasa
Wajib Pajak dalam hal dikuasakan; dan
d. surat permohonan kompensasi.

Bagian Keduabelas
Tata Cara Pengurangan PBB-P2
Pasal 32
(1) Pengurangan PBB-P2 dapat diberikan kepada Wajib Pajak karena
:
a. kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan
Wajib Pajak; dan/atau
b. karena sebab tertentu lainnya dalam hal Objek Pajak terkena
bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
(2) Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebagai
berikut:
a. Untuk Wajib Pajak orang pribadi meliputi:
1. Objek Pajak pribadi dan subyek pribadi anggota veteran
pejuang kemerdekaan/janda atau dudanya, para
pensiunan yang tidak mempunyai penghasilan lain dan
terbatas yang dibuktikan dengan surat keterangan dari
kepala desa setempat;
2. lahan objek pribadi merupakan lahan pertanian/perikanan
dengan penghasilan rendah;
3. objek pribadi untuk masyarakat tidak mampu, dibuktikan
dengan surat keterangan dari kepala desa setempat;
4. Objek Pajak yang Wajib Pajaknya orang pribadi yang
penghasilannya rendah yang nilai jual objek pajaknya
permeter perseginya meningkat akibat perubahan
lingkungan dan dampak positip pembangunan.
b. Untuk Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan
kesulitan likuiditas pada tahun sebelumnya sehingga tidak
dapat memenuhi kewajiban yang dibuktikan dengan laporan
keuangan tahun sebelumnya dan tahun berjalan.

Pasal 33
(1) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 diberikan
kepada Wajib Pajak atas PBB-P2 yang terutang yang tercantum
dalam SPPT atau STPD PBB-P2.
(2) PBB-P2 yang terutang yang tercantum dalam STPD PBB-P2
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pajak
ditambah dengan denda administratif.

24
(3) STPD PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah
diberikan pengurangan tidak dapat dimintakan pengurangan
denda administratifnya.

Pasal 34
Besaran pengurangan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 dapat diberikan:
a. sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB-P2
yang terutang dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a;
b. sebesar paling tinggi 100 % dari PBB-P2 yang terutang dalam hal
objek pajak terkena bencana alam / kejadian luar biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b.

Pasal 35
(1) Pengurangan PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (1) berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(2) Permohonan pengurangan PBB-P2 terutang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan oleh masing-masing
Wajib Pajak atau kolektif.
(3) Untuk wajib pajak berbentuk badan hukum yang mengalami
kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
huruf b dengan batasan kerugian keuangan atau likuiditas
keuangan diatas Rp200.000.000,00(dua ratus juta rupiah)

Pasal 36
Permohonan pengurangan yang diajukan secara masing-masing
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) harus
memenuhi persyaratan:
a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT;
b. diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
mencantumkan besarnya permohonan pengurangan;
c. diajukan kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah;
d. dilampirkan SPPT asli yang dimohon pengurangan;
e. permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dalam hal surat
permohonan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak dilampiri
dengan surat kuasa;
f. diajukan dalam waktu:
1. paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT dan dapat
diperpanjang apabila diperlukan;
2. 1 (satu) bulan terhitung sejak diterimanya keputusan
permohonan keberatan;
3. paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak terjadinya bencana
alam; dan
4. paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak terjadinya kejadian
luar biasa.
g. tidak mempunyai tunggakan atas tunggakan pajak tahun
sebelumnya.

25
Pasal 37
Permohonan pengurangan yang diajukan secara kolektif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dapat diajukan
dengan persyaratan:
a. 1 (satu) permohonan untuk beberapa Objek Pajak dalam tahun
pajak yang sama;
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan besaran
persentase pengurangan yang dimohonkan kepada Kepala
Perangkat Daerah;
c. diajukan melalui pengurus legiun veteran atau organisasi terkait
lainnya yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat;
d. dilampiri SPPT asli yang dimohon pengurangan;
e. diajukan dalam jangka waktu:
1. paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya
SPPT; dan
2. paling lama 3 (tiga) bulan sejak terjadinya bencana alam atau
kejadian luar biasa.
f. tidak memiliki tunggakan PBB-P2 tahun sebelumnya sejak
dimohonkan pengurangan kecuali dalam hal Objek Pajak terkena
bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
g. tidak sedang diajukan permohonan keberatan atas SPPT yang
dimohon pengurangan.

Pasal 38
(1) Permohonan pengurangan yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dianggap bukan sebagai
permohonan pengurangan sehingga tidak dapat
dipertimbangkan.
(2) Dalam hal permohonan pengurangan tidak dapat
dipertimbangkan, Kepala Perangkat Daerah dalam waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan itu diterima
harus memberitahukan secara tertulis dengan alasan yang
mendasar kepada:
a. Wajib Pajak atau kuasanya dalam hal permohonan diajukan
secara perseorangan; dan
b. pengurus legiun veteran atau organisasi terkait lainnya dalam
hal permohonan diajukan secara kolektif;
(3) Dalam hal permohonan pengurangan tidak mendapatkan
pertimbangan, Wajib Pajak dapat mengajukan kembali sepanjang
persyaratan telah terpenuhi paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja terhitung sejak diterimanya surat pemberitahuan tidak
dapat dipertimbangkannya ajuan pengurangan.

Pasal 39
(1) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat berupa
mengabulkan seluruhnya, sebagian atau menolak permohonan
Wajib Pajak.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan hasil penelitian.

26
(3) Wajib Pajak yang sudah diberikan suatu keputusan pengurangan
tidak dapat lagi mengajukan permohonan pengurangan untuk
SPPT yang sama.
(4) Pemberian pengurangan diberikan atas suatu Objek PBB-P2
yang dimiliki dan ditempati.

Bagian Ketigabelas
Tata Cara penagihan PBB-P2
Pasal 40

(1) STPD PBB-P2 sebagai dasar penagihan PBB-P2 setelah


melampaui tanggal jatuh tempo pembayaran.
(2) Bupati menunjuk Kepala Perangkat Daerah untuk penagihan
PBB-P2.
(3) Kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berwenang menerbitkan:
a. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
b. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
c. Surat Paksa;
d. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
e. Surat Perintah Penyanderaan;
f. Surat Pencabutan Sita;
g. Pengumuman Lelang;
h. Surat Penentuan Harga Limit;
i. Pembatalan Lelang; dan
j. Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan
pajak;
(4) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis
diterbitkan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
(5) Surat Teguran diterbitkan 30 hari dari waktu diterimanya STPD
apabila wajib pajak belum melunasi tagihan pajak yang
tercantum dalam STPD.
(6) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan
sebelum penerbitan Surat Paksa.

Pasal 41
Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial
dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 42
Surat Paksa diterbitkan apabila :
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya
telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat
lain yang sejenis;

27
b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus; atau
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.

Bagian Keempat belas


Tata Cara Pemberian Informasi PBB-P2
Pasal 43
(1) Atas dasar kebutuhan informasi, Wajib Pajak melalui fungsi
pelayanan dapat meminta informasi kewajiban perpajakannya.
(2) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi print lunas tunggakan dan surat keterangan atas NJOP
Bumi dan Bangunan.

Bagian Kelimabelas
Tata Cara Penerbitan
Surat Keterangan NJOP Bumi dan Bangunan

Pasal 44
(1) SK NJOP dapat diterbitkan berdasarkan permohonan dari Wajib
Pajak yang dilampiri dengan surat keterangan Kepala Desa yang
menerangkan kepemilikan/penguasan atas objek pajak yang
dimohon;
(2) SK NJOP diterbitkan atas NOPD baru yang belum ditetapkan
sebelumnya dan/NOP yang tidak diterbitkan SPPT.
(3) SK-NJOP diterbitkan pada tahun berjalan, sebelum dilakukan
penetapan SPPT PBB-P2 tahun berikutnya.

Bagian Keenambelas
Tata Cara Penetapan Klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak
Pasal 45
(1) Klasifikasi dan besarnya NJOP Bumi dan Bangunan sebagai
dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan
setiap tahun dengan Keputusan Bupati.

Pasal 46
(1) Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
memuat NJOP Bumi dan DBKB.
(2) NJOP Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan NIR dalam suatu ZNT.
(3) DBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
dasar perhitungan nilai bangunan.
(4) Nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan
sebagai dasar penetapan NJOP Bangunan.

28
Bagian Ketujuhbelas
Tata Cara Pemberian Stimulus

Pasal 47
(1) Stimulus diberikan untuk setiap PBB-P2 yang dituangkan dalam
SPPT pada Tahun Pajak.
(2) Stimulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Wajib Pajak PBB-P2 dalam bentuk pengurangan otomatis secara
sistem terhadap besaran PBB-P2 yang ditetapkan dan diterbitkan
pada Tahun Pajak berjalan.
(3) Stimulus yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan pengurangan terhadap NJOP Bumi.

Pasal 48
(1) Stimulus yang diberikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 47
berdasarkan kenaikan nilai indikasi rata-rata dan/atau kelas
bumi disetiap zona nilai tanah dimasing-masing blok yang ada di
wilayah desa.
(2) Kenaikan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.

Pasal 49
Besaran Stimulus sebagaimana dimaksud Pasal 47 ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.

Bagian Kesembilanbelas
Tata Cara Penghapusan Piutang PBB-P2
Pasal 50
(1) Bupati dapat menghapuskan piutang pajak dikarenakan tidak
bisa tertagih dan/atau sudah kadaluwarsa.
(2) Kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun
terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib
Pajak melakukan tindak pidana di bidang Perpajakan Daerah.
(3) Penghapusan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Bupati berdasarkan usulan Kepala
Perangkat Daerah.
(4) Permohonan penghapusan piutang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat Wajib Pajak;
b. jumlah piutang pajak;
c. Tahun Pajak;
d. alasan penghapusan piutang pajak.
(5) Piutang Pajak yang dapat dihapuskan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah:
a. SPPT;
b. STPD; dan/atau
c. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan
dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah.

29
(6) Piutang Pajak Wajib Pajak orang pribadi yang menurut data
tunggakan PBB-P2 tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi
disebabkan karena:
a. Wajib pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat
ditemukan atau meninggal dunia dengan tidak meninggalkan
harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris
tidak dapat ditemukan;
b. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mempunyai
harta kekayaan lagi;
c. tidak ditemukan alamat pemiliknya karena objek pajak sudah
tidak ada;
d. hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa; atau
e. Wajib Pajak tidak dapat ditagih lagi karena sebab lain, seperti
Wajib Pajak yang tidak dapat ditemukan lagi atau dokumen
sebagai dasar penagihan Pajak tidak lengkap atau tidak dapat
ditelusuri lagi disebabkan keadaan yang tidak dapat
dihindarkan seperti bencana alam, kebakaran dan lain
sebagainya.
(7) Piutang pajak Wajib Pajak Badan yang menurut data tunggakan
PBB-P2 yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi
disebabkan karena:
a. bubar, likuidasi atau pailit dan pengurus, direksi, komisaris,
pemegang saham, pemilik modal atau pihak lain yang
dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator atau
kurator tidak dapat ditemukan;
b. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memiliki harta
kekayaan lagi;
c. Penagihan pajak secara aktif telah dilaksanakan dengan
penyampaian salinan Surat Paksa kepada Pengurus, direksi,
likuidator, kurator, pengadilan negeri, pengadilan niaga, baik
secara langsung maupun dengan menempelkan pada papan
pengumuman atau media massa;
d. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah kadaluwarsa;
atau
e. Sebab lain sesuai hasil penelitian.

Pasal 51
(1) Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang
tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 wajib dilakukan penelitian setempat
atau penelitian administrasi oleh Perangkat Daerah yang hasilnya
dibuat uraian penelitian.
(2) Dalam hal penelitian oleh perangkat daerah apabila diperlukan
dapat dibentuk tim yang ditetapkan oleh Keputusan Bupati.
(3) Uraian penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menggambarkan keadaan Wajib Pajak dan piutang pajak yang
bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya

30
piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk
dihapus.

Pasal 52
Piutang Pajak hanya dapat diusulkan untuk dihapus setelah adanya
uraian penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1).

Pasal 53
(1) Perangkat Daerah atau tim sebagaimana disebutkan dalam Pasal
47 ayat (2) menyusun daftar usulan penghapusan piutang pajak
berdasarkan uraian penelitian sebagaimana dimaksud dalam
pasal 47 ayat (1).
(2) Kepala Perangkat Daerah menyampaikan daftar usulan
penghapusan piutang pajak yang telah diteliti kepada Bupati.

BAB IV
PAJAK REKLAME
Bagian Kesatu
Dasar Pengenaan, Tarif, Cara Perhitungan Pajak
Pasal 54
(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai
sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan
memperhatikan faktor:
a. jenis;
b. bahan yang digunakan;
c. lokasi penempatan;
d. waktu penayangan;
e. jangka waktu penyelenggaraan;
f. jumlah; dan
g. ukuran media Reklame.
(1) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai
sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(2) Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dihitung berdasarkan penjumlahan Nilai Jual Objek Pajak
Reklame dan Nilai Strategis Penyelenggaraan Reklame.
(3) Besarnya nilai jual objek pajak reklame sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dihitung dengan rumus Nilai Jual Objek Pajak
Reklame =(Luas Bidang Reklame x Biaya Pembuatan) + {(Luas
Bidang Reklame x Biaya Pembuatan) x bobot Ketinggian
Reklame}).
(4) Besarnya nilai strategis penyelenggaraan reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

31
NSPR = {Kelas Jalan (Bobot x Skor) + Lokasi (Bobot x Skor) +
Sudut Pandang (Bobot x Skor)} x Nilai Satuan Strategis
Reklame.
(5) Nilai Jual Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditentukan oleh faktor:
a. biaya pembuatan/ pemasangan/ pemeliharaan reklame;
b. lamanya pemeliharaan reklame;
c. jenis reklame yang dipasang;
d. luas reklame; dan
e. ketinggian reklame.
(6) Nilai Strategis Penyelenggaraan Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh faktor:
a. lokasi pemasangan reklame;
b. jumlah dan ukuran media reklame;
c. sudut pandang;
d. klasifikasi jalan;
e. jenis produk reklame; dan
f. letak reklame.
(7) Komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diberi bobot secara bervariasi dengan bobot yang lebih besar
pada komponen yang lebih dominan.
(8) Daftar Pembagian Lokasi Pemasangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) huruf a, tercantum dalam Lampiran III dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Bupati ini.
(9) Ukuran reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b,
ditetapkan berdasarkan luas reklame yang dipasang dan
dikelompokkan dalam kelas interval.
(10) Sudut pandang reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
huruf c, dibedakan berdasarkan mudah tidaknya titik reklame
dilihat yang dapat ditentukan dari persimpangan lima,
persimpangan empat, jalan dua arah dan jalan satu arah.
(11) Kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (5)
huruf d, dapat dibedakan berdasarkan pengelolaan jalan dan
dikelompokkan dalam kelas interval.
(12) NJOPR dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Bupati ini.
(13) NSPR dimaksud pada ayat (4) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Bupati ini.

Pasal 55
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari Nilai Sewa Reklame.

Pasal 56

(1) Besarnya pokok pajak yang terutang dihitung dengan cara

32
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (1).
(2) Penyelenggaraan Reklame yang belum memperoleh izin
penyelenggaraan reklame tetap dikenakan Pajak Reklame.
(3) Besarnya pokok pajak yang terutang atas penyelenggaraan
reklame yang belum memperoleh izin sebagaimana dimaksud
ayat (2) dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dengan memperhitungkan mulai terpasangnya reklame
sampai diperolehnya izin.
(4) Perhitungan besarnya pokok pajak yang terutang periode
berikutnya atas penyelenggaraan reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dihitung sejak
penyelenggaraan reklame memperoleh izin sampai dengan
berakhirnya izin penyelenggaraan reklame.

Bagian Kedua
Tata Cara Pemungutan
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pendataan Wajib Pajak
Pasal 57
(1) Setiap pemilik/pengelola atau penanggungjawab usaha reklame
baik orang pribadi atau Badan sebagai Wajib Pajak wajib
mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya kepada
Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah dengan menggunakan
formulir pendaftaran Wajib Pajak.
(2) Formulir pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat diperoleh Wajib Pajak atau Penanggungjawab
Pajak dengan cara:
a. mengambil sendiri ke Perangkat Daerah; atau
b. dikirim oleh petugas Perangkat Daerah.
(3) Formulir pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diisi dan ditulis dengan benar, jelas dan lengkap
serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(4) Apabila permohonan pendaftaran sudah memenuhi syarat
sebagai Wajib Pajak, maka Wajib Pajak dapat dikukuhkan
sebagai Wajib Pajak dan diberikan NPWPD.
(5) Dalam hal pemilik/pengelola atau penanggungjawab usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri,
petugas yang ditunjuk dapat melakukan pendataan untuk
selanjutnya didaftarkan sebagai Wajib Pajak dan diterbitkan
NPWPD secara jabatan.
(6) Bentuk dan format isian formulir pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Bupati ini.
(7) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk orang
pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.

33
(8) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk Badan
dihubungkan dengan nomor induk berusaha.

Pasal 58
(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan
penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi,
NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan
secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor
registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang
dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk
harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan,
permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(4) Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi,
NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan
secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang
Wajib Pajak:
a. tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
b. tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan,
banding, gugatan, atau peninjauan kembali.

Pasal 59
(1) Bupati atau Kepala Perangkat Daerah melakukan pendataan
Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi,
dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak,
termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan
administrasi perpajakan Daerah.
(2) Pendataan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pegawai yang memiliki tugas pokok dan fungsi
melakukan pendataan atau petugas lain yang ditunjuk oleh
Kepala Perangkat Daerah.
(3) Pendataan Wajib Pajak dapat dikerjasamakan.
(4) Pendataan Wajib Pajak dilakukan kepada orang pribadi atau
Badan yang memiliki jenis usaha reklame, baik sebelum
usahanya dimulai maupun yang sedang berlangsung.
(5) Pendataan Wajib Pajak digunakan sebagai sarana administrasi
pencatatan data yang dicantumkan pada setiap dokumen Wajib
Pajak, serta untuk keperluan pengelolaan database Wajib Pajak.
(6) Database Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dikelola dalam sistem yang selalu dimutakhirkan atau dilakukan
pemeliharaan.

34
(7) Data Wajib Pajak untuk kebutuhan pengelolaan database,
paling sedikit terdiri dari:
a. Nama, NIK dan alamat wajib pajak/penyelenggara
reklame/vendor;
b. Jenis Reklame;
c. Lokasi Pemasangan reklame;
d. Ukuran Reklame;
e. Masa berlakunya izin reklame;
f. Produk yang diiklankan.
(8) Data Wajib Pajak selain untuk pengelolaan database
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat ditambahkan atau
disesuaikan dengan kebutuhan.
(9) Pendataan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk
melakukan pendataan dengan tujuan tertentu dalam rangka
optimalisasi penerimaan pajak;
b. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib
Pajak;
c. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan di lokasi
penyelenggaraan reklame yang sedang berlangsung;
d. petugas dapat melakukan pendataan dengan melakukan
rekonsiliasi dengan instansi yang berwenang dalam
menerbitkan perizinan reklame untuk pengecekan antara
data permohonan dan pemberian izin pemasangan reklame
dengan wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak
reklame;
e. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan atau
dokumentasi atas kegiatan yang diperoleh pada huruf a dan
b.
(10) Bentuk dan format isian formulir pendataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
IV dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Bupati ini.

Paragraf 2
Penetapan Pajak
Pasal 60
(1) Pajak Reklame dipungut dari subjek pajak oleh Wajib Pajak.
(2) Pajak Reklame dipungut berdasarkan SKPD.
(3) Bupati mendelegasikan wewenang dalam menerbitkan SKPD
kepada Kepala Perangkat Daerah.
(4) Kepala Perangkat Daerah menetapkan pajak terutang dengan
menerbitkan SKPD berdasarkan nota pengantar perhitungan
Pajak atau dokumen lain yang dipersamakan.
(5) Formulir SKPD terdiri dari 4 (empat) rangkap dengan
peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;

35
b. lembar kedua (warna putih) untuk sub bidang yang
menangani penilaian Pajak Daerah pada Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk sub bidang yang
menangani penagihan pada Perangkat Daerah; dan
d. lembar keempat (warna hijau) untuk sub bidang yang
menangani pengelolaan data dan informasi pada Perangkat
Daerah.
(6) Bentuk dan formulir SKPD sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Bupati ini.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Bupati atau
Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen
lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
(8) Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah
Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak
yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat
menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau
dokumen lain yang dipersamakan.
(9) Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak
terutangnya Pajak.
(10) Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
tanpa dikenakan sanksi administratif.

Paragraf 3
Tata Cara Pembayaran Pajak
Pasal 61
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak
yang terutang dengan menggunakan SSPD.
(3) Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis
elektronik.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum
tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan
melalui pembayaran tunai.
(5) Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
adalah sebagai berikut:
a. 30 (tiga puluh) hari setelah SKPD ditetapkan, untuk
reklame dengan masa laku sekurang-kurangnya 1 (satu)
bulan; dan
b. Pada akhir masa laku reklame, untuk reklame dengan
masa laku kurang dari 1 (satu) bulan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat
pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib

36
Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan
menggunakan STPD.
Pasal 62
(1) Pembayaran Pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain
yang ditunjuk oleh Bupati sesuai dengan yang ditentukan
dalam SKPD dan/atau STPD.
(2) Pembayaran pajak ditempat lain yang ditunjuk oleh Bupati
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pembayaran yang
melalui bendahara penerimaan atau bendahara penerimaan
pembantu, atau petugas pemungut yang ditunjuk sesuai yang
ditentukan dalam SKPD dan/atau STPD.
(3) Petugas pemungut yang ditunjuk untuk menerima pembayaran
pajak dari Wajib Pajak, menyetorkan seluruh penerimaannya
kepada bendahara penerimaan dan/atau bendahara
penerimaan pembantu.
(4) Bendahara penerimaan dan bendahara penerimaan pembantu,
menyetorkan seluruh hasil penerimaan pajaknya, baik yang
diterima langsung dari Wajib Pajak maupun yang diterima dari
petugas pemungut yang ditunjuk, ke Rekening Kas Daerah
paling lambatnya 1 x 24 jam atau dalam waktu yang
ditentukan oleh Bupati.
(5) Dalam hal batas akhir penyetoran sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) jatuh pada hari libur, pajak dapat disetor pada hari
kerja pertama berikutnya
(6) Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dilakukan dengan menggunakan SSPD dengan
mencantumkan kode rekening rincian objek Pajak Reklame.
(7) Penyetoran pajak ke rekening kas daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan menggunakan Surat
Tanda Setoran dengan mencantumkan kode rekening rincian
objek pajak Reklame.
(8) Formulir SSPD terdiri dari 5 (lima) rangkap dengan
peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna putih) untuk sub bidang yang
menangani penilaian Pajak Daerah pada Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk sub bidang yang
menangani penagihan pada Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk sub bidang yang
menangani pengelolaan data dan informasi pada Perangkat
Daerah; dan
e. lembar kelima (warna biru muda) untuk arsip Perangkat
Daerah.

37
(9) Formulir Surat Tanda Setoran terdiri dari 7 (tujuh) rangkap
dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Penyetor/ Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Bank Penerima
Setoran;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk Bidang Akuntansi dan
pelaporan Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk SPJ Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu;
e. lembar kelima (warna biru) untuk Bidang Pengelolan Pajak
Daerah pada Perangkat Daerah;
f. lembar keenam (warna Kuning) untuk Bidang Pengelolan
Pajak Daerah pada Perangkat Daerah; dan
g. lembar ketujuh (warna hijau) untuk Bidang Pengelolan
Pajak Daerah pada Perangkat Daerah.
(1) Bentuk dan format isian formulir SSPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Bupati ini.

Paragraf 4
Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak
Pasal 63
(1) Permohonan angsuran dan penundaan pembayaran pajak
disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati
melalui Kepala Perangkat Daerah paling lambat 14 (empat
belas) hari sejak tanggal penerbitan SKPD dan/ atau STPD.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya disertai dengan lampiran:
a. keadaan keuangan perusahaan;
b. rekening koran perusahaan untuk 3 (tiga) bulan terakhir
yang menunjukkan saldo uang di bank; dan
c. besarnya pajak yang terutang yang ditunjukkan dengan
SKPD, STPD dan SSPD.
(3) Kepala Perangkat Daerah melakukan penelitian atas dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai bahan
pertimbangan pemberian persetujuan.
(4) Bupati dapat memberikan persetujuan paling lama 3 (tiga)
bulan sejak menerima Surat Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan:
a. angsuran pembayaran pajak dilaksanakan secara teratur
dan berturut-turut, maksimal 4 (empat) kali, selama-
lamanya 1 (satu) tahun sejak tanggal persetujuan Bupati;
b. penundaan pembayaran pajak dilakukan maksimal 3 bulan
sejak dikeluarkannya persetujuan.

38
(5) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan Bupati tidak
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap
dikabulkan, dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).

Pasal 64
(1) Setiap pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), diberikan tanda bukti
pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan.
(2) Tanda bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah SSPD.
(3) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku
penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengacu kepada sistem dan prosedur pengelolaan keuangan
daerah yang berlaku.

Paragraf 5
Tata Cara Penagihan Pajak
Pasal 65
(1) Penagihan Pajak dilakukan dengan menggunakan STPD.
(2) Perangkat Daerah menerbitkan STPD apabila:
a. Pajak Reklame yang terutang dalam SKPD tidak atau
kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran
akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c. wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 1% (satu Persen).
(3) Formulir STPD terdiri dari 4 (empat) rangkap dengan
peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna putih) untuk sub bidang yang
menangani penilaian Pajak Daerah pada Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk sub bidang yang
menangani penagihan pada Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk sub bidang yang
menangani pengelolaan data dan informasi pada Perangkat
Daerah;

Pasal 66

Tata cara Penagihan Pajak adalah sebagai berikut:


a. Penagihan dengan surat teguran atau surat peringatan:
a. pembuatan daftar Surat Teguran Wajib Pajak, 7 (tujuh) hari
setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran;
b. penerbitan Surat Teguran;
c. penyampaian/penyerahan Surat Teguran kepada Wajib
Pajak yang bersangkutan;
d. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
b. Penagihan dengan Surat Paksa meliputi:

39
1. pembuatan daftar Surat Paksa untuk Wajib Pajak yang
setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah
tanggal Surat Teguran belum menyetor pajak terutang;
2. penerbitan Surat Paksa berdasarkan Daftar Surat Paksa;
3. pengiriman/penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak
yang bersangkutan melalui Juru Sita Pajak;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa;
5. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
c. Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
meliputi:
1. pembuatan Daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
untuk yang belum melunasi utang pajaknya 2 x 24 jam
setelah peneribitan Surat Paksa;
2. penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
3. pelaksanaan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak dengan
menyerahkan barang milik Wajib Pajak yang boleh disita
menurut perundang-undangan yang dirinci pada Berita
Acara Pelaksanaan Sita;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Penyitaan;
5. contoh formulir dan buku/daftar yang dipergunakan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini
d. Pengumuman Lelang dan Pelaksanaan Lelang meliputi:
1. pembuatan Daftar Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang
untuk Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya
sampai dengan berakhirnya batas Waktu 14 (empat belas)
hari sejak tanggal Surat Pelaksanaan Penyitaan;
2. pemeriksaan hari, tanggal dan jam pelelangan yang disetujui
oleh Kepala Badan dan Permintaan Penegasan kepada
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN);
3. penyiapan berkas penyitaan Wajib Pajak yang bersangkutan
dan Pengumuman Lelang;
4. pelaksanaan Lelang sesuai dengan hari, tanggal dan jam
yang telah ditentukan;
5. formulir Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
e. Pencabutan Penyitaan dan Pengumuman Lelang meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Pencabutan Penyitaan untuk Wajib
Pajak yang telah melunasi utang pajaknya sesudah
penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sampai
dengan sebelum Pengumuman Lelang;
2. penerbitan Surat Pencabutan Penyitaan;
3. pelaksanaan Pencabutan Penyitaan dengan pembuatan
Berita Acara Pencabutan Penyitaan;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan;

40
5. monitoring penyetoran Wajib Pajak seperti butir di atas
untuk mengetahui Wajib Pajak yang telah melunasi utang
pajaknya sesudah Pengumuman Lelang sampai dengan
sebelum Pelaksanaan Lelang;
6. pembuatan daftar Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
7. penerbitan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
8. pengiriman/penyerahan Surat Pencabutan Pengumuman
Lelang oleh Juru Sita Pajak;
9. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam LampiranIV dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
f. Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus, kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
a. pembuatan daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS & S);
b. penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS & S) dari Daftar Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus (SPPS & S);
c. penyerahan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS & S);
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus (SPPS & S);
e. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini

Paragraf 6
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan
Dan Pembebasan Pajak
Pasal 67
(1) Permohonan Wajib Pajak diajukan secara tertulis kepada
Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum jatuh tempo pembayaran dengan
alasan yang dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dan
sekurang-kurangnya dilampiri:
a. SKPD atau STPD asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan; dan
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan
pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak.
(2) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk
melakukan verifikasi dan/atau pemeriksaan dan/atau
permintaan keterangan kepada Wajib Pajak atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dan/atau
pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib
Pajak melaporkan hasilnya kepada Kepala Perangkat Daerah
sebagai dasar pemberian persetujuan.
(4) Pemberian persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan Wajib Pajak diterima, dengan ketentuan:

41
a. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari
besarnya pajak terutang; dan
b. keringanan berupa pelunasan pajak selama-lamanya 1
(satu) tahun.
(5) Apabila setelah lewat 3 (tiga) bulan Bupati tidak memberikan
Keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4).

