DISUSUN OLEH :
ABDUL LATIF MUSTAFA( 2005013)
BAITI MARLINA (2005011)
DEKRIAL (2005030)
EKA SYAFRIDILLA (2005005)
HADIAN ARIYANI (2005003)
HAJRAWATI (2005027)
SAMINA RAYANTI (2005024)
SYUKRIADI (2005014)
Monahan dan Hengst seperti yang dikutip oleh Syafaruddin bahawa kebijakan (policy)
secara etimologi diturunkan dalam bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city).
Menurut Weihrich dan Koontz dikutip dari Amin priatna bahwa kebijakan adalah alat
membersihkan hati atau harapan yang mendorong, inisiatif tetatp dalam keterbatasan.
Kebebasan tergantung pada kebijakan dan sebaliknya akan mereflesikan posisi dan
kekuasaan dalam organisasi
Pendapat ini menjelaskan kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian
pemerintahan mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam hal ini, kebijakan
berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang
sama-sama diterima pemerintah atau lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha
mengejar tujuannya. Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa kebijakan
merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah dari tindakan yang
dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku dan pelaksana kebijakan karena
sangat penting bagi pengolahan dalam sebuah organisasi serta mengambil keputusan atas
perencanaan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan
menjadi sarana pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi.
Contohnya yaitu Desentralisasi pembangunan kesehatan di Provinsi Riau ditandai dengan Perda
No.7/2011 tentang Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Masyarakat Provinsi
Riau wajib menjadi peserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), kepesertaan cukup
dibuktikan dengan KTP dan/atau KK. Kemudian, sejak 1 Januari 2014 pemerintah
menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Input
Masalah kebijakan publik ini timbul karena adanya faktor lingkungan kebijakan publik
yaitu suatu keadaan yang melatar belakangi atau perisiwa yang menyebabkan timbulnya
“ masalah kebijakan publik” tersebut, yang berupa tuntutan-tuntutan, keinginan-
keinginan masyarakat atau tantangan dan peluang, yang diharapkan segera diatasi
melalui suatu kebijakan publik. Masalah itu dapat juga timbul justru karena
dikeluarkannya suatu kebijakan publik baru.
Proses
proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat politis, di mana dalam proses tersebut
terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling
bertentangan
Output
Kebijakan Publik, yang berupa serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk
memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu seperti yang diinginkan oleh
kebijakan publik.
Impact (dampak), yaitu dampaknya terhadap kelompok sasaran (target groups)
kelompok sasaran (target groups) adalah orang-orang, kelompok-kelompok orang, atau
organisasi-organisasi, yang perilaku atau keadaaanya ingin dipengaruhi atau diubah oleh
kebijakan publik tersebut.
Menurut Dunn (1994) sistem kebijakan (policy system) mencakup hubungan timbal balik dari
tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan
Segitiga sistem kebijakan menjelaskan adanya aktor kebijakan yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kebijakan publik. Kesemuanya juga tidak luput dari pengaruh lingkungan
kebijakan. Ketiga komponen tersebut selanjutnya dikenal sebagai sistem kebijakan, yaitu tatanan
kelembagaan yang berperan dalam penyelenggaraan kebijakan publik yang mengakomodasi
aspek teknis, sosiopolitik maupun interaksi antara unsur kebijakan.
a. Isi kebijakan (policy content) Terdiri dari sejumlah daftar pilihan keputusan tentang urusan
publik (termasuk keputusan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa) yang dibuat oleh
lembaga dan pejabat pemerintah. Isi sebuah kebijakan merespons berbagai masalah publik
(public issues) yang mencakup berbagai bidang kehidupan mulai dari pertahanan,
keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan lain-lain.
b. Aktor atau pemangku kepentingan kebijakan (policy stakeholder) Pemangku kepentingan
kebijakan atau aktor kebijakan adalah individu atau kelompok yang berkaitan langsung
dengan sebuah kebijakan yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau
kebijakan tersebut. Aktor kebijakan tersebut bisa terdiri dari sekelompok warga, organisasi
buruh, pedagang kaki lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintahan, dan
semacamnya.
c. Lingkungan kebijakan (policy environment) Lingkungan kebijakan merupakan latar khusus
di mana sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh aktor kebijakan
serta kebijakan publik itu sendiri.
