Anda di halaman 1dari 41

TEORI DAN KONSEP PEMBUATAN KEBIJAKAN

MAKALAH MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN KESEHATAN


KELAS RABU (G103)
dr. ADANG BACHTIAR MPH., DSc

KELOMPOK 7

NURIL AIFFA DEWANTARI 1706004612


ARDINI DEBILAURA LITA NURAYA 1806167711
RY ENY MIAN MARISI.S. 1706004796
GABE GUSMI APRILLA 1806254112
RIRIN AKMAL SARI 1806168683
USEP RUSEPENDHI 1806254876

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
2019
A. KEBIJAKAN KESEHATAN

Saat ini telah ada kesepakatan luas tentang masalah kebijakan kesehatan, banyak asumsi
tentang masalah perselisihan.

I. Apa Itu Kebijakan?

Berkenan dengan istilah kebijakan (policy), istilah kebijakan memiliki keragaman


arti. Hal itu dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh yang mencoba menjelaskan
tentang kebijakan (policy). Klein menjelaskan bahwa kebijakan adalah tindakan secara
sadar dan sistematis, dengan menggunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan
politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan langkah demi langkah. Menurut Jim
A. Kuypers, kebijakan adalah suatu susunan dari:

1. Tujuan-tujan yang dipilih oleh para administrator publik baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan kelompok.
2. Jalan-jalan dan sarana-sarana yang dipilih olehnya
3. Saat-saat yang mereka pilih
Adapun Fried et al memahami bahwa kebijakan pada hakikatnya adalah suatu
posisi yang sekali dinyatakan akan mempengaruhi keberhasilan keputusan-keputusan
yang akan dibuat di masa datang. Carl J. Fredrick menyatakan bahwa kebijakan sebagai
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesemapatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu. Sementara James E. Anderson berpendapat bahwa kebijakan adalah
serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu, diikuti dan dilaksanakan oleh
seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna suatu masalah tertentu.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, ada beberapa hal yang menyangkut


kebijakan berikut ini.

1. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli tentang pengertian kebijakan.


Konsep kebijakan sulit dirumuskan dan diberikan makna yang tunggal atau dengan
kata lain sulit bagi kita untuk memperlakukan konsep kebijakan tersebut sebagai
sebuah gejala yang khas dan konkret, terutama bila kebijakan itu dilihat sebagai
suatu proses yang terus berkembang dan berkelanjutan mulai dari proses pembuatan
sampai implementasinya.
2. Terdapat perbedaan penekanan tentang kebijaksanaann di antara para ahli. Sebagian
dari mereka melihat kebijakan sebagai suatu perbuatan, sementara yang lainnya
melihat sebagai suatu sikap yang direncanakan atau bahkan suatu rencana.

3. Para ahli berbeda pendapat berkaitan dengan tujuan dan sarana. Ada yang
berpendapat bahwa kebijakan meliputi tujuan dan sarana, bahkan ada yang tidak lagi
menyebut baik tujuan maupun sarana.

Selain itu, A. Girindo Pringgodigdo membedakan pengertian antara istilah


kebijaksanaan (policy, beleid) dan kebijakan (wisdom,wijsheid). Menurutnya
kebijaksanaan adalah serangkaian tindakan dan kegiatan yang direncanakan di bidang
hukum untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Orientasinya pada
pembentukan dan penegakan hukum masa kini dan masa depan. Adapun kebijakan
adalah tindakan atau kegiatan seketika (instant decision) melihat urgensi serta situasi
dan kondisi yang dihadapai, berupa pengambilan keputusan di bidang hukum yang
dapat bersifat pengaturan tertulis dan atau keputusan tertulis atau lisan, yang antara lain
berdasarkan kewenangan atau kekuasaan diskresi (discretionary power/freis ermessen).

Dengan adanya perbedaan pengertian pada tataran konseptual di atas, dengan


sendirinya akan berimbas pada aktualisasi konsep itu pada tataran praktis. Istilah
tersebut kerap dipakai dalam pengertian yang sama, yaitu rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanan sutu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak.

Menurut Hill tahun 1997, kebijakan sebagai konsep yang tidak spesifik, bahkan
berfokus pada peristiwa, sehingga berusaha untuk mendefinisikannya sebagai pose
sejumlah masalah, keputusan jaringan kerja yang lebih dari satu keputusan
teridentifikasi. Kebijakan merupakan sesuatu yang berjalan dan dinamis dan
merupakan subjek yang dapat berubah, khususnya dalam menanggapi masalah yang
timbul dari pelaksanaan suatu keputusan. Kebijakan dapat juga sebagai suatu kegiatan
yang tidak dilakukan dan sebagai status quo. Kebijakan dapat merupakan hasil dari
kegiatan yang melewati batas waktu, dilaksanakan oleh tingkat bawah dalam suatu
organisasi, yang secara formal tidak mendapat sanksi dengan keputusan oleh tingkat
atas. Di sini, kebijakan dapat dilihat sebagai sesuatu yang muncul sebagai hasil dari
serangkaian proses keputusan formal untuk mengikuti serangkaian tindakan. Dalam
bahasa Perancis ada perbedaan antara kata kebijakan dan politik. Dalam arti, bentuk
formal pembuatan kebijakan akan ditolak demi pemahaman kebijakan sebagai politik
dalam arti luas dunia.

II. Definisi karakter kebijakan publik

Apakah ada hal yang khusus tentang kebijakan publik sebagai suatu perlawanan
kebijakan yang diadopsi oleh organisasi Pemerintah atau bahkan individu? Dalam
terminologi karakter yang sederhana, jawabannya tidak ada. Bagaimanapun, sebab
kebijakan publik atau bagian kebijakan berasal dari Pemerintah sebagai penguasa yang
legal dalam suatu bangsa, mengikuti yang tertinggi dan pengaruh atas dalam kebijakan
(swasta dan personal). Kebijakan publik mendukung kerangka kerja yang legal melalui
individu yang mesti melakukan. Perusahaan swasta misalnya tidak dapat memutuskan
bahwa ia ingin merekrut seorang wanita di tingkat yang lebih rendah daripada seorang
karyawan pria yang melakukan pekerjaan yang sama ini karena itu akan melanggar
hukum peluang yang sama dan oleh karena itu sanksi legal dijatuhkan.

Suatu hal yang mungkin mendefinisikan kebijakan publik dan pembuat kebijakan
adalah menguji bagaimana Pemerintah mempresentasikan isu. Membuat kebijakan
merupakan proses yang oleh Pemerintah diterjemahkan dalam visi politik mereka ke
dalam program dan kegiatan yang merupakan hasil dan keputusan yang dapat berubah.
Ada 6 karakter kebijakan:

1. Strategis, kebijakan yang nampaknya maju dan berkontribusi kepada tujuan


Pemerintah

2. Fokus hasil, kebijakan yang bertujuan mengubah sesuatu yang nyata

3. Gabungan, kebijakan yang sesuai dengan Pemerintah

4. Inklusi, kebijakan yang adil dan menarik semua orang

5. Fleksibel dan inovasi, kebijakan yang mengatasi penyebab, bukan simpton dan
tidak takut dilaksanakan

6. Kuat, kebijakan yang lekang oleh waktu dan dapat dilaksanakan.

III. Pengertian Kebijakan Kesehatan adalah


 Sekumpulan keputusan yang dibuat pemerintah berhubungan dengan kesehatan
 Merupakan serangkaian keputusan peraturan, perundangan dan hukum yang
saling terkait, untuk menghasilkan strategi atau pendekatan untuk
melaksanakan upaya kesehatan.

Kebijakan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajad kesehatan


masyarakat yang optimal.

Konsep kerangka kerja dalam analisa kebijakan kesehatan

Dalam tingkat analisis umum, kebijakan kesehatan dapat dikonsepkan dalam


bentuk proses makro dan mikro sosial. Pada tingkat makro terlibat penilaian kerja sosial
dan struktur sosial seperti USA, pasar, kerangka kerja legal dan ekonomi, sebaik
institusi sosial formal seperti NHS. Pada tingkat analisa mikro, fokus dampak kebijakan
pada tingkat praktik profesional kesehatan, sebaik pengalaman pengguna pelayanan
seperti mereka negosiasi cara mereka melalui pathway sistem kesehatan.