Pasal 68
(1) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 1% (satu persen) sebulan untuk paling lama 15 (lima
belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak terutang dan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih dengan
menggunakan STPD.

Paragraf 7
Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan
Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administratif

Pasal 69
(1) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan
dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas
SKPD, atau STPD harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib
Pajak kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima SKPD, atau
STPD dengan disertai alasan yang jelas.
(2) Paling lambat 3 (tiga) bulan sejak surat permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Bupati dapat
memberikan keputusan.
(3) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bupati atau pejabat yang berwenang
tidak memberikan keputusan, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
(4) Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan
dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif
adalah sebagai berikut:
a. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau
Pengurangan Sanksi Administratif dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan,
Pembatalan, Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan
atau Pengurangan Sanksi Administratif dari Wajib Pajak.
Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;

42
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala
Perangkat Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan
untuk ditolak atau diterima;
e. membuat Surat Keputusan yang ditandatangani oleh
Kepala Daerah, berupa Surat Keputusan Penolakan bila
permohonan ditolak, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Pembatalan, Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan
atau Pengurangan Sanksi Administratif bila permohonan
diterima;
f. menyerahkan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 8
Keberatan dan Banding
Pasal 70
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati
atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SKPD;
b. SKPDLB; dan
c. SKPDN;
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas dengan dilampiri:
a. SKPD, SKPDLB, atau SKPDN asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan keberatan
pajak.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap
sebagai Surat Keberatan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 71
Tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:
a. menerima Surat Permohonan Keberatan dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan keberatan dari Wajib Pajak.
bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala
Perangkat Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan apakan
permohonan keberatan diterima atau ditolak;
e. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala
Perangkat Daerah kepada Bupati untuk pembuatan keputusan
penerimaan atau penolakan terhadap keberatan yang diajukan
Wajib Pajak;

43
f. pembuatan Surat Keputusan yang ditandatangani Bupati atau
pejabat yang ditunjuk, berupa menerima seluruhnya, sebagian,
menolak atau menambah pajak terutang; dan
g. penyerahan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 9
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 72
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati melalui
Kepala Perangkat Daerah dengan sekurang-kurangnya
mencantumkan :
a. Nama, NIK dan alamat Wajib Pajak;
b. masa Pajak;
c. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
d. argumen yang jelas;
e. SKPD, atau STPD asli; dan
f. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(2) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala
Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan
pemeriksaan atau permintaan keterangan atas kebenaran data
yang dicantumkan dalam surat permohonan.
(3) Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(4) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada
Wajib Pajak setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada
Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah yang
berlaku.

Paragraf 10
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Kedaluwarsa
Pasal 73
Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa
diatur sebagai berikut:
a. Perangkat Daerah melaksanakan pendataan atas piutang pajak
yang sudah kedaluwarsa berdasarkan database yang dimiliki;
b. Perangkat Daerah melaksanaan pengecekan ulang atau validasi
atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa;
c. berdasarkan hasil validasi, Perangkat Daerah mengajukan
usulan penghapusan atas piutang pajak yang sudah
kedaluwarsa, kepada Bupati;
d. berdasarkan usulan Perangkat Daerah, Bupati menetapkan
Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Kabupaten yang sudah
Kedaluwarsa;
e. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang
Sudah Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rinci Piutang
Pajak yang Sudah Kedaluwarsa.

44
Paragraf 11
Pengawasan dan Pemeriksaan

Pasal 74
(1) Bupati dapat menunjuk petugas untuk melakukan pengawasan
dengan tujuan dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak dan
atau tujuan tertentu.
(2) Pengawasan dengan tujuan dalam rangka optimalisasi
penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan pemantauan langsung di lokasi pengambilan
dan/atau pemanfaatan Reklame atau objek pajak.
(3) Pengawasan dengan pemantauan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. menghitung dan mencatat kunjungan pengambilan dan/atau
pemanfaatan Reklame;
b. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib
Pajak;
c. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan kegiatan usaha yang
sedang berlangsung, atau cara lain yang diperlukan;
d. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan atau
dokumentasi atas kegiatan yang diperoleh pada huruf a dan
b.
(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
digunakan sebagai pembanding laporan yang disampaikan Wajib
Pajak dalam rangka penetapan pajak terutang dan/atau dapat
digunakan dokumen pemeriksaan;

Pasal 75
(1) Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dapat
dilakukan pemeriksaan.
(2) Pelaksana pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Perangkat
Daerah pada Sub Bidang Pemeriksaan dan/atau tenaga ahli
yang ditunjuk oleh Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah.
(3) Dalam pelaksanaan pemeriksaan, pemeriksa dapat bekerjasama
dengan instansi lain dan/atau pihak lain dengan persetujuan
Kepala Perangkat Daerah.
(4) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasar dan dokumen lain yang
berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan;

45
c. memberikan keterangan yang diperlukan;
d. menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan.
(5) Tata cara pemeriksaan pajak diatur sebagai berikut:
a. Kepala Perangkat Daerah menerbitkan Surat Perintah
Pemeriksaan Pajak kepada petugas yang ditunjuk untuk
melakukan pemeriksaan pajak atas suatu Wajib Pajak;
b. petugas yang ditunjuk minimal berjumlah 2 (dua) orang;
c. jangka waktu pemeriksaan minimal 3 (tiga) hari kerja dan
paling lama 15 (lima belas) hari kerja;
d. jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf c, dapat
diperpanjang apabila diperlukan;
e. petugas membuat dokumentasi berupa kertas kerja
pemeriksaan atas pemeriksaan pajak yang dilakukan;
f. permasalahan hasil pemeriksaan dibahas antara petugas
dengan Wajib Pajak untuk mendapatkan persetujuan atau
kesepakatan, dan dituangkan dalam Berita Acara
Kesepakatan Hasil Pemeriksaan;
g. petugas membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak;
h. laporan Hasil Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Kepala
Badan secara berjenjang;
i. berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak, Kepala Badan
dapat menerbitkan SKPDLB, SKPDN, STPD.
(6) Dalam melakukan pemeriksaan, petugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a, wajib:
a. memiliki tanda pengenal pemeriksa dilengkapi surat perintah
pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak;
b. memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak perihal
akan dilakukannya pemeriksaan pajak;
c. menjelaskan kepada Wajib Pajak maksud dan tujuan
pemeriksaan pajak;
d. menyampaikan kepada Wajib Pajak mengenai hasil
pemeriksaan serta adanya perbedaan antara hasil
pemeriksaan dengan SPTPD;
e. mengembalikan kepada Wajib Pajak seluruh dokumen yang
dipinjam dalam rangka pemeriksaan, paling lama 14 (empat
belas) hari sejak selesainya pemeriksaan pajak.
(7) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a sampai
huruf e, menjadi hak Wajib Pajak kepada petugas pemeriksa
dalam hal kepada Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan pajak.

Pasal 76
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1)
dalam bentuk:
a. pemeriksaan lengkap; dan
b. pemeriksaan sederhana.
(2) Pemeriksaan lengkap sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dilakukan ditempat domisili atau lokasi usaha Wajib Pajak
untuk tahun berjalan dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya

46
yang dilakukan dengan menerapkan teknik pemeriksaan yang
pada umumnya digunakan dalam pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sederhana sebagimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dilakukan:
a. dilapangan untuk tahun berjalan atau tahun-tahun pajak
sebelumnnya dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan
bobot sederhana; dan
b. di kantor untuk tahun pajak berjalan.

Pasal 77
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan
tempat ruangan tertentu, apabila:
a. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat (4);
b. Wajib Pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalangi kelancaran pemeriksaan; dan
c. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencataan atau
dokumen lain yang patut diduga tidak benar, palsu atau
dipalsukan.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetukan
pemeriksaan diluar tempat Wajib Pajak, apabila:
a. Wajib Pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalangi kelancaran pemeriksaan; dan
b. Karena pertimbangan teknis pemeriksa, pemeriksaan tidak
dapat dilakukan di tempat Wajib Pajak;

BAB V
PAJAK AIR TANAH
Bagian Kesatu
Objek
Pasal 78
(1) Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Tanah.
(2) Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah baik dengan cara digali, dibor
atau dengan menggunakan alat penyedot sehingga
menimbulkan keluarnya air dari dalam tanah untuk
dimanfaatkan.

Pasal 79
(1) Tidak termasuk objek Pajak Air Tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) adalah:
a. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk
keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan
perikanan rakyat, serta peribadatan;
b. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah yang
digunakan untuk kepentingan sosial;

47
c. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk
keperluan penelitian serta penyelidikan yang tidak
menimbulkan kerusakan atas sumber air dan
lingkungannya atau bangunan pengairan beserta tanah
turutannya;
d. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah oleh
Perusahaan Daerah Air Minum setempat; dan
e. pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(2) Kepentingan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, dapat berupa pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah
dalam rangka pembagian air kepada masyarakat akibat
kekeringan atau lainnya, penanggulangan bahaya kebakaran,
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk
pembangunan dan/atau keperluan tempat ibadah.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 80
(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air
Tanah.
(2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan
mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor
berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(3) Penggunaan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disesuaikan dengan kondisi geografis daerah.
(4) Untuk menentukan volume air yang diambil, setiap orang atau
badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan
Air Tanah wajib memasang alat ukur atau meteran air sehingga
dapat diketahui jumlah pengambilan air untuk periode
tertentu.
(5) Nilai Perolehan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dihitung dengan cara mengalikan Volume Pengambilan Air
dengan Harga Dasar Air.
(6) Volume Pengambilan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
adalah jumlah air yang diambil selama 1 (satu) bulan yang
dinyatakan dalam Satuan Meter Kubik (m 3) atau Satuan
Volume Air lainnya.
(7) Volume Pengambilan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diperoleh dari hasil laporan Wajib Pajak dan/atau pendataan
oleh petugas lapangan.

48
(8) Harga Dasar Air sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah
harga per meter kubik yang dinyatakan dalam rupiah yang
besarnya ditetapkan sesuai dengan kelompok pengambilan air.
(9) Harga Dasar Air sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dihitung
secara periodik oleh Perangkat Daerah dengan memperhatikan
faktor-faktor yang diperoleh melalui pendataan di lapangan.
(10) Harga Dasar Air sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Pasal 81
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen)
dari dasar pengenaan pajak.

Pasal 82
Besarnya pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
80 ayat (1).

Bagian Ketiga
Masa Pajak
Pasal 83
(1) Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan
kalender.
(2) Pajak yang terutang dalam masa pajak terjadi pada saat
pengambilan air tanah.

Bagian Kedua
Perizinan
Pasal 84
(1) Tata cara dan Syarat memperoleh izin Pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perangkat Daerah berkoordinasi dengan Instansi teknis/terkait
dalam memberikan informasi tentang Wajib Pajak yang belum
memproses izin pengambilan air tanah.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pemungutan
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pendataan Wajib Pajak
Pasal 85
(1) Pendaftaran Wajib Pajak adalah proses atau cara mendaftarkan
diri untuk pencatatan nama, NIK, alamat, dan data lainnya
yang diperlukan dalam daftar Wajib Pajak.
(2) Setiap pemilik/pengelola atau penanggungjawab usaha
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah baik orang
pribadi atau Badan wajib mendaftarkan diri dan/atau
melaporkan usahanya kepada Perangkat Daerah dengan
menggunakan formulir pendaftaran Wajib Pajak.

49
(3) Formulir pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dapat diperoleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
dengan cara:
a. mengambil sendiri ke Perangkat Daerah; atau
b. dikirim oleh petugas Perangkat Daerah.
(4) Formulir pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib diisi dan ditulis dengan benar, jelas dan lengkap
serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(5) Apabila permohonan pendaftaran sudah memenuhi syarat
sebagai Wajib Pajak, maka Wajib Pajak dapat dikukuhkan
sebagai Wajib Pajak dan diberikan NPWPD.
(6) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk orang
pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
(7) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk Badan
dihubungkan dengan nomor induk berusaha.

Pasal 86
(1) Pendataan Wajib Pajak adalah proses pengumpulan data
mengenai Wajib Pajak.
(2) Pendataan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pegawai yang memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan
pendataan atau petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala
Perangkat Daerah.
(3) Pendataan Wajib Pajak dapat dikerjasamakan.
(4) Pendataan Wajib Pajak dilakukan kepada orang pribadi atau
Badan yang memiliki jenis usaha pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah, baik sebelum usahanya dimulai
maupun yang sedang berlangsung.
(5) Pendataan Wajib Pajak digunakan sebagai sarana administrasi
pencatatan data yang dicantumkan pada setiap dokumen Wajib
Pajak, serta untuk keperluan pengelolaan database Wajib
Pajak.
(6) Database Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dikelola dalam sistem yang selalu dimutakhirkan atau
dilakukan pemeliharaan.
(7) Data Wajib Pajak untuk kebutuhan pengelolaan database,
sekurang-kurangnya mencantumkan:
b. nama dan alamat lokasi tempat melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah;
c. nama, NIK dan alamat orang/badan yang melakukan
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah;
d. nama, NIK dan alamat Penanggung Pajak air tanah;
e. jumlah titik tempat melakukan pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah; dan
f. rata-rata volume atau kubikasi air tanah yang diambil
dan/atau dimanfaatkan.
(8) Data Wajib Pajak selain untuk pengelolaan database
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat ditambahkan atau
disesuaikan dengan kebutuhan.

50
(9) Pendataan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk
melakukan pendataan dengan tujuan tertentu dalam
rangka optimalisasi penerimaan pajak;
b. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib
Pajak;
c. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan kegiatan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah yang sedang berlangsung,
atau cara lain yang diperlukan; dan
d. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan atau
dokumentasi atas kegiatan yang diperoleh pada huruf a dan
huruf b.
(10) Bentuk dan tata cara pengisian formulir pendaftaran
sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
(11) Tata cara pendaftaran dan pendataan yang tidak dijelaskan
dalam Peraturan Bupati ini mengacu pada peraturan yang
berlaku mengenai sistem dan prosedur administrasi pajak
daerah.

Paragraf 2
Penetapan Pajak
Pasal 87
(1) Pajak Air Tanah dipungut dari subjek pajak oleh Wajib Pajak.
(2) Pajak Air Tanah dipungut berdasarkan SKPD.
(3) Bupati mendelegasikan wewenang dalam menerbitkan SKPD
kepada Kepala Perangkat Daerah.
(4) Kepala Perangkat Daerah menetapkan pajak terutang dengan
menerbitkan SKPD berdasarkan nota pengantar perhitungan
Pajak atau dokumen lain yang dipersamakan.
(5) SKPD diterbitkan pada setiap awal Masa Pajak paling lambat
15 (lima belas) hari Kalender.

Pasal 88
(1) Formulir SKPD terdiri dari 4 (empat) rangkap dengan
peruntukan:
e. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
f. lembar kedua (warna putih) untuk sub bidang penilaian
Pajak Daerah pada Perangkat Daerah;
g. lembar ketiga (warna kuning) untuk sub bidang penagihan
pada Perangkat Daerah; dan
h. lembar keempat (warna hijau) untuk sub bidang
pengelolaan data dan informasi pada Perangkat Daerah.
(2) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPD sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Paragraf 3

51
Tata Cara Pembayaran Pajak

Pasal 89
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak
yang terutang dengan menggunakan SSPD.
(3) Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis
elektronik.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum
tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan
melalui pembayaran tunai.
(5) Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
adalah 30 (tiga puluh) hari setelah SKPD ditetapkan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat
pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Wajib
Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan
menggunakan STPD.

Pasal 90
(1) Pembayaran Pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain
yang ditunjuk oleh Bupati sesuai dengan yang ditentukan
dalam SKPD dan atau STPD.
(2) Pembayaran pajak ditempat lain yang ditunjuk oleh Bupati
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pembayaran yang
melalui bendahara penerimaan atau bendahara penerimaan
pembantu, atau petugas pemungut yang ditunjuk sesuai yang
ditentukan dalam SKPD, dan/atau STPD.
(3) Petugas pemungut yang ditunjuk untuk menerima pembayaran
pajak dari Wajib Pajak, menyetorkan seluruh penerimaannya
kepada bendahara penerimaan dan/atau bendahara
penerimaan pembantu.
(4) Bendahara penerimaan dan bendahara penerimaan pembantu,
menyetorkan seluruh hasil penerimaan pajaknya, baik yang
diterima langsung dari Wajib Pajak maupun yang diterima dari
petugas pemungut yang ditunjuk, ke Rekening Kas Daerah
selambat-lambatnya 1 x 24 jam atau dalam waktu yang
ditentukan oleh Bupati.
(5) Dalam hal batas akhir penyetoran sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) jatuh pada hari libur, pajak dapat disetor pada hari
kerja pertama berikutnya.
(6) Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dilakukan dengan menggunakan SSPD dengan
mencantumkan kode rekening rincian objek Pajak Air Tanah.

52
(7) Penyetoran pajak ke rekening kas daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan menggunakan Surat
Tanda Setoran dengan mencantumkan kode rekening rincian
objek pajak Air Bawah Tanah.
(8) Formulir SSPD terdiri dari 5 (lima) rangkap dengan
peruntukan:
a. lembar pertama (warna Kuning) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk sub bidang penagihan
Pajak pada Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna Hijau) untuk Bendahara Penerimaan
pada Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna biru) untuk sub bidang pengelolaan
data dan informasi; dan
e. lembar kelima (warna biru muda) untuk Arsip Perangkat
Daerah.
(9) Formulir Surat Tanda Setoran terdiri dari 7 (tujuh) rangkap
dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Penyetor/ Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Bank Penerima
Setoran;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk Bidang Akuntansi dan
pelaporan Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk SPJ Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu;
e. lembar kelima (warna biru) untuk Bidang Pengelolan Pajak
Daerah;
f. lembar keenam (warna Kuning) untuk Bidang Pengelolaan
Pajak pada Perangkat Daerah; dan
g. lembar ketujuh (warna hijau) untuk Bidang Pengelolaan
Pajak pada Perangkat Daerah.

Paragraf 4
Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak
Pasal 91
(1) Permohonan angsuran dan penundaan pembayaran Pajak
disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati
melalui Kepala Badan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
tanggal penerbitan SKPD, dan/ atau STPD.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya disertai dengan lampiran:
a. keadaan keuangan perusahaan;
b. rekening koran perusahaan untuk 3 (tiga) bulan terakhir
yang menunjukkan saldo uang di bank; dan
c. besarnya pajak yang terutang yang ditunjukkan dengan
SKPD, STPD dan SSPD.
(3) Kepala Perangkat Daerah melakukan penelitian atas dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai bahan
pertimbangan pemberian persetujuan.

53
(4) Bupati dapat memberikan persetujuan paling lama 3 (tiga)
bulan sejak menerima Surat Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan:
c. angsuran pembayaran pajak dilaksanakan secara teratur
dan berturut-turut, maksimal 4 (empat) kali, selama-
lamanya 1 (satu) tahun sejak tanggal persetujuan Bupati;
d. penundaan pembayaran pajak dilakukan maksimal 3 bulan
sejak dikeluarkannya persetujuan.
(5) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan Bupati tidak
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap
dikabulkan, dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).

Pasal 92
(1) Setiap pembayaran Pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), diberikan tanda bukti
pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan.
(2) Tanda bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah SSPD.
(3) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku
penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengacu kepada sistem dan prosedur pengelolaan keuangan
daerah yang berlaku.

Paragraf 5
Tata Cara Penagihan Pajak
Pasal 93
(1) Penagihan pajak dilakukan dengan menggunakan STPD.
(2) Perangkat Daerah menerbitkan STPD apabila:
a. pajak yang terutang dalam SKPD tidak atau kurang
dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran
akibat salah tulis dan/atau salah hitung; atau
c. wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 1% (satu Persen).
(3) Formulir STPD terdiri dari 4 (empat) rangkap dengan
peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk sub bidang penagihan
Pajak pada Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna Hijau) untuk Bendahara Penerimaan
pada Perangkat Daerah; dan
d. lembar keempat (warna biru) untuk sub bidang pengelolaan
data dan informasi;

Pasal 94
Tata cara penagihan pajak adalah sebagai berikut:
a. Penagihan dengan surat teguran atau surat peringatan:

54
1. pembuatan daftar Surat Teguran Wajib Pajak, 7 (tujuh) hari
setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran;
2. penerbitan Surat Teguran;
3. penyampaian/penyerahan Surat Teguran kepada Wajib
Pajak yang bersangkutan;
4. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
b. Penagihan dengan Surat Paksa, kegiatan yang dilaksanakan
meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Paksa untuk Wajib Pajak yang
setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah
tanggal Surat Teguran belum menyetor pajak terutang;
2. penerbitan Surat Paksa berdasarkan Daftar Surat Paksa;
3. pengiriman/penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak
yang bersangkutan melalui Juru Sita Pajak;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa; dan
5. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
c. Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,
kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan Daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
untuk yang belum melunasi utang pajaknya 2 x 24 jam
setelah peneribitan Surat Paksa;
2. penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
3. pelaksanaan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak dengan
menyerahkan barang milik Wajib Pajak yang boleh disita
menurut perundang-undangan yang dirinci pada Berita
Acara Pelaksanaan Sita;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Penyitaan;
5. contoh formulir dan buku/daftar yang dipergunakan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
d. Pengumuman Lelang dan Pelaksanaan Lelang, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan Daftar Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang
untuk Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya
sampai dengan berakhirnya batas Waktu 14 (empat belas)
hari sejak tanggal Surat Pelaksanaan Penyitaan;
2. pemeriksaan hari, tanggal dan jam pelelangan yang disetujui
oleh Kepala Badan dan Permintaan Penegasan kepada
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN);
3. penyiapan berkas penyitaan Wajib Pajak yang bersangkutan
dan Pengumuman Lelang;
4. pelaksanaan Lelang sesuai dengan hari, tanggal dan jam
yang telah ditentukan; dan

55
5. formulir dan daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
e. Pencabutan Penyitaan dan Pengumuman Lelang, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Pencabutan Penyitaan untuk Wajib
Pajak yang telah melunasi utang pajaknya sesudah
penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sampai
dengan sebelum Pengumuman Lelang;
2. penerbitan Surat Pencabutan Penyitaan;
3. pelaksanaan Pencabutan Penyitaan dengan pembuatan
Berita Acara Pencabutan Penyitaan;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan;
5. monitoring penyetoran Wajib Pajak seperti butir di atas
untuk mengetahui Wajib Pajak yang telah melunasi utang
pajaknya sesudah Pengumuman Lelang sampai dengan
sebelum Pelaksanaan Lelang;
6. pembuatan daftar Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
7. penerbitan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
8. pengiriman/penyerahan Surat Pencabutan Pengumuman
Lelang oleh Juru Sita Pajak;
9. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
f. Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus, kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS & S);
2. penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS & S) dari Daftar Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus (SPPS & S);
3. penyerahan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS & S);
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus (SPPS & S); dan
5. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini

Paragraf 6
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan
Dan Pembebasan Pajak
Pasal 95
(1) Permohonan Wajib Pajak diajukan secara tertulis kepada
Bupati melalui Kepala Badan paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum jatuh tempo pembayaran dengan alasan-alasan
yang dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dan paling
sedikit dilampiri:
d. SKPD atau STPD asli;

56
e. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan; dan
f. laporan keuangan yang sah, periode permohonan
pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak.
(2) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk
melakukan verifikasi dan/atau pemeriksaan dan/atau
permintaan keterangan kepada Wajib Pajak atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dan/atau
pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib
Pajak melaporkan hasilnya kepada Kepala Perangkat Daerah
sebagai dasar pemberian persetujuan.
(4) Pemberian persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan Wajib Pajak diterima, dengan ketentuan:
c. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari
besarnya pajak terutang; dan
d. keringanan berupa pelunasan pajak selama-lamanya 1
(satu) tahun.
(5) Apabila setelah lewat 3 (tiga) bulan Bupati tidak memberikan
Keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4).

Pasal 96
(1) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 1% (satu persen) sebulan untuk paling lama 15 (lima
belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak terutang dan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih dengan
menggunakan STPD.

Paragraf 7
Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan
Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal 97
(1) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan
dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas
SKPD, atau STPD harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib
Pajak kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima SKPD, atau
STPD dengan disertai alasan yang jelas.
(2) Paling lambat 3 (tiga) bulan sejak surat permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, Bupati dapat
memberikan keputusan.
(3) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Bupati atau pejabat yang berwenang
tidak memberikan keputusan, permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.

57
(4) Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan
dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif
adalah sebagai berikut:
a. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau
Pengurangan Sanksi Administratif dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau
Pengurangan Sanksi Administratif dari Wajib Pajak. Bila
perlu dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala
Perangkat Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan untuk
ditolak atau diterima;
e. membuat Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala
Perangkat Daerah, berupa Surat Keputusan Penolakan bila
permohonan ditolak, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Pembatalan, Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau
Pengurangan Sanksi Administratif bila permohonan
diterima; dan
f. menyerahkan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 8
Keberatan dan Banding
Pasal 98
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati
atau pejabat yang ditunjuk atas suatu :
a. SKPD;
b. SKPDLB; dan
c. SKPDN.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan disertai alasan-alasan yang jelas dengan dilampiri:
d. SKPD, SKPDLB, atau SKPDN asli;
e. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan; dan
f. laporan keuangan yang sah, periode permohonan keberatan
pajak.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap
sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

58
Pasal 99
Tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:
a. menerima Surat Permohonan Keberatan dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan keberatan dari Wajib Pajak.
Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala
Perangkat Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan apakan
permohonan keberatan diterima atau ditolak;
e. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala
Perangkat Daerah kepada Bupati untuk pembuatan keputusan
penerimaan atau penolakan terhadap keberatan yang diajukan
Wajib Pajak;
f. pembuatan Surat Keputusan yang ditandatangani Bupati atau
pejabat yang ditunjuk, berupa menerima seluruhnya, sebagian,
menolak atau menambah pajak terutang; dan
g. penyerahan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 9
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 100
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati melalui
Kepala Perangkat Daerah dengan paling sedikit
mencantumkan:
a. Nama, NIK dan alamat Wajib Pajak;
b. masa Pajak;
c. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
d. argumen yang jelas;
e. SKPD, atau STPD asli;
f. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(2) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala
Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan
pemeriksaan atau permintaan keterangan atas kebenaran data
yang dicantumkan dalam surat permohonan.
(3) Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
(4) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada
Wajib Pajak setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada
Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah yang
berlaku.

