Anda di halaman 1dari 65

KONSEP DAN MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu: (1) tujuan yang

hendak dicapai, (2) sasaran yang spesifik, dan (3) cara mencapai sasaran tersebut. Cara

mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya

diterjemahkan ke dalam program-program aksi dan proyek. Aktivitas implementasi ini

biasanya terkandung di dalamnya: siapa pelaksananya, besar dana dan sumbernya, siapa

kelompok sasarannya, bagaimana manajemen program atau proyeknya, dan bagaimana

keberhasilan atau kinerja program diukur. Secara singkat implementasi kebijakan adalah cara

agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tujuan

kebijakan pada hakekatnya adalah melakukan intervensi. Oleh karenanya implementasi

kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri.


Presman dan Wildavsky (1973: xiii) mendefinisikan implementasi
kebijakan seperti apa yang dikatakan oleh Webster and Roget, sebagai “to
carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Di sini mereka memulai
studi mereka dengan asumsi bahwa implementasi adalah getting things
done. Sedang Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan
implementasi kebijakan sebagai “those actions by public and private
individual (or groups) that are directed at the achivement of objectives set
forth in prior policy decisions”.
Martin Rein and Francise Rabinovitz, dalam bukunya Implementation: A
Theoritical Perspective (1978), mendefinisikan implementasi kebijakan
sebagai :
(a) a declaration of government preferences;
(b) mediated by a number of actors who,
(c) create a circular process characterized by reciprocal power relations
and negotiations.
Mereka mengindikasikan bahwa proses implementasi didominasi oleh
tiga “potentially conflicting imperatives”, yaitu:
a. The legal imperative (respect for legal intent. To do what is legally
required. This imperative stresses the importance of subordinate
compliance to rules which derive from legislative mandates along the lines
discribed by Lowi’s “classical” theory).
b. The rational bureaucratic imperative (what from a bureaucratic point of
view is morally correct, administrative feasible, and intelectually
defensible course of action. Emphasis here is on such bureaucratic norms
as consistency of principles, workability, and concern for institutional
maintenance, protection, and growth).
c. The concensual imperative (to do what is necessary to attract
agreement among contending influential parties who have a stake in the
outcome)
Mazmanian dan Sabatier (1983) memberikan gambaran bagaimana
melakukan intervensi atau implementasi kebijakan dengan langkah
sebagai berikut: (1) mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi, (2)
menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan (3) merancang struktur
proses implementasi. Program dengan demikian harus disusun secara
jelas, jika masih bersifat umum, program harus diterjemahkan secara
lebih operasional menjadi proyek.
Dalam siklus kebijakan publik, dengan demikian tindakan implementasi
kebijakan merupakan salah satu tahapan yang amat penting dari
keseluruhan proses kebijakan publik. Implementasi kebijakan merupakan
serangkaian kegiatan (tindakan) setelah suatu kebijakan dirumuskan.
Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah
dirumuskan akan menjadi sia-sia. Implementasi kebijakan dengan
demikian merupakan rantai yang menghubungkan formulasi kebijakan
dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan.
Kelahiran studi implementasi kebijakan di awali oleh banyaknya
kegagalan yang dialami oleh negara-negara maju dalam
mengimplementasikan berbagai kebijakan publik yang telah dibuat.
Sebagai contoh kebijakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat di
bawah pemerintahan Presiden Ronald Reagen dalam perang di Timur
Tengah. Perang ini telah menimbulkan defisit keuangan negara yang
sangat besar bagi Amerika Serikat. Warga negara AS kemudian mengkritik
pemerintah dan mengancam tidak mau membayar pajak. Pada hal
keuangan negara AS sangat tergantung dari pajak yang dibayarkan oleh
warganegaranya.
Kegagalan implementasi kebijakan tersebut kemudian memunculkan
minat para pakar kebijakan publik untuk mengkaji dan mencari penyebab
kegagalan tersebut. Artinya studi (research) tentang implementasi
kebijakan dilakukan untuk mengetahui (mencari) faktor penghambat dan
pendukung implementasi suatu kebijakan. Hasil studi yang diperoleh
selanjutnya dijadikan referensi (acuan) bagi pelaksanaan kebijakan publik
selanjutnya.