Proses pengembangan kebijakan berlangsung sebagai sebuah siklus kebijakan yang dimulai
dari pengaturan agenda dengan penetapan atau pendefinisian masalah publik hingga proses
evaluasi atau penilaian kebijakan. Berikut penjelasan proses pengembangan kebijakan
publik yang dikemukakan dalam Ayuningtyas (2014: 30)
Pembuatan Agenda Sebagai respon terhadap permasalahan publik, mesin legislatif dan
birokrasi pemerintah dapat bergerak dan terlibat dalam proses formulasi, adopsi, dan
implementasi kebijakan termasuk turut berperan untuk mengatasi masalah yang muncul selama
proses penyusunan kebijakan. Keterlibatan aktor, elite atau pemangku kepentingan dapat terus
berlanjut pada tahap analisis efektivitas kebijakan, untuk menunjukkan kekurangan dalam
formulasi maupun implementasi sehingga dapat menjadi usulan agenda baru kebijakan. Oleh
karena itu, pembuatan agenda menempati urutan pertama dalam siklus pengembangan
kebijakan.
a. Formulasi Kebijakan Proses formulasi kebijakan secara umum memiliki tahapantahapan
diantaranya yaitu pengaturan proses pengembangan kebijakan, penggambaran
permasalahan, penetapan sasaran dan tujuan, penetapan prioritas, perancangan kebijakan,
penggambaran pilihanpilihan, penilaian pilihan-pilihan, “perputaran” untuk penelaahan
sejawat dan revisi kebijakan, serta akhirnya upaya untuk mendapatkan dukungan formal
terhadap kebijakan yang sedang diajukan atau disusun
b. Pengadopsian Kebijakan Setelah formulasi kebijakan, tahap berikutnya adalah adopsi
kebijakan yaitu sebuah proses untuk secara formal mengambil atau mengadopsi alternatif
solusi kebijakan yang ditetapkan sebagai sebuah regulasi atau produk kebijakan yang
selanjutnya akan dilaksanakan. Pengadopsian kebijakan sangat ditentukan oleh rekomendasi
yang antara lain berisikan informasi mengenai manfaat dan berbagai dampak yang mungkin
terjadi dari berbagai alternatif kebijakan yang telah disusun dan akan diimplementasikan.
c. Pengimplementasian Kebijakan Pengimplementasian merupakan cara agar kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Definisi implementasi menurut Dunn (2003) adalah pelaksanaan
pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu. Ada dua alternatif dalam
implementasi kebijakan: mengimplementasikan dalam bentuk program atau membuat
kebijakan turunannya. Kesiapan implementasi amat menentukan efektivitas dan
keberhasilan sebuah kebijakan. Penyusunan kebijakan berbasis data atau bukti juga
berpengaruh besar terhadap sukses tidaknya implementasi kebijakan.
d. Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan merupakan penilaian terhadap keseluruhan tahapan
dalam siklus kebijakan, utamanya ketika sebuah kebijakan yang disusun telah selesai
diimplementasikan. Tujuannya adalah untuk melihat apakah kebijakan telah sukses
mencapai tujuannya dan menilai sejauh mana keefektifan kebijakan dapat
dipertanggungjawabkan kepada pihak berkepentingan. Kebijakan publik pada dasarnya
bertujuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi pada masyarakat, demikian
juga kebijakan mengenai kawasan tanpa rokok yang merupakan upaya pemerintah
Indonesia untuk lebih menghargai kesehatan. Indonesia juga mulai menerapkan regulasi
untuk menghindari semakin bertambahnya jumlah pengguna rokok
4. Jurnal SINTA
THE IMPLEMENTATION OF FREE AREA FROM TOBACCO (AFT) POLICY FOR REDUCING
OF ACTIVE SMOKER IN WEST SUMATERA IN 2013
Nizwardi Azkha
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Padang
ABSTRAK
Ya 39 59
Tidak 27 41
Jumlah 66 100
Ya 51 51
Pada Tabel 7. terlihat bahwa responden sebagian
Tidak 49 49 besar yaitu 80% KTR ini diterapkan dulu pada kantor
pemerintahan.
Jumlah 100 100
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam pelaksanaannya masih kurang dalam waktu dua sampai tiga
tahun, sehingga efektifitas KTR dalam penurunan perokok aktif pada tiga kota belum menun- jukkan angka yang
signifikan, namun ada kecende- rungan penurunan perokok, hasil penelitian perokok pada tiga kota masih lebih dari
separuh yaitu 59%, perokok tertinggi memilih tempat merokok adalah di restoran 41%, kurang dari separuh
masyarakat sudah mengetahui tentang kebijakan KTR. Masya- rakat yang mendukung diterapkannya KTR masih
kurang dari separo yaitu 40%, namun masyarakat yang menyadari bahwa KTR ini cukup efektif dalam penurunan
perokok yaitu sebanyak 51%. Umumnya masyarakat (80%) mengharapkan penerapan KTR ini dimulai pada kantor
pemerintahan.
