Anda di halaman 1dari 27

KEBIJAKAN

PERPAJAKAN
Oleh Rizqi Febriani Putri, S.S.T.
POKOK BAHASAN
1. Definisi kebijakan
2. Kebijakan Publik
3. Ciri Umum Kebijakan Publik
4. Unsur Kebijakan Publik
5. Jenis Kebijakan Publik
6. Lingkup dan Hierarki Kebijakan Publik
7. Kebijakan Perpajakan
8. Perumusan Kebijakan Perpajakan
9. Kebijakan Perpajakan saat Pandemi Covid-19
10. Insentif Perpajakan
11. Rincian Kebijakan Perpajakan berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020
DEFINISI KEBIJAKAN
Istilah kebijakan merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris Policy yang dibedakan dari
kata kebijaksanaan (wisdom) maupun kebajikan (virtues).

Menurut Irfan Islamy (1999):


kebijaksanaan berasal dari kata wisdom adalah tindakan yang memerlukan pertimbangan-
pertimbangan yang lebih jauh dan mendalam. Sementara kebijakan adalah tindakan mencakup
aturan-aturan yang terdapat didalam suatu kebijaksanaan.

Menurut M. Solly Lubis (2007)


Wisdom dalam arti kebijaksanaan atau kearifan adalah pemikiran/pertimbangan yang mendalam
untuk menjadi dasar (landasan) bagi perumusan kebijakan.
Kebijakan (policy) adalah seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam
rangka memilih tujuan dan cara untuk pencapaian tujuan.
Keban (2008), melihat kebijaksanaan sebagai suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang
sebenarnya dilarang atau sebaliknya, berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti pertimbangan
kemanusiaan, keadaan gawat, dsb. Sedangkan kebijakan menunjukkan adanya serangkaian alternatif yang
dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu.

Sebuah kebijaksanaan dapat berwujud keputusan berupa Undang-Undang Dasar (UUD), dan Program
Pembangunan Nasional. Keputusan jabarannya berupa undang-undang (UU) dan Program Pembangunan
Daerah disebut kebijakan. Bila UU disebut sebagai kebijaksanaan, Peraturan Pemerintah (PP) dapat disebut
kebijakan. Seterusnya bila PP dapat disebut kebijaksanaan, dan Keputusan-Keputusan Menteri (Kepmen)
dapat dinamakan kebijakan, dsb.

Pengertian kebijaksanaan yang menjadi acuan dalam pembahasan ini pemikiran/pertimbangan dan
keputusan yang lebih jauh dan mendalam, bukan keputusan untuk melanggar sesuatu. Biarpun istilah
kebijaksanaan dan kebijakan memiliki perbedaan pengertian seperti dikemukakan diatas, tetapi kedua kata
itu mempunyai pula persamaan. Persamaannya kebijaksanaan dan kebijakan diartikan sebagai suatu
tindakan terarah tertentu oleh aktor (pemerintah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang memuat
aturan (asas, norma) tertentu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat guna
mencapai tujuan yang diharapkan.
Untuk lebih jelas memahami pengertian kebijakan, berikut ini dikemukakan definisi kebijakan dari
beberapa orang ahli, diantaranya:
1. Lasswell dan Kaplan, mendefinisikan kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan,
nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah.
2. Rakasasataya, mendefinisikan kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan
untuk mencapai suatu tujuan.
3. Friedrich, mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan
rnenunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan pelaksanaan usulan
kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
4. Anderson, mendefinisikan kebijakan sebgagi serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan masalah tertentu.
5. Mac Rae dan Wilde, mendifinisikan kebijkan sebagai serangkaian tindakan yang dipilih dan
mempunyai arti penting dalam mempengaruhi sejumlah besar orang.
Definisi-definisi kebijakan dari para ahli tersebut mempunyai perbedaan tertentu karena masing-
masing ahli itu memberikan sudut pandang masing-masing, akan tetapi terdapat suatu
persamaan bahwa kebijakan itu pada dasarnya serangkaian tindakan yang terarah untuk
mencapai tujuan tertentu.

Dengan kata lain definisi kebijakan oleh para ahli diatas diperoleh suatu pengertian umum lebih
lengkap mengenai kebijakan yaitu suatu program kegiatan, nilai, taktik dan strategi yang dipilih
oleh seorang atau sekelompok orang dan dapat dilaksanakan serta berpengaruh terhadap
sejumlah besar orang dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Kebijakan digunakan sebagai pedoman untuk bertindak.

Kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai respon suatu sistem politik melalui kekuasaan
pemerintah terhadap masalah-masalah masyarakat.

Dengan kata lain, kebijakan publik adalah keputusan pemerintah untuk memecahkan masalah
publik. Kata publik dapat berarti masyarakat, perusahaan, negara atau sistem politik, dan
administrasi.

