Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Kebijakan Publik

Kebijakan dan kebijaksanaan ada dua kata yang terdengar sama namun
memiliki makna yang berbeda. Kebijakan adalah suatu ketentuan dari tindakan
yang mempengaruhi pelaksanaan suatu kegiatan. Sedangkan, kebijaksanaan
adalah respon atau pemberian tanggapan atas pelaksanaan kebijakan dengan
sikap yang tegas dan adil. Cenderung ke kepribadian posiif. Biasanya
kebijaksanaan ini dihadapkan kepada yang menetapkan suatu kebijakan. Jenkins
(Riant Nugroho 2008:127) mengartikan kebijakan sebagai serangkaian keputusan
yang saling berhubungan yang dibuat oleh aktor politik atau suatu kelompok
politik berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu
dalam situasi khusus, yakni situasi dimana keputusan-keputusan itu dibuat dalam
kekuasaan aktor atau kelompok tertentu. Keputusan itu dapat berbentuk peraturan
perundang-undangan.
Menurut Carl I. Fredirck (1963:79) dalam Nugroho (2017:203)
mendefinisikan sebagai tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang
ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditunjukan untuk memanfaatkan
potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan
tertentu.
Easton (1969) sebagai mana dikutip Luthfi J. Kurniawan (2017:25)
kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh
masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga hanya cukup pemerintah
yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut
merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan
bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Dari definisi Easton
maka kebijakan publik merupakan proses pengambilan keputusan (decision
making). Berdasarkan definisinya, sebuah kebijakan publik akan efisien ketika

5
berada dalam ranah pemerintahan artinya, kekuasaan Negara dalam kebijakan
publik ini sangat besar.
Istilah kebijakan publik sering dipakai dalam beberapa penelitian,
khususnya disiplin ilmu social. Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa
kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever
government choose to do or not to do”. Artinya, kebijakan publik adalah apa saja
yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Budi
Winarno, 2014:15). Lain halnya definisi yang diberikan oleh Hogwood dan Gunn
yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan
pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu (Edi Suharto,
2008;3). Disamping itu Hogwood dan Gunn menyebutkan sepuluh penggunaan
istilah “kebijakan” dalam pengertian modern yakni sebagai label untuk sebuah
bidang aktifitas, sebagai ekspresi tujuan umum atau aktifitas negara yang di
harapkan, sebagai proposal spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai
otoritas formal, sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil, sebagai
teori atau model dan juga sebagai proses (Wayne Parsons, 2014;15).
Menurut Landau, kebijakan publik sebagai bentuk lain dari analisis politik
yang menggunakan metafora atau model sebagai perangkat untuk menjelajahi
dunia yang tidak dikenal dan mungkin yang tidak diketahui secara politik “Public
policy, as other forms of political analysis, uses metaphors or models asdevices to
explore the unknown and possibly unknownable world of politics’. (Edi soeharto
2004:23) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah
keputusan yang dibuat atau dipilih untuk diambil oleh suatu lembaga pemerintah,
baik pejabat maupun instansi pemerintah yang merupakan pedoman pegangan
ataupun petunjuk bagi setiap aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran
dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan kebijakan dalam kenyataannya,
kebijakan seringkali diartikan dengan peristilahan lain seperti tujuan, program,
keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-
rancangan besar.

6
2.1.1 Proses Kebijakan

Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik


adalah kebijakan-kebijakanyang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat-pe,buat
kebijakan untuk mencapai tujun-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam
penyusunannya melalui berbagai tahapan. Berkaitan dengan ini Dunn (2000:1)
mendefinisikan analisis kebijakan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan
tentang dan dalam pembuatan kebijakan. Dalam perumusan kebijakan menurut
Dunn (1990), ada beberapa tahap yang harus dilakukan, yaitu penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, adopsi legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan,
evaluasi kebijakan. Tahap-tahap ini dilakukan agar kebijakan yang dibuat dapat
mencapai tujuan yang diharapkan.

a. Penyusunan agenda
Penyusunan aenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat
strategis dalam realistis kebijakan publik. Dalam proses inilah
memiliki ruanh untuk memakai apa yang disebut sebagai masalah
publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah
isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik dan
mendapatkan prioritas dalam agenda publik maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam pemyusunan agenda juga sangat penting untuk menentukan
suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah.
Isu kebijakan biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di
antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh atau pertentangan pandangan mengenai karakter
permasalahan tersebut. Penyusunan agenda kebijakan harus dilakukan
berdasrkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan
stakeholder.
b. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan

7
untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan
yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk
dalam agenda kebijakan dalam tahap ini perumusan kebijakan masing-
masingalternatif bersaing utnuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
dimabil untuk memecahkan masalah.
c. Adopsi kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada
proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu
masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintahan.
d. Implementasi kebijakan
Dalam tahap implementasi kebijakan akan menemukan dampak
dan kinerja dari kebijakan tersebut. Disini akan ditemukan apakah
kebijakan yang dibuat mencapai tujuan yang diharapkan atau tidak.
e. Evaluasi kebijakan
Evaluasi kebijakan dapat dilakukan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau peniliaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi
mdipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan
dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan,
implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

2.1.2. Dampak Kebijakan

Dampak kebijakan adalah keseluruhan efek yang ditimbulkan oleh suatu


kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata (Dye,1981:367), menurut Dye (1981 :
367) dan Anderson (1984 :138), semua bentuk manfaat dan biaya kebijuakan,

8
baik yang langsung maupun yang akan datang harus diukur dalam bentuk efek
simbolis atau efek yang ditimbulkan oleh pemerintah.
Sebuah kebijakan mau tidak mau pastilah menimbulkan dampak, baik
dampak positif maupun negatif. Dampak positif dimaksudkan sebagai damapak
yang memang diharapkan akan terjadi akibat sebuah kebijakan dan memberikan
manfaat yang berguna bagi lingkungan kebijakan, sedangkan dampak negatif
dimaksudkan sebagai dampak yang tidak memberikan manfaat bagi lingkungan
kebijakan dan tidak diharapkan terjadi.
Soemarwoto dalam Giroth (2004) menyatakan bahwa dampak adalah suatu
perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktifitas, selanjutnya soemarwoto
menjelaskan “aktifitas tersebtu bisa bersifat alamiah berupa kimia, fisik maupun
biologi, dapat pula dilakukan oleh manusia berupa analisis dampak lingkungan,
pembangunan dan perencanaan. adapun dampak tersebut dapat bersifat biofisik,
sosial, ekonomi dan budaya.” William Dunn menyebutkan setidaknya ada 3 hal
yang harus diperhatikan dalam menentukan alternatif terpilih, (1) Effectiveness,
yaitu apakah kebijakan tersebut dapat mencapai sasaran yang telah dirumuskan.
(2) Efficiency, yaitu apakah kebijakan yang akan diambil itu seimbang dengan
sumber daya yang tersedia, dan (3) Adequacy, yaitu apakah kebijakan itu sudah
cukup memadai untuk memecahkan masalah yang ada.
Menurut Sofian Effendi (2001) bahwa kebijakan yang baik harus
memenuhi kriteria-kriteria yaitu (1) Technical feasibility, yaitu kriteria yang
mengukur seberapa jauh suatu alternatif kebijakan mampu memecahkan masalah.
(2) Economic and Financial Possibility, yaitu alternatif mana yang mungkin
dibiayai dari dana yang dimiliki dan berapa besar finansial yang didapatkan. (3)
Political Viability, yaitu bagaimana efek atau dampak politik yang akan dihasilkan
terhadap para pembuat keputusan, legislator, pejabat, dan kelompok politik
lainnya dari masing-masing alternatif, dan (4) Administrative Capability, yaitu
menyangkut kemampuan administrasi untuk mendukung kebijakan tersebut.
Secara teoritis, “dampak kebijakan” tidak sama dengan “output kebijakan.”
Oleh karena itu, menurut Dye (1981:368), penting untuk tidak mengukur manfaat
dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini perlu dicermati karena yang

9
seringkali terlihat adalah pengukuran aktivitas pemerintah mengukur output
kebijakan. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran
outputkebijakan publik sangat penting diperhatikan. Namun, dalam menilai
dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas dampak dalam lingkungan
yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah tersebut. Kegiatan
analisis dampak ekonomi internal kebijakan yang disponsori oleh lembaga
penyandang dana nasional dan internasional merupakan bukti nyata dan jawaban
atas sikap skeptis tersebut. Oleh karena itu, segala macam efek yang merupakan
konsekuensi dari suatu kebijakan, baik simbolis maupun material, terhadap satu
atau beberapa kelompok sasaran merupakan esensi yang mencirikan dampak
kebijakan publik. Hal ini sesuai dengan pendapat Anderson (1984: 151) bahwa
evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat
kebijakan. Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang menyangkut perkiraan
atau estimasi dan penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi,
dan dampaknya. (http://p2kpdt.webege.com )