Implementasi atau pelaksanaan merupakan langkah yang sangat


penting dalam proses kebijakan. Tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan
hanyalah sekedar sebuah dokumen yang tak bermakna dalam kehidupan
masyarakat (Abidin, 2002: 185) atau kebijakan-kebijakan hanya berupa
impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau
tidak diimplementasikan (Udoji dalam Putra, 2001: 79). Pada titik ini,
implementasi atau langkah pelaksanaan kebijakan menjadi sangat
penting tetapi tidak berarti bahwa telah terlepas dari proses formulasi
sebelumnya, artinya formulasi kebijakan makro yang ditetapkan
berpengaruh pada keberhasilan implementasi kebijakan mikro, yaitu para
pelaksana kebijakan dan kebijakan opersional serta kelompok sasaran
dalam mencermati lingkungan, disamping itu ketidakjelasan kebijakan
adalah sebab utama kegegalan pelaksanaan (Palumbo dalam Putra, 2001:
80).
Pelaksanaan sangat penting dalam suatu pemerintahan (Abidin,
2002: 58) dan mekanisme opersional kebijakan tidak hanya berkaitan
dengan prosedur-prosedur teknis administratif belaka, tetapi juga
berkaitan dengan masalah-masalah politik seperti konflik keputusan, dan
tanggapan kelompok sasaran. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
dalam analisis implementasi kebijaksanaan adalah Bagaimana cara
kebijakan tersebut dilaksanakan? Bagaimana interaksi antara orang-
orang atau kelompok-kelompok yang terlibat? Siapa yang secara formal
diberi wewenang melaksanakan program dan siapa yang secara informal
lebih berkuasa dan mengapa? Bagaiman cara atasan mengawasi bawahan
dan cara mengkoordinasikan mereka? Bagaimana tanggapan dari target
groups? (Santoso, 1993: 8).
Secara sederhana, implementasi merupakan tahapan yang
menghubungkan
antara rencana dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain,
implementasi merupakan proses penerjemahan pernyataan kebijakan
(policy statement) ke dalam aksi kebijakan (policy action) (Cooper, et.al.,
1998: 185). Pemahaman seperti in berangkat dari pembagian proses
kebijakan publik ke dalam beberapa tahap di mana implementasi berada
di tengah-tengahnya.

Implementasi juga dapat diartikan sebagai proses yang terjadi


setelah sebuah produk hukum dikeluarkan yang memberikan otorisasi
terhadap suatu kebijakan, program atau output tertentu. Implementasi
merujuk pada serangkaian aktivitas yang dijalankan oleh pemerintah
yang mengikuti arahan tertentu tentang tujuan dan hasil yang
diharapkan. Implementasi meliputi tindakan-tindakan (dan non-tindakan)
oleh berbagai aktor, terutama birokrasi, yang sengaja didesain untuk
menghasilkan efek tertentu demi tercapainya suatu tujuan (Ripley &
Franklin, 1986: 4; Shafritz & Russell, 1997: 58).
Definisi yang lain diberikan oleh Malcolm L. Goggin, et.al. (1990).
Dengan menggunakan pendekatan komunikasi, para penulis ini melihat
implementasi sebagai suatu proses, serangkaian keputusan dan tindakan
negara yang diarahkan untuk menjalankan suatu mandat yang telah
ditetapkan. Implementasi, dalam pandangan mereka, sering disejajarkan
dengan ketaatan (compliance) negara, atau suatu pemenuhan tuntutan
prosedur hukum sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Implisit
dalam pernyataan tersebut adalah tidak adanya modifikasi atau
perubahan terhadap suatu keputusan kebijakan yang justru dapat
bertentangan dengan maksud para pembuat kebijakan (Goggin, et.al.,
1990: 34).
Hampir senada dengan pendapat-pendapat di atas, Merilee Grindle
menyatakan bahwa implementasi pada dasarnya merupakan upaya
menerjemahkan kebijakan publik – yang merupakan pernyataan luas
tentang maksud, tujuan dan cara mencapai tujuan – ke dalam berbagai
program aksi untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan
dalam suatu kebijakan. Dengan demikian, implementasi berhubungan
dengan penciptaan “policy delivery system” yang menghubungan tujuan
kebijakan dengan output atau outcomes tertentu (Grindle, 1980:
6). Implementasi kebijakan merupakan suatu fungsi dari
implementasi program dan berpengaruh terhadap pencapaian
outcome‐nya. Oleh karena itu studi terhadap proses implementasi
kebijakan hampir selalu menggunakan metode investigasi dan
analisis dari aktivitas program.
Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi, oleh
karena itu implementasi kebijakan sebenarnya adalah
tindakan (action) intervensi itu sendiri (Nugroho, 2003: 161). Bentuk
intervensi dalam implentasi ini setidaknya melalui elemen-elemen berikut
(Lineberry dalam Putra, 2001: 81), yaitu :
1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana
2. Penjabaran tujuan kedalam aturan
pelaksanaaan (standard operating procedures)
3. Koordinasi; pembagian tugas-tugas didalam dan
diantara dinas-dinas/badan pelaksana
4. Pengalokasian sumber-sumber daya untuk mencapai
tujuan.
Tahap implementasi kebijakan akan menempatkan kebijakan dalam
pengaruh berbagai faktor dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan itu
sendiri (Ali, 2001: 31). Yang dimaksudkan dengan faktor-faktor di sini
adalah segala aspek yang sangat berpengaruh, dan karenanya
menentukan, kinerja implementasi. Aspek-aspek tersebut perlu
diidentifikasi secara teoritis sehingga nantinya dapat diperoleh gambaran
yang jelas mengenai penyebab tinggi atau rendahnya kinerja
implementasi suatu kebijakan.
Selama ini memang sudah terdapat beberapa tulisan yang mencoba
mengidentifikasi faktor-faktor tersebut. Tulisan-tulisan tersebut
cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam menentukan variabel-variabel
penentu kinerja implementasi (O’Toole, 1984: 182). Kendati demikian
sudah ada kesadaran bersama akan meluasnya defisit implementasi yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut (Hill, 1997: 130).
MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

1. Model Merilee S. Grindle


Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle dalam Nugroho
(2006) dipengaruhi oleh isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan
kebijakan (content of implementation). Ide dasarnya adalah bahwa
setelah kebijakan ditransformasikan, dilakukan implementasi kebijakan.
Isi Kebijakan (content of policy) mencakup:
a) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan;
b) Jenis manfaat yang dihasilkan;
c) Derajat perubahan yang diinginkan;
d) Kedudukan pembuat kebijakan;
e) Siapa pelaksana program;
f) Sumber daya yang dikerahkan.
Sedangkan Lingkungan Kebijakan (content of implementation) mencakup
:
a) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat;
b) Karateristik lembaga dan penguasa
c) kepatuhan dan daya tanggap.

Gambar 1.1
Model Implementasi Grindle
Implementasi Kebijakan Dipengaruhi Oleh :
A. Isi Kebijakan :
1. Kepentingan kelompok sasaran
2. Tipe manfaat
3. Derajad perubahan yang diinginkan
4. Letak pengambilan keputusan
5. Pelaksanaan program
6. Sumberdaya yang dilibatkan
B. Lingkungan Implementasi :
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Hasil Kebijakan :
a. Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok
b. Perubahan dan penerimaan masyarakat
Mengukur keberhasilan
Program aksi dan proyek individu yang di desain dan didanai
Program yang dilaksanakan sesuai rencana
Tujuan
Kebijakan
Sumber : Nugroho. 2006.

2. Model George C. Edward III


Selanjutnya George C. Edward III dalam Subarsono (2005) mengemukakan
beberapa 4 (empat) variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yakni
komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut
saling berhubungan satu sama lain.
(1) Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui
apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi
distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau
bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan
terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
(2) Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi
apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi
tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya
manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya
adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya,
kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
(3) Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti
komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang
baik, maka dia dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan oleh pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga
menjadi tidak efektif.
(4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi
setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan
cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur
birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas
organisasi tidak fleksibel.

Gambar 1.2
Komunikasi
Sumber Daya
Disposisi
Implementasi
Struktur Birokrasi
Model Implementasi Edward III

Sumber : Subarsono. 2005.


3. Model Mazmanian dan Sabatier
Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2005) menjelaskan bahwa
ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni :
1. Karateristik dari masalah (tractability of the problems), indikatornya :
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan;
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran;
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi;
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.
2. Karateristik kebijakan / undang-undang (ability of statute to structure
implementation), indikatornya :
a. Kejelasan isi kebijakan;
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis;
c. Besarnya alokasi sumberdaya financial terhadap kebijakan tersebut;
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi
pelaksana;
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana;
f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan;
g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam
implementasi kebijakan.
3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation), indikatornya :
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi;
b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan;
c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups).
d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor
Gambar 1.3
Model Implementasi Model Mazmanidan dan Sabatier
Mudah / tidaknya Masalah dikendalikan
1. Kesulitan teknis
2. Keragaman perilaku kelompok sasaran
3. Prosentase kelompok sasaran dibanding jumlah populasi
4. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan
Kemampuan Kebijaksanaan untuk Menstrukturkan Proses Implementasi
1. Kejelasan dan konsistensi tujuan
2. Digunakannya teori kausal yang memadai
3. Ketepatan alokasi sumber daya
4. Keterpaduan hierarki dalam dan di antara lembaga pelaksana
5. Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana
6. Rekrutmen pejabat pelaksana
7. Akses formal pihak luar
Variabel diluar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses Implementasi
1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi
2. Dukungan publik
3. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok pemilih
4. Dukungan dari pejabat atasan
5. Komitmen dan ketrampilan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana
Tahap-tahap Dalam Proses Implementasi (Variabel Tergantung)

Sumber : Subarsono.2005.

4. Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn


Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005) menjelaskan bahwa ada 6
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu :
1) Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur, sehingga tidak menimbulkan
interpretasi yang dapat menyebabkan terjadinya konflik di antara para agen
implementasi.
2) Sumber daya
Kebijakan perlu didukung oleh sumber daya, baik itu sumber daya manusia maupun
sumber daya non manusia.
3) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas
Dalam berbagai kasus, implementasi sebuah program terkadang perlu didukung dan
dikoordinasikan dengan instansi lain agar tercapai keberhasilan yang diinginkan.
4) Karateristik agen pelaksana
Sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi
implementasi kebijakan. Termasuk didalamnya karateristik para partisipan yakni
mendukung atau menolak, kemudian juga bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
5) Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Kondisi sosial, ekonomi dan politik mencakup sumber daya ekonomi lingkungan
yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor
Disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu :
a. respons implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan kebijakan;
b. kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan;
c. Intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementor.
Gambar 1.4
Model Implementasi Van Metter dan Van Horn
Aktifitas Impelementasi dan Komunikasi antar organisasi
Standar dan
Tujuan
Sumber Daya
Karakteristik Agen Pelaksana
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik
Kecendurungan /Disposisi Pelaksana

Kinerja Kebijakan Publik

Kebijakan
Publik

Sumber : Subarsono. 2005.


5. Model G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli
Cheema dan Rondinelli dalam Subarsono (2008) menggambarkan empat kelompok
variabel yang dapat memengaruhi kinerja dan dampak suatu program antara
lain (1). Kondisi lingkungan, (2). Hubungan antar organisasi, (3) Sumberdaya
organisasi untuk implementasi program, (4). Karakteristik dan kemampuan agen
pelaksana.
Gambar 1.5
Model Implementasi Cheema dan Rondinelli
Hub.antar organisasi
1. Kejelasan dan konsistensi sasaran program
2. Pembagian fungsi antar instansi yang pantas
3. Standardisasi prosedur perencanaan, anggaran, implementasi dan evaluasi
4. Ketepatan, konsistensi dan kualitas komunikasi antar instansi
5. Efektivitas jejaring untuk mendukung program
Karakteristik & Kapabilitas
Instansi Pelaksana :
1. Keterampilan teknis, manajerial, & politis petugas
2. Kemampuan untuk mengkoordinasi, mengontrol, & mengintegrasikan keputusan
3. Dukungan dan sumberdaya politik instansi
4. Sifat komunikasi internal
5. Hub. Yang baik antara instansi dengan kelompok sasaran
6. Hub. Yang baik anatara instansi dengan pihak di luar pem & NGO
7. Kualitas pemimpin instansi yang bersangkutan
8. Komitmen petugas terhadap program
9. Kedudukan instansi dalam hirarki sistem administrasi
Kinerja dan Dampak
1. Tingkat sejauh mana program dpt mencapai sasaran yg telah ditetapkan
2. Adanya perubahan kemampuan administratif pada organisasi lokal
3. Berbagai keluaran & hasil yang lain
Sumberdaya Organisasi
1. Kontrol terhadap sumber dana
2. Keseimbangan antara pembagian anggaran dan kegiatan program
3. Ketepatan alokasi anggaran
4. Pendapatan yang cukup untuk pengeluaran
5. Dukungan pemimpin politik pusat
6. Dukungan pemimpin politik lokal
7. Komitmen birokrasi
Kondisi Lingkungan
1. Tipe sistem politik
2. Struktur pemb.kebijakan
3. Karakteristik struktur politik lokal
4. Kendala sumberdaya
5. Sosio kultural
6. Derajad keterlibatan para penerima program
7. Tersedianya infrastruktur fisik yang cukup