Kekuatan sebagai kunci konsep untuk kritik analisis kebijakan kesehatan

Kekuatan merupakan perangkat konsep kritik analisa kritis bentuk dan


pelaksanaan kebijakan kesehatan. Gagasan yang kuat sangat banyak direbutkan dan
bernilai tinggi. Konseptualisasi kekuasaan mencerminkan posisi moral dan politik
tertentu, dan biasanya bersandar pada konsumsi kepentingan yang secara normatif
spesifik. Sehingga, definisi kebijakan dilihat sebagai kemampuan untuk menghasilkan
hasil dan keinginan yang dapat diubah nyata. Definisi ini membawa ke dalam sebuah
konsep yang kuat yang merupakan sesuatu yang berasal dari mandat demokrasi
pemerintah terpilih yang dibebani dengan program kebijakan. Sementara presentasi
klasik kekuatan dalam teori sosial mewakilkan kesempatan seseorang untuk menyadari
tindakan komunal dirinya bahkan melawan perlawanan yang lain dalam aksi.

IV. Kebijakan Publik Terdiri Atas Berbagai Jenis, Sebagai Berikut:

1. Kebijakan distributif, pemberian pelayanan ditujukan pada segmen tertentu di


masyarakat

2. Kebijakan regulatif, pemberlakuan dan larangan pada perilkau di tingkat individu


maupun kelompok

3. Kebijakan self regulatory, dalam pengertian mengedepankan kepentingannya sendiri


4. Kebijakan reditributif, usaha pemerintah untuk mengubah atau mengatur kembali
distribusi pendapatan, kekayaan, kepemilikan atau hak di antara berbagai kelompok di
masyarakat.

V. Proses dalam analisis kebijakan

1. Perumusan masalah kebijakan

Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan

2. Peramalan masa depan kebijakan

Merupakan prosedur membuat informasi aktual tentang situasi sosial di masa depan
atas informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan.

3. Rekomendasi aksi-aksi kebijakan

Menentukan alternatif yang terbaik dan alasannya karena hal tersebut terkait dengan
masalah etika dan moral.

4. Pemantauan hasil kebijakan

Prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab
dan akibat dari kebijakan publik.

5. Evalusi kinerja kebijakan

VI. Sistem Politik

Sistem politik akan mempengaruhi penetuan kebijakan kesehatan dan


partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik (termasuk kebijakan kesehatan).
Klasifikasi sistem politik terkini telah ditambahkan dimensi yang lebih luas, yaitu
seberapa terbuka sistem tersebut mampu menawarkan alternatif(liberal/otoriter).
Berdasarkan kriteria tersebutmdibedakan lima kelompok sistem politik sebagai berikut:

1. Liberal democratic regimes

Sistem ini dibentuk oleh Pemerintah dan dijalankan dengan institusi politik yang relatif
stabil dengan mempertimbangkan peluang-peluang mekanisme sejumlah kelompok.
Kebijakan kesehatan sangat bervariasi, mulai dari orientasi pasar hingga
tanggungjawab pemerintah.

2. Egalitarian Authoritharian
Dicirikan oleh elit utama yang sangat tertutup, birokrasi otoriter dan partisipasi
pengeloalaan negara secara umum. Perawatan kesehatan telah dianggarkan oleh negara
dan merupakan hak asasi yang fundamental.

3. Traditional Ineligatarian

Sistem ini diatur oleh monarki tradisional yang sangat sedikit memberi kesempatan
untuk berpartisipasi. Kebijakan kesehatan sangat mengandalkan sektor swasta dengan
penggunaan fasilitas kalangan elit.

4. Populis

Sistem ini didasarkan atas partai politik tunggal atau dominan, nasionalisme tinggi dan
kepemimpinan yang cenderung bersifat personal. Partisipasi sangat diatur melalui
kontrol gerakan massa oleh negara atau partai politik. Sistem politik populis
menetapkan kesehatan untuk semua sebagai hak dasar.

5. Authoritharian Ineligalitarianim.

Sistem ini sering muncul sebagai reaksi terhadap populis dan rezim demokratis liberal.
Keduanya diasosiasikan denganpemerintahanmiliter dan terlibat dalam berbagai bentuk
penindasan. Kebijakan kesehatan merefleksikan kepentingan elit, biaya kesehatan
pemerintah hanya untuk militer dan bagi masyarakat umum dikelola oleh pihak swasta.

Indonesia sendiri menganut sistem politik demokrasi dengan Pancasila dan


UUD 1945 sebagai dasar negara. Dalam perumusan suatu kebijakan, misalnya UU
Kesehatan No.36 tahun 2009 dirancang eksekutif yang kemudian dibahas dan disahkan
oleh legistlatif melalui proses demokrasi menggunakan musyawarah untuk mufakat,
kemudian eksekutif akan melaksanakan kebijakan yang telah disahkan.

VII. Globalisasi dan Kesehatan


Pada dasarnya selalu akan ada proses perubahan dalam kehidupan.
Berkembangnya ilmu pengetahuan menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya
perubahan. Perubahan terjadi disetiap elemen kehidupan seperti perubahan teknologi,
perubahan kondisi sosial ekonomi, dan perubahan kebijakan oleh para pemimpin yang
berdampak pada munculnya arus globalisasi dunia. Globalisasi didefinisikan oleh
Cohen dan Kennedy sebagai proses transformasi yang saling memperkuat dunia, yang
meliputi perubahan konsep ruang dan waktu, kebergantungan pasar dan produksi
ekonomi di negara-negara yang berbeda, peningkatan interaksi kultural, meningkatnya
masalah bersama dalam bidang ekonomi, lingkungan, dan permasalahan lazim lainnya.
Saat memasuki abad ke-21 para pengelola kesehatan di Indonesia mulai
memahami dampak globalisasi terhadap kesehatan. Dampak globalisasi diperkirakan
dapat memberikan pengaruh baik terhadap penggunaan teknologi kesehatan, sistem
pelayanan, penyakit-penyakit baru, hingga kondisi sosial kemasyarakatan lainnya
Beberapa penelitian mencoba menggambarkan dampak globalisasi terhadap kesehatan,
yaitu:
1. Menurut Yach dan Bettcher
1) Kejadian Penyakit Dan Pola Penyakit
Pergerakan manusia mempengaruhi pergerakan infeksi penyakit
menular. Seiring kemajuan teknologi arus mobilisasi manusia ke
berbagai negara semakin meningkat, hal tersebut tentu mempengaruhi
risiko penularan penyakit dari suatu wilayah ke wilayah lain.
2) Dampak terhadap pelayanan kesehatan
Seiring perkembangan teknologi kedokteran maka banyak rumah sakit
yang membuka cabang di berbagai negara. Hal tersebut mempengaruhi
pada peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang akan semakin tinggi.
3) Sistem kesehatan
Indonesia harus memiliki sistem kesehatan yang kuat, antara lain sistem
deteksi dini penyakit dan sistem pembiayaan kesehatan. Sistem
kesehatan yang kuat tersebut bertujuan untuk meningkatkan
keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
4) Riset dan profesi
Globalisasi mendorong adanya riset yang bersifat trans nasional yang
melibatkan berbagai negara dan bersifat profit center bukan lagi cost
center. Selain itu juga tenaga profesi akan keluar masuk antar negara.
5) Interdependensi
Dunia akan menjadi global village dimana semua negara akan
bergantung satu dengan lainnya sehingga membentuk ekosistem baru.
2. Menurut Lee
1) Secara spasial
Globalisasi menyebabkan pergerakan manusia semakin dinamik.
Dinamika pergerakan manusia identik dengan penyebaran penyakit
manusia dan faktor risiko kesehatan manusia.
2) Temporal change
Persepsi manusia terhadap waktu akan mengalami perubahan. Bagi
yang sering melakukan komunikasi dengan orang-orang antar negara
akan memahami adanya perbedaan waktu dan menjadi terbiasa.
3) Cognitive change
Globalisasi juga mengubah persepsi siapa diri kita dan dunia
disekeliling kita. Perubahan persepsi itu dipengaruhi oleh informasi
yang dibawa oleh media yang terus berkembang terutama internet.

Globalisasi dan Disparitas Kesehatan

Disparitas bermakna kesenjangan atau inequalities, yakni jarak perbedaan


antara sebuah nilai rata-rata dari subpopulasi atau subkelompok dengan nilai rata-rata
subkelompok lain dalam sebuah komunitas masyarakat yang lebih besar, dimana
seharusnya memiliki nilai, hak dan kesempatan yang sama.