2.2. Implementasi Kebijakan


Secara etimologi kata implementasi berasal dari bahasa inggris “ to
implement”, yang artinya pelaksanaan dan penerapan. Implementasi merupakan
tindakan pelaksanaan dari suatu rencana yang telah disusun denga matang.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia implementasi dapat diartikan sebagai
penerapan sesuatu yang telah di rancang atau dibuat secara matang, sehingga
pengerjaannya dapat dapat dilakukan dengan penuh keyakinan dan tujuan yang
jelas.
Menurut Pranata Wastra dkk 1991 mengatakan bahwa implementasi
adalah suatu aktivitas yang dilakukan karena adanya kebijaksanaan yang telah
disusun sebelumnya, yang meliputi kebutuhan apa saja yang diperlukan, siapa
pelaksana implementasi tersebut, kapan pelaksanaan imlementasi tersebut, serta
kapan target selesainya implementasi tersebut, semua sedah direncanakan di awal.
Sedangkan menurut Budi Winarno 2000 Implementasi adalah tindakan-tindakan
yang harus dilakukan oleh sekelompok individu yang telah ditunjuk untuk

10
menyelesaikan suatu tujuan yang telah ditetapan sebelumnya. Menurut Daniel A.
Mazmanian dan Paul Sabatier 1997 Implementasi merupakan pemahaman yang
akan terjadi setelah menetapkan suatu program yang menjadi fokus perhatian
pemerintah yang merancang implmentasi kebijakan. Implementasi merupakan
kejadian yang terjadi setelah dibuat dan disahkan pedoman kebijakan negara. 
Meter dan Horn (1979) dalam Suaib (2016:82) mendefinisikan
implementasi kebijakan sebagai berikut: “policy implementation encompasses
those actions by public and provate individuals (and groups) that are directed at
the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions”.
(tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu (dan kelompok-
kelompok) pemerintah dan swasta yang diaraskan pada pencapaian tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan).
Dari berbagai pengertian yang sudah diungkapkan para ahli diatas maka
dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan salah satu sarana atau aktifitas
pencapaian tujuan suatu kebijakan yang mengharuskan adanya hasil. Juga dapat
disimpulkan tanpa implementasi sebuah kebijakan tidak akan berarti, karena
bagaimanapun banyaknya kebijakan yang dibuat namun jika implementasinya
tidak dilaksakan dengan baik maka kebijakan itu tidak akan berjalan dengan
sebagaimana mestinya.
Implementasi merupakan suatu keputusan untuk mencapai sasaran tertentu,
maka untuk merealisasikan pencapaian sasaran tersebut diperukan serangkaian
aktivitas pelaksanaannya. Mengingat bahwa implementasi suatu program
merupakan suatu hal yang kompleks karena banyaknya faktor yang saling
mempengaruhi dan terkait, maka untuk memahami adanya perbedaan antara apa
yang diharapkan tercapai dengan yang terjadi kemudian menimbulkan kesadaran
mengenai pentingnya studi-studi impelementasi. Implementasi juga diartikan
sebagai realisasi dari rencana yang ditetapkan sebelumnya.
Makna yang bisa ditangkap dari pernyataan berikut yaitu pengertian
implementasi sebagai tindakan–tindakan yang dilakukan oleh individu/pejabat
atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

11
Tindakan–tindakan keputusan menjadi pola pola operasional, serta melanjutkan
usaha tersebut untuk mecapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil,
yang diamanatkan oleh keputusan kebijakan. Dari pendapat tersebut dapat
dipahami bahwa segala sumber dalam usaha mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan, didalamnya mencakup :
manusia, dana, dan kemampuan organisasi yang dilakukan baik oleh pemerintah
maupun swasta serta individu atau kelompok.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi
semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan
dan dampak aktualnya. Sedangkan menurut pendapat Bardac dalam Ismail
mengatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu sistem pengendalian
untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan kebijakan.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan
pada prinsipnya tidak hanya terbatas pada proses pelaksanaan suatu kebijakan
namun juga melingkupi tindakan-tindakan atau perilaku individuindividu,
kelompok pemerintah dan swasta, serta badan-badan administratif atau unit
birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dalam mencapai
tujuan, akan tetapi juga mencermati berbagai kekuatan politik, sosial, ekonomi
yang mempunyai pengaruh terhadap sasaran yang ingin dicapai. Dengan
demikian, implementasi kebijakan dimaksutkan untuk memahami apa yang terjadi
setelah suatu program dirumuskan, serta apa dampak yang timbul dari program
kebijakan itu. Disamping itu, implementasi kebijakan tidak hanya terkait dengan
persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan tersebut.

2.2.1. Model- Model Implementasi Kebijakan

Menurut sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu dalam
tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model bottom up.
Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan kebijakan. Model elit,
model proses dan model inkremental dianggap sebagai gambaran pembuatan

12
kebijakan berdasarkan model top down. Sedangkan gambaran model bottom up
dapat dilihat pada model kelompok dan model kelembagaan.
Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses
politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengamnilan
keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya
ditentukan oleh beragam aktor, dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik
materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat
keputusan dalam konteks politik administratif. Proses polotik dapat terlihat
melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor kebijakan,
sedangkan proses adminitrasi terlihat melalui proses umum mengenai aksi
administratif yang dapat teliti pada tingkat program tertentu.
T.B. Smith mengakui, ketika kebijakan telah dibuat, kebijakan tersebut
harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mengkin sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh pembuat kebijakan ( Nakmura dan Smallwood, 1980: 2). Pada
gambar 01 terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas sebagai
wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi kebijakan diformulasi ke
dalam program aksi dan proyek tertentu yang dirancang dan dibiayai. Program
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Implementasi kebijakan atau program-secara
garis besar dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implemntasi.
Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur
luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luran program dilihat melalui
dampaknya terhadap sasaran yang dituju dan kelompok maupun masyarakat.
Luaran implemntasu kebijakan adalah perubahan oleh kelompok sasaran

13
Gambar. 2.1
Model Linier Implementasi Kebijakan
(dikutip dai baedhowi, 46-48)

Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implemtasi kenijakan efektif,


yaitu model linier dan model interaktif (lihat Baedhowi, 2004: 47). Pada model
linear, fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan
fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai
tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tergantung
pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan gagal maka
yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang dianggap kurang
memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih baik untuk
meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.
Jika model interaktif implementasi kebijakan di atas disandingkan dengan
model implementasi kebijakan yang lain, khususnya model proses politik dan
adminitrasi dari Grindle, terlihat adanya kesamaan dan representasi elemen yang
mencirikannya. Tujuan kebijakan, program aksi dan proyek tertentu yang
dirancang dan dibiayai menurut Grindle menunjukan urgensi fase pengambilan
keputusan sebagai fase terpenting dalam model linier implementasi kebijakan.

14
Sementara itu, enam elemen isi kebijakan ditambah dengan tiga elemen konteks
implementasi menurut Grindle mencicrikan adanya interaksi antara pengambil
kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif.
Begitu pula istilah model proses politik dan proses adminitrasi menurut
Grindle, selain menunjukkan dominasi cirinya yang denderung lebih dekat kepada
ciri model interaktif implementasi kebijakan, juga menunjukkan kelebihan model
tersebut dalam cara yang digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi
kebijakan, beserta output dan outcomesnya.
Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn
mengembangkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20).
Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam
bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Keduanya
mengembangkan tipologi kebijakan menurut : 1) jumlah perubahan yang
dihasilkan, dan 2) jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan
oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan dari
Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang menetukan keberhasilan
penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan adminitrasi
menurut Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk
dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula
dengan tipology kebijakan yang dibuat oleh keduanya termasuk dalam elemen isi
kebijakan dan konteks implementasi menurut Grindle. Tripology jumlah
perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan dan tipologi
ruang lingkup kesepakatan termasuk dlaam konteks implementasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Korten (baca dalam Tarigan, 2000: 19)
membuat Model Kesesuaian implementasi kebijakan atau program dengan
memakai pendekatan proses pembelajaran. Model ini berintikan kesesuaian antara
tiga elemen yang ada dalam pelaksanaan program, yaitu program itu sendiri,
pelakasanaan program dan kelompok sasaran program.

15
Gambar. 2.2
Model Kesesuaian
(dikutip dari David C. Korten (1988) dalam Tarigan, h. 19)

Korten menyatakan bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika


terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian
antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan
oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat).
Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian
antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi
pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi
pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat
memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok
sasaran program.

16
Berdasarkan pola yang dikembangkan Korten, dapat dipahami bahwa jika
tidak terdapat keseuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja
program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika outputnya
tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki
kemampuan melaksanakan tigas yang diisyaratkan oleh proram maka
organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau jika
syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh
kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program ,
oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak
diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.
Model keseuaian implementasi kebijakakn yang diperkenalkan oleh korten
memperkaya model implementasi kebijakan yang lain. Hal ini dapat dipahami dari
kata kunci kesesuaian yang digunakan. Meskipun demikian, elemen yang
disesuaikan yang digunakan. Meskipun demikian, elemen yang disesuaikan satu
sama lain – program, pemanfaat dan organisasi – juga sudah termasuk baik dalam
dimensi isi kebijakan (program) dan dimensi konteks implementasi (organisasi)
maupun dalam outcomes (pemandaat) pada model proses politik dan adminitrasi
dari Grindle.
Terdapat 6 variabel yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan
menurut Van Meter dan Van Horn dalam Suaib (2016: 96-97) yakni: (1) ukuran
dan tujuan kebijakan, dalam implementasi suatu kebijakan para pelaksana
(officials) memahami ukuran dan tujuan kebijakan berhubungan dengan sikap
para pelaksana. (2) sumber-sumber kebijakan, dalam implementasi kebijakan
yang menjadi sumber-sumber kebijakan dapat berupa sumber daya manusia,
sumber daya uang, dan sumber daya waktu. Dalam hal ini setiap sumber daya
sangatlah penting dan sangat terhubung satu dengan yang lain dengan kata lain
saling membutuhkan. Serta bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada. (3)
ciri-ciri atau sifat-sifat badan/instansi pelaksana, Tentunya penempatan para
pelaksana akan mempengaruhi kinerja dari implementasi kebijakan, dimana para
pelaksana tersebut melaksanakan prosedur-prosedur kerja standar (SOP/standard
operating procedures) dan fragmentasi. (4) komunikasi antar organisasi terkait

17
dan kegiatan-kegiatan pelaksana, Tentunya dalam hal ini terdapat kejelasan
konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan. Para
pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa
yang harus dilakukan. Keberhasilan impelementasi kebijakan ditentukan oleh
komunikasi yang akurat dan konsisten (accuracy and consistency) kepada para
pelaksana kebijakan, serta koordinasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam
implementasi kebijakan. (5) sikap para pelaksana, hal ini akan mempengaruhi
suatu impelemtasi kebijakan dimana akan terjadi penerimaan atau penolakan,
bergantung pada pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan pribadi dan
organisasinya. Kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin
para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh
kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang harus diselesaikan, dan (6)
lingkungan ekonomi, sosial dan politik, ini merupakan pengaruh yang terjadi
melalui lingkungan eksternal kebijakan publik. Dimana berbagai pihak yang
mendukung atau bahkan pihak yang menolak.

2.3 Regulasi Terkait Pengawasan Minuman Beralkohol

2.3.1 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 4 Tahun 2014

Tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol di

Provinsi Sulawesi Utara

2.4 Penelitian Terdahulu

Tabel. 2.1 : Penelitian Terdahulu

METODE
NAMA
YANG
NO PENELITI/TAHU RUMUSAN MASALAH HASIL
DIGUNAKAN/
N/JUDUL
LOKUS

1 Linda Ayu 1. Bagaimana pengendalian Kualitatif/ Pengawasan dan

18
Pralampita /2018/ peredaran minuman beralkohol Kabupaten pengendalian

Upaya Pengendalian di Kabupaten Kudus? Kudus peredaran minuman

Peredaran Minuman beralkohol di


2. Bagaimana analisis sosiologis
Beralkohol di Kabupaten Kudus
atas upaya pengendalian
Kabupaten Kudus. dilakukan oleh aparat
peredaran minuman beralkohol
penegak hukum yaitu
di Kabupaten Kudus?
Satpol PP yang

melakukan

pengawasan mengenai

peredaran minuman

beralkohol melakukan

upaya pengawasan

yaitu non yustisial dan

pro justicia. Dimana

tindakan non yustisial

ini dilakukan dengan

memberikan

pembinaan, menasihat

atau membimbing

agar tidak mengulangi

kesalahan yang sudah

dibuatnya yaitu

melangar Peraturan

Daerah. Tindakan pro

justicia tindakan yang

19
dilakukan apabila

tindakan non yustisial

dirasa belum

memberikan efek jera.

Pemerintah

melakukan

pengawasan peredaran

minuman beralkohol

melalui Dinas Sosial

dengan memberikan

sosialisasi atau

penyuluhan yang

diberikan di daerah-

daerah yang ada di

Kabupaten Kudus.

2 Reka 1. Bagaimana pelaksanaan Kualitatif/ Pengendalian dan

Aprilia/2019/Imple Pengendalian dan Pengawasan Kecamatan pengawasan terhadap

mentasi Kebijakan Minuman Beralkohol di


Bumi Waras penjualan minuman

Pemerintah Kota Kecamatan Bumi Waras Kota beralkohol di kota


Kota Bandar
Bandar Lampung Bandar Lampung? Bandar Lampung
Lampung
Tentang sudah dilakukan
2. Bagaimana tinjauan Hukum
Pengendalian dan namun belum efektif
Islam tentang pelaksanaan
Pengawasan karena masih ada
Kebijakan Pemerintah Kota
Penjualan Minuman minimarket dan/atau
Bandar Lampung Tentang
Beralkohol Menurut toko pengecer yang
Pengendalian dan Pengawasan

20
Hukum Islam (Studi Penjualan Minuman Beralkohol masih menjual

Kasus di Kecamatan minuman beralkohol

Bumi Waras Kota tanpa memiliki izin

Bandar Lampung) penjualan minuman

beralkohol (SIUP-

MB). Pemerintah,

Badan Hukum,

Perindustrian dan

Perdagangan

melakukan

pengendalian yaitu

meliputi pemantauan,

pemeriksaan, dan

evaluasi. Selain upaya

pengawasan yang

dilakukan langsung ke

lapangan, pemerintah

juga melakukan upaya

pengawasan preventif

guna untuk mencegah

terjadinya

penyimpangan atau

penyelewengan

terhadap peredaran

minuman beralkohol.

21
Pemerintah dalam

melaksanakan tugas

perlindungan kepada

masyarakat dari

penggunaan minuman

beralkohol diatur

sesuai dengan

permendag nomor 06

tahun 2015. Faktor

penghambat dari

pengawasan minuman

beralkohol adalah

tidak dilakukan

pemeriksaan secara

berkala oleh Satuan

Polisi Pamong Praja

terhadap suatu

minimarket, tempat

hiburan dan toko

pengecer, dan

kurangnya tenaga

kerja serta

pembiayaan,

terealisasinya

koordinasi antar

22
instansi yang tidak

baik adanya

pemungutan dana,

sehingga terfokus 119

pemeriksaan kepada

toko pengecer,

kurangnya kesadaran

masyarakat dalam

memberikan informasi

3 Fadullah/2012/ 1. Apakah faktor-faktor Kualitatif/ Dampak/pengaruh

Tinjauan Yuridis dan penyebab peredaran minuman Kabupaten yang ditimbulkan oleh

Sosiologis Terhadap keras di Kabupaten Luwu? 2. peredaran minuman


Luwu
Peredaran Minuman Bagaimana dampak/pengaruh keras di Kabupaten

Keras di Kabupaten yang ditimbulkan oleh peredaran Luwu yaitu : a. Bila

Luwu minuman keras di Kabupaten dikonsumsi

Luwu? 3. Bagaimanakah sistem berlebihan, minuman

penegakan hukum terhadap beralkohol dapat

peredaran minuman keras di menimbulkan

Kabupaten Luwu? ganggguan mental

organik (GMO), yaitu

gangguan dalam

fungsi berpikir,

merasakan, dan

berperilaku. Efek

setelah minum dalam

23
jumlah besar banyak

sekali berbicara,

muntah, sakit kepala,

pusing, rasa haus, rasa

lelah, disorientasi,

tekanan darah

menurun dan refleks

melambat b. Akibat

Penggunaan Jangka

Panjang yaitu

Kegelisahan,

Gemetar / tremor

Halusinasi, Kejang-

kejang, Bila disertai

dengan nutrisi yang

buruk, akan merusak

organ vital seperti

otak dan hati.

2.5 Relevansi Dengan Program Studi

Peneliti mengambil masalah penelitian ini karena selain tertarik dengan


masalah tersebut, tetapi juga karena masalah tersebut berkaitan dengan program
studi Ilmu Administrasi Negara,khususnya dalam mata kuliah Kebijakan Publik
dan Implementasi Kebijakan.

24

Anda mungkin juga menyukai