Sumber : Subarsono. 2005.

6. Model Soren C. Winter


Winter dalam Peters and Pierre memperkenalkan model implementasi integratif
(Integrated Implementation Model). Winter berpendapat bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh formulasi kebijakan, proses implementasi
kebijakan, dan dampak/hasil implementasi kebijakan itu sendiri.
Selanjutnya Winter mengemukakan 3 (tiga) variabel yang mempengaruhi
keberhasilan proses implementasi yakni :
1. Perilaku hubungan antar organisasi. Dimensinya adalah : komitmen dan koordinasi
antar organisasi;
2. Perilaku implementor (aparat/birokrat) tingkat bawah. Dimensinya adalah
kontrol politik, kontrol organisasi dan etos kerja dan norma-norma profesional
3. Perilaku kelompok sasaran. Kelompok sasaran tidak hanya memberi pengaruh pada
dampak kebijakan tetapi juga mempengaruhi kinerja aparat tingkat bawah, jika
dampak yang ditimbulkan baik maka kinerja aparat tingkat bawah juga baik
demikian dengan sebaliknya. Perilaku kelompok sasaran meliputi respon positif atau
negatif masyarakat dalam mendukung atau tidak mendukung suatu kebijakan yang
disertai adanya umpan balik berupa tanggapan kelompok sasaran terhadap
kebijakan yang dibuat.

Gambar 1.6
Model Implementasi Soren C. Winter

Policy formulation
- Conflict
- Symbolic policy
Implementation process
Organizational and interorganizational implementation behavior
Street-level bureaucratic bahavior
Target group behavior

Policy design
Performance
Outcome
Implementation results
Feedback
Socio-Economic Context

Sumber : Winter dalam Peters and Pierre, 2003.


DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta : Bandung.
Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik ( Edisi Kedua, Cetakan Kelima).
Gadja Mada University : Yogyakarta.
Ekowati, Lilik Roro Mas. 2009. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau
Program ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis ). Pustaka Cakra : Surakarta.
Irwan, Irmawati. 2009. Implementasi Kebijakan Sisduk Dalam Pemberdayaan Masyarakat di
Kabupaten Takalar. Tesis. Program Pascasarjana – Unhas. Makassar.
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, Evaluasi. PT. Elex Media
Komputindo : Jakarta.
_____________ 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. PT. Elex Media
Komputindo : Jakarta.
Peters, B. Guy and Jon Pierre. 2003. Handbook of Public Administration. SAGE
Publications. London.
Rakhmat. 2009. Teori Administrasi dan Manajemen Publik. Penerbit Pustaka Arief. Jakarta.
Spencer, Lyle M. & Spencer Signe M., 1993, Competence at Work, Jhon Wiley & Sons Inc,
New York.
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Cetakan Ketiga.
Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Widodo. Joko. 2008. Analisis Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik)
Cetakan Kedua. Bayumedia Publishing : Malang.
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publlik Teori dan Proses, Edisi Revisi. Media Pressindo :
Yogyakarta.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Implementasi Kebijakan


Dalam pengertian yang luas implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses
kebijakan segara setelah penetapan undang-undang. Implementasi mempunyai makna
pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan
kebijakan atau program-program. Disisi lain, implementasi merupakan fenomena yang
kompleks yang mingkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output)
maupun sebagai suatu dampak (outcome). Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu kegiatan
untuk menimbulkan hasil