Anda di halaman 1dari 58

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Kebijakan Publik
a. Pengertian dan Konsep Kebijakan Publik

Secara etimologis, istilah policy (kebijakan) berasal dari bahasa Yunani,

Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis

(negara-kota) dan Pur (kota) dikembangkan dalam bahasa latin menjadi politia

(negara) dan akhirnya dalam Bahasa Inggris pertengahan menjadi policie, yang

berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan

(Wiliam Dunn, 1998:51). Kebijakan juga diartikan sebagai suatu rencana,

pernyataan tujuan, kontrak penjaminan, dan pernyataan tertulis baik yang

dikeluarkan oleh pemerintah, maupun partai politik, dan yang lainnya. Dengan

demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan (Parson, 2006:7). James E.

Anderson (1988:350) juga memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian

tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh

seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Pengertian ini memberikan pemahaman, bahwa kebijakan dapat berasal dari

seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu.

Lebih lanjut James E. Anderson (1988:350) menyatakan, bahwa yang

dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan

pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini menurutnya memiliki implikasi, bahwa:

(1) kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang

berorientasi pada tujuan, (2) kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola
12
tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3) kebijakan merupakan apa yang benar-

benar dilakukan oleh pemerintah, (4) kebijakan bisa bersifat positif dalam arti

merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu

atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk

tidak melakukan sesuatu, (5) kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada

peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif).

Dalam pengertian terkait kebijakan Anderson menyatakan, bahwa kebijakan

selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Hal

ini sejalan dengan pendapat George A (1980:87) yang mengemukakan, bahwa

pengertian kebijakan sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak

dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari

program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secara jelas

diwujudkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-

pidato pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-tindakan yang

dilakukan pemerintah. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye

(1992: 2). Ia menyatakan, bahwa kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh

pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Pengertian lain mengenai

kebijakan dikemukakan oleh Asmawi (2010:76) yang menyatakan, bahwa

kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau

tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada

tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.

Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy (2001:14) mencakup

tindakan-tindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya

13
ditetapkan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh

pemerintah tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.

Terakhir, pengertian Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh

masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah.

James Anderson (1978:3) menyatakan, “adanya keharusan untuk

membedakan antara apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang

sebenarnya mereka lakukan di lapangan”. Hal ini menjadi penting karena kebijakan

bukan hanya sebuah keputusan sederhana untuk memutuskan sesuatu dalam suatu

momen tertentu, namun kebijakan harus dilihat sebagai sebuah proses. Untuk itulah

pengertian kebijakan sebagai suatu arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik

bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain

adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan

kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements),

hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy

outcomes).

Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-

aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam

suatu sistem politik. Keputusan kebijakan diartikan sebagai keputusan-keputusan

yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah

dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Sedangkan pernyataan-

pernyataan kebijakan adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi

kebijakan publik. Hasil-hasil kebijakan lebih merujuk pada manifestasi nyata dari

kebijakan, yaitu hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan

14
dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Adapun dampak-dampak kebijakan lebih

merujuk pada akibat-akibat kebijakan bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau

tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah

(Budi Winarno, 2008:22)

Dari beberapa definisi kebijakan publik (public policy) di atas, maka dapat

diperoleh pemahaman bahwa kebijakan publik merupakan program ataupun aturan

yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dalam mencapai

tujuannya dalam rangka menyejahterakan masyarakat atau berorientasi pada

kepentingan publik.

b. Tahap-Tahap Kebijakan

Untuk menghasilkan suatu kebijakan publik yang baik dan legitimated, maka

dalam studi kebijakan publik ada proses atau tahapan-tahapan kebijakan yang harus

benar-benar diperhatikan. William Dunn (1994:17) secara spesifik menggambarkan

tentang proses atau tahapan kebijakan publik. Hal ini menunjukkan, bahwa

kebijakan publik memiliki dimensi dan sudut pandang yang sangat luas. Adapun

dimensi dari kebijakan publik itu adalah sebagai berikut:

1) Agenda Setting (perumusan masalah). Tahap ini memberikan informasi-

informasi terhadap kondisi yang terjadi dan berkembang di masyarakat.

2) Policy Formulation (peramalan). Tahap ini memberikan suatu alternatif

kebijakan di masa yang akan datang mengenai masalah-masalah yang terjadi

di masyarakat.

3) Policy Adoption (rekomendasi kebijakan). Tahap ini, memberikan

rekomendasi alternatif kebijakan kepada pemerintah dengan dukungan dari

15
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga ataupun keputusan

dari lembaga peradilan tentang penyelesaian masalah-masalah yang

berkembang di masyarakat.

4) Policy Implementation (implementasi kebijakan). Pada tahap ini alternatif

kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah dan selanjutnya dilaksanakan

oleh unit-unit administrasi yang mengerahkan sumber daya keuangan dan

sumber daya manusia dalam pelaksanaan alternatif kebijakan dimaksud.

5) Evaluation (evaluasi kebijakan) Pada tahapan ini, kebijakan yang telah

dilaksanakan akan dinilai dan dievaluasi untuk melihat sejauh mana

kebijakan tersebut mampu memecahkan masalah

Tahap-tahap kebijakan publik dapat dilihat dari bagan berikut:

Gambar 1. Proses Kebijakan Publik


(Sumber: William Dunn, 1994:17)

c. Implementasi Kebijakan Publik

Tahap implementasi dalam lingkaran proses kebijakan publik menempati

posisi yang penting, karena kebijakan akan dikatakan berhasil atau tidak,

16
tergantung pada implementasinya. Van Meter dan Van Horn (1974: 445-468),

mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut: “Policy implementation

encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are

directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”.

Implementasi kebijakan mencakup tindakan yang dilakukan oleh individu

atau individu (atau kelompok) yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang

ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Sementara itu Warwick

(1982:190), mengemukakan:

“Implementation means transaction. To carry out a program, implementers


must continually of organization and the mechanics of administration are
important as background, but the key to success is continual coping with
contexts, personalities, alliances, and events. And crucial to such
adaptation is the willingness to acknowladge and correct mistakes, to shift
directions, and to learn to doing. Nothing is more vital to implementation
then self-correction; nothing more lethal than blind perseveration”.
(Implementasi berarti transaksi. Untuk melaksanakan sebuah program,
pelaksana harus terus-menerus berorganisasi dan mekanisme administrasi
penting sebagai latar belakang, namun kunci sukses terus-menerus
mengatasi konteks, kepribadian, aliansi, dan acara, dan yang penting untuk
adaptasi semacam itu adalah kemauan untuk mengenali dan memperbaiki
kesalahan, mengubah arah, dan belajar melakukan. Tidak ada yang lebih
penting untuk implementasi selain koreksi diri. Tidak ada yang lebih baik
daripada ketekunan).
Maksud dari implementasi kebijakan menurut Warwick tersebut adalah

bahwa dalam melaksanakan sebuah program, harus dilakukan pengorganisasian

administrasi, tapi yang paling penting adalah bagaimana mengetahui kelemahan

dan kekurangan kemudian diimplementasikan setelah itu dikoreksi dan diperbaiki.

Purwanto dan Sulistyastuti (2012:21) mendefinisikan impelementasi adalah

“kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output)

yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group)

17
sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan”. Tujuan kebijakan diharapkan

akan muncul manakala policy output dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik

oleh kelompok sasaran sehingga dalam jangka panjang hasil kebijakan akan mampu

diwujudkan.

Menurut Riant Nugroho (2012:674), implementasi kebijakan pada prinsipnya

adalah, “Cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan, tidak kurang tidak

lebih”. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, menurutnya ada dua pilihan

langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-

program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dan kebijakan

publik. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

Kebijakan Publik

Kebijakan Publik Program


Penjelas

Proyek

Kegiatan

Pemanfaatan

Gambar 2. Siklus Implementasi Kebijakan


(Sumber: Riant Nugroho, 2012: 675)

Upaya untuk memahami implementasi secara lebih baik dapat dilakukan

dengan mengunakan dua pendekatan. Pertama, memahami implementasi sebagai

bagian dari proses atau siklus kebijakan (part of stage of the policy process). Dalam

18
hal ini Anderson (1990:172) memandang implementasi sebagai “Administration of

the law in which various actors, organization, procedures, and techniques work

together to put adopted policies into effect in an effort to attain policy or program

goals”. Artinya implementasi dimaknai sebagai pengelolaan hukum (karena

kebijakan telah disyahkan dalam bentuk hukum) dengan mengerahkan sumber daya

yang ada agar kebijakan tersebut mampu mencapai atau mewujudkan tujuan.

Kedua, implementasi kebijakan dilihat sebagai suatu studi atau sebagai suatu

bidang kajian (field of study). Artinya untuk memahami problematika implementasi

tentu harus memahami elemen-elemen penting dalam studi implementasi, yaitu:

subject matter (ontologi), cara memahami obyek yang dipelajari (epistimologi), dan

rekomendasi tindakan yang di perlukan (aksiologi).

Tahapan-tahapan ilmiah implementasi sebagai sebuah studi menurut (Erwan

Purwanto & Dyah Sulistyastuti:23-24) adalah sebagai berikut:

1) Menemukan masalah-masalah atau fenomena-fenomena implementasi

kebijakan yang menarik untuk dibahas.

2) Merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang hendak diteliti dengan

spesifik.

3) Menyusun landasaan teoritis, konsep, dan variabel-variabel penelitian

dengan teliti.

4) menggunakan metodologi yang tepat sebagai sarana pengumpulan data.

5) Melakukan pengolahan dan aalisis data.

6) Membuat rekomendasi kebijakan dari hasil penelitian.

19
Secara ontologis untuk memehami fenomena implementasi, subject matter

studi implementasi seperti: 1) mengapa sebuah kebijakan publik gagal di

implementasikan di suatu daerah, 2) mengapa suatu kebijakan publik yang sama,

yang dirumuskan oleh pemerintah, memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda-

beda ketika diimplementasikan oleh pemerintah daerah, 3) mengapa suatu jenis

kebijakan lebih mudah dibanding dengan jenis kebijakan lain, 4) mengapa

perbedaan kelompok sasaran kebijakan mempengaruhi keberhasilan implementasi

suatu kebijakan (Purwanto & Sulistyastuti, 2012: 18).

