Anda di halaman 1dari 61

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kebijakan Publik

2.1.1.1 Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah seperangkat prinsip dasar dan pedoman terkait,

dirumuskan dan ditegakkan oleh badan pengatur organisasi, untuk mengarahkan

dan membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan jangka panjang Kebijakan

tumbuh dari upaya untuk mengatasi masalah tertentu dan mencapai hasil tertentu

(http://www.businessdictionary.com/definition/policy.html). Sedangkan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas

yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,

kepemimpinan, dan cara bertindak.

Istilah kebijakan ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan

kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan

hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya

suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan

hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang

diinginkan. Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses

pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi

berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya

berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme

9
10

politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan

eksplisit (https://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan). Demikian halnya Cambridge

Dictionary, mendefinisikan kebijakan sebagai “a set of ideas or a plan of what

to do in particular situations that has been agreed to officially by a group of

people, a business organization, a government, or a political party

(https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/policy). Kebijakan adalah

serangkaian ide atau rencana apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu

yang telah disetujui secara resmi oleh sekelompok orang, organisasi bisnis,

pemerintah, atau partai politik.

Definisi di atas menjelaskan kepada kita bahwa kebijakan adalah konsep

atau ide yang menjadi pedoman bagi pemerintahan, organisasi dan kelompok

sektor swasta, serta individu yang bersifat mengikat untuk mencapai suatu

tujuan.

Konsep kebijakan dalam banyak literature tidak dipahami dengan baik,

bahkan di antara para peneliti yang focus pada konsep ini tidak ada definisi

tunggal yang bisa disepakati atau diterima, namun kebijakan adalah apa yang

pejabat publik atau pemerintahan dengan ekstensi warga negara yang mereka

wakili, memilih untuk melakukan atau tidak melakukan (Stewart, 2014: 2)

Menurut Anderson (2011: 7-9) “policy is defined as a relatively stable,

purposive course of action or inaction followed by an actor or set of actors in

dealing with a problem or matter of concern, merurut Anderson kebijakan

didefinisikan sebagai tindakan atau tidak bertindak yang relatif stabil dan

bertujuan, diikuti oleh aktor atau serangkaian aktor dalam menangani masalah

atau masalah yang menjadi perhatian. Dalam penggunaan umum, istilah


11

kebijakan menunjuk perilaku beberapa aktor atau serangkaian aktor, seperti

pejabat, lembaga pemerintah, atau badan legislatif, di bidang kegiatan seperti

transportasi umum atau perlindungan konsumen. Kebijakan juga dapat

dipandang sebagai apa pun yang pemerintah pilih untuk lakukan atau tidak

lakukan.

Kebijakan (Policy) merupakan suatu tindakan yang mengarah pada

tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam

lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu

(Green Mind Community, 2009: 310). Makna yang termuat dalam terminologi

kebijakan itu sesungguhnya tidak cuma bersifat tekstual, melainkan lebih

bersifat konstekstual, karena dari waktu ke waktu mengalami perubahan.

Dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam

kaitannya dengan tindakan pemerintah. Dalam kaitan inilah mudah dipahami

jika kebijakan itu acapkali diberikan makna sebagai tindakan politik (Green

Mind Community, 2009: 309).

Winarno (2012: 21) mendefinisikan kebijakan sebagai arah tindakan

yang ditetapkan oleh seorang aktor dalam mengatasi suatu masalah atau

persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian

pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau

dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan

yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.

Madisson (2009: 3-4) memandang kebijakan dari 2 pandangan yakni: (1)

kebijakan adalah hasil dari pilihan otoritatif, di mana pemerintah membuat

kebijakan melalui proses vertikal dan hierarkis di mana seorang menteri


12

pemerintah menentukan hasil akhirnya. Ini adalah pandangan klasik tentang

kebijakan publik yang mendominasi bidang studi kebijakan; (2) kebijakan

adalah hasil interaksi terstruktur, dihasilkan melalui hubungan horisontal yang

kompleks di mana hasil akhirnya adalah produk kompromi dan akomodasi dari

kepentingan yang bersaing.

Engeli (2014: 17) mendefiniskan kebijakan sebagai tindakan yang

mengandung tujuan dan sarana untuk mencapainya, betapapun buruknya,

diidentifikasi, dibenarkan, diartikulasikan dan dirumuskan dengan baik atau

buruk. Definisi ini menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan melibatkan proses

teknis dan politik untuk mengartikulasikan dan menyamakan tujuan dan sarana

para pembuat kebijakan itu sendiri.

Akhirnya secara lebih spesifik, Hagwood dan Gunn dalam Cairney

(2012: 23) mengidentifikasi cara-cara yang lebih berbeda di mana 'kebijakan'

dapat dipahami: (1) sebagai label untuk sebuah bidang kegiatan (mis. kebijakan

kesehatan); (2) ekspresi niat (mis. 'kami akan meningkatkan layanan kesehatan');

(3) proposal spesifik (mis. manifesto atau pernyataan); (4) keputusan pemerintah

dan otorisasi resmi keputusan (mis. undang-undang); (5) sebuah program, atau

paket legislasi, kepegawaian dan pendanaan; (6) hasil, atau apa yang seharusnya

dicapai (kesehatan yang lebih baik); dan (7) suatu proses, bukan peristiwa, atau

serangkaian keputusan, bukan keputusan tunggal.

Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dan

dari berbagai sumber, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan adalah konsep

atau ide yang menjadi pedoman bagi pemerintahan, organisasi dan kelompok

sektor swasta, serta individu yang bersifat mengikat untuk dilakukan atau tidak
13

dilakukan, kebijakan adalah hasil dari pilihan otoritatif hasil interaksi terstruktur

yang melibatkan proses teknis dan politik untuk mengartikulasikan dan

menyamakan persepsi dalam mencapai suatu tujuan.

2.1.1.2 Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Dye (2013: 3) “Public policy is whatever governments choose

to do or not to do”, maksud dari pernyataan ini adalah bahwa apapun kegiatan

pemerintah baik yang eksplisit maupun implicit merupakan kebijakan.

Kebijakan publik menurut Dye ini dapat dimaknai bahwa kebijakan harus

dilakukan oleh pemerintah, namun kebijakan itu juga mengandung pilihan

dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

Pendapat senada juga kemukakan oleh Cohean (2015: 3). Ia

mendifinisikan sebagai institusi, norma, atau aturan apa pun yang ditegakkan

oleh pemerintah suatu negara untuk memandu perilaku masyarakat. Negara,

melalui pemerintah, memiliki banyak alat untuk mengarahkan perilaku

masyarakat, seperti hukum, peraturan, berbagai norma dan prosedur, anggaran,

peraturan, perintah eksekutif, dan sebagainya. Ini semua adalah cara membuat

orang melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, dengan memberikan

atau memberi tanda alasan untuk bertindak atau tidak bertindak dengan cara

tertentu.

Kedua pendapat baik Dye dan Chean fokus pada kebijakan public

sebagai tindakan pemerintah dalam mengatur perangkat kebijakan publik yang

tujuannya memberikan pedoman kepada masyarakat tentang apa yang harus

lakukan. Sementara kebijakan public bagi pemerintah sendiri sifatnya

mengandung pilihan, dilakukan atau tidak dilakukan.


14

Istilah kebijakan publik menurut Cochran et al. (2012: 2), public policy

refers to a set of actions by the government that includes, but is not limited to,

making laws and is defined in terms of a common goal or purpose. Kebijakan

publik mengacu pada serangkaian tindakan pemerintah yang mencakup tetapi

tidak terbatas pada, membuat undang-undang dan tujuan yang sama.

Anderson dalam Winarno (2012: 21) mengatakan bahwa kebijakan

merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh

seorang aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Konsep kebijakan

ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya

dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu,

konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan

di antara berbagai alternatif yang ada.

Santoso dalam Winarno (2012 : 22), mengkomparasi berbagai definisi

yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat pada bidang kebijakan

publik menyimpulkan bahwa, pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan

publik dapat dibagi kedalam dua wilayah kategori. Pertama, pendapat ahli yang

menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli

dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah

dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua menurut Amir

Santoso, berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada

pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi ke

dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai

keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud


15

tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki

akibat-akibat yang bisa diramalkan.

Para ahli yang termasuk kedalam kubu yang pertama, melihat kebijakan

publik dalam tiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan

kebijakan dan penilaian kebijakan. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan

publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi

dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah serangkaian

instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang

menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Sedangkan kubu kedua lebih melihat kabijakan publik terdiri dari rangkaian

keputusan dan tindakan. Oleh karena itu proposisi yang menyatakan bahwa

kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-

lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah harus mendapat perhatian

sebaik-baiknya agar bisa membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk

kebijakan yang lain, seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak

swasta.

Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi

ciri khusus dari kebijakan publik. Kenyataan bahwa kebijakan itu

diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh David Easton sebagai penguasa

dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi pada suku-suku,

anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator, penasehat raja dan

semacamnya. Menurut Easton mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat

dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, diakui oleh sebagian besar

anggota-anggota sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-


16

masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat

dalam waktu yang panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama

mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan (Winarno, 2012: 22-

23).

