Anda di halaman 1dari 28

METODOLOGI ANALISIS

KEBIJAKAN PUBLIK
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu
kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain
itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai
serangkaian kegiatan yang meliputi ;
1. Pembuatan kebijakan,
2. Pelaksanaan dan pengendalian, serta
3. Evaluasi kebijakan.
Metode analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intlektual yang dilakukan
dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politik tersebut nampak dalam
serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (evaluasi). Sedangkan
aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan
evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual. James Anderson
(1979:23-24) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan proses kebijakan publik
sebagai berikut:
1. Formulasi Masalah (problem formulation) : Apa masalahnya? Apa yang membuat
hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat
masuk dalam agenda pemerintah?
2. Formulasi kebijakan (formulation): Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan
atau alternatf-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang
berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?
3. Penentuan kebijakan (adoption): Bagaimana alternativ ditetapkan? Persyaratan
atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan
kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa
isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?
4. Implementasi (implementation) : Siapa yang terlibat dalam implementasi
kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

5. Evaluasi (evaluation): Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan


diukur ? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya
evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melakukan perubahan atau
pembatalan?

Sedangkan Michael Howlet dan M. Ramesh (1995:11) menyatakan bahwa proses


kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:
1. Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses agar suatu masalah yang
bias bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan dari pilihan-
pilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih
untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.
4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai
hasil atau kinerja kebijakan.

Dan menurut William Dunn (1994) Kebijakan Publik berarti adalah sebuah proses
atau serangkaian aktivitas analisis dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas
politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai
serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu :
1. Penyusunan agenda,
2. Formulasi kebijakan,
3. Adopsi kebijakan,
4. Implementasi kebijakan, dan
5. Penilaian kebijakan.
Sebuah list pilihan tindakan yang saling berhubungan yang disusun oleh instansi atau
pejabat pemerintah antara lain dalam bidang pertahanan, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan, pengenda-lian kriminalitas, dan pembangunan perkotaan.

Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut:
1. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai
melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
2. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat
persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan
sebab akibat.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang
mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang
dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam
berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model
simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten
untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan
antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta
masyarakat, dan lain-lain.
6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria
dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas
dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif
kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan
kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat ditarik garis besarnya bahwa
proses kebijakan publik bisa dilakukan sebagai berikut :
1. Agenda Setting
2. Policy Formulation
3. Policy Implementation
4. Policy Evaluation

B. PENYUSUNAN AGENDA (AGENDA SETTING)


Agenda setting atau dikenal dengan agenda kebijakan (Winarno, 2007, p. 80)
didefinisikan sebagai tuntutan-tuntutan agar para pembuat kebijakan memilih atau merasa
terdorong untuk melakukan tindakan tertentu. Agenda kebijakan dapat dibedakan dari
tuntutan politik secara umum serta dengan istilah prioritas yang dimaksudkan untuk
merujuk pada susunan pokok-pokok agenda dengan pertimbangan bahwa satu agenda
lebih penting dari agenda lain. Cobb dan Elder (Winarno, 2007, p. 80) mendefinisikan
agenda kebijakan sebagai “a set of politicl conversies that will be viewed as falling within
range of legitimate concerns meriting attention by decision making body” Sementara itu,
Barbara Nelson menyatakan bahwa proses agenda kebijakan berlangsung ketika pejabat
public belajar mengenai masalah-masalah baru, memutuskan untuk memberi perhatian
secara personal dan memobilisasi organisasi yang mereka miliki untuk merespon masalah
tersebut. Agenda kebijakan merupakan arena pertarungan wacana yang terjadi dalam
lembaga pemerintah.

Tidak semua isu yang akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Isu-isu tersebut
harus berkompetisi satu sama lain dan masalah yang dianggap menang akan masuk
kedalam agenda kebijakan. Mengapa terjadi demikian? David Trughman menyatakan
bahwa kelompok-kelompok akan berusaha mempertahankan diri dalam keadaan
equilibrium yang layak, dan jika kondisi. sesuatu mengancam kondisi tersebut, maka
mereka akan bereaksi melakukan penyesuaian diri. Pada saat terjadi ketidakseimbangan
sistem, maka kelompok-kelompok akan melakukan adaptasi terhadap perubahan
perubahan yang menggangu equilibrium tersebut. Konsep eqiliberium Truman ini hanya
menjelaskan seandainya disequiliberium terjadi dalam kelompok. Namum konsep ini
tidak mampu menjelaskan peran elit politik dalam mendorong suatu isu masuk ke dalam
agenda kebijakan. Padahal, Nelson mengungkap bahwa suatu proses kebijakan terjadi
sebagai hasil “belajar” elite politik.

Sedangkan Mark Rushfky menyatakan bahwa suatu isu yang bisa menjadi
agenda, harus melalui konjungsi tiga urutan.
 Pertama, pengidentifikasian yaitu tahap pengidentifikasian masalah yang
didiskusikan sebelumnya.
 Kedua, menitikberatkan pada kebijakan atau pemecahan masalah. Urutan ini,
biasanya terdiri dari para spesialis di bidang kebijakan, seperti misalnya para
birokrat, staf legislatif, akademisi, para ahli dalam kelompok-kelompok
kepentingan, dan proposal yang dibawa oleh komunitas-komunitas tertentu.
 Ketiga, merupakan urutan politik (political stream). Pada urutan ini biasanya
disusun dari perubahan dalam administrasi dan pergantian partisipan atau ideologi
dalam lembaga legislatif.

Menurut Ripley (Kusumanegara , 2010, p. 69) kondisi tersebut adalah:


 Ekstermitas masalah, yaitu isu yang dirasakan sangat membutuhkan pemecahan
 Konsentrasi masalah, yaitu jika isu dari berbagai sumber akan terkonsentras pada
satu area
 Cakupan masalah, yaitu jika isu yang dampaknya mencakup banyak orang
 Mountain climber problem, yaitu isu yang akan terus berkembang setelah
program yang telah dilakukan ternyata tidak bisa memecahkan masalah secara
tuntas
 Analogi agenda setting, yaitu isu yang baru muncuk ternyata hanya analogi isu
lama yang belum berhasl diatasi
 Symbol, jika problem berhubungan dengan simbl-simbol nasional yang dianggap
penting dan sensitive
 Ketersediaan teknoologi, jika ada teknologi yang dapat memecahkan persoalan
 Ketidakhadiran peran swasta, jika persoalan yang tidak dapat dipecahkan melalui
mekanisme pasar, atau peran swasta yang lain.
Sebuah isu yang akhirnya menjadi agenda pemerinta mungkin tdak dinilai
memenuhi semua kondisi diatas. Suatu isu yang memebuhi satu kriteria kondisi sudah
cukup menjadi agenda pemerintah untuk dirumuskan pemecahannya melalui kebijakan.
Namun semakin anyak kriteria kondisi dimiliki suatu isu, semakin layak baginya
diformulasikan dalam kebijakan.
Lester dan Stewart menyatakan bahwa suatu isu akan mendapatkan perhatian bila
memenuhi beberapa kriteria, yaitu

 Pertama, bila suatu isu telah melampui proporsi suatu krisis dan tidak dapat
terlalu lama didiamkan, misalnya kebakaran hutan.
 Kedua, suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersebut bersifat partikularistas,
dimana isu tersebut menunjukkan dan mendratisir isu yang lebih besar seperti
kebocoran lapisan ozon dan pemanasan global.
 Ketiga, mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena
faktor human interest.
 Keempat, mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan
legitimasi, dan masyarakat.
 Kelima isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak
orang.

Dari bermacam isu kebijakan yang muncul ada tahap awal proses kebijakan,
ternyata mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Ada isu yang
mudah didefinisikan dan mudahpula dipecahkan. Namun adapula isu yang sulit
didefinisikan dan dipecahkan. Hal ini menyebabkan para pebuat kebijakan kesulitan
memahami secara pasti hubungan klausal masalah kebijakan dan solusinya. Jika sifat itu
ternyata sulit didefinisikan dan dipecahkan, maka para analis diharapkan lebih cermat
mengobservasi karakteristik persoalannya agar bisa dibuat solusi kebijakan yang tepat.
Juga isu secara continue sehingga bisa didefinisikan kembali berdasarkan pada informasi
baru atau pemahaman baru terhadap.

C. FORMULASI KEBIJAKAN (POLICY FORMULATION)

Formulasi merupakan tahap yang terjadi setelah isu diagendakan. Raymond Bauer
(Kusumanegara , 2010, h. 85) menyatakan bahwa perumusan kebijakan publik adalah
proses transformasi input menjadi output. Jika kita memperhatikan model sistem politik
David Easton, maka pendapat Bauer pada hakekatnya menunjukan aktivitas yang terjadi
dalam proses konversi. Jika demikian maka proses kebijakan publik bersifat politis
karena actor, kepentingan, dan interaksi antara actor menjadi fokus utamanya (Lindblom,
1986). Disampng itu, dimensi politis dalam formulasi dapat terjadi dalam serangkaian
aktifitas yang terjadi didalamnya seperti: mengkoleksi informasi, analisis informasi,
diseminasi, pengembangan alternatif advokasi, membangun koalisi, kompromi dan
negosiasi. Lester dan Stewart menyatakan formulasi kebijakan sebagai sebuah tahap
dalam proses kebijakan dalam mana sebuah isu yang menjadi agenda pemerintah
diteruskan dalam bentuk hukum public.pengagendaan isu pada dasarnya proses artikulasi
dan agregasi yang merupakan fungsi input. Sedangkan yang dimaksud hukum public
adalah ouput sistem politik.

Hasil yang diharapkan dalam formulasi kebijakan adalah solusi terhadap masalah
public. Formulasi merupakan aktivitas kebijakan yang tidak netral dari politik, sehingga
kebijakan ang terbentuk merupakan resultante kompromi politik dari para actor yang
berperan merumuskan kebijakan. Dalam upaya menyelesaikan masalah public, Deborah
Stone menyarankan ada lima tipe solusi yang perlu diformulasikan dalam kebijakan
yaitu:

 Inducement, yaitu langkah kebijakan yang bersifat membujuk atau menekankan


atas suatu isu tertentu, misalnya kredit pajak (positif) dan penalty polusi
(negative)
 Rules, langkah kebijakan yang menekankan pada pembentukan aturan-aturan
dalam bentuk regulasi-regulasi yang harus ditaati oleh masyarakat.
 Facts, langkah kebijakan berupa pembentukan jalur informas untuk mengajak
kelmpok target agar mau melakukan sesuatu yang dianggap menyelesaikan
masalah.
 Rights, langkah kebijakan dengan memberikan hak-hak atau tugas-tugas kepada
masyarakat.
 Power, upaya kebijakan berupa penambahan bobot kekuasaan yang disebabkan
adanya tuntutan tertentu. misalnya memberi kekuasaan khsus kepada badan
legislative untuk memperbaiki pembuatan keputusan melalui bobot kekuasaan
anggaran guna mempengaruhi anggaran pemerintah.
Aktor merupakan penentu isi kebijakan dan dinamika tahap-tahap proses
kebijakan. Lasswelian menunjuk actor sebagai who gets what. Aktor perumus kebijakan
dapat dibedakan menjdi dua yaitu actor resmi dan yang tidak resmi. Termasuk dalam
kelompok resmi adalah:

 Badan-Badan Administrasi (Agen-Agen Pemerintah)


Badan adminsitrasi sebagai pelaksana dari kebijakan publik. Badan administrasi
dapat melakukan penyesuaian kebijakan ketika melaksanakan kebijakan. Oleh
karena perannya yang penting, sudah seharusnya para pembuat kebijakan
(politik) melibatkan badan administrator untuk ikut serta dalam formulasi
kebijakan agar kebijakan dan penerapannya bisa selaras.

 Presiden (eksekutif)
Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat pada komisi-
komisi presidensial, maupun dalam rapat-rapat cabinet. Bahkan presiden terlibat
secara pribadi dalam perumusan kebijakan

 Lembaga legislatif (kongres), Lembaga ini bersama dengan eksekutif (presiden


dan pembantu-pembantunya) memegang peranan yang krusial dalam pembuatan
kebijakan public.lembaga ini berperan dalam melegislasi kebijakan baru maupun
merevisi kebijakan yang dianggap keliru. Setiap undang-undang yang
menyangkut masalah publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga
legislatif, misalnya kebijakan menyangkut swadana rumah sakit. Keterlibatan
lembaga legislaif dapat dilihat dalam mekanisme dengar pendapat, penyelidikan-
penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat
adminsitrasi, kelompok-kelompok kepentingan dan lain sebagainya. Di negara
demokrasi, peran legislatif dalam perumusan kebijakan didasarkan pada
keberadaan mekanisme check and balances dengan eksekutif. Hal ini
menyebabkan pergeseran kekuasaan eksekutif tidak menggeser secara apriori
kekuasan legislatif.
 Lembaga Yudikatif
Badan Yudikatif di AS seringkali mempengaruhi substansi kebijakan publik
melalui penggunaan kekuasaan penijauan yudisial dan penafsiran undang-undang
terhadap kasus yang diajukan kepadanya. Tinjauan yudisial merupakan
kekuasaan pengadilan untuk menentukan tindakan-tindakan yang akan diambil
oleh cabang-cabang eksekutif maupun legislative sesuai dengan konsesi atau
tidak. Bila kebijakan yang diambil bertentangan dengan konstitusi negara, maka
lembaga yudikatif berhak membatalkan dan menetapkan tidak sahnya suatu
kebijakan.

Peran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan diikuti oleh kelompok-
kelompok yang meskipun aktif dalam proses perumusan kebijakan namun mereka tidak
mempunyai kewenangan yang saha untuk membuat kewenangan yang mengikat. Peran
serta tersebut dilakukan oleh:

 Kelompok kepentingan
Kelompok ini memiliki peran penting dalam pembentukan kebijakan publik
hampir di semua negara. kelompok kepentingan menjalankan fungsi artikulasi
kepentingan, yaitu menyatakan tuntutan dan memberikan alternatif tindakan
kebijakan. Kelompok ini seringkali juga memberi informasi kepada pejabat
publik dan seringkali informasi yang diberikan bersifat teknis mengenai sifat
serta konsekuensi yang mungkin timbul dari kebijakan yang diajukan. Pengaruh
kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan tergantung pada fakor:
ukuran-ukuran keanggotaan kelompok, keuangan dan sumber-sumber lain,
kepaduan, kecakapan dari pemimpin kelompok, tidak adanya persaingan
organisasi, tingkah laku para pejabat pemerintah, dan tempat pengambilan
keputusan dalam sistem politik. Suatu kelompok kepentingan akan efektif untuk
mempengaruhi suatu kebijakan, namun cenderung tidak efektif mempengaruhi
bidang kebijakan lainnya.
 Partai Politik
Dalam masyarakat modern, partai-partai poitik cenderung melakukan agregasi
kepentingan. Partai tersebut berusaha mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari
kelompok kepentingan menjadi alternatif kebijakan. Keinginan untuk
memperoleh dukungan saat pemilu mengharuskan partai politik memasukkan
tuntutan-tuntutan yang luas dalam masyarakat dan mencegah kelompok yang
menonjol untuk menjauh.
 Warganegara (individu)
Peran warga negara dalam menyampaikan aspirasi dan masukan terhadap
kebijakan. Beberapa ilmuwan politik berspekulasi bahwa pemberian suara dalam
pemilihan-pemilihan yang murni mungkin merupakan suatu metode yang penting
dari pengaruh warga negara dalam pembentukan kebijakan karena hal tersebut
memungkinkan warga negara untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak
menginstruksikan pejabat-pejabat ini mengenai kebijakan tertentu.

Masalah yang masuk dalam agenda kebijakan selanjutnya akan dibahasa oleh
aktor perumus kebijakan. Masalah tersebut dibahas sesuai tingkat urgensinya dalam
pemecahannya. Tahap dalam formuasi kebijakan menurut Pasolong (2010:42-52) adalah
dimana kebijakan dianalisis kemudian dicari fomulasi terbaiknya melalui langkah-
langkah sebagai berikut.

 Identifikasi masalah
Badjur (Pasolong, 2007, p. 42) mengatakan bahwa pada dasarnya kebijakan publik terjadi
karena adanya masalah yang perlu ditangani secara serius. Tanpa adanya masalah, barang
kali tidak akan pernah dibuat kebijakan publik. Informasi mengenai masalah kebijakan
dapat diperoleh melalui sumber tertulis seperti indicator sosial (social indicators), data
sensus dan laporan-laporan survey nasional, jurnal, koran, dan sebagainya.
Pertanyaan penting yang harus dijawab pada tahap identifikasi masalah adalah:
o Apa isu itu benar-benar masalah?
o Siapa sasarannya?
o Apa alasan atau apa buktinya?
o Apa masalah itu sudah sangat mendesak/urgen?
o Apakah akibat negatif yang terjadi akan signifikan apabila tidak segera
diintervensi?

Jawaban-jawaban terhadap permasalahan tersebut tidak hanya membuat analisis


menjadi tidak rasional tetapi juga lebih etis. Analis tidak boleh melakukan apa yang
disebut solving the wrong problem (Howard Raiffa) atau errors of the third type (Dunn).

Dalam perumusan masalah ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama,
masalah yang diusulkan harus berdasarkan informasi dan data yang bebas dari rekayasa.
Kepalsuan data atau informasi akan memperngaruhi proses formulasi kebijakan karena
akan memberikan hasil yang palsu juga. Hal ini terkesan bahwa masalah yang
dirumuskan telah dipolitisir oleh elit yang menggunakan kesempatan kekuasaanya.

Kedua, cara pengolahan data. Pengolahan data seringkali tidak sesuai dengan
kaidah yang berlaku. Kesalahan dalam pegolahan akan memperngaruhi rumusan maslah.
Ketiga, cara penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan tidak boleh berlebihan atau
sebaliknya. Diperlukan sebuah indicator tertentu yang dapat diterima, misalnya
kecenderungan menunjukan diatas rata-rata nasional atau jauh dibawah rata-rata nasinal
sehingga membutuhkan intervensi serius dan segera. Berbagai metode yang sering
digunakan dalam merumuskan masalah sehingga masalah dapat dipahami dengan baik.
Menurut Subarsono (Pasolong, 2007, p. 43) metode yang sering dipakai adalah:

 Analisis batas yaitu usaha memetakan masalah melalui snowball samping dari
stakeholders. Ini disebabkan karena analisis kebijakan sering dihadapkan pada
masalah yang tidak jelas dan rumit, sehingga perlu minta bantuan stakeholders
untuk memberikan informasi yang berhubungan masalah yang bersangkutan.
 Analisis klasifikasi yakni mengklasifikasikan masalah ke dalam kategori-
kategori tertentu dengan tujuan untuk lebih memudahkan analisis.
 Analisis hirarkis yakni metode untuk menyusun masalah berdasarkan sebab-
sebab yang mungkin dari situasi masalah.
 Brain storming yakni metode untuk merumuskan masalah melalui curah
pendapat dari orang-orang yang mengetahui kondisi yang ada.
 Analisis perspektif ganda yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang
bervariasi dari perspektif yang berbeda mengenai suatu masalah dan
pemecahannya.

 Identifikasi alternatif
Apabila masalah telah diidentifikasikan maka selanjutnya adalah dicari teori yang
mampu mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab, dan berdasarkan analisis tersebut
mengembangkan alternatif- alternatif kebijakan. Tahap ini membutuhkan sensivitas yang
tinggi sebagai ilmuwan dan politikus. Sebagai ilmuwan, seorang analis telah
diperkenalkan dibangku kuliah tentang berbagai penyebab timbulnya isu/masalah.
Sebagai poitisi, seorang analis dapat menilai seberapa besar perhatian pemerintah dan elit
politik yang telah diberikan dalam bentuk anggaran selama sekian lama kepada daerah
untuk mengatasi kemiskinan yang terjadi. Aspek teoritis dan praktis harus menjadi
acuan dalam mengidentifikasikan alternatif kebijakan.
 Seleksi alternatif
Dalam tahap ini, seorang perencana akan melalukan seleksi alternatif terbaik
untuk diajukan ke policy makers.

 Pengesahan kebijakan
Adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-
prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima. Landasan utamanya
adalah variable sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideology negara, sistem
politik, dan sebagainya.

Menurut James Andeson proses pengesahan kebijakan biasanya diawali kegiatan


persuasion and bargaining. Orang mencari dukungan orang lain bahwa pilihannya benar,
bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan kebutuhan yang mendesak, sehingga orang
lain membenarkan dan mendukung tindakan tersebut. Kegiatan bargaining oleh Andeson
diyakini sebagai proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atas
otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya dengan tujuan yang tidak mereka
sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama
tetapi tidak terlalu ideal bagi mereka.
D. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN (POLICY IMPLEMENTATION)
Setelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan publik
diimplementasian. Dalam tahap implementasi, isi kebijakan dan akibat-akibatnya
mungkin akan mengalami modifikasi dan elaborasi bahkan mungkin akan dinegasikan.

Bernadine R. wijaya dan Susilo Supardo (2006:81 dalam (Pasolong, 2007, p. 57)
mengatakan bahwa implementasi adalah proses mentransformasikan suatu rencana ke
daam praktik. Orang sering menganggap bahwa implementasi hanya merupakan
pelaksanaan dari apa yang diputuskan legislative atau para pengambil keputusan, seolah-
olah tahap ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataan dapat dilihat sendiri
bahwa baiknya rencana yang telah dibuat tidak ada gunana apabila tidak dilaksanakan
dengan baik dan benar. Ia membutuhkan pelaksana yang benar-benar jujur, untuk
menghasilkan apa yang menjadi tujuannya, dan benar-benar memperlihatkan rambu-
rambu pemerintah yang berlaku. Sayangnya, implementasi sering digunakan sebagai
ajang melayani kepentingan kelompok, pribadi dan bahkan kepentingan partai.
Implementasi pada dasarnya operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai
tujuan.

Hinggis (1985) mendefinisikan implementasi sebagai rangaian dari berbagai


kegiatan yang didalamnya sumber daya manusia menggunakan sumber daya yang lain
untuk mencapai sasaran strategis. Grindel (1980), implementasi sering dilihat sebagai
proses yang penuh dengan muatan politik dimana mereka yang berkepentingan berusaha
untuk mempengaruhinya. Gordon (1986), mengatakan bahwa implementasi berkenaan
dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program. Dalam hal ini,
administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan
kebijakan yang telah diseleksi. Mengorganisir berarti mengatur sumber daya, unit-unit
dan metode-metode untuk melaksanakan program. Melakukan interpretasi berkenaan
dengan mendefinisikan istilah-istilah program ke dalam rencana-rencana dan petunjuk-
petunjuk yang dapat diterima dan fleksible. Menerapkan berarti menggunakan
instrument-instrumen atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pembayaran-
pembayaran. Atau dengan kata lain implementasi merupakan tahap realisasi tujuan-tujuan
program. Dalam hal ini perlu diperhatikan adalah persiapan implementasi, yaitu
memikirkan dan menghitung secara matang berbagai kemungknan keberhasilan dan
kegagalan, termasuk hambatan dan peluang-peluang yang ada dan kemampuan organisasi
yang diserah tugas melaksanakan program.

Sebagaimana diungkap oleh Laswell dan Stewart (2000), implementasi adalah


tahapan yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalu proses politik.
Implementasi lebih bersifat non politik, yaitu administrative. James Andeson (1979)
menyatakan bahwa implementasi kebijakan/program merupakan bagian dari proses
administrasi. Proses administrasi oleh Anderson digunakan untuk menunjukan desain
atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi pada setiap saat. Proses administrasi
merupakan konsekuensi terhadap pelaksanaan, isi dan dampak kebijakan. Secara luas,
implementasi dapat didefinisikan sebagai proses administrasi dari hukum (statute) yang
didalamnya tercakup keterlibatan berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang
dilakukan agar kebijakan yang ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya suatu
tujuan. Dari dua pengertian implementasi diatas dapat ditafsirkan bahwa kebijakan-
kebijakan diimplementasikan belum tentu dapat mencapai tujuannya.

Selain pengertian diatas, implementasi kebijakan dipahami sebagai suatu proses,


output, dan outcome. Implementasi dapat dikonseptualisasikan sebagai proses karena
didalamnya terjadi beberapa rangkaian aktivitas yang berkelanjutan.Implementasi juga
diartikan sebagai outputs, yaitu melihat apakah aktivitas dalam rangka mencapai tujuan
program telah sesuai dengan arahan atau bahkan mengalami penyimpangan. Selain itu,
implementasi juga dikonseptualisasikan sebagai outcomes, yang terfokus pada akibat
yang ditimbulkan dari adanya implementasi kebijakan, yaitu apakah implementasi suatu
kebijakan mengurangi masalah atau bahkan menambah masalah dalam masyarakat. Studi
implementasi mencakup fenomena yang luas dan bahkan overlapping dengan studi
evaluasi (Ripey, 1985). Sekalipun fenomenanya kompleks, para pengkaji implementasi
kebijakan disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek pemahaman seperti:
proses, output, dan outcme. Juga perlu diperhatikan bermacam aktor yang terlibat,
organisasi, dan teknik pangawasannya.

Dalam proses implementasi, perlu diadakan pendekatan-pendakatan massif,


beberapa pendekatan implementasi digunakan untuk meningkatkan efektivitas
implementasi yang menyandarkan pendekatan dari atas atau top down. Beberapa
pendekatan tersebut adalah (Wahab, 2008, pp. 110-120):

a. Pendekatan Struktural
Struktur organisasi tertentu hanya cocok digunakan untuk tipe tugas dan
lingkungan tertentu pula. Analisis organisasi modern telah memberikan sumbangan yang
berharga pada studi implementasi, karena rancang bangun kebijakan dan rancangan
bangun organisasi, sedapat mungkin dipertimbangkan secara bersamaan. Untuk
menyederhanakan masalah yang luas kita perlu menarik perbedaan antara perencanaan
mengenai perubahan dan perencanaan untuk melakukan perubahan.

Perencanaan mengenai perubahan berarti bahwa perubahan ditimbulkan dari


dalam organisasi atau sepenuhnya berada dibawah kendali organsasi, baik arah, laju
maupun waktunya. Disini implementasi dipandang sebagai persoalan teknis atau
persoalan manajerial. Perencanaan untuk melakukan perubahan, berlangung apabila
dipaksakan oleh faktor eksternal/ organisasi lain atau kekuatan-kekuatan lingkungan atau
jika proses itu sukar untuk diramalkan , dikontrol, atau dibendung. Implementasi akan
membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, proses pembuatan kebijakan secara
keselurhan lebih bersifat linier, dan hubungan antara kebijakan dengan implementasi
akan mendekati apa yang oleh Barrett dan Fudge sebagai Policy—Action—Policy
Continue.

Bentuk organisasi yang cocok untuk merencanakan perubahan tersebut dapat


bersifat agak birokratik, seperti model Weber. Sedangkan organisasi yang cocok untuk
melakukan perencanaan perubahan adalah organisasi yang tidak terlalu mementingkan
perincian tugas dan kurang menekankan struktur yang hirarkis. Struktur yang bersifat
organis dianggap cocok dalam lingkungan yang mengalami perubahan dan ketidakpastian
yang tinggi. Struktur seperti itu mampu menyresuaikan diri dengan cepat dan efektif,
sebagian karena mereka memiliki kemampuan untuk mengelola informasi, khususnya
bila dibandingkan dengan organisasi birokrasi yang tradiisonal. Struktur yang bersifat
organis cocok untuk situasi implementasi dimana kita memerlukan merancang bangun
struktur-struktur yang mampu melaksanakan suatu kebijakan senantiasa berubah bila
dibandingkan dengan merancng struktur bangun untuk struktur khusus untuk program
yang sekali selesai.

Namun karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, bentuk struktur yang organis


seringklai tidak mudah diterima dikalangan dinas-dinas pemerintah, semisal kebutuhan
pertanggungjawaban dan keharusan untuk terlihat konsisten dan seragam dalam
menangani kasus yang serupa. Untuk itu, bentuk struktur yang kompromis mungkin
adalah struktur matrik dimana departemen-departemen vertikal bersilang dengan tim-tim
proyek antar departemen horizontal yang dikepalai oleh pimpinan-pimpinan proyek.
Kombinasi struktur yang bersifat birokratik dan andhokrasi ini mengandug kelemahan
tertenu, misalnya adanya kewenangan ganda, tetapi bagaimanapun ia lebih luwes bila
dibandingkan struktur-struktur model mesin pemerinta yang selama ini ada.

b. Pendekatan prosedural dan manajerial


Upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur yang tepat—
termasuk prosedur managerial beserta teknik-teknik yang relevan penting bagi
implementasi program. Kita tarik garis pembeda antara perencanaan mengenai perubahan
dan perencanaan untuk melakukan perubahan. Dalam hal pertama implementasi
dipandang sebagai masalah teknis atau manajerial. Disini prosedur-prosedur yang
dimaksud menyangkut penjadwalan, perencanaan, dan pengawasan. Dengan demikian
logikanya adalah sesudah identifikasi masalah dan pemilihan kebijakan yang dilihat dari
sudut biaya dan efektivitas paling memenuhi syarat, maka tahap implementasi itu
mencakup urutan sebagai berikut:

o Mendesain program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas,
penentuan ukuran prestasi kerja, biaya dan waktu.
o Melaksanakan program, dengan mendayagunakan struktur-struktur dan
personalia, dana dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metode-metode yang
tepat.
o Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana pengwasan yang
tepat guna menjamin bahwa tndakan-tindakan yang tepat dan benar dapat segera
dilaksanakan.
Namun pendekatan ini mengasumsikan adanya tingkat kemampuan pengawasan
yang sangat tinggi atas pelaksanaan dan hasil akhir satu program dan dianggap terisolasi
dari lingkungan. Teknik manajerial yang merupakan perwujudan dari pendekatan
perencanaan jaringan kerja dan pengawasan (network planning and control - NPC) yang
menyajikan suatu kerangka kerja dimana proyek dapat direncanakan dan
implementasinya dapat diawasi dengan cara mengidentifikasikan tugas-tugas yang harus
diselesaikan, hubungan antara tugas tersebut, dan urutan logis dimana tugas harus
dilaksanakan. Bentuk jaringan kerja yang canggih misalnya program evaluation and
review technique (PERT) memungkinkan untuk memperkirakan secara tepat jangka
waktu yang tepat dalam menyelesaikan tiap tugas, mendukung lintasan kritis dimana
setiap keteledoran akan menghambat penyelesaian keseluruhan proyek, memonitor setiap
luang waktu yang tersedia bagi penyelesaian tugas dalam jaringan kerja, dan
merealokasikan sumber-sumber guna memungkinkan kegiatan-kegiatan yang terletak
disepanjang lintasan kritis dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Analisis jaringan kerja juga digunakan dalam menyelesaikan tugas-tugas


pemerintahan sehari-hari, misal penjadwalan kontrak pembangunan gedung. Penggunaan
sebagai sarana/instrument pengendalian/pengawasan tergantung pada sejauh mana
jaringan kerja itu benar-benar komunikatif, dapat diterima oleh semua kalangan, layak
dan dapat dipercaya.

c. Pendekatan keperilakuan
Perilaku manusia beserta segala sikapnya harus dipengaruhi kebijakan jika ingin
kebijakan diimplementasikan dengan baik. Pendekatan keperilakuan didasari bahwa
seringkali terdapat penolakan terhadap perubahan. Alternatif - alternatif yang tersedia
jarang sekali yang sesederhana seperti menerima atau menolak, dan sebenarnya
terbentang spectrum kemungkinan reaksi sikap, mulai dari penerimaan aktif hingga pasif,
acuh tak acuh, dan penolakan pasif hingga aktif. Mungkin terdapat perasaan khawatir
terhadap perubahan itu sendiri, karena perubahan berart ketidakpastian dan toleransi yang
rendah dari beberapa orang terhadap situasi yang tidak pasti tersebut. Untuk menghindari
atau mengurangi penolakan, informasi yang lengkap mengenai perubahan yang
diharapkan disediakan sejak awal, yang meliputi alasan, tujuan, dan sarana yang
digunakan. Selain itu harus ada kontak yang ekstensif dengan pihak-pihak yang akan
dipengaruhi perubahan. Penerapan analisis keperilakuan pada masalah manajemen yang
paling dikenal adalah pengembangan organisasi / Organizational Development (OD).
Pengembangan organisasi adalah suatu proses untuk menimbulkan perubahan-perubahan
yang diinginkan dalam suatu organisasi melalui penerapan ilmu keperilakuan. OD juga
merupakan salah satu bentuk konsultasi manajemen dimana seorang konsultan bertindak
sebagai agen perubahan untuk mempengaruhi seluruh budaya organisasi, termasuk sikap
dan perilaku para pegawai yang menduduki posisi kunci.

Bentuk lain dari pendekatan keperilakuan ialah Management By Objective


(MBO). MBO adalah sebuah pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang
terdapat dalam pendekatan procedural/manajerial dengan unsur-unsur yang termuat
dalam analisis keperilakuan. MBO berusaha untuk menjembatani antara tujuan yang telah
dirumuskan secara spesifik dengan implementasinya. Unsur-unsur pokok yang biasanya
melekat pada MBO ialah: Pertama, harus ada penjenjangan tujuan. Kedua proses untuk
mencapai tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang berbaung dibawah MBO harus bersifat
interaktif. Ketiga, harus ada suatu sistem penilaian atas prestasi kerja yang mencakup
suatu kombinasi monitoring kemampuan manajemen dan pengawasan melekat dan
evaluasi bersama terhadap kemajuan-kemajuan oleh tiap-tiap manajer dan atasan-atasan
mereka.

d. Pendekatan Politik
Pengertian Politik lebih mengacu pada pola-pola kekuasaan dan pengaruh
diantara dan diingkungan organisasi. Alasannya adalah implementasi suatu kebijakan
mungkin direncanakan secara seksama, baik dilihat dari sudut organisasinya,
prosedurnya, manajemennya, dan pengaruh perilaku, tetapi tidak memperhitungkan
realita kekuasaan maka mustahil kebijakan tersebut dapat berhasil. Pendekatan politik
secara fundamental menentang asumsi yang diketengahkan oleh ketiga pendahulunya
khususnya pendekatan keperilakuan. Pada umumnya ilmuwan ilmu sosial menentang
asumsi bahwa konflik adalah bentuk penyimpangan yang dapat disembuhkan dengan cara
penyempurnaan kemampuan komunikasi antar pribadi. Konflik yang ada didalam
organisasi dan kelompok sosial merupakan gejala endemis, karena tidak bisa hanya
diatasi lewat komunikasi dan koordinasi.
Dengan demikian, keberhasilan suatu program kebijakan pada akhirnya
tergantung pada kesediaan dan kemampuan kelompok yang dominan dari kelompok
untuk memaksakan kehandaknya. Apabila kelompok dominan tidak ada mungkin
implementasi kebijakan hanya bisa dicapai melalui proses panjang yang bersifat
incremental dan saling pengertian diantara mereka yang terlibat. Analisis mengenai aspek
politis dari implementasi kebijakan makin penting bila menyangkut berbagai lembaga
pemerintah, mengingat kenyataan bahwa sebagian besar kebijakan pemerintah pusat
sebenarnya tidak dilakuak oleh departemen pemerintah pusat.

Pemerintah daerah dan instansi lain juga mengeluarkan kebijakan yang


membutuhkan persetujuan dari organisasi lainnya. Badan tertentu memiliki keleluasaan
bertindak dengan implementasi disamping memiliki kekuatan menawar (bargaining
power) dalam hubungannya dengan instansi lain, baik pada saat implementasi maupun
pada awal ketika akibat/dampak implementasi didiskusikan. Jika lebih dari dua organisasi
yang terlibat, maka ruang lingkup keleluasaan bertndak itu akan semakin besar,
misalnnya karena kemungkinan muncul persekongkolan diantara beberapa organisasi
ataupun saling pengertian.

E. EVALUASI KEBIJAKAN (POLICY EVALUATION)

Sebagian besar ahli kebijakan berpendapat (Kusumanegara , 2010, p. 121) bahwa


tahap akhir dari proses kebijakan disebut tahapan evaluasi. Lester dan Stewart (2000)
menyatakan evaluasi kebijakan pada hakekatnya mempelajari konsekuensi-konsekuensi
kebijakan publik. Kajian yang memberi deskripsi dan eksplanasi atas eksistensi kebijakan
tidak termasuk dalam studi evaluasi. Badjuri (2003: 132, dalam (Pasolong, 2007, p. 60)
mengatakan bahwa evaluasi kebijakan salah satu tahapan penting kebijakan. Keban
(2004:74 dalam (Pasolong, 2007, p. 60), salah satu bidang pentng yang digunakan untuk
mengawasai jalannya proses implementasi adalah monitoring. Di dalam proses
monitoring ini dilakukan pengamatan langsung ke lapangan dan hasil-hasil sementara
untuk dinilai tingkat efisiensi dan efektiitasnya, semua biaya yang dikeluarkan selama
proses implementasi dibanding dengan hasil sementara yang diperoleh, sementara tingkat
efektivitasnya selalu dikaitkan dengan apakah suatu hasil sementara yang didapatkan
merupakan hasil yang memang dirancang atau tidak.

Evaluasi digunakan untuk memperlajari tentang hasil yang diperoleh dalam suatu
proses untuk dikaitkan dengan pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-
orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon
dari mereka yang berada diluar lingkungan politik. Evaluasi, tidak saja berguna untuk
menjustifikasikan kegunaan dari program yang sedang berjalan, tetapi juga untuk melihat
kegunaan program dan insiatif baru, meningkatkan efektivitas manajemen dan
administrasi program, dan mempertanggungjawabkan hasil kepada pihak yang
mensponsori program tersebut. (Rossi dan Freeman, 1993:3 dalam (Pasolong, 2007, p.
60).

Anderson (1979) berpendapat evaluasi kebijakan memusatkan perhatian pada


estmasi, penilaian, dan taksiran terhadap implementasi (proses) dan akibat-akibat
(dampak) kebijakan. Sebagai aktivitas fungsional, evaluasi kebijakan sebenarnya dapat
dilakukan terhadap keseluruhan tahap-tahap kebijakan bukan hanya tahap akhirnya saja.
Umpamanya menetapkan dan membuat estimasi atas konsekuensi dari berbagai
alternative kebijakan sehubungan dengan masalah yang dihadapi, dalam rangka
mengadopsi salah satu alternative yang dianggap paling baik. Evaluasi kebijakan sebagai
suatu aktivitas suatu fungsional telah dilakukan sejak lama, bahkan sejak kebijakan
publik mulai dikenal. Para pembuat kebijakan dan administrator selalu membuat
penilaian terhadap berbagai dampak dari kebijakan, program, dan proyek tertentu. dalam
melakukan penilaian diketahui banyak faktor yang berpengaruh seperti: ideology,
kepentingan-kepentingan pribadi, atau kriteria nilai lainnya. Sebuah program misalnya,
karena dampaknya, dinilai “sosialistik” dan dapat ditolak oleh kelompok masyarakat lain
(yang tidak menyukai sosialisme). Contoh lainnya program pengurangan pajak bisa saja
dinilai baik oleh para elevator dari partai politik karena dapat menambah jumah suara
bagi parpol tersebut. Program pemberian kompensasi bagi para pengangguran dapat
dinilai buruk karena evaluator lebih tahu banyak siapa yang paling banyak mendapat
keuntungan dalam masyarakat. dalam studi evaluasi terhadap program yang sama sangat
terbuka kemungkinan terjadinya konflik karena adanya perbedaan dari evaluatornya,
kriteria juga berbeda, dan akhirnya kesimpulannya juga berbeda.
Salah satu program yang terpenting adalah unsur subjektivitas dalam evaluasi.
Memang dalam evaluasi diperlukan adanya unsur objektivitas dan bebas nilai, namun
dalam kenyataan evaluasi sangat bersifat politis, misalnya adanya kecenderungan
melaporkan hasil yang sukses meskipun dalam kenyataan tidak sukses, sebagai akibat
kepentingan tertentu seperti keinginan mendapat promosi, mendapatkan proyek baru atau
program baru lagi, malu kalau membeberkan kelemahan dan sebagainya.

Variasi kebijakan evaluasi lainnya memusatkan pada beberapa pertanyaan


terhadap pelaksanaan kebijakan atau program. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: apakah
program telah dilaksanakan secara apa adanya (sesuai dengan peraturan)? Apa dan
berapa biaya finansialnya? Siapa yang menerima keuntungan dari suatu program dan
berapa besarnya? Apakah program yang dilaksanakan merupakan duplikasi dari program
lainnya? Apakah standar legal dan prosedur dilaksanakannya dalam suatu program?
Untuk dapat melakukan evaluasi, diperlukan rncian tentang apa yang perlu dievaluasi,
pengukuran terhadap kemajuan yan diperoleh dengan mengumpulkan data, dan analisis
terhadap data yang ada terutama berkaitan dengan output dan outcome yang diperoleh
untuk kemudian dibandingkan dengan tujuan suatu program.

Hubungan sebab akibat harus diteliti secara cermat antara kegiatan program
dengan output dan outcome yang Nampak. Pertanyaan kunci yang sering diungkapkan
dalam proses evaluasi adalah apakah outcome yang muncul merupakan kebutuhan
pedesaan yang meningkat dua tahun terakhir benar-benar dipengaruhi oleh partisipasi
mereka dalam program pengembangan kecamatan, atau faktor lain. Kalau memang
dipengaruhi oleh faktor lain, maka evaluator tidak dapat mengklaim bahwa program
tersebut telah efektif. Variasi berikutnya adalah yang paling dianggap maju dan paling
mendapat perhatian saat ini adalah evaluasi yang sistematis dan objektif terhadap suatu
program untuk mengukur dampaknya kepada masyarakat, dan apakah suatu program
telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Anderson (1979) menyebutnya sebagai
evaluasi sistematis. Evaluasi sistematis memusatkan perhatian dan kesesuaian antara
dapak dari program dengan kebutuhan public, atau apakah dampak program telah
menjawab masalah-masalah yang dihadapi publik. Beberapa pertanyaan yang diajukan
dalam evaluasi sistematis adalah; apakah hasil program telah sesuai dengan tujuannya?
Bagaimana perbandingan biaya dan manfaat yang diperolehnya? Siapa yang paling
diuntungkan oleh kebijakan? Peristiwa-peristiwa baru apa saja muncul sebagai
konsekuensi dari kebijakan? Secara demikian, evaluasi sistematis menjelaskan baik
pembuat kebijakan dan public tentang akibat actual dari kebijakan dan membuka peluang
terbuaknya diskusi kebijakan sesuai dengan relitas. Selanjutnya evaluasi dapat digunakan
untuk memodifikasi suatu kebijakan atu program dan menyesuaikannya dengan
kebutuhan masa depan.

Dari segi evaluator, siapakah yang menjadi evaluator dari kebijakan tersebut ?
Pada kenyataanya banyak lembaga dalam masyarakat yang berkepentingan dengan
evaluasi kebijakan. Lester dan Steward (2000) menggolongkan para evaluator dalam dua
kelompok, yaitu evaluator internal dan evaluator eksternal. Evaluator internal berasal dari
lembaga legislative dan eksekutif beserta cabang-cabangnya (birokrasi). Salah kelebihan
yang perlu dipertimbangkan bahwa evaluator internal terdiri dari mereka yang mengetaui
secara deail dan terlibat dalam proses kebijakan. Namun ada beberapa kelemahannya
yaitu:

 Para evaluator internal mungkin tidak mempunyai keterampilan yang baik untuk
melakukan evaluasi.
 Karena kebijakan yang dievaluasi melibatkan banyak organisasi, maka evaluasi
yang lengkap tidak dapat diperoleh dengan menguji akibat-akibat yang
ditimbulkan dari kegiatan satu organisasi saja. Pelibatan banyak organisasi akan
memakan biaya yang cukup besar.
 Kegiatan evaluasi bisa saja dipengaruhi oleh keinginan para evaluator internal
untuk tidak melakukan perubahan kebijakan, sehingga hasil kebijakan akan
menyarankan pemerinta untuk melakukan kegiatan serupa yang dievaluasi.
Evaluator eksternal terdiri dari lembaga-lembaga penelitian privat, media
komunikasi massa, kelompok penekan, dan organisasi-organisasi kepentingan public.
Mereka melakukan studi evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah menimbulkan
dampak pada masyarakat maupun organisasi pemerintah. Di Indonesia contohnya,
perguruan tinggi mempunyai lembaga didalamnya yang terlibat dalam pengumpulan data
mengenai performa kebijakan tertentu yang merupakan bagiam kegiatan evaluasi. Pusat
studi kebijakan dan kependudukan Universitas Gadjah Mada (UGM) pernah melakukan
Government Decentralization Survey (GDS) terhadap daerah-daerah otonom di Indonesia
untuk mengevaluasi pelaksanaan dan dampak penerapan desentralisasi di bawah UU No.
22 Tahun 1999.

Disamping bagian yang ada di universitas, evaluator lainya adalah kelompok


kepentingan seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), dan lain-lain yang melakukan evaluasi atas dampak spesifik kebijakan
seperti korupsi, tingkat keterjaminan barang-barang konsumsi, dan lain-lain kebijakan
yang mempunyai relevansi dengan kelompok kepentingan atau penekan.

Dan yang tekahir adalah, tipe evaluasi seperti apa yang digunakan dalam
menganalisa hasil kebijakan tersebut, James Anderson (Winarno, 2007, p. 227)membagi
evaluasi kebijakan kedalam tiga tipe. Masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini
didasari oleh pemahaman para evaluator terhadap evaluasi. Tipe tersebut yaitu:

 Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Evaluasi


kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu
sendiri. Para pembentuk kebijakan dan administrator selalu membuat
pertimbangan-pertimbangan mengenai manfaat dan dampak dari kebijakan-
kebijakan, program-program.

 Tipe kedua, tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau
program-program tertentu. tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan
mendasar mengenai: apakah program dilakanakan sebagaimana mestinya? Berapa
biayanya? Siapa yang menerima manfaat dan jumahnya? Apakah terdapat
duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran
dasar dan prosedur secara sah diikuti?

 Tipe ketiga, tipe evaluasi kebijakan sistematis. Evaluasi sistematik melihat secara
objektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya
bagi masyarakat yang melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan
tersebut tercapai.
Namun demikian, suatu evaluasi tidak selamanya digunakan untuk hal-hal baik.
Dalam hal ini, Carol Weiss (Winarno, 2007, p. 229) mengatakan bahwa para pembuat
keputusan program evaluasi untuk menunda keputusan-keputusan , untuk mengesahkan
dan membenarkan keputusan-keputusan yang sudah dibuat, untuk membebaskan diri dari
kontroversi tentang tujuan-tujuan masa depan dengan mengelakkan tanggungjawab,
mempertahankan program dalam pandangan pemiliknya, pemberi dana, atau masyarakat,
serta untuk memenuhi syarat-syarat pemerintah atau yayasan dengan ritual evaluasi.
Selain itu evaluasi digunakan untuk meraih tujuan-tujuan politik tertentu. oleh karena itu,
otivasi evaluator dalam melakukan evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu motivasi untuk
malayani kepentingan public dan motvasi untuk melayani kepentingan pribadi.

F. KESIMPULAN

Kebijakan (policy) adalah solusi atas suatu masalah. Kebijakan seringkali tidak
efektif akibat tidak cermat dalam merumuskan masalah. Dengan kata lain, kebijakan
sebagai obat seringkali tidak manjur bahkan mematikan, akibat diagnosa masalah atau
penyakitnya membahayakan. Dalam ilmu kebijakan (policy science), yaitu ilmu yang
berorientasi kepada masalah kontekstual, multi disiplin, dan bersifat normatif, serta
dirancang untuk menyoroti masalah fundamental yang sering diabaikan, yang muncul
ketika warga negara dan penentu kebijakan menyesuaikan keputusannya dengan
perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik untuk melayani tujuan-tujuan
demokrasi.
Analisis kebijakan juga merupakan ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai
metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam
menganalisis masalah-masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu
kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan
faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan.
Metode analisis kebijakan adalah sistem standar, aturan, dan prosedur untuk   
menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang    relevan
dengan kebijakan. Metode Analisis Kebijakan mempunyai beberapa karakteristik utama ;
1) Perhatian  yang tinggi pada perumusan dan pemecahan  masalah, 2) Komitmen 
kepada  pengkajian   baik  yang  sifatnya   deskriptif   maupun  kritik nilai,   dan 3)
Keinginan untuk meningkatkan efisiensi pilihan di antara sejumlah alternatif lain. Lima
tipe informasi  yang dihasilkan oleh analisis kebijakan adalah ; masalah kebijakan,
tindakan, hasil, dan kinerja kebijakan. Kelima   tipe informasi tersebut diperoleh melalui
empat prosedur analisis kebijakan: Perumusan   Masalah (Agenda Setting), Formulasi,
Implementasi, dan Evaluasi. Kemudian ditambah dengan adanya argument dari para ahli
yang dapat dipertentangkan sesuai dengan asumsi masyarakat yang mengandung
kebenaran (warrant) dan dukungan(backing).
G. SUMBER

BUKU

Ahmad, Jamaluddin. Perilaku Birokrasi dan Pengambilan Keputusan, (BP-UNM


Makassar, 2011)

Badjuri, Abdul Kahar dan Teguh Yuwono_ Kebijakan Publik: Konsep dan Strategi.
Semarang: Universitas Diponegoro, 2002
Dunn, William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2000)

Dwiyanto, Agus Manajemen Pelayanan Publik : Peduli, Inkusif dan Kolaboratif, (Gadjah
Mada Press:2015)

Dye, Thomas R. Understanding Public Policy Analisys: an Introduction. Second Edition


(terjemahan), Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press, 1978

Grindle, Merilee S. Politics and Policy Implementation in the Thirrd World. New Jersey:
Princeton Univercity Press, 1980

James E. Anderson. Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston,


1984), cet. ke-3

Kusumanegara, Solahuddin. Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan, (Gavamedia :


2010)

Pasolong, Harbani. Metode Penelitian Administrasi Publik, (Alfabeta Bandung: 2013)

Purwanto, Agus & Dyah Ratih S, Metode Penelitian Kuantitatif untuk administrasi
publik dan masalah-masalah sosial, (Gavamedia Yogyakarta : 2007)

Samad, Zainuddin. Birokrasi Dalam Pelayanan Publik, (Yogyakarta : 2016)

Winarno, Budi. Kebijakan Publik, Teori & Proses, edisi revisi, Penerbit Media Pressindo.
Yogyakarta: Media Pressindo, cetakan pertama, 2007

Wirjana, Bernardine R dan Supardo, Susilo. 2005. Kepemimpinan, dasar-dasar dan


pengembangannya. Andi : Yogyakarta
LAMAN / WEBSITE

http://podoluhur.blogspot.co.id/2013/12/metodologi-analisis-kebijakan.html
https://massofa.wordpress.com/2008/10/15/proses-analisis-kebijakan-publik/
http://www.academia.edu/7394398/
Analisis_Kebijakan_Publik_dalam_Proses_Pembuatan_Kebijakan
http://www.pendidikanku.org/2015/02/pengertian-dan-bentuk-analisis.html
http://www.academia.edu/4704723/ANALISIS_KEBIJAKAN_PUBLIK_Oleh

Anda mungkin juga menyukai