Menurut Schneider (1982:718), ada lima faktor yang mempengaruhi

keberhasilan implementasi, yaitu : kelangsungan hidup (viability), integritas teori

(theoretical integrity), cakupan (scope), kapasitas (capacity), konsekuensi yang

tidak diinginkan (anintended consequences). Sementara itu Sabatier (1986:268),

menyebutkan ada enam variabel utama yang dianggap memberi kontribusi

keberhasilan atau kegagalan implementasi. Enam variabel tersebut adalah: 1) tujuan

atau sasaran kebijakan yang jelas dan konsisten, 2) dukungan teori yang kuat dalam

merumuskan kebijakan, 3) proses implementasi memiliki dasar hukum yang jelas

sehingga menjamin terjadi kepatuhan para petugas di lapangan dan kelompok

sasaran, 4) komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan, 5) dukungan para

stakeholder, 6) stabilitas kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

d. Proses Implementasi Kebijakan

Proses Implementasi kebijakan dimulai sejak kebijakan ditetapkan atau

memiliki payung hukum yang sah. Setelah itu tahapan-tahapan implementasi akan

dimulai dengan serangkaian kegiatan mengelola peraturan: membentuk organisasi,

20
mengarahkan orang , sumberdaya, teknologi, menetapkan prosedur, dan seterusnya

agar tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dapat tewujud. Alasan utama

pentingnya tahapan implementasi dalam proses mewujudkan tujuan kebijakan

adalah, karena tahapan implementasi merupakan “jembatan” antara dunia konsep

dengan dunia realita. Seperti yang dinyatakan oleh Grindle (1980:6), bahwa

implementasi “...establish a link that allows goals of public policies to be realized

as outcomes of governmental activity”. Artinya implementasi ditujukan untuk

membangun sebuah jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik untuk

direalisasikan sebagai hasil kegiatan pemerintahan. Dunia konsep yang dimaksud

adalah dunia “ideal” yang dicita-citakan untuk diwujudkan sesuai formulasi

kebijakan, sementara dunia nyata adalah realitas dimana masyarakat sebagai

kelompok sasaran kebijakan sedang bergelut dengan berbagai persoalan sosial,

ekonomi, dan politik.

Untuk mempermudah pemahaman tentang proses implementasi, serta faktor-

faktor yang mempengaruhi kegagalan atau keberhasilan implementasi suatu

kebijakan perlu dilakukan identifikasi variabel. Para ahli biasanya membedakan

berbagai variabel dalam dua kelompok besar, yaitu variabel terikat (dependent

variablel) merupakan variabel yang dipengaruhi yaitu kinerja implementasi

kebijakan dan variabel bebas (independent variabele) yaitu berbagai faktor yang

mempengaruhi kinerja implementasi tersebut.

Dalam realitas implementasi kebijakan tentu saja tidak semudah gambar di

atas. Bisa jadi terdapat variabel independen yang tidak mempunyai pengaruh

langsung terhadap variabel dependen tapi memerlukan variabel antara. Sebagai

21
variabel dependen, kinerja implementasi kebijakan mempunyai peran sentral,

karena untuk melihat kesuksessan sebuah implementasi tentunya dilihat dari

kinerjanya. Merujuk pendapat Ripley (1985: 134) implementasi dapat dilihat dari

dua perspektif sebagaimana dijelaskan: “Implementation studies have two major

foci: “complience” and “what’s happening?”. Maksudnya adalah studi

implementasi memiliki dua fokus utama yaitu: "kepatuhan" dan "apa yang terjadi?”

Perspektif pertama, (complience perspective) mengartikan keberhasilan

implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementer dalam

melaksanakan kebijakan yang tertulis dalam dokumen kebijakan, baik dalam

bentuk peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, maupun program.

Perspektif kedua, tidak hanya memahami implementasi dari aspek kepatuhan para

implementer kebijakan dalam mengikuti standart oprating procedure (SOP)

semata-mata (Ripley, 1985: 134). Pencapaian tujuan kebijakan tidak cukup hanya

dengan mengikuti SOP semata, akan tetapi sangat dipengaruh oleh faktor lain

seperti ketepatan instrumen kebijakan, kecukupan keluaran kebijakan, kualitas

keluaran kebijakan, dan lain-lain.

e. Pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Publik

Dalam mengimplementasikan kebijakan publik, terdapat 3 (tiga) pendekatan,


yaitu :
a. Pertama, pendekatan yang berpola ”top-down” (dari atas ke bawah). Pola

pendekatannya secara satu pihak dari atas ke bawah, sehingga dalam proses

implementasi kebijakan peranan pemerintah sangat besar. Pendekatan ini

berasumsi para pembuat keputusan merupakan aktor kunci dalam keberhasilan

implementasi, sedangkan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses

22
implementasi dianggap menghambat, sehingga para pembuat keputusan

meremehkan inisiatif strategi yang berasal dari level birokrasi rendah maupun

subsistem-subsistem kebijakan.

b. Kedua, pendekatan yang berpola ”bottom-up” (dari bawah ke atas), pendekatan

”bottom-up” didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong

masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya, atau masih

melibatkan pejabat pemerintahan namun hanya di tataran rendah. Asumsi yang

mendasari pendekatan ini adalah bahwa implementasi berlangsung dalam

lingkungan pembuat keputusan yang terdesentralisasi. Model ini menyediakan

suatu mekanisme untuk bergerak dari level birokrasi paling bawah (the bottom)

sampai pada pembuat keputusan tertinggi di sektor publik maupun sektor privat.

c. Ketiga, pendekatan dengan pola ”mixed” (campuran antara top-down dan

bottom-up). Dalam implementasi sebuah kebijakan pilihan yang paling efektif

adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang

partisipatif, artinya bersifat top-down dan bottom-up. Model ini biasanya lebih

dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan dan murah, bahkan dapat juga

dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national security, (Fischer, Miller, dan

Sidney: 2015).

23
f. Model Implementasi Kebijakan

Suatu kebijakan agar dapat diimplementasikan dengan baik untuk mencapai

tujuan dapat diimplementasikan dengan berbagai model diantaranya:

1) Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975: 463), implementasi kebijakan

dipengaruhi oleh konsep-konsep penting dalam prosedur implementasi

diantaranya adalah perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak. Dengan

memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji

dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam

mengenalkan perubahan dalam organisasi. Seberapa jauh tingkat efektifitas

mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur, (masalah ini

menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam

organisasi yang bersangkutan). Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-

masing orang dalam organisasi, hal ini menyangkut masalah kepatuhan. Atas

dasar pandangan seperi itu Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk

membuat tipologi kebijaksanaan menurut:

a) Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan, dan

b) Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-

pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Implementasi kebijakan pada dasarnya secara sengaja dilaksanakan untuk

meraih kinerja yang tinggi, dimana selama proses itu berlangsung dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Menurut Samodra Wibawa (1994:19-21) faktor-faktor

yang berpengaruh tersebut antara lain:

24
a) Standar dan Sasaran

Standar dan sasaran harus dirumuskan secara spesifik dan konkret.

Seringkali, suatu kebijakan memiliki tujuan yang luas dan kabur

sehingga akan menyusahkan proses implementasinya.

b) Kinerja Kebijakan

Merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran yang

telah ditentukan sebelumnya.

c) Sumber Daya baik SDM, SDA maupun Sumber Daya Modal.

Kinerja suatu kebijakan akan rendah jika sumber daya yang diperlukan

tidak disediakan oleh pemerintah. Persoalannya adalah berapakah

sumber daya minimal yang harus tersedia untuk mengimplementasikan

suatu kebijakan.

d) Komunikasi antara Organisasi dan Aktivitas Pengukuhan

Kejelasan standar dan sasaran belum menjamin keberhasilan suatu

kebijakan tanpa adanya komunikasi. Semua pelaksana harus memahami

apa apa yang diidealkan oleh kebijakan yang telah menjadi tanggung

jawabnya. Komunikasi berkaitan dengan kewenangan dan

kepemimpinan antara atasan dan bawahan.

e) Karakteristik Birokrasi Pelaksana meliputi Karakteristik, Norma, dan

Pola Hubungan Yang Potensial Maupun Aktual.

Pada dasarnya organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus

diperhatikan yaitu kompetensi dan jumlah staf, rentang dan derajat

pengendalian, dukungan politik yang dimiliki, kekuatan organisasi,

25
derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi serta keterkaitan dengan

pembuat kebijakan.

f) Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik

Ini berkaitan dengan lingkungan sistem dari kebijakan itu berada yang

berpengaruh pada efektivitas implementsi kebijakan.

g) Sikap Pelaksana

Sikap pelaksana akan membentuk seberapa tinggi kinerja kebijakannya

yang terwujud dalam bentuk respons yang mereka berikan terhadap suatu

kebijakan. Respon individu pelaksana inilah yang menjadi penyebab

berhasil atau gagalnya proses implementasi.

Model Van Meter dan Van Horn ini menggambarkan bentuk ikatan

(linkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance) (1975: 463). Model

Van Meter dan Van Horn juga dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Model Implementasi Menurut Van Meter dan Van Horn


(Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975:463)

26
2) Model Implementasi Kebijakan Menurut Merilee S. Grindle

Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980: 7) ditentukan oleh isi

kebijakan dan konteks implementasinya. Pernyataan ini tidak jauh berbeda

dengan apa yang dikatakan oleh Van Meter dan Van Horn yang melihat

implementasi dalam keterpengaruhannya oleh lingkungan. Studi ini melihat

adanya tiga dimensi analisis dalam organisasi yaitu tujuan, pelaksanaan tujuan

dan kaitan organisasi dengan lingkungan. Menurut Grindle, Isi kebijakan

mencakup:

a) Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan.

Kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda lebih sulit

dimplementasikan dibandingkan yang menyangkut sedikit kepentingan.

b) Jenis manfaat yang akan dihasilkan.

Kebijakan yang memberikan manfaat yang aktual tidak hanya formal, ritual

dan simbolis kepada banyak pelaku lebih mudah diimplementasikan

dibanding yang kurang bermanfaat.

c) Derajat perubahan yang diinginkan.

Kebijakan yang mensyaratkan adanya perubahan sikap dan perilaku

biasanya sulit diimplementasikan. Kebijakan yang mempunyai tujuan

jangka panjang juga lebih sulit diimplementasikan dibandingkan dengan

kebijakan yang mempunyai tujuan jangka pendek. Manfaat kebijakan

dipengaruhi oleh perubahan yang diinginkan oleh kebijakan.