Salah satu dampak dari globalisasi yang harus diwaspadai adalah adanya
disparitas kesehatan antar kelompok masyarakat. Globalisasi akan memberikan
dampak positif terhadap kelompok yang siap menerima dan berdampak sebaliknya
pada kelompok yang belum siap menerima. Disparitas kesehatan dipicu oleh faktor
disparitas sosial ekonomi, oleh sebab itu para pengelola kesehatan harus berupaya
menghilangkan disparitas yang ada agar globalisasi dapat berdampak positif bagi
seluruh kelompok masyarakat.

VIII. Kebijakan Kesehatan di Indonesia


Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai kebijakan yang memberikan
pedoman dan upaya yang terorganisir untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Kebijakan dibentuk oleh pihak yang berwenang pada suatu kelompok
masyarakat. Di tingkat dunia kebijakan kesehatan dibuat oleh WHO sebagai badan
kesehatan yang memiliki kewenangan atas negara-negara anggotanya. Di Indonesia
pemegang kebijakan kesehatan tertinggi adalah Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, sedangkan di tingkat daerah kebijakan kesehatan tertinggi dipegang oleh
Dinas Kesehatan.
Kebijakan kesehatan dibentuk berdasarkan pertimbangan dari berbagai pihak,
mulai dari masyarakat, organisasi profesi, akademisi, dan lintas sektor lainnya.
Contoh Kebijakan Kesehatan di Indonesia
1. Sistem penjaminan kesehatan
Universal health coverage (UHC) adalah salah satu kebijakan kesehatan yang
dibentuk oleh WHO dengan tujuan memberikan jaminan bahwa setiap orang
dapat memperoleh pelayanan kesehatan tanpa terhalang kendala finansial.
Kebijakan sistem penjaminan kesehatan juga diadopsi di Indonesia, antara lain
dalam bentuk:
1) Askes dan Jamsostek
PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) adalah badan usaha
milik negara (BUMN) yang berfungsi memberikan jaminan
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. PT Jamsostek (Persero)
memelihara kesejahteraan masyarakat dari aspek sosial, yaitu dengan
memberikan jaminan sosial bagi tenaga kerja. Program yang dikelola
mencakup :
- Jaminan Hari Tua (JHT)
- Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
- Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
- Jaminan Kematian (JK)

Sedangkan PT Askes (Persero) menyelenggarakan jaminan


pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), penerima
pensiun PNS, dan TNI/POLRI, veteran, perintis kemerdekaan, dan
badan usaha lainnya.

2) Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS), Sistem Jaminan


Sosial Nasional (SJSN), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Jaminan sosial yang diselenggarakan oleh PT Askes (Persero) dan PT
Jamsostek (Persero) dianggap belum mampu memenuhi hak warga
negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan secara adil dan merata.
Masih banyak penduduk yang pelayanan kesehatannya belum
ditanggung oleh negara. Sehingga dalam upaya pemenuhan hak tersebut
maka dibentuklah sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Sebagai
dasar untuk penyelenggaraan JKN dibentuklah UU No. 40 Tahun 2004
tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang mengamanatkan
bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk melalui suatu badan
penyelenggara jaminan sosial (BPJS). BPJS adalah badan yang ditunjuk
oleh SJSN yang komponennya termasuk jaminan kesehatan nasional
(JKN)
2. Gerakan masyarakat hidup sehat
Gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS) terbentuk atas konsep mencegah
lebih baik daripada mengobati. Kementerian kesehatan menetapkan GERMAS
sebagai suatu kebijakan untuk mencegah terjadinya penyakit melalui promosi
kesehatan. Kesehatan adalah tanggung jawab semua pihak mulai dari individu
tersebut sampai dengan pemerintah. Kesehatan lebih sulit terbentuk apabila dari
dalam diri individu tidak berupaya untuk membangun kesehatan dalam dirinya.
Oleh karena itu GERMAS berupaya untuk mengajak masyarakat untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan yang membangun kesehatan.
Bentuk kegiatan GERMAS antara lain adalah:
1) Melakukan aktivitas fisik
2) Mengkonsumsi buah dan sayur
3) Memeriksa kesehatan secara rutin
4) Tidak merokok
5) Tidak mengkonsumsi minuman beralkohol
6) Menjaga kebersihan lingkungan
7) Menggunakan jamban sehat

B. TEORI KEBIJAKAN
1. Teori Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn
dikenal dengan istilah A Model of the policy Implementation (1975). Proses implementasi
ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang
pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang
tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan
bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan
kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh
beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
a. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
b. Sumber daya
c. Karakteristik organisasi pelaksana
d. Sikap para pelaksana
e. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
f. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van
Horn dijelaskan sebagai berikut:
a. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan
tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana
kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan
sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman,
1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya
menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana
kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat
ketercapaian standar dan sasaran tersebut.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah
penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para
pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan
kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para
pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap
standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors
mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak
atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn,
1974).
b. Sumber daya
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang
terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap
implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan
pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain
sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting
dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest
that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of
the program”.
Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa: ”Sumber daya
kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya
kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi
implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang
dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau
terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan
sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”
c. Karakteristik organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal
yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja
implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok
dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan
dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan
displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif.
Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam
menentukan agen pelaksana kebijakan.
d. Disposisi Sikap para pelaksana
persepsi pelaksana dalam organisasi dimanaprogram itu diterapkan, hal ini dapat
berubah sikap menolak, netral danmenerima yang berkaitan dengan sistem nilai pribadi,
loyalitas, kepentinganpribadi dan sebagainya.
e. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Implementasi membutuhkan mekanisme dan prosedurinstitusional yang mengatur
polakomunikasi antar organisasi mulai dari kewenangan yang lebih tinggi hingga yang
terendah.
f. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
pengaruh variabel lingkungan terhadapimplementasi program, diantaranya sumber
daya ekonomi yang dimilikiorganisasi pelaksana, bagaimana sifat opini publik,
dukungan elit, peran, dankelompok-kelompok kepentingan dan swasta dalam
menunjang keberhasilanprogram.
Keunggulan model Van Meter dan Van Horn ini dapat menawarkan kerangka berpikir untuk
menjelaskan dan menganalisis proses implementasi kebijakan. Selain itu model ini
jugamemberikan penjelasan-penjelasan bagi pencapaian-pencapaian dan kegagalan
program.Model ini menitikberatkan pada sikap, perilaku dan kinerja para perilaku di dalam
implementasi kebijakan.

Gambar Teori Van Meter dan Van Horn

2. Teori Merilee S. Grindle


Dalam Pendekatan Meriee S. Grindle dikenal dengan Implementation as A Political
and Administrative Procces. Grindle memperkenalkan model implementasi sebagai
proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan
oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat
keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat terlihat melalui
proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan
proses administrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi administratif yang
dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
Menurut Grindle ada 2 variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik,
yaitu :
a. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari proses
pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin
diraih. Hal ini dikemukakan oleh Grindle, dimana pengukuran keberhasilan
implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari 2 hal, yakni :
1) Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan
sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi
kebijakannya.
2) Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua
faktor, yaitu :
a) Dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok
b) Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan
perubahan yang terjadi
b. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut Grindle, amat
ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri atas :
1) Isi Kebijakan (Content of Policy), Mencakup :
a) Interest Affected (Kepentingan-Kepentingan yang Mempengaruhi)
Interst affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang
mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen
bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak
kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa
pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih
lanjut.
b) Type of Benefits (Tipe Manfaat)
Pada point ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau
menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis
manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh
pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c) Extent of Change Envision (Derajat Perubahan yang Ingin Dicapai)
Setiap kebijakan memiliki target yang hendak dan ingin dicapai. Content of
policy yang ingin dijelaskan pada pon ini adalah bahwa sejauh mana
perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan haruslah memiliki skala
yang jelas.. Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku
kelompok sasaran relative lebih sulit diimplementasikan daripada program
yang sekedar memberikan bentuan kredit atau bantuan beras kepada
kelompok masyarakat miskin
d) Site of Decision Making (Letak Pengambilan Keputusan)
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting
dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan
dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan
diimplementasikan.
e) Program Implementer (Pelaksana Program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung dengan
adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan
suatu kebijakan. Dan ini sudah harus terpapar atau terdata dengan baik,
apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci.
f) Resources Committed (Sumber-Sumber Daya yang Digunakan)
Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.
Pelaksanaan kebijakan harus didukung oleh sumberdaya-sumberdayayang
mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.
2) Lingkungan Implementasi (Context of Implementation) Mencakup :
a) Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan, Kepentingan-
Kepentingan, dan Strategi dari Aktor yang Terlibat)
Dalam suatu kebijakan perlu dipertimbangkan pula kekuatan atau
kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para actor yang
terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi
kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang, sangat besar
kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh hasilnya
dari yang diharapkan.
b) Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan rezim
yang sedang berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakanjuga
berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin
dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi
suatu kebijakan.
c) Compliance and Responsiveness (Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon
dari Pelaksana)
Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan
adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, maka yang hendak
dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari
pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.
Gambar Teori Merilee S. Grindle

3. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)


Dalam Teori ini dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi
kesuksesan implementasi, yakni;
a. Karakteristik dari Masalah (tractability of the problems)
Karakteristik masalah terdiri dari:
1) Tingkat kesulitas teknis dari masalah yang ada.
Dalam hal ini dilihat bagaimana permasalahan yang terjadi, apakah termasuk
permasalahan social yang secara teknis mudah diselesaikan atau masuk kategori
masalah social yang secara teknis sulit untuk dipecahkan. Sebagai contoh
masalah social yang termasuk kategori mudah diselesaikan adalah seperti
kekurangan persediaan beras disuatu daerah, kekurangan guru dalam suatu
sekolah, dan lain-lain. Untuk contoh masalah social yang termasuk kategori
social yang cukup sulit dipecahkan adalah seperti pengangguran, kemiskinan,
dan masalah-masalah lain yang sejenis.
2) Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran
Hal ini menyangkut kelompok sasaran dari pembuatan suatu kebijakan atau
dapat dikatakan masyarakat setempat yang dapat bersifat homogeny ataupun
heterogen. Kondisi masyarakat yang homogen tentunya akan lebih
memudahkan suatu program ataupun kebijakan diimplementasikan, sementara
itu dengan kondisi masyarkat yang lebih heterogen akan lebih menyulitkan
ataupun mendapat lebih banyak tantangan dalam pengimplementasiaannya
3) Prosentase kelompok sasaran terhadap total populasi
Dalam artian bahwa suatu program atau kebijakan akan lebih mudah
diimplementasikan ketika sasarannya hanyalah sekelompok orang tertentu atau
hanya sebagian kecil dari semua populasi yang ada ketimbang kelompok
sasarannya menyangkut seluruh populasi itu sendiri. 4. Cakupan perubahan
perilaku yang diharapkan Hal ini menyangkut akan hal bagaimana perubahan
perilaku dari kelompok sasaran yang diharapkan dengan program yang ada.
Sebuah kebijakan atau program akan lebih mudah diimplementasikan ketika
program tersebut lebih bersifat kognitif dan memberikan pengetahuan.
Sementara itu, program yang bersifat merubah sikap atau perilaku masyarakat
cenderung cukup sulit untuk diimplementasikan seperti perda larangan merokok
ditempat umum, pemakaian kondom dan Keluarga Berencana, dan lain-lain.

b. Karakteristik Kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure


implementation)
1) Kejelasan Isi Kebijakan
Sebuah kebijakan yang diambil oleh pembuat kebijakan haruslah mengandung
konten yang jelas dan konsisten. Kebijakan dengan isi yang jelas akan
memudahkan sebuah kebijakan dan akan menghindarkan distorsi atau
penyimpangan dalam pengimplementasiannya. Hal ini dikarenakan jika suatu
kebijakan sudah memiliki isi yang jelas maka kemungkinan penafsiran yang
salah oleh implementor akan dapat dihindari dan sebaliknya jika isi suatu
kebijakan masih belum jelas atau mengambang, potensi untuk distorsi ataupun
kesalahpahaman akan besar.
2) Seberapa jauh kebijakan memiliki dukungan teoritis
Dukungan teoritis akan lebih memantapkan suatu aturan atau kebijakan yang
dibuat karena tentunya sudah teruji. Namun, karena konteks dalam pembuatan
kebijakan adalah menyangkut masalah social yang meski secara umum terlihat
sama disetiap daerah, akan tetapi sebanarnya terdapat hal-hal yang sedikit
banyak berbeda sehingga untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan modifikasi
saja.
3) Besarnya alokasi sumberdaya financial terhadap kebijakan tersebut
Hal yang tak dapat dipungkiri dalam mendukung pengimplementasian suatu
kebijakan adalah masalah keuangan/modal. Setiap program tentu memerlukan
staff untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, memonitor
program, dan mengelola sumberdaya lainnya yang kesemua itu memerlukan
modal.
4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar bebagai institusi
pelaksana
Suatu program akan dengan sukses diimplementasikan jika terjadi koordinasi
yang baik yang dilakukan antar berbagai instansi terkait baik secara vertical
maupun horizontal.
5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
Badan pelaksana atau implementor sebuah kebijakan harus diberikan kejelasan
aturan serta konsistensi agar tidak terjadi kerancuan yang menyebabkab
kegagalan pengimplementasian.
6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan
Salah satu factor utama kesuksesan implementasi sebuah kebijakan adalah
adanya komitmen yang kuat dari aparatur dalam melaksanakan tugasnya.
Komitmen mencakup keseriusan dan kesungguhan agar penerapan suatu
peraturan ataupun kebijakan bisa berjalan dengan baik dan diterima serta
dipatuhi oleh sasaran dari kebijaan tersebut.
7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam
implementasi kebijakan
Sebuah program akan mendapat dukungan yang banyak ketika kelompok-
kelompok luar, dalam artian diluar pihak pembuat kebijakan seperti masyarakat
ikut terlibat dalam kebijakan tersebut dan tidak hanya menjadikan mereka
sebagai penonton tentang adanya suatu kebijakan ataupun program di wilayah
mereka.
c. Variabel Lingkungan (non statutory variables affecting implementation)
1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi
Kondisi social ekonomi masyarakat menyangkut akan hal keadaan suatu
masyarakat secara umum, mulai dari pendidikan, keadaan ekonomi, dan kondisi
socialnya yang secara sederhana dapat dikatakan kepada masyarakat yang
sudah terbuka dan modern dengan masyarakat yang tertutup dan tradisional.
Masyarakat yang sudah terbuka akan lebih mudah menerima program-program
pembaharuan daripada masyarakat yang masih tertutup dan tradisional.
Sementara itu, teknologi sendiri adalah sebagai pembantu untuk mempermudah
pengimplementasian sebuah program. Teknologi yang semakin modern tentu
akan semakin mempermudah.
2) Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan
Dukungan publik akan cenderung besar ketika kebijakan yang dikeluarkan
memberikan insntif ataupun kemudahan, seperti pembuatan KTP gratis, dan
lain-lain. Sebaliknya, dukungan akan semakin sedikit ketika kebijakan tersebut
malah bersifat dis-insentif seperti kenaikan BBM.
3) Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups)
Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi
implementasi kebijakan melalui berbagai cara, seperti; 1) kelompok pemilih
dapat melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan
pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubmah
kebijakan.2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik
yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat
pernyataan yang ditujukan kepada badan legislative.
4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor
Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang
dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana
harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya
merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

