Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu: (1) tujuan yang
hendak dicapai, (2) sasaran yang spesifik, dan (3) cara mencapai sasaran tersebut. Cara
mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya
biasanya terkandung di dalamnya: siapa pelaksananya, besar dana dan sumbernya, siapa
keberhasilan atau kinerja program diukur. Secara singkat implementasi kebijakan adalah cara
agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tujuan
Gambar 1.1
Model Implementasi Grindle
Implementasi Kebijakan Dipengaruhi Oleh :
A. Isi Kebijakan :
1. Kepentingan kelompok sasaran
2. Tipe manfaat
3. Derajad perubahan yang diinginkan
4. Letak pengambilan keputusan
5. Pelaksanaan program
6. Sumberdaya yang dilibatkan
B. Lingkungan Implementasi :
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Hasil Kebijakan :
a. Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok
b. Perubahan dan penerimaan masyarakat
Mengukur keberhasilan
Program aksi dan proyek individu yang di desain dan didanai
Program yang dilaksanakan sesuai rencana
Tujuan
Kebijakan
Sumber : Nugroho. 2006.
Gambar 1.2
Komunikasi
Sumber Daya
Disposisi
Implementasi
Struktur Birokrasi
Model Implementasi Edward III
Sumber : Subarsono.2005.
Kebijakan
Publik
Gambar 1.6
Model Implementasi Soren C. Winter
Policy formulation
- Conflict
- Symbolic policy
Implementation process
Organizational and interorganizational implementation behavior
Street-level bureaucratic bahavior
Target group behavior
Policy design
Performance
Outcome
Implementation results
Feedback
Socio-Economic Context
b. Model yang Dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai A
Model of the Policy Implementation Process (Model Proses Implementasi Kebijakan)
Teori beranjak dari suatu argument bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses
implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan akan dilaksanakan. Selanjutnya meraka
menawarkansuatu pendekatan yang mencoba utuk menghubungkan antara isu kebijakan
dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan
pestasi kerja. atas dasar pandangan kedua ahli kemudian berusaha membuat tipologi
kebijakan menurut:
jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,
jangakauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat
dalam proses implementasi.
Hal lain yang dikemukakan ahli diatas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara
kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variable bebas(independent variable)
yang saling berkaitan.
Variabel-variabel bebas itu ialah:
ukuran dan tujuan kebijakan
sumber-sumber kebijakan
ciri-ciri atau sifat badan/instasi pelaksana
komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan
sikap para pelaksana,dan
lingkungan ekonomi,sosialdan politik
c. Model yang dikembangkan Daniel Mazmania dan Paul A.Sabatiar, yang Disebut
Dengan KerangkaAnalisis Implementasi.
Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan
negara ialah mengidentifkasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kategori besar yaitu :
1. mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.
2. kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasinya,dan
3. pengaruh langsung pelbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan
yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
George C. Edward III mengajukan empat faktor atau variable yang berpengaruh
terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Faktor atau variable ini
adalah:
1. Faktor Komunikasi (communication)
Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada
komunikan. Komunikasi kebijakan merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari
pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors).
Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi yaitu, dimensi transformasi
(transmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi (consistency). Dimensi transmisi
menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana
kebijakan, tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak yang lain
yang berkepentingan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan
kepada para pelaksana, target grup dan pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak
langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga mengetahui apa yang
menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta subtansi dari kebijakan punlik tersebut.
2. Sumber Daya (resources)
Faktor sumber daya juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Sumber daya sebagaimana telah disebutkan meliputi sumber daya manusia, sumber daya
keuangan, dan sumber daya peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan.
a. sumber daya manusia
Salah satu variable yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan.
b. sumber daya anggaran
Dana atau anggaran diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan.
c. sumber daya peralatan
Merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang
meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan
pelayanan dalam implementasi kebijakan.
d. sumber daya infomasi dan kewenangan
Merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Terutama informasi yang relevan
dan cukup tentang cara bagaimana mengimplemantasikan suatu kebijakan.
3. Disposisi (disposition)
Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana para
pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi
juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat
terhadap keijakan yang sedang di implementasikan.