Paragraf 10
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Kedaluwarsa
Pasal 101

59
Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa
diatur sebagai berikut:
a. Perangkat Daerah melaksanakan pendataan atas piutang pajak
yang sudah kedaluwarsa berdasarkan database yang dimiliki;
b. Perangkat Daerah melaksanaan pengecekan ulang atau validasi
atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa;
c. berdasarkan hasil validasi, Perangkat Daerah mengajukan
usulan penghapusan atas piutang pajak yang sudah
kedaluwarsa kepada Bupati;
d. berdasarkan usulan Perangkat Daerah, Bupati menetapkan
Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Kabupaten yang sudah
Kedaluwarsa;
e. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang
Sudah Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rinci Piutang
Pajak yang Sudah Kedaluwarsa.

Paragraf 11
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 102
(1) Bupati dapat menunjuk petugas untuk melakukan pengawasan
dengan tujuan dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak
dan/atau tujuan tertentu.
(2) Pengawasan dengan tujuan dalam rangka optimalisasi
penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan pemantauan langsung di lokasi pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah atau objek pajak.
(3) Pengawasan dengan pemantauan langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. menghitung dan mencatat kunjungan pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah;
b. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib
Pajak;
c. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan kegiatan usaha yang
sedang berlangsung, atau cara lain yang diperlukan;
d. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan atau
dokumentasi atas kegiatan yang diperoleh pada huruf a dan
huruf b.
(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
digunakan sebagai pembanding laporan yang disampaikan Wajib
Pajak dalam rangka penetapan pajak terutang dan/atau dapat
digunakan dokumen pemeriksaan.

Pasal 103
(1) Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan

60
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dapat
dilakukan pemeriksaan.
(2) Pelaksana pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Perangkat
Daerah pada Sub Bidang Pemeriksaan dan/atau tenaga ahli
yang ditunjuk oleh Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah.
(3) Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tercapainnya tujuan
pemeriksaan, pemeriksa dapat bekerjasama dengan instansi lain
dan/atau pihak lain dengan persetujuan Kepala Perangkat
Daerah.
(4) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan; dan
d. menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan.
(5) Tata cara pemeriksaan pajak diatur sebagai berikut:
a. Kepala Perangkat Daerah menerbitkan Surat Perintah
Pemeriksaan Pajak kepada petugas yang ditunjuk untuk
melakukan pemeriksaan pajak atas suatu Wajib Pajak;
b. petugas yang ditunjuk paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang;
c. jangka waktu pemeriksaan minimal 3 (tiga) hari kerja dan
paling lama 15 (lima belas) hari kerja;
d. jangka waktu sebagaimana dimaksud padahuruf c, dapat
diperpanjang apabila diperlukan;
e. petugas membuat dokumentasi berupa kertas kerja
pemeriksaan atas pemeriksaan pajak yang dilakukan;
f. permasalahan hasil pemeriksaan dibahas antara petugas
dengan Wajib Pajak untuk mendapatkan persetujuan atau
kesepakatan, dan dituangkan dalam Berita Acara
Kesepakatan Hasil Pemeriksaan;
g. petugas membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak;
h. laporan Hasil Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Kepala
Badan secara berjenjang; dan
i. berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak, Kepala Badan
dapat menerbitkan SKPDLB, SKPDN, STPD.
(6) Dalam melakukan pemeriksaan, petugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a, wajib:
a. memiliki tanda pengenal pemeriksa dilengkapi surat perintah
pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak;
b. memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak perihal
akan dilakukannya pemeriksaan pajak;
c. menjelaskan kepada Wajib Pajak maksud dan tujuan
pemeriksaan pajak;

61
d. menyampaikan kepada Wajib Pajak mengenai hasil
pemeriksaan serta adanya perbedaan antara hasil
pemeriksaan dengan SPTPD; dan
e. mengembalikan kepada Wajib Pajak seluruh dokumen yang
dipinjam dalam rangka pemeriksaan, paling lama 14 (empat
belas) hari sejak selesainya pemeriksaan pajak.
(7) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai
huruf e, menjadi hak Wajib Pajak kepada petugas pemeriksa
dalam hal kepada Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan pajak.

Pasal 104
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1)
dalam bentuk :
a. pemeriksaan lengkap; dan
b. pemeriksaan sederhana.
(2) Pemeriksaan lengkap sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, dilakukan ditempat domisili atau lokasi usaha Wajib Pajak
untuk tahun berjalan dan/atau tahun pajak sebelumnya yang
dilakukan dengan menerapkan teknik pemeriksaan yang pada
umumnya digunakan dalam pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sederhana sebagimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dilakukan:
a. dilapangan untuk tahun berjalan atau tahun-tahun pajak
sebelumnya dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan
bobot sederhana; dan
b. di kantor untuk tahun pajak berjalan.

Pasal 105
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan
tempat ruangan tertentu, apabila:
a. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103 ayat (4);
b. Wajib Pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalangi kelancaran pemeriksaan; dan
c. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencataan atau
dokumen lain yang patut diduga tidak benar, palsu atau
dipalsukan.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetukan
pemeriksaan diluar tempat Wajib Pajak, apabila:
a. Wajib Pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalangi kelancaran pemeriksaan; dan
b. Karena pertimbangan teknis pemeriksa, pemeriksaan tidak
dapat dilakukan di tempat Wajib Pajak.

BAB VI
OPSEN

Bagian Kesatu

62
Pemungutan
Pasal 106
(1) Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari:
a. PKB;
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.
(2) Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) huruf a dan huruf b didasarkan pada nama, nomor
induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan
Bermotor di wilayah Daerah.
(3) Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 66% (enam
puluh enam persen) dengan dasar pengenaan Pajak.
(4) Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dengan dasar pengenaan Pajak.
(5) Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan
dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB, BBNKB, dan
Pajak MBLB.

Bagian Kedua
Penetapan, Pembayaran, Penyetoran
Opsen PKB dan Opsen BBNKB
Pasal 107
(1) Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB terutang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) ditetapkan oleh
gubernur dan dicantumkan di dalam SKPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).
(2) Wajib Pajak Opsen PKB dan Opsen BBNKB membayar Pajak
terutang menggunakan SSPD berdasarkan SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan SSPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen
penetapan dan pembayaran sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan mengenai sistem administrasi
manunggal satu atap kendaraan bermotor.
(4) Pembayaran Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ke kas Daerah dilakukan bersamaan
dengan pembayaran PKB dan BBNKB ke kas Daerah Provinsi.
(5) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, gubernur melakukan
Penagihan.
(6) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk
Penagihan sanksi administratif atas Opsen PKB dan/atau Opsen
BBNKB.
(7) Dalam hal gubernur telah menerima pembayaran atas
Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bagian Opsen
PKB dan/atau Opsen BBNKB disetorkan ke kas Daerah paling
lama 3 (tiga) hari kerja.

Bagian Ketiga
Penghitungan, Pembayaran, dan Pelaporan

63
Opsen Pajak MBLB
Pasal 108
(1) Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB
terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (4)
dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran, dan
pelaporan Pajak MBLB.
(2) Pembayaran Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ke kas Daerah Provinsi dilakukan bersamaan dengan
pembayaran Pajak MBLB ke kas Daerah dalam SSPD Pajak
MBLB.
(3) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, Bupati melakukan Penagihan.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), termasuk
Penagihan sanksi administratif atas Opsen Pajak MBLB.
(5) Dalam hal Bupati telah menerima pembayaran atas Penagihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati menyetorkan
bagian Opsen Pajak MBLB ke kas Daerah provinsi paling lama 3
(tiga) hari kerja.
(6) Pelaporan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dicantumkan dalam SPTPD Pajak MBLB.

Bagian Keempat
Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Opsen PKB dan Opsen BBNKB
Pasal 109
(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran PKB
yang disebabkan oleh keadaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (7) dan/atau kelebihan pembayaran BBNKB
kepada Gubernur, pengembalian kelebihan pembayaran PKB
dan/atau BBNKB termasuk memperhitungkan pengembalian
kelebihan pembayaran Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (l ) disetujui, gubernur menerbitkan SKPDLB PKB
dan/atau SKPDLB BBNKB dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 94.
(3) Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada bupati, pada hari penerbitan atau paling
lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diterbitkan.
(4) Gubernur mengembalikan kelebihan pembayaran PKB dan
Opsen PKB, atau BBNKB dan Opsen BBNKB kepada Wajib Pajak
berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.

Bagian Kelima
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen Pajak MBLB
Pasal 110
(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran Pajak
MBLB kepada bupati, pengembalian kelebihan pembayaran
Pajak MBLB termasuk memperhitungkan pengembalian
kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disetujui, Bupati/wali kota menerbitkan SKPDLB
Pajak MBLB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
94.

64
(3) Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan.
(4) Gubernur menerbitkan SKPDLB Opsen Pajak MBLB
berdasarkan SKPDLB Pajak MBLB, pada hari penerbitan atau
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak salinan SKPDLB
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima.
(5) Gubernur dan Bupati mengembalikan kelebihan pembayaran
Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB kepada Wajib Pajak
berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (4), paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.

Bagian Keenam
Sinergi Pemungutan Opsen
Pasal 111
(1) Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
a. Opsen PKB; dan
b. Opsen BBNKB,
Pemerintah Daerah provinsi bersinergi dengan Pemerintah
Daerah Provinsi kabupaten/kota.
(2) Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen
Pajak MBLB, Pemerintah Daerah bersinergi dengan Pemerintah
Daerah provinsi.
(3) Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa
sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan
Opsen PKB, Opsen BBNKB, Pajak MBLB, dan Opsen Pajak
MBLB, atau bentuk sinergi lainnya.

BAB VII
BPHTB
Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Pendataan BPHTB
Pasal 112
(1) Wajib Pajak BPHTB wajib mendaftarkan diri dan/atau objek
Pajaknya kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Wajib
Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Kepala
Perangkat Daerah.
(3) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk orang pribadi
dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
(4) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Badan
dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
(5) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mendaftarkan diri, Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah
secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang
diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.

Pasal 113
(1) Untuk keperluan pengelolaan database Wajib Pajak, Perangkat
Daerah melaksanakan pendataan Objek BPHTB dan Wajib Pajak.
(2) Pendataan Objek BPHTB dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menggunakan laporan Wajib Pajak, laporan PPAT,
laporan Kepala BPN dan laporan Kepala KPPLN.

65
Pasal 114
Untuk memenuhi database Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (1), maka:
a. setiap orang pribadi atau Badan wajib melaporkan kepada
Perangkat Daerah atas perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan paling lambat dalam tahun pajak ketika memperoleh
hak;
b. PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan, tahunan dan
melaksanakan rekonsiliasi dengan Perangkat Daerah atas
peralihan hak atas tanah dan bangunan;
c. BPN wajib menyampaikan laporan bulanan dan melaksanakan
rekonsiliasi dengan Perangkat Daerah atas proses peralihan hak
atas tanah dan bangunan; dan
d. Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib
menyampaikan laporan peralihan hak atas tanah dan bangunan
melalui lelang kepada Perangkat Daerah.

Pasal 115
Pendataan objek dan Wajib Pajak selain menggunakan laporan dari
Wajib Pajak dan laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51, dapat dilakukan dengan cara:
a. petugas yang ditunjuk menggali informasi kejadian perbuatan
hukum yang berkenaan dengan perolehan hak atas tanah dan
bangunan;
b. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi dan
memberikan pemahaman tentang BPHTB kepada Wajib Pajak;
c. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat dokumen
peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan, atau cara lain
yang diperlukan; dan
d. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan dan/atau
pendokumentasian atas kegiatan yang diperoleh sebagaimana
dimaksud pada huruf a, b dan c.

Pasal 116
(1) Data yang diperoleh baik yang bersumber dari laporan Wajib
Pajak, PPAT, BPN dan KPPLN maupun dari hasil pendataan
petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53
digunakan untuk keperluan pengelolaan database Wajib Pajak
sesuai kebutuhan.
(2) Data Wajib Pajak dikelola dalam suatu database yang selalu
dimutakhirkan melalui sistem elektonik aplikasi BPHTB.
(3) Data Wajib Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
diperlukan untuk kebutuhan pengelolaan database, terdiri dari:
g. bentuk Perbuatan Hukum atas perolehan hak;
h. nama dan alamat pihak yang mengalihkan/memberikan hak;
i. nama dan alamat pihak yang menerima hak;
j. jenis dan nomor hak;
k. SPPT PBB, NOPD dan NJOP;
l. letak tanah dan bangunan;
m. luas tanah dan bangunan;
n. harga transaksi perolehan/pengalihan hak;
o. nomor dan tanggal akte (apabila sudah dan/atau sedang
dalam proses peralihan di PPAT;

66
p. nomor dan tanggal pendaftaran apabila sudah dan/atau
sedang dalam proses perolehan hak di BPN;
q. risalah lelang apabila perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan diperoleh melalui proses lelang;
r. SSPD, tanggal dan nilai penyetoran apabila sudah
menyetorkan); dan
s. surat Setoran BPHTB, tanggal dan nilai penyetoran apabila
sudah menyetorkan.
(4) Data Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
sampai dengan huruf m, dapat ditambahkan atau disesuaikan
dengan kebutuhan.

Pasal 117
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b sampai
dengan huruf d disampaikan kepada Bupati melalui Kepala
Perangkat Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya.
(2) Bentuk format dan tata cara pengisian formulir laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran
I dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Bupati ini.

Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif Dan
Cara Penghitungan Pajak
Pasal 118
(1) Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek
Pajak.
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya
adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai
pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah
nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi
yang tercantum dalam risalah lelang.
(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau
lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan

67
PBB-P2 pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang
dipakai adalah NJOP PBB-P2.
(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan paling rendah sebesar Rp80.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
(6) Perubahan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak melebihi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(7) NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut SPPT PBB-P2
tahun yang bersangkutan atau dalam hal SPPT dimaksud belum
terbit, adalah NJOP menurut SPPT tahun pajak sebelumnya.
(8) Apabila tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) belum terdaftar pada Perangkat Daerah, maka NJOP yang
dipakai adalah NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan
Kepala Perangkat Daerah.

Pasal 119
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan
sebesar 5% (lima persen).

Pasal 120
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara nilai
perolehan objek pajak dikurangi nilai perolehan objek tidak kena
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dan (5)
dikalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.

Pasal 121
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan bangunan berdasarkan
pembagian hak bersama atau berdasarkan pembagian waris yang
apabila ahli warisnya lebih dari 1 (satu), besaran pokok BPHTB yang
terutang dihitung dengan cara nilai perolehan objek pajak setelah
dikurangi nilai perolehan objek tidak kena pajak sebagaimana
tercantum dalam Pasal 56 ayat (4), dikali jumlah ahli waris setelah
dikurangi satu, dibagi jumlah ahli waris dikalikan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61.

Pasal 122
Apabila orang pribadi atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun
pajak memperoleh hak atas tanah dan bangunan lebih dari 1 (satu)
objek, maka hak atas nilai perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
hanya diberikan 1 (kali) pada perolehan hak atas tanah dan
bangunan yang pertama.

Pasal 123

68
Ahli waris yang memperoleh hak waris atas tanah dan bangunan dari
pewaris yang sama dalam waktu 1 (satu) tahun pajak, maka hak atas
nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak hanya diberikan 1 (kali)
pada perolehan hak atas tanah dan bangunan yang pertama.

Pasal 124
Apabila dalam waktu 1 (satu) tahun pajak memperoleh hak atas
tanah dan bangunan lebih dari 1 (satu) objek tetapi dari jenis
perolehan yang berbeda maka hak atas nilai perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak hanya diberikan 1 (kali) pada perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang pertama.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan/atau Penyetoran
Pasal 125
Setiap orang pribadi atau Badan menjadi Wajib Pajak BPHTB sejak
memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

Pasal 126
(1) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian
pengikatan jual beli untuk jual beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-
menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan
atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan
usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh
penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor
bidang pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
(2) Dalam hal pada saat transaksi jual beli tanah dan/atau Bangunan
tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk
jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.

Pasal 127
Setiap Wajib Pajak membayar BPHTB dengan tidak mendasarkan
pada adanya surat ketetapan pajak.

Pasal 128
Pembayaran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan:
a. ketika memperoleh hak atas tanah dan bangunan;
b. sebelum Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris menandatangani
akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;

69
c. sebelum Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara
menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan; atau
d. sebelum Kepala kantor bidang pertanahan melakukan pendaftaran
Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah.

Pasal 129
Terhitung sejak terutangnya Pajak sampai dengan kurun waktu 5
(lima) tahun, Bupati dapat menetapkan:
a. SKPDKB apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain, pajak yang terutang tidak dibayar atau kurang bayar;
a. SKPDKBT apabila ditemukan data baru dan/atau belum
terungkapnya semua data yang mengakibatkan bertambahnya
jumlah pajak terutang; dan/atau
b. SKPDN apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain, pajak yang terutang tidak kurang bayar.

Pasal 130
(2) Formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN terdiri dari 4 (empat)
rangkap dengan peruntukkan:
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua untuk PPAT;
c. lembar ketiga BPN; dan
d. lembar keempat Badan Pengelolaan Pajak Daerah.
(3) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan
SKPDN tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 131
Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak Kurang Bayar atau
Kurang Bayar Tambahan adalah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya SKPDKB atau SKPDKBT oleh Wajib Pajak.

Pasal 132
(1) Pembayaran pajak dilakukan oleh Wajib Pajak melalui rekening
kas daerah pada bank yang ditunjuk.
(2) Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan menggunakan SSPD-BPHTB.
(3) SSPD-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga
merupakan SPTPD.
(4) SSPD-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat
menggunakan Sistem Elektronik (Aplikasi BPHTB) milik
Pemerintah Daerah.
(5) SSPD-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan
kepada Pejabat yang ditunjuk sebagai bahan untuk dilakukan
penelitian.
(6) SSPD-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah
dilakukan penelitian atau pemeriksaan diyatakan kurang bayar
maka diterbitkan SKPDKB dan apabila diketemukan tidak kurang
bayar SPPD-BPHTB divalidasi oleh pejabat yang berwenang.
(7) Formulir SSPD-BPHTB terdiri dari 6 (enam) rangkap dengan
peruntukkan:
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua untuk PPAT/Notaris sebagai arsip;

70
c. lembar ketiga untuk Kepala Kantor Bidang Pertanahan;
d. lembar keempat untuk Perangkat Daerah;
e. lembar kelima untuk Bank penerima setoran; dan
f. lembar keenam untuk Bendahara Penerimaan.
(8) Pembayaran pajak dilakukan sekaligus atau lunas.

Pasal 133
(1) Setiap pembayaran pajak oleh Wajib Pajak diberikan tanda bukti
pembayaran dan dicatat dalam buku penerimaan.
(2) Tanda bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah SSPD
(3) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku
penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu
kepada sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.

Pasal 134
(1) Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya
wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak,
sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan; dan
b. melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli
dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati
paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a; dan/atau
b. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak,
sebelum menandatangani risalah lelang; dan
b. melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(4) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 135
(1) Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan
merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat
keterangan bukan objek BPHTB.
(2) Dalam penerbitan Surat Keterangan Bukan Objek BPHTB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bupati dapat melimpahkan
kepada Kepala Perangkat Daerah.

Bagian Keempat
Penelitian SSPD BPHTB

71
Pasal 136
(1) Berdasarkan permohonan validasi SSPD-BPHTB, Kepala
Perangkat Daerah melakukan penelitian dan pemeriksaan
sebelum melakukan validasi.
(2) Penelitian dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan untuk memastikan kebenaran atas pembayaran
BPHTB.
(3) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk
melakukan penelitian dan pemeriksaan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).

Pasal 137
Petugas yang ditunjuk dalam melaksanakan tugas penelitian dan
pemeriksaan harus memenuhi tata cara pemeriksaan dan
melaksanakan kewajiban yang telah diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 138
(1) Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
a. kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB
dengan NOPD yang tercantum:
1. dalam SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
2. pada basis data PBB-P2;
b. kesesuaian NJOP bumi per meter persegi yang dicantumkan
dalam SSPD BPHTB dengan NJOP bumi per meter pada basis
data PBB-P2;
c. kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang
dicantumkan dalam SPPD BPHTB dengan NJOP Bangunan per
meter persegi pada basis data PBB-P2;
d. kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan
objek pajak, NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan
atas objek pajak tertentu, dan BPHTB terutang atau yang
harus dibayar;
e. kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk
besarnya pengurungan yang dihitung sendiri; dan
f. kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan
dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek
BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
(2) Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
(3) Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat
berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria
tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
(4) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan
pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan
umum dan perumahan rakyat.
(5) Proses penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak
diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di
tempat.

72
(6) Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pajak yang
disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak
wajib membayar selisih kekurangan tersebut.

Pasal 139
(1) Selain melakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1)
penelitian dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78 ayat (1) dan ayat (2) meliputi:
a. penelitian dan pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran
berkas atau dokumen;
b. penelitian dan pemeriksaan atas kebenaran atau kewajaran
nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan;
c. meminta keterangan dari Wajib Pajak apabila diperlukan;
d. meminta keterangan dari pejabat yang berwenang yang terkait
dengan proses perolehan hak atas tanah dan bangunan yang
dimohon validasi oleh Wajib Pajak apabila diperlukan;
e. meminta keterangan dari pihak lain yang terkait dengan
proses perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dimohon
validasi oleh Wajib Pajak apabila diperlukan;dan
f. melakukan cek fisik objek perolehan hak atas tanah dan
bangunan yang dimohon apabila diperlukan.
(2) Wajib Pajak, pejabat dan pihak lain sebagimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, d dan huruf e, wajib:
e. memberikan keterangan yang diperlukan dengan sebenar
benarnya;
f. memperlihatkan dokumen lain yang diperlukan pemeriksa
yang berhubungan dengan objek perolehan hak atas tanah
dan bangunan yang dimohon;
g. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan; dan
h. menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan.

Pasal 140
Dalam hal penelitian dan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, pejabat
dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) yang
terkait dengan proses perolehan hak atas tanah dan bangunan yang
dimohon, petugas yang ditunjuk wajib:
a. menjelaskan kepada pihak yang diminta keterangan tentang
maksud dan tujuan penelitian dan pemeriksaan;
b. membuat dokumentasi berupa kertas kerja pemeriksaan atas
pemeriksaan pajak yang dilakukan;
c. permasalahan hasil pemeriksaan dibahas antara petugas dengan
Wajib Pajak dan/atau Pejabat dan/atau pihak lain yang terkait
dengan proses perolehan hak atas tanah dan bangunan untuk
mendapatkan persetujuan atau kesepakatan, dan dituangkan
dalam Berita Acara Kesepakatan Hasil Pemeriksaan;
d. membuat Laporan Hasil Pemeriksaan;
e. menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Kepala Perangkat
Daerah atau Pejabat yang diberikan kewenangan.

Pasal 141

73
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan, Kepala Perangkat Daerah
atau Pejabat yang diberikan kewenangan menerbitkan SKPDKB atau
SKPDKBT atau SKPDLB atau SKPDN.

Pasal 142
(1) Jangka waktu pemeriksaan paling cepat 3 (tiga) hari kerja dan
paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang apabila diperlukan.

Bagian Kelima
Pengurangan, Keringanan, dan Pembebasan Pajak
Pasal 143
(6) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau atas Kebijakan
Daerah, Bupati dapat memberikan pengurangan, keringanan dan
pembebasan pajak.
(7) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah
paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum jatuh tempo
pembayaran dengan alasan yang dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan dan paling sedikit dilampiri:
a. fotokopi bukti pembayaran BPHTB yang telah dilakukan;
b. fotokopi bukti transaksi perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan;
c. fotokopi SPPT PBB-P2 tahun berkenaan; dan
d. fotokopi KTP/SIM/Paspor/Kartu Keluarga/Identitas lain.
(8) Pemberian persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan Wajib Pajak diterima, dengan ketentuan
pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari besarnya
pajak terutang.
(9) Apabila setelah melewati 3 (tiga) bulan Bupati tidak memberikan
Keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3).
(10)Kebijakan Daerah sebagaimana di maksud ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.

Pasal 144
(1) Pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) adalah:
a. pengurangan atau menghapuskan sanksi administratif
berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang
dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan
Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. pengurangan atau pembatalan SKPDKB, SKPDKBT, atau
SKPDLB yang tidak benar;
c. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak Daerah;
d. pembatalan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang
dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara
yang ditentukan;
e. pengurangan ketetapan pajak terutang berdasarkan
pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau
kondisi tertentu objek pajak.

74
(2) Tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan ketetapan
pajak dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif
adalah sebagai berikut:
f. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi Administratif dari Wajib Pajak;
g. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi Administratif dari Wajib Pajak dan apabila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan;
h. membuat Laporan Hasil Penelitian/Pemeriksaan;
i. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian/Pemeriksaan kepada
Kepala Perangkat Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan
untuk ditolak atau diterima;
j. membuat Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala
Perangkat Daerah, berupa Surat Keputusan Penolakan bila
permohonan ditolak, dan Surat Keputusan pengurangan,
keringanan dan pembebasan Sanksi Administratif bila
permohonan diterima; dan
k. menyampaikan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Bagian Keenam
Tata Cara Penagihan Pajak
Pasal 145
(1) Penagihan Pajak BPHTB dilakukan dengan menggunakan STPD.
(2) Bupati atau pejabat yang diberi kewenangan dapat menerbitkan
STPD, apabila :
a. setelah jatuh tempo pembayaran pajak tidak atau kurang
dibayar;
b. dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau
denda.
(3) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam 3 (tiga)
rangkap, dengan peruntukkan:
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua untuk pejabat yang menangani peralihan
dan/atau perolehan hak atas tanah dan bangunan;
c. lembar ketiga untuk bidang Pengelolaan Pajak Daerah.

Pasal 146
Dalam hal Wajib Pajak belum mendaftarkan dan/atau belum
memproses perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada PPAT
dan/atau BPN dan belum membayar Pajak BPHTB, diberikan surat
himbauan atau pemberitahuan.

Bagian Kesembilan
Kedaluwarsa Penagihan
Pasal 147
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5
(lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali
apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau

75
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung
maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran
dan/atau Surat Paksa.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, merupakan Wajib Pajak dengan
kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan
belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan
permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan
permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
(6) Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan.

Bagian Kesepuluh
Penghapusan Piutang Pajak
Pasal 148
(1) Bupati melakukan pengelolaan Piutang Pajak untuk
menentukan Prioritas Penagihan Pajak.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak
untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
… ayat (3).
(3) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(4) Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
(5) Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
… ayat (3) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1); dan
b. hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a
dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
(5) Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa
diatur sebagai berikut:
f. Perangkat Daerah melaksanakan pendataan atas piutang
pajak yang sudah kedaluwarsa berdasarkan database yang
dimiliki;
g. Perangkat Daerah melaksanaan pengecekan ulang atau
validasi atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa;
h. berdasarkan hasil validasi, Kepala Perangkat Daerah
mengajukan usulan penghapusan atas piutang pajak yang
sudah kedaluwarsa, kepada Bupati;
i. Berdasarkan usulan dari Kepala Perangkat Daerah, Bupati
dapat menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak
Daerah yang sudah kedaluwarsa;
j. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang
Sudah Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rinci Piutang
Pajak yang Sudah Kedaluwarsa.