Gambar Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

4. Patton dan Sawicki (1986)


Patton dan Sawicki membagi proses analisis kebijakan dalam 6 tahapan yaitu:
a. Melihat, memahami, dan merinci masalah.
Menyusun atau merumuskan masalah kebijakan merupakan salah satu keterampilan
yang harus dimiliki oleh seorang analis. Selama proses analisis, seorang analis
harus mampu mendifinisi ulang masalah agar masalah itu dapat dipecahkan. Proses
ini disebut “pemecahan masalah terbalik” (backward problem solving). Sebuah
analisis yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Tersedianya data tentang isu atau masalah. Misal : “tentang jumlah anak dari
ibu yang bekerja dan jumlah serta persebaran TPA”
2) Menetapkan kriteria yang akan digunakan untuk mengevaluasi alternatif
kebijakan. Misal : menggunakan Analisis SWOPA (Sthrengtness,
Weaknesses, Opportunities, Problems, Actions) atau Social Impact
Assessment.
3) Menemukan berbagai pemikiran alternatif-alternatif yang mendukung, Misal
: dengan membangun TPA di pusat-pusat perdagangan, industri, perumahan,
dan perkantoran; atau menyediakan SDM pengasuh dengan mewajibkan
perusahaan, pengelola pasar, dan developer membangun fasilitas
TPA.\Mendefinisikan kembali masalah agar dapat dikurangi, dikendalikan,
mungkin dipecahkan, dengan informasi dan sumber yang tersedia. Misal :
banyaknya anak memerlukan pelayanan TPA bukan karena fasilitas TPA yang
kurang, tetapi karena banyak ibu yang tidak bekerja tidak mau repot mengasuh
anak di rumah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengumpulan data dan
informasi yang lengkap.
b. Menyusun kriteria evaluasi
Supaya alternatif-alternatif kebijakan dapat diperbadingkan, diukur, dan dipilih;
maka kriteria evaluasi yang relevan harus disusun. Beberapa ukuran yang umum
digunakan mencakup: biaya, keuntungan bersih, keefektivan, keefisiensian,
administrasi yang mudah, legalitas dan dapat diterima secara politis. Dimensi politis
dari masalah yang akan mempengaruhi suatu pemecahannya harus diidentifikasi,
karena berbagai alternatif akan berbeda-beda dalam aseptabilitas politiknya.
Kriteria evaluasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi alterantif kebijakan
misalnya dengan melihat sisi efisiensi, efektivitas, cakupan dan keberlanjutannya.
c. Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan alternatif.
Pada proses ini analis harus memiliki suatu pemahaman tentang nilai-nilai, tujuan-
tujuan, dan sasaran-sasaran tidak hanya dari pemberi pemerintah untuk
menganalisis tetapi juga meliputi kelompok orang-orang lainnya. Kriteria yang
sudah ditentukan sebelumnya dapat dipergunakan untuk menilai alternatif-
alternatif, menolong analis menghasilkan alternatif kebijakan. Analis akan lebih
baik memiliki daftar alternatif-alternatif yang memungkinkan.
Alternatif dapat diidentifikasi melalui banyak cara misalnya dengan penelitian dan
eksperimen-eksperimen, melakukan test atas ide-ide dengan meminta pemikiran
orang lain melalui survey atau brainstorming.. Membaca literatur yang terkait
seperti buku, jurnal hasil penelitian, juga dapat dilakukan Identifikasi alternatif
kebijakan yang paling sederhana dilakukan melalui teknik-teknik brainstorming.

d. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif.


Sifat masalah dan tipe kriteria evaluasi akan memberi gambaran metode yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif. Beberapa masalah
membutuhkan analisis kuantitatif, dan lainnya membutuhkan analisis kualitatif,
bahkan banyak yang memutuhkan keduanya. Informasi dapat diketemukan selama
identifikasi dan evaluasi kebijakan yang mungkin menampakan aspek-aspek baru
dari masalah yang memerlukan tambahan atau perbedaan kriteria evaluasi.
e. Memperlihatkan dan menyeleksi kebijakan-kebijakan alternatif.
Hasil evaluasi dapat ditampilkan sebagai suatu daftar alternatif-alternatif,
penjumlahan/ penghi-tungan kriteria, dan laporan tingkat/derajat kriteria yang
dipenuhi oleh masing-masing alterantif. Menggunakan matrik yang
memperbandingkan alternatif-alternatif merupakan cara yang sangat baik, yang
memudahkan orang lain membaca dan memahami. Hal ini jika kriteria dapat dibuat
dalam istilah kuantitatif, skema perbandingan nilai secara ringkas. Hasil evaluasi
dapat juga ditampilkan sebagai skenario dengan agar metode kuantitatif, analisis
kualitatif, dan pertimbangan-pertimbangan politis dapat diketahui.
f. Memonitor hasil
Setelah suatu kebijakan diimplementasikan, mungkin ada keraguan apakah masalah
telah diatasi dengan tepat dan apakah kebijakan yang terpilih diimplementasikan
sebagaimana mestinya. Ada kebutuhan untuk memperhatikan bahwa kebijakan-
kebijakan dan program-program dipelihara dan dimonitor selama pelaksanaan. Hal
ini dilakukan untuk: (1) menjamin bahwa kebijakan tidak berubah bentuk dengan
tidak disengaja, (2) mengukur dampaknya, (3) menentukan apakah kebijakan
memiliki dampak yang diharapkan, dan (4) memutuskan apakah kebijakan akan
diteruskan, dimodifikasi atau dihentikan.
Gambar Teori Patton dan Sawicki (1986)

5. Teori George C. Edward III


Menurut pandangan Edward III implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variable, yaitu :
a. Komunikasi
Komunikasi yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target
group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
Proses komunikasi kebijakan dipengaruhi tiga hal penting, yaitu:
1) Faktor pertamayangberpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah
transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia
harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya telah dikeluarkan.
2) Faktor kedua adalah kejelasan, jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan
sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak
hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi
kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-intruksi yang diteruskan
kepada pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu
program dilaksanakan.
3) Faktor ketiga adalah konsistensi, jika implementasi kebijakan ingin berlangsung
efektif, maka perintah-perintah pelaksaan harus konsisten dan jelas. Walaupun
perintah-perintah yang disampaikan kepada pelaksana kebijakan jelas, tetapi
bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan
memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.
b. Sumberdaya
Meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi
apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud
sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya
finansial. Sumber-sumber yang penting meliputi, staff yang memadai serta
keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang
dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usul-usul di atas kertas
guna melaksanakan pelayanan-pelayanan publik
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimilikioleh implementor, seperti
komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi
yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki
sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
d. Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan
fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan
yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan
pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara
membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen
prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi
interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga
dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.

Gambar Teori George C. Edward III

6. William N. Dunn
Analisis kebijakan sebagai suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk
menciptakan, menilai secara kritis, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan
di dalam proses kebijakan. Prosedur analisis kebijakan terdiri dari lima tahap yang
saling berkaitan yang secara bersama-sama membentuk siklus aktivitas intelektual yang
kompleks dan tidak linear. Aktivitas tersebut berurutan sesuai waktunya dan melekat
dalam proses kebijakan yang bersifat kompleks, tidak linear, dan pada dasarnya bersifat
politis. Siklus analisis kebijakan Dunn merupakan analisis kebijakan yang berorientasi
pada masalah.

