Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang akan

menjadi landasan teoritis dan menjadi pedoman dalam melaksanakan penelitian.

Setelah masalah penelitian dirumuskan maka langkah selanjutnya adalah mencari

teori-teori, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang

dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk melaksanakan penelitian.

Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruk,

defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena social secara

sistematis dengan cara mengkonstruksi hubungan antar konsep dan proposisi

dengan menggunakan asumsi dan logika tertentu. Adapun kerangka teori dalam

penellitian adalah sebagai berikut:

II.2 Kebijakan Publik

A. Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologi, kebijakan publik terdiri atas dua kata, yaitu kebijakan

dan publik. Dari kedua kata yang saling berkaitan tersebut, oleh Graycar dalam

(Kaban 2008:59) kebijakan dapat dipandang dari empat perspektif, yaitu filosofis,

produk, proses, dan kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan

dipandang sebagai serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan. Sebagai

suatu produk, kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau

Universitas Sumatera Utara


rekomendasi. Sebagai suatu proses, kebijakan menunjuk pada cara dimana melalui

cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya

yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya. Sedangkan sebagai

suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar-menawar dan

negoisasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya. Menurut

Thomas R. Dye dalam Dunn terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk

sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan tersebut sebagai

kebijakan publik (public policy), pelaku kebijakan (policystakeholders), dan

GAMBAR II.1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan Menurut Thomas R. Dye

lingkungan kebijakan (policy environment).

Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling mempengaruhi.

Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan,

namun mereka juga dapat pula dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.

Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat

kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Sedangkan jika dilihat dari proses

kebijakan, teori proses kebijakan paling klasik dikemukakan oleh David Easton.

Universitas Sumatera Utara


Gambar II.2. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton

Model proses kebijakan publik dari Easton mengasumsikan proses

kebijakan publik dalam sistem politik dengan mengandalkan input yang berupa

tuntutan (demand) dan dukungan (support).

Seperti yang dinyatakan oleh Dye (Parsons, 2008), kebijakan publik adalah

studi tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah

mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut”.

Kebijakan publik dapat berupa tindakan, program, atau keputusan

pemerintah. Carl I. Friederick (1963:79) mendefinisikan kebijakan publik sebagai

serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah

dalam suatu lingkungan tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada. Harold

Laswell dan Abraham Kaplan (1970:71) mendefinisikannya sebagai suatu

program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu,

dan praktik-praktik tertentu. Riant Nugroho sendiri mendefinisikan kebijakan

publik sebagai setiap keputusan yang dibuat oleh Negara, sebagai strategi untuk

Universitas Sumatera Utara


merealisasikan tujuan dari Negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk

mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi,

untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan.

Namun kebijakan publik juga bisa berupa dampak dari tindakan atau

aktivitas pemerintah. Seperti yang diungkapkan oleh David Easton (1965:212)

bahwa kebijakan publik adalah akibat aktivitas pemerintah (the impact of

government activity). Secara sederhana, kebijakan publik dapat didefinisikan

sebagai tindakan dan/atau dampak dari tindakan pemerintah yang diproyeksikan

untuk tujuan tertentu.

B. Tahapan Kebijakan Publik

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang

dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas

politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan

divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur

menurut urutan waktu: penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Willian N. Dunn,

2003). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan (forecasting),

rekomendasi kebijakan, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kebijakan adalah

aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, lebih lanjut

Dunn mengemukakan tahapan analisis yang harus dilakukan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


1) Penyusunan Agenda ( Agenda Setting )

Tahap penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan pertama kali

adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya

permasalahan ditemukan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn

problem structuring memiliki 4 fase yaitu: pencarian masalah (problem

search), pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah

(problem specification) dan pengenalan masalah (problem setting). Sedangkan

teknik yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah adalah analisis

batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis hirarki dan brainstroming,

analisis multi perspektif, analisis asumsional serta pemeratan argumentasi.