27
d) Kedudukan pembuat kebijakan.

Posisi pembuat kebijakan akan mempengaruhi bagaimana implementasi

kebijakannya karena kedudukan pelaku memiliki pusat kekuasaan yang

berbeda.

e) Pelaksana Program.

Orang-orang yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan

kebijakan. Tingkat keahlian, dedikasi, kemampuan yang tinggi akan

berpengaruh terhadap kebijakan yang ditanganinya.

f) Sumber daya yang dilibatkan

Sumber yang digunakan dalam program, bentuk, besar, dan asal sumber

daya akan menentukan pelaksanaan dan keberhasilan kebijakan. Sumber

daya yang diperlukan selama proses kebijakan berlangsung.

Konteks kebijakan mempengaruhi proses implementasi sebagaimana

pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik seperti yang dijelaskan dalam

model Van Meter dan Van Horn. Yang dimaksud oleh Grindle (dalam Samodra

Wibawa, 1994:22-25) dengan konteks kebijakan adalah:

a) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat.

Implementasi program akan melibatkan berbagai aktor dari berbagai

tingkat, baik dari pemerintahan maupun non pemerintahan yang

mempunyai strategi dan kepentingan yang berbeda-beda.

b) Karakteristik lembaga dan penguasa.

Hasil dari implementasi merupakan hasil dari interaksi yang terjadi dalam

suatu lembaga.

28
c) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana.

Pelaksana diharapkan mentaati peraturan dalam suatu kebijakan dan

merespon terhadap apa yang diinginkan oleh kelompok sasaran.

Intensitas keterlibatan para perencana, politisi, pengusaha, kelompok

sasaran, dan para pelaksana program akan bercampur-baur mempengaruhi

efektivitas implementasi. Untuk dapat memudahkan memahami model Grindle

dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 5. Model Implementasi Menurut Grindle


(Sumber: Merilee S. Grindle, 1980: 11)

3) Model Implementasi Kebijakan Menurut Sabatier dan Mazmanian (1983).

Kedua ahli ini berpendapat, bahwa peran penting dari analisis

implementasi kebijakan adalah mengidentifikasikan variabel-variabel yang

mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses

29
implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud Sabatier dan Mazmanian

dibagi dalam tiga kategori yaitu:

a) Karakteristik masalah

Termasuk didalamnya adalah ketersediaan teknologi dan teori teknis,

keragaman perilaku kelompok sasaran, sifat populasi, derajat perubahan

perilaku yang diharapkan.

b) Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai peraturan

yang mengoperasionalkan kebijakan.

Kejelasan tujuan/sasaran, teori kausal yang memadai, sumber keuangan

yang mencukupi, integrasi organisasi pelaksana, diskresi pelaksana,

rekrutmen dari pejabat pelaksana, akses formal pelaksana ke organisasi

lain.

c) Faktor-faktor di luar peraturan

Kondisi sosio ekonomi dan teknologi, perhatian pers terhadap masalah

kebijakan, dukungan publik, sikap dan sumber daya kelompok sasaran

utama, dukungan kewenangan, komitmen dan kemampuan pejabat

pelaksana.

Setelah semua faktor tersebut terpenuhi, pada tahap implementasi para

pejabat pelaksana dan kelompok sasaran harus mematuhi program. Tanpa

kepatuhan mereka, tujuan kebijakan tidak akan tercapai. Dapat digambarkan

dalam bagan sebagai berikut:

30
Gambar 6. Model Implementasi Kebijakan Menurut Sabatier dan Mazmanian
(Sumber: Mazmanian dan Sabatier, 1983:542)

Dari berbagai pendapat yang ada, O’Toole (1986: 181-210) meringkas

perkembangan model implementasi kebijakan publik ke dalam tabel berikut:

Tabel 1. Perkembangan Model Implementasi Kebijakan Publik


(Sumber: O’Toole, 1986: 181-210)
No. Penulis dan Tahun Variabel-variabel yang bekerja dalam proses
implementasi
1. Ackerman & Steinmann Resources, interorganizational structure
(1982)
2. Alexander (1985) Stimulus, policy, contextual, organizational,
environmental, perceptual
3. Edwards (1980) Communication (transmission, clarity,
consistency), resourcess (staff, information,
authority, facilities), disposition or attitudes of
implementer, bureaucratic structure (standard
procedures, fragmentation), complexity
4. Elmore (1976, 1977, 1978, Structure of power relationshops and incentives,
1979-1980, 1985) discretion, resources
5. Grindle (1980, 1981) Content of policy (interests affected, types of
benefits, extent of change envisioned, site of
decision making, program implementators,
resources) and context of implementations (power,

31
interests, strategies of actor involved, institution
and regime characteristics, compliance and
responsiveness)
6. Scheirer (1981) Decision and control processes, resources,
relations with environment, supervisory
expectations, routines, technical requirements,
communication flow, work group norms,
behavioral skills, incentives, cognitive supports
7. Browne & Wildavsky (1984) Formal policy (clarity of objectives and priorities,
validity of theory of causality, sufficiency of
financial resources, sufficiency of power);
learning/adaptation
8. Gross et al. (1971) Implementers clarity about innovation, needed
skills and knowledge, availability of materials,
compatability of organizational arrangements with
innovation, degree of staff motivation
9. Hambleton (1983) Policy message; multiplicity of agents,
perspectives, and ideologies; resources; politics of
planning
10. Larson (1980) Policy goals, implementation procedures,
complexity, changes in economic environment
11. Mazmanian dan sabatier Tractability of the problem (four variables); ability
(1981, 1983) of statute to structure implementation (seven
variables); nonstatutory variables (five); initial
implementation success
12. Montjoy & O’Toole (1979) Policy specificity, resources, agency goals,
routines, world view
13. Nakamura and smallwood Pecificity of policy, technical limitations, actors,
(1980) arenas, organizational structures,
bureaucraticnorms, resources, motivations,
communication networks, compliance mechanisms
14. Pressman & wildavsky (1984) Multiplicity of participants, perspectives, decision
points, intensity of preferences, resources
15. Ross (1984) Implementation strategy, tractabilty of policy
problem, content of policy, structure of broader
sociopolitical and policy system, number of actors,
extent of power diffusion, personal and institutional
dispositions of actors, clarity, adequacy of
resources, support of leaders, institutional routines
16. Williams (1980, 1982) Bergaining and fixing, institutional arraangements,
staff competence, marketlike pressures,
information process, resources
17. Weatherley & Lipsky (1977) Resources, coping behaviors of street-level
bureaucrats
18. Smith (1973) Various tensions among idealized policy,
implementing organization, target group,
environmental factors
19. Van Meter and Van Horn Policy standards, resources, enforcement,
(1975) communications, characteristics of implementing
agencies, political conditions,
32
20. Thomas (1979) Local propensity to accept a program, blend of
policy incentives with conditions, how the issue
develops

g. Penilaian Implementasi Kebijakan

Kegagalan ataupun keberhasilan implementasi suatu kebijakan dalam

mewujudkan tujuan kebijakan yang telah digariskan dalam literatur studi

implementasi kemudian dikonseptualisasikan sebagai kinerja implementasi.

Kinerja implementasi inilah yang kemudian menjadi salah satu fokus perhatian

yang penting dalam studi implementasi. Oxford English Dictionary mendefinisikan

kinerja sebagai; “The accomplishment, execution,caryingout, working out of

anything ordered or undertaken”. Dari definisi tersebut kinerja dapat diartikan

sebagai keberhasilan (kesuksesan) suatu tindakan, tugas, atau operasi yang

dilakukan oleh orang, kelompok orang, atau organisasi. Kinerja dengan demikian

dapat merujuk pada keluaran (output), hasil (outcome), atau pencapaian

(accomplishment). Jika dikaitkan dengan kebijakan, kinerja suatu kebijakan dapat

didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian implementasi dalam

mewujudkan sasaran dan tujuan suatu kebijakan, baik itu berupa keluaran kebijakan

(policy output), maupun hasil kebijakan (policy outcome).

Untuk dapat menentukan tinggi rendahnya kinerja implementasi suatu

kebijakan maka penilaian terhadap kinerja (performance measurement) merupakan

suatu yang penting. Penilaian terhadap kinerja adalah penerapan metode yang

dipakai oleh peneliti untuk dapat menjawab pertanyaan pokok dalam studi

implementasi, yaitu: 1) Apakah isi dan tujuan dari suatu kebijakan, 2) Apakah

tahapan-tahapan yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut, dan 3) Apakah

setelah tahapan-tahapan tersebut dilakukan, implementasi yang dijalankan mampu


33
mewujudkan tujuan kebijakan atau tidak. Untuk dapat menjelaskan kerangka

berfikir penilaian kinerja implementasi dapat dilihat dari gambar berikut:

Gambar 7. Kerangka Logis Pengukuran Kinerja Implementasi


(Sumber: Cole and Parston, 2006:21)

Dari gambar tersebut dapat dilihat tercapainya tujuan suatu kebijakan akan

memulai tahapan-tahapan yang cukup panjang. Tahapan tersebut dimulai dari

adanya: 1) input kebijakan (sumberdaya yang dipakai untuk menghasilkan produk

dan layanan dari suatu program), 2) Proses atau kegiatan (kegiatan untuk

menghasilkan produk dan layanan publik), dan 3) output kebijakan (keluaran

kebijakan berupa produk dan layanan publik yang dapat dinikmati oleh kelompok

sasaran), 3) Hasil awal, 4) hasil jangka menengah, 5) Hasil jangka panjang.

Untuk dapat membuat justifikasi apakah suatu implementasi gagal atau

berhasil maka seorang peneliti perlu melakukan penelitian terhadap kinerja

tersebut. Alat bantu yang dapat dipakai oleh seseorang peneliti untuk dapat menilai

baik atau buruknya kinerja implementasi suatu kebijakan disebut sebagai indikator.