Gambar Teori Problem-centered Policy Analysis


Prosedur analisis kebijakan terbagi menjadi lima aktivitas yaitu
a. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yaitu penggunaan metode pada tataran yang lebih tinggi
(metamode) untuk menemukan elemen-elemen kritis dari suatu masalah, hubungan
kausalnya, dan implikasi nilainya. Perumusan masalah menghasilkan informasi
yang relevan dengan kebijakan yang penting bagi tahap analaisis selanjutnya yaitu
meramalkan masa depan kebijakan. Dengan perumusan masalah, analis
menciptakan pengetahuan baru tentang batas masalah, kondisi yang mempengaruhi
keberadaannya, tindakan yang dapat diambil untuk memecahkannya, dan
kesempatan untuk melakukan perbaikan yang pada awalnya merupakan masalah.
Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses dengan empat fase yang
saling berkaitan yaitu
1) Pencarian masalah (problem search)
Merupakan proses penemuan dan penyatuan beberapa representasi masalah,
atau metaproblem, yang dihasilkan oleh para pelaku kebijakan
2) Pendefinisian masalah (problem definition)
Merupakan proses mengkarateristikkan masalah substantif ke dalam istilah
yang paling dasar dan umum
3) Spesifikasi masalah (problem specification)
Merupakan tahap pemahaman masalah dimana analisis mengembangkan
representasi masalah substantif secara formal (logis atau matematis)
4) Pengenalan masalah (problem sensing)
Merupakan tahap perumusan masalah dimana analisis mengalami
kekahawawtiran yang campur aduk dan gejala ketegangan dengan cara
mengenali situasi masalah.
b. Peramalan (forecasting)
Peramalan atau forecasting merupakan suatu prosedur untuk membuat informasi
factual tentang situasi social masa depan berdasarkan pada informasi yang telah ada
tentang masalah kebijakan. Tujuan peramalan yaitu menyediakan informasi tentang
perubahan kebijakan di masa depan dan konsekuensinya. Selain itu, peramalan juga
bertujuan untuk mengontrol, yaitu berusaha merencanakan dan menetapkan
kebijakan sehingga tindakan terbaik dapat diambil diantara berbagai kemungkinan
yang ditawarkan oleh masa depan. Ramalan memiliki tiga bentuk utama yaitu
1) Proyeksi
Merupakan ramalan yang berdasarkan pada ekstrapolasi atas kecenderungan
masa lalu maupun masa kini ke masa depan. Proyeksi membuat pernyataan
tegas berdasarkan argument yang diperoleh dari metode tertentu dan kasus yang
paralel, di mana asusmsi mengenai validitas metode tertentu atau kemiripan
kasus digunakan untuk memperkuat suatu pernyataan. Proyeksi dapat diperkuat
dengan argument dari pemegang otoritas dan logika kausal
2) Prediksi
Merupakan ramalan yang berdasarkan pada asumsi teoritik yang tegas. Asumsi
ini dapat berbentuk hukum teoritis, proposisi teoritis, atau analogi. Sifat
terpenting dari prediksi adalah menspesifikasikan kekuatan generative
(penyebab) dan konsekuensi (akibat), atau proses atau hubungan paralel
(analog) yang diyakini mendasari suatu hubungan. Prediksi dilengkapi dengan
argument dari mereka ynag berwenang dan metode.
3) Perkiraan (conjecture)
Merupakan ramalan yang berdasarkan pada penilaian yang informatif atau
penilaian yang intuitif, yang diasumsikan dengan adanya kekuatan batin dan
kreatif dari para intelektual, atau pengetahuan terpendam dari para pelaku
kebijakan. Penilaian dapat diungkapkan dalam bentuk argument motivasional
di mana tujuan, nilai atau kehendak masa kini atau masa depan digunakan untuk
menetapkan berbagai kemungkinan pernyataan.
c. Rekomendasi
Rekomendasi memungkinkan analis menghasilkan informasi tentang kemungkinan
serangkaian aksi di masa depan untuk menghasilkan konsekuensi yang berharga
bagi individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Untuk
merekomendasikan suatu tindakan kebijakan khusus diperlukan ketersediaan
informasi terkait konsekuensi di masa depan setelah dilakukannya berbagai
alternative tindakan. Pembuatan rekomendasi kebijakan harus menentukan
alternative mana yang paling baik dan mengapa.
Pernyataan advokasi merupakan kesimpulan mengenai argumen kebijakan yang
meliputi fakta, nilai, dan anjuran untuk mengambil suatu tindakan. Pernyataan
advokasi berfokus pada tindakan, berorientasi ke depan, memiliki interdependensi
antara fakta dan nilai serta dualitas nilai. Pernyataan advokasi harus memiliki
karakteristik sebagai berikut :
1) Dapat ditindaklanjuti (actionable)
Pernyataan advokatif memusatkan pada tindakan yang dapat diambil
untuk menyelesaikan masalah kebijakan. Meskipun pernyataan
advokatif mensyaratkan informasi sebelumnya mengenai apa yang akan
terjadi dana pa yang bernialai, pernyataan seperti ini berada di luar
pertanyaan fakta dan nilai dan mengandung argument mengenai
tindakan tertentu yang dapat memuaskan kebutuhan, nilai, dan
kesempatan untuk perbaikan.
2) Prospektif
Pernyataan advokatif bersifat prospektif karena pernyataan tersebut
dibuat sebelum dilakukannya tindakan. Jika prosedur analisis kebijakan
pemantauan dan evaluasi bersifat retrospektif, karena pernyataan ini
dibuat setelah tindakan diambil, maka peramalan dan rekomendasi
diterapkan secara prospektif.
3) Muatan nilai
Pernyataan advokatif bergantung pada fakta dan nilai. Untuk
menyatakan bahwa alternative kebijakan tertentu harus diadopsi
memerlukan tidak hanya bahwa tindakan yang direkomendasikan akan
mempunyai konsekuensi yang terprediksi tetapu juga bahwa
konsekuensi yang terprediksi tersebut dinilai oleh individu, kelompok,
dan masyarakat secara keseluruhan.
4) Secara etika kompleks
Nilai yang mendasari pernyataan advokatif secara etika kompleks. Nilai
tertentu dapat dipahami sebagai nilai intrinsic ataupun ekstrinsik. Nilai
intrinsic yaitu nilai yang dilihat sebagai tujuan dalam diri sendiri
sedangkan nilai ekstrinsik yaitu nilai yang bernilai karena akan
menghasilkan nilai lainnya.
d. Pemantauan (monitoring)
Pemantauan merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk
memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan public. Karena
memungkinkan analis mendeskripsikan hubungan antara operasi program kebijakan
dan hasilnya. Pemantauan juga dapat didefinisikan sebagai cara untuk membuat
pernyataan yang sifatnya penjelasan (designative claim) tentang tindakan kebijakan
di masa lalu maupun sekarang. Pemantauan bertujuan untuk menetapkan premis
factual tentang kebijakan public dan menghasilkan kesimpulan ynag jelas selama
dan setelah kebijakan diadopsi dan diimplementasikan atau ex post facto.
Pemantauan memiliki empat fungsi dalam analisis kebijakan yaitu:
1) Kepatuhan (compliance)
Pemantauan bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para
administrator program, staf, dan pelaku lain sesuai dengan standard an
prosedur yang dibuat oleh para legislator, instansi pemerintah, dan
lembaga professional.
2) Pemeriksaan (auditing)
Pemantauan membantu menentukan apakah sumber daya dan pelayanan
yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu
memang telah sampai kepada mereka.
3) Akuntansi
Pemantauan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan
akuntansi atas perubahan social dan ekonomi yang terjadi setelah
dilaksanakannya sejumlah kebijakan public dari waktu ke waktu.
4) Eksplanasi
Pemantauan juga menghimpun informasi yang dapat menjelaskan
mengapa hasil kebijakan publik dan program berbeda.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan
nilainya dan berkaitan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil
kebijakan. Evaluasi berfungsi memberi informasi valid dan dipercaya mengenai
kinerja kebijakan, memberi sumbangan pada kalrifikasi dan kritik terhadap nilai
yang mendasari pemilihan tujuan dan target, dan memberi sumbangan pada aplikasi
metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.
Infromasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbagnan
pada perumusan ulang masalah kebijakan.
Evaluasi memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Fokus nilai
Evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai
dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan upaya
untuk menentukan manfaat atau kegunaan social kebijakan atau
program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi
mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.
2) Interdependensi Fakta-Nilai
Tuntutan evaluasi bergantung pada fakta dan nilai. Untuk menyatakan
bahwa kebijakan atau program terntentu mencapai tingkat kinerja
tertinggi atau terendah diperlukan hasil kebijakan ynag berharga bagi
individu, kelompok atau seluruh masyarakat dan didukung oleh bukti
bahwa hasil kebijakan tersebut secara actual merupakan konsekuensi
dari aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu.
3) Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau
Tuntutan evaluatif diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu.
Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi dilakukan (ex post)
4) Dualitas Nilai
Nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda
karena dipandang sebagai tujuan dan cara. Evaluasi sama dengan
rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada dapat dianggap
sebagai intrinsic dan ekstrinsik.

7. Teori James E Anderson


James E. Anderson mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “ a purposive course of action
followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”
(Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu).
Konsep kebijakan Anderson ini memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya
dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga
membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang
mengandung arti pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada.
Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang pelaku
atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu.
Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam
rangka memecahkan suatu masalah tertentu.
James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah
kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian
ini, menurutnya, berimplikasi:
1) bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang
berorientasi pada tujuan,
2) bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat
pemerintah,
3) bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah,
4) bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan
pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan
keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu,
5) bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan
dan bersifat memaksa (otoritatif).
Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah.
Penetapan kebijakan tersebut dapat secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan
perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta program-
program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan penggunaan
istilah kebijakan seperti dalam kalimat “Kebijakan Ekonomi Amerika”, “Kebijakan Minyak
Arab Saudi”, atau “Kebijakan Pertanian Eropa Barat”. Menurutnya, istilah kebijakan dapat
juga digunakan untuk istilah yang lebih spesifik dalam arti tidak hanya dilekatkan untuk
penggunaan dalam lingkup makro (negara). Contoh yang dikemukakan James E. Anderson
seperti pada penggunaan dalam kalimat “Kebijakan Kota Chicago dalam Polusi di Danau
Michigan dari Milwaukee, Wisconsin”.
James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara apa yang ingin
dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan di lapangan. Hal ini
menjadi penting karena kebijakan bukan hanya sebuah keputusan sederhana untuk
memutuskan sesuatu dalam suatu momen tertentu, namun kebijakan harus dilihat sebagai
sebuah proses. Untuk itulah pengertian kebijakan sebagai suatu arah tindakan dapat dipahami
secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori.
Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands),
keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy
statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy
outcomes).
Menurut James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2005:186) proses kebijakan
melalui tahap-tahap/stages sebagai berikut:

Sumber: James E. Anderson, dkk. Dalam Tilaar dan Nugroho (2005:186)


Gambar: Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson, dkk

Dijelaskan bahwa tahap-tahap tersebut sebagai berikut:


Stage 1: Policy agenda, yaitu those problems, among many, which receive the serious
attention of public officer.
Stage 2: Policy formulation, yaitu the development of pertinent and acceptable proposal
courses of action for dealing with problem.
Stage 3: Policy adoption, yaitu the development of support for a specific proposal so that
policy can legitimated or authorized.
Stage 4: Policy implementation, yaitu application of the policy by the government’s
administrative machinery to problem.
Stage 5: Policy evaluation, yaitu effort by the government to determine whether the
policy was effective and why, and why not.

8. Teori Thomas R. Dye


Pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah “ Whatever Governments
choose to do or not to do” (Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang
tidak dikerjakan oleh pemerintah).
Kebijakan publik merupakan pengembangan dari kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah dan aparaturnya. Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang
dimaksudkan untuk mengatasi kesalahan tertentu melakukan kegiatan tertentu, atau untuk
mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi yang mempunyai wewenang dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan Negara dan pembangunan, berlangsung dalam
satu kebijakan tertentu.
Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang
membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai
kebijakan publik/public policy, pelaku kebijakan/policy stakeholders, dan lingkungan
kebijakan/policy environment.

Tiga elemen sistem kebijakan

Menurut Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008:189) proses kebijakan publik
adalah sebagai berikut :

Sumber: Thomas R Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008:189)


Gambar: Proses Kebijakan Publik Menurut Dye

Di model Dye terlihat bahwa proses kebijakan Anderson, dkk. mendapatkan satu tambahan
tahap sebelum agenda setting, yaitu identifikasi masalah kebijakan. Dalam hal ini Dye melihat
tahapan pra penentuan agenda (agenda setting) yang terlewatkan oleh Anderson, dkk.. Selain
itu Dye juga menggantikan tahap policy adoption dengan policy legitimation. Namun dalam
hal ini pergantian ini tidak memiliki perbedaan mendasar karena baik Anderson, dkk. dan Dye
sama-sama menekankan pada proses legitimasi dari kebijakan itu menjadi suatu keputusan
pemerintah yang sah.
Dengan melihat definisi tersebut, maka pemahaman mengenai kebijakan publik dapat
disimpulkan menjadi dua pembagian, yaitu:
1) Pembagian jenis kebijakan publik yang pertama adalah makna dari kebijakan publik,
bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan
atau dibiarkan.
2) Pembagian jenis kebijakan publik yang kedua adalah bentuknya. Kebijakan publik
dalam arti luas dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan dalam bentuk
peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan
peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun disepakati, yaitu yang disebut sebagai
konvensi-konvensi.

Contoh-contoh dari kebijakan publik ini yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah,


Paraturan/Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan/Keputusan
Gubernur dan Peraturan/Keputusan Walikota/Bupati.
Dalam peraturan tertulis, tingkatan kebijakan publik di Indonesia dapat dibedakan menjadi
3 (tiga), yaitu antara lain :
1) Kebijakan publik tertinggi adalah kebijakan publik yang mendasari dan menjadi
falsafah dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Pancasila dan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan produk pendiri bangsa Indonesia,
yang dapat di revisi hanya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai
perwujudan dari seluruh rakyat Indonesia.
2) Kebijakan publik yang kedua adalah yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara
legislatif dan eksekutif. Model ini bukan menyiratkan ketidakmampuan legislative,
namun menyiratkan tingkat kompleksitas permasalahan yang tidak memungkinkan
legislative bekerja sendiri. Contoh kebijakan publik yang dibuat bersama antara
eksekutif dan legislative ini adalah adalah Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
3) Kebijakan Publik yang ketiga adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif saja. Di
dalam perkembangannya, peran eksekutif tidak cukup melaksanakan kebijakan yang
dibuat oleh legislatif, karena produk dari legislatif berisikan peraturan yang sangat luas,
sehingga dibutuhkan peraturan pelaksana yang dibuat sebagai turunan dari produk
peraturan legislatif. Contoh kebijakan Publik yag dibuat oleh eksekutif adalah
Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan/Peraturan Presiden (Keppres/Perpres),
Keputusan/Peraturan Menteri (Kepmen/Permen), Keputusan/Peraturan Gubernur,
Keputusan/peraturan Walikota/Bupati. Kebijakan Publik tidak lahir begitu saja, namun
melalui proses atau tahapan yang cukup panjang.

Misalnya menurut Anderson (dalam Widodo 2007 : 16) yang membedakannya dalam lima
langkah proses kebijakan, yaitu (a) agenda setting, (b) policy formulation, (c) policy adaption,
(d) policy Implementation, (e) policy assessmen/evaluation. Sementara Riplay (dalam Widodo
2007 : 16) membedakannya dalam empat tahapan, yaitu (a) agenda setting, (b) formulation and
legitimating of goals and programs, (c) program implementation, performance, and impact, and
program.
Kebijakan Publik, dibuat bukannya tanpa maksud dan tujuan, maksud dan tujuan dari
kebijakan public adalah untuk memecahkan masalah atau mencari solusi alternatif dari masalah
yang menjadi isu bersama yang berkembang di Masyarakat. Oleh karena itu tidak semua
masalah yang berkembang di masyarakat bisa melahirkan satu kebijakan publik, hanya
masalah publik yang dapat menggerakkan orang banyak untuk ikut memikirkan dan mencari
solusi yang bisa menghasilkan suatu kebijakan publik. Serta kebijakan publik pastinya tidak
akan memberikan kepuasan kepada seluruh masyarakat, akan tetapi pasti masih ada masyarakat
yang merasa tidak puas terhadap suatu kebijakan publik yang dibuat, hanya saja persentase
antara masyarakat yang mersa puas dan tidak puas haruslah jauh lebih banyak masyarakat yang
merasa puas daripada yang tidak puas.
Berdasarkan keseluruhan uraian maupun pengertian yang disebutkan diatas, maka dapat
diartikan bahwa pengertian kebijakan publik adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemerintah
untuk dikerjakan maupun tidak dikerjakan oleh pemerintah baik yang berbentuk perundang-
undangan tertulis maupun tidak tertulis.

9. Brian W. Hogwood & Lewis A. Gunn

Menurut Hogwood dan Gunn pendekatan Top-down dalam proses implementasi


merupakan pendekatan yang penting dalam implementasi kebijakan. Untuk mencapai
implementasi kebijakan yang sempurna, ada sepuluh syarat yang harus dipenuhi yaitu:

a. Situasi di luar badan/organisasi pelaksana tidak menimbulkan kendala-kendala besar


bagi proses implementasi (that circumstances external to the implementing agency do
not impose crippling constraints)
b. Tersedia cukup waktu dan cukup sumberdaya untuk melaksanakan program (that
adequate time and sufficient resources are made available to the programme)
c. Tidak ada kendala dalam penyediaan keseluruhan sumberdaya yang dibutuhkan,
termasuk sumberdaya yang dibutuhkan dalam setiap tahapan implementasi (that not
only are there no constraints in terms of overall resources but also that, each stages in
the implementation process, the required combination of resources is actually
available).
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasarkan pada teori sebab-akibat yang
valid.(That the policy to be implemented is based upon a valid theory of cause anda
effect).
e. Hubungan sebab-akibat tersebut hendaknya bersifat langsung dan sesedikit mungkin
ada hubungan antara (intervening variable) (the relationship between cause and effect
is direct and that there ara a few, if any, intervening links).
f. Diimplementasikan oleh lembaga tunggal yang tidak bergantung pada lembaga lainnya,
namun jika melibatkan lembaga lainnya, sebaiknya hubungan kebergantungan antar
lembaga tersebut sangat minim (that there is a single implementing agency that need
not depend upon other agencies for success, or if other agencies must be involved, that
the dependency relationships are minimal in number and importance).
g. Adanya pemahaman yang menyeluruh dan kesepakatan atas tujuan yang hendak
dicapai dan kondisi ini harus ada dalam seluruh proses implementasi (that there is
complete understanding of, and agreement upon, the objectives to be achieved, and that
these conditions persists throughout the implementation process) .
h. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati, harus menspesifikasikan tugas-
tugas yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak yang terlibat, dalam urutan
langkah pelaksanaan secara lengkap, detail dan sempurna (in the moving toward agreed
objectives it is possible to specify, in complete detail and perfect sequence, the tasks to
be performed by each participant) .
i. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna antara berbagai elemen yang
terlibat dalam program (that there is perfect communication among, and co-ordination
of, the various elements involved in the programme),
j. Bahwa yang berwenang dapat menuntut dan menerima kepatuhan yang sempurna (That
those in authority can demand and obtain perfect obedience).