Bagian Ketujuh

76
Keberatan dan Banding
Paragraf 1
Keberatan
Pasal 149
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT;
c. SKPDLB;
d. SKPDN;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasar
peraturan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau
jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan
penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas
dan dilampiri:
g. SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
h. Bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
i. Bukti transaksi perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan;
j. SPPT PBB-P2 tahun berkenaan.
(3) Keberatan diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar.
(4) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/ atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.
(5) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar
Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT,
SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh
pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib
Pajak.
(6) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap
sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(7) Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat
atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat
keberatan yang diberikan Kepala Daerah atau Pejabat yang
ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan
surat keberatan.
(8) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu
pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(9) Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
tidak termasuk sebagai Utang Pajak.

Pasal 150

77
(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1).
(2) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan
Pemeriksaan.
(3) Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka
waktu paling larna 12 (dua belas) bulan sejaktanggal surat
keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat
(7).
(4) Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas
keberatan dapat berupa:
a. menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan
hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut
Wajib Pajak;
b. menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan
hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang
menurut Wajib Pajak;
c. menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil
penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat
keputusan / ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib
Pajak; atau
d. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal
Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari
Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang
diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
(6) Tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:
a. menerima surat permohonan Keberatan dari Wajib Pajak;
b. meneliti atau memeriksa kelengkapan permohonan keberatan
dari Wajib Pajak dan jika diperlukan dapat dilakukan
pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian atau Pemeriksaan;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala
Perangkat Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan apakah
permohonan keberatan dapat diterima atau ditolak;
e. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala
Perangkat Daerah kepada Bupati untuk penerbitan
keputusan penerimaan atau penolakan terhadap keberatan
yang diajukan Wajib Pajak;
f. pembuatan Surat Keputusan yang ditandatangani Bupati
atau pejabat yang ditunjuk, berupa menerima seluruhnya,
sebagian, menolak atau menambah pajak terutang;
g. penyerahan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Pasal 151
(1) Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen)
per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka

78
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari
bulan dihitung penuh I (satu) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dihitung sejak
bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.

Paragraf 2
Banding
Pasal 152
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya
kepada Badan Peradilan Pajak atas Surat Keputusan Keberatan
yang ditetapkan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) paling lama 3
(tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri Surat
Keputusan Keberatan.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan
disertai alasan yang jelas.
(3) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(4) Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 153
(1) Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan
ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen)
per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan
Banding.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi
administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) tidak dikenakan.
(4) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan
Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.

Bagian Kedelapan
Gugatan Pajak
Pasal 154
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:

79
a. pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan,
atau pengumuman lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan
perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 89 ayat (1) dan
Pasal 90; dan
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan
yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata
cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan,
hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.

Pasal 155
Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pasal 156
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kepada Bupati melalui Kepala
Perangkat Daerah dengan paling sedikit mencantumkan dan/atau
melampirkan:
a. nama dan alamat Wajib Pajak;
b. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
c. argumen yang jelas;
d. asli SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN;
e. asli bukti pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang telah dilakukan (asli SSPD);
f. bukti transaksi perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan
(Akta/Risalah Lelang/Sejenisnya);
g. SPPT PBB tahun berkenaan;
h. fotokopi KTP/SIM/Paspor/Kartu Keluarga/Identitas lain.
(2) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala Perangkat
Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan pemeriksaan
atau permintaan keterangan atas kebenaran data yang
dicantumkan dalam surat permohonan.
(3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
dilampaui dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak
memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian
pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus
diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak
lainnya.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama
2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan
setelah melewati waktu 2 (dua) bulan, Bupati atau Pejabat yang

80
ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma
enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran
kelebihan pembayaran Pajak.
(8) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib
Pajak setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada sistem dan
prosedur yang diatur dalam peraturan Pengelolaan Keuangan
Daerah.

BAB III
PBJT
Bagian Kesatu
Objek

Pasal 157
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi
Barang dan Jasa Tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/ atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.

Bagian Kedua
Makanan dan/atau Minuman
Paragraf 1
Pendaftaran dan Pendataan Pajak
Pasal 158
(1) Pendaftaran Wajib Pajak merupakan proses atau cara
mendaftarkan diri untuk pencatatan nama, NIK, alamat, dan data
lainnya yang diperlukan dalam daftar Wajib Pajak.
(2) Setiap pemilik/pengelola atau penanggungjawab usaha makanan
dan/atau minuman baik orang pribadi atau Badan sebagai Wajib
Pajak wajib mendaftarkan diri dan/atau Objek Pajaknya kepada
Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah.
(3) Pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh
Perangkat Daerah dengan melampirkan:
a. fotokopi kartu tanda penduduk pemilik dan/atau yang
dikuasakan;
b. fotokopi surat keterangan domisili usaha; dan
c. fotokopi surat surat perizinan, apabila sudah memiliki;
(4) Dalam hal pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikuasakan, wajib melampirkan surat kuasa bermaterai
secukupnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan.
(5) Apabila permohonan pendaftaran sudah memenuhi syarat sebagai
Wajib Pajak, maka Wajib Pajak diberikan NPWPD yang diterbitkan
oleh Kepala Perangkat Daerah.

81
(6) Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Kepala Perangkat Daerah dapat menerbitkan Nomor Registrasi
atau NOPD.
(7) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk orang pribadi
dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
(8) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk Badan
dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
(9) Dalam hal pemilik/pengelola atau penanggungjawab usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri,
petugas yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD
berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.

Pasal 159
(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif
dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Kepala
Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan
atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau
jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas
dasar permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor
registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang
dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk harus
menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan,
permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(4) Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD,
dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan
atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
a. tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
b. tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan,
banding, gugatan, atau peninjauan kembali.

Pasal 160
(1) Pendataan Wajib Pajak adalah proses pengumpulan data mengenai
Wajib Pajak.
(2) Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah melakukan pendataan
Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan
menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak,
termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan
administrasi perpajakan Daerah.
(3) Pendataan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pegawai yang memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan
pendataan atau petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala Perangkat
Daerah.
(4) Pendataan Wajib Pajak dapat dikerjasamakan.

82
(5) Pendataan Wajib Pajak dilakukan kepada orang pribadi atau
Badan yang memiliki jenis usaha makanan dan/atau minuman,
baik sebelum usahanya dimulai maupun yang sedang
berlangsung.
(6) Pendataan Wajib Pajak digunakan sebagai sarana administrasi
pencatatan data yang dicantumkan pada setiap dokumen Wajib
Pajak, serta untuk keperluan pengelolaan database Wajib Pajak.
(7) Database Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dikelola dalam sistem yang selalu dimutakhirkan atau dilakukan
pemeliharaan.
(8) Data Wajib Pajak untuk kebutuhan pengelolaan database,
sekurang_kurangnya terdiri dari:
a. nama dan alamat usaha makanan dan/atau minuman;
b. nama, NIK dan alamat pemilik usaha makanan dan/atau
minuman;
c. nama, NIK dan alamat pengelola usaha makanan dan/atau
minuman;
d. klasifikasi usaha makanan dan/atau minuman;
e. jenis makanan dan/atau minuman; dan
f. harga makanan dan/atau minuman.
(9) Data Wajib Pajak selain untuk pengelolaan database sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dapat ditambahkan atau disesuaikan
dengan kebutuhan.

Paragraf 2
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran

Pasal 161
(1) PBJT atas Makanan dan/atau Minuman dipungut dari subjek pajak
oleh Wajib Pajak.
(2) Pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menggunakan bon/nota/bill atau bukti transaksi lainnya.
(3) Bon/nota/bill atau bukti transaksi lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat berupa bon/nota manual atau bon/nota yang
dicetak dengan menggunakan mesin kas register dan dicatat dalam
pembukuan baik pembukuan dengan cara manual maupun dengan
cara elektronik/sistem informasi.
(4) Wajib Pajak yang melakukan pungutan Pajak secara manual,
mengunakan bon/nota yang telah diperporasi oleh Perangkat
Daerah.
(5) Wajib Pajak yang melakukan pungutan pajak dengan mesin kas
register, menu dalam sistem mesin kas register yang digunakan
harus disesuaikan dengan yang digunakan pada kas register milik
Pemerintah Daerah.
(6) Menu dalam sistem mesin kas register sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) paling sedikit mencatat jenis item makanan dan/atau
minuman, jumlah item makanan dan/atau minuman, harga item
Makanan dan/atau Minuman, jumlah pembayaran makanan

83
dan/atau minuman, jumlah pembayaran pajak makanan dan/atau
minuman dan jumlah total pembayaran.
(7) Bon/nota yang dicetak paling sedikit mencatat jenis item Makanan
dan/atau Minuman, jumlah item Makanan dan/atau Minuman,
harga item Makanan dan/atau Minuman, jumlah pembayaran
Maknanan dan/atau Minuman, jumlah pembayaran PBJT atas
Makanan dan/atau Minuman dan jumlah total pembayaran.
(8) Hasil pemungutan PBJT atas Makanan dan/atau Minuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pajak terutang
yang harus dilaporkan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Perangkat
Daerah.
(9) Wajib Pajak yang tidak memungut PBJT atas Makanan dan/atau
Minuman atau memberikan potongan harga atau memberikan
dengan cuma-cuma maka PBJT atas Makanan dan/atau Minuman
harus dibayar oleh Wajib Pajak.
(10) Besaran Pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) dihitung dengan cara mengalikan jumlah
uang yang tercantum dalam bon/nota/bill atau bukti transaksi
lainnya dengan 10/11 (sepuluh per sebelas) kemudian dikalikan lagi
dengan tarif PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sebesar 10%
(sepuluh persen).
(11) Bendahara pengeluaran atau bendahara pengeluaran pembantu
yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak sehubungan
dengan pekerjaan atau kegiatan pelayanan yang disediakan oleh
Restoran dan/atau Penyedia jasa boga atau katering yang dananya
dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, wajib
melakukan pungutan atau pemotongan PBJT atas Makanan
dan/atau Minuman kepada Wajib Pajak atas pembayaran tersebut.
(12) Pungutan atau pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
dilakukan terhadap Wajib Pajak yang menjalankan usahanya di
wilayah pemungutan Pajak.
(13) Besaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman yang harus
dipungut atau dipotong oleh bendahara pengeluaran atau
bendahara pengeluaran pembantu sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) adalah 10% (sepuluh persen) dari nilai pembayaran yang
seharusnya diterima Restoran dan/atau penyedia jasa boga atau
katering.
(14) Dalam hal PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (13) tidak tercantum pada bon/nota/kwitansi,
besaran pajak terutang dapat dihitung dengan cara mengalikan
jumlah uang yang tercantum dalam bon/nota/bill atau bukti
transaksi lainnya dengan 10/11 (sepuluh per sebelas) kemudian
dikalikan lagi dengan tarif Pajak 10% (sepuluh persen).

Pasal 162
(1) Penetapan besaran pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib
Pajak dihitung berdasarkan SPTPD yang disampaikan atau
dilaporkan oleh Wajib Pajak setelah dilakukan verifikasi oleh
petugas.

84
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. formulir yang disediakan oleh Perangkat Daerah; atau
b. SPTPD Elektronik.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus di isi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani.

Pasal 163
(1) SPTPD Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (2)
huruf b, wajib diisi dan disampaikan atau dilaporkan oleh Wajib
Pajak kepada Kepala Perangkat Daerah melalui Sistem Informasi
Pajak Daerah dan menyampaikan lampirannya secara manual.
(2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rekapitulasi
penerimaan harian selama Masa Pajak atau selama 1 (satu) bulan.
(3) Penyampaian SPTPD melalui media elektronik dengan menggunakan
Sistem Informasi Pajak Daerah dilakukan setelah Wajib Pajak
mendapatkan kode akses yang disediakan oleh Perangkat Daerah.
(4) Untuk mendapatkan kode akses sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Wajib Pajak menyampaikan specimen tanda tangan untuk
selanjutnya dilakukan perekaman melalui Sistem Informasi Pajak
Daerah.
(5) Penggunaan kode akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sepenuhnya menjadi tanggungjawab Wajib Pajak.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat mengingat kode akses
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak melaporkan dan
mengajukan permohonn pembukaan kode akses baru secara tertulis
kepada Kepala Perangkat Daerah.
(7) Penyampaian SPTPD melalui Sistem Informasi Pajak Daerah
dilakukan dengan memasukan jumlah omzet penerimaan Wajib
Pajak dan rekapitulasi penerimaan harian.
(8) Dalam hal rekapitulasi penerimaan harian sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) tidak dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Pajak
Daerah, maka penyampaian dilakukan secara manual.

Pasal 164
(1) Penyampaian SPTPD secara manual maupun melalui Sistem
Informasi Pajak Daerah dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari
setelah berakhirnya masa pajak.
(2) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan bon/nota dan/atau mengisi format laporan
rekapitulasi pembukuan baik pembukuan dengan cara manual
maupun dengan cara elektronik/sistem informasi.
(3) Apabila 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa Pajak Wajib
Pajak belum menyampaikan SPTPD sebagaimana dimaksud ayat (1)
Kepala Perangkat Daerah menerbitkan surat teguran.
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur,
SPTPD dapat disampaikan pada hari kerja pertama berikutnya.
(5) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah penerimaan Surat
Teguran Wajib Pajak belum menyampaikan SPTPD, Kepala
Perangkat Daerah menetapkan besaran Pajak secara jabatan.

85
(6) Dalam hal SPTPD disampaikan/dilaporkan dengan cara manual,
dilakukan dengan mengisi formulir SPTPD yang disiapkan oleh
Perangkat Daerah.
(7) Formulir SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri dari 2
(dua) rangkap dengan peruntukan:
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak; dan
b. lembar kedua Perangkat Daerah.
(8) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SPTPD dan format laporan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 165
(1) Penetapan besaran pajak terutang secara jabatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 164 ayat (5) diterbitkan dalam SKPDKB
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk menerbitkan SKPDKB, Perangkat Daerah mengumpulkan
data tentang omzet Wajib Pajak untuk masa pajak yang
berkenaan;
b. data omzet Wajib Pajak dapat diperoleh dari Wajib Pajak sendiri
atau sumber lainnya;
c. pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b dapat dilakukan dengan cara pemantauan langsung
di lokasi restoran, menghitung dan mencatat kunjungan tamu
restoran; dan
d. formulir untuk mengumpulkan data omzet Wajib Pajak dapat
dibuat dan/atau disesuaikan dengan kebutuhan;
(2) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPDKB dimaksud pada
ayat (1) huruf c sebagaimana tercantum dalam Lampiran V dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 166
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
(3) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia,
pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui
pembayaran tunai.

Pasal 167
(1) Setiap Wajib Pajak, wajib membayar pajak terutang dan
menyetorkan sendiri ke kas daerah melalui bank persepsi yang
ditunjuk.
(2) Pembayaran pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibayar langsung di bank persepsi atau secara elektronik
melalui Anjungan Tunai Mandiri atau melalui kanal pembayaran
lainnya.

86
(3) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus memperlihatkan STS/Nomor
Bayar/NPWPD kepada petugas bank.
(4) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran secara elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara
memasukan Nomor Bayar pada menu Anjungan Tunai Mandiri atau
disesuaikan dengan kanal pembayaran lainnya.
(5) Dalam hal Wajib Pajak yang membayar pajak terutang dibayar
langsung di bank persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Wajib Pajak akan memerima bukti pembayaran berupa SSPD dari
bank persepsi.
(6) Dalam hal Wajib Pajak yang membayar pajak terutang dibayar
melalui Anjungan Tunai Mandiri atau disesuaikan dengan kanal
pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib
Pajak akan memerima bukti pembayaran berupa SSPD dari
Anjungan Tunai Mandiri atau kanal pembayaran lainnya.

Pasal 168
(1) Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
adalah 10 (sepuluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak.
(2) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan
penetapan secara jabatan, jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang adalah 30 (tiga puluh) hari setelah SKPDKB,
SKPDKBT dan STPD diterima Wajib Pajak.
(3) Pajaknya yang dipungut/dipotong Bendahara pengeluaran dan
bendahara pengeluaran pembantu dari Wajib Pajak, disetor ke
Rekening Kas Daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam terhitung dari
saat terjadinya pemungutan dan/atau pemotongan.
(4) Dalam hal batas akhir penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) jatuh pada hari libur, pajak dapat disetor pada hari kerja
pertama berikutnya.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada
waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per
bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau
disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai
dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD.

Paragraf 3
Surat Ketetapan Pajak
Pasal 169
(1) Formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN terdiri dari 2 (dua)
rangkap, dengan peruntukkan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak; dan
b. lembar kedua (warna merah) untuk Perangkat Daerah;

87
(2) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan
SKPDN sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 170
(1) Pajak terutang yang sudah ditetapkan dicatat dalam buku data
ketetapan pajak dan/atau diinput dalam sitem informasi
pembayaran pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran,
penundaan, pengurangan, keringanan, pembebasan, pembetulan,
pembatalan dan/atau penghapusan sanksi administratif dan
permohonannya dikabulkan, maka pajak terutan di catat ulang
dalam buku data ketetapan pajak dan/atau diinput ulang dalam
sitem informasi pembayaran pajak setelah mendapatkan
persetujuan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

Paragraf 4
Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak
Pasal 171
(1) Permohonan angsuran dan penundaan pembayaran Pajak
disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui
Kepala Perangkat paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal
penerbitan SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
disertai dengan lampiran:
a. keadaan keuangan perusahaan;
b. rekening koran perusahaan untuk 3 (tiga) bulan terakhir yang
menunjukkan saldo uang di bank; dan
c. besarnya pajak yang terutang yang ditunjukkan dengan SPTPD
dan SSPD.
(3) Kepala Perangkat Daerah melakukan penelitian atas dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai bahan pertimbangan
pemberian persetujuan.
(4) Bupati dapat memberikan persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan
sejak menerima Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dengan ketentuan:
a. angsuran pembayaran pajak dilaksanakan secara teratur dan
berturut-turut, maksimal 4 (empat) kali, paling lama 1 (satu)
tahun sejak tanggal persetujuan Bupati; dan
b. penundaan pembayaran pajak dilakukan maksimal 3 (tiga) bulan
sejak dikeluarkannya persetujuan.
(5) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan Bupati tidak
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap
dikabulkan, dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 172

88
Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku
penerimaan pajak, mengacu kepada sistem dan prosedur pengelolaan
keuangan daerah yang berlaku.

Paragraf 5
Tata Cara Penagihan Pajak
Pasal 173
(1) Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam STPD merupakan dasar
Penagihan Pajak.
(2) Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat
dilakukan imbauan.
(3) Formulir STPD terdiri dari 4 (empat) rangkap dengan peruntukkan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Bidang Pengelolaan Pajak
Daerah;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk UPTD; dan
d. lembar keempat (warna hijau) untuk Bidang Pengelolaan Pajak
Daerah.
Pasal 174
(1) Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 173 Bupati berwenang menunjuk Pejabat untuk
melaksanakan Penagihan.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
b. menerbitkan:
1. Surat Teguran;
2. surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
3. Surat Paksa;
4. surat perintah melaksanakan penyitaan;
5. surat perintah penyanderaan;
6. surat pencabutan sita;
7. pengumuman lelang;
8. surat penentuan harga limit;
9. pembatalan lelang; dan
10. surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan
Pajak.
(3) Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 175
Tata cara Penagihan Pajak adalah sebagai berikut:
a. Penagihan diawali dengan Penerbitan Surat Teguran, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Teguran Wajib Pajak, 7 (tujuh) hari
setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran;
2. penerbitan Surat Teguran;
3. penyampaian/penyerahan Surat Teguran kepada Wajib Pajak
yang bersangkutan; dan

89
4. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
b. Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a
terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap
Penanggung Pajak diterbitkan dengan Surat Paksa.
c. Penagihan dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada huruf
b, kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Paksa untuk Wajib Pajak yang setelah
lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah tanggal Surat
Teguran belum menyetor pajak terutang;
2. penerbitan Surat Paksa berdasarkan Daftar Surat Paksa;
3. pengiriman/penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan melalui Juru Sita Pajak;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa; dan
5. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VIII dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
d. Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak
yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat
Teguran.
e. Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf d belum dilakukan setelah melewati jatuh
tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
f. Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat huruf b
diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada
Penanggung Pajak.
g. Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, kegiatan
yang dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan Daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan untuk
yang belum melunasi utang pajaknya 2 x 24 jam setelah
peneribitan Surat Paksa;
2. penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
3. pelaksanaan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak dengan
menyerahkan barang milik Wajib Pajak yang boleh disita
menurut peraturan perundang-undangan yang dirinci pada
Berita Acara Pelaksanaan Sita;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Penyitaan; dan
5. contoh formulir dan buku/daftar yang dipergunakan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX dan merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
h. Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak
dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah
melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada huruf g
angka 1, Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2)
berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor
lelang terhadap barang yang disita.

90
i. pengumuman lelang dan pelaksanaan lelang, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
1. Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka
waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
2. Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9),
dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat
belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan.
3. pembuatan Daftar Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang untuk
Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya sampai dengan
berakhirnya batas Waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
Surat Pelaksanaan Penyitaan;
4. pemeriksaan hari, tanggal dan jam pelelangan yang disetujui oleh
Kepala Badan dan Permintaan Penegasan kepada Panitia Urusan
Piutang Negara;
5. penyiapan berkas penyitaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan
Pengumuman Lelang;
6. pelaksanaan Lelang sesuai dengan hari, tanggal dan jam yang
telah ditentukan; dan
7. formulir dan daftar yang dipergunakan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran X dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Bupati ini.
j. pencabutan penyitaan dan pengumuman lelang, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Pencabutan Penyitaan untuk Wajib
Pajak yang telah melunasi utang pajaknya sesudah penerbitan
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sampai dengan sebelum
Pengumuman Lelang;
2. penerbitan Surat Pencabutan Penyitaan;
3. pelaksanaan Pencabutan Penyitaan dengan pembuatan Berita
Acara Pencabutan Penyitaan;
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan;
5. monitoring penyetoran Wajib Pajak seperti butir di atas untuk
mengetahui Wajib Pajak yang telah melunasi utang pajaknya
sesudah Pengumuman Lelang sampai dengan sebelum
Pelaksanaan Lelang;
6. pembuatan daftar Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
7. penerbitan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
8. pengiriman/penyerahan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang
oleh Juru Sita Pajak; dan
9. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XI dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
k. Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus, kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
1. pembuatan daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus;
2. penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dari
Daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
3. penyerahan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;

91
4. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus; dan
5. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran XII dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Paragraf 6
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan
Dan Pembebasan Pajak
Pasal 176
(1) Permohonan Wajib Pajak diajukan secara tertulis kepada Bupati
melalui Kepala Perangkat Daerah paling lama 14 (empat belas) hari
sebelum jatuh tempo pembayaran dengan alasan yang dapat
diterima dan dipertanggungjawabkan dan sekurang-kurangnya
dilampiri:
a. SPTPD asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan; dan
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak.
(2) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk
melakukan verifikasi dan/atau pemeriksaan dan/atau permintaan
keterangan kepada Wajib Pajak atas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dan/atau
pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib Pajak
melaporkan hasilnya kepada Kepala Perangkat Daerah sebagai dasar
pemberian persetujuan.
(4) Pemberian persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
Wajib Pajak diterima, dengan ketentuan:
a. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari besarnya
pajak terutang; dan
b. keringanan berupa pelunasan pajak paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Apabila setelah melewati 3 (tiga) bulan Bupati tidak memberikan
Keputusan, maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 177
(1) Pajak terutang yang tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar
1% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas)
bulan sejak saat terutangnya pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKB dikenakan
sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) setiap
bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKBT dikenakan
sanksi administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari
kekurangan pajak tersebut.

92
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan
apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.
(5) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKB dikenakan
sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa
bunga sebesar 1% (satu persen) setiap bulan dihitung dari pajak
yang kurang atau terlambat dibayar, untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(6) Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak
terutang selama 3 (tiga) bulan berturut-turut dilakukan pemasangan
stiker atau sepanduk peringatan, dan apabila selama 6 (enam) bulan
berturut-turut dilakukan penutupan sementara, penyegelan dan
atau pembekuan izin.
(7) Wajib Pajak yang sedang dalam proses pengajuan angsuran,
penudaan, pengurangan, keringanan, pembebasan, keberatan
pembayaran dan banding, maka sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dihitung sejak diterbitkannya surat ketetapan atau
surat jawaban Bupati atau pejabat yang berwenang atas pengajuan
yang disampaikan Wajib Pajak.
(8) Penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilakukan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan
Penegakan hukum Peraturan Daerah.
(9) Penyegelan dan atau pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) dilakukan oleh Perangkat Daerah yang menerbitkan
perizinan, berdasarkan usulan Kepala Perangkat Daerah;
(10) Wajib Pajak yang dikenakan sanksi berupa penutupan sementara
wajib melunasi tunggakan pajak beserta denda paling lama 7 (tujuh)
hari kerja terhitung dari sejak penutupan sementara dilakukan.
(11) Kepala Perangkat Daerah dalam hal mengusulkan penyegelan dan
atau pembekuan izin apabila Wajib Pajak tidak melunasi tunggakan
pajak beserta denda dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagimana
dimaksud pada ayat 8 (delapan);
(12) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (9)
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimannya surat
usulan.
(13) Pembekuan izin sebagimana dimaksud ayat 10 (sepuluh) dicabut
apabila Wajib Pajak telah melunasi seluruh tunggakan pokok pajak
berikut dendanya.
(14) Pengawasan selama penutupan sementara, penyegelan dan/atau
pembekuan izin dilakukan oleh Kepala Perangkat Daerah yang
membidangi urusan Penegakan Hukum Peraturan Daerah, Kepala
Perangkat Daerah yang membekukan surat izin dan Kepala
Perangkat Daerah serta aparat wilayah setempat.

Paragraf 7
Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan
Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal 178

93
(1) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas SKPDKB,
SKPDKBT, dan STPD harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib
Pajak kepada Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah paling lama
30 (tiga puluh) hari
(2) sejak tanggal diterima SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD dengan
disertai alasan yang jelas.
(3) Paling Lama 3 (tiga) bulan sejak surat permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima, Bupati dapat memberikan
keputusan.
(4) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bupati tidak memberikan keputusan, maka
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
dikabulkan.
(5) Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif adalah sebagai
berikut:
a. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi Administratif dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi Administratif dari Wajib Pajak. Bila perlu dapat dilakukan
pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala Badan
untuk diteliti dan dipertimbangkan untuk ditolak atau diterima;
e. membuat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala Perangkat
Daerah, berupa Keputusan Penolakan bila permohonan ditolak
dan Keputusan Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan
dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif bila
permohonan diterima; dan
f. menyerahkan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 7
Keberatan Dan Banding
Pasal 179
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau
pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT;
c. SKPDLB;
d. SKPDN;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
peraturan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
disertai alasan-alasan yang jelas dengan dilampiri:
a. SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
b. Bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;

94
c. Laporan keuangan yang sah, periode permohonan keberatan
pajak.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai
Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 180
Tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:
a. menerima Surat Permohonan Keberatan dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan keberatan dari Wajib Pajak. Bila
perlu dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala Badan
untuk diteliti dan dipertimbangkan apakah permohonan keberatan
diterima atau ditolak;
e. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala Badan
kepada Bupati untuk pembuatan keputusan penerimaan atau
penolakan terhadap keberatan yang diajukan Wajib Pajak;
f. pembuatan Keputusan yang ditandatangani Bupati, berupa
menerima seluruhnya, sebagian, menolak atau menambah pajak
terutang;
g. penyerahan Keputusan kepada Wajib Pajak.

Pasal 181
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Paragraf 8
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 182
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian pajak kepada Bupati melalui Kepala
Perangkat Daerah dengan sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. nama dan alamat Wajib Pajak;
b. masa pajak;
c. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
d. argumen yang jelas;
e. SPTPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
f. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(2) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala Perangkat
Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan pemeriksaan

95
atau permintaan keterangan atas kebenaran data yang dicantumkan
dalam surat permohonan.
(3) Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bupati dapat memberikan keputusan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
dilampaui dan Bupati tidak memberikan keputusan, maka
permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan
dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan.
(5) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak
tersebut.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan
setelah melewati waktu 2 (dua) bulan, Bupati melalui Kepala Badan
memberikan imbalan bunga sebesar 1% (satu persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(8) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib
Pajak setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada Sistem dan
Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah yang berlaku.

Paragraf 9
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Kedaluwarsa
Pasal 183
Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur
sebagai berikut:
a. Badan melaksanakan pendataan atas piutang pajak yang sudah
kedaluwarsa berdasarkan database yang dimiliki;
b. Badan melaksanakan pengecekan ulang atau validasi atas piutang
pajak yang sudah kedaluwarsa;
c. berdasarkan hasil validasi, Perangkat Daerah mengajukan usulan
penghapusan atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa, kepada
Bupati;
d. berdasarkan usulan Perangkat Daerah, Bupati menetapkan
Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah Kedaluwarsa;
e. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang sudah
Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rinci Piutang Pajak yang
Sudah Kedaluwarsa.

Paragraf 10
Pengawasan Dan Pemeriksaan
Pasal 184
(1) Bupati dapat menunjuk petugas untuk melakukan pengawasan
dengan tujuan dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak dan
atau tujuan tertentu.

96
(2) Pengawasan dengan tujuan dalam rangka optimalisasi penerimaan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan
pemantauan langsung di lokasi restoran atau objek pajak.
(3) Pengawasan dengan pemantauan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. menghitung dan mencatat kunjungan restoran;
b. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib Pajak;
c. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan kegiatan usaha yang
sedang berlangsung, atau cara lain yang diperlukan;
d. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan atau dokumentasi
atas kegiatan yang diperoleh pada huruf a dan b.
(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
digunakan sebagai pembanding laporan yang disampaikan Wajib
Pajak dalam rangka penetapan pajak terutang dan/atau dapat
digunakan dokumen pemeriksaan.

Pasal 185
(1) Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan
perundang_undangan perpajakan daerah, dapat dilakukan
pemeriksaan.
(2) Pelaksana pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan
oleh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Perangkat Daerah Sub
Bidang Pemeriksaan dan/atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati
melalui Kepala Badan.
(3) Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tercapainnya tujuan
pemeriksaan, pemeriksa dapat bekerjasama dengan instansi lain
dan/atau pihak lain dengan persetujuan Kepala Badan.
(4) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan
yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan;
d. menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan.
(5) Tata cara pemeriksaan pajak diatur sebagai berikut:
a. Kepala Badan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
kepada petugas yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan
pajak atas suatu Wajib Pajak;
b. petugas yang ditunjuk minimal berjumlah 2 (dua) orang;
c. jangka waktu pemeriksaan minimal 3 (tiga) hari kerja dan paling
lama 15 (lima belas) hari kerja;
d. jangka waktu sebagaimana dimaksud padahuruf c, dapat
diperpanjang apabila diperlukan;

97
e. petugas membuat dokumentasi berupa kertas kerja pemeriksaan
atas pemeriksaan pajak yang dilakukan;
f. permasalahan hasil pemeriksaan dibahas antara petugas dengan
Wajib Pajak untuk mendapatkan persetujuan atau kesepakatan,
dan dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan Hasil
Pemeriksaan;
g. petugas membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak;
h. laporan Hasil Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Kepala
Badan secara berjenjang;
i. berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak, Kepala Badan
dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, STPD.
(6) Dalam melakukan pemeriksaan, petugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a, wajib:
a. memiliki tanda pengenal pemeriksa dilengkapi surat perintah
b. pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak;
c. memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak perihal akan
dilakukannya pemeriksaan pajak;
d. menjelaskan kepada Wajib Pajak maksud dan tujuan
pemeriksaan pajak;
e. menyampaikan kepada Wajib Pajak mengenai hasil pemeriksaan
serta adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan dengan SPTPD;
f. mengembalikan kepada Wajib Pajak seluruh dokumen yang
dipinjam dalam rangka pemeriksaan, paling lama 14 (empat
belas) hari sejak selesainya pemeriksaan pajak.
(7) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai
huruf e, menjadi hak Wajib Pajak kepada petugas pemeriksa dalam
hal kepada Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan pajak.

Pasal 186
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dalam
bentuk :
a. pemeriksaan lengkap;
b. pemeriksaan sederhana.
(2) Pemeriksaan lengkap sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan ditempat domisili atau lokasi usaha Wajib Pajak untuk
tahun berjalan dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya yang
dilakukan dengan menerapkan teknik pemeriksaan yang pada
umumnya digunakan dalam pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sederhana sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, dilakukan:
a. dilapangan untuk tahun berjalan atau tahun-tahun pajak
sebelumnnya
b. dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot
sederhana;
c. di kantor untuk tahun pajak bejalan.

Pasal 187
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan
tempat ruangan tertentu, apabila:

98
a. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 121 ayat (4);
b. Wajib Pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalangi kelancaran pemeriksaan;
c. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencataan atau
dokumen lain yang patut diduga tidak benar, palsu atau
dipalsukan.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetukan pemeriksaan
diluar tempat Wajib Pajak, apabila :
a. Wajib Pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalangi kelancaran pemeriksaan;
b. Karena pertimbangan teknis pemeriksa, pemeriksaan tidak dapat
dilakukan di tempat Wajib Pajak;

Bagian Kedua
Tenaga listrik
Paragraf 1
Pendataan dan Pendaftaran
Pasal 188
(1) Wajib Pajak PBJT atas Tenaga Listrik wajib mendaftarkan diri dan/atau
objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (l) kepada Wajib Pajak
diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
(3) Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat
yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis
penomoran lain yang dipersamakan.
(4) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi
dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
(5) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan
dengan nomor induk berusaha.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk
Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah.

Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan
objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data
objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak
untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah.

Paragraf 2
Pembayaran dan Penyetoran
Pasal 189
(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang
dengan menggunakan SSPD.
(3) Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.

99
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia,
pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran
tunai.
(5) Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak
terutang paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa
Pajak.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada
waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan
dari
Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari
tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran,
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan
menggunakan STPD.

Bagian Kedua
Jasa Perhotelan
Paragraf 1
Pendaftaran, Pendataan Dan Pengelolaan
Data Wajib Pajak

Pasal 190
(1) Pendaftaran Wajib Pajak adalah proses atau cara mendaftarkan diri
untuk pencatatan nama, alamat, dan data lainnya yang diperlukan
dalam daftar wajib pajak.
(2) Setiap kegiatan pelaku dan/atau yang akan melakukan usaha baik orang
pribadi atau Badan usaha yang jenis usahanya masuk pada kriteria
usaha yang menyediakan fasilitas jasa penginapan /peristirahatan
termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran harus melakukan
pendaftaran diri sebagai wajib pajak;
(3) Pendaftaran wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
mengisi formulir pendaftaran yang disediakan Badan dengan
melampirkan :
a. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Pemilik dan/atau yang
dikuasakan;
b. Foto Copy Surat Keterangan Domisili Usaha;
c. Foto Copy Surat surat perizinan, apa bila sudah memiliki;
(4) Dalam hal permohonan pendaftaran dikuasakan harus melampirkan
surat kuasa yang dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan ketentuan
perundang undangan yang berlaku;
(5) Apabila permohonan pendaftaran sudah memenuhi syarat sebagai wajib
pajak maka diterbitkan NPWPD;
(6) Dalam hal pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dapat dilakukan pendataan oleh
petugas kepada pelaku usaha dan didaftarkan serta diterbitkan NPWPD
secara jabatan;

Pasal 191

100
(1) Pendataan adalah proses pengumpulan data mengenai wajib pajak
(2) Pendataan wajib pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh
petugas yang diunjuk oleh Bupati atau Kepala Badan atau petugas yang
bertugas berdasarkan tupoksi pada Badan;
(3) Dalam hal pendataan, Bupati atau Kepala Badan dapat bekerja sama
dan atau menunjuk pihak lain;
(4) Pendataan Wajib Pajak dilakukan kepada orang pribadi atau Badan
usaha yang jenis usahannya masuk pada kriteria usaha yang
menyediakan fasilitas jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa
terkait lainnya dengan dipungut bayaran, baik sebelum memulai
usahanya atau yang sedang berjalan;
(5) Pendataan Wajib Pajak digunakan sebagai sarana administrasi
pencatatan data yang dicantumkan pada setiap dokumen wajib pajak,
serta untuk keperluan pengelolaan database Wajib Pajak.
(6) Database Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dikelola
dalam sistem dan harus selalu dimutakhirkan atau dilakukan
pemeliharaan;
(7) Data Wajib Pajak untuk kebutuhan pengelolaan database, minimal
terdiri dari:
a. Nama dan alamat hotel;
b. Nama, NIK dan alamat pemilik hotel;
c. Nama, NIK dan alamat pengelola hotel;
d. klasifikasi hotel;
e. jenis kamar;
f. jumlah kamar (per jenis kamar);
g. tarif kamar (untuk hari biasa, hari libur, hari raya);
h. prosentase rata-rata tingkat hunian kamar.
(8) Data Wajib Pajak selain untuk pengelolaan database sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) dapat ditambahkan atau disesuaikan dengan
kebutuhan.

Paragraf 2
Dasar Pengenaan Dan Tarif Pajak

Pasal 192
(1) Dasar pengenaan pajak adalah jumlah yang seharusnya dibayar oleh
subjek pajak;
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar oleh subjek pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah keseluruhan termasuk potongan
harga dan/atau pemberian cuma-cuma yang di berikan wajib pajak;

Pasal 193
Tarif Pajak ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari dasar pengenaan
pajak.

Paragraf 3
Pemungutan Dan Penetapan Atau Pembayaran Pajak

Pasal 194
(1) Pajak hotel dipungut dari subjek pajak oleh wajib pajak;

101
(2) Wajib Pajak dalam melakukan pungutan pajak kepada subjek pajak
menggunakan Bon/Nota/Bill/bukti lain yang sah yang diperporasi oleh
Badan dan harus membuat register/dicatat dalam pembukuan baik
pembukuan dengan cara manual maupun dengan cara elektronik/sistem
informasi;
(3) Hasil pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pajak terutang yang harus dilaporkan oleh wajib pajak ke
Badan;
(4) Wajib Pajak yang tidak memungut pajak hotel atau memberikan
potongan harga atau memberikan kamar dengan cuma-cuma maka
pajak hotel harus dibayar oleh wajib pajak;
(5) Besaran pajak hotel harus dibayar oleh wajib pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) di hitung dengan cara mengalikan jumlah uang
yang tercantum dalam Bon/Nota/Bill/Kwitansi dengan sepuluh per sebelas
(10/11) kemudian dikalikan lagi dengan tarif pajak hotel (10 %).

Pasal 195
(1) Penetapan besaran pajak terutang yang harus dibayar wajib pajak
dihitung berdasarkan SPTPD yang disampaikan atau dilaporkan oleh
wajib pajak setelah dilakukan verifikasi kelengkapan dokumen oleh
petugas;
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk :
a. Formulir yang disediakan oleh Badan;
b. SPTPD Elektronik (e-SPTPD).
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus di isi
dengan jelas, benar dan lengkap serta dibubuhi tanda tangan.

Pasal 196
(1) SPTPD Elektronik (e-SPTPD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf b, diisi, dan disampaikan atau dilaporkan oleh wajib
melalui Sistem Informasi Pajak Daerah dan menyampaikan
lampirannya dengan metode upload dokumen;
(2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rekapitulasi
penerimaan harian selama masa pajak atau selama 1 (satu) bulan;
(3) Rekapitulasi penerimaan harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
sekurang-kurangnya memuat tanggal transaksi, nomor
Bon/Nota/Bill/Kwitansi, nama subjek pajak, omzet dan pungutan pajak
hotel;
(4) Wajib pajak menyampaikan SPTPD melalui media elektronik dengan
menggunakan sistem informasi pajak daerah setelah mendapatkan kode
akses yang disediakan Badan;
(5) Untuk kepentingan penggunaan kode akses dan legalisasi pelaporan
pajak melalui sistem informasi pajak daerah, wajib pajak
menyampaikan specimen tanda tangan untuk selanjutnya dilakukan
perekaman pada sistem informasi pajak daerah;
(6) Penggunaan kode akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sepenuhnya menjadi tanggung jawab wajib pajak;
(7) Dalam hal wajib pajak tidak dapat mengingat kode akses sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), wajib pajak melaporkan dan mengajukan
pembukaan kode akses secara tertulis kepada Badan;

102
(8) Penyampaian SPTPD melalui sistem informasi pajak daerah dilakukan
dengan memasukan jumlah omset penerimaan wajib pajak dan
rekapitulasi penerimaan harian;
(9) Dalam hal rekapitulasi penerimaan harian sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) tidak dapat dilakukan melalui sistem informasi pajak daerah
maka disampaikan secara manual;

Pasal 197
(1) Penyampaian SPTPD baik melalui sistem informasi maupun dengan
cara manual selambat lambatnya 15 (lima belas) hari setelah
berakhirnya masa pajak;
(2) Apabila dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa
pajak wajib pajak belum menyapaikan SPTPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Badan mengeluarkan/ menerbitkan surat teguran;
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur,
SPTPD dapat disampaikan pada hari kerja pertama berikutnya;
(4) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung dari ditetapkannya surat
teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib pajak belum
menyapaikan SPTPD, maka Badan menetapkan besaran pajak terutang
secara jabatan;
(5) Dalam hal SPTPD disampaikan/dilaporkan dengan cara manual, wajib
pajak mengisi formulir SPTPD yang disiapkan oleh Badan dibuat
sebanyak 3 (tiga) rangkap, yaitu :
a. lembar pertama untuk wajib pajak;
b. lembar kedua untuk Badan;
c. lembar ketiga untuk Bank.
(6) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SPTPD sebagaimana dimaksud
ayat (4) tercantum dalam lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini;

Pasal 198
(1) Penetapan besaran pajak terutang secara jabatan diterbitkan dalam
SKPDKB dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk menerbitkan SKPDKB, Badan mengumpulkan data tentang
omzet Wajib Pajak untuk masa pajak yang berkenaan;
b. Data omzet Wajib Pajak dapat diperoleh dari Wajib Pajak sendiri atau
sumber lainnya;
c. Mengumpulkan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurup a
dan b dapat dilakukan dengan cara pemantauan langsung di lokasi
hotel, menghitung dan mencatat kunjungan tamu hotel;
d. Format formulir untuk mengumpulkan data omzet Wajib Pajak dapat
dibuat dan/atau disesuaikan dengan kebutuhan;
(2) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hurup c tercantum dalam lampiran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini;

Pasal 199

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,

103
Bupati dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu
tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang
dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula
belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang
terutang.
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Pasal 200
(4) Formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN terdiri dari 5 (lima) rangkap
dengan peruntukkan:
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua, ketiga dan keempat untuk Badan;
c. lembar kelima untuk Bank.
(5) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.

Pasal 201

Pajak terutang yang sudah ditetapkan dimasukan atau di catat dalam buku
data ketetapan pajak dan/atau di input dalam sistem informasi pembayaran
pajak.
Pasal 202
Dalam hal wajib pajak mengajukan angsuran, penudaan, pengurangan,
keringanan, pembebasan, pembetulan, pembatalan dan pengurangan atau
penghapusan sanksi administratif dan dikabulkan, di catat ulang dalam buku
data ketetapan pajak dan/atau di input ulang dalam sistem informasi
pembayaran pajak setelah mendapatkan persetujuan dan ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang.

Pasal 203

(1) Pajak terutang yang tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) sebulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat
terutangnya pajak;
(2) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15 huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan
sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) sebulan
untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya
pajak;

104
(3) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15 huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan 100% (seratus persen) dari kekurangan pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan apabila
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan;
(5) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a angka 3, dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat
terutangnya pajak;
(6) Wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak terutang
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut dilakukan pemasangan stiker atau
sepanduk peringatan, dan apabila selama 6 (enam) bulan berturut-turut
maka dilakukan penutupan sementara, penyegelan dan /atau
pembekuan izin;
(7) Wajib pajak yang sedang proses pengajuan angsuran, penundaan,
pengurangan, keringanan, pembebasan, keberatan pembayaran dan
banding maka sanksi sebagaimana diuraikan pada ayat (6) terhitung
sejak diterbitkannya surat ketetapan atau surat jawaban bupati atau
pejabat yang berwenang atas pengajuan yang disampaikan wajib pajak;
(8) Penutupan sementara sebagaimana dimaksud ayat (6) dilakukan oleh
Satuan Kerja Perangkat Daerah Penegak Peraturan Daerah dan dalam
hal penyegelan dan atau pembekuan izin dilakukan oleh Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang menerbitkan surat izin, berdasarkan usulan
Kepala Badan;
(9) Wajib pajak yang dilakukan penutupan sementara wajib melunasi
tunggakan pajak beserta denda paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung
dari sejak penutupan sementara dilakukan;
(10) Kepala Badan dalam hal mengusulkan penyegelan dan atau pembekuan
izin apabila wajib pajak tidak melunasi tunggakan pajak beserta denda
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 8
(delapan);
(11) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud ayat 6 (enam) dan 8 (delapan)
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimannya surat usulan;
(12) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud ayat 11 (sebelas) dicabut apabila
wajib pajak telah melunasi seluruh tunggakan pokok pajak berikut
dendanya;

(13) Pengawasan selama penutupan sementara, penyegelan dan/atau


pembekuan izin dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
Penegak Peraturan Daerah, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
membekukan surat izin dan Kepala Badan serta aparat wilayah
setempat;

Paragraf 4
Tata Cara Pembayaran Pajak

105
Pasal 204
(7) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak terutang dan menyetorkan
sendiri ke kas daerah melalui bank persepsi yang di tunjuk;
(8) Pembayaran pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibayar langsung di bank persepsi atau melalui Anjungan Tunai Mandiri
(ATM);
(9) Wajib pajak yang membayar pajak terutang dibayar langsung di bank
persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib pajak cukup
memperlihatkan STS/ Nomor Bayar dan/atau NPWPD;
(10) Wajib pajak yang membayar pajak secara elektronik menggunakan
atau melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dengan cara memasukan
Nomor Bayar;
(11) Dalam hal wajib pajak yang membayar pajak terutang dibayar langsung
di bank persepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib pajak akan
memerima bukti pembayaran berupa SSPD dari bank persepsi;
(12) Dalam hal wajib pajak yang membayar pajak terutang dibayar melalui
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
wajib pajak akan memerima bukti pembayaran berupa SSPD dari bank
persepsi dengan cara memperlihatkan dan/atau menukarkan hasil cetak
ATM;

Paragraf 5
Waktu Pembayaran Pajak
Pasal 205

(1) Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang dalam
SPTPD adalah 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya masa pajak;
(2) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan
penetapan secara jabatan, jatuh tempo pembayaran dan penyetoran
pajak yang terutang adalah 30 (tiga puluh) hari setelah SKPDKB,
SKPDKBT dan STPD ditetapkan;

Paragraf 6
Tata Cara Angsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak

Pasal 206
(6) Permohonan angsuran dan penundaan pembayaran pajak disampaikan
secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala Badan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerbitan,
SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD.
(7) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
disertai dengan lampiran:
d. keadaan keuangan perusahaan;
e. rekening koran perusahaan untuk 3 (tiga) bulan terakhir yang
menunjukkan saldo uang di bank;
f. besarnya pajak yang terutang yang ditunjukkan dengan SPTPD dan
SSPD.

106
(8) Badan melakukan penelitian atas dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sebagai bahan pertimbangan pemberian persetujuan.
(9) Bupati dapat memberikan persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
menerima Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dengan ketentuan:
e. angsuran pembayaran pajak dilaksanakan secara teratur dan
berturut-turut, maksimal 4 (empat) kali, selama-lamanya 1 (satu)
tahun sejak tanggal persetujuan Bupati.
f. penundaan pembayaran pajak dilakukan maksimal 3 (tiga) bulan sejak
dikeluarkannya persetujuan.
(10) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan Bupati tidak memberikan
keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan, dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 207
Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku penerimaan
pajak, mengacu kepada sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah
yang berlaku.

Paragraf 7
Tata Cara Penagihan Pajak

Pasal 208
(4) SKPDKB yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) sebulan, dan ditagih melalui STPD.
(5) Formulir STPD terdiri dari 5 (lima) rangkap dengan peruntukkan:
a. lembar pertama untuk Wajib Pajak.
b. lembar kedua, ketiga dan keempat untuk Badan;
c. lembar kelima untuk Bank.

Pasal 209
Tata cara penagihan pajak adalah sebagai berikut:
a. Penagihan dengan Surat Teguran, kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
a. pembuatan daftar Surat Teguran Wajib Pajak, 7 (tujuh) hari setelah
batas waktu jatuh tempo pembayaran;
b. penerbitan Surat Teguran;
c. penyampaian/penyerahan Surat Teguran kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan;
d. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.

b. Penagihan dengan Surat Paksa, kegiatan yang dilaksanakan meliputi:


a. pembuatan daftar Surat Paksa untuk Wajib Pajak yang setelah lewat
waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah tanggal Surat Teguran belum
menyetor pajak terutang;
b. penerbitan Surat Paksa berdasarkan Daftar Surat Paksa;

107
c. pengiriman/penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan melalui Juru Sita Pajak;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa;
e. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.
c. Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
a. pembuatan Daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan untuk yang
belum melunasi utang pajaknya 2 x 24 jam setelah peneribitan Surat
Paksa;
b. penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
c. pelaksanaan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak dengan menyerahkan
barang milik Wajib Pajak yang boleh disita menurut perundang-
undangan yang dirinci pada Berita Acara Pelaksanaan Sita;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Penyitaan;
e. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana contoh
terlampir.
d. Pengumuman Lelang dan Pelaksanaan Lelang, kegiatan yang dilaksanakan
meliputi:
b. pembuatan Daftar Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang untuk Wajib
Pajak yang belum melunasi utang pajaknya sampai dengan berakhirnya
batas Waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Pelaksanaan
Penyitaan;
c. pemeriksaan hari, tanggal dan jam pelelangan yang disetujui oleh Kepala
Badan dan Permintaan Penegasan kepada Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN);
d. penyiapan berkas penyitaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan
Pengumuman Lelang;
e. pelaksanaan lelang sesuai dengan hari, tanggal dan jam yang telah
ditentukan;
f. formulir dan daftar yang dipergunakan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Bupati ini.
e. Pencabutan Penyitaan dan Pengumuman Lelang, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
a. pembuatan daftar Surat Pencabutan Penyitaan untuk Wajib Pajak yang
telah melunasi utang pajaknya sesudah penerbitan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan sampai dengan sebelum Pengumuman Lelang;
b. penerbitan Surat Pencabutan Penyitaan;
c. pelaksanaan Pencabutan Penyitaan dengan pembuatan Berita Acara
Pencabutan Penyitaan;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan;
e. monitoring penyetoran Wajib Pajak seperti butir di atas untuk
mengetahui Wajib Pajak yang telah melunasi utang pajaknya sesudah
Pengumuman Lelang sampai dengan sebelum Pelaksanaan Lelang;
f. pembuatan daftar Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
g. penerbitan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
h. pengiriman/penyerahan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang oleh
Juru Sita Pajak;

108
i. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.
f. Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus,
kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
a. pembuatan daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
(SPPS & S);
b. penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S)
dari Daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S);
c. penyerahan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S);
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS & S);
e. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.

Paragraf 8
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan Dan Pembebasan Pajak

Pasal 210
(1) Permohonan Wajib Pajak diajukan secara tertulis kepada Bupati melalui
Kepala Badan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum jatuh tempo
pembayaran dengan alasan-alasan yang dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan dan sekurang-kurangnya dilampiri:
a. SPTPD asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak.
(2) Kepala Badan dapat menunjuk petugas untuk melakukan verifikasi
dan/atau pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib
Pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dan/atau


pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib Pajak
melaporkan hasilnya kepada Kepala Badan sebagai dasar pemberian
persetujuan.
(4) Pemberian persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
Wajib Pajak diterima, dengan ketentuan:
e. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari besarnya pajak
terutang.
f. keringanan berupa pelunasan pajak selama-lamanya 1 (satu) tahun.
(5) Apabila setelah lewat 3 (tiga) bulan Bupati tidak memberikan Keputusan,
permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Paragraf 9
Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan
Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal 211
(1) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas SKPDKB,

109
SKPDKBT, dan STPD harus disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak
kepada Bupati atau pejabat yang berwenang selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal diterima SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD dengan
disertai alasan yang jelas.
(2) Bupati atau pejabat yang berwenang, paling lama 3 (tiga) bulan sejak
surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, sudah
harus memberikan keputusan;
(3) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Bupati atau pejabat yang berwenang tidak memberikan
keputusan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
dikabulkan.
(4) Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif adalah sebagai
berikut:
a. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan
Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif
dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi
Administratif dari Wajib Pajak. Bila perlu dapat dilakukan
pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala Dinas untuk
diteliti dan dipertimbangkan untuk ditolak atau diterima;

e. membuat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala Badan, berupa


Keputusan Penolakan bila permohonan ditolak dan Keputusan
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan
atau Pengurangan Sanksi Administratif bila permohonan diterima;
f. menyerahkan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 10
Keberatan Dan Banding
Pasal 212
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau
pejabat yang ditunjuk atas suatu:
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT;
c. SKPDLB;
d. SKPDN;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasar
peraturan daerah.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
disertai alasan-alasan yang jelas dengan dilampiri:
k. SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
l. Bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
m. Laporan keuangan yang sah, periode permohonan keberatan
pajak.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan

110
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 213
(1) Tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:
a. menerima Surat Permohonan Keberatan dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan keberatan dari Wajib Pajak. Bila
perlu dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala Badan
untuk diteliti dan dipertimbangkan apakah permohonan keberatan
diterima atau ditolak;

e. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala Badan


kepada Bupati untuk pembuatan keputusan penerimaan atau
penolakan terhadap keberatan yang diajukan Wajib Pajak;
f. pembuatan Keputusan yang ditandatangani Bupati atau Kepala
Badan, berupa menerima seluruhnya, sebagian, menolak atau
menambah pajak terutang;
g. penyerahan Keputusan kepada Wajib Pajak.

Pasal 214
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Paragraf 11
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran

Pasal 215
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kepada Bupati melalui Kepala Badan dengan
sekurang-kurangnya mencantumkan:
g. nama dan alamat Wajib Pajak;
h. masa pajak;
i. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
j. argumen yang jelas;
k. SPTPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
l. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(2) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala Badan dapat
menunjuk petugas untuk melakukan pemeriksaan atau permintaan
keterangan atas kebenaran data yang dicantumkan dalam surat
permohonan.

111
(3) Bupati melalui Kepala Badan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
dilampaui dan Bupati atau Kepala Badan tidak memberikan keputusan,
permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan
SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan.
(5) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak
diterbitkannya SKPDLB.
(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah
lewat 2 (dua) bulan, Bupati melalui Kepala Badan memberikan imbalan
bunga sebesar 1% (satu persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran
kelebihan pembayaran pajak.
(8) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak
setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada Sistem dan Prosedur
Pengelolaan Keuangan Daerah yang berlaku.

Paragraf 11
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Kedaluwarsa

Pasal 216
(1) Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur
sebagai berikut:
f. dinas melaksanakan pendataan atas piutang pajak yang sudah
kedaluwarsa berdasarkan database yang dimiliki;
g. dinas melaksanakan pengecekan ulang atau validasi atas piutang
pajak yang sudah kedaluwarsa;
h. berdasarkan hasil validasi, Badan mengajukan usulan penghapusan
atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa, kepada Bupati;
i. berdasarkan usulan Badan, Bupati menetapkan Keputusan
Penghapusan Piutang Pajak Kabupaten yang Sudah Kedaluwarsa;
j. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rinci Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa.