Dalam ilmu kebijakan publik indikator merupakan instrumen penting untuk

34
mengevaluasi kinerja implementasi suatu kebijakan, hal ini merujuk world bank

(1996:1) yang menyebutkan bahwa: “Performance indicator are measures of

project impact, outcome, output, and input that are monitored during project

implementation to assess progress toward project objectives. They are also used

later to evaluate a project’s succes”. Artinya Indikator kinerja adalah ukuran

dampak, hasil, keluaran, dan masukan proyek yang dipantau selama pelaksanaan

proyek untuk menilai kemajuan menuju tujuan proyek. Indikator juga digunakan

untuk mengevaluasi keberhasilan sebuah proyek.

Ciri-ciri indikator yang baik menurut Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih

Sulistyastuti (2012: 104), adalah sebagai berikut:

1) Memiliki relevansi dengan kebijakan atau program yang akan dievaluasi.

2) Memadai, dalam arti indikator yang kita gunakan memiliki kemampuan

menggambarkan secara lengkap kondisi tercapainya tujuan suatu

kebijakan.

3) Data yang diperlukan mudah untuk diperoleh di lapangan sehingga tidak

akan menyulitkan evaluator.

4) Indikator yang kita susun idealnya juga memenuhi standar nasional dan

akan lebih baik memenuhi standar internasional.

Dalam pengukuran kinerja implementasi kebijakan kerangka logis

pengukuran mempunyai dua indikator utama, yaitu: indikator output dan indikator

outcome (Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti, 2012: 106).

Indikator output digunakan untuk mengetahui konsekuensi langsung yang

dirasakan oleh kelompok sasaran sebagai akibat adanya realisasi kegiatan, aktivitas,

35
pendistribusian hibah, subsidi, dan lain-lain yang dilaksanakan dalam implementasi

suatu kebijakan. Untuk mengetahui kulitas policy output maka diperlukan berbagai

indikator, langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk merumuskan indikator

adalah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi policy output dari kebijakan atau program yang akan

dievaluasi.

2) Mengidentifikasi kelompok sasaran kebijakan atau program, apakah

kelompok sasaran tersebut individu, keluarga, komunitas, dan lain-lain.

3) Mengidentifikasi frekuensi kegiatan penyampaian output yang dilakukan

oleh implementer.

4) Mengidentifikasi kualitas produk yang disanmpaikan oleh implementer

kepada kelompok sasaran.

h. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan kebijakan pemerintah

dalam bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) mendefinisikan kebijakan

pendidikan sebagai berikut:

Educational Policy judgemen, derived from some system of values and


some assesment of situational factors, operating within instituationalized
education as a general plan for guiding decision regarding means of
attaining desired educational objectives. (Evaluasi kebijakan pendidikan
berasal dari beberapa sistem nilai dan beberapa penilaian faktor
situasional, beroperasi dalam pendidikan instituasionalisasi sebagai
rencana umum untuk memandu keputusan mengenai sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan).
Maksud dari pernyataan Carter V. Good tersebut adalah, kebijakan

pendidikan yang didasarkan pada suatu pertimbangaan dan sistem nilai serta

beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional. Pertimbangan

36
tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan yang bersifat

melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan

sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan dapat dicapai. Secara

spesifik H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho (2008:140) mendefinisikan kebijakan

pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah

strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan, dalam rangka

untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk

kurun waktu tertentu.

Dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan mempunyai karakterteristik,

karakteristik tersebut adalah:

1) Memiliki tujuan pendidikan, kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan

pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada

pendidikan.

2) Memiliki aspek legal-forma,kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat

konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah

wilayah hingga dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.

3) Memiliki konsep operasional, kebijakan pendidikan sebagai panduan yang

bersifat umum harus mempunyai manfaat operasional agar dapat

diimplementasikan.

Adapun konsep operasional dalam bidang pendidikan adalah sebagai berikut:

a) Dibuat Oleh yang Berwenang, kebijakan pendidikan harus dibuat oleh para

ahli bidang pendidikan sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan pada

pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator

37
pendidikan, pengelola lembaga pendidikan, dan para politisi yang berkaitan

langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan

pendidikan.

b) Dapat Dievaluasi, kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan memerlukan

evaluasi untuk ditindaklanjuti. Apakah kebijakan tersebut baik sehingga

dapat dilanjutkan, direvisi ataupun dihentikan.

c) Memiliki Sistematika, kebijakan pendidikan harus memiliki sistematika

yang jelas, menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur. Sistematika

tersebut harus memiliki efektivitas dan efisiensi yang tinggi agar kebijakan

tersebut tidak bersifat pragmatis, diskriminatif, dan rapuh dalam hal struktur

akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama

lain. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuanya kelak

tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Secara eksternal,

kebijakan pendidikan harus selaras dengan kebijakan lainya, seperti

kebijakan politik, kebijakan moneter, bahkan kebijakan pendidikannya di

atas, di bawah, dan di sampingnya (Ali Imron, 1995: 20)

i. Desentralisasi Pendidikan

Secara umum desentralisai pendidikan adalah pelimpahan wewenang

(autority) dan tanggung jawab (responsibility) dari institusi pendidikan tingkat

pusat kepada institusi pendidikan di tingkat daerah hingga pada tingkat sekolah.

Desentralisasi mengandung arti pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat

pengelola pendidikan yang ada di daerah pada tingkat propinsi maupun lokal,

sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam

38
pengelolaan pendidikan di daerah (Mulyasa:2005:47). Istilah desentralisasi

tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah yang secara resmi sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 diterangkan, bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,

kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Urusan pemerintah dibagi sedemikian rupa antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Selanjutnya dijelaskan, bahwa pemerintah daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan

pemerintah. Selanjutnya pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas

otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan urusan wajib yang menjadi

kewenangan pemerintah daerah provinsi yang mengarah pada pendidikan yaitu

penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.

Berkaitan dengan konsep desentralisasi, Varghese (1995:110) menjelaskan

tiga karakteristik desentralisasi, yaitu:

1) Unit perencana yang lebih rendah mempunyai wewenang untuk

memformulasikan targetnya sendiri, termasuk penentuan strategi untuk

mencapai target tersebut, dengan mengacu pada tujuan pembangunan

nasional.

2) Unit perencana yang lebih rendah diberi wewenang dan kekuasaan untuk

memobilisasi sumber-sumber lainnya, dan keleluasaan untuk melakukan

39
realokasi sumber-sumber yang telah diberikan kepada mereka sesuai dengan

prioritas kebutuhan daerah.

3) Unit perencana yang lebih rendah turut berpartisipasi dalam proses

perencanaan dengan unit yang lebih tinggi (Pusat) di mana posisi unit yang

lebih rendah bukan sebagai bawahan melainkan sebagai partner dari unit

pusat.

j. Kebijakan Wajib Belajar 9 (Sembilan) Tahun

Melalui keputusan bersama menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri

Dalam Negeri tahun 1990 telah dibentuk Tim Koordinasi Wajib Belajar Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama Tingkat Nasional. Dalam keputusan tersebut juga

digariskan, bahwa wajib belajar baik tingkat SD maupun tingkat SLTP

dilaksanakan melalui jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.

Tim koordinasi tersebut memiliki 4 program kegiatan sebagai berikut:

1) Meningkatkan mutu pendidikan dasar.

2) Menuntaskan wajib belajar sekolah dasar melalui jalur pendidikan sekolah

dan jalur pendidikan luar sekolah.

3) Perintisan wajib belajar tingkat SLTP melalui jalur pendidikan sekolah dan

jalur pendidikan luar sekolah.

4) Menciptakan situasi dan kondisi satuan pendidikan baik dalam jalur

pendidikan sekolah maupun luar sekolah yang menarik ke arah pelaksanaan

wajib belajar sebagai suatu gerakan masyarakat. (Tilaar, 1995: 274-275)

Kebijakan ini disebut sebagai upaya menerapkan pendidikan minimal yang

harus dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia yang erat kaitannya dengan gerakan

40
“melek” huruf dan masyarakat belajar. Program wajib belajar sembilan tahun yang

dicanangkan pemerintah merupakan kelanjutan dari program-program pendidikan

sebelumnya.

Program pendidikan dengan penekanan pada peningkatan sumber daya

manusia sebenarnya telah dimulai tahun 1983 dengan pencanangan wajib belajar

enam tahun, yakni untuk usia 7-15 tahun secara nasional. Suksesnya Program

tersebut akhirnya memotivasi pemerintah untuk melanjutkan program wajib belajar

menjadi sembilan tahun sejak tahun 1994 yang lalu. Program tersebut sekaligus

untuk menjawab dinamika perkembangan zaman yang terus berkembang (Prayitno,

2009:36).

Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun merupakan program Pemerintah

untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman. Berdasarkan Undang-Undang

Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, Pemerintah berupaya meningkatkan taraf

kehidupan rakyat dengan mewajibkan semua warga negara Indonesia yang berusia

7- 12 tahun dan 12-15 tahun untuk menamatkan pendidikan dasar dengan program

6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP secara merata.

2. Masyarakat Pesisir

Wilayah Pesisir Menurut Sorensen dan Mc Creary (Dirhamsyah, 2001:22)

adalah perbatasan atau ruang tempat berubahnya dua lingkungan utama, yaitu laut

dan daratan. Adapun Kay dan Alder (dalam Dirhamsyah, 2001:23) menegaskan,

bahwa karakteristik wilayah pesisir dikategorikan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:

41
a. Fixed Distance Definitions

Penentuan kawasan pesisir dihitung dari batas antara daratan dan air laut,

biasanya penghitungan dilakukan dari batas teritorial pemerintahan, contoh

dari batas teritorial laut.

b. Variable Distance Definitions

Penentuan batas kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan beberapa perhitungan/

ukuran yang ada di kawasan pesisir, seperti diukur dari batas air tertinggi.

Namun batas kawasan tidak ditetapkan secara pasti, tetapi juga tergantung

kepada variabel-variabel tertentu yang ada di kawasan tersebut, antara lain:

konstruksi tapal batas, tanda-tanda alam baik berupa fisik maupun biologi, dan

batas administratif.

c. Definitions According to Use

Penetapan kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan definisi apa yang akan

dipakai. Kadang-kadang suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan pesisir

berdasarkan masalah/issue apa yang akan dipecahkan. Cara ini biasanya

dipergunakan oleh negara besar atau lembaga internasional tertentu.

d. Hybrid Definition

Teknik ini mengadopsi lebih dari satu definisi atau mencampurkan lebih dari

dua tipe definisi dari kawasan pesisir. Konsep ini umum dipergunakan oleh

pemerintahan, seperti pemerintah Amerika Serikat dan Australia mengadopsi

cara ini. Beberapa Negara Bagian di Australia mengukur kawasan pesisirnya 3

mil dari garis pantai, sedangkan beberapa negara bagian lainnya menetapkan

kawasan pesisirnya termasuk kawasan yang berada di darat.