Ada beragam sumber daya, misalnya. Waktu, keuangan, sumber daya manusia, peralatan
yang harus tersedia dengan memadai. Disamping itu, sumber daya tersebut harus kombinasi
berimbang. Tidak boleh terjadi ketimpangan, misalnya sumber daya manusia cukup memadai
tetapi peralatan tidak memadai, atau sumber keuangan memadai tetapi ketersedian waktu dan
keterampilan tidak cukup. Hambatan lain, kondisi eksternal pelaksana harus dapat dikontrol
agar kondusif bagi implementasi kebijakan. Ini cukup sulit sebab kondisi lingkungan sangat
luas, beragam serta mempunyai karakteristik yang spesifik sehingga tidak mudah untuk dapat
dikendalikan dengan baik. Misalnya sistem sosial, hal ini sangat sulit untuk dikendalikan sebab
sudah sangat lama ada, tumbuh berkembang, dan sudah menjadi tradisi dan kepercayaan
masyarakat. Contoh lingkungan eksternal lainnya yang sulit dikontrol adalah keadaan ekonomi
masyarakat, dimana sangat tidak mudah untuk mengubah keadaan ekonomi masyarakat,
apalagi dalam waktu dekat demi implementasi suatu kebijakan public. Teori ini juga
mensyaratkan adanya komunikasi dan koordinasi sempurna. Seringkali, dalam pelaksanaan
suatu kegiatan, kedua hal ini kurang mendapatkan perhatiaan dengan baik. Apalagi harus
sempurna. Hal ini sering diperburuk karena adanya ego sektoral.

10. Thomas B. Smith

Menurut Smith (1973), ketika kebijakan public dianggap sebagai dorongan yang
menyebabkan ketegangan, maka diperlukan langkah untuk mempertimbangkan konteks dari
implementasi kebijakan. Ada empat faktor penting dalam proses implementasi kebijakan yaitu:

1. Idealized Policy, yaitu pola interaksi yang diidealkan oleh perumus dengan tujuan
mendorong target group untuk melaksanakan kebijakan. Ada empat kategori variable yang
berkaitan dengan idealized policy yaitu
a. The Formal Policy
Merupakan pernyataan keputusan formal, hukum, atau program yang akan
diimplementasikan oleh pemerintah
b. Tipe Kebijakan
Tipe kebijakan terbagi menjadi tiga kategori dimana kebijakan dapat berbentuk
kompleks atau sederhana, kebijakan dapat dikategorikan seabgai organizational atau
non-organizational, dan kebijakan dapat diklasifikasikan sebagai distributive, re-
distributive, regulatory, self-regulatory, atau emotive-symbolic
c. Program
Ada tiga aspek program dalam kebijakan yang terdiri dari (1) intensitas dukungan
pemerintah dalam implementasi kebijakan; (2) sumber kebijakan; dan (3) cakupan

2. Target Group, didefinisikan sebagai mereka yang dibutuhkan untuk beradaptasi terhadap
pola interaksi baru dari kebijakan. Mereka adalah orang di dalam organisasi atau kelompok
yang paling terpengaruh dengan kebijakan dan merupakan orang yang harus berubah untuk
memenuhi permintaan dari kebijakan. Tiga hal yang berkaitan yaitu (1) tingkatan
organisasi atau institusi dari target group; (2) kepemimpinan dari target group; dan (3)
pengalaman kebijakan sebelumnya dari target group.
3. Implementing Organization, yaitu pelaksana yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan. Pelaksana tersebut dapat berupa organisasi ataupun perorangan yang
melaksanakan kebijakan di lapangan dengan bertugas sebagai pengelola, pelaksanaan serta
pengawasan. Ada tiga variable kunci dalam implementasi kebijakan diantaranya (1)
struktur dan personel yang akan mengimplementasikan kebijakan; (2) kepemimpinan dari
organisasi administrative; dan (3) kapasitas dan program dari organisasi pelaksana
implementasi.
4. Enviromental factors, yaitu unsur lingkungan yang dapat mempengaruhi implementasi.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan dalam menilai kinerja keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong
keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak
mendukung atau tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan proses
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi
lingkungan eksternal yang kondusif.

Gambar Teori Policy Implementation Process

Ketegangan atau tension dapat terjadi baik di dalam dan diantara empat faktor diatas. Contoh
dari ketegangan dalam komponen adalah ketidaksesuaian dalam organisasi pelaksana ketika
unit administrasi diinstruksikan untuk mengimplementasikan kebijakan yang jumlah
personelnya tidak memadai dalam jumlah atau keterampilan untuk pelaksanaan kebijakan.
Ketegangan antar komponen dapat terjadi antara kelompok sasaran dan komponen kebijakan
ideal ketika para pembuat kebijakan mengharapkan suatu kebijakan disambut oleh kelompok
sasaran dan penerimaan yang sebenarnya adalah permusuhan.
Pola transaksi diidentifikasi sebagai pola interaksi yang tidak terkristalisasi. Pola-pola ini
merupakan respons terhadap ketegangan, tekanan, dan hambatan di dalam dan antar bagian
komponen dari konteks implementasi kebijakan. Polanya, pada tahap ini, tidak memiliki
lembaga permanen. Fase transaksi dari proses implementasi kebijakan adalah penting. Sering
kali kebijakan pemerintah dimaksudkan hanya menghasilkan pola transaksi dan tidak dalam
pembentukan institusi permanen. Dan meskipun pembangunan institusi mungkin menjadi salah
satu tujuan utama dari kebijakan pemerintah, institusi tidak dapat dibentuk. Dalam memeriksa
suatu kebijakan yang membutuhkan adanya unit pemerintah daerah yang dipilih secara
populer, seseorang dapat memeriksa manifestasi dari respons terhadap ketegangan melalui
anggota unit yang terpilih, hubungan unit dengan sektor administrasi yang dominan di daerah
tersebut, dan kemampuan unit tersebut untuk memenuhi fungsi yang ditentukan. Yang juga
harus diperhitungkan adalah hubungan awal antara unit lokal dan populasi yang seharusnya
diwakilinya.

Karena proses implementasi kebijakan adalah proses yang berkelanjutan, sulit untuk
menentukan kapan (jika pernah) pola interaksi menjadi terkristalisasi dengan kuat ke dalam
institusi. Tingkat pelembagaan yang tepat sulit untuk ditentukan, tetapi beberapa langkah dapat
dijadikan pedoman, diantaranya:

1. Kemampuan lembaga untuk bertahan hidup di lingkungannya.

2. Sejauh mana lembaga dilihat oleh komponen sosial di sekitarnya

untuk memiliki nilai (baik otonomi dan pengaruh).

3. Apakah pola hubungan menjadi normatif untuk komponen sosial lainnya.

Harus ditekankan bahwa ini adalah proses sederhana bagi pemerintah untuk mendirikan
organisasi administratif atau politik untuk tujuan implementasi kebijakan.

Dengan proses umpan balik yang dimasukkan ke dalam model, menjadi sulit untuk berbicara
tentang "produk akhir" dari proses implementasi kebijakan. Fase umpan balik adalah bagian
penting dari model karena ini dengan jelas menunjukkan bahwa proses kebijakan adalah proses
yang berkelanjutan dan berkesinambungan yang mungkin tidak pernah memiliki tujuan akhir
dan pasti.
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi. 2014. Kesehatan Masyarakat dan Globalisasi. Jakarta: Rajawali Pres

Anderson, James E., dkk. 1984. Public Policy and Politics in America. cet. ke-2, h. 3.
California: Brooks/Cole Publishing Company.

Anderson, James E. 1984. Public Policy Making. cet. ke-3, h. 3. New York: Holt, Rinehart and
Winston.

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi ke 2. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Dye, Thomas R. 2005. Understanding Public Policy. New Jersey: Pearson Education Inc.

Kemenkes RI. 2016. GERMAS Wujudkan Indonesia Sehat.


http://www.depkes.go.id/article/view/16111500002/germas-wujudkan-indonesia-
sehat.html diakses pada tanggal 25 Februari 2019

Satrianegara, M. Fais. 2014. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. Jakarta:


Salemba Medika

Smith, Thomas B. 1973. The Policy Implementation Process. Policy Sciences. 4, pp. 197-209.

Wibowo, Adik. 2014. Kesehatan Masyarakat di Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Tantangan.
Jakarta: Rajawali Pres

http://ratuagung78.blogspot.com/2010/08/teori-kebijakan-publik.html, diunggah tanggal 23


Pebruari 2019

Anda mungkin juga menyukai