Disposisi ini merupkan kemauan, keinginan, dan keenderungan para pelaku kebijakan
untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga kebijakan tadi terjadi dapat
tercapai. Terdapat tiga macam elemen respons yang dapat mempengaruhi keinginan dan
kemauan untuk melaksanakan kebijakan, antara lain pengetahuan, pemahaman, dan
pendalaman, arah respon apakah menerima, netral, atau menolak, instensitas tehadap
kebijakan.
4. Struktur Birokrasi (bureaucratic structure)
Implementasi kebijakan masih belum efektif karena adanya ketidak efisien struktur
birokrasi. Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian
kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang
bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Struktur
birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasi yang akan
memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam
melaksanakan apa yang menjadi bidang kebijakanny. Dimensi ini menegaskan bahwa
struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi. Dengan
kata lain, organisasi yang terfragmentasi akan menjadi distorsi dalam pelaksanaan kebijakan.
Keberhasilan implementasi kebijakan yang kompleks, perlu adanya kerjasama yang
baik dari banyak orang. Oleh karena itu, fragmentasi organisasi dapat merintangi koordinasi
yang diperlukan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan yang kompleks dan dapat
memboroskan sumber-sumber langka.
Faktor tujuan dan sasaran, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi
sebagaimana telah disebutkan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu
implementasi kebijakan publik. Struktur birokrasi merupakan variable kedua yang
menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan kebijakan.
Sedangkan menurut teori Marilee S. Grindle implementasi dipengaruhi oleh dua
variable besar, yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini
mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasarn atau target groups termuat dalam
isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh, masyarakat
di wilayah slum areaslebih suka menerima program air bersih atau perlistrikan daripada
menerima program kredit seperti motor; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari
sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan
telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung
oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan variable lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang teribat dalam implementasi
kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan
dan responsivitas kelompok sasaran.
Menurut Meter dan Horn, ada lima variable yang mempengaruhi kinerja
implementasi, yakni; (1) standard an sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi
antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi
sosial, ekonomi dan politik.
Menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ada empat kelompok variable
yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yaitu: (1) kondisi lingkungan;
(2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi untuk implementasi program; (4)
karekteristik dan kemampuan agen pelaksana.
Menurut David L. Weimer dan Vining membagi ada tiga kelompok variable besar
yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program,yaitu: (1) logika
kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan dioperasikan; (3) kemampuan implementor
kebijakan. Logika dari suatu kebijakan dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan
masuk akal dan mendapat dukungan teoritis. Lingkungan tempat kebijakan tersebut
dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam, dan fisik atau
geografis.
[1] Solichin Abdul Wahab, 2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Malang: UMM Press
[2] Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin, Illiois: The Dorsey Press,hal 4.
Senin, 14 April 2014
Konsep Evaluasi Kebijakan
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. Kebijakan harus diawasi dan salah satu
mekanisme pengawasan tersebut disebut “evaluasi kebijakan”. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan
antara harapan dan kenyataan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh
masalah yang telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.
Evaluasi ditujukan untuk menilai sajauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan
kepada konstituennya. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencapai hasil yang maksimal
dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Kaitannya dengan kebijakan, menurut Ramdan dkk, ukuran
efektivitas kebijakan yaitu:
1. Efisiensi, suatu kebijakan harus mempu meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya secara optimal
2. Adil, bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil yakni kepentingan publik tidak terabaikan
3. Mengarah kepada insentif, suatu kebijakan harus mengarah kepada atau merangsang tindakan dalam perbaikan
dan peningkatan sasaran yang ditetapkan
4. Diterima oleh publik, oleh karena diperuntukkan bagi kepentingan publik maka kebijakan yang baik harus
diterima oleh publik
Tujuan pokok evaluasi untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan
suatu kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut.
Jadi, evaluasi kebijakan publik harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat positif. Evaluasi bertujuan untuk
mencari kekurangan dan menutup kekurangan. Ciri dari evaluasi kebijakan adalah:
2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan target kebijakan
Menurut William N Dunn (dalam Riant Nugroho, 2009:536), istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assesment). Evaluasi memberi informasi yang
valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan
telah dapat dicapai melalui tindakan publik; evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target; dan evaluasi memberikan sumbangan pada aplikasi
metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.
Secara umum, William N Dunn (dalam Riant Nugroho, 2009:537) menggambarkan kriteria-kriteria
evaluasi kebijakan publik sebagai berikut:
1. Efektivitas;
2. Efesiensi;
Pertanyaan: seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?
3. Kecukupan;
4. Perataan;
Pertanyaan: apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
5. Responsivitas;
Pertanyaan: apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
6. Ketepatan;
Pertanyaan: apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Mengikuti Samodra Wibawa dkk (dalam Riant Nugroho, 2003:186), evaluasi kebijakan publik memiliki
1. Eksplanasi, melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat generalisasi tentang
pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamati. Dari evaluasi, elevator dapat mengidentifikasi
masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan
2. Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para pelaku, baik birokrasi maupun
pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan kebijakan
3. Audit, melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran
kebijakan, atau justru ada kebocoran atau peyimpangan
Teknik evaluasi ulang sistematis dan ilmiah semakin mempunyai kecendrungan banyak dipakai, karena
dengan kemampuannya untuk mengumpulkan dan menganalisis data secara akurat akan menghasilkan
kesimpulan hasil penelitian yang akurat pula. Teknik ilmiah yang sekarang banyak dibutuhkan, baik oleh
pemerintah ataupun masyarakat secara luas. Karena dengan mengetahui hasil dan dampak kebijakan akan
dapat dikenali tingkat efektifitas kebijakan-kebijakan publik dan nantinya juga akan dipakai sebagai masukan-
masukan baru dalam rangka memutuskan kebijakan-kebijakan baru yang lebih baik.
1. Tujuan (goals), termasuk kendala normatif dan pertimbangan relatif untuk mencapai tujuan (goals)
2. Kebijakan, program, proyek, keputusan, pilihan, sarana atau alternatif lain yang tersedia untuk mencapai tujuan
3. Hubungan antara kebijakan dan tujuan, termasuk hubungan yang terbentuk oleh intuisi, kewenangan, statistik,
pengamatan, deduksi, perkiraan atau sarana lain
4. Penarikan kesimpulan tentatif sebagai kebijakan atau kombinasi kebijakan yang mana paling baik untuk diadopsi
dalam hal tujuan, kebijakan dan hubungan
Untuk dapat melakukan kebijakan publik, ada 7 (tujuh) kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Relevansi
Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pembuat dan pelaku-
pelaku kebijakan dan harus dapat menjawab pertanyaan secara benar pada waktu yang tepat.
2. Signifikan
Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan informasi baru dan penting bagi para pelaku kebijakan
melebihi dari hal-hal yang selama ini mereka anggap telah jelas dan terang.
3. Validitas
Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan pertimbangan yang persuasif dan seimbang mengenai
hasil-hasil nyata dari kebijakan atau program.
4. Reliabilitas
Evaluasi kebijakan harus dapat membuktikan bahwa kesimpulan hasil evaluasi tidak didasarkan pada
informasi melalui prosedur pengukuran yang tidak teliti dan konsisten.
5. Objektivitas
Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan laporan kesimpulan dan informasi pendukung yang
sempurna dan tidak memihak (bias), yaitu informasi yang membuat evaluator-evaluator dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan yang sama.
6. Ketepatan waktu
Evaluasi kebijakan harus dapat menyediakan informasi tepat pada waktunya (pada waktu keputusan
harus dibuat).
7. Daya guna
Evaluasi kebijakan harus dapat menyediakan informasi yang bisa dimengerti dan dipergunakan oleh
pembuat dan pelaku-pelaku kebijakan yang lain.
Edwar A. Suchman (dalam Riant Nugroho, 2003:199) di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan atau karena penyebab yang lain
Jamed Anderson (dalam Riant Nugroho, 2009:541) membagi evaluasi kebijakan publik menjadi tiga.
Tipe pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional. Kedua, evaluasi yang
memfokuskan pada bekerjanya kebijakan. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif
program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana
tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan telah dicapai.
Sementara itu, Bingham dan Felbinger (dalam Riant Nugroho, 2009:542) membagi evaluasi kebijakan
1. Evaluasi proses, yang fokus pada bagaimana proses implementasi suatu kebijakan
3. Evaluasi kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan tujuan yang direncanakan dalam kebijakan pada saat
dirumuskan
4. Meta-evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai hasil atau temuan evaluasi dari berbagai kebijakan
yang terkait
Evaluasi kebijakan publik mencangkup tiga lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan,
evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan karena ketiga komponen tersebutlah yang
menentukan apakah kebijakan akan berhasilguna atau tidak.