2) Formulasi Kebijakan (policy formulation )

Berkaitan dengan policy formulation Woll berpendapat bahwa formulasi

kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan

masalah publik, dimana pada tahap para analis kebijakan publik mulai

menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan

kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam

menentukan pilihan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis

biaya manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil

pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas.

3) Adopsi Kebijakan

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas

legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

Universitas Sumatera Utara


Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan kebijakan

melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Tahap ini

dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

a) Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternative) yang dilakukan

pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan

merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi

kemajuan masyarakat luas.

b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai

alternatif yang akan direkomendasi.

c) Mengevalusi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria-

kriteria yang relevan (tertentu) agar efek positif alternatif kebijakan

tersebut lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.

4) Implementasi Kebijakan

Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor

(birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan

sumber daya lainya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring

dapat dilakukan. Menurut patton dan sawicki bahwa implementasi berkaitan

dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program,

dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir,

meninterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

Universitas Sumatera Utara


Tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa

yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan

otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat

diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu

penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil

melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.

5) Penilaian Kebijakan (Evaluasi Kebijakan)

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilain terhadap

kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses

implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau

direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran

(kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.

Menurut Dunn evaluasi kebijakan publik mengandung arti yang

berhubungan dengan penerapan skala penilaian terhadap hasil kebijakan dan

program yang dilakukan.

C. Implementasi Kebijakan

1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh arold

Lawswell (Purwanto, 2012: 17). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali

mengembangkan studi tentang kebijakan public, lawswell mengagas suatu

pendekatan yang ia sebut sebagai pendekatan proses (Policy Process Approach).

Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa

sesungguhnya arti dari kebijakan public, maka kebijakan public harus diuraikan

Universitas Sumatera Utara


menjadi beberapa bagian sebagai tahapan-tahapan, yaitu: agenda-setting,

formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari

siklus tersebut terlihat secara jelas bahwa implementasi hanyalah bagian atau

salah satu tahap dari proses besar bagaimana suatu kebijakan public dirumuskan.

Sementara itu, van meter dan van horn dalam winarmo (2002: 102)

membatasi implementasi kebijakan sebagai tinndakan-tindakan yang dilakukan

oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan

kebijakan sebelumnya. tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk

kebijakan sebelumnya tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah

keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu

tertentu maupun dalam rangk melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai

perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan

kebijakan.

Implementasi adalah proses yang krusial dalam proses kebijakan publik.

Implementasi adalah tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan

dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang telah

dirumuskan akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal yang

paling berat, karena dalam tahapan ini dijumpai masalah-masalah yang tidak

dijumpai dalam konsep namunmuncul di lapangan (Nugroho, 2006: 119).

2. Model Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan, terdapat beberapa model kebijakan, yaitu

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


a) Model Implementasi menurut Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn, ada lima variabel yang mempengaruhi

kinerja implementasi, yakni; (a) standart dan sasaran kebijakan; (b) sumberdaya;

(c) komunikasi antar organisasi dan dan kegiatan pelaksana; (d) karakteristik agen

pelaksana; (e) kondisi social, ekonomi dan politik; dan (f) disposisi implementor.

a) Standart dan sasaran kebijakan

Dalam melakukan studi implementasi, tujuan dan sasaran suatu program

yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur sehingga dapat

terealisir, karena implementasi tidak akan berhasil jika tujuan dan sasaran

tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran dasar dari sasaran-

sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari pembuat

keputusan sebagaimana direfleksikan dalam banyak document seperti

regulasi-regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan

criteria untuk evaluasi pencapaian kebijakan.

Gambar II.3. Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Universitas Sumatera Utara


b) Sumberdaya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya manusia (human

resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources).