BAB XVI
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 217
(1) Bupati atau Kepala Badan dapat menunjuk petugas untuk melakukan
pengawasan dengan tujuan dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak
dan atau tujuan tertentu;
(2) Pengawasan dengan tujuan dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan pemantauan
langsung di lokasi hotel atau objek pajak;

112
(3) Pengawasan dengan pemantauan langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dapat dilakukan dengan cara berikut :
a. menghitung dan mencatat kunjungan tamu hotel;
b. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib Pajak;
c. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan kegiatan usaha yang sedang
berlangsung, atau cara lain yang diperlukan;
d. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan atau dokumentasi atas
kegiatan yang diperoleh pada huruf a dan b.
(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan
sebagai pembanding laporan yang disampaikan wajib pajak dalam
rangka penetapan pajak terutang dan/atau dapat digunakan dokumen
pemeriksaan;

Pasal 218
(1) Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban wajib pajak dan/atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah, perlu dilakukan pemeriksaan;
(2) Pelaksana pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Badan Sub Bidang Pemeriksaan
dan/atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati melalui Kepala Badan;
(3) Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tercapainnya tujuan
pemeriksaan, pemeriksa dapat bekerjasama dengan intansi lain
dan/atau pihak lain dengan persetujuan Kepala Badan;
(4) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan;
d. menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan.
(5) Tata cara pemeriksaan pajak diatur sebagai berikut:
a. Kepala Badan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak kepada
petugas yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan pajak atas
suatu Wajib Pajak;
b. petugas yang ditunjuk minimal berjumlah 2 (dua) orang;
c. jangka waktu pemeriksaan minimal 3 (tiga) hari kerja dan paling lama
15 (lima belas) hari kerja;
d. jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf c, dapat
diperpanjang apabila diperlukan;
e. petugas membuat dokumentasi berupa kertas kerja pemeriksaan atas
pemeriksaan pajak yang dilakukan;
f. permasalahan hasil pemeriksaan dibahas antara petugas dengan
Wajib Pajak untuk mendapatkan persetujuan atau kesepakatan, dan
dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan Hasil Pemeriksaan;
g. petugas membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak;
h. laporan Hasil Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Kepala Dinas
secara berjenjang;
i. berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak, Kepala Dinas dapat
menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, STPD.

113
(6) Dalam melakukan pemeriksaan, petugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a, wajib:
a. memiliki tanda pengenal pemeriksa dilengkapi surat perintah
pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak;
b. memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak perihal akan
dilakukannya pemeriksaan pajak;
c. menjelaskan kepada Wajib Pajak maksud dan tujuan pemeriksaan
pajak;
d. menyampaikan kepada Wajib Pajak mengenai hasil pemeriksaan
serta adanya perbedaan antara hasil pemeriksaan dengan SPTPD;
e. mengembalikan kepada Wajib Pajak seluruh dokumen yang dipinjam
dalam rangka pemeriksaan, paling lama 14 (empat belas) hari sejak
selesainya pemeriksaan pajak.
(7) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai huruf
e, menjadi hak Wajib Pajak kepada petugas pemeriksa dalam hal
kepada Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan pajak.

Pasal 219

(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) terdiri dari :
a. pemeriksaan lengkap;
b. pemeriksaan sederhana.
(5) Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan ditempat domosili atau lokasi usaha wajib pajak untuk tahun
berjalan dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya yang dilakukan
dengan menerapkan teknik pemeriksaan yang pada umumnya digunakan
dalam pemeriksaan;
(6) Pemeriksaan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan :
a. di lapangan untuk tahun berjalan atau tahun-tahun pajak
sebelumnnya dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot
sederhana;
b. di kantor untuk tahun pajak bejalan.

Pasal 220

(6) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penyegelan tempat
ruangan tertentu, apabila :
a. Wajib pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 ayat (4);
b. Wajib pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalang-halangi kelancaran pemeriksaan;
c. Wajib pajak memperlihatkan pembukuan, pencataan atau dokumen
lain yang patut diduga tidak benar, palsu atau dipalsukan.
(7) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menentukan pemeriksaan
diluar tempat wajib pajak, apabila :
i. Wajib pajak mempersulit dan/atau melakukan tindakan yang
menghalang halangi kelancaran pemeriksaan;

114
ii. Karena pertimbangan teknis pemeriksa, pemeriksaan tidak dapat
dilakukan di temPat wajib pajak.

Bagian Ketiga
Jasa Parkir
Paragraf 1
Pendataan Dan Pendaftaran Objek Pajak

Pasal 221

(1) Pendataan objek pajak dilakukan dengan memberikan Formulir


Pendataan kepada pemilik/pengelola/penanggungjawab usaha
perparkiran.
(2) Formulir Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh
pemilik/pengelola atau penanggungjawab usaha perparkiran atau
kuasanya.
(3) Berdasarkan formulir pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
usaha perparkiran selaku subjek pajak harus melaksanakan
pendaftaran usahanya kepada Kepala PERANGKAT DAERAH untuk
menjadi Wajib Pajak daerah.
(4) Selain cara pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendataan
juga dapat dilakukan dengan cara berikut:
f. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi pemilik/pengelola
atau penanggungjawab usaha perparkiran atau kuasanya;
g. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan kegiatan penyelenggaraan
perparkiran yang sedang berlangsung, atau cara lain yang
diperlukan;
h. Petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan atau dokumentasi
atas kegiatan yang diperoleh pada huruf a dan b.

(5) Dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak daerah, Kepala PERANGKAT


DAERAH dapat menunjuk petugas untuk melakukan melalui pemantauan
langsung di lokasi penyelenggaraan tempat parkir, menghitung dan
mencatat kedatangan kendaraan ke areal parkir pada hari-hari tertentu
seperti musim liburan.
(6) Tata cara pendataan yang tidak dijelaskan dalam Peraturan Bupati ini
mengacu pada peraturan yang berlaku mengenai sistem dan prosedur
administrasi pajak daerah.

Pasal 222

(1) Setiap pemilik/pengelola/penanggungjawab usaha perparkiran harus


mendaftarkan usahanya dengan menggunakan Formulir Pendaftaran
yang ditujukan kepada Kepala BPDKD.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk
pengelolaan administrasi dan pengawasan Wajib Pajak, pengukuhan, dan

115
pembuatan NPWPD yang akan dicantumkan pada setiap dokumen
perpajakan daerah, serta untuk keperluan pengelolaan pada basis data
Wajib Pajak yang selalu dimutakhirkan.
(3) Data untuk kebutuhan pengelolaan basis data Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat :
t. nama dan alamat penyelenggaraan tempat parkir;
u. nama dan alamat pemilik penyelenggaraan tempat parkir;
v. nama dan alamat pengelola penyelenggaraan tempat parkir;
w. luas areal penyelenggaraan tempat parkir;
x. jenis kendaraan yang dapat diparkir di areal penyelenggaraan
tempat parkir;
y. prosentase rata-rata tingkat kendaraan yang diparkir.
(4) Bentuk dan format isian formulir pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Paragraf 2
Tata Cara Penerbitan, Pengisian, Dan Penyampaian SPTPD, SKPD,
SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN

Pasal 223

(1) Setiap Wajib Pajak, wajib mengisi formulir SPTPD dengan benar, jelas,
lengkap dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya serta
menyampaikan kepada Bupati melalui Kepala PERANGKAT DAERAH.
(2) Formulir SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disediakan dan
dikirimkan kepada Wajib Pajak oleh PERANGKAT DAERAH pada setiap
akhir bulan atau dapat diambil sendiri oleh Wajib Pajak.
(3) Berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, data jumlah pembayaran atau
yang seharusnya diterima oleh Wajib Pajak dituangkan dalam formulir
SPTPD dan digunakan sebagai dasar perhitungan besarnya pajak
terutang.

(4) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan


selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa
pajak.
(5) Apabila batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) jatuh pada hari libur, maka batas waktu penyampaian jatuh
pada satu hari kerja berikutnya.
(6) SPTPD yang tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya
dianggap tidak disampaikan.
(7) Untuk memperoleh kepastian dalam menetapkan pajak, dilakukan
pemantauan pengembalian SPTPD, yang pengaturannya ditentukan
sebagai berikut:
a. apabila pada tanggal 7 (tujuh) setiap bulannya atau 7 (tujuh) hari
sebelum batas waktu pengembalian ternyata SPTPD belum
dikembalikan oleh Wajib Pajak atau kuasanya, Kepala PERANGKAT
DAERAH mengeluarkan Surat Peringatan;
b. apabila pada tanggal 15 setiap bulannya atau tanggal batas akhir
bulan atau tanggal batas akhir waktu pengembalian ternyata SPTPD

116
belum dikembalikan oleh Wajib Pajak Kepala PERANGKAT DAERAH
mengeluarkan Surat Teguran;
c. apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah penerimaan Surat
Teguran Wajib Pajak belum mengembalikan SPTPD, Kepala
PERANGKAT DAERAH menetapkan besarnya pajak melalui SKPD
secara jabatan;
(8) Formulir SPTPD terdiri dari 3 (tiga) rangkap dengan peruntukan:
1. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
2. lembar kedua (warna merah) untuk PERANGKAT DAERAH;
3. lembarketiga (warna kuning) untuk PERANGKAT DAERAH.
(9) Bentuk dan format isian formulir SPTPD dan SKPD tercantum dalam
Lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Bupati ini.

Pasal 224

Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya pajak,
Bupati melalui Kepala PERANGKAT DAERAH dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal :
1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
terutang tidak atau kurang bayar;
2. jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati atau pejabat lain yang
ditunjuk setelah Wajib Pajak mendapat Surat Teguran.
b. SKPDKBT dalam hal apabila ditemukan data baru dan/atau belum
terungkapnya semua data yang mengakibatkan bertambahnya jumlah
pajak terutang;
c. SKPDN apabila jumlah pajak terutang sama dengan kredit pajak.

Pasal 225

(1) Formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN terdiri dari 4 (empat) rangkap
dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk seksi penetapan pada
PERANGKAT DAERAH;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk PERANGKAT DAERAH;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk Seksi Penagihan dan Pelaporan
pada PERANGKAT DAERAH.
(2) Bentuk dan format isian formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Paragraf 3
Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran, Dan
Penundaan Pembayaran Pajak

Pasal 226

117
Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak yang terutang adalah 30
(tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak dan/atau setelah SPTPD
diterima oleh Dinas/badan.

Pasal 227

(1) Pembayaran pajak dilakukan sekaligus dan lunas melalui Kas Daerah
atau bendahara penerimaan, atau bendahara penerimaan pembantu,
atau petugas pemungut yang ditunjuk.
(2) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
dengan menggunakan formulir SSPD dengan mencantumkan kode
rekening rincian objek pendapatan pajak parkir.
(3) Formulir SSPD terdiri dari 5 (lima) rangkap dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna kuning) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna hijau) untuk Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna biru) untuk Seksi Penagihan dan Pelaporan
pada Perangkat Daerah;
e. lembar kelima (warna biru muda) untuk Seksi Penagihan dan
Pelaporan pada Perangkat Daerah.
(4) Bentuk dan format isian formulir SSPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini

Pasal 228

(1) Dalam hal pembayaran pajak dilakukan melalui petugas pemungut


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), maka petugas pemungut
yang ditunjuk menyetorkan seluruh penerimaannya kepada bendahara
penerimaan atau bendahara penerimaan pembantu.
(2) Bendahara penerimaan dan bendahara penerimaan pembantu wajib
menyetorkan seluruh hasil penerimaan pajaknya, baik yang diterima
langsung dari Wajib Pajak maupun yang diterima dari petugas
pemungut yang ditunjuk ke Rekening Kas Daerah selambat-lambatnya
1 x 24 jam sejak penerimaan.
(3) Apabila batas waktu pembayaran jatuh pada hari libur, maka batas
waktu pembayaran jatuh pada satu hari kerja berikutnya.
(4) Penyetoran pajak ke rekening kas daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dilakukan dengan menggunakan formulir STS dengan
mencantumkan kode rekening rincian objek pendapatan pajak Parkir.
(5) Formulir STS terdiri dari 7 (tujuh) rangkap dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu/Penyetor;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Bank Penerima Setoran;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk Bidang Akuntansi dan
Pelaporan pada PERANGKAT DAERAH;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk SPJ Bendahara Penerimaan/
Bendahara Penerimaan Pembantu;

118
e. lembar kelima (warna biru) untuk Bidang Pajak Daerah pada
PERANGKAT DAERAH;
f. lembar keenam (warna kuning) untuk Bidang Pajak Daerah pada
PERANGKAT DAERAH;
g. lembar ketujuh (warna hijau) untuk Bidang Pajak Daerah pada
PERANGKAT DAERAH.
(6) Bentuk dan format isian formulir STS sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 229
(1) Permohonan angsuran dan penundaan pembayaran pajak disampaikan
secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala
PERANGKAT DAERAH selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak
tanggal penerbitan SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
dilampiri dengan :
d. keadaan keuangan perusahaan;
e. rekening koran perusahaan selama 3 (tiga) bulan terakhir yang
menunjukan saldo uang di bank;
f. besarnya pajak terutang yang ditunjukkan dengan SPTPD dan
SSPD.
(3) PERANGKAT DAERAH melakukan penelitian dan penelaahan atas
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai bahan
pertimbangan pemberian persetujuan.
(4) Bupati dapat memberikan persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
menerima Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dengan ketentuan sebagai berikut:
g. angsuran pembayaran pajak dilaksanakan secara teratur dan
berturut-turut, maksimal 4 (empat) kali, selama-lamanya 1 (satu)
tahun sejak tanggal persetujuan Bupati;
h. penundaan pembayaran pajak dilakukan maksimal 3 bulan sejak
dikeluarkannya persetujuan.
(5) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sejak sejak Surat
Permohonan diterima Bupati tidak memberikan keputusan, maka
permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan, dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku
penerimaan pajak mengacu kepada sistem dan prosedur pengelolaan
keuangan daerah yang berlaku.

Paragraf 4
Tata Cara Penagihan Pajak

Pasal 230

(1) Pajak terutang yang tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan
sejak saat terutangnya Pajak.

119
(2) Penagihan pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan formulir STPD.
(3) Formulir STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari 4
(empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Seksi Penetapan;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk PERANGKAT DAERAH;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk Seksi Penagihan dan
Pelaporan.
(4) Bentuk dan format isian formulir STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 231

(1) Penagihan Pajak dilakukan dengan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, dan Pelelengan.
(2) Penagihan dengan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Teguran Wajib Pajak yang dilakukan dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran;
b. penerbitan Surat Teguran;
c. penyampaian/penyerahan Surat Teguran kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan.
d. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.
(3) Penagihan dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Paksa untuk Wajib Pajak yang setelah lewat
waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah tanggal Surat Teguran
belum menyetor pajak terutang;
b. penerbitan Surat Paksa berdasarkan daftar Surat Paksa;
c. pengiriman/penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan melalui Juru Sita Pajak;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa;
e. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.
(4) Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan untuk
Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya 2 x 24 jam setelah
peneribitan Surat Paksa;
b. penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
c. pelaksanaan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak dengan menyerahkan
barang milik Wajib Pajak yang boleh disita menurut perundang-
undangan yang dirinci pada Berita Acara Pelaksanaan Sita;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Penyitaan;
e. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.

120
Pasal 232

(1) Apabila setelah dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 ayat (4) Wajib Pajak belum juga melunasi utang pajaknya
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, pejabat yang berwenang
mengajukan permintaan penetapan waktu pelaksanaan lelang.
(2) Pengajuan permintaan penetapan waktu lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang untuk
Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya sampai dengan
berakhirnya batas waktu yang ditentukan, dilakukan 14 (empat
belas) hari sejak tanggal Surat Pelaksanaan Penyitaan;
b. pemeriksaan hari, tanggal, dan jam pelelangan yang disetujui oleh
Kepala PERANGKAT DAERAH dan Permintaan Penegasan kepada
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN);
c. penyiapan berkas penyitaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan
Pengumuman Lelang;
d. pelaksanaan Lelang sesuai dengan hari, tanggal dan jam yang telah
ditentukan;
e. formulir dan daftar yang dipergunakan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.
(3) Pencabutan Penyitaan dan Pengumuman Lelang, dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan Daftar Surat Pencabutan Penyitaan untuk Wajib Pajak
yang telah melunasi utang pajaknya sesudah penerbitan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan sampai dengan sebelum
Pengumuman Lelang;
b. penerbitan Surat Pencabutan Penyitaan;
c. pelaksanaan Pencabutan Penyitaan dengan pembuatan Berita Acara
Pencabutan Penyitaan;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan;
e. monitoring penyetoran Wajib Pajak untuk mengetahui Wajib Pajak
yang telah melunasi utang pajaknya sesudah Pengumuman Lelang
sampai dengan sebelum Pelaksanaan Lelang;
f. pembuatan daftar Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
g. penerbitan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
h. pengiriman/penyerahan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang
oleh Juru Sita Pajak;
i. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.
(4) Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus,
kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
f. pembuatan daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
(SPPS & S);
g. penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
(SPPS&S) dari Daftar Surat Perintah Penagihan Seketika dan
Sekaligus (SPPS&S);

121
h. penyerahan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
(SPPS&S);
i. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan
Seketika dan Sekaligus (SPPS & S);
j. formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati ini.

Paragraf 5
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan
Dan Pembebasan Pajak

Pasal 233

(1) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Bupati dapat memberikan


pengurangan, keringanan dan pembebasan Pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
tertulis kepada Bupati melalui Kepala PERANGKAT DAERAH selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum jatuh tempo pembayaran.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mencantumkan alasan-alasan yang dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan dan sekurang-kurangnya dilampiri dengan:
a. SPTPD;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak.
(4) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan
verifikasi dan/atau pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan
kepada Wajib Pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(5) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaporkan hasilnya
kepada Kepala Perangkat Daerah sebagai dasar pemberian persetujuan.
(6) Pemberian persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
Wajib Pajak diterima, dengan ketentuan:
g. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari besarnya
pajak terutang;
h. keringanan berupa pelunasan pajak untuk waktu selama-lamanya 1
(satu) tahun.
(7) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan Wajib
Pajak diterima Bupati tidak memberikan Keputusan maka permohonan
Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

Paragraf 6
Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan
Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administratif

Pasal 234

(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat
membetulkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang

122
dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu.
(2) Bupati dapat mengurangkan atau membatalkan SKPDKB, SKPDKBT,
STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang tidak benar;
(3) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas SKPDKB,
SKPDKBT, dan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disampaikan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati atau pejabat
yang berwenang selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterima SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD dengan disertai alasan
yang jelas.
(4) Bupati atau pejabat yang berwenang, paling lama 3 (tiga) bulan sejak
surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima,
sudah harus memberikan keputusan.
(5) Apabila setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Bupati atau pejabat yang berwenang tidak memberikan
keputusan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap
dikabulkan.
(6) Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif adalah sebagai
berikut:
a. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi
Administratif dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi
Administratif dari Wajib Pajak. Bila perlu dapat dilakukan
pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala
Dinas/badan untuk diteliti dan dipertimbangkan untuk ditolak atau
diterima;
e. membuat Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala
Dinas/badan, berupa Surat Keputusan Penolakan bila permohonan
ditolak, dan Surat Keputusan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi
Administratif bila permohonan diterima;
f. menyerahkan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 7
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pasal 235

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan


permohonan pengembalian kepada Bupati melalui Kepala Badan
dengan sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. nama dan alamat Wajib Pajak;

123
b. masa Pajak;
c. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
d. argumen yang jelas;
e. SPTPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
f. Bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(2) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala Badan dapat
menunjuk petugas untuk melakukan pemeriksaan atau permintaan
keterangan atas kebenaran data yang dicantumkan dalam surat
permohonan.
(3) Bupati melalui Kepala Badan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan
keputusan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
dilampaui dan Bupati atau Kepala Badan tidak memberikan keputusan,
permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan
SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan.
(5) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan
pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan
sejak diterbitkannya SKPDLB.
(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah
lewat 2 (dua) bulan, Bupati melalui Kepala Badan memberikan imbalan
bunga sebesar 1% (satu persen) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(8) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak
setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada Sistem dan Prosedur
Pengelolaan Keuangan Daerah yang berlaku.

Pargaraf 8
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Kedaluwarsa

Pasal 236

Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur


sebagai berikut:
k. PERANGKAT DAERAH melaksanakan pendataan atas piutang pajak
yang sudah kedaluwarsa berdasarkan database yang dimiliki;
l. PERANGKAT DAERAH melaksanakan pengecekan ulang atau validasi
atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa;
m. berdasarkan hasil validasi sebagaimana dimaksud pada huruf b, Kepala
Badan mengajukan usulan penghapusan atas piutang pajak yang
sudah kedaluwarsa kepada Bupati;
n. berdasarkan usulan Kepala Badan, Bupati dapat menetapkan
Keputusan Penghapusan Piutang Pajak Daerah yang Sudah
Kedaluwarsa;

124
o. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rincian Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa.

Paragraf 9
Keberatan Dan Banding
Pasal 237
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau
pejabat yang ditunjuk atas suatu:
f. SKPDKB;
g. SKPDKBT;
h. SKPDLB;
i. SKPDN;
j. pemotongan dan/atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasar
peraturan daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang
jelas dengan dilampiri:
a. SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan keberatan pajak.
(3) Keberatan diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 238

Tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:


a. menerima Surat Permohonan Keberatan dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan keberatan dari Wajib Pajak dan
apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala Badan untuk
diteliti dan dipertimbangkan apakah permohonan keberatan diterima
atau ditolak;
e. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala Badan kepada
Bupati untuk pembuatan keputusan penerimaan atau penolakan terhadap
keberatan yang diajukan Wajib Pajak;

125
f. pembuatan Surat Keputusan yang ditandatangani Bupati atau pejabat
yang ditunjuk, berupa menerima seluruhnya, sebagian, menolak atau
menambah pajak terutang;
g. penyerahan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Pasal 239

Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar


pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Pasal 240

(1) Pajak Terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1%
(satu persen) sebulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat
terutangnya pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKB dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) sebulan untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKBT dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari kekurangan
pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan apabila
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.
(5) Jumlah kekurangan pajak terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 huruf a angka 2, dikenakan sanksi
administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen)
dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar
1% (satu persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak
saat terutangnya pajak.

Bagian Keempat
Jasa Kesenian dan Hiburan
Paragraf 1
Pelaksanaan Pendataan, Pendaftaran Dan Pengelolaan
Data Wajib Pajak

Pasal 241

(1) Pendataan Objek Pajak dilakukan dengan memberikan formulir


pendaftaran kepada orang atau badan penyelenggara hiburan sebelum
memulai usahanya.
(2) Formulir pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diisi
dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh orang atau

126
badan penyelenggara hiburan atau kuasanya kemudian dikembalikan
kepada Perangkat Daerah.
(3) Berdasarkan formulir pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
orang atau badan penyelenggara hiburan atau kuasanya selaku subjek
pajak dapat didaftarkan untuk menjadi wajib pajak daerah.
(4) Formulir pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan
sebagai sarana administrasi dan pengawasan Wajib Pajak, pengukuhan,
dan pembuatan NPWPD yang akan dicantumkan pada setiap dokumen
perpajakan daerah, serta untuk keperluan pengelolaan basis data Wajib
Pajak;
(5) Perangkat Daerah melakukan pengolahan data Wajib Pajak dalam suatu
basis data yang selalu dimutakhirkan.
(6) Basis data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya
memuat data sebagai berikut:
a. nama dan alamat tempat hiburan;
b. nama dan alamat pemilik tempat hiburan;
c. nama dan alamat pengelola tempat hiburan;
d. jenis hiburan;
e. jumlah hiburan untuk setiap jenis hiburan;
f. tarif hiburan dengan rincian (untuk hari biasa, hari libur, hari raya
atau hari tertentu);
g. prosentase rata-rata pengunjung.
(7) Bentuk dan format isian formulir pendaftaran dimaksud pada ayat (1)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 242

(1) Selain pelaksanaan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239,


pelaksanaan pendataan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib Pajak;
b. petugas yang ditunjuk melakukan wawancara, melihat data
pembukuan, melakukan pemantauan kegiatan usaha yang sedang
berlangsung, atau cara lain yang diperlukan;
c. petugas yang ditunjuk melakukan pencatatan dan pendokumentasian
atas hasil kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, dan
melaporkannya kepada Kepala Perangkat Daerah.
(2) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan
pendataan dengan tujuan tertentu dalam rangka optimalisasi
penerimaan pajak.
(3) Tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain berupa
pemantauan langsung di lokasi tempat hiburan, menghitung dan
mencatat pengunjung tempat hiburan pada hari-hari tertentu seperti
musim liburan.
(4) Tata cara pendataan yang tidak diatur dan dijelaskan dalam Peraturan
Bupati ini mengacu pada peraturan yang berlaku mengenai sistem dan
prosedur administrasi pajak daerah.

Paragraf 2
Tata Cara Penerbitan, Pengisian Dan Penyampaian
SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT

Pasal 243

127
(1) Setiap wajib pajak wajib mengisi SPTPD dengan benar, jelas, lengkap dan
ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disediakan dan dikirimkan
oleh PERANGKAT DAERAH pada setiap akhir bulan kepada Wajib Pajak.
(3) Berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, data jumlah pembayaran atau
yang seharusnya diterima oleh Wajib Pajak dituangkan dalam formulir
SPTPD, dan digunakan sebagai dasar perhitungan besarnya pajak
terutang.
(4) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati
melalui Kepala PERANGKAT DAERAH selambat-lambatnya 15 (lima
belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
(5) Untuk memperoleh kepastian dalam penetapan pajak dapat dilakukan
pemantauan pengembalian SPTPD, yang pengaturannya ditentukan
sebagai berikut:
d. apabila tanggal 7 (tujuh) setiap bulannya dan/atau 7 (tujuh) hari
sebelum batas waktu pengembalian ternyata SPTPD belum
dikembalikan oleh Wajib Pajak, maka PERANGKAT DAERAH
mengeluarkan Surat Peringatan;
e. apabila tanggal 15 setiap bulannya dan/atau tanggal batas akhir
bulan atau tanggal batas akhir waktu pengembalian ternyata SPTPD
belum dikembalikan oleh Wajib Pajak, maka PERANGKAT DAERAH
mengeluarkan Surat Teguran;
f. apabila dalam 7 (tujuh) hari setelah penerimaan Surat Teguran Wajib
Pajak belum mengembalikan SPTPD, maka PERANGKAT DAERAH
menetapkan besarnya pajak terutang secara jabatan;
g. penetapan besarnya pajak terutang sebagaimana dimaksud pada
huruf c, diterbitkan dalam SKPDKB dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Untuk menerbitkan SKPDKB, PERANGKAT DAERAH
mengumpulkan data tentang omzet Wajib Pajak untuk masa
pajak berkenaan.
2. Data omzet wajib pajak dapat diperoleh dari wajib pajak itu
sendiri atau sumber lainnya.
3. Format formulir untuk mengumpulkan data omzet wajib pajak
dapat dibuat dan/atau disesuaikan dengan kebutuhan.
(6) Formulir SPTPD terdiri dari 3 (tiga) rangkap dengan peruntukan:
a. Lembar pertama (warna putih) untuk Arsip PERANGKAT DAERAH;
b. Lembar kedua (warna merah) untuk Wajib Pajak;
c. Lembar ketiga (warna kuning ) untuk arsip PERANGKAT DAERAH.
(7) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SPTPD sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Bupati ini.