42
Sedangkan definisi dari wilayah pesisir menurut Small Islands Developing

States (SIDS) dalam Noorsalam R. Nganrodan Gede Suantika (2009:1):

“The coast can be defined from a spatial point of view as all those areas that
drain out to the sea and those that periodically inundated by the tides or are
permanently covered by the sea, down to the edge of the continentals helf
where these a bottom slopes rapidly to the deep sea”. ("Pantai dapat
didefinisikan dari sudut pandang spasial karena semua area yang mengalir ke
laut dan yang secara berkala tergenang air pasang atau ditutupi oleh laut
secara permanen, turun ke tepi pantai secara kontinu sampai ke laut dalam ")
Maksudnya adalah pesisir dapat didefinisikan sebagai semua daerah yang

mengalirkan air ke laut dan secara periodik tergenang air pasang atau ditutupi oleh

laut secara permanen. Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan,

bahwa wilayah pesisir adalah wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan

laut. Dalam hal ini, wilayah Kabupaten Bangka secara geografis daerah yang

termasuk ke dalam wilayah pesisir karena memiliki garis pantai sepanjang 195,68

km dan tersebar pada 16 desa pantai.

3. Evaluasi Program/ Kebijakan


a. Pengertian Evaluasi

Evaluasi adalah kegiatan yang sistematis untuk menilai rancangan,

implementasi, efektivitas, dan dampak suatu program (Badrun Kartowagiran,

2010:1). Dwiyanto Indihayono (2009:145) mendefinisikan evaluasi kebijakan

publik adalah untuk menilai keberhasilan/kegagalan kebijakan berdasarkan

indikator-indikator yang telah ditentukan. Indikator-indikator untuk mengevaluasi

kebijakan menunjuk pada dua aspek. Pertama, pada aspek proses merujuk, bahwa

apakah selama implementasi program, seluruh pedoman kebijakan telah dilakukan

secara konsisten oleh para implementor di lapangan. Kedua, aspek hasil merujuk

43
apakah kebijakan yang diimplementasikan telah mencapai hasil yang telah di

tetapkan (output dan outcome).

Sementara William Dunn (2003:608) mendefinisikan istilah evaluasi dapat

disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian

(assessment). Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau

manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat

dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan

kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik, evaluasi memberi

sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk

perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi, meskipun berkenaan dengan

keseluruhan proses kebijakan, evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari

kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada

“perumusan” dilakukan pada sisi post-tindakan, yaitu lebih pada “proses”

perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah

proesnya sudah sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati.

Evaluasi kebijakan mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya

dari metode-metode analisis kebijakan lainnya. Menurut William Dun, (2003:608-

609), sejumlah karakter tersebut antara lain :

1) Fokus Nilai. Evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan

atau nilai dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan

usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau

program, dan bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi mengenai

hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Kerena

44
ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi

mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu

sendiri.

2) Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta”

maupun “nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu

telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak

hanya hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau

seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh

bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari

aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena

itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.

3) Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan

tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu,

dibanding hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah

aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-

premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex

ante).

4) Dualitas Nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai

kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.

Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada

(misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai intristik (diperlukan bagi

dirinya) ataupun ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi

pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu

45
hirarki yang merefleksiakan kepentingan relative dan saling ketergantungan

antar tujuan dan sasaran.

b. Tujuan Evaluasi

Menurut Rossi & Freeman (1985) tujuan untuk mengevaluasi suatu program

adalah peneliti harus menentukan nilai berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Dengan kata lain, hal yang terpenting dalam membuat evaluasi kebijakan adalah

tersedianya tujuan (goals) dan kriteria (criteria). Goals merumuskan sasaran yang

hendak dicapai dalam suatu kebijakan, baik dinyatakan dalam global maupun dalam

angka-angka. Sedangkan, kriteria memastikan bahwa goals ditetapkan sebelum itu

dapat dicapai dan dipenuhi secara memuaskan.

Menurut Cronbach (1980), tujuan dari diadakannya evaluasi adalah untuk

mempengaruhi pemikiran sosial dan perilaku selama penelitian atau pada tahun-

tahun mendatang. Hal ini sangat beralasan untuk mengharapkan pengaruh jangka

panjang dengan baik. Evaluasi bertujuan untuk mengukur akibat jangka panjang

setelah seseorang menjalankan aktivitas program tertentu, baik yang berada dalam

lingkungan rumah tangga, institusi, maupun masyarakat pada umumnya, sehingga

ada penyediaan feedback untuk membantu memperbaiki desain sebuah program

atau kebijakan.

Evaluasi dapat dilakukan dengan berbagai alasan (Chelimsky, 1978) seperti,

untuk tujuan manajemen dan administratif, menilai ketepatan perubahan program,

mengidentifikasi cara untuk meningkatkan penyampaian intervensi, atau untuk

mengumpulkan persyaratan akuntabilitas pendanaan kelompok. Dapat juga untuk

merumuskan rencana dan kebijakan, menguji ide inovatif pada bagaimana untuk

46
membagi antara permasalahan masyarakat dan masalah komunitas, menentukan

apakah program sebaiknya diperluas atau dikurangi, atau mendukung pemberian

saran dari satu program yang menentang program lainnya, sehingga tujuan utama

evaluasi adalah untuk merancang dan melaksanakan sebuah evaluasi yang

menetapkan sebuah penilaian yang kuat/tegas, akan tetapi ditakutkan jika diteliti

oleh evaluator yang sama (Rossi & Freeman, 1985: 19).

c. Model Evaluasi

Menurut Kaufman dan Thomas (1980: 108-136) model evaluasi ada delapan

yaitu:

1) Scriven’s Formative-Sumative Model

Menurut Scriven, konsep evaluasi terdiri dari serangkaian kriteria ekstrinsik atau

output dan memperhatikan kualitas dari tujuan. Evaluasi formatif terdiri dari

penilaian program terhadap identifikasi tujuan saat program masih berlangsung.

Evaluasi formatif ini berguna khususnya untuk pembuat program. Hasil evaluasi

dapat digunakan sebagai umpan balik sebelum instruksi program disampaikan

sehingga modifikasi dan penyesuaian dapat dilakukan. Evaluasi ini berlangsung

saat program sudah berjalan 6 minggu. Evaluasi sumatif berguna dalam

menentukan final, tujuan akhir dari program. Evaluasi ini berlangsung setelah

akhir program, dan membahas masalah-masalah keefektifan keseluruhan

program.

2) CIPP Model

Dalam model CIPP, data dikumpulkan dan informasi diberikan kepada pihak

yang menenentukan apakah program tersebut bermanfaat atau tidak. Komponen

47
dalam model ini meliputi: konteks, input, proses dan produk. Evaluasi konteks

berguna saat tahap paling awal pengembangan program, meliputi: identifikasi

kebutuhan dan rancangan program. Evaluasi input berguna dalam

mengidentifikasi hal-hal yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan yang telah

dibuat pada evaluasi konteks. Evaluasi proses berguna saat mengidentifikasi

kelebihan dan kekurangan program yang mungkin tidak diidentifikasi setelah

kesimpulan dari program. Evaluasi produk berlangsung setelah program, dengan

mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan

tentang program apakah akan dilanjutkan, dimodifikasi atau dihentikan.

3) CSE-UCLA Model

Nama model CSE-UCLA berasal dari lokasi dimana model ini dikembangkan

yaitu Center for the Study of Evaluation at the University of California at Los

Angeles. Model CSE-UCLA berguna saat melakukan monitoring, implementasi,

dan keseluruhan keberhasilan program. Terdapat 5 stage atau tahap dalam model

ini yaitu:

Tahap 1. Sejauh mana program memenuhi tujuan yang sudah dirancang?

Tahap 2. Jenis program seperti apa yang dapat memenuhi kebutuhan yang

diidentifikasi dalam tahap 1?

Tahap 3. Apakah program yang dilakukan seperti rencana semula?

Tahap 4. Sejauh mana program dapat memenuhi tujuan?

Tahap 5. Apakah kelayakan dari keseluruhan program?

48
4) Stake’s Countenance Model

Stake mengidentifikasi 3 aspek program pendidikan dan evaluator fokus pada

ketiga faktor tersebut. Antecendents phase atau periode sebelum program

diimplementasikan. Transaction phase atau proses instruksi selama program.

Outcome phase atau mengukur efek dari pelaksanaan program.

5) Tyler’s Goal Attainment Model

Model ini adalah menentukan sejauhmana tujuan program telah tercapai.

Langkah pertama model ini adalah spesifikasi tujuan.

6) Provus’s Discrepancy Model

Provus mendefinisikan evaluasi sebagai alat untuk membuat pertimbangan

(judgement) atas kekurangan dan kelebihan suatu objek berdasarkan perbandingan

antara standar dan kinerja. Model ini juga dianggap menggunakan pendekatan

formatif dan berorientasi pada analisis sistem. Standar dapat diukur dengan

menjawab pertanyaan bagaimana program berjalan. Sementara pencapaiannya

lebih kepada apakah yang sebenarnya terjadi. Evaluator hanya boleh membantu

dengan membentuk dan menjelaskan peranan standar dan pencapaian.

Menurut Provus evaluasi adalah untuk membangun dan afirmatif, tidak untuk

menghakimi. Model Evaluasi Discrepancy (Provus, 1971) adalah suatu model

evaluasi program yang menekankan pentingnya pemahaman sistem sebelum

evaluasi. Kapan saja kita sedang mencoba untuk mengevaluasi sesuatu, ditekankan

bahwa kita harus mempunyai pemahaman tepat dan jelas atas hal yang dievaluasi

untuk menetapkan standar.

49
Pendekatan yang diperkenalkan Provus ini dinamakan Discrepancy

Evaluation Model. Konsep dalam Model Evaluasi Discrepancy menurut

Stufflebeam (2000: 128) meliputi Standard, Performance, dan Discrepancy.