Saran
Efektifitas Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah membatasi gerak perokok aktif sehingga dapat mem- berikan
perlindungan kepada perokok pasif, sekali- gus juga merupakan alternatif yang efektif untuk me- nurunkan perokok
aktif, sehingga KTR perlu dilak- sanakan pada setiap tempat-tempat umum. Bagi masyarakat atau pegawai yang
tidak mau mematuhi peraturan tersebut harus diberikan sanksi. Tanpa sanksi sulit untuk melakukan perubahan
perilaku.
Diharapkan hendaknya Kepala Daerah, anggota DPR dan pejabat lainnya haruslah menjadi contoh tauladan
dalam penerapan KTR ini, artinya tidak me- rokok di tempat-tempat umum bahkan ikut menegur kalau ketemu
dengan pegawai yang merokok di kan- tor atau masyarakat yang ingin mendapatkan pela- yanan di kantor
pemerintah. Selain itu, diharapkan juga dibentuk kelompok yang menjadi pengawas ter- hadap berjalannya
kebijakan ini. Kelompok ini dapat berasal dari masyarakat, artinya dilakukan pember- dayaan masyarakat yang
nantinya dapat membantu dalam mengingatkan/menegur perokok aktif yang sedang merokok di tempat umum.
Kelompok ini juga dapat menjadi sumber laporan terhadap pelanggaran peraturan yang berlaku terkait perokok aktif.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 02, No. 4 Desember 2013 l 163
REFERENSI
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36/ 2009 tentang Kesehatan, Jakarta, 2009.
2. Peraturan Daerah Kota Payakumbuh No. 15/ 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Payakum- buh, 2011.
3. Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Pengem- bangan Kawasan Tanpa Rokok. Pusat Promosi Kesehatan,
Jakarta, 2011.
4. TCSC-IAKMI. Bunga Rampai Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia 2009, Tobacco Control Support
Center (TCSC)-Ikatan Ahli Ke- sehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Jakarta, 2010.
5. Keputusan Walikota Payakumbuh No. 440.14/ 437/WK-PYK/2011 tentang Penunjukan Tim Pelaksanaan
Pengawasan KTR, Kota Payakumbuh, 2011.
6. Keputusan Walikota Payakumbuh No. 440.20/ 635/WK-PYK/2011 tentang Pembentukan Tim Pemantau
KTR, Kota Payakumbuh, 2011.
7. Keputusan Walikota Payakumbuh No. 440.19/ 561/WK-PYK/2011 tentang Penetapan Kelu- rahan Model
KTR, Kota Payakumbuh, 2011.
8. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/ 2011, No. 7/2011
tentang Pedoman Pelaksana- an Kawasan Tanpa Rokok, Jakarta, 2011.
9. Satori D dan Aan, Komariah. Metodologi Pene- litian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2010.
10. Kementerian Kesehatan RI, Buku Pedoman Penggunaan DBH CHT untuk Bidang Kese- hatan, Jakarta, 2012.
11. Depkes RI. Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok, Depkes RI, Jakarta, 2008.
12. Pusat Promosi Kesehatan, Pedoman Pengem- bangan Kawasan Tanpa Rokok, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta, 2011.
13. Notoatmodjo S, Metodologi Penelitian Kese- hatan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
14. Tobacco Control Support Center. Kawasan Tanpa Rokok dan Implementasinya: Policy Pa- per, TCSC-IAKMI,
Jakarta, 2012.
15. Purwanto EA dan Sulistyastuti DR, Implemen- tasi Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia,
Penerbit Gava Media, Yogyakarta, 2012.