Pasal 244

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak terutangnya pajak, Bupati
dapat menetapkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN.
(2) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan apabila:
a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
terutang tidak atau kurang bayar;
b. SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati setelah Wajib Pajak
mendapat Surat Teguran;
(3) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan apabila
ditemukan data baru dan/atau belum terungkapnya semua data yang
mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak terutang.

128
(4) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan apabila jumlah
pajak terutang sama dengan kredit pajak.

Pasal 245

(3) Formulir SKPDKB, SKPDKBT dan SKPDN terdiri dari 4 (empat) rangkap
dengan peruntukan sebagai berikut :
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk arsip Bidang Pendataan dan
Pendaftaran PERANGKAT DAERAH;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk arsip Bidang Penagihan dan
Keberatan PERANGKAT DAERAH;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk arsip;
(2) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPDKB, SKPDKBT dan SKPDN
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pargaraf 3
Tata Cara Pembayaran Pajak

Pasal 246

(1) Pungutan pajak oleh Penyelenggara Hiburan kepada penonton atau


pengunjung dilakukan dengan menggunakan Tanda Masuk yang telah
disahkan oleh Perangkat Daerah.
(2) Bentuk dan tata cara pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan keputusan Bupati.
(3) Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang adalah 30
(tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak dan/atau setelah SPTPD
diterima oleh Perangkat Daerah.

Pasal 247

(1) Seluruh pendapatan pajak disetor ke Rekening Kas Daerah.


(2) Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui Kas
Daerah, bendahara penerimaan, bendahara penerimaan pembantu, atau
petugas pemungut yang ditunjuk.
(3) Petugas pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyetorkan
seluruh penerimaannya kepada bendahara penerimaan atau bendahara
penerimaan pembantu.
(4) Bendahara penerimaan dan bendahara penerimaan pembantu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyetorkan seluruh hasil
penerimaan pajaknya baik yang diterima langsung dari Wajib Pajak
maupun yang diterima dari petugas pemungut yang ditunjuk ke
Rekening Kas Daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam sejak penerimaan
atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati.
(5) Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dilakukan dengan menggunakan SSPD dengan mencantumkan kode
rekening rincian objek pendapatan pajak hiburan atau dokumen lain
yang dipersamakan.
(6) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
berupa karcis.
(7) Penyetoran pajak ke rekening Kas Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), dilakukan dengan menggunakan Surat Tanda Setoran (STS)

129
dengan mencantumkan kode rekening rincian objek pendapatan pajak
hiburan.
(8) Formulir SSPD terdiri dari 5 (lima) rangkap, dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna kuning) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah muda) untuk arsip Bidang Pendataan
dan Pendaftaran PERANGKAT DAERAH;
c. lembar ketiga (warna hijau) untuk arsip Bidang Penagihan dan
Keberatan PERANGKAT DAERAH;
d. lembar keempat (warna biru) untuk arsip PERANGKAT DAERAH;
e. lembar kelima (warna biru muda) untuk arsip PERANGKAT DAERAH.
(9) Formulir STS terdiri dari 7 (tujuh) rangkap, dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu/Penyetor;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Bank Penerima Setoran;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk Bidang Akuntansi dan Pelaporan
PERANGKAT DAERAH;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk SPJ Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu;
e. lembar kelima (warna biru) untuk arsip PERANGKAT DAERAH;
f. lembar keenam (warna kuning) untuk arsip PERANGKAT DAERAH;
g. lembar ketujuh (warna hijau) untuk arsip PERANGKAT DAERAH.

Paragraf 4
Tata Cara Pengangsuran

Pasal 248

(1) Permohonan angsuran dan penundaan pembayaran pajak disampaikan


secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala
PERANGKAT DAERAH selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak
tanggal penyampaian SPTPD dan/atau sejak tanggal penerbitan
SKPDKB, SKPDKBT atau STPD;
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
disertai dengan dokumen:
a. laporan keadaan keuangan perusahaan;
b. rekening koran perusahaan untuk 3 (tiga) bulan terakhir yang
menunjukkan saldo uang di bank;
c. besarnya pajak yang terutang yang ditunjukkan dengan SPTPD dan
SSPD.
(3) Perangkat Daerah melakukan penelitian atas dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagai bahan pertimbangan pemberian
persetujuan.
(4) Bupati dapat memberikan persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
menerima Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dengan ketentuan:
a. angsuran pembayaran pajak dilaksanakan secara teratur dan
berturut-turut, maksimal 4 (empat) kali, selama-lamanya 1 (satu)
tahun sejak tanggal persetujuan Bupati;
b. penundaan pembayaran pajak dilakukan maksimal 3 (tiga) bulan
sejak dikeluarkannya persetujuan.
(5) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
Bupati tidak memberikan keputusan, maka permohonan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan.

Pasal 249

130
Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku penerimaan
pajak mengacu kepada sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah
yang berlaku.

Paragraf 5
Tata Cara Penagihan Pajak

Pasal 250

(1) Pajak Terutang yang tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo
pembayaran ditagih dengan menggunakan Formulir STPD.
(2) Formulir STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 4
(empat) rangkap, dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk arsip Bidang Pendataan dan
Pendaftaran Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk arsip Bidang Penagihan dan
Keberatan Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk arsip Perangkat Daerah.

Pasal 251

(1) Penagihan Pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Teguran, Surat


Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, dan Pelelengan.
(2) Penagihan dengan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Teguran Wajib Pajak yang dilakukan dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran;
b. penerbitan Surat Teguran;
c. penyampaian/penyerahan Surat Teguran kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan.
(3) Penagihan dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Paksa untuk Wajib Pajak yang setelah lewat
waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah tanggal Surat Teguran belum
menyetor pajak terutang;
b. penerbitan Surat Paksa berdasarkan daftar Surat Paksa;
c. pengiriman/penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan melalui Juru Sita Pajak;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa;
(4) Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan untuk
wajib pajak yang belum melunasi utang pajaknya 2 x 24 jam setelah
peneribitan Surat Paksa;
b. penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
c. pelaksanaan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak dengan menyerahkan
barang milik Wajib Pajak yang boleh disita menurut perundang-
undangan yang dirinci pada Berita Acara Pelaksanaan Sita;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Penyitaan;

Pasal 252

(1) Apabila setelah dilakukan penyitaan, Wajib Pajak belum juga melunasi

131
utang pajaknya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak tanggal
pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, pejabat yang
berwenang mengajukan permintaan penetapan waktu pelaksanaan
lelang.
(2) Pengajuan permintaan penetapan waktu lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang untuk Wajib
Pajak yang belum melunasi utang pajaknya sampai dengan
berakhirnya batas Waktu yang ditentukan;
b. pemeriksaan hari, tanggal, dan jam pelelangan yang disetujui oleh
Kepala Perangkat Daerah dan Permintaan Penegasan kepada Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN);
c. penyiapan berkas penyitaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan
Pengumuman Lelang;
d. pelaksanaan Lelang sesuai dengan hari, tanggal dan jam yang telah
ditentukan.
(3) Pencabutan Penyitaan dan Pengumuman Lelang, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
a. pembuatan Daftar Surat Pencabutan Penyitaan untuk Wajib Pajak
yang telah melunasi utang pajaknya sesudah penerbitan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan sampai dengan sebelum
Pengumuman Lelang;
b. penerbitan Surat Pencabutan Penyitaan;
c. pelaksanaan Pencabutan Penyitaan dengan pembuatan Berita Acara
Pencabutan Penyitaan;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan;
e. monitoring penyetoran Wajib Pajak untuk mengetahui Wajib Pajak
yang telah melunasi utang pajaknya sesudah Pengumuman Lelang
sampai dengan sebelum Pelaksanaan Lelang;
f. pembuatan daftar Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
g. penerbitan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
h. pengiriman/penyerahan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang oleh
Juru Sita Pajak;
(4) Bentuk formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Paragraf 6
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan
Dan Pembebasan Pajak

Pasal 253

(1) Permohonan pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak


diajukan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala
Perangkat Daerah paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum jatuh
tempo pembayaran dengan disertai alasan-alasan yang dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
dilampiri:
a. SPTPD;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak.

132
(3) Kepala PERANGKAT DAERAH dapat menunjuk petugas untuk melakukan
verifikasi dan/atau pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada
Wajib Pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dan/atau
pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib Pajak
melaporkan hasilnya kepada Kepala PERANGKAT DAERAH sebagai dasar
pemberian persetujuan.
(5) Pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama
3 (tiga) bulan sejak permohonan Wajib Pajak diterima, dengan
ketentuan:
i. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari besarnya
pajak terutang;
j. keringanan berupa pelunasan pajak selama-lamanya 1 (satu) tahun.
(6) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat
permohonan Bupati tidak memberikan Keputusan, permohonan Wajib
Pajak dianggap dikabulkan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
ayat (5).
(7) Bentuk dan tata cara pengisian formulir Suat Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Paragaraf 7
Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan
Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administratif

Pasal 254
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat
membetulkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang
dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu.
(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas SKPDKB,
SKPDKBT, dan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala Perangkat
Daerah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima
SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD dengan disertai alasan yang jelas.
(3) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak surat permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, Bupati melalui Kepala
Perangkat Daerah dapat memberikan keputusan;
(4) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah tidak
memberikan keputusan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dianggap dikabulkan.
(5) Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif adalah sebagai
berikut:
a. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi Administratif dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan
Sanksi Administratif dari Wajib Pajak,apabila diperlukan dapat
dilakukan pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;

133
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala Perangkat
Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan untuk ditolak atau
diterima;
e. membuat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala Perangkat
Daerah, berupa Keputusan Penolakan bila permohonan ditolak, dan
Keputusan Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif bila
permohonan dikabulkan;
f. menyerahkan Keputusan kepada Wajib Pajak.

Paragraf 8
Keberatan Dan Banding

Pasal 255

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati melalui


Kepala PERANGKAT DAERAH atas suatu:
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT;
c. SKPDLB;
d. SKPDN;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
Peraturan Daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah secara tertulis dengan
disertai alasan-alasan yang jelas dengan dilampiri :
a. SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan keberatan pajak.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
(6) Bentuk dan format isian formulir permohonan keberatan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 256

Tata cara penyelesaian keberatan diatur sebagai berikut:


h. menerima surat permohonan keberatan dari Wajib Pajak;
i. meneliti kelengkapan permohonan keberatan dari Wajib Pajak, apabila
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan;
j. membuat laporan hasil penelitian;
k. menyampaikan laporan hasil penelitian kepada Kepala PERANGKAT
DAERAH untuk diteliti dan dipertimbangkan apakah permohonan
keberatan diterima atau ditolak;

134
l. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala
PERANGKAT DAERAH kepada Bupati untuk pembuatan keputusan
penerimaan atau penolakan terhadap keberatan yang diajukan Wajib
Pajak;
m. pembuatan Draft Keputusan yang ditandatangani Kepala PERANGKAT
DAERAH, berupa menerima seluruhnya, sebagian, menolak atau
menambah pajak terutang;
n. menyerahkan Keputusan kepada Wajib Pajak.

Pasal 257

Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar


pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Paragraf 9
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak

Pasal 258

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan


permohonan pengembalian kepada Bupati melalui Kepala Perangkat
Daerah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat :
g. nama dan alamat Wajib Pajak;
h. masa pajak;
i. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
j. argumen yang jelas;
k. SPTPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
l. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(3) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala Perangkat
Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan pemeriksaan atau
permintaan keterangan atas kebenaran data yang dicantumkan dalam
surat permohonan.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah dapat memberikan
keputusan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah
dilampaui dan Bupati atau Kepala Perangkat Daerah tidak memberikan
keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan.
(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah
lewat 2 (dua) bulan, Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah
memberikan imbalan bunga sebesar 1% (satu persen) setiap bulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(7) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak
setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada Sistem dan Prosedur
Pengelolaan Keuangan Daerah yang berlaku.

Paragraf 10
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Kedaluwarsa
Pasal 259

135
(1) Bupati dapat menghapuskan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tata cara sebagai berikut :
a. Perangkat Daerah melaksanakan pendataan atas piutang pajak
yang sudah kedaluwarsa berdasarkan basis data yang dimiliki;
b. Perangkat Daerah melaksanakan pengecekan ulang atau validasi
atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa;
c. berdasarkan hasil validasi, Kepala Perangkat Daerah mengajukan
usulan penghapusan atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa,
kepada Bupati;
d. berdasarkan usulan Kepala Perangkat Daerah, Bupati dapat
menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa;
e. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rinci Piutang Pajak yang
Sudah Kedaluwarsa.

BAB VIII
PAJAK MBLB
Bagian Kesatu
Pendaftaran, Pendataan Dan Pengelolaan
Data Wajib Pajak

Pasal 260

(1) Setiap pengusaha Pengambilan/Eksploitasi Mineral Bukan Logam dan


Batuan wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak sebelum memulai
usahanya.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mengisi formulir pendaftaran yang diisi secara benar dan jelas serta
ditandatangani.
(3) Pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai sarana administrasi dan pengawasan Wajib Pajak,
pengukuhan, dan pembuatan NPWPD yang akan dicantumkan pada
setiap dokumen perpajakan daerah, serta untuk keperluan pengelolaan
database Wajib Pajak.
(4) Database Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelola
dalam sistem yang selalu dimutakhirkan atau dilakukan pemeliharaan.
(5) Bentuk dan format isian formulir pendaftaran dimaksud pada ayat (1)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 261

(1) Pendataan Wajib Pajak merupakan proses pengumpulan data mengenai


Wajib Pajak.
(2) Pendataan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai
yang memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan pendataan atau
petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala Perangkat Daerah.

136
(3) Data Wajib Pajak untuk kebutuhan pengelolaan database, sekurang-
kurangnya terdiri dari:
a. nama dan alamat lokasi pengambilan/eksploitasi mineral bukan
logam dan batuan;
b. nama dan alamat pemegang izin usaha pengambilan/ eksploitasi
mineral bukan logam dan batuan;
c. nama dan alamat kuasa usaha pengambilan/eksploitasi mineral
bukan logam dan batuan;
d. luas areal pengambilan/eksploitasi mineral bukan logam dan
batuan;
e. jenis mineral bukan logam dan batuan yang diambil/dieksploitasi;
f. rata-rata volume mineral bukan logam dan batuan yang
diambil/dieksploitasi.
(4) Data Wajib Pajak selain untuk pengelolaan database sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat ditambahkan atau disesuaikan dengan
kebutuhan.

Pasal 262

(1) Selain pelaksanaan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


259, pelaksanaan pendataan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. petugas yang ditunjuk mengunjungi/mendatangi Wajib Pajak
dan/atau lokasi pengambilan/eksploitasi Mineral Bukan Logam dan
Batuan;
b. petugas sebagaimana dimaksud pada huruf (a) melakukan
wawancara, melihat data pembukuan, melakukan pemantauan
kegiatan usaha yang sedang berlangsung, atau cara lain yang
diperlukan;
c. petugas sebagaimana dimaksud pada huruf (a) melakukan
pencatatan atau dokumentasi atas kegiatan yang diperoleh pada
huruf a dan b.
(2) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan
pendataan dengan tujuan tertentu dalam rangka optimalisasi
penerimaan pajak.
(3) Tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain
berupa pemantauan langsung di lokasi pengambilan/ eksploitasi
Mineral Bukan Logam dan Batuan, menghitung dan mencatat volume
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang diambil/dieksploitasi.

Bagian Kedua

Tata Cara Penerbitan, Pengisian, Dan Penyampaian SPTPD, SKPDKB, DAN


SKPDKBT

Pasal 263

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPTPD dengan benar, jelas, lengkap
dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya.

137
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disediakan dan
dikirimkan oleh Perangkat Daerah setiap akhir bulan kepada Wajib
Pajak.
(3) Berdasarkan pembukuan Wajib Pajak, data jumlah nilai jual hasil
pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang diterima oleh
Wajib Pajak dituangkan dalam formulir SPTPD, dan digunakan sebagai
dasar perhitungan besarnya pajak terutang.
(4) Untuk memperoleh kepastian dalam penetapan pajak diadakan
pemantauan pengembalian SPTPD, yang pengaturannya ditentukan
sebagai berikut:
h. apabila tanggal 7 (tujuh) setiap bulannya atau 7 (tujuh) hari sebelum
batas waktu pengembalian ternyata SPTPD belum dikembalikan oleh
Wajib Pajak, Perangkat Daerah mengeluarkan Surat Peringatan;
i. apabila tanggal 15 (lima belas)setiap bulannya atau tanggal batas akhir
bulan atau tanggal batas akhir waktu pengembalian ternyata SPTPD
belum dikembalikan oleh Wajib Pajak, Perangkat Daerah mengeluarkan
Surat Teguran;
j. apabila 7 (tujuh) hari setelah penerimaan Surat Teguran ternyata
Wajib Pajak belum mengembalikan SPTPD, Perangkat Daerah
menetapkan besarnya pajak terutang secara jabatan;
k. penetapan besarnya pajak terutang sebagaimana dimaksud pada
huruf c, diterbitkan dalam SKPDKB dengan ketentuan sebagai
berikut :
1. untuk menerbitkan SKPDKB, Perangkat Daerah mengumpulkan
data tentang omzet Wajib Pajak untuk masa pajak berkenaan.
2. data omzet wajib pajak dapat diperoleh dari wajib pajak itu
sendiri atau sumber lainnya.
3. format formulir untuk mengumpulkan data omzet wajib pajak
dapat dibuat dan/atau disesuaikan dengan kebutuhan.
(5) Formulir SPTPD terdiri dari 3 (Tiga) rangkap dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Sub Bidang Penilaian pada
Perangkat Daerah;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Wajib Pajak;
c. lembar kedua (warna Kuning) untuk Bidang Pajak Daerah pada
Perangkat Daerah.
(6) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SPTPD, sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 264

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak terutangnya pajak, Bupati
dapat menetapkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN.
(2) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan apabila:
a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang
terutang tidak atau kurang bayar;
b. SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati setelah Wajib Pajak
mendapat Surat Teguran;

138
(3) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan apabila
ditemukan data baru dan/atau belum terungkapnya semua data yang
mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak terutang.
(4) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan apabila jumlah
pajak terutang sama dengan kredit pajak.

Pasal 265

(1) Formulir SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN terdiri dari 4 (empat) rangkap
dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Sub Bidang Penilaian Pajak
Daerah pada Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk Bidang Pajak Daerah pada
Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk Sub Bidang Penagihan pada
Perangkat Daerah.
(2) Bentuk dan tata cara pengisian formulir SKPDKB, SKPDKBT dan SKPDN,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran Pajak
Pasal 266

(1) Seluruh pendapatan pajak wajib disetor ke Rekening Kas Daerah.


(2) Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui Kas
Daerah, bendahara penerimaan, bendahara penerimaan pembantu,
atau petugas pemungut yang ditunjuk.
(3) Petugas pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyetorkan
seluruh penerimaannya kepada bendahara penerimaan atau bendahara
penerimaan pembantu.
(4) Bendahara penerimaan dan bendahara penerimaan pembantu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyetorkan seluruh hasil
penerimaan pajaknya baik yang diterima langsung dari Wajib Pajak
maupun yang diterima dari petugas pemungut yang ditunjuk ke
Rekening Kas Daerah selambat-lambatnya 1 x 24 jam sejak penerimaan
atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati.
(5) Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan menggunakan formulir SSPD dengan
mencantumkan kode rekening rincian objek pendapatan pajak mineral
bukan logam dan mineral.
(6) Penyetoran pajak ke rekening kas daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilakukan dengan menggunakan Surat Tanda Setoran (STS)
dengan mencantumkan kode rekening rincian objek pendapatan pajak
mineral bukan logam dan mineral.
(7) Formulir SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), terdiri dari 5
(lima) rangkap dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna kuning) untuk Wajib Pajak;

139
b. lembar kedua (warna merah) untuk Bidang Pajak Daerah pada
Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna hijau) untuk Bidang Pajak Daerah pada
Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna biru) untuk Sub Bidang Penagihan pada
Perangkat Daerah;
e. lembar kelima (warna biru muda) untuk Sub Bidang Penagihan
pada Perangkat Daerah.
(8) Formulir STS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terdiri dari 7 (tujuh)
rangkap dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu/Penyetor;
b. lembar kedua (warna merah) untuk Bank Penerima Setoran;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk Bidang Akuntansi dan
Pelaporan pada Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk Bendahara
Penerimaan/Bendahara Penerimaan Pembantu;
e. lembar kelima (warna biru) untuk Bidang Pajak Daerah pada
Perangkat Daerah;
f. lembar keenam (warna Kuning) untuk Bidang Pajak Daerah pada
Perangkat Daerah;
g. lembar ketujuh (warna hijau) untuk Bidang Pajak Daerah pada
Perangkat Daerah.

Bagian Keempat
Tata Cara Pengangsuran
Pasal 267

(1) Permohonan angsuran dan penundaan pembayaran pajak disampaikan


secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala
Perangkat Daerah selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak
tanggal penerbitan SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
disertai dengan dokumen:
a. laporan keadaan keuangan perusahaan;
b. rekening koran perusahaan untuk 3 (tiga) bulan terakhir yang
menunjukkan saldo uang di bank;
c. besarnya pajak yang terutang yang ditunjukkan dengan SPTPD dan
SSPD.
(3) Perangkat Daerah melakukan penelitian atas dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagai bahan pertimbangan untuk pemberian
persetujuan.
(4) Bupati dapat memberikan persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
menerima Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dengan ketentuan:
a. angsuran pembayaran pajak dilaksanakan secara teratur dan
berturut-turut, maksimal 4 (empat) kali, selama-lamanya 1 (satu)
tahun sejak tanggal persetujuan Bupati;

140
b. penundaan pembayaran pajak dilakukan maksimal 3 (tiga) bulan
sejak dikeluarkannya persetujuan.
(5) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
Bupati tidak memberikan keputusan, maka permohonan Wajib Pajak
dianggap dikabulkan.

Pasal 268

Bentuk, jenis, isi, ukuran tanda bukti pembayaran dan buku penerimaan
pajak mengacu kepada sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah
yang berlaku.

Bagian Kelima
Tata Cara Penagihan Pajak

Pasal 269

(1) Pajak Terutang yang tidak atau kurang bayar setelah jatuh tempo
pembayaran ditagih dengan menggunakan Formulir STPD.
(2) Formulir STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 4
(empat) rangkap, dengan peruntukan:
a. lembar pertama (warna putih) untuk Wajib Pajak;
b. lembar kedua (warna merah) untuk arsip Bidang Pendataan dan
Pendaftaran Perangkat Daerah;
c. lembar ketiga (warna kuning) untuk arsip Bidang Penagihan dan
Keberatan Perangkat Daerah;
d. lembar keempat (warna hijau) untuk arsip Perangkat Daerah.

Pasal 270

(1) Penagihan Pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Teguran, Surat


Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, dan Pelelengan.
(2) Penagihan dengan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Teguran Wajib Pajak yang dilakukan dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran;
b. penerbitan Surat Teguran;
c. penyampaian/penyerahan Surat Teguran kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan.
(3) Penagihan dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
e. pembuatan daftar Surat Paksa untuk Wajib Pajak yang setelah lewat
waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah tanggal Surat Teguran
belum menyetor pajak terutang;
f. penerbitan Surat Paksa berdasarkan daftar Surat Paksa;
g. pengiriman/penyerahan Surat Paksa kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan melalui Juru Sita Pajak;
h. pembuatan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa;

141
(4) Penagihan dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
e. pembuatan daftar Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan untuk
wajib pajak yang belum melunasi utang pajaknya 2 x 24 jam setelah
peneribitan Surat Paksa;
f. penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
g. pelaksanaan Penyitaan oleh Juru Sita Pajak dengan menyerahkan
barang milik Wajib Pajak yang boleh disita menurut perundang-
undangan yang dirinci pada Berita Acara Pelaksanaan Sita;
h. pembuatan Laporan Pelaksanaan Penyitaan;

Pasal 271

(1) Apabila setelah dilakukan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 15 ayat (4) Wajib Pajak belum juga melunasi utang pajaknya
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, pejabat yang berwenang
mengajukan permintaan penetapan waktu pelaksanaan lelang.
(2) Pengajuan permintaan penetapan waktu lelang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut :
a. pembuatan daftar Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang untuk
Wajib Pajak yang belum melunasi utang pajaknya sampai dengan
berakhirnya batas Waktu yang ditentukan;
b. pemeriksaan hari, tanggal, dan jam pelelangan yang disetujui oleh
Kepala Perangkat Daerah dan Permintaan Penegasan kepada Panitia
Urusan Piutang Negara;
c. penyiapan berkas penyitaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan
Pengumuman Lelang;
d. pelaksanaan Lelang sesuai dengan hari, tanggal dan jam yang telah
ditentukan.
(3) Pencabutan Penyitaan dan Pengumuman Lelang, kegiatan yang
dilaksanakan meliputi:
a. pembuatan Daftar Surat Pencabutan Penyitaan untuk Wajib Pajak
yang telah melunasi utang pajaknya sesudah penerbitan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan sampai dengan sebelum
Pengumuman Lelang;
b. penerbitan Surat Pencabutan Penyitaan;
c. pelaksanaan Pencabutan Penyitaan dengan pembuatan Berita Acara
Pencabutan Penyitaan;
d. pembuatan Laporan Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan;
e. monitoring penyetoran Wajib Pajak untuk mengetahui Wajib Pajak
yang telah melunasi utang pajaknya sesudah Pengumuman Lelang
sampai dengan sebelum Pelaksanaan Lelang;
f. pembuatan daftar Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
g. penerbitan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang;
h. pengiriman/penyerahan Surat Pencabutan Pengumuman Lelang
oleh Juru Sita Pajak;

142
(4) Bentuk formulir dan buku/daftar yang dipergunakan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Bagian Keenam
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan
dan Pembebasan Pajak

Pasal 272

(1) Permohonan pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak


diajukan secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala
PERANGKAT DAERAH paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum jatuh
tempo pembayaran dengan disertai alasan-alasan yang dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
dilampiri:
a. SPTPD;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak.
(3) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan
verifikasi dan/atau pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada
Wajib Pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dan/atau
pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib Pajak
melaporkan hasilnya kepada Kepala Perangkat Daerah sebagai dasar
pemberian persetujuan.
(5) Pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan Wajib Pajak diterima, dengan
ketentuan:
a. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari besarnya
pajak terutang;
b. keringanan berupa pelunasan pajak selama-lamanya 1 (satu) tahun.
(6) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat
permohonan Bupati tidak memberikan Keputusan, permohonan Wajib
Pajak dianggap dikabulkan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
ayat (5).
(7) Bentuk dan tata cara pengisian formulir Suat Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Bagian Ketujuh
Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan Dan
Penghapusan Atau
Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal 273

143
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati dapat
membetulkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN, atau SKPDLB yang
dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu.
(2) Permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif atas SKPDKB,
SKPDKBT, dan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
secara tertulis oleh Wajib Pajak kepada Bupati melalui Kepala
PERANGKAT DAERAH selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal diterima SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD dengan disertai
alasan yang jelas.
(3) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak surat permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, Bupati melalui Kepala
PERANGKAT DAERAH dapat memberikan keputusan;
(4) Apabila setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Bupati melalui Kepala PERANGKAT DAERAH tidak
memberikan keputusan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dianggap dikabulkan.
(5) Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan
penghapusan atau pengurangan sanksi administratif adalah sebagai
berikut:
a. menerima Surat Permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi
Administratif dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan Pembetulan, Pembatalan,
Pengurangan Ketetapan dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi
Administratif dari Wajib Pajak,apabila diperlukan dapat dilakukan
pemeriksaan;
c. membuat Laporan Hasil Penelitian;
d. menyampaikan Laporan Hasil Penelitian kepada Kepala
PERANGKAT DAERAH untuk diteliti dan dipertimbangkan untuk
ditolak atau diterima;
e. membuat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala PERANGKAT
DAERAH, berupa Keputusan Penolakan bila permohonan ditolak,
dan Keputusan Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan
dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif bila
permohonan dikabulkan;
f. menyerahkan Keputusan kepada Wajib Pajak.

Bagian Kedelapan
Tata Cara Pengajuan Keberatan Dan Banding
Pasal 274

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau
pejabat yang ditunjuk atas suatu:

144
a. SKPDKB;
b. SKPDKBT;
c. SKPDLB;
d. SKPDN;
e. pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
peraturan daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah secara tertulis dengan
disertai alasan-alasan yang jelas dengan dilampiri diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang
jelas dengan dilampiri:
a. SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan keberatan pajak.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
(6) Bentuk dan format isian formulir permohonan keberatan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Bupati ini.

Pasal 275

Tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai berikut:


a. menerima surat permohonan keberatan dari Wajib Pajak;
b. meneliti kelengkapan permohonan keberatan dari Wajib Pajak,
apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan;
c. membuat laporan hasil penelitian;
d. menyampaikan laporan hasil penelitian kepada Kepala Perangkat
Daerah untuk diteliti dan dipertimbangkan apakah permohonan
keberatan diterima atau ditolak;
e. menyampaikan berkas keberatan dan pertimbangan Kepala Perangkat
Daerah kepada Bupati untuk pembuatan keputusan penerimaan atau
penolakan terhadap keberatan yang diajukan Wajib Pajak;
f. pembuatan Draft Keputusan yang ditandatangani Kepala Perangkat
Daerah, berupa menerima seluruhnya, sebagian, menolak atau
menambah pajak terutang;
g. menyerahkan Surat Keputusan kepada Wajib Pajak.

Pasal 276

145
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Bagian Kesembilan
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 277

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan


permohonan pengembalian kepada Bupati melalui Kepala Perangkat
Daerah.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat :
a. nama dan alamat Wajib Pajak;
b. masa pajak;
c. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
d. argumen yang jelas;
e. SPTPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN asli;
f. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(3) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala Perangkat
Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan pemeriksaan atau
permintaan keterangan atas kebenaran data yang dicantumkan dalam
surat permohonan.
(4) Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah dapat memberikan
keputusan.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah
dilampaui dan Bupati atau Kepala Perangkat Daerah tidak memberikan
keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan.
(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah
lewat 2 (dua) bulan, Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah
memberikan imbalan bunga sebesar 1% (satu persen) setiap bulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(7) Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak
setelah diterbitkannya SKPDLB mengacu kepada Sistem dan Prosedur
Pengelolaan Keuangan Daerah yang berlaku.

Bagian Kesepuluh
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Kedaluwarsa

Pasal 278

(1) Bupati dapat menghapuskan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa.


(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tata cara sebagai berikut :

146
a. Perangkat Daerah melaksanakan pendataan atas piutang pajak
yang sudah kedaluwarsa berdasarkan basis data yang dimiliki;
b. Perangkat Daerah melaksanakan pengecekan ulang atau validasi
atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa;
c. berdasarkan hasil validasi, Kepala Perangkat Daerah mengajukan
usulan penghapusan atas piutang pajak yang sudah kedaluwarsa,
kepada Bupati;
d. berdasarkan usulan Kepala Perangkat Daerah, Bupati dapat
menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa;
e. Keputusan Bupati tentang Penghapusan Piutang Pajak yang Sudah
Kedaluwarsa dilampiri dengan Daftar Rinci Piutang Pajak yang
Sudah Kedaluwarsa.

Bagian Kesebelas
Pengendalian
Pasal 279

(1) Kepala Perangkat Daerah dapat menunjuk petugas untuk melakukan


pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan daerah.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib menandatangani Berita Acara Hasil
Pemeriksaan.
(4) Tata cara pemeriksaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan lebih
lanjut diatur dengan Keputusan Bupati.

BAB IX
PAJAK SARANG BURUNG WALET
Bagian Kesatu
Tata Cara Penerbitan, Pengisian, dan Penyampaian SPTPD, SKPDKB,
dan SKPDKBT

Pasal 280
(1) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar
dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas,
benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus disampaikan kepada
Bupati atau Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan Daerah
paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya masa
Pajak.
(4) Setiap orang yang menemukan sarang Burung Walet di dalam habitat
alami dan melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang
Burung Walet tersebut wajib mengisi SPTPD atas nama yang
bersangkutan.
(5) Setiap pemilik tanah tempat sarang Burung Walet di dalam habitat yang
memberikan imbalan kepada orang yang menemukan sarang Burung
Walet dan melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang

147
Burung Walet tersebut wajib mengisi SPTPD atas nama yang
bersangkutan.

Pasal 281
(1) Paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak terutangnya Pajak, Bupati
dapat menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1. jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, Pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. jika SPTPD tidak disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kepada
Bupati melalui Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan
Daerah dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; dan/atau
3. jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, Pajak yang terutang
dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula
belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah Pajak yang
terutang; dan
c. SKPDN jika jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
Pajak.
(2) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) sebulan dihitung
dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya Pajak.
(3) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus per seratus) dari jumlah kekurangan
Pajak tersebut.
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.
(5) Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 3 dikenakan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima per seratus) dari pokok Pajak
ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen)
sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya
Pajak.

Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran, Dan
Penundaan Pembayaran Pajak
Pasal 282
Bupati menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak
yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) Hari kerja setelah saat
terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh Waib Pajak.

Pasal 283

148
(1) Pembayaran Pajak dilakukan di Kas Daerah atau tempat lain yang
ditunjuk oleh Bupati sesuai yang ditentukan dalam SPTPD, SKPDKB,
SKPDKBT, dan STPD.
(2) Jika pembayaran Pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hasil penerimaan Pajak harus
disetor ke Kas Daerah paling lambat 1 (satu) kali 24 (dua puluh empat)
jam atau dalam batas waktu yang ditentukan oleh Bupati.
(3) Pembayaran Pajak secara lunas atau secara angsuran dapat
diperhitungkan sebagai kredit Pajak atau pengurang Pajak terutang
dalam masa Pajak tersebut.

Pasal 284
(1) Pembayaran Pajak dilakukan sekaligus atau lunas.
(2) SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah
Pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan Pajak
dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.
(3) Bupati atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan
yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak
untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak dengan dikenakan
bunga sebesar 1% (satu persen) sebulan dari jumlah Pajak yang belum
atau kurang bayar.

Bagian Ketiga
Bentuk, Jenis, Dan Isi Formulir Yang Dipergunakan Untuk Pelaksanaan
Penagihan Pajak
Pasal 285
(1) Penagihan Pajak dilakukan dengan menggunakan STPD.
(2) Bupati atau pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk
jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan perhitungan oleh Wajib
Pajak dalam hal:
a. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran
sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
b. SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar
setelah jatuh tempo pembayaran; atau
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau
denda.
(3) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) setiap bulan
untuk paling lama 15 (lima belas) bulan terhitung sejak saat
terutangnya Pajak.

Pasal 286
(1) Surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis
merupakan awal tindakan pelaksanaan penagihan Pajak, yang
diterbitkan 7 (tujuh) Hari terhitung sejak jatuh tempo pembayaran.

(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) Hari setelah tanggal surat teguran, surat
peringatan, atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan, Wajib Pajak harus melunasi Pajak yang terutang.

149
(3) Surat teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Bupati atau
pejabat yang berwenang.

Pasal 287
(1) Apabila jumlah Pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam
jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran, surat
peringatan, atau surat lain yang sejenis, jumlah Pajak yang harus
dibayar ditagih dengan surat paksa.
(2) Pejabat yang berwenang menerbitkan surat paksa setelah lewat 21 (dua
puluh satu) Hari terhitung sejak tanggal surat teguran, surat
peringatan, atau surat lain yang sejenis diterbitkan.

Pasal 288
Apabila Pajak yang harus dibayar tidak dilunasi paling lama 2 (dua) kali
24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal pemberitahuan surat
paksa, pejabat yang berwenang menerbitkan surat perintah melaksanakan
penyitaan.

Pasal 289
Apabila setelah dilakukan penyitaan Wajib Pajak belum juga melunasi
utang pajaknya, setelah lewat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal
pelaksanaan surat perintah melaksanakan penyitaan, pejabat yang
berwenang mengajukan permintaan penetapan waktu penetapan lelang.

Pasal 290
Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, dan jam tempat
pelaksanaan lelang, juru sita memberitahukan dengan segera secara
tertulis kepada Wajib Pajak.

Pasal 291
Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan isi formulir yang dipergunakan
untuk pelaksanaan penagihan Pajak dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Tata Cara Pemberian Pengurangan, Keringanan,
Dan Pembebasan Pajak
Pasal 292
(1) Permohonan Wajib Pajak diajukan secara tertulis kepada Bupati
melalui Kepala Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan Daerah
paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum jatuh tempo pembayaran
dengan alasan-alasan yang dapat diterima dan dipertanggungjawabkan
dan sekurang-kurangnya dilampiri:
a. SKPD atau STPD asli;
b. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan;
c. laporan keuangan yang sah, periode permohonan pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak.
(2) Kepala Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan Daerah dapat
menunjuk petugas untuk melakukan verifikasi dan/atau pemeriksaan
dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib Pajak atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

150
(3) Petugas yang ditunjuk untuk melakukan verifikasi dan/atau
pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan kepada Wajib Pajak
melaporkan hasilnya kepada Kepala Perangkat Daerah yang
membidangi pendapatan Daerah sebagai dasar pemberian persetujuan.
(4) Pemberian persetujuan paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan
Wajib Pajak diterima, dengan ketentuan:
a. pengurangan maksimal 50% (lima puluh persen) dari besarnya pajak
terutang;
b. keringanan berupa pelunasan pajak selama-lamanya 1 (satu) tahun.
(5) Apabila setelah lewat 3 (tiga) bulan Bupati tidak memberikan
Keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4).

Bagian Kelima
Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administratif Dan
Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak
Pasal 293
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati melalui
Perangkat Daerah yang membidangi pendapatan Daerah dapat
membetulkan SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, dan SKPDN atau
SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Bupati dapat:
a. mengurangi atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga,
denda, dan kenaikan Pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
b. mengurangi atau membatalkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN,
atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangi atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan Pajak yang
dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang
ditentukan;
e. mengurangi ketetapan Pajak terutang berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek
Pajak.

Bagian Keenam
Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 294
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian kepada Bupati melalui Kepala Perangkat
Daerah yang membidangi pendapatan Daerah dengan paling sedikit
mencantumkan:
a. Nama, NIK dan alamat Wajib Pajak;
b. masa Pajak;
c. besarnya kelebihan pembayaran pajak;
d. argumen yang jelas;
e. SKPD, atau STPD asli;
f. bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan.
(2) Atas permohonan pengembalian kelebihan pajak, Kepala Perangkat
Daerah yang membidangi pendapatan Daerah dapat menunjuk

151
petugas untuk melakukan pemeriksaan atau permintaan keterangan
atas kebenaran data yang dicantumkan dalam surat permohonan.
(3) Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah yang membidangi
pendapatan Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.

Bagian Keenam
Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Yang Sudah Kedaluwarsa

Pasal 295
(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa
setelah lampau waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat
terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tertangguh apabila:
a. diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa, atau;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung
maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat teguran
dan/atau surat paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya
menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya
kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan
angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan
oleh Wajib Pajak.

Pasal 296
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang Pajak yang
sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB X
PEMBUKUAN
Pasal 297
(1) Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara
elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
a. bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha
paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan

152
b. bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha
kurang dari Rp4.800.000.00O,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan.
(2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan
memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya.
(3) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pembukuan.
(4) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling
sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta
bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung
besaran Pajak yang terutang.
(5) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan
selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat
tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib
Pajak Badan.

BAB XI
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD
Pasal 298
(1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan
penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mengisi SPTPD.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh
jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) terutang
yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat
peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang perjenis Pajak dalam
satu masa Pajak.
(4) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Bupati setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD
sebagai bukti pelunasan Pajak.
(5) Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
(6) SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah
disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.

Pasal 299
(1) Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1)
dilakukan setiap masa Pajak.
(2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka
waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak

153
terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan
dilaporkan dalam SPTPD.
(3) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati
menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah
berakhirnya Masa Pajak.
(4) Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dikecualikan untuk BPHTB.

Pasal 300
(1) Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 ayat (1) dapat dikenakan
sanksi administratif berupa denda.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan STPD untuk setiap SPTPD sebesar:
a. Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Wajib Pajak Badan;
dan
b. Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk Wajib
Pajak Perorangan.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar
(force majeure).
(4) Kriteria keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.

Pasal 301
(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis
sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal pembetulan SPIPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan
paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
(3) Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan
SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan
sanksi administratif berupa bunga.
(4) Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif
berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak
yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.

154
(5) Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak
dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang
kurang dibayar.

Bagian Kedua
Sistem Online Pelaporan Transaksi
Pasal 302
(1) Sistem Online pelaporan transaksi dilakukan antara Perangkat
Daerah yang membidangi pengelolaan pemungutan pajak daerah
dengan Wajib Pajak meliputi sistem informasi data transaksi
pembayaran yang dilakukan oleh Subjek Pajak kepada Wajib
Pajak.
(2) Sistem Online informasi dan dokumen yang berkaitan dengan
Pajak, dilakukan antara perangkat Daerah yang membidangi
pengelolaan pemungutan Pajak Daerah dengan Wajib Pajak
meliputi informasi dan/atau Dokumen elektronik yang berkaitan
dengan Pajak.
(3) Tujuan Transaksi Sistem Online Pajak meliputi:
a. transparansi data transaksi usaha Wajib Pajak;
b. transparansi pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak kepada
Pemerintah Daerah; dan
c. percepatan penyampaian data dan informasi Pajak.
(4) Sistem Online pelaporan transaksi sebgaimana dimaksud pada
ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi
pengelolaan pemungutan Pajak Daerah dengan menggunakan
sistem perekam data transaksi usaha.
(5) Bupati melalui Kepala Perangkat Daerah yang membidangi
pengelolaan pemungutan Pajak Daerah berwenang
menghubungkan alat dan/ atau sistem perekam data transaksi
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk dipasang pada
sistem yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
(6) Alat dan/ atau sistem data transaksi usaha sebgaiamana
dimaksud pada ayat (5), merekam setiap transaksi pembayaran
yang dilakukan oleh Subjek Pajak kepada Wajib Pajak secara real
time yang dapat dipantau oleh Perangkat Daerah yang membidangi
pengelolaan pemungutan Pajak Daerah.
(7) Data transaksi usaha Wajib Pajak hanya digunakan untuk
kepentingan perpajakan Daerah.
(8) Data transaksi usaha Wajib pajak bersifat rahasia dan hanya
dapat diketahui oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan pejabat
yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(9) Untuk melaksanakan Sistem Online pelaporan transaksi,
Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan pemungutan
Pajak Daerah dapat melakukan kerjasama dengan pihak ketiga.
(10) Dalam hal terdapat perubahan atau perkembangan data transaksi
usaha yang menjadi objek dasar perhitungan, Perangkat Daerah
yang membidangi pengelolaan pemungutan Pajak Daerah dapat
melakukan penyesuaian Menu Sistem Online pelaporan transaksi.

155
(11) Sistem Online pelaporan transaksi dilaksanakan secara bertahap,
sesuai dengan kesiapan alat dan/ atau sistem perekam data
transaksi usaha secara Online.

Pasal 303
Data transaksi usaha Wajib Pajak, meliputi:
a. pembayaran makanan dan/atau minuman;
b. pembayaran pemakaian ruang rapat atau ruang pertemuan
ditempat usaha makanan dan/atau minuman; dan
c. pembayaran jasa boga.

Pasal 304
(1) Hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam pelaksanaan sistem Online
pelaporan transaksi sebagai berikut :
a. Wajib Pajak berhak:
1. memperoleh kebebasan dari kewajiban perporasi/ legalisasi bill
pembayaran, harga tanda masuk/ tiket/ karcis;
2. memperoleh hasil perekaman data transaksi usaha dan
informasi terkait Perpajakan Daerah;
3. mendapat jaminan kerahasiaan atas setiap data transaksi
usaha;
4. menerima jaringan untuk Sistem Online yang dilaksanakan
oleh Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan
pemungutan Pajak Daerah; dan
5. memperoleh jaminan pemasangan penyambungan/
penempatan Online Sistem tidak menggangu alat dan sistem
yang sudah ada pada Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak berkewajiban:
1. Mengunakan, menjaga dan memelihara dengan baik alat atau
sistem perekam data transaksi usaha yang ditempatkan pada
tempat usaha Wajib Pajak;
2. menyimpan data transaksi usaha berupa bill pembayaran
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun;
3. melaporkan dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 jam (satu
kali dua puluh empat jam) apabila alat atau sistem perekam
data transaksi usaha mengalami kerusakan kepada Perangkat
Daerah yang membidangi pengelolaan dan pemungutan Pajak
Daerah;
4. memberikan kemudahan kepada Perangkat Daerah yang
membidangi pengelolaan dan pemungutan Pajak Daerah dalam
pelaksanaan Sistem Online seperti menginstal/
memasang/menghubungkan alat dan/atau sistem pelaporan
data transaksi pembayaran Pajak di tempat usaha/ outlet
Wajib Pajak; dan
5. memberikan informasi mengenai merek/ type, sistem informasi
data transaksi, jumlah perangkat dan sistem, serta informasi
lain yang terkait dengan sistem data transaksi pembayaran
yang dimiliki Wajib Pajak;

156
(2) Dalam pelaksanaan Sistem Online pelaporan transaksi hak dan
kewajiban Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan dan
pemungutan Pajak Daerah adalah sebagai berikut:
a. Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan pemungutan
Pajak Daerah berhak:
1. Memperoleh kemudahan pada saat pelaksanaan Sistem Online
seperti menginstal/memasang alat dan/atau Sistem informasi
pelaporan data transaksi pembayaran pajak di tempat
usaha/outlet Wajib Pajak;
2. Memperoleh informasi mengenai merek/type, perangkat dan
sistem, serta informasi lain yang terkait dengan sistem
informasi transaksi pembayaran yang dimiliki Wajib Pajak;
3. Mendapatkan rekapitulasi data transaksi usaha dan Pajak
terutang;
4. Memonitoring data transaksi usaha dan pajak terutang;
5. Mengakses Hardware dan/atau Software Sistem Online
pelaporan transaksi; dan
6. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan kepada Wajib Pajak
apabila data yang tersaji dalam Sistem Online pelaporan data
berbeda dengan laporan SPTPD yang diberikan oleh Wajib
Pajak.
b. Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan pemungutan
Pajak Daerah berkewajiban:
1. Menjaga kerahasiaan setiap data transaksi usaha Wajib Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan
Perpajakan Daerah;
2. Membangun dan menyediakan jaringan;
3. Mengadakan, menyediakan, menyambung dan memelihara
perangkat Sistem Online pelaporan transaksi dengan biaya dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
4. Melakukan tindakan Administrasi Perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, apabila terjadi
kerusakan pada alat atau Sistem perekam data transaksi
usaha sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya sistem
Online;
(3) Dalam pelaksanaan Sistem Online pelaporan transaksi, Wajib Pajak
dilarang:
a. dengan sengaja mengubah data Sistem Online dengan cara dan
dalam bentuk apapun; dan/atau
b. dengan sengaja tidak mengunakan merusak atau membuat tidak
berfungsi/ beroperasinya perangkat Sistem Online yang telah
terpasang.
(4) Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal (3) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pemberhentian sementara;
b. pencabutan izin; dan/atau
c. denda administratif.
(5) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf a, dikenakan kepada Wajib Pajak yang terbukti dengan

157
sengaja tidak mengunakan mengubah data Sistem Online dengan
cara dan dalam bentuk apapun.
(6) Pencabutan izin dan denda administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf b dan huruf c dikenakan kepada Wajib Pajak
yang terbukti dengan sengaja tidak mengunakan, merusak atau
membuat tidak berfungsi/beroperasinya perangkat Sistem Online
yang telah terpasang.
(7) Bupati melalui Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan
pemungutan Pajak Daerah memberikan sanksi administratif kepada
Wajib Pajak yang tidak bersedia melakukan pemasangan alat
dan/atau sistem perekam data transaksi usaha yang dimiliki oleh
Wajib Pajak.
(8) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; atau
c. penghentian sementara kegiatan.
(9) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dikenakan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan pemungutan
Pajak Daerah memberikan sanksi teguran lisan kepada Wajib
Pajak yang tidak bersedia melakukan pemasangan alat
dan/atau sistem perekam data transaksi usaha yang dimiliki
oleh Wajib Pajak; dan
b. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak teguran lisan
sebagaimana dimaksud pada huruf a masih tidak bersedia maka
dikenakan teguran tertulis ke-1 dan ke-2; dan
c. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak teguran
tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b diabaikan, Kepala
Perangkat Daerah yang membidangi pengelolaan pemungutan
Pajak Daerah menerbitkan surat usulan kepada Kepala
Perangkat Daerah yang membidangi penegakkan peraturan
dawerah untuk melaksanakan penghentian sementara kegiatan.

Bagian Kedua
Penelitian SPTPD
Pasal 305
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian atas
SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 304 ayat (1).
(2) Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran
dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
b. kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
c. kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi
lainnya.
(3) Apabila berdasarkan hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang

158
tidak atau kurang dibayar, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk
menerbitkan STPD.
(4) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan
jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi
administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan
dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat
terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24
(dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh
1 (satu) bulan.
(5) Dalam hal hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak
sebenarnya dari Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk
dapat melakukan Pemeriksaan.

BAB XI
PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 306
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
Pajak dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai Pajak.
(2) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam hal:
a. Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi
kelebihan pembayaran Pajak;
b. terdapat keterangan lain berupa data konkret yang
menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar; atau
c. Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan
berdasarkan analisis risiko.
(3) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling sedikit untuk:
a. pemberian NPWPD secara jabatan;
b. penghapusan NPWPD;
c. penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
d. pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
e. pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
(4) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi
yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
(5) Untuk melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk Tim Pemeriksa Pajak Dearah yang ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.

Pasal 307

159
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 308, kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa meliputi:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang
berhubungan dengan objek Pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau
ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna
kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 308, hak Wajib Pajak yang diperiksa paling sedikit:
a. meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada
pemeriksa;
b. meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan
tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
c. menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan
tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak terutang ditetapkan
secara jabatan.

BAB XII
SURAT KETETAPAN PAJAK DAN SURAT TAGIHAN PAJAK
Bagian Kesatu
Surat Ketetapan Pajak
Pasal 308
(1) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak
terutangnya Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat
menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN untuk
jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri
oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) dan ayat (4).
(2) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diterbitkan
dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar
berdasarkan:
a. hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
308; atau
b. penghitungan secara jabatan karena:
1. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka
waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 301
ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran; atau
2. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 299 ayat (l) atau Pasal 309 ayat
(1).
(3) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula
belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang

160
terutang setelah dilakukan Pemeriksaan dalam rangka
penerbitan SKPDKBT.
(4) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit Pajak.
Pasal 309
Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 306 terdapat kelebihan pembayaran
Pajak, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan
SKPDLB.

Pasal 310
(1) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf a
dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8%
(satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang
atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak
atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua
persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat
dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau
berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat
terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif
berupa:
a. kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak
yang kurang dibayar untuk jenis Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan Pasal 3 ayat
(4) huruf b; atau
b. kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok
Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang
dimaksud pada huruf a.
(3) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (3) dikenakan
sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam
SKPDKBT.
(4) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.

161
Bagian Kedua
Surat Tagihan Pajak
Pasal 311
(1) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak
terutangnya Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat
menerbitkan STPD.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD
untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan
Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)
dan ayat (3) dalam hal:
a. Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau
kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
b. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar
setelah jatuh tempo pembayaran; atau
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga
dan/ atau denda.
(3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD
untu jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan
sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) dan ayat (4) dalam hal:
a. Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
b. hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
307 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah
tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya
oleh Wajib Pajak;
c. SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak
atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
d. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga
dan/atau denda.
(4) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa
pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian
sanksi administratif berupa bunga sebesar l% (satu persen)
per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung
dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi
administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam
persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar,
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

162
BAB XII
KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN
PEMANFAATAN DATA

Paragraf 1
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak

Pasal 312
(1) Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah
Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan
Pajak dengan:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain; dan/atau
c. pihak ketiga.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi:
a. pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi
perpajakan, perizinan, serta data dan/ atau informasi lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan
kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
d. pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
e. peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau
sumber daya manusia di bidang perpajakan;
f. penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
g. kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan
dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas
pelayanan publik serta saling menguntungkan.
(3) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah
dan/ atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e
dan/ atau huruf g.
(4) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan
huruf g.

Pasal 313
(1) Pemerintah Daerah dapat:
a. mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (l); dan
b. menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 310 ayat (l)
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2)
dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen
lain yang disepakati para pihak.

163
(3) Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 310 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama
ditetapkan oleh Bupati bersama mitra kerja sama.
(4) Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
a. subjek kerja sama;
b. maksud dan tujuan;
c. ruang lingkup;
d. hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
e. jangka waktu perjanjian;
f. sumber pembiayaan;
g. penyelesaian perselisihan;
h. sanksi;
i. korespondensi; dan
j. perubahan.

Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/ atau Informasi
Elektronik dalam Pemungutan Pajak
Pasal 314
(1) Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah
dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha
penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk
transaksi perdagangan.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1)
berupa data dan/ atau informasi yang berkaitan dengan orang
pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.

BAB XIII
INSENTIF FISKAL PAJAK BAGI PELAKU USAHA
Pasal 315
(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat
memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas
pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat diberikan
atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau
diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan
pertimbangan:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana
alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan
karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dan/atau pihak lain yang bertqjuan untuk menghindari
pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra
mikro;

164
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam
mencapai program prioritas Daerah; dan/ atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai
program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah
dalam pengelolaan keuangan daerah.
(5) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/ atau Wajib
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b,
dilakukan dengan memperhatikan faktor:
a. kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak
selama 2 (dua) tahun terakhir;
b. kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
c. kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau
Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan
kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
d. faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
(6) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib
Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria
usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan
di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.\
(7) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan
dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana
pembangunan jangka menengah daerah.
(8) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan
dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.

Pasal 316
(1) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99
ayat (1) ditetapkan dengan Perkada dan diberitahukan kepada
DPRD.
(2) Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan pertimbangan Kepala Daerah dalam memberikan
insentif fiskal.
Pasal 317
(1) Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 313 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak apabila
diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan
Pemeriksaan Pajak untuk tujuan lain.
(2) Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak yang
mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima
insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 313 ayat (3) dan ayat (5).

BAB XIV

165
KEMUDAHAN PERPAJAKAN DAERAH
Pasal 318
(1) Kepala Daerah dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah
kepada Wajib Pajak, berupa:
a. perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak;
dan/atau
b. pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak
terutang atau Utang Pajak.
(2) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada
Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak
tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
(3) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan PajaK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Kepala
Daerah secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak
yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
(4) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak
terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan
likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak
tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
(5) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak
terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat diberikan Kepala Daerah berdasarkan permohonan Wajib
Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
(6) Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran
Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Daerah
memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak
selama 2 (dua) tahun terakhir.
(7) Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
a. menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran
atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib
Pajak;
b. menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa
angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib
Pajak; atau
c. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling
lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
(9) Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak
yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen)
per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(10) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayal (2) dan ayat (4)
meliputi:
a. bencana alam;

166
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/ atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 319
Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku:
a. ,,,;
b. …;
c. …;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 25

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah
Kabupaten Majalengka.

Ditetapkan di Majalengka
pada tanggal …
BUPATI MAJALENGKA,

...
Diundangkan di Majalengka
pada tanggal …
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN MAJALENGKA


BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN … NOMOR …

167

Anda mungkin juga menyukai