Kebijakan publik dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah,

meskipun aktor-aktor dan faktor-faktor nonpemerintah juga dapat

mempengaruhi pengembangan kebijakan publik. Karakteristik khusus dari

kebijakan publik menurut ilmuwan politik David Easton adalah "otoritas" dalam

sistem politik, yang Ia sebut, "tetua, pimpinan tertinggi", eksekutif, legislator,

hakim, administrator, anggota dewan, raja, dan sejenisnya". Lebih lanjut

Anderson menjelaskan bahwa orang-orang yang sehari-hari terlibat dalam

politik, diakui oleh sebagian besar anggota sebagai orang yang memiliki

tanggung jawab" dan mampu mengambil tindakan yang dapat diterima oleh

sebagian besar anggota selama mereka bertindak dalam batas-batas aturan yang

mereka sepakati. Singkatnya, kebijakan publik adalah kebijakan yang diproduksi

oleh pejabat dan lembaga pemerintah. Mereka juga biasanya mempengaruhi

sejumlah besar orang. Ada beberapa implikasi dari konsep kebijakan publik

yakni bahwa kebijakan public sebagai tindakan yang relatif stabil dan bertujuan

yang diikuti oleh pemerintah dalam menangani beberapa masalah atau masalah

yang menjadi perhatian (Anderson, 2011: 7-9).

Istilah kebijakan publik mengacu pada serangkaian tindakan oleh

pemerintah yang mencakup, tetapi tidak terbatas pada, membuat undang-undang

dan didefinisikan dalam hal tujuan atau tujuan yang sama (Cochran et al., 2012:

1-2). Demikian halnya dengan Indiahono (2017: 18) yang menyatakan bahwa
17

kebijakan public dalam kerangka substantive adalah segala aktifitas yang

dilakukan pemerintah untuk memecahkan masalah public. Kedua pendapat di

atas Cochran dan Indiahono memiliki kesamaan yakni bahwa kebijakan public

adalah produk atau tindakan pemerintah yang tujuannya adalah untuk

menyelesaikan masalah public dalam mencapai tujuan bersama.

Kebijakan bukanlah tindakan tunggal, tetapi serangkaian tindakan yang

dikoordinasikan untuk mencapai tujuan. Tindakan semacam itu dapat

dimanifestasikan dalam undang-undang, pernyataan publik, peraturan resmi,

atau pola perilaku yang diterima secara luas dan dapat dilihat oleh publik, seperti

penerapan undang-undang yang ada untuk mengendalikan dan mencegah

kejahatan. Namun, kebijakan publik pada akhirnya berakar pada hukum dan

dalam otoritas dan paksaan yang terkait dengan hukum.

Ada tiga kualifikasi diperlukan untuk definisi kebijakan publik menurut

Cochran et al, (2012: 1-2). yaitu:

1. Ide tindakan yang disengaja termasuk keputusan yang dibuat untuk tidak

mengambil tindakan tertentu.

2. Persyaratan bahwa tindakan resmi dapat disetujui oleh hukum atau kebiasaan

yang diterima diperlukan karena pejabat publik sering mengambil tindakan

yang tidak sesuai dengan kebijakan yang ada.

3. Hukum atau peraturan resmi tidak boleh disalahartikan sebagai keseluruhan

bidang kebijakan; kebijakan juga tidak selalu memenuhi sasaran yang

dimaksudkan. Pembuatan undang-undang tidak cukup untuk membuat

kebijakan; implementasi, interpretasi, penegakan, dan dampak kebijakan

juga merupakan bagian dari proses pembuatan kebijakan.


18

Sementara itu, Santoso dalam Winarno (2012: 22), mengkomparasi

berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat pada

bidang kebijakan publik menyimpulkan bahwa, pada dasarnya pandangan

mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah kategori.

Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan tindakan-

tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap

bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik.

Pandangan kedua menurut Amir Santoso, berangkat dari para ahli yang

memberikan perhatian khusus kepada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang

masuk dalamkategori ini terbagi kedalam dua kubu, yakni mereka yang

memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang

mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap

kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli

yang termasuk ke dalam kubu yang pertama, melihat kebijakan publik dalam

tiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan

penilaian kebijakan. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara

ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi

kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dari

para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-

tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan kubu kedua

lebih melihat kabijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan.

Oleh karena itu proposisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan

kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-

pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar bisa


19

membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain,

seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta.

Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi

ciri khusus dari kebijakan publik. Kenyataan bahwa kebijakan itu

diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh David Easton sebagai penguasa

dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi pada suku-suku,

anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator, penasehat raja dan

semacamnya. Menurut Easton mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat

dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, diakui oleh sebagian besar

anggota-anggota sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-

masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat

dalam waktu yang panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama

mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan (Winarno, 2012: 22-

23).

Kebijakan publik dalam kerangka substansial adalah segala aktifitas yang

dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang dihadapi.

Dengan membawa kebijakan publik dalam ranah upaya pemecahan masalah

publik, maka administrasi publik akan lebih mewarnai. Kebijakan publik

diarahkan pemerintah untuk memecahkan masalah publik dalam memenuhi

kepentingan dan penyelenggaraan urusan-urusan publik. Kebijakan publik

sejauh mungkin diupayakan berada dalam garis kebijakan yang berorientasi pada

sebesar-besarnya kepentingan publik. Kebijakan publik melibatkan banyak aktor

yang berkepentingan didalamnya. Nilai-nilai rasional yang dikembangkan dalam


20

analisis kebijakan publik sejauh mungkin didekatkan kepada kepentingan publik

(Friedrich dalam Anderson, 1979 : 2).

2.1.1.3 Tahap-tahap Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks

karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh

karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan

publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa

tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita didalam

mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli membagi tahapan-

tahapan kebijakan ini dengan urutan yang berbeda misalnya, tahap penilaian

kebijakan seperti yang tercantum dibawah ini bukan merupakan tahap akhir dari

proses kebijakan publik, sebab masih ada satu tahap lagi, yakni tahap perubahan

kebijakan dan terminasi atau penghentian kebijakan (Winarno, 2012: 35).

Tahap-Tahap Kebijakan Publik (Public Policy) menurut Dunn (1998: 24) ,

adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Penyusunan agenda (Agenda Setting) adalah sebuah fase dan proses

yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Sebelum kebijakan

ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda

dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan

dijadikan prioritas untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan

kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Dalam

proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai

masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika


21

sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan

mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak

mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam

agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang

akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues)

sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem).

2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulating)

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan

untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah

tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama

halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda

kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif

bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk

memecahkan masalah.

3. Adopsi/Legitimasi Kebijakan (Policy Adoption)

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses

dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur

oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.

Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.

Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan

niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir

pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi


22

simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk

mendukung pemerintah.

4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut

kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali

menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan

secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai

faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.

Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak

serta merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan

keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang

dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.

5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan

yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup

substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang

sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya

dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses

kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap

perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan

untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap

dampak kebijakan.
23

2.1.1.4 Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Untuk mengukur apakah suatu kebijakan berhasil atau tidak tentunya

dilihat dari apakah tujuan kebijakan itu tercapai atau tidak sebaliknya dikatakan

tidak berhasil kalau tujuan kebijakan tidak tercapai. Kegagalan sebuah kebijakan

seringkali dikarenakan kebijakan tersebut tidak dapat diimplentasikan. Tahap

terpenting setelah suatu kebijakan publik ditetapkan adalah bagaimana

keputusan itu dilaksanakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara

agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Berdasarkan pendapat Dunn,

implementasi suatu kebijakan publik merupakan proses yang inheren dengan

kebijakan public itu sendiri. Artinya implementasi kebijakan publik merupakan

suatu proses yang (hendaknya) dirancang bersamaan dengan perancangan

kebijakan publik yang bersangkutan.

Sejalan dengan itu, Grindle (1980: 6) mengatakan implementasi memiliki

tugas“... to establish a link that allows the goals of public policies to be realized

as outcomes of governmental activity”. Implementasi merupakan sebuah

jembatan yang menghubungkan antara tujuan kebijakan publik dengan realitas

yang diinginkan. Implementasi menurut Pressman dan Wildavsky adalah “to

carry out, accomplish, fulfil, produce, complete” (Nakamura,et.al, 1980: 13).

Dari pengertian ini, implementasi dapat dikemukakan sebagai suatu kegiatan

untuk menyempurnakan apa yang dikehendaki pembuat kebijakan, yang berarti

pula menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

Dari berbagai pendapat ahli di atas, implementasi dapat diartikan sebagai

suatu kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang dituangkan dalam

suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga negara


24

lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam kebijakan

tersebut. Apabila proses implementasi telah berjalan, maka diharapkan akan

muncul suatu keluaran yaitu hasil segera (effect) dan dampak akhir (impact).

Hasil segera adalah pengaruh atau akibat jangka pendek yang dihasilkan oleh

suatu implementasi kebijakan, sedangkan dampak kebijakan adalah sejumlah

akibat yang dihasilkan oleh implementasi kebijakan melalui proses jangka

panjang. Hasil segera dan dampak yang ditimbulkan akan sangat

berguna untuk menilai implementasi dari suatu kebijakan.

Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna karena

implementasi kebijakan pada umumnya lebih sukar daripada sekedar

merumuskannya. Proses formulasi kebijakan memerlukan pemahaman

berbagai aspek dan disiplin ilmu yang terkait serta pertimbangan mengenai

berbagai pihak, baik dalam posisinya sebagai stakeholder maupun

berbagai aktor namun implementasi menyangkut kondisi nyata yang

sering berubah dan sukar diprediksikan. Disamping itu, dalam perumusan

kebijakan biasanya terdapat asumsi, generalisasi dan simplikasi, yang dalam

implementasi tidak mungkin dilakukan. Akibatnya, dalam kenyataan terjadi

apa yang disebut Andrew Dunsire sebagai “implementing gap”, yakni

kesenjangan atau perbedaan antara apa yang telah dirumuskan dengan apa

yang dapat dilaksanakan. Dalam batas tertentu kesenjangan ini masih

dapat dibiarkan, sekalipun dalam monitoring harus diidentifikasi untuk

segera diperbaiki. Kesenjangan yang lebih besar dari batas toleransi harus

segera diperbaiki. Besar kecilnya kesenjangan tersebut sedikit banyak

tergantung pada apa yang oleh Walter Williams disebut sebagai


25

“implementation capacity” dari organisasi atau aktor atau kelompok

organisasi atau aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas

mengimplementasikan kebijakan tersebut. “implementation capacity” tidak

lain adalah kemauan suatu organisasi atau aktor untuk melaksanakan keputusan

kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa

tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan

dapat dicapai (Wahab, 1997: 61). Menurut Hogwood dan Gunn, dalam

Sumaryadi (2005: 85) kegagalan kebijakan (policy failure) dapat

disebabkan antara lain:

1. Karena tidak dilaksanakan/dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya Non

implementation

2. Karena tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan

unsuccessful implementation. Non implementation mengandung arti bahwa

suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena

pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama,

atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati, atau

karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau

kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kekuasaannya,

sehingga, betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada

tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif

sukar untuk dipenuhi..

Sementara itu, unsuccessful implementation biasanya terjadi

manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan

rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan


26

(misalnya tiba-tiba terjadi pergantian kekuasaan, bencana alam, dan sebagainya),

kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir

yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang mempunyai resiko untuk gagal

tersebut disebabkan oleh pelaksanaannya jelek (bad execution) kebijakan itu

sendiri yang jelek (bad policy), atau kebijakan tersebut memang bernasib jelek

(bad luck).

2.1.1.5 Model Implementasi Kebijakan Publik

Keberhasilan implementasi sebuah kebijakan akan ditentukan oleh

banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling

berhubungan satu sama lain. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat

ditentukan oleh model implementasi yang mampu menjamin kompleksitas

masalah yang akan diselesaikan melalui kebiajakan tertentu. Model

implementasi kebijakan ini tentunya diharapkan merupakan model yang

semakin operasional sehingga mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar

variabel yang terkait dengan kebijakan (Sumaryadi, 2005: 88).

2.1.1.5.1 Model Implementasi Kebijakan Publik Van Horn dan Van

Meter

Implementasi kebijakan memiliki berbagai model, model pertama

adalah model yang paling klasik yang diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan

Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa implementasi

kebijakan berjalan secara liniear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja

kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang

mempengaruhi kebijakan publik adalah varibel berikut:

1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi.


27

2. Karakteristik agen pelaksana/ implementor.

3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik.

4. Kecenderungan (disposition) palaksana/Implementor. (Nugroho, 2008: 438).

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan

dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan

kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. Yang dimaksud

agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola

hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan

mempengaruhi implementasi suatu program. Kemudian pada variabel kondisi

ekonomi, sosial, dan politik mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang

dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauh mana

kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;

karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat

opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung

implementasi kebijakan. Selanjutnya yang dimaksud disposisi implementor

mencakup tiga hal yang penting, yakni:

a. Tanggapan, implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan;

b. Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan,

c. Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh

implementor. (Nugroho, 2008: 438).

2.1.1.5.2 Model Implementasi Kebijakan Publik Mazmanian dan Sabatier

Model implementasi kebijakan publik yang kedua adalah model

implementasi yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A.Sabatier


28

(1983) yang mengemukakan tiga kelompok variabel yang mempengaruhi

keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu karakteristik dari masalah

(Trackability of the problem), sebuah karakteristik kebijakan (Ability of statute

to structure implementation) dan lingkungan kebijakan (Non Statutory Variables

Affecting Implementation) (Anggara, 2014: 257-261)

Model Mazmanian dan Sabatier disebut model Kerangka

Analisis Implementasi Framework for Implementation analysis:

a. Karakteristik masalah

1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Disatu pihak

ada beberapa masalah sosial secara teknis mudah dipecahkan, seperti

kekurangan persediaan air minum bagi penduduk atau harga

beras yang tiba-tiba naik. Dipihak lain terdapat masalah-masalah

sosial yang relatif sulit dipecahkan seperti kemiskinan,

pengangguran, korupsi, dan sebagainya. Oleh karena itu, sifat masalah

itu sendiri akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu

diimplementasikan.

2) Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Ini berarti suatu program

akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya

heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih kuat, karena

tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap program

relatif berbeda-beda.

3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan

relatif sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua


29

populasi. Sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan

apabila jumlah kelompok sasaran tidak terlalu besar.

4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang

bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif

mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk

mengubah sikap dan perilaku masyarakat.

b. Karakteristik kebijakan

1) Kejelasan isi kebijakan

Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan akan lebih

mudah untuk diimplementasikan karena implementor mudah memahami

dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan

kebijakan ini merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi.

2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis Kebijakan

yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebih mantap karena sudah

teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan sosial tertentu perlu ada

modifikasi

3) Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut.

Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program

sosial.Setiap program juga memerlukan dukungan staff untuk melakukan

pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program,

yang semuanya itu perlu biaya.

4) Seberapa besar ada keterpautan dan dukungan antar berbagai

institusi pelaksana. Kegagalan sebuah program sering disebabkan


30

kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal antar instansi yang terlibat

dalam implementasi program.

5) Kejelasan dan konsistensi aturan.

6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.

Kasus korupsi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga

khususnya di Indonesia salah satu penyebab utamanya adalah,

rendahnya tingkat komitmen aparat dalam melaksanakan tugas

pekerjaan atau program-program.

7) Seberapa luas akses kelompok di luar untuk berpartisipasi dalam

implementasi kebijakan. Suatu program yang memberikan peluang

luas bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya akan relatif

mendapatkan dukungan daripada program yang tidak melibatkan

masyarakat. Masyarakat akan merasa terasing apabila hanya menjadi

penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.

c. Lingkungan kebijakan

1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.

Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah

menerima program-program pembaruan dibanding dengan masyarakat

yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga kemajuan teknologi

akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi sebuah

program, karena program-program tersebut dapat disosialisasikan dan

diimplementasikan dengan bantuan teknologi modern.

2. Dukungan publik terhadap kebijakan


31

Kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah

mendapatkan dukungan publik. Sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-

insentif, seperti kenaikan harga BBM atau kenaikan pajak akan kurang

mendapat dukungan publik.

3. Sikap dari kelompok pemilih (constituenty groups)

Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat

mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain:

1) kelompok pemilih dapat melakukan investasi terhadap keputusan yang

dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud

mengubah keputusan; 2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan

untuk mempengaruhi badan- badan pelaksana secara tidak langsung

melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja yang dijalankan oleh

badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada

badan legislatif.

4. Tingkat komitmen keterampilan dari aparat dan implementor.

Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan

tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling

krusial. Aparat dari badan-badan pelaksana harus memiliki keterampilan

dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan

prioritas tujuan tersebut.

2.1.1.5.3 Model Implementasi Kebijakan Publik Brian W. Hogwood

dan Lewis A. Gunn (The Top Down Approach)


32

Menurut Hogwood dan Gunn dalam Wahab, (2004: 71-78), untuk

dapat mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna (perfect

implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu, yaitu:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana

tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala

pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para

administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar

jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup

memadai.

Syarat kedua ini kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang

bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakan fisik

dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan

karena alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek,

khususnya persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya

adalah bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian

tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan

untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan

terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya

pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai.

Masalah lain yang biasa terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai

pelaksanaan program sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo

yang sangat singkat, kadang lebih cepat dari kemampuan program/proyek

untuk secara efektif menyerapnya.


33

Salah satu hal yang perlu pula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu

pada dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih

sekedar penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya.

Oleh karena itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan berupa

kelambanan atau hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu

proses mengubah uang itu menjadi sumber-sumber yang dapat

dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan program atau

proyek.

Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana

proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali

menjadi penyebab kenapa instansi-instansi pemerintah (baik pusat

maupun daerah) selalu berada pada situasi kebingungan, sehingga karena

takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau dilakukan hal-

hal yang seharusnya tidak perlu.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar -benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua,

artinya disatu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua

sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses

impelementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar

dapat disediakan.

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang handal.

Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara

efektif bukan lantaran karena kebijakan tersebut telah diimplementasikan


34

secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri memang

buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari, tidak lain karena

kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai

mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebab- sebab timbulnya

masalah dan cara pemecahannya, atau peluang- peluang yang tersedia

untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang

diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini

Pressman dan Wildavsky (1973), menyatakan secara tegas bahwa setiap

kebijakan pemerintah pada hakikatnya memuat hipotesis (sekalipun

tidak secara eksplisit) mengenai kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat

yang diramalkan bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena itu, apabila

ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka kemungkinan penyebabnya

bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi landasan kebijakan tadi

dan bukan karena implementasinya yang keliru.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnya.

Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky (1973) juga

memperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab-

akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan

mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai

kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai

penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya. Semakin

banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa
35

beberapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat

dilaksanakan dengan baik.