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik
telah dilaksanakan sebagai berikut (dalam Riant Nugroho, 2009:545):
1. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan-karena setiap masalah publik
memerlukan model formulasi kebijakan publik yang berlainan
2. Mengarah pada permasalahan inti-karena setiap pemecahan masalah harus benar-benar mengarah pada inti
permasalahannya
3. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun dalam rangka
kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan
4. Mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya waktu, dana, manusia,
maupun kondisi lingkungan strategis
Teknik evaluasi formulasi kebijakan publik sendiri dapat mengacu pada model formulasi kebijakan
publik apa yang dipergunakan. Model formulasi yang dipilih merupakan ukuran standar yang dapat dipergunakan
untuk menilai proses formulasi. Jadi, secara praktis paling tidak ada dua belas model evaluasi formulasi
kebijakan publik (dalam Riant Nugroho, 2009:397), yaitu:
1. Model kelembagaan
Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik
adalah tugas pemerintah. Jadi, apa pun yang dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik.
Model ini mendasarkan kegiatan-kegiatan politik pada fungsi-fungsi kelembagaan di pemerintahan disetiap
sektor dan tingkat, seperti lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif pada pemerintah pusat maupun daerah.
Perumusan kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah
tersebut. Model kelembagaan lebih menekankan struktur dari pada proses atau perilaku politik. Dalam model ini,
tugas formulasi kebijakan adalah tugas lembaga-lembaga pemerintah yang dilakukan secara otonom tanpa
berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Model proses
Pengikut model ini berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktifitas sehingga mempunyai proses. Kebijakan
publik juga merupakan proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan. Model ini menerangkan, bagaimana
kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun kurang menekankan substansi seperti apa yang harus ada.
3. Model kelompok
Model ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium), yang dicapai dari perjuangan
kelompok kepentingan yang berbeda-beda. Inti gagasan model ini adalah bahwa interaksi dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah yang terbaik. Model teorikelompok merupakan
abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha
mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Dalam model ini, peran sistem politik adalah untuk
memanajemeni konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan.
4. Model elite
Model ini berkembang dari teori politik elite-massa, yang berasumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti
terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan (elite), dan yang tidak memiliki kekuasaan (massa). Teori
elite-massa berasumsi bahwa sedemokratis apapun suatu negara, selalu ada bias dalam formulasi kebijakan,
karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dihasilkan merupakan permainan politik dari para elite.
5. Model rasional
Model ini memiliki gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain, yang berarti pemerintah
sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat maksimum bagi publik. Model ini
mengatakan bahwa formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan
rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai.
Model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis.
6. Model inkremental
Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan kebijakan dimasa lalu. Model ini
dapat dikatan sebagai model pragmatis/ praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambilan kebijakan
berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi
kebijakan secara komprehensif. Pengambilan kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul
disekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan dimasa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya.
Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik, yang
membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga.
Model teoripermainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi kebijakan. Model ini
mendasarkan pada formulasi kebijakan yang rasional namun dalam kondisi kompetisi dimana tingkat
keberhasilan kebijakan tidak lagi hanya ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, namun juga aktor-aktor lain.
Melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan
atas keputusan tersebut. Akar kebijakan dari teori ekonomi pilihan pubik (economic of public choice) yang
mengandaikan bahwa manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus
dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller;supply meet demand. Secara umum, ini adalah konsep formulasi
kebijkan publik yang paling demokratis karena memberi ruang luas kepada publuk untuk mengkontribusikan
pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Model ini biasanya digunakan oleh kebikan
yang bersifat ekonomi publik atau meskipun digunakan bukan untuk kebijkan yang bersifatekonomi public,
mayoritas analisis kebijakan atau “selera” kekuasaan adalah ekonom atau ekonomi.