Sementara, pemerintah adalah orang atau sekelompok orang yang diberi mandat oleh anggota
sistem politik yang melakukan pengaturan terhadap keseluruhan sistem dari level bawah (RT
dan RW) hingga hubungan dengan luar negara.
CIRI UMUM KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan adalah sebuah keputusan, tetapi tidak semua keputusan adalah kebijakan. Oleh karena
itu, perlu melihat ciri-ciri umum agar suatu keputusan dapat disebut sebagai kebijakan publik, yakni:

1. Setiap kebijakan harus memiliki tujuan. Artinya pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekadar
asal atau hanya karena ada kesempatan membuatnya. Tanpa tujuan, tidak perlu ada kebijakan.
2. Suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain. Akan tetapi, ia berkaitan
dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat. Orientasi kebijakan adalah implementasi,
interpretasi, dan penegakan hukum.
3. Kebijakan adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang masih ingin atau
dikehendaki untuk dilakukan pemerintah.
4. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau larangan dan dapat juga berupa pengarahan untuk
melaksanakan atau menganjurkan sesuatu.
5. Kebijaksanaan harus berdasarkan hukum, sehingga mempunyai kewenangan untuk memaksa
masyarakat mengikutinya.
UNSUR KEBIJAKAN PUBLIK
1. Tujuan Kebijakan. Tujuan menjadi unsur pertama dari suatu kebijakan. Akan tetapi, tidak semua
kebijakan mempunyai uraian yang sama mengenai pencapaian tujuannya. Perbedaannya terdapat pada
jangka waktu pencapaian tujuan, posisi, gambaran, orientasi, dan dukungannya.
2. Masalah. Merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam menentukan
masalah yang tepat, dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan.
3. Tuntutan. Dapat bersifat moderat atau radikal. Tuntutan muncul karena dua sebab, yaitu terabaikannya
kepentingan suatu golongan dalam proses perumusan kebijakan dan munculnya kebutuhan baru yang
menyusul setelah tujuan atau masalah sebelumnya terpecahkan.
4. Dampak atau Outcome. Dampak merupakan tujuan lanjutan yang muncul sebagai pengaruh dari
pencapaian suatu tujuan. Salah satu contohnya dalam kebijakan ekonomi adalah kebijakan investasi,
perpajakan, dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan itu akan mempengaruhi pertambahan atau
pengurangan terhadap pendapatan masyarakat secara menyeluruh.
5. Sarana atau Alat Kebijakan. Sarana dalam perumusan kebijakan publik adalah kekuasaan, insentif,
pengembangan kemampuan, simbolis, dan perubahan dari kebijakan itu sendiri. Salah satu contohnya
adalah kebijakan untuk menghilangkan transportasi becak di Jakarta. Pemerintah menggunakan
kebijakan melalui sarana kekuasaan dengan melarang keberadaan becak tersebut.
JENIS KEBIJAKAN PUBLIK
1. Kebijakan Substantif: Kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah.
2. Kebijakan Prosedural: Kebijakan mengenai bagaimana kebijakan substantif dapat dijalankan.
3. Kebijakan Distributif: Kebijakan yang menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada
masyarakat.
4. Kebijakan Regulatori: Kebijakan yang berupa pembatasan atau larangan terhadap perilaku individu
atau kelompok masyarakat.
5. Kebijakan Redistributif: kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, kepemilikan di
antara berbagai kelompok masyarakat.
6. Kebijakan Material: Kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkret pada kelompok
sasaran.
7. Kebijakan Simbolis: Kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.
8. Kebijakan yang Berhubungan dengan Barang Umum atau Public Goods: Kebijakan yang bertujuan
mengatur pemberian barang atau pelayanan publik.
9. Kebijakan Barang Privat atau Privat Goods: Kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau
pelayanan untuk pasar bebas.
LINGKUP & HIERARKI KEBIJAKAN PUBLIK
Lingkup dari kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti:
1. Ekonomi
2. Politik
3. Sosial Budaya
4. Hukum, dan sebagainya.

Di samping itu dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat:


1. Nasional, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan
menteri,
2. Regional, seperti UU/peraturan tertentu yang berlaku untuk wilayah tertentu.
3. Lokal, seperti peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah
kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.
KEBIJAKAN PERPAJAKAN
Kebijakan perpajakan menurut Lauddin Marsuni adalah sebagai berikut:
1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka menunjang
penerimaan negara dan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif.
2. Suatu tindakan pemerintahan dalam rangka memungut pajak, guna memenuhi kebutuhan
dana untuk keperluan negara.
3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara
dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan kebutuhan dana bagi negara.