Standar adalah deskripsi tentang acuan atau patokan atau perencanaan yang

seharusnya muncul. Performance atau penampilan atau hasil nyata adalah

karakteristik yang sebenarnya terjadi. Kemudian kesenjangan atau discrepancy

adalah membandingkan antara standar dengan hasil nyata. Kesenjangan program

adalah suatu keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan yang

dihasilkan dalam pelaksanaan program.

Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian

antara standar yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual

(hasil aktual) dari program tersebut (Widoyoko, 2015:186). Standar adalah: kriteria

yang telah dikembangkan dan ditetapkan dengan hasil yang efektif. Penampilan

atau hasil adalah: sumber, prosedur, manajemen, dan hasil nyata yang tampak

ketika program dilaksanakan. Kesenjangan yang dapat dievaluasi dalam program

pendidikan meliputi: a) kesenjangan antara rencana dalam pelaksanaan program, b)

kesenjangan antara yang diduga atau yang diperkirakan dengan yang benar-benar

terjadi dilapangan, c) kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki dengan standar

kemampuan yang ditentukan, d) kesenjangan tujuan, e) kesenjangan mengenai

bagian program yang dapat diubah, f) kesenjangan dalam sistem yang tidak

konsisten.

Model evaluasi discrepancy ini memiliki lima tahapan yaitu desain, instalasi,

proses, produk, dan membandingkan. Kaufman dan Thomas (1980:127)

50
mengemukakan, bahwa evaluasi kesenjangan adalah untuk mengetahui adakah

ketidaksesuaian antara standar dengan dengan pelaksanaan/implementasi selama

program atau setelah program selesai. Begitu juga stake, standar yg ditetapkan

harus digunakan sejak awal. Namun, keputusan yang dibuat mengenai keberhasilan

program melibatkan lebih dari sekedar perbandingan antara kinerja dengan standar

tetapi jika ada kesenjangan, keputusan harus dibuat apakah akan mengubah standar

atau menghentikan program. Pendekatan ini memperkenalkan pelaksanaan evaluasi

dengan tahapan yang perlu dilakukan, meliputi:

a) Definisi

Dalam tahap definisi, fokus kegiatan dilakukan untuk merumuskan tujuan,

proses atau aktivitas, serta pengalokasian sumber daya dan partisipan untuk

melakukan aktifitas dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Menurut

Provus, program pendidikan merupakan system dinamis yang meliputi inputs

(antecedent), proses, dan outputs (juga outcomes). Standar atau harapan-harapan

yang ingin dicapai ditentukan untk masing-masing komponen tersebut. Standar ini

merupakan tujuan program yang kemudian menjadi kriteria dalam kegiatan

penilaian yang dilakukan.

b) Instalasi

Selama tahap instalasi, rancangan program digunakan sebagai standar untuk

mempertimbangkan langkah-langkah operasional program. Penyediaan perangkat

dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan program atau kebijakan,

agar program bisa dilaksanakan, lembaga pembuat program itu tentu harus

menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang

51
dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber daya, perangkat, dan perlengkapan

yang tersedia untuk pelaksanaan program. Jika terdapat suatu program yang

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa mengajar, misalnya, apakah

sudah “disiapkan” tempat latihan mengajar yang baik atau belum.

c) Proses

Pada tahap proses, evaluasi difokuskan pada upaya bagaimana memperoleh

data tentang kemajuan para peserta program, untuk menentukan apakah

perilakunya berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika ternyata tidak,

maka perlu dilakukan perubahan terhadap aktivitas-aktivitas yang diarahkan untuk

mencapai tujuan perubahan perilaku tersebut.

d) Produk

Selama tahap produk, penilaian dilakukan untuk menentukan apakah tujuan

akhir program tercapai atau tidak. Provus membedakan antara dampak terminal

(immediate outcomes) dan dampak jangka panjang (long term-outsomes). Dengan

pemikiran ini Provus mendorong evaluator untuk tidak hanya mengevaluasi hasil

berupa kinerja program, tetapi lebih dari itu perlu mengadakan studi lanjut sebagai

bagian dari evaluasi.

Apapun kesenjangan yang ditemukan melalui evaluasi, Provus menganjurkan

agar pemecahan masalah dilakukan secara kooperatif antara evaluator dengan staf

pengelola program. Proses kerjasama yang dilakukan antara lain membicarakan

tentang: 1) mengapa ada kesenjangan, 2) upaya perbaikan apa yang mungkin

dilakukan, dan 3) upaya mana yang paling baik dilakukan untuk memecahkan

masalah yang dihadapi.

52
7) Scriven’s Goal-free Model

Scriven menyarankan goal-free evaluation dalam attempts untuk menyediakan

informasi yang lebih luas dalam proses evaluasi. Goal-free evaluation dapat juga

digunakan setelah program selesai, seperti evaluasi sumatif.

8) Stake’s Responsive Model

Model responsif berguna dalam evaluasi seni, program humanis dan tipe

program lainnya dimana khususnya tujuan dan pencapaiannya benar-benar

menantang. Terdapat perbedaan antara model ini dengan Model Scriven yang

sebelumnya yaitu penekanan pada ketepatan pengukuran, pengumpulan data

pretest dan posttest, analisis statistik kompleks, dan peningkatan perhatian pada

kegunaan temuan untuk seseorang di dalamnya atau orang yang tertarik dengan

program tersebut.

d. Model Evaluasi yang Digunakan

Pada penelitian ini model evaluasi yang akan digunakan adalah model

evaluasi discrepancy. Alasan penggunakan model evaluasi kesenjangan, yakni

untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang sudah ditetapkan atau

direncanakan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Selain itu, untuk

mengetahui apakah terjadi kesenjangan atau tidak antara standar dengan fakta yang

ada di lapangan.

Discrepancy diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “kesenjangan”.

Model evaluasi discrepancy dipengaruhi oleh pemikiran Tyler dan dikembangkan

oleh Malcolm Provus. Berdasarkan gagasan yang dikemukakan Provus, yang

dicapai dalam evaluasi adalah pengukuran perbedaan antara yang seharusnya

53
dicapai dengan yang sudah riil dicapai. Dengan kata lain, yang akan dicapai dalam

evaluasi adalah mengetahui tingkat kesesuaian antara baku (standar) yang sudah

ditentukan dalam program dengan kinerja (performance) dari program tersebut.

Baku adalah criteria yang ditetapkan, sedangkan kinerja adalah hasil pelaksanaan.

Standar dapat diukur dengan menjawab pertanyaan bagaimana program

berjalan. Sementara pencapaiannya adalah lebih kepada apakah yang sebenarnya

terjadi. Apabila tidak terjadi kesenjangan antara kondisi nyata dengan target

(acuan), program tersebut dikatakan sangat efektif. Sebaliknya bila terjadi

kesenjangan yang tinggi antara kondisi nyata dengan kondisi target (acuan), maka

program tersebut tidak efektif. Model kesenjangan (Discrepancy Model) dapat

dilihat pada gambar dibawah ini.

Standar (S) (T)

(C) (D (CBA)
)

Implementasi
Kebijakan/Program (A)
(P)

Gambar 8. Kerangka Alur Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Model)


(Sumber: Fernandes, 1984: 9)

Keterangan:
S : Standard (acuan)
P : Program Performance (Pelaksanaan program)
C : Comparison of S with P (Perbandingan antara acuan dan pelaksanaan
program)
D : Discrepancy information resulting from C (kesenjangan yang diperoleh
dari membandingkan pelaksanaan dan acuan)
T : Terminate (penghentian program)
A : Alternatif of P or S (alternative antara melanjutkan program atau
berpatokan pada acuan)
54
CBA : Cost Benefit Analysis (Analisis pembiayaan)

Standar (acuan) adalah kriteria yang ingin dicapai, program performance

adalah segala sesuatu yang telah dicapai, Comparison of S with P yaitu

membandingkan antara acuan atau criteria dengan pelaksanaan program di

lapangan. Discrepancy adalah informasi kesenjangan yang merupakan hasil

perbandingan antara kriteria yang ingin dicapai dengan penampilan program di

lapangan. Setelah informasi kesenjangan diperoleh maka muncul terminate yaitu

keputusan untuk menghentikan program atau alternative of P or S yaitu alternatif

antara melanjutkan program atau berpatokan pada standar yang telah ditetapkan.

Setelah keputusan diambil maka dilakukan analisa untung dan rugi terhdap

keputusan yang diambil yang disebut Cost Benefit Analysis (Analisis pembiayaan)

Penilaian kesenjangan digunakan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara

standar yang ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program.

Kunci dari evaluasi discrepancy adalah dalam hal membandingkan penampilan

dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi model kesenjangan dimaksudkan

untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam

program dengan penampilan aktual dari program tersebut.

Apapun kesenjangan yang ditemukan melalui evaluasi, Provus menganjurkan

agar pemecahan masalah dilakukan secara kooperatif antara evaluator dengan staf

pengelola. Proses kerjasama yang dilakukan antara lain membicarakan tentang (1)

mengapa ada kesenjangan, (2) upaya perbaikan apa yang mungkin dilakukan, (3)

upaya mana yang paling baik dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

55
Wajib Belajar sembilan tahun untuk masyarakat pesisir di Kabupaten

Bangka merupakan prorgram wajib yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah. Payung hukum pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun

di Kabupaten Bangka terealisasi melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar. Model kesenjangan (disceprancy)

dianggap paling pas untuk melihat kinerja kebijakan apakah dalam pelaksanaan

sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, dan dapat mengidentifikasi

kelemahan-kelemahan dalam variabel yang diukur dalam implementasi kebijakan

wajib belajar sembilan tahun di Kabupaten Bangka.

e. Jenis Evaluasi

Dalam hal perbedaan waktu dan fungsi, evaluasi kebijakan dalam “siklus

kebijakan” di bedakan menjadi 3 yaitu:

1. Evaluasi ex-ante adalah alat untuk membuat pilihan diantar pilihan-pilihan

kebijakan alternatif, (yang idealnya) secara analitis lebih transparan, lebih dapat

diramalkan, dan secara politis lebih dapat diperdebatkan (jika dilakukan pada

kebijakan dan tindakan alternatif).

2. Evaluasi yang sedang berjalan (on-going evaluation) bertugas mengidentifikasi

efek-efek dan hasil-hasil (sementara) dari program dan langkah-langkah

kebijakan sekaligus, dalam siklus kebijakan adalah Implementasi dan realisasi

yang sedang berlangsung. Fungsi penting evaluasi pada tahap ongoing adalah

untuk meyediakan kembali informasi yang relevan pada proses implementasi

pada satu titik dan tahap yang bertujuan untuk memperbaiki kekurangan dan

56
kelemahan dalam proses pelaksanaan yang membahayakan pencapaian tujuan

kebijakan yang ditetapkan sebelumnya.

3. Evaluasi ex-post merupakan varian klasik evaluasi untuk menilai pencapaian

tujuan dan dampak kebijakan dan langkah-langkah, setelah kebijakan benar-

benar terlaksana. Jika diarahkan pada program-program kebijakan seperti di

negara-negara Eropa, evaluasi kebijakan ex-post sering diidentikan dengan

evaluasi program (Fischer, et.all. 2015).

Dalam hal kinerja, Lembaga Administrasi Negara (2005:131) secara umum

membedakan evaluasi kebijakan menjadi dua kategori yaitu:

1. Evaluasi proses, meliputi:

a. Evaluasi implementasi, memusatkan perhatian pada upaya mengidenfifikasi

kesenjangan yang ada antara hal-hal yang telah direncanakan dengan realita dan

upaya menjaga agar kebijakan/program dan kegiatan-kegiatan sesuai dengan

rancangan dan bila diperlukan dapat dilakukan modifikasi dalam rangka

penyesuaian dan penyempurnaan.

b. Evaluasi kemajuan, memfokuskan pada kegiatan pemantauan indikator-

indikator dari kemajuan pencapaian tujuan kebijakan.

2. Evaluasi hasil, dilakukan dalam rangka menetapkan tingkat pencapaian

tujuan kebijakan. Termasuk di dalamnya analisis SWOT, dan rekomendasi

untuk perbaikan di masa yang akan datang.

James P. Lester dan Joseph Steward, Jr. (2000) mengelompokkan evaluasi

implementasi kebijakan menjadi empat yaitu:

1. Evaluasi Proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi.

57
2. Evaluasi Impact, yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh dari

implementasi kebijakan.

3. Evaluasi Kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan

yang dikehendaki.

4. Evaluasi Meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi berbagai implementasi

kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertentu.

Dari berbagai pendapat di atas evaluasi implementasi kebijakan wajib belajar

sembilan tahun untuk masyarakat pesisir di Kabupaten Bangka merupakan jenis

evaluasi on going evaluation yang menitikberatkan pada proses implemantasi atau

evaluasi terhadap proses, meyediakan kembali informasi yang relevan pada proses

implementasi pada satu titik dan tahap, mengidentifikasi kesenjangan yang ada

antara hal-hal yang telah direncanakan dan realita, serta bertujuan untuk

memperbaiki kekurangan dan kelemahan dalam proses pelaksanaan yang

membahayakan pencapaian tujuan kebijakan.

f. Tahap-tahap Evaluasi

Dalam mengevaluasi sebuah kebijakan ataupun program hendaknya dibuat

tahapan agar evaluasi jelas dan terfokus. Berikut adalah tahapan dalam evaluasi:

1) Menentukan untuk apa evaluasi tersebut

Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formatif dan fungsi

sumatif. Evaluasi formatif dipakai untuk perbaikan dan pengembangan

kegiatan yang sedang berjalan, sedangkan fungsi sumatif evaluasi di pakai

untuk pertangungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Scriven (1967)

adalah orang pertama yang membedakan kedua hal tersebut, sementara

58
Stufflebeam membedakan berdasarkan dua hal yaitu proactif evaluation untuk

melayani pemegang keputusan dan rectroactive evaluation untuk keperluan

pertanggungjawaban.

Dengan menggunakan model evaluasi discrepancy pada implementasi

kebijakan wajib belajar sembilan tahun diharapkan dapat memberi bantuan

informasi pada pemangku kebijakan dalam rangka pengembangan program,

kebutuhan urgen suatu program, perbaikan dari program, pertanggungjawaban

program, menambah pengetahuan, dan dukungan dari seluruh unsur yang

terlibat dalam implementasi kebijakan wajib belajar sembilan tahun.

2) Apa objek evaluasi

Hampir semua unit kebijakan, program, ataupun proyek dapat dijadikan

objek evaluasi. Penting sekali menentukan dan mengetahui apa yang akan

dievaluasi. Hal ini akan menolong menentukan apa informasi yang

dikumpulkan dan bagaimana menganalisisnya. Ini akan membantu

pemfokusan evaluasi dan merumuskan tujuan yang jelas akan menghindari

salah tafsir dan kesalahpahaman.

Dalam penelitian ini yang dijadikan objek evauasi adalah imlementasi

kebijakan wajib belajar sembilan tahun bagi masyarakat pesisir. Peneiliti

membagi implementasi kebijakan wajib belajar ini menjadi 3 variabel utama

agar penelitian dapat terfokus dan menyederhanakan penelitian.

3) Aspek dan dimensi objek apa yang akan dievaluasi

Setelah menentukan objek selanjutnya menentukan aspek apa saja yang

akan dievaluasi. Dalam penelitian ini agar lebih sederhana peneliti membagi

59
menjadi 3 aspek utama yaitu, 1) input 2) process, dan 3). Output. Variabel input

terdiri dari kondisi pendidik dan tenaga kependidikan, kondisi pendanaan,

kondisi sarana dan prasarana, kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan

masyarakat pesisir. Variabel process terdiri dari kondisi implementator dan

variabel output terdiri dari akses dan cakupan kebijakan. Dengan

menggunakan model evaluasi discrepancy kemudian aspek yang telah

ditentukan dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan dalam

penelitian ini.

4) Kriteria apa yang di pakai dalam dalam menilai suatu objek

Apabila kriteria yang digunakan dalam mengevaluasi hanya ketercapaian

tujuan, ini adalah hal yang mudah. Ketercapaian tujuan merupakan sebagian

isu kriteria evaluasi. Kriteria lain yaitu identifikasi kebutuhan, nilai-nilai sosial,

mutu, dan efisiensi dibandingkan dengan objek-objek alternatif lainya.

Kriteria yang di gunakan dalam penelitian ini adalah peraturan

pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang wajib belajar dan standar kriteria

evaluasi yang digunakan mengacu pada kriteria evaluasi yang dikembangkan

oleh Djemari Mardapi tentang pengukuran, penilaian, dan evaluasi pendidikan

untuk melihat kesenjangan (gap) antara implementasi dan standar.

5) Siapa yang harus dilayani dalam evaluasi

a) Evaluasi dapat mempunyai lebih dari seorang audiensi

b) Masing-masing audiensi mungkin mempunyai kebutuhan yang berbeda

c) Audiensi khusus kebutuhanya harus dirumusakan dengan jelas pada

waktu memulai rencana evaluasi

60
6) Menentukan langkah-langkah dan prosedur yang dilakukan dalam evaluasi

a) Memfokuskan evaluasi

b) Mendesain evaluasi

c) Mengumpulkan informasi

d) Menganalisis informasi

e) Melaporkan hasil evaluasi

f) Mengelola evaluasi

g) Mengevaluasi evaluasi

7) Memilih metode apa yang akan di gunakan dalam mengevaluasi

Metode yang dipakai dalam mengevaluasi hendaknya disesuaikan dengan

kebutuhan evaluasi. Provus (1971) dan Stufflebaem (1971) mengungkapkan

berbagai variasi metode dalam mengevaluasi seperti eksperimen dan kuasi

eksperimen, analisis sistem, dan metode naturalistik.

8) Siapa yang akan melakukan evaluasi

kualitas evaluasi ditentukan oleh evaluator, evaluator yang baik hendaknya

mempunyai berbagai pengetahuan tentang teknik pengukuran, metode

penelitian, memahami kondisi sosial, dan hakikat objek evaluasi, human

relation, jujur, serta bertanggung jawab.

9) Apa standar untuk menilai evaluasi

Standar yang dikembangkan oleh committee on standard for educational

evaluation (1981) menerangkan evaluasi hendaknya mengandung:

a) Utility (bermanfaat dan praktis)

b) Accuracy (secara teknik tepat)

61
c) Feasibility (realistik dan teliti)

d) Proppriety (dilakukan dengan legal dan etik)

Pada penelitian ini menggunakan model evaluasi discrepancy agar penelitian

lebih terfokus dan untuk menyederhanakan penelitian, peneliti membagi ke dalam

3 aspek utama/variabel utama yaitu variabel input, process, dan output. Adapun

tahap-tahap evaluasi implementasi kebijakan wajib belajar sembilan tahun bagi

masyarakat pesisir di Kabupaten Bangka dengan menggunakan model evaluasi

discrepancy adalah menentukan standar pada tiap-tiap aspek yang hendak diukur

dan membandingkan dengan implementasi yang terjadi di lapangan. Kemudian dari

data yang diperoleh dilihat “gap”/ kesenjangan yang terjadi untuk dijadikan bahan

pertimbangan bagi pemangku kebijakan apakah kebijakan dapat berlanjut, berlanjut

dengan perbaikan, dan atau diberhentikan.

g. Komponen Evaluasi

Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

kesenjangan (disceprancy), dipadukan dengan model keberhasilan impelementasi

kebijakan yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn. Dengan melihat

model keberhasilan implementasi yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van

Horn kemudian indikator dibandingkan dengan standar yang telah di tetapkan. Agar

evaluasi lebih terfokus indikator tersebut dimasukan kedalam 3 variabel utama

yaitu:

1) Komponen Input

Komponen input dalam implementasi kebijakan wajib belajar sembilan

tahun untuk masyrakat pesisir di Kabuaten Bangka merupakan segala

62
sumber daya yang mempunyai peran penting dalam rangka pencapaian

tujuan kebijakan wajib belajar sembilan tahun. Variabel input memiliki

komponen yang meliputi: a) Sumber daya (resources) baik itu berupa sarana

dan prasarana, pendidik, tenaga pendidik, dan kecukupan anggaran

(pendanaan). b) kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan masyarakat pesisir

di Kabupaten Bangka, maksudnya kebijakan yang berkualitas tidak akan

berhasil ketika di implementasikan dalam situasi dan kondisi lingkungan

yang tidak kondusif terhadap upaya pencapaian tujuan kebijakan.

2) Komponen Process

Komponen process dalam penelitian ini adalah kegiatan untuk

menghasilkan produk dan layanan publik yang dapat menunjang

implementasi agar berjalan dengan baik. Variabel process meliputi: a)

kondisi implementator yang terdiri dari komunikasi antar organisasi

pelaksana, Kecukupan jumlah organisasi pelaksana, kejelasan struktur

organisasi pelaksana, kejelasan fungsi dan peran organisasi pelaksana,

kordinasi antar organisasi pelksana.

3) Komponen Output

Komponen output kebijakan merupakan keluaran kebijakan, berupa produk

dan layanan publik yang dapat dinikmati oleh kelompok sasaran. Variabel

output kebijakan dalam penelitian ini meliputi : a) Akses, maksudnya adalah

pelayanan yang diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Selain

itu juga akses mengandung pengertian, bahwa orang yang bertanggung

jawab untuk mengimplementasikan kebijakan atau program mudah

63
dikontak oleh kelompok sasaran untuk menyampaikan pengaduan. Akses

juga mengandung pengertian terjadinya kesamaan kesempatan bagi semua

kelompok sasaran, apapun karakteristik individu maupun kelompok yang

melekat pada dirinya, seperti gender, etnis, dan agama. b) Cakupan

(coverage), maksud dari indikator ini adalah melihat perbandingan seberapa

banyak masyarakat yang sudah mendapat layanan terhadap total kelompok

target.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa hasil penelitian yang sesuai dengan penelitian evaluasi ini.

Penelitian dengan judul analisis kritis terhadap kebijakan pemerintah dalam bidang

evaluasi hasil belajar. Hasil analisis menunjukkan, bahwa usaha-usaha yang telah

dilakukan oleh Pemerintah sudah tepat. kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1)

Surat Keputusan Mendiknas Nomor 011/U/2002 tentang penghapusan Ebtanas

untuk siswa SD sudah tepat, (2) Surat Keputusan Mendiknas Nomor 012/U/2002

tentang Sistem Penilaian yang menyebutkan penilaian kelas dan ujian meliputi

aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sangat tepat walaupun pelaksanaannya

mengalami sedikit kesulitan, (3) Surat Keputusan Mendiknas Nomor 047/U/2002

tentang Ujian Akhir Nasional sudah tepat walaupun ada yang tidak setuju dengan

adanya ujian nasional ulangan, dan (4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang Ujian Nasional sudah tepat,

walaupun pelaksanaanya belum mandiri. Dengan hasil ini, sebaiknya masyarakat

pendidikan tidak hanya menjadi penonton apalagi menjadi pencela. Semua warga

masyarakat pendidikan harus berupaya untuk dapat melaksanakan kebijakan

64
pemerintah dalam bidang evaluasi belajar dengan sebaik-baiknya agar kualitas

pendidikan meningkat (Badrun Kartowagiran, 2005). Hasil Penelitian dari Nila

Wahyuningsih & Nikmatul Ma’rifah (2011) menyimpulkan, bahwa kebijakan

pemerintah mengenai wajib belajar 9 tahun secara gratis bagi kaum proletar di

Dusun Borah Kecamatan Pujon Kabupaten Malang terbukti efektif. Kebijakan

pemerintah mengenai wajib belajar 9 tahun secara gratis tersebut sudah berjalan

dan dibuktikan dengan pembebasan biaya pembayaran SPP, uang gedung dan

pemotongan harga buku. Tetapi juga masih ada biaya yang dipungut oleh lembaga

pendidikan seperti biaya pengambilan rapot dan biaya untuk ujian akhir nasional.

Walaupun dengan adanya hal itu, warga Dusun Borah yang sadar akan pentingnya

pendidikan bagi anak-anak mereka tetap merasa ringan dalam menyekolahkan

anaknya

Hasil Penelitian dari Soegimin Gitoasmoro (2005) tentang Peran pendidikan

Nonformal dalam realisasi wajib belajar pendidikan dasar menyimpulkan, bahwa

pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar tidak hanya ditempuh melalui sekolah

(pendidikan formal), tetapi juga dapat melalui pendidikan nonformal yaitu Program

Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP yang hasilnya dapat

dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses

penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk Pemerintah atau Pemerintah

Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Penelitian dari Sitta

Aulia (2012) tentang Desentralisasi Kebijakan Pendidikan (Studi Tentang

Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun Di Kota Surabaya Pada Tingkat Pendidikan

Menengah dan Kejuruan) menyimpulkan 1) Dukungan pemerintah pada

65
pelaksanaan wajib belajar 12 tahun di Surabaya dengan pemberian Biaya

Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA) mulai pendidikan dasar hingga

pendidikan menengah negeri dan Hibah BOPDA pada sekolah swasta; 2)

Pelaksanaan program BOPDA berdampak positif pada peningkatkan akses

pendidikan untuk masyarakat Kota Surabaya dan berdampak adanya kuota bagi

masyarakat luar kota Surabaya; 3) Dampak BOPDA pada pelaksanaan pendidikan

di tingkat sekolah menengah dan kejuruan berpengaruh pada manajemen

pelaksanaan di tingkat sekolah, antara lain: kebijakan sekolah dalam hal

pembiayaan, kondisi sarana dan prasarana pembelajaran, partisipasi siswa dalam

pembelajaran dan ekstrakulikuler, serta partisipasi Orangtua.

Penelitian Raudlatul Hasanah (2014) tentang Kebijakan Pemerintah Kota

Yogyakarta dalam meningkatkan wajib belajar sampai pendidikan menengah,

menyimpulkan, kebijakan Pemerintah Yogyakarta dalam meningkatkan jenjang

pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah belum mencapai target,

karena adanya hambatan dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut.

66
C. Kerangka Pikir
Wajib belajar 9 (sembilan) tahun merupakan lanjutan dari kebijakan wajib

belajar 6 tahun dengan dikeluarkanya Kepmen tahun 1990 yang membentuk tim

kordinasi wajib belajar sekolah lanjutan tingkat pertama demi meningkatkan mutu

pendidikan, penuntasan wajib belajar, serta meningkatkan peran serta masyarakat

dalam rangka penuntasan program wajib belajar 9 tahun. Pembaharuan payung

hukum kebijakan wajib belajar sembilan tahun lahir melalui Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar dan Peraturan Mentri

Pendidikan Nasional republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan

Dasar sembilan tahun dan pemberantasaan buta aksara. Hal ini menunjukkan sangat

konsernnya upaya pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka

menyukseskan program wajib belajar sembilan tahun.

Dalam pelaksanaanya yang hampir tiga dasawarsa, misi wajib belajar

sembilan tahun masih banyak mendapat hambatan baik dari segi teknis maupun

nonteknis. Kerumitan birokrasi serta sumberdaya pendukung yang ada di dalamnya

membuat hal itu semakin kompleks. Menurut peneliti hal yang paling mempunyai

pengaruh besar dalam kesuksesan program wajib belajar sembilan tahun adalah

proses implementasinya, apakah proses implementasi sesuai dengan standar atau

acuan yang telah di tetapkan oleh Pemerintah pusat ataupun Pemerintah daerah

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan wajib

belajar 9 (sembilan) tahun, evaluasi ini diarahkan untuk mengetahui secara lebih

dalam tentang variabel-variabel yang terdapat dalam kebijakan wajib belajar

sembilan tahun ditinjau dari aspek input, process, dan output. Evaluasi
67
implementasi kebijakan wajib belajar sembilan tahun ini dilaksanakan dengan

menggunakan model kesenjangan/discrepancy. Variabel input, process, dan output

dibandingkan dengan standar yang sudah ditetapkan oleh BSNP dan PP. NO 47

tahun 2008. Hasil perbandingan tersebut kemudian diketahui kesenjangan antara

implementasi dengan standar, kemudian dari kesenjangan diidentifikasi untuk

proses pengambilan keputusan yaitu melanjutkan atau merubah cara pelaksanaan

atau merubah standar yang sudah ada. Dari kesenjangan yang ada dapat

diidentifikasi kendala yang ada di lapangan. Gambar kerangka pikir penelitian ini

dapat dilihat sebagai berikut :

Standar
PP. No.47 Tahun 2008 (Input), (process), dan (Output).
Permendiknas No 16 Tahun 2007 (Input).
Permendiknas No. 13 Tahun 2007 (Input).
Permendiknas No. 24 Tahun 2008 (Input).
Permendiknas No. 25 Tahun 2008 (Input).
Permendiknas No. 69 Tahun 2009 (Input).
Permendiknas No. 24 Tahun 2007 (Input)
Perda No. 4 Tahun 2016 (Input), (process), dan (Output).

Membanding Menentukan Hasil


kan standar dan kesenjangan Pengambilan
pelaksanaan keputusan

Implementasi Kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun Untuk


Masyarakat Pesisir di Kabupaten Bangka, Meliputi
aspek Input, Proccess, Output

Gambar 9. Kerangka berfikir evaluasi implementasi kebijakan wajib belajar sembilan tahun bagi
masyarakat pesisir di Kabupeten Bangka

68
D. Pertanyaan Evaluasi
Dari rumusan masalah dan kerangka berfikir, maka pertanyaan evaluasi ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi ekonomi, sosial, dan pendidikan masyarakat pesisir di

Kabupaten Bangka?

2. Adakah kesenjangan kualitas pendidik dan tenaga pendidik dilihat dari aspek

kualifikasi?

3. Adakah kesenjangan aspek pendanaan kebijakan wajib belajar sembilan tahun?

4. Adakah Kesenjangan aspek sarana dan prasarana dalam implementasi

kebijakan wajib belajar sembilan tahun?

5. Bagaimana komunikasi yang terjadi antara sekolah dan dinas pendidikan di

Kabupaten Bangka?

6. Bagaimana kondisi Dinas Pendidikan selaku implementator Kebijakan wajib

belajar sembilan tahun bagi masyarakat pesisir di Kabupaten Bangka?

7. Bagaimana koordinasi yang terjadi antara sekolah dan dinas pendidikan di

Kabupaten Bangka?

8. Adakah kesenjangan akses masyarakat pesisir di Kabupaten Bangka dalam

implementasi kebijakan wajib belajar 9 tahun di Kabpuaten Bangka?

9. Bagaimana cakupan (covarage) kebijakan wajib belajar 9 tahun bagi

masyarakat pesisir di Kabupaten Bangka?

69

Anda mungkin juga menyukai