9. Model sistem
Model sistem mengandaikan bahwa kebijkan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Sitem
mendapatkan input dari sektor masyarakat (rakyat, society;bisnis, nirlaba, politik dan lain-lain) dan sektor negara
(state;eksekutif, legislatif, yudikatif, akuntatif). Kemudian diproses menghasilkan produk berupa kebijakan publik
dan pelayanan publik Sistem politik tidak hanya menghasilkan produk, tetapi juga limbah dalam bentuk kebijkan
publik yang merugikankehidupan bersama (kebijakan yang bertabrakan, kebijkan yang memperlambat usaha/
investasi dan lain-lain) dan pelayanan publik yang tidak efesien (pemborosan, korupsi dan lain-lain)
Model ini biasanya diperkaitkan dengan implementasi good governance bagi pemerintahan yang
mengamanatkan agar dalam membuat kebijkan, para konstituen dan pemanfaatan (beneficiaries) diakomodasi
keberadaannya. Model yang dekat dengan model “pilihan publik” ini bauk, namun kurang efektif dalam
mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun, jika dapat
dilaksanakan model ini sangat efektif dalam implementasinya karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk
ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan dan setiap pihak bertangun jawab atas kebijakan yang dirumuskan.
Pendekatan ini menggunakan rumusan runtutan perumusan strategis sebagai basis perumusan kebijakan.
Makna perencanaan strategis yaitu upaya yang didisiplikan untuk membuat keputusan dan tindakan penting
yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entitas lainnya), apa yang dikerjakan
organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal yang seperti
itu. Perencanaan strategis mengisyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan
menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang. Perencanaan strategis lebih memfokuskan
pada pengindentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan pada penilaian terhadap lingkungan diluar
dan didalam organisasi dan berorientasi pada tindakan.
Model deliberatif atau “musyawarah” pada perumusan kebijakan dapat juga dilihat pada bagian analisis
kebijakan dengan model deliberatve policy analysis. Proses analisis kebijakan publik model “musyawarah”
memiliki peran analisis kebijkanan “hanya” sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan
kebijakan atas dirinya sendiri. Peran pemerintah disini lebih sebagai legalisator dari pada “kehendak publik”.
Sementara peran analisis kebijakan sebagai prosesor proses dialog publik agar menghasilkan keputusan publik
untuk dijadikan kebijakan publik
Sebagian besar pemahaman evaluasi kebijakan pulik berada pada domain ini. Hal ini bisa dipahami
karena memang implementasi merupakan faktor penting kebijakan yang harus dilihat benar-benar.
Tujuan implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja
yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:
1. Bagaimana kinerja implemetasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik
(variasi darioutcome) terhadap variabel independen tertentu.
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu
sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan mempengaruhi
variasi outcome implementasi kebijakan.
3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan
“tugas” pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variabel-varibel yang
bersifat natural atau variabel lain yang tidak bisa diubah tidak dapat dimasukkan sebagai variabel evaluasi.
Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai panduan pokok, yaitu:
1. Terdapat perbedaan tipis antara evaluasi kebijakan dan analisis kebijakan. Namun demikian, terdapat satu
perbedaan pokok, yaitu analisis kebijakan biasanya diperuntukkan bagi lingkungan pengambil kebijakan untuk
tujuan formulasi atau penyempurnaan kebijakan, sementara evaluasi dapat dilakukan oleh internal ataupun
eksternal pengambil kebijakan.
2. Evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok, yaitu:
3. Evaluator haruslah individu atau lembaga yang mempunyai karakter profesional, dalam arti menguasai
kecakapan keilmuwan, metodologi dan dalam beretika
Jenis evaluasi ini mendapat sedikit sekali perhatian, baik dari praktisi maupun akademisi evaluasi
kebijakan publik. Kenyataan ini harus diakui karena sesungguhnya, sekuat apa pun pengaruh lingkungan, ia
merupakan faktor yang berada di luar kendali kebijakan publik. Namun demikian, perkembangan terkini
membuktikan bahwa keberhasilan dan kegagalan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh keandalan kebijakan dan
implementasinya, namun dukungan lingkungan. Konteks lingkungan dikedepankan karena perubahan yang
terjadi hari ini dan masa depan adalah perubahan dalam volume yang besar dan cepat.
Globalisasi membuat setiap pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan harus sadar bahwa
lingkungan adalah faktor ketiga yang menentukan keberhasilan kebijakan; faktor yang telah berubah
sekedar “variabel pengganggu” menjadi “variabel penentu”. Oleh karena itu, dalam evaluasi
kebijakan, perlu kekhususan evaluasi lingkungan kebijakan. Evaluasi ini sendiri terbagi menjadi dua,
yaitu evaluasi lingkungan formulasi kebijakan dan evaluasi lingkungan implementasi kebijakan.
Mengikuti William N. Dunn (2003: 608-610), istilah evaluasi dapat
disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka(rating), dan
penilaian(assessment). Evaluasi berkenan dengan produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi
yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa
jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik; evaluasi member sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis
kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi,
meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan, evaluasi
kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada
implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan pada
sisi post-tindakan, yaitu lebih pada “proses” perumusan daripada muatan
kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah proesnya sudah sesuai
dengan prosedur yang sudah disepakati.
1. Fokus Nilai
Evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari
suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk
menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan
bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan
yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Kerena ketepatan tujuan dan
sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur
untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.
2. Interdependensi Fakta-Nilai
Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan
bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang
tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan
berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk
menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan
secara actual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk
memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan
prasyarat bagi evaluasi.
4. Dualitas Nilai.
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda,
karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama
dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya,
kesehatan) dapat dianggap sebagai intristik (diperlukan bagi dirinya) ataupun
ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-
tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang
merefleksiakan kepentingan relative dan saling ketergantungan antar tujuan
dan sasaran.
Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru
atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang
diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.
Selain hal tersebut diatas, mengikuti Samodra Wibawa (1994: 10-11), evaluasi
kebijakan publik memiliki 4 (empat) fungsi, yaitu:
1. Eksplanasi
Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat
dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antarberbagai dimensi
realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi
maslah, kondisi, dan actor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan
kebijakan.
2. Kepatuhan
Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standard dan
prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit
Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke
tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.
4. Akunting
Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan
tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Konsep Kebijakan Publik
Kebijakan publik berasal dari terjemahan public policy, berikut
kami akan jelas apa yang dimaksud public dan policy. Islamy
(1996:1.7) menerjemahkan kata public kedalam bahasa
Indonesia sangat susah misalnya diartikan masyarakat, rakyat,
umum dan negara. Namun kebanyakan penulis buku
menerjemahkannya sebagai “publik” saja seperti
terjemahan Public Policy yaitu kebijakan publik.
Kata public mempunyai dimensi arti yang agak banyak, secara
sosiologi kita tidak boleh menyamakannya dengan masyarakat.
Perbedaan pengertiannya adalah masyarakat di artikan sebagai
sistem antar hubungan sosial dimana manusia hidup dan tinggal
bersama-sama. Di dalam masyarakat tersebut terdapat norma-
norma atau nilai-nilai tertentu yang mengikat dan membatasi
kehidupan anggota-angotanya. Dilain pihak publik diartikan
sebagai kumpulan orang-orang yang menaruh perhatian, minat
atau kepentingan yang sama. Tidak ada norma/nilai yang
mengikat/membatasi perilaku public sebagaimana halnya pada
masyarakat, karena public sulit dikenali sifat-sifat kepribadiannya
(indentifikasinya) secara jelas. Satu yang menonjol adalah
mereka mempunyai perhatian atau minat yang sama (Islamy,
1996:1.6).
Sedangkan Kebijakan yang dimaksud disepadankan dengan
katapolicy yang dibedakan dengan
kebijaksanaan (wisdom) maupun kebajikan (virtues). Winarno
(2008 : 16) dan Wahab (2010:1-2) sepakat bahwa istilah
‘kebijakan’ ini penggunaannya sering dipertukarkan dengan
istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan,
undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal
dan grand design. Bagi para policy makers(pembuat kebijakan)
dan orang-orang yang menggeluti kebijakan, penggunaan istilah-
istilah tersebut tidak menimbulkan masalah, tetapi bagi orang di
luar struktur pengambilan kebijakan tersebut mungkin akan
membingungkan.
Menurut Rakhmat (2009 : 127), bahwa secara konseptual,
katapolicy diartikan dan diterjamahkan menjadi istilah kabijakan
atau kabijaksanaan, karena memang biasanya dikaitkan dengan
keputusan pemerintah dalam suatu pemerintahan. Menurut Said
dalam Rakhmat (2009 : 127) perbedaan makna antara konsep
kebijakan dan kebijaksanaan tidak menjadi persoalan selama
kedua istilah diartikan sebagai keputusan pemerintah yang
bersifat umum dan ditujukan kapada masyarakat atau
kepentingan publik.
Banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan kebijakan (policy). Setiap definisi tersebut memberi
penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena
setiap ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda pula.
Seorang penulis mengatakan, bahwa kebijakan adalah prinsip
atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Menurut Ealau dan Kenneth Prewitt yang dikutip
Charles O. Jones, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang,
baik oleh yang membuatnya maupun oleh mereka yang
mentaatinya (a standing decision characterized by behavioral
consistency and repetitiveness on the part of both those who
make it and those who abide it).
Konsep public policy dapat dipelajari secara sistematik pertama
kali digambarkan oleh John Dewey di dalam bukunya Logic: The
Theory of Inquiry, Dewey memberikan perhatian terhadap sifat
eksprimen dari cara mengukur kebijaksanaan (policy).
Digambarkan pula bagaimana rencana-rencana tindakan harus
dipilih dari alternatif-alternatif dan bagaimana mengamati akibat-
akibat yang dapat dipergunakan sebagai uji coba yang tepat
(Thoha, 2008:104).
Mac Rae dan Wilde dalam Islamy (1996:1.7) mengartikan
kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang dipilih oleh
pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap
sejumlah orang. Pengertian ini mengandung maksud bahwa
kebijakan itu terdiri dari berbagai kegiatan yang terangkai, yang
merupakan pilihan pemerintah dan kebijakan tersebut
mempunyai pengaruh dan dampak terhadap sejumlah besar
orang.
Rose (1969) sebagai seorang pakar ilmu politik menyarankan
bahwa kebijakan hendaknya dimengerti sebagai serangkaian
kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-
konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai suatu keputusan tersendiri. Kebijakan menurutnya
dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar
suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Thomas R. Dye bahwa public policy adalah apa pun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak
dilakukan (whatever government choose to do or not to do).
Dalam pengertian seperti ini, maka pusat perhatian dari public
policy tidak hanya pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah,
melainkan termasuk apa saja yang tidak dilakukan oleh
pemerintah (Thoha, 2008:107).
Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang
secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang
dihadapi. Jadi, definisi ini memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau
dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara
tegas antara kebijakan (policy) dan keputusan (decision)-
pemilihan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yang
tersedia.
Winarno (2008:16) mengingatkan bahwa berkenaan dengan
definisi kebijakan ini, dalam mendefinisikan kebijakan haruslah
melihat apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang
diusulkan mengenai suatu persoalan. Alasannya adalah karena
kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap
implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang
hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang
memadai.
Penilian :
Tingkat Pencapaian Tujuan (outcome)
5. Pertanyaan Penelitiaan
Dalam penelitian pertanyaan penelitian yang diajukan untuk
dilakukan penelitian yaitu :
Tinggalkan Balasan
Navigasi pos
Next Post
Cari
Cari untuk:
Pos-pos Terbaru
Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi Kebijakan Publik
Arsip
Juli 2012
Kategori
Uncategorized
Meta
Daftar
Masuk log
RSS Entri
RSS Komentar
Blog di WordPress.com.
Blog di WordPress.com. | T
Analisis Proses Evaluasi Kinerja KebijaKan
Publik (4 Juni 2013)
Konsep Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan untuk menilai atau
melihat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan
suatunkebijakan publik.
Oleh karena itu,evaluasi merupakan kegiatan pemberian
nilai atas sesuatu "fenomena" di dalamnya terkandung
pertimbanga n nilai (value judgment) tertentu. (
Mustopadidjaja,2002:45).
Lalu,fenomena apa yang dinilai? Ya tergantung pada
konteksnya. Jika konteksnya kebijakan publik,maka
fenomena yang dinilai ,menurut Mustopadidjaja,adalah
berkaitan dengan "tujuan,sasaran kebijakan, kelompok
sasaran (target group) yang ingin dipengaruhi,berbagai
instrumen kebijakan yang digunakan,responsi dari
lingkungan kebijakan,minerja yang dicapai,dampak yang
terjadi dan sebagainya".