6. Hubungan ketergantungan harus kecil.

Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan

bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal, yang untuk keberhasilan

misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada badan-badan lain, atau

kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan badan- badan/instansi-

instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-

organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik artian jumlah

maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata

tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan

tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap tahapan

diantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang bagi

keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar apkan

kemungkinan akan semakin berkurang.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan

ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai, dan

kesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan yang

penting, keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses

implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas,

spesifik, dan lebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan,

dipahami, serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam

organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta mampu


36

berperan selaku pedoman dengan mana pelaksana program dapat

dimonitor.

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratan

ini mengandung makna bahwa dalam mengayun langkah menuju

tercapainnya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan

untuk merinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas

yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna

Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi

dan koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang

terlibat dalam program. Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa

guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan

suatu sistem satuan administrasi tunggal (unitary administrative system)

seperti halnya satuan tentara yang besar yang hanya memiliki satuan

komando, tanpa kompartementalisasi atau konflik di dalamnya.

Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan

mengkomunikasikan informasi maupun membentuk struktur-struktur

administrasi yang cocok, melainkan menyangkut persoalan yang lebih

mendasar, yakni praktik pelaksanaan kekuasaan. Pihak-pihak yang memiliki

wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang

sempurna.

Pernyataan yang terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi

ketundukan penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap


37

perintah/komando dari siapapun dalam system administrasi itu. Apabila

terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka ia harus dapat

didefinisikan oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini

mungkin oleh sistem pengendalian yang handal. Dengan kata lain, persyaratan

ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang seharusnya

juga mereka yang memilki kekuasaan dan mampu menjamin tumbuh

kembangnya sikap patuh yang menyeluruh dan serentak dari pihak-pihak

lain (baik yang berasal dari kalangan dalam badan atau organisasi sendiri

maupun yang berasal dari luar) yang kesepakatan dan kerjasamanya amat

diperlukan demi berhasilnya misi program.

2.1.2 Inkonsistensi Penetapan Kebijakan

Pengertian Konsistensi dan Inkonsistensi Kebijakan

Menurut Kamus Besar Bhasa Indonesia (KBBI), Konsistensi adalah

ketetapan dan kemantapan (dalam bertindak); atau biasa juga disebut

ketaatasasan; dalam referensi lain disebutkan bahwa konsistensi adalah

kesesuaian dalam penerapan sesuatu, yang biasanya yang diperlukan demi

logika, akurasi, atau keadilan.

Wohltmann dan Kromer (1989) mendefinisikan konsistensi sebagai

urutan aturan, satu untuk setiap periode waktu, yang menentukan keputusan

kebijakan yang bergantung pada keadaan pada periode tersebut. Setiap aturan

keputusan memiliki sifat yang optimal mengingat elemen-elemen urutan

berikutnya. Aturan optimal dalam periode waktu berikutnya hanyalah kelanjutan

dari rencana optimal periode pertama.


38

Menurut King (2009) konsistensi adalah situasi yang timbul ketika

seseorang membuat komitmen untuk mengambil tindakan di masa depan. Jika

insentif untuk menjaga komitmen sama dengan insentif untuk membuat

komitmen, maka contohnya adalah waktu yang konsisten. Namun, jika insentif

untuk menjaga komitmen jauh lebih kecil daripada insentif untuk membuat

komitmen, maka kita katakan bahwa contohnya adalah tidak konsisten atau ada

masalah Inkonsistensi (https://www.econlib.org/time_consistenc.html).

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain

dimensi penyampaian informasi (transmission), kejelasan (clarity), dan

konsistensi (consistency). Dimensi Transmission yaitu menghendaki agar

kebijakan publik disampaikan tidak hanya kepada pelaksana kebijakan, tetapi

juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan. Dimensi kejelasan

(clarity) berarti menghendaki agar kebijakan yang dtransmisikan kepada para

pelaksana, sasaran kebijakan dapat diterima dengan jelas. sehingga diantara

mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan dari kebijakan. Dimensi

Konsistensi (consistency) yaitu perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu

komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan.

Menurut Cambridge Disctionary, Inkinsistensi adakah sebuah situasi di

mana dua hal tidak sesuai dan bertentangan. Sementara itu, menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia adalah tindakan yang tidak taat asas; suka berubah-ubah

(tentang sikap atau pendirian seseorang, pemakaian atau pengejaan kata)/

Konsistensi kebijakan berarti kompatibilitas dan keseragaman jalannya

tindakan antara pemangku kepentingan tingkat atas ke bawah sehingga dapat

diikuti dengan benar dan efisien oleh masyarakat tanpa menciptakan konflik
39

(IGI Global.com). inkonsistensi adalah sebuah situasi di mana sebuah rencana

tidak berjalan sesuai dengan yang diharapan, dengan kata lain ada perilaku yang

tidak konsisten (https://en.wikipedia.org/wiki/Dynamic_inconsistency).

Menurut Ha, Thanh dan Thang (2020) Implementasi kebijakan yang

tidak inkonsisten akan menyebabkan keadaan fluktuatif dan mendistorsi

jalannya suatu kebijakan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk mengatasi

adanya inkonsistensi perlu dilakukan analisis kebijakan kemudian selanjutnya

membuat kebijakan baru untuk mengatasi kondisi yang ada.

Berdasarkan konsep di atas menurut penulis, inkonsistensi kebijakan

timbul akibat dari adanya kesenjangan implementasi kebijakan yang diterapkan.

Dengan kata lain bahwa konsisten dari sudut pandang kebijakan adalah suatu

kebijakan di mana pembuat kebijakan di masa depan tidak memiliki kesempatan

untuk mengingkari. Sebaliknya, Inkonsistensi kebijakan adalah suatu kebijakan

tidak memiliki konsistensi dimana pembuat kebijakan di masa depan memiliki

sarana dan motivasi untuk melanggar komitmen.

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Inkonsistensi Kebijakan

Penelitian yang dilakukan oleh Lacso dan Rossi (2019) menemukan

bahwa faktor penentu keberhasilan penerimaan pajak adalah dengan konsisten

dalam menetapkan kebijakan pajak. Hal ini berarti bahwa pengambil kebijakan

harus memiliki komitmen yang tegas dalam menetapkan suatu kebijakan.

Menurut Grindle (1980), bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik

dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of

policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi

kebijakan (content of policy) mencakup hal: (1) sejauh mana kepentingan


40

kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan publik; (2)

jenis manfaat yang diterima oleh target group; (3) sejauh mana perubahan yang

diinginkan oleh kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5)

apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan

(6) sumberdaya yang disebutkan apakah sebuah program didukung oleh

sumberdaya yang memadai.

Variabel lingkungan kebijakan (context of implementation) mencakup

hal-hal: (1) seberapa besar kekuatan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki

oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik

institusi dan rezim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan

responsivitas kelompok sasaran. Pendapat yang dikemukakan Grindle jika tidak

diimplementasikan dengan benar maka akan terjadi ketidakkonsistenan

implementasi, dana pada akhirnya kebijakan tidak berjalan sesuai dengan yang

diharapkan.

Menurut Agustino (2017) Indikator efektifitas implementasi kebijakan

ditandai dengan: (1) apabila tujuan kebijakan tidak dapat dipenuhi; (2) jika

orang-orang tetap bertindak dengan cara yang tidak diinginkan oleh pembuiat

kebijakan; (3) jika subjek kebijakan tidak memakai cara yang ditentukan oleh

pembuat kebijakan; dan (4) jika subjek kebijakan berhenti mengerjakan apa

yang ditentukan.

Menurut Wibawa (dalam Hessel dkk, 2008:7) implementasi kebijakan

merupakan pengejawatan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar,

biasanya tertuang dalam suatu undang-undang, namun juga dapat berbentuk

instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan.


41

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat berkaitan erat dengan beberapa

aspek diantaranya pertimbangan para pembuat kebijakan, komitmen dengan

konsistensi tinggi para pelaksana kebijakan dan prilaku sasaran.

Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai

sebuah proses pengumpulan sumber daya alam, manusia maupun biaya dan

diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai

tujuan kebijakan. Menurut Teori George C. Edwards III (dalam Riant

Nugroho, 2009:636) implementasi kebijakan salah satunya dipengaruhi oleh

cara berkomunikasi, dan salah satu alat komunikasi. Perintah yang diberikan

dalam pelaksanaan komunikasi harus konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau

dijalankan). karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka

dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana dilapangan.

Eulau dan Prewitt dalam Agustino (2006) mendefinisikan kebijakan

publik sebagai keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan

pengulangan (repitisi) tingkahlaku dari mereka yang membuat dan dari mereka

yang mematuhi keputusan.Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono

(2005) terdapat tiga kelompok variabel yang berpengaruh terhadap implementasi

suatu kebijakan Kejelasan dan konsistensi aturan.

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:97), komunikasi kebijakan

memiliki dimensi konsistensi (consistency). Dimensi konsistensi diperlukan agar

kebijakan yang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkan pelaksana

kebijakan, target grup dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Agustino, (2017: 156-162) ada beberapa faktor yang

mengakibatkan suatu implementasi kebijakan tidak efektif:


42

1. Respek Anggota Masyarakat Pada Otoritas dan Keputusan Pemerintah

Kodrat manusia, bila merujuk pada filsafat politik John Locke, dikatakan

memiliki state of nature yang positif. Ini artinya, manusia dapat menerima

dengan baik hubungan relasional antar-individu. Ketika relasi ini berjalan

dengan baik, maka logikanya seluruh warga akan saling hormat-menghormati,

memberikan respek pada otoritas, memberikan penghargaan yang tinggi pada

ilmu dan pengetahuan, menghormati undang-undang yang dibuat oleh

pemerintah, mematuhi aturan hukum, mempercayai pejabat-pejabat pemerintah,

dan sebagainya. Kepatuhan-kepatuhan ini akan terus berlangsung selama

individu dalam masyarakat tersebut masih menganggap masih cukup banyak

alasan dan argumen untuk menghormati kepatuhan-kepatuhan itu.

Dalam arti kata lain, memang manusia (secara kodrati) secara moral

menyadari bahwa perundangan dan hukum harus mereka patuhi sebagai suatu

hal yang benar dan baik. Dalam hal ini, faktor penentu keefektifan palaksanaan

kebijakan didasarkan atas penghormatan dan penghargaan publik pada

pemerintah yang legitimate. Ini merupakan kata kunci penting bagi terwujudnya

pemenuhan atas pengejawantahan kebijakan publik. Apabila publik

menghormati pemerintah yang berkuasa oleh karena legitimasinya, maka secara

otomatis mereka akan turut memenuhi ajakan pemerintah melalui pelbagai

bentuk kebijakan.

2. Kesadaran Untuk Menerima Kebijakan

Dalam masyarakat yang digerakkan oleh logika rational choices (pilihan-

pilihan rasional), banyak dijumpai individu atau kelompok warga yang mau

menerima dan melaksanakan kebijakan publik sebagai sesuatu yang logis,


43

rasional, serta memang dirasa perlu. Namun di sisi lain, terdapat individu atau

kelompok yang juga tidak suka membayar pajak, apalagi dalam kondisi

perekonomian yang tengah melemah; tetapi jika individu atau kelompok tersebut

percaya bahwa dengan membayar pajak dapat memberikan kontribusi atas

perbaikan perekonomian bangsa, maka individu atau kelompok tadi akan secara

sadar untuk membayar pajak. Tetapi hal itu tidak mudah. Hal itu terkait dengan

‘kesadaran’ publik olehnya itu, pemerintah perlu merubah mindset warga.

3. Ada atau Tidaknya Sanksi Hukum

Faktor penentu lainnya agar implementasi kebijakan dapat berjalan

efektif adalah sanksi hukum. Orang akan melaksanakan dan menjalankan suatu

kebijakan (kendati dengan perasaan terpaksa) karena mereka takut terkena

dampak sanksi hukum yang dijabarkan oleh konten suatu kebijakan seperti

denda, kurungan, dan sanksi lainnya. Oleh karena itu, salah satu strategi yang

sering digunakan oleh pembuat kebijakan agar subjek kebijakan menjalankan

arahan kebijakan, maka sanksi hukum dihadirkan pada setiap kebijakan yang

dibuatnya. Selain itu, subjek kebijakan seringkali mematuhi dan melaksanakan

suatu aturan perundangan karena ia tidak suka dikatakan sebagai orang yang

melanggar aturan hukum sehingga dengan terpaksa mereka melakukan apa yang

diarahkan oleh kebijakan tersebut.

4. Kepentingan Pribadi atau Kelompok

Subjek kebijakan (individu maupun kelompok) sering memperoleh

keuntungan langsung dari suatu pelaksanaan kebijakan. Maka tidak heran

apabila efektifitas suatu implementasi kebijakan ikut dipengaruhi oleh

penerimaan dan dukungan subjek kebijakan atas pelaksanaan suatu kebijakan.


44

Sebagai contoh, pemerintah berencana membuat jalan pintas antar-kota yang

menyita beberapa hektar tanah miliki warga melalui mekanisme pembebasan

tanah. Ada beberapa warga yang menolak karena mekanisme ganti-rugi yang

dibuat oleh pemerintah dinilai merugikan mereka. Tapi di sisi lain, ada juga

warga yang sangat mendukung atas pelaksanaan projek pembangunan jalan

tersebut. Mengapa ada perbedaan seperti ini? Boleh jadi sebagian warga yang

setuju dengan pelaksanaan projek tersebut tanahnya tidak terkena pembebasan

lahan. Dan bahkan, dengan dibukanya jalan pintas tersebut mereka akan

mendapatkan keuntungan karena hasil pertanian mereka akan lebih mudah

terangkut dan terjual. Maka dari itu, dengan sangat jelas sebagian warga ini

(yang memperoleh keuntungan dengan pembukaan jalan baru) menyetujui dan

bersedia membantu pemerintah dalam menyukseskan pembangunan jalan

tersebut demi keuntungan yang akan diperolehnya juga.

5. Bertentangan Dengan Sistem Nilai yang Ada

Implementasi kebijakan dapat berjalan tidak efektif apabila bertentangan

dengan sistem nilai yang ada di suatu daerah. Sebagai contoh, pada awal tahun

2000-an pemerintah berencana mengimplementasikan kembali kebijakan

pengumpulan dana pengelolaan olahraga yang dilakukan melalui usaha

perjudian SDSB. Usaha ini mengalami kegagalan karena mengalami resistensi

yang sangat besar dari warga masyarakat dan apabila tetap dilaksanakan. Selain

kebijakan SDSB, pada tahun 2014 pemerintah pun ditentang oleh masyarakat

atas rancangan undang-undang kebudayaan yang memaktubkan pasal tembakau

di dalamnya. Penentangan warga yang menganggap tembakau dan merokok


45

bukanlah budaya Indonesia mendorong pemerintah untuk menarik RUU

tersebut.

6. Keanggotaan Seseorang atau Sekelompok Orang dalam Suatu Organisasi

Kepatuhan atau ketidakpatuhan seseorang atau sekelompok orang pada

kebijakan dapat disebabkan oleh bergabung atau tidak bergabungnya subjek

kebijakan dalam suatu organisasi tertentu atau tidak. Jika subjek kebijakan

bergabung dalam suatu organisasi yang tengah membela suatu kebijakan, maka

secara sadar ia akan mengikuti arah kebijakan organisasi. Tetapi sebaliknya,

apabila tujuan organisasi yang dimasuki oleh subjek kebijakan tersebut bertolak

belakang dengan ide dan gagasan organisasinya, maka apa pun kebijakan yang

sudah diformulasi pemerintah untuk kepentingan publik akan sulit diterima.

7. Wujud Kepatuhan Selektif.

Tidak semua subjek kebijakan patuh atas aturan dan kebijakan yang

ditetapkan oleh pemerintah. Ini karena ada sebagian besar masyarakat yang

patuh pada suatu kebijakan tertentu, tetapi tidak pada kebijakan lain. Misalnya,

seorang pedagang kaki lima akan sangat patuh pada aturan lalu lintas jalan raya

(ketika ia mengendarai motor); tetapi di sisi lain, ia justru tidak patuh pada

kebijakan larangan untuk berdagang di kawasan-kawasan bebas PKL. Aturan

pertama dipatuhi atas alasan keselamatan dirinya sedangkan aturan kedua

dilanggarnya atas alasan pemenuhan kebutuhan keluarga. Kepatuhan dan

ketidakpatuhan inilah yang dimaksud dengan kepatuhan selektif; dan kondisi ini

juga yang sangat menentukan efektif atau tidak efektifnya implementasi suatu

kebijakan.

8. Waktu
46

Efektif tidaknya suatu implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh

faktor waktu. Sebagai contoh, jika suatu masyarakat memandang suatu

kebijakan bertolak belakang dengan kepentingan mereka, maka warga akan

cenderung menolak kebijakan tersebut. Tetapi dengan berjalannya waktu,

kebijakan yang awalnya ditolak dan (mungkin) dianggap kontroversial bisa

berubah menjadi kebijakan yang wajar dan dapat diterima oleh masyarakat.

Contohnya kebijakan pencabutan subsidi BBM yang dilakukan oleh pemerintah,

pada awal kebijakan tersebut diperkenalkan, banyak orang yang menentang

mulai dari mahasiswa, ibu rumahtangga, supir angkutan, dan lainnya. Namun

dengan berjalannya waktu, kebijakan yang tidak popular tersebut dapat diterima

oleh seluruh masyarakat.

9. Sosialisasi

Hal berikutnya yang dapat digunakan untuk menilai efektif tidaknya

suatu implementasi kebijakan adalah dilaksanakan atau tidaknya sosialisasi.

Sosialisasi merupakan salah satu cara untuk mendistribusikan pelbagai hal yang

akan dilakukan dan ditempuh oleh pemerintah melalui kebijakan. Tanpa

sosialisasi yang cukup baik, maka tujuan kebijakan bisa jadi tidak tercapai.

10. Koordinasi Antar-Lembaga atau Antar-Organisasi

Implementasi kebijakan tidak jarang melibatkan banyak pemangku

kebijakan dan stakeholder. Oleh karena itu, koordinasi merupakan mantra

penting dalam menilai keefektifan suatu implementasi kebijakan. Terkadang

suatu kebijakan dianggap baik dalam segi konten tapi lemah dalam segi

pelaksanaan. Realita ini sangat mungkin terjadi karena koordinasi antar lembaga

atau antar organisasi yang seharusnya menjalankan dan atau mengawasi justru
47

tidak melaksanakan koordinasi tersebut. Padahal apabila koordinasi itu

dilakukan bukan tidak mungkin suatu masalah publik dapat diselesaikan dengan

segera.