Kebijakan perpajakan dalam rangka menunjang penerimaan negara ditempuh dalam bentuk:
1. Perluasan dan peningkatan wajib pajak,
2. Perluasan objek pajak,
3. Penyempurnaan tarif pajak,
4. Penyempurnaan administrasi perpajakan.
PERUMUSAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN
Kebijakan perpajakan adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi atau
kebijakan pendapatan negara (fiscal policy). Kebijakan perpajakan merupakan suatu cara atau
alat pemerintah di bidang perpajakan yang memiliki suatu sasaran tertentu atau untuk mencapai
suatu tujuan tertentu di bidang sosial dan ekonomi. Kebijakan perpajakan bisa menunjang
perkembangan ekonomi dan sosial suatu negara.

Kebijakan dalam perpajakan dibuat pemerintah haruslah berlandaskan pada peraturan


perundang-undangan. Konstitusi suatu negara selalu mensyaratkan bahwa pengenaan pajak
harus berdasarkan undang-undang. Hal ini berarti bahwa pengenaan pajak tidak dapat
ditetapkan melalui administration regulation.

Tak dapat dipungkiri pula bahwa UU Pajak pasti tidak bisa mengatur seluruh aspek perpajakan,
maka perlu adanya pendelegasian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur atau
membuat kebijakan perpajakan.
Wewenang pemerintah untuk mengatur kebijakan perpajakan yang meliputi:
1. Kebijakan menerbitkan ketentuan yang bersifat administratif dan prosedural (seperti format
SPT).
2. Metode penyusutan dan penilaian persediaan.
3. Ketentuan mengenai pembuktian biaya yang diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan
kena pajak.
4. Metode akuntansi untuk tujuan perpajakan.
5. Prosedur registrasi.
6. Penyesuaian perpajakan yang berkaitan dengan inflasi (Darussalam dan Danny Septriadi,
2006).
Beberapa model kebijakan negara sebagai model yang diikuti dalam perumusan kebijakan
perpajakan di Indonesia dikemukakan oleh Lauddin Marsuni, yaitu:
1. Perumusan kebijakan perpajakan di Indonesia menggunakan model kelembagaan, yaitu
model kebijakan negara yang memandang kebijakan negara sebagai hasil dari lembaga atau
institusi kenegaraan atau institusi pemerintahan.
Di Indonesia penggunaan model ini dalam perumusan kebijakan perpajakan dapat dilihat dari:
Pajak ditetapkan dengan undang-undang.
Lembaga pembentuk undang-undang adalah DPR bersama Presiden.
Pajak diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran negara.
Pengeluaran negara dirumuskan dalam bentuk APBN.
Pelaksanaan APBN dilakukan Presiden.
2. Penentuan kebijakan perpajakan di Indonesia juga mengikuti model proses, yaitu model
kebijakan negara yang memandang bahwa kebijakan negara sebagai proses dari suatu
aktivitas politik, yakni sebagai suatu rangkaian kegiatan politik berupa identifikasi masalah,
perumusan kebijakan, dan evaluasi peIaksanaan kebijakan.
Pandangan ini didasarkan pada alasan bahwa:
Kebijakan perpajakan di Indonesia didahului dengan identifikasi permasalahan akan
kebutuhan dana untuk keperluan negara.
Kebijakan perpajakan di Indonesia dirumuskan oleh lembaga politik (lembaga perwakilan)
dan lembaga kepresidenan.
Kebijakan perpajakan di Indonesia ditetapkan dan disahkan dalam bentuk undang-undang
oleh Presiden.
Pelaksanaan kebijakan perpajakan di Indonesia dievaluasi dan diawasi oleh lembaga
representatif dan badan pemeriksa keuangan negara.

3. Model inkrementalis yang mengajarkan bahwa suatu kebijakan sebagai kelanjutan masa lalu,
merupakan model yang dilakukan di Indonesia, di mana kebijakan perpajakan saat ini adalah
kelanjutan dari kebijakan perpajakan pada masa lalu (kolonial), walaupun dengan berbagai
modifikasi.
Aplikasi dari model inkrementalis, dalam kebijakan perpajakan di Indonesia dapat ditunjukkan
melalui kebijakan umum perpajakan di Indonesia, yaitu:
Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk
secara langsung bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan.
Tanggung jawab kewajiban perpajakan berada pada anggota masyarakat, pemerintah
berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kewajiban perpajakan.
Masyarakat diberi kepercayaan melakukan kewajiban perpajakan dengan self assesment
system, sehingga pelaksanaan administrasi perpajakan lebih rapi, sederhana, dan mudah
untuk dipahami.
Kebijakan perpajakan tersebut merupakan kelanjutan dari kebijakan perpajakan sebelumnya
dengan modifikasi tertentu, yaitu:
Penyederhanaan UU Perpajakan.
Penyederhanaan sistem administrasi perpajakan.
Pemberian kepercayaan wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar
sendiri pajak terutang.
KEBIJAKAN PERPAJAKAN SAAT PANDEMI COVID-19
Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal di Indonesia harus menyeimbangkan berbagai
kepentingan dalam menyusun kebijakan pajak sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN) yang harus ditempuh pemerintah untuk mengatasi keterpurukan ekonomi
Indonesia karena adanya wabah Covid-19.
Tantangan utamanya adalah menyeimbangkan kepentingan antara memperoleh penerimaan
pajak sesuai dengan yang ditetapkan dalam APBN dengan tetap memberikan insentif
perpajakan karena terjadinya pandemi secara tepat sasaran kepada wajib pajak yang terkenan
dampak buruk Covid-19.
Kemenkeu menyusun dan melaksanakan kebijakan pajak yang seimbang antara tuntutan target
penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan terbesar APBN dengan keharusan untuk
memberikan insentif perpajakan untuk mengurangi dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan
oleh pandemi Covid-19.
Salah satu publikasi OECD yang diterbitkan Mei 2020 menyatakan bahwa sebagai respon
terhadap wabah Covid-19 dengan dampak buruk yang sedemikian luas maka setiap jurisdiksi
pemajakan harus mampu menyusun kebijakan pajak yang adaptif. Kebijakan pajak selama
pandemi seharusnya memperhatikan tiga aspek utama yaitu menjaga bisnis tetap dapat
berjalan, mempertahankan kesempatan kerja yang tersedia, dan menjaga pendapatan rumah
tangga. Dengan menggunakan publikasi tersebut sebagai benchmark, kebijakan pajak yang
disusun oleh Kemenkeu sebagai respon terhadap terjadinya wabah Covid-19 dapat dikatakan
telah berada di jalur yang benar.
Dari sisi pemberian insentif perpajakan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona
Virus Disease 2019 yang kemudian karena berbagai masukan disempurnakan dengan peraturan
Nomor 86/PMK.03/2020. Total insentif perpajakan yang diberikan pemerintah mencapai Rp123
triliun.
INSENTIF PERPAJAKAN COVID-19
Secara ringkas beberapa insentif perpajakan yang diberikan adalah sebagai berikut:
1. Insentif Angsuran PPh Pasal 25
Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal
25 yang seharusnya terutang bagi Wajib Pajak yang:
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf M PMK
Nomor 86/PMK.03/2020;
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
PDKB;
2. Insentif PPh Pasal 21
Karyawan telah memiliki NPWP dan pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh
Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) yang bekerja pada perusahaan berikut ini:
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
PDKB;
maka atas PPh Pasal 21 yang terutang diberikan fasilitas PPh ditanggung pemerintah.
3. Insentif PPh Final yang dipungut berdasarkan PP 23/2018 (Pajak UMKM)
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018,
dikenai PPh final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah peredaran bruto maka PPh final
tersebut ditanggung Pemerintah dan tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
4. Insentif PPh Pasal 22 Impor
PPh Pasal 22 Impor dibebaskan dari pemungutan kepada Wajib Pajak yang:
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H peraturan
Nomor 86/PMK.03/2020;
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE; atau
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
PDKB, pada saat pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.
5. Insentif PPN
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
sebagai PKP berisiko rendah dengan syarat PKP harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan merupakan PKP yang:
memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf P PMK Nomor
86/PMK.03/2020;
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, atau
telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin
PDKB.
Tiga strategi DJP untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak selama masa pandemi covid-19 adalah:
1. DJP akan terus melaksanakan fungsi edukasi, ekstensifikasi, pengawasan dan penegakan hukum
dalam rangka perluasan basis pajak. Untuk sementara waktu, semuanya hal tersebut akan
dilaksanakan dengan memanfaatkan saluran elektronik seperti telepon, email, atau online
meeting
2. pemanfaatan berbagai data yang ada di DJP, baik internal maupun eksternal, seperti data
keuangan, data yang berasal dari Automatic Exchange of Information (AEoI), maupun data pihak
ketiga lainnya. Data tersebut untuk menilai tingkat kepatuhan wajib pajak, baik secara formal
maupun material. Ditjen Pajak mematok target kepatuhan formal 80%-85%, tumbuh dari tahun
lalu di level 73%.
3. perluasan basis pajak, seperti pemajakan transaksi digital, terutama untuk pemungutan pajak
pertambahan nilai (PPN) dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Berdasarkan semua langkah yang sudah dilakukan tersebut pada akhirnya tercapainya tujuan dari
pilihan kebijakan yang telah ditetapkan juga akan dipengaruhi oleh kesadaran wajib pajak akan
pentingnya untuk tetap membayar pajak walaupun usaha atau pekerjaannya terkena dampak buruk
dari merebaknya wabah Covid-19.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai