Anda di halaman 1dari 21

2.

1 Deskripsi Teori

Deskripsi teori menjelaskan tentang teori-teori dan konsep yang

dipergunakan dalam penelitian yang sifatnya utama, tidak tertutup kemungkinan

untuk bertambah seiring dengan pengambilan data di lapangan. Deskripsi teori

menjadi pedoman dalam penelitian ini dan untuk menerjemahkan fenomena-

fenomena sosial yang ada di dalam penelitian. Teori yang relevan peneliti kaji

sesuai dengan uraian pada bab sebelimnya.

(sumber : Fuad dan Nugroho, 2012:56).

2.1.1 Pengertian Kebijakan

Satu hal yang harus diingat dalam mendefinisikan kebijakan adalah

bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai

apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbanhg dengan apa yang diusulkan dalam

tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Definisi tentang kebijakan

publika akan lebih tepat bila definisi tersebut mencakup pula arah dan

tindakan atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan

tindakan.

Pengertian tentang apa itu kebijakan telah banyak didefinisikan oleh

para ahli dan sumber. Menurut Charles O. Jones Jones, kebijakan publik

sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya

mengubahnya sedikit demi sedikit. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai

decision making, yaitu ketika pemerintah membuat suatu keputusan untuk

suatu tindakan tertentu. Klasifikasi ini juga dapat didefinisikan sebagai


intervensi negara dengan rakyatnya ketika terdapat efek dari akibat suatu

program yang dibuat oleh pemerintah yang diterapkan dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Robert Eyestone Secra luas kebijakan publik dapat

didefinsikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.

Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai democratic governance, dimana

didalamnya terdapat interaksi negara dengan rakyatnya dalam rangka

mengatasi persoalan publik.

Chandler dan Plano ( 1988:20) Kebijkan publik adalah pemanfaatan

yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan

masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu

bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi

kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka

dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat

diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini

pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk

mengatasi persoalan publik. Sedangkan menurut James Anderson dan

Winarno (2012:21) kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai

maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam

mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Menurut Anderson dan

Winamo, konsep kebijakan publik kemudian mempunyai beberapa implikasi,

yakni :
1. bahwa kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan

tindakan yang berorientasi pada tujuan,

2. bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat-pejabat pemerintah,

3. bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh

pemerintah,

4. bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa

bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat

negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak

melakukan sesuatu, dan

5. bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-

undangan dan bersifat memaksa (otoritatif)

Berdasarkan pengertian-pengertian tentang kebijakan sebagaimana

dijelaskan diatas penulis dapat simpulkan bahwa kebijakan public adalah yang

dipilih pemerintah untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan

berkaitan dengan pencapaian tujuan yang diinginkan ataupun penyelesaian

masalah di suatu negara. Kebijakan publik mempunyai tahap-tahap yang

sebagaimana dikemukakan oleh William Duun (2012:35-37) yaitu :

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan

1) Tahap Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam

realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai

apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik

dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah

publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak

mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu

publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan

(policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem).

Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para

aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan

pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut Dunn (1990), isu


kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang

rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.

Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

2) Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas

oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian

dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari

berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan

perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap

perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih

sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

3) Tahap Adopsi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar

pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh

kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Dukungan

untuk rezim cenderung berdifusi-cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap

tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan

disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di

mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.


4) Tahap Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah di ambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi

yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap inilah

berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan

mendapat dukungan dari pelaksana (implementators), namun beberapa dari yang

lain akan ditentang oleh para pelaksana.

5) Tahap Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang

menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,

implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu

kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap

akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan

demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah

kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah

kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk

mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,

yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui

formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

Rangkaian implementasi kebijakan dapat diamati dengan jelas yaitu dimulai


dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model tersebut mengadaptasi

mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen sektor

publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang kemudian

diturunkan menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada kegiatan-

kegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun kerjasama

pemerintah dengan masyarakat.

Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno 2008:146-147)

mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan

dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup

usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan

operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan

usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh

keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul

Sabatier (Solihin Abdul Wahab 2008: 65), mengatakan bahwa, implementasi

adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi

kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul

sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara yang

mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk

menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.


Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan

sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan

kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan

oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil

yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan itu sendiri.

Terdapat beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi

kebijakan, yaitu:

A. Teori George C. Edward

Ditegaskan oleh Edward III dalam Juliartha (2009:58) bahwa masalah

utama dari administrasi publik adalah lack attention to implementation bahwa

without effective implementation the decision of policymakers will not be

carried out successfully. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan

dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya

untuk melaksanakan kebijakan, sikap, dan tanggapan dari para pihak yang

terlibat dan bagaimana struktur organisasi pelaksanaan kebijakan.

Menurut pandangan Edward III (Subarsono, 2011: 90-92)

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :

1. Komunikasi, keberhasilan kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan

sasaran kebijakan (target group) sehingga akan mengurangi distorsi

implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau
bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka

kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Menurut

pandangan Edward III (Budi Winarno, 2008: 175-177) proses komunikasi

kebijakan dipengaruhi tiga hal penting, yaitu:

a) Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan

adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu

keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan

suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan.

b) Faktor kedua adalah kejelasan, jika kebijakan-kebijakan

diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-

petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana

kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.

Seringkali instruksi-intruksi yang diteruskan kepada pelaksana kabur

dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program

dilaksanakan.

c) Faktor ketiga adalah konsistensi, jika implementasi kebijakan ingin

berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksaan harus konsisten

dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada

pelaksana kebijakan jelas, tetapi bila perintah tersebut bertentangan

maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana

kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik.


2. Sumber daya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas

dan konsistensi, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya

untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber

daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetisi

implementor, dan sumber daya financial. Sumber daya adalah faktor

penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya,

kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

3. Disposisi, adalah watak dan karakteristik atau sikap yang dimiliki oleh

implementor seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila

implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat

menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh

pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif

yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi

kebijakan juga menjadi tidak efektif.

4. Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.

Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah

adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures) atau

SOP. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan

pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang

rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi

tidak fleksibel.
Dijelaskan oleh Edward III secara singkat bahwa pedoman yang tidak

akurat, jelas atau konsisten akan memberikan kesempatan kepada

Implementors membuat diskresi. Diskresi ini bisa langsung dilaksanakan atau

dengan jalan membuat petunjuk lebih lanjut yang ditujukan kepada pelaksana

tingkat bawahnya. Jika komunikasi tidak baik maka diskresi ini akan

memunculkan disposisi. Namun Komunikasi yang terlampau detail akan

mempengaruhi moral dan independensi implementor, bergesernya tujuan dan

terjadinya pemborosan sumber daya seperti keterampilan, kreatifitas, dan

kemampuan adaptasi. Sumber daya saling berkaitan dengan komunikasi dan

mempengaruhi disposisi dalam implementasi. Demikian juga disposisi dari

implementor akan mempengaruhi bagaimana mereka menginterpertasikan

komunikasi kebijakan baik dalam menerima maupun dalam mengelaborasi

lebih lanjut ke bawah rantai komando.

B. Teori Ripley dan Franklin

Dalam buku yang berjudul Policy Implementasi and Bureacracy,

Randall B. Repley and Grace A. Franklin (1986 : 232-33) (Alfatih, 2010:51-

52), menulis tentang three conceptions relating to successful implementation.

Sehubungan dengan three dominant ways of thinking about successful

implementation tersebut, selanjutnya mereka menyatakan ada analist and

actors yang berpendapat bahwa implementasi kebijakan yang berhasil dinilai,

pertama, memakai ukuran tingkat kepatuhan (degree of compliance). Namun,

yang kedua, ada juga yang mengukur adanya kelancaran rutinitas fungsi. Oleh
karena Ripley dan Franklin menganggap kedua parameter tersebut “is too

narrow and have limites political interest”, maka mereka mengajukan

perspective yang ketiga, yaitu dampak yang diinginkan. Mereka mengutarakan

ini dengan mengatakan “we advance a third persepective, which is that

successful implementation leads to desired... impact from whatever program is

being analyzed.”

Jadi ada 3 perspektif untuk mengukur keberhasilan impelementasi

kebijakan. Ketiga measurement tersebut adalah :

1) Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku.

Perspektif pertama (compliance perspective) memahami keberhasilan

implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementor

dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan

(dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau program.

2) Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi

Bahwa keberhasilan implementasi ditandai dengan lancarnya rutinitas

fungsi dan tidak adanya masalah- masalah yang dihadapi.

3) Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki.

Bahwa keberhasilan suatu implementasi mengacu dan mengarah pada

implementasi/pelaksanaan dan dampaknya (manfaat) yang dikehendaki

dari semua program-program yang dikehendaki.

Pendapat Ripley dan Franklin diatas menunjukkan bahwa keberhasilan

suatu implementasi akan ditentukan bagaimana tingkat kepatuhan, lancarnya


rutinitas fungsi lembaga , dan hasil kebijakan yang sesuai dengan rencana dari

kebijakan.

C. Teori Merilee S. Grindle

Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle, dipengaruhi

oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan

implementasi (context of implementation). Variabel tersebut mencakup:

1) Sejauhmana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat

dalam isi kebijakan

2) Jenis manfaat yang diterima oleh target group

3) Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan

4) Apakah letak sebuah program sudah tepat\

5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan

rinci

6) Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

D. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van

Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation

(1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi

suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja

dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang

berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan


bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik,

pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja

kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-

variabel tersebut yaitu:

1) Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya

dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur

yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran

kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino,

2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan

untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar

dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja

kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian

standar dan sasaran tersebut.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan

kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi

gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari

terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki

hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi

para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga

merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam
melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti

apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

2) Sumber daya

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan

sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu

implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber

daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh

kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia,

sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam

keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study

suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to

the failure of the program”.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa

”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan

komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka

untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya

ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan

(implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif

lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar

terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”


3) Karakteristik organisasi pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan

organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan.

Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat

dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya.

Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada

beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada

konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif.

Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam

menentukan agen pelaksana kebijakan.

4) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van

Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan

harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab

atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan

harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka

penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi

standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity)

dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap

suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan

kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana
kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang

harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya,

komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses

pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke

organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan

(distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi

berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap

suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan

interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu

saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit

untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.

Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif,

sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara

akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn,

dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang

ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi

di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka

kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.

5) Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006):

”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat

mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik.


Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah

hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan

persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top

down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui

bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang

harus diselesaikan”.

Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu

kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-

kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van

Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi

kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari

pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan.

Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan

dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari

pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman

(comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon

mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and

rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan

kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan

yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials),

tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah

disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan


kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan

tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin

bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak

apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap

standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk

melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar

terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater

dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana

(implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan.

Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan

gagalnya implementasi kebijakan.

6) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja

implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut

mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan

politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan

kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan

mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

E. Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn

Model mereka ini sering disebut oleh para ahli “the down approach”.

Menurut Hogwood dan Gunn (Abdul Wahab, 1991:57-64), untuk dapat


mengimplementasikan kebijakan secara sempurna (perpect implementation)

maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah

sebagai berikut:

1) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan

menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

2) Tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

3) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

4) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari pada hubungan

kausalitas yang handal.

5) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungannya.

6) Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

7) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

9) Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10) Pihak-pihak yang memiliki wewenang/kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Model ini terdiri dari 10 point yang harus diperhatikan dengan

seksama agar implementasi kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik. Ada

beragam sumber daya, misalnya. Waktu, keuangan, sumber daya manusia,

peralatan yang harus tersedia dengan memadai. Disamping itu, sumber daya

tersebut harus kombinasi berimbang. Tidak boleh terjadi ketimpangan,

misalnya sumber daya manusia cukup memadai tetapi peralatan tidak


memadai, atau sumber keuangan memadai tetapi ketersedian waktu dan

keterampilan tidak cukup. Hambatan lain, kondisi eksternal pelaksana harus

dapat dikontrol agar kondusif bagi implementasi kebijakan. Ini cukup sulit

sebab kondisi lingkungan sangat luas, beragam serta mempunyai karakteristik

yang spesifik sehingga tidak mudah untuk dapat dikendalikan dengan baik.

Misalnya sistem sosial, hal ini sangat sulit untuk dikendalikan sebab sudah

sangat lama ada, tumbuh berkembang, dan sudah menjadi tradisi dan

kepercayaan masyarakat. Contoh lingkungan eksternal lainnya yang sulit

dikontrol adalah keadaan ekonomi masyarakat, dimana sangat tidak mudah

untuk mengubah keadaan ekonomi masyarakat, apalagi dalam waktu dekat

demi implementasi suatu kebijakan public. Teori ini juga mensyaratkan

adanya komunikasi dan koordinasi sempurna. Seringkali, dalam pelaksanaan

suatu kegiatan, kedua hal ini kurang mendapatkan perhatiaan dengan baik.

Apalagi harus sempurna.

Anda mungkin juga menyukai