2.1.4 Kendala Implementasi Kebijakan

Menurut Bambang Sunggono (Bambang Sunggono,1994 : 149-153),

implementasi kebijakan mempunyai beberapa variable kendala diantaranya

adalaha berkaitan dengan isi kebijakan, informasi, dukungan, dan pembagian

potensi, penjelasan dari kendala implementasi dipaparkan sebagai berikut:

a. Isi kebijakan

Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi

kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,

sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau program-program kebijakan

terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya

ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.

Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan

adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab

lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat

terjadi karena kekurangan- kekurangan yang menyangkut sumber daya-

sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan

tenaga manusia.

b. Informasi

Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang

peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau


48

sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik. Informasi

ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.

c. Dukungan

Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada

pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan

tersebut.

d. Pembagian Potensi

Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu

kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para

pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan

diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur

organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila

pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan

pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan- pembatasan yang

kurang jelas.

Menurut James Anderson yang dikutip oleh Bambang Sunggono,

faktor-faktor yang menyebabkan anggota masyarakat tidak mematuhi dan

melaksanakan suatu kebijakan publik, yaitu :

a. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana

terdapat beberapa peraturan perundang-undangan atau kebijakan publik

yang bersifat kurang mengikat individu-individu;


49

b. Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan

dimana mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai atau

bertentangan dengaan peraturan hukum dan keinginan pemerintah;

c. Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara

anggota masyarakat yang mencenderungkan orang bertindak dengan

menipu atau dengan jalan melawan hukum;

d. Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang

mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi sumber

ketidakpatuhan orang pada hukum atau kebijakan publik;

e. Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan

sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok-

kelompok tertentu dalam masyarakat. (Bambang Sunggono, 1994 :

144-145).

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan

dan mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat.

Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat

harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga

apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan

pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah efektif.

Peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi implementasi

kebijakan publik. Suatu kebijakan akan menjadi efektif apabila dalam

pembuatan maupun implementasinya didukung oleh sarana-sarana yang

memadai. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu kebijakan dapat

terlaksana dengan baik, yaitu :


50

a. Peraturan hukum ataupun kebijakan itu sendiri, di mana terdapat

kemungkinan adanya ketidakcocokan-ketidakcocokan antara kebijakan-

kebijakan dengan hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan yang berlaku

dalam masyarakat.

b. Mentalitas petugas yang menerapkan hukum atau kebijakan. Para

petugas hukum (secara formal) yang mencakup hakim, jaksa, polisi, dan

sebagainya harus memiliki mental yang baik dalam melaksanakan

(menerapkan) suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan. Sebab

apabila terjadi yang sebaliknya, maka akan terjadi gangguan- gangguan atau

hambatan-hambatan dalam melaksanakan kebijakan/peraturan hukum.

c. Fasilitas, yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan suatu

peraturan hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan ingin

terlaksana dengan baik, harus pula ditunjang oleh fasilitas-fasilitas yang

memadai agar tidak menimbulkan gangguan-gangguan atau hambatan-

hambatan dalam pelaksanaannya.

d. Warga masyarakat sebagai obyek, dalam hal ini diperlukan adanya

kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum, dan perilaku warga

masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan perundang- undangan

(Bambang Sunggono, 1994 : 158).

2.1.5 Pengertian Pajak dan Perpajakan

Kata pajak dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda-

Indonesia, adalah padanan dari kata belasting (Belanda) yang berarti pajak, yaitu

suatu pungutan oleh pemerintah dari rakyatnya untuk membiayai pengeluaran


51

pemerintahan. Biasanya istilah ini dipakai terhadap pungutan pemerintah untuk

kebutuhan umum dari masyarakat, pungutan untuk keperluan khusus untuk

pemakaian barang tertentu, untuk jasa dan sebagainya disebut retribusi.

Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memberi

pengertian terhadap pajak sebagai: iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai

sumbangan kepada negara (provinsi, kota praja, dan sebagainya), ada banyak

macamnya menurut apa yang dipakai dasar pemungutan iuran itu, seperti-tanah

(bumi), jalan, kekayaan, kendaraan, pembangunan, pendapatan (penghasilan,

pencarian-peralihan, perseroan, radio, tontonan, upah dan sebagainya.

Brotodihardjo dalam Ayza (2018: 22) memberikan batasan-batasan

mengenai pajak sebagai berikut: “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat

dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan

perundang-undangan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung

dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan

pemerintahan.

Menurut Ayza (2018: 27) ciri- ciri yang melekat dalam pengertian pajak

yaitu: (1) kontribusi masyarakat kepada negara yang bersifat memaksa, (2) harus

berdasarkan undang- undang, artinya pajak tidak boleh dipungut secara

sewenang-wenang, (3) dengan tidak mendapat imbalan secara langsung, dan (4)

pajak itu harus digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya ke-

makmuran rakyat sebagaimana dijumpai dalam ketentuan perundang- undangan

perpajakan.
52

2.1.5.1 Pengertian Pajak Daerah

Pajak Daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah

kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah menurut Siahaan (2010: 9),

adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau

badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan

untuk membiayai penyelenggaraaan pemerintah daerah dan pembangunan

daerah.

Menurut Davey dalam Surbakti (2011: 213), pemerintah daerah dapat

memperoleh penerimaan pajak melalui tiga sumber: bagi hasil pajak yang

dikenakan dan dipungut oleh pemerintah pusat; tambahan pajak yang dipungut

oleh pemerintah daerah di atas pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh

pemerintah pusat; pajak yang dikumpulkan dan ditahan oleh pemerintah daerah

sendiri. Untuk sumber yang ketiga, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah

daerah harus memiliki dasar hukum sebagai kewenangannya. Dasar hokum

dapat ditetapkan berdasarkan peraturan dari pemerintah pusat. Namun, ada juga

pajak daerah yang dikenakan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan

perundangan daerah.

Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah akan lebih mudah dilihat

manfaat dan penggunaannya oleh para pembayar pajak. Hal ini menyebabkan

seseorang lebih bersedia untuk membayar pajak kepada pemerintah daerah


53

daripada kepada pemerintah pusat. Semakin rendah tingkat pemerintahan

daerah maka semakin dekat antara pemungut dengan pembayar pajak yang

akan mendukung teori efisiensi. Akan tetapi, selain keuntungan efisiensi

tersebut, pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah memiliki masalah yaitu

adanya variasi kemampuan administrasi dan kemauan politis antar daerah.

2.1.5.2 Fungsi dan Manfaat Pajak

2.1.5.2.1 Fungsi Pajak

Menurut Nurmantu (2005: 30), mengemukakan ‘fungsi pajak’ berarti

kegunaan pokok, manfaat pokok dari pajak itu sendiri. Pendapat lain dari fungsi

pajak itu adalah ‘apa hakikatnya atau untuk apakah pajak itu dipungut.’ Beliau

mengemukakan pada umumnya dikenal dua macam fungsi pajak yaitu: (1) fungsi

budgeter dan (2) fungsi regulerend.

1. Fungsi budgeter merupakan fungsi utama pajak, dalam fungsi mana pajak

digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara

berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Disebut sebagai fungsi

utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul.

Pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan, dan

oleh karenanya memungut pajak dari penduduknya. Fungsi budgeter disebut

sebagai fungsi untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara.

Selanjutnya pengertian memasukkan uang secara optimal ke kas negara

berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku adalah: (1)

Menghindari adanya wajib pajak/subjek pajak yang tidak memenuhi

sepenuhnya kewajiban perpajakannya; (2) Menghindari adanya objek pajak


54

yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak kepada instansi perpajakan; (3)

Menghindari adanya objek pajak yang terlepas dari pengamatan atau

perhitungan pejabat perpajakan. Sehubungan dengan itu penulis berpendapat

selain ketiga hal tersebut di atas, pemasukkan uang ke kas Negara; dan (4)

Menghindari pejabat pajak menetapkan pajak melebihi ketentuan perundang-

undangan perpajakan.

2. Fungsi regulerend berarti fungsi mengatur atau disebut juga sebagai fungsi

tambahan, di mana fungsi regulerend digunakan oleh pemerintah untuk

mencapai tujuan tertentu. Misalnya pemerintah ingin meningkatkan investasi

dari modal asing, maka terhadap hal tertentu diberikan keringanan perpajakan

kepada investor asing, seperti pembebasan atau fasilitas terhadap pajalc-pajak

tertentu, kelonggaran-kelonggaran perpajakan, keringanan (tax allowefice)

atau pembebasan pajak (tax holiday). Contoh lain sehubungan dengan fungsi

regulerend ini adalah: (1) untuk meningkatkan ekspor dikenakan PPN dengan

tarif 0 persen; (2) mengurangi hal yang bersifat konsumtif yang bersifat

barang mewah, barang-barang konsumsi tertentu dikenakan PPn BM; (3)

memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri dikenakan Bea

Masuk yang lebih rendah; dan (4) melindungi produksi dalam negeri ekspor

barang tertentu (umumnya barang setengah jadi/bahan baku untuk produk

lain) dikenakan Bea Keluar; dan sebagainya.

2.1.5.2.2 Manfaat Pajak

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau

keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan


55

pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa

pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.

Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan

pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti

jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai

dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan

untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan

masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan

meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang

semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak.dengan demikian jelas

bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan

dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga

melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai

kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya

lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam

melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat

mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada

akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat

dikurangi secara maksimal.

2.1.5.3 Jenis Pajak Daerah

Pajak daerah dibagi menjadi 2 bagian (Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009), yaitu:


56

Tabel 2.1 Jenis Pajak Daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pajak Provinsi Pajak Kabupaten Kota
Pajak Kendaraan Bermotor Pajak Hotel
Bea Balik Nama Kendaraan Pajak Restoran
Pajak Bah an Bakar Pajak Hiburan
Kendaraan
Pajak Air Permukaan Pajak Reklame
Pajak Rokok Pajak Penerangan Jalan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Parkir
Pajak Air Tanah
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan
Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan
Sumber: Undang - UndangNo.28 Tahun 2009

2.1.5.4 Konsep Pajak Reklame

2.1.5.4.1 Pengertian Pajak Reklame

Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan

corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan,

menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap

barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan,

dan/atau dinikmati oleh umum (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 28 Tahun 2015

Tarif pajak ini ditetapkan sebesar 25% dari nilai sewa reklame.

2.1.5.4.2 Objek Pajak Reklame

Dalam Undang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan

bahwa Objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame, yaitu

meliputi :
57

a. Reklame papan/billboard/vidiotron/megatron merupakan reklame yang

terbuat dari papan kayu, termasuk seng atau bahan lain yang sejenis,

dipasang atau digantung atau dibuat pada bangunan, tembok, dinding, pagar,

pohon, tiang, dan sebagainya baik yang bersinar maupun yang disinari.

b. Reklame megatron/vidiotronf/Large Electronic Display (LED) merupakan

Reklame yang menggunakan layar monitor besar berupa program reklame

atau iklan bersinar dengan gambar dan atau tulisan berwarna yang dapat

berubah-ubah, terprogram, dan difungsikan dengan listrik.

c. Reklame kain yakni Reklame yang diselenggarakan menggunakan kain,

termasuk kertas, plastik, karet, atau bahan lainnya yang sejenis dengan itu.

d. Reklame melekat/stiker yakni Reklame yang berbentuk lembaran yang

lepas, diselenggarakan dengan cara disebarkan, dipasang atau digantung

pada suatu benda dengan ketentuan luasnya tidak lebih dari 200 cm2 per

lembar.

e. Reklame selebaran merupakan Reklame yang berbentuk lembaran lepas,

diselenggarakan dengan cara disebarkan, diberikan, atau dapat diminta

dengan ketentuan tidak untuk ditempelkan, diletakkan, dipasang, atau

digantungkan pada suatu benda lain.

f. Reklame berjalan tennasuk pada kendaraan yakni Reklame yang ditempatkan

atau ditempelkan pada kendaraan yang diselenggarakan dengan menggunakan

kendaraan atau dengan cara dibawa oleh orang.

g. Reklame udara adalah Reklame yang diselenggarakan di udara dengan

menggunakan gas, laser, pesawat, atau alat lain yang sejenis.


58

h. suara yakni Reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan kata-kata

yang diucapkan atau dengan suara yang ditimbulkan dari atau oleh peralatan

lain.

i. Reklame film/slide adalah Reklame yang diselenggarakan dengan

menggunakan klise berupa kaca atau film, ataupun bahan yang sejenisnya,

sebagai alat untuk diproyeksikan dan atau dipancarkan pada layar atau benda

lainnya yang ada di ruangan.

j. Reklame peragaan yaitu Reklame yang diselenggarakan dengan cara

peragaan suatu barang dengan atau tanpa disertai suara.

Selain itu objek pajak reklame yang dikecualikan atau yang bukan objek

Pajak Reklame yakni:

1. Penyelenggara reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian,

warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya

2. Label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan,

yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainya

3. Nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan

tempat usaha atau profesi yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan

yang menggatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;

4. Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah

daerah; dan

5. Penyelenggaraan reklame lainya yang ditetapkan adakan khusus untuk

kegiatan sosial, pendidikan, keagamaan, dan politik tanpa sponsor.

2.1.5.4.3 Subjek Pajak dan Wajib Pajak Reklame


59

Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan

atau melakukan pemesanan reklame sedangkan dan wajib pajaknya adalah orang

pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame. Reklame diselenggarakan

langsung oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan reklame untuk

kepentingan sendiri, wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan

tersebut. Apabila penyelenggaraan reklame dilaksanakan melalui pihak ketiga

(perusahaan jasa periklanan), maka pihak ketiga tersebut menjadi wajib pajak

reklame.

2.1.5.4.4 Dasar Hukum Pajak Reklame

Pajak Reklame merupakan pajak daerah yang hasil penerimaannya

harus seluruhnya diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota. Pemungutan

pajak reklame di Indonesia saat ini berdasar pada hukum yang jelas dan kuat

sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar

pemungutan pajak reklame pada suatu kabupaten atau kota yaitu:

1. Undang-Undang Nornor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah.

2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.

4. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang Pajak Reklame.

Teruntuk di Kota Kendari Pajak Reklame diatur dalam Peraturan Daerah


60

Nomor 3 Tahun 2014 yang merupakan revisi dari Peraturan Daerah Nomor

2 Tahun 2011 tentang pajak Reklame.

Dengan Pembaharuan Undang-undang dan sistem pajak daerah

diharapkan kesadaran masyarakat akan meningkat sehingga penerimaan

Pajak Daerah yang urnumnya dan Pajak Reklame pada khususnya juga akan

meningkat. Pajak ini dikenakan atas semua penyelenggaraan reklame. Seperti

diketahui pajak reklame dikenakan atas semua penyelenggaraan reklame,

otomatis yang menjadi objeknya adalah semua penyelenggaraan reklame.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka

penyusunan penelitian ini. Kegunaan untuk memgetahui hasil yang telah dilakukan

oleh peneliti terdahulu, sekaligus sebagai perbandingan dan gambaran untuk

mendukung kegiatan penelitian selanjutnya. Berikut disajikan beberapa penelitian

terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.

1. Jumroh, (2015), judul penelitian “Evaluation of Advertisement Tax Policy in

Ogan Komering Ilir District South Sumatra Province, hasil penelitian

menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir, melalui Tim

Evaluasi kebijakan pajak periklanan meliputi spesifikasi, penilaian atau evaluasi,

analisis, dan rekomendasi memiliki kontribusi dalam melaksanakan tugas mereka

sebagai evaluator, tetapi peran mereka sebagai tim evaluator belum berjalan

dengan baik seperti yang ditunjukkan oleh kurangnya sikap tegas dalam

mengevaluasi kebijakan pajak periklanan di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Ini

ditunjukkan oleh sejumlah besar papan iklan dan iklan yang dipasang di jalan-
61

jalan yang idealnya bebas dari iklan steril. Hal ini mengindikasikan adanya sikap

tidak tegas para penilai kebijakan disiratkan oleh sejumlah besar iklan ilegal yang

dipasang di Distrik Ogan Komering Ilir.

Selanjutnya, Kebijakan pajak periklanan di Kabupaten Ogan Komering

Ilir Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan sudut pandang administrasi publik

dalam konsep baru, yaitu bahwa dengan integrasi, semua pihak yang

berkepentingan dalam evaluasi suatu kebijakan atau program menentukan

keberhasilan kegagalan usaha untuk mencapai tujuan (purpose) dari program.

Persamaan penelitian Jumroh dengan penelitian yang akan dilakukan

dalam penelitian ini adalah sama-sama mengkaji kebijakan pajak reklame,

sedangkan perbedaannya adalah dari sisi metodologi, Jika penelitian Jumroh

melakukan dengan metodologi evaluasi program sementara dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

2. Kandeccing, dkk. (2018), Judul Penelitian “Pengelolaan Pajak Reklame dalam

Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah: (Studi Pada Badan Pengelola Pajak dan

Retribusi Daerah Kota Kendari)”. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan

bahwa persentasi antara target dan realisasi penerimaan pajak reklame terhadap

peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kota Kendari tiap tahunnya mengalami

fluktuasi, hal ini disebabkan adanya hambatan-hambatan pada Badan Pengelola

Pajak dan Retribusi Daerah Kota Kendari dalam pengelolaan pajak reklame.

Hambatan-hambatan tersebut adalah masih banyaknya wajib pajak yang tidak

mengetahui SOP penyelenggaraan Reklame, masih banyaknya wajib pajak yang

tidak melakukan pembayaran secara rutin, masih adanya beberapa papan reklame

liar yang tidak terdaftar, serta kurangnya kolektor/staf dilapangan. Hambatan-


62

hambatan inilah yang menyebabakan kontribusi pajak terhadap pendapatan asli

daerah sangat kecil, namun dengan adanya hambatan tersebut maka seharusnya

menjadi tantangan Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah Kota Kendari

untuk terus mencari solusi yang tepat dan efektif agar Pendapatan Daerah dari

sektor pajak daerah khususnya Pajak Reklame dapat ditingkatkan.

Persamaan penelitian Kandeccing dengan penelitian ini adalah focus

pada bidang perpajakan. Persamaan lainnya adalah dari sisi metodologi yakni

dengan analisis deskriptif. Selanjutnya persamaan lainnya adalah dari lokasi

penelitian, yakni sama-sama berlokasi di Kota Kendari. Perbedaan penelitian

Kandeccing dengan penelitian ini adalah jika Kandeccing meneliti dari sisi

pengelolaan perpajakan di Kota Kendari, sementara penelitian ini mengkaji

konsistensi dan Inkonsistensi penetapan kebijakan pajak reklame di Kota

Kendari.

3. Kurniati, (2018), judul “The Effectiveness and Contribution of Advertisement Tax

To Increase The Original Revenue of Mataram City”, hasil penelitian

menunjukkan Efektivitas penerimaan pajak iklan di Kota Mataram dari 2013

hingga 2017, dinyatakan sangat kurang dalam berkontribusi terhadap PAD, dapat

dilihat dari kriteria bahwa kontribusi yang dilakukan berada pada posisi di bawah

10%. Kendala yang dihadapi dalam pemungutan pajak reklame di kota Mataram

adalah wajib pajak yang tidak mengurus pemasangan baliho (baliho tanpa izin),

banyak wajib pajak membayar pembayaran pajak reklame, terkait dengan izin

perpanjangan, kurang kesadaran wajib pajak untuk mengendalikan diri terhadap

baliho yang sudah kadaluwarsa, jumlah wajib pajak lebih memilih daerah yang
63

kurang potensial (lokasi kurang strategis) dalam pemasangan baliho. Upaya yang

dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan pendapatan pajak reklame di

Kota Mataram adalah pajak reklame yang menunda pembayaran akan dikenakan

denda 2% per bulan dari jumlah pajak yang belum dibayar atau terhutang,

memberikan sanksi sosial kepada tunggakan pajak papan reklame seperti menulis

pesan di iklan Ini belum memiliki pajak "atau" Iklan ini belum memiliki izin dan

memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam menangani izin pemasangan

iklan. Untuk dapat meningkatkan pendapatan pajak iklan, pemerintah daerah

diharapkan untuk membuka akses ke 1 (satu) pintu dalam menangani izin dan

membayar pajak iklan, yang selama ini dalam menangani izin wajib pajak

melakukannya di Layanan Investasi Layanan Terpadu One Door ( DPMPTSP)

Kota Mataram, saat membayar pajak, wajib pajak harus pergi ke kantor BKD.

Hal-hal seperti ini membuat masyarakat pada umumnya atau pembayar pajak

papan, khususnya, merasa bahwa birokrasi agak menghambat dalam administrasi

administrasi.

Persamaan penelitian Kurniati dengan penelitian ini adalah focus pada

bidang perpajakan. Persamaan lainnya adalah dari sisi metodologi yakni dengan

analisis deskriptif. Perbedaan penelitian Kurniati dengan penelitian ini adalah

dari objek penelitian secara umum. Penelitian Kurniati mengkaji efektifitas dan

kontribusi pajak reklame dalam meningkatkan PAD di Kota Mataram, sedangkan

penelitian ini lebih khusus mengkaji konsistensi dan Inkonsistensi penetapan

kebijakan pajak reklame di Kota Kendari.


64

4. Kusmilawaty (2019) Analisis Anggaran Sebagai Alat Pengawasan Pajak

Reklame Pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan. Penelitian ini

menggunakan metode deskriptif dengan mengambil lokasi penelitian pada Dinas

Pendapatan Kota Medan. Temuan penting penelitian ini adalah faktor yang

menyebabkan pelaksanaan pengawasan pajak reklame belum maksimal yaitu

kurangnya kesadaran dari wajib pajak akan kewajibannya dalam membayar pajak

serta pentingnya peranan pajak reklame untuk pembangunan di daerah kota

Medan. Selain itu Dinas Pendapatan Daerah kota Medan juga masih kurang

maksimal dalam upaya mensosialisasi pentingnya peranan pajak serta pentingnya

ketepatan waktu pembayaran pajak dari wajib pajak agar terhindar dari denda

pajak.

Persamaan penelitian Kusmilawati dengan penelitian ini adalah pertama

dari focus penelitian, yakni pada bidang perpajakan. Persamaan lainnya adalah

dari sisi metodologi yakni dengan metode deskriptif. Perbedaan penelitian

Kusmilawati dengan penelitian ini adalah jika penelitian Kusmilawati mengkaji

proses pengawasan pajak reklame, sementara penelitian ini mengkaji tentang

penetapan kebijakan pajak reklame.

2.3 Kerangka Berpikir

Salah satu ukuran kemampuan pemerintah daerah adalah ditentukan oleh

tingkat kemampuan keuangan daerah tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena tanpa

adanya sumber keuangan yang cukup, mustahil penyelenggaraan otonomi dapat

terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Salah satu Dinas yang diharapkan mampu
65

menopang tujuan pembangunan daerah Kota Kendari dari sisi pengelolaan kebijakan

adalah Dinas Pelayanan Pajak Daerah Kota Kendari.

Pemerintah Kota kendari sangat menyadari bahwa pendapatan daerah melalui

pajak reklame memiliki potensi yang cukup baik dalam menopang pendapatan asli

daerah. Hal ini ditindaklanjuti dengan peraturan daerah yang mengatur pajak reklame

dengan Peraturan Walikota Nomor 28 Tahun 2015 Tentang Perhitungan Nilai Sewa

Reklame. Landasan diterbitkannya peraturan daerah ini adalah Undang-Undang

Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Pajak reklame seharusnya cukup potensial untuk mempengaruhi peningkatan

pendapatan asli daerah kota Kendari dikarenakan setiap tahunnya semakin banyak

reklame yang terpasang disepanjang jalan, terkhusus di kota Kendari yang

merupakan ibu kota provinsi Sulawesi tenggara. Untuk itu proses penetapan

kebijakan pajak menuntut kajian yang mendalam dalam proses penyusunannya.

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena

melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu,

beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi

proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan

pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita mengkaji kebijakan publik.

Namun demikian, beberapa ahli membagi tahapan-tahapan kebijakan ini dengan

urutan yang berbeda misalnya, tahap penilaian kebijakan seperti yang tercantum

dibawah ini bukan merupakan tahap akhir dari proses kebijakan publik, sebab masih

ada satu tahap lagi, yakni tahap perubahan kebijakan dan terminasi atau penghentian

kebijakan.
66

Tahap-Tahap Kebijakan Publik (Public Policy) menurut William Dunn

(Winarno, 2012 : 35)., adalah sebagai berikut: (1) Penyusunan agenda (Agenda

Setting), adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan

publik. Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu

menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja

yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas; (2) Formulasi Kebijakan (Policy

Formulating), Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas

oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian

dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari

berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan

suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan

kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan

yang diambil untuk memecahkan masalah; (3) Adopsi/Legitimasi Kebijakan (Policy

Adoption), legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar

pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh

kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Legitimasi dapat

dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang

belajar untuk mendukung pemerintah. Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang

telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan

seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan

secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor

yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan; (4) Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

(Policy Evaluation), Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai


67

kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup

substansi, implementasi dan dampak.

Target dan realisasi penerimaan pajak reklame tahun 2018 dan 2019 di Kota

kendari menunjukkan adanya penurunan penerimaan pajak reklame. Koordinator

pajak reklame pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Kendari menyatakan bahwa ada

beberapa faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya target penerimaan pajak pada

tahun 2018 dan 2019, diantaranya adalah masih lemah dan kurangnya pengawasan

yang dilakukan oleh aparatur petugas pajak di Kota Kendari.

Kelancaran penyelenggaraan pajak sangat tergantung dari disiplin seluruh

pelaku yang terlibat yaitu Wajib Pajak dan Dinas Pendapatan Daerah Kota Kendari.

Salah satu yang terpenting dalam penerapan kebijakan pajak adalah persoalan

konsistensi penerapan kebijakan dari Pemerintah Kota sendiri melalui Dinas

Pendapatan Daerah maupun konsistensi dari wajib pajak itu sendiri. Persoalan

konsistensi misalnya bisa terjadi dari aturan yang berubah-ubah, tidak adanya batas

waktu pelunasan yang jelas yang diakibatkan oleh adanya “persuasive” dari petugas

pajak, serta wajib pajak yang tidak memiliki konsistensi waktu dalam pembayaran

pajak secara berkala. Semua ini akan menyebabkan distorsi/gangguan bagi perolehan

penerimaan pajak.

Penelitian yang dilakukan oleh Lacso dan Rossi (2019) menemukan bahwa

faktor penentu keberhasilan penerimaan pajak adalah dengan konsisten dalam

menetapkan kebijakan pajak. Hal ini berarti bahwa pengambil kebijakan harus

memiliki komitmen yang tegas dalam menetapkan suatu kebijakan. Menurut Grindle

(1980), bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua


68

variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan

implementasi (context of implementation).

Selajutnya menurut Bambang Sunggono, implementasi kebijakan

mempunyai beberapa variable kendala diantaranya adalaha berkaitan dengan isi

kebijakan, informasi, dukungan, dan pembagian potensi. Faktor-faktor yang

menyebabkan anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu

kebijakan disebabkan karena adanya konsep ketidakpatuhan, gagasan dan pemikiran

yang bertentangan dengan aturan, adanya keinginan untuk mencari keuntungan,

perbedaan system nilai yang ada.


Proses Penetapan Kebijakan Pajak Reklame di Kota Kendari
1. Tahap-tahap kebijakan publik (William Dunn, 1998)
2. Proses penyusunan kebijakan
 UU No. 2S Tahun 2009 tentang PajakDaerah dan
Retribusi Daerah
 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
3. Implementasi Kebijakan Pajak Reklame di Kota Kendari
 Perda No. 2 Tahun 2012,
 Perwali No. 26 Tahun 2012. Kendala Implementasi Kebijakan Pajak
Reklame
1. Isi kebijakan
2. Informasi
3. dukungan, dan
Faktor terjadinya Inkonsistensi Kebijakan Pajak Reklame
4. pembagian potensi.
1. Konsistensi dan Inkonsistensi Kebijakan (Lasco dan Rossi,
2019)
2. Content of Policy dan Context of Implementation
(Grindle, 1980)

Gambar 2. Kerangka berpiki

Anda mungkin juga menyukai