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 02, No. 4 Desember 2013 l 164
JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA
VOLUME 02 No. 04 Desember l 2013 Halaman 163 - 170
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
Artikel Penelitian
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 02, No. 4 Desember 2013 l 167
kebijakan pelaksanaan PPK-BLUD di Rumah 4 Mengkomunikasikan visi
Sakit Jiwa Provinsi NTB. 5 Memberdayakan orang lain untuk bertindak atas
visi tersebut
BAHAN DAN CARA PENELITIAN 6 Merencanakan dan menciptakan kemenangan
Penelitian ini adalah kualitatif dengan jangka pendek
rancangan studi kasus. Penelitian ini melibatkan 7 Mengkonsolidasikan perbaikan dan tetap
17 responden yang terdiri dari 6 orang membuat perubahan
stakeholder eksternal dan 11 orang stakeholder 8 Melembagakan pendekatan baru
internal. Seluruh responden eksternal adalah
pejabat eselon II di lingkup Peme- rintahan dan
DPRD Provinsi NTB. Sedangkan res- ponden
internal adalah seluruh pejabat struktural dan
beberapa tenaga fungsional di lingkup Rumah
Sakit Jiwa Provinsi NTB. Lokasi penelitian
dilakukan di wilayah Pemerintahan Provinsi
NTB. Data diambil secara purposive sample di
Kantor Bappeda Provinsi, Biro Keuangan
Pemerintahan Provinsi, Biro Hukum
Pemerintahan Provinsi, Kantor Inspektorat
Provinsi, Kantor Dinas Kesehatan Provinsi,
Kantor DPRD Provinsi dan di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi.
Pengumpulan data dilakukan dengan
wawan- cara mendalam terhadap subjek
penelitian, observasi atau pengamatan terhadap
kegiatan-kegiatan yang menjadi subjek
pengamatan dan studi dokumen ter- hadap
dokumen-dokumen yang terkait dengan ma-
salah penelitian. Analisa data dilakukan dengan
cara membaca dan mereview data (membuat
catatan ob- servasi dan transkrip wawancara)
untuk mendeteksi tema-tema atau kategori-
kategori yang muncul, membuat penyajian data
dan membuat kesimpulan.
No Langkah
Disposisi pelaksana
Karakteristik badan
pelaksana Kinerja
Implemen- tasi
Sumberdaya
Saran
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) memperkuat tim
koalisi melalui peningkatan capacity building
sehingga tim lebih percaya diri dan berani untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan sesuai
dengan fleksibilitas yang diberikan.
Unsur pimpinan di lingkup Rumah Sakit
Jiwa (RSJ) dapat bertindak lebih tegas dalam
menegak- kan kedisiplinan terhadap aturan yang
ada.
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) seharusnya
bertindak lebih aktif untuk mensosialisasikan
mekanisme PPK-BLUD kepada para stakeholder
eksternal.
REFERENSI
1. Meidyawati, Analisis Implementasi Pola
Penge- lolaan Keuangan Badan Layanan
140163956/material/Rumah diakses pada 27 April 2012.
3. Kotter, John, Leading Change: Why Transfor- mation Efforts Fail, Boston: Harvard Business Review, ed.
March-April, 1995.
4. French, Bell, Zawacki, Organization Develop- ment and Transformation (Managing Effective Change),
McGraw-Hill Book Co, Singapore, 2000.
5. Subarsono AG, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
6. Winardi, Manajemen Perubahan, Kencana, Jakarta, 2004.
7. Buse K, Mays N, Walt G, Making Health Policy, Membuat Kebijakan Kesehatan, London School of Hygiene and
Tropical Medicine, London, 2007.
8. Osborne and Gaebler, Mewirausahakan Birokra- si Reinventing Government (mentrasformasi Se- mangat
Wirausaha Kedalam Sektor Publik, Pus- taka Binaman Pressindo, Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid, Jakarta
Pusat, 1995.
9. Trisnantoro L, Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit Antara Misi sosial dan Tekanan Pasar, Penerbit
Andi, Yogyakarta, 2005.
10. Roberts MJ, Hsiao W, Berman P and Reich MR, Getting Health Reform Right: A Guide to Improv- ing
Performance and Equity, Melaksanakan Reformasi Kesehatan Panduan untuk Mening- katkan Kinerja dan
Kesetaraan, Oxford Univer- sity Press, Diterjemahkan oleh Eunice Setiawan dan Laksmi Widyarini, Oxford,
2004.
11. Sunjaya D, Studi Kasus Peningkatan Fungsi Regulasi Dinas Kesehatan Kota Bandung dan Kota Yogyakarta,
Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010.
12. Reinke, Perencanaan Kesehatan untuk Mening- katkan Efektifitas Manajemen, Jogyakarta, Gadjah Mada
University Press, Diterjemahkan oleh Laksono Trisnantoro dan Sigit Ryarto, 1994.
4. Masalah kesehatan masyarakat yang diajukan oleh peneliti dalam jurnal tersebut yaitu