Kebijakan menuntut tersedianya sumberdaya yang akan mendorong dan

memperlancar implementasi yang efektif. Summber-sumber layak

mendapat perhatian karena sangat menunjang dalam menunjang

keberhasilan implementasi kebijakan.

c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana

Implementasi sebuah program yang efektif perlu dukungan dan koordinasi

dengan instansi lain. untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama bagi

keberhasilan suatu program.

d) Karakteristik agen pelaksana

Yang dimaksud dalam karakteristik agen pelaksana adalah mencakup

struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi

dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi

suatu program.

e) Kondisi social, politik, dan ekonomi

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-

kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi

kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak;

bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan; dan apakah elite

politik mendukung implementasi kebijakan. Kondisi sosial, poitik, dan

ekonomi sangat berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, oleh

Universitas Sumatera Utara


karena itu diharapkan agar kondisi sosial, politik, dan ekonomi eksternal

harus kondusif dan mampu mendukung berjalannya implementasi

kebijakan tersebut.

f) Disposisi implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal penting, yakni: (a) respon

implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya

dalam melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya

terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni

prefensi nilai yang dimiliki implementor

b) Model Implementasi Kebijakan George Edward III

Menurut pandangan Edward dalam Winarno (2002: 125-126), terdapat

empat faktor atau variabel krusial dalam implentasi kebijakan public. Faktor-

faktor atau variabel tersebut, yakni: (a) Komunikasi, (b) Sumber-sumber

(resources), (c) Kecenderungan-kecenderungan (disposisi), dan (d) Struktur

birokrasi.

a) Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan

sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target

group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan

dan sasaran kebijakan tidak jelasatau bahkan tidak diketahui sama sekali

Universitas Sumatera Utara


oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari

kelompok sasaran.

b) Sumberdaya (resources)

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikan secar jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Sumberdaya tersebut

dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan

sumber daya financial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk

implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya

tinggal di kertas berwujud dokumen saja.

c) Disposisi (kecenderungan-kecenderungan)

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki implementor,

seperti komitmen, kejujuran, sifat demokrastis, apabila implementor

memiliki disposisi yang baik, maka dia akan mampu menjalankan

kebijakan dengan baik seperti pa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

Ketika implementor memiliki sikap dan perspektif yang berbeda dengan

pembuat kebijakan, maka implementasi kebijakan juga menjadi tidak

efektif.

Berbagai pengalaman pembangunan dunia ketiga menunjukkan bahwa

tingkat kejujuran dan komitmen aparat rendah sehingga muncul berbagai

masalah seperti korupsi.

d) Struktur birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.

Universitas Sumatera Utara


Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah

adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau

SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan

pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang

rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktifitas organisasi

tidak fleksibel.

Gambar II.4. Model Implementasi Kebijakan George Edward III (Sumber :


Winarno, 2002:12)

komuikasi

Sumber daya

Implementasi

Disposisi

Struktur

c) Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle

Keberhasilan implementasi kebijakan menurut Merilee S. Grindle (1980)

dalam (Sumarsono, 2009: 99) dipengaruhi dua variabel besar, yakni: isi kebijakan

(content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).

a) Variabel isi kebijakan (content of policy) mencakup:

Universitas Sumatera Utara


1. Sejauh mana kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi

kebijakan,

2. Jenis manfaat yang diterima oleh target group,

3. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan,

4. Apakah letak suatu program sudah tepat,

5. Apakah suatu kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan

rinci, dan

6. Apakah suatu program sudah didukung oleh sumberdaya yang

memadai.

b) Variabel lingkungan implementasi (context of implementation) mencakup:

1. Seberapa besar kekuasan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh

para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan,

2. Karakteristik intuisi dan rezim yang sedang berkuasa, dan

3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Gambar II.5. Model Implementasi Merilee S. Grindle

Implementasi kebijakan dipengaruhi

A. Isi kebijakan Hasil kebijakan


Tujuan
1. Kepentingan kelompok sasaran
2. Tipe manfaat a. Dampak pada
3. Derajat perubahan yang masyarakat,
diinginkan individu dan
Tujuan 4. Letak pengambilan keputusan kelompok
5. Pelaksanaan program b. Perubahan dan
yang
6. Sumber daya yg dilibatkan penerimaan
dicapai ? masyarakat
B. Lingkungan Implementasi
1. Kekuasaan, kepentingan, dan
strategi aktor yg terlibat
2. Karakteristik lembaga dan
Program aksi dan penguasa
proyek individu ang 3. Kepatuhan dan daya tanggap
didesain dan didanai

Program yang
dilaksanakan Mengukur keberhasilan
sesuai rencana

Universitas Sumatera Utara


D. Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variabel yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi :

a) Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem).

Kategori tractability of the problem mencakup variabel-variabel: (1)

Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan; (2) Tingkat

kemajemukan kelompok sasaran; (3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total

populasi; (4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

b) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasikan proses implementasi

(ability of statute to structure implementation).

Kategori ability of statute to structure implementationmencakup variabel-

variabel yang mencakup: (1) Kejelasan isi kebijakan ; (2) Seberapa jauh kebijakan

tersebut memiliki dukungan teoretis; (3) Besarnya alokasi sumberdaya finansial

terhadap kebijakan tersebut; (4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan

antar instansi pelaksana; (5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada

badan pelaksana; (6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan; (7)

Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam

implementasi kebijakan.

Variabel di luar kebijakan / variabel lingkungan (nonstatutory variables

affecting implementation) mencakup variabel-variabel: (1) Kondisi sosial ekonomi

masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi; (2) Dukungan publik terhadap

Universitas Sumatera Utara


kebijakan; (3) Sikap dari kelompok pemilih (constituent groups);(4) Tingkat

komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

Gambar II.6. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut


Mazmanian dan Sabatier

Tractability of the problem


1. Availability of valid technical theory and technology
2. Diversity of target-group behavior
3. Target group as a percentage of the population
4. Extent of behavioral change required

Ability of statute to structure Nonstatutory variables affecting


implementation implementation
1. Clear and consistent objectives 1. Socioeconomic condition and technology
2. Incorporation of adequate causal theory 2. Media attention to the problem
3. Financial resources 3. Public support
4. Hierarchical integration with and among 4. Attitudes and resources of constituency
groups
implementing agencies 5. Support from sovereigns
5. Decision-rules of implementing agencies 6. Commitment and leadership skill of
6. Recruitment of implementing officials implementing officials
7. Formal access by outsiders

Stages (dependent variables) in the implementation process


Policy outputs Compliance Actual Perceived Major
of with policy impacts of impacts of revision in
implementing outputs statute
policy policy
agencies bytarget outputs outputs

II.3 Desa

A. Pengertian Desa

Keberadaan desa telah dikenal lama dalam tatanan pemerintahan di

Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka.Masyarakat di Indonesia secara turun

temurun hidup dalam suatu kelompok masyarakat yang disebut dengan desa.

Desa secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, decayang berarti

tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran.Dari perspektif geografis, desa atau

Universitas Sumatera Utara


village diartikan sebagai‘a group of houses and shops in a country area, smaller

than a town’. Desa atau udik, menurut definisi universal adalah sebuah aglomerasi

permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia istilah desa adalah pembagian

wilayah administratif di Indonesia dibawah Distrik, yang dipimpin oleh Kepala

Desa.

Status desa adalah satuan pemerintahan di bawah kabupaten/ kota yang

dipimpin oleh kepala desa. Dengan demikian, kepala desa langsung dibawah

pembinaan bupati atau wali kota. Perlu diketahui bahwa sesuai dengan UU No.

32/ 2004 kecamatan bukan sebagai wilayah administrasi yang membawahi desa-

desa, melainkan hanyalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah

kabupaten atau dapat disebut sebagai perpanjangan tangan kabupaten.

B. Pembangunan Desa

Pengertian pembangunan menurut Todaro bahwa ‘Development is

multidimentional process involving the reorganiazation and reorientation of

entire economic and social system. In addition to improvement income and output

it typically involves, radical, change in institutional , social and administrative,

structures as well as in popular attitudes and, in many case, event customs belief.

Pembangunan merupakan konsep yang tersusun dan terencana secara sistematis,

yang bertujuan untuk menciptakan suasana dan system baru . system itulah yang

kemudian akan memberikan kondisi bagi berkembangnya tata nilali bagi

berkembangnya kehidupan masyarakat.

Pembangunan desa merupakan seluruh kegiatan pembangunan yang

berlangsung di pedesaan, meliputi seluruh aspek kehidupan dari seluruh

Universitas Sumatera Utara


masyarakat yang dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya

gotong royong. Indikator keberhasilan pembangunan desa pada dasarnya adalah

perbaikan rill dalam kondisi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, karena

pembangunan senantiasa merupakan proses perbaikan dari suatu keadaan ke

keadaan yang lebih baik.

C. Keuangan Desa

Keuangan desa adalah segala hak dan kewajiban dalam rangka

menyelenggarakan pemerintah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di

dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban

desa tersebut. Keuangan desa berasal dari pendapatan asli desa, APBD, dan

APBN (Hanif, 2011: 81).

Pendapatan desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa

yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) yang tidak perlu dibayar kembali oleh

desa. Pendapatan desa terdiri atas:

1. Pendapatan asli desa (PADesa);

2. Bagi halis pajak kabupaten/ kota;

3. Bagian dari retribusi kabupaten/ kota;

4. Alokasi dana desa (ADD);

5. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah

kabupaten/ kota, dan desa lainnya;

6. Hibah; dan

7. Sumbangan pihak ketiga.

Universitas Sumatera Utara


II.4 Alokasi Dana Desa (ADD)

A. Pengertian Alokasi Dana Desa (ADD)

Alokasi dana desa adalah dana desa yang berasal dari APBD kabupaten/

kota yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah

yang diterima oleh kabupaten/ kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh

persen). Tujuan alokasi dana desa adalah:

1) Menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan;

2) Meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa

dan pemberdayaan masyarakat;

3) Meningkatkan pembagunan infrastruktur perdesaan;

4) Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka

mewujudkan peningkatan sosial budaya dalam rangka mewujudkan

peningkatan sosial;

5) Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat;

6) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa dalam rangka

pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat;

7) Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan Usaha

Milik Desa (BUMDes).

Rumus yang dipergunakan dalam alokasi dana desa:

1) Asas merata, yaitu besarnya bagian alokasi dana desa yang sama untuk setiap

desa, yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM);

2) Asas adil, yaitu besarnya bagian alokasi dana desa berdasarkan nilai bobot

desa (BDx) yag dihitung dalam rumus dan variabel tertentu (misalnya

Universitas Sumatera Utara


kemiskinan, keterjangkauan, pendidikan dasar, kesehatan dll), selanjutnya

disebut Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP). Besarnya presentase

perbandingan antara asas merata dan adil adalah besarnya ADDM adalah 60%

(enam puluh persen) dari jumlah ADD dan besarnya ADDP adalah 40%

(empat puluh persen) dari jumlah ADD.

Alokasi dana desa dalam APBD kabupaten/kota dianggarkan pada

pemerintahan desa. Pemerintahan Desa membuka rekening pada bank yang

ditunjuk berdasarkan keputusan kepala desa. Kepala desa mengajukan permohnan

penyaluran alokasi dana desa kepada kepala bupati dan kepala bagian

pemerintahan desa secretariat daerah kabupataen/kota melalui camat setelah

dilakukan verifikasi oleh tim pendamping kecamatan. Bagian pemerintahan desa

pada bagian setda kabupaten/kota akan meneruskan berkas permohonan berikut

lampirannya kepada kepala bagian keuangan setda kabupaten/kota atau kepala

badan pengelola keuangan daerah (BPKD) atau kepala badan pengelola keuangan

dan kekayaan asset daerah (BPKKAD). Kepala bagian keuangan setda atau kepala

BPKD atau kepala BPKKAD akan menyalurkan alokasi dana desa langsung dari

kas daerah ke rekening desa. Mekanisme pencairan alokasi dana desa dalam

APBDesa dilakukan secara bertahap atau disesuaikan dengan kemampuan dan

kondisi daerah kabupaten/kota.

Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang pembiayaannya bersumber dari ADD

dalam APBDesa sepenuhnya dilaksanakan oleh tim pelaksana desa dengan

mengacu pada peraturan bupati/walikota. Penggunaan anggaran alokasi dana

desa adalah sebesar 30% (tiga puluh persen) untuk belanja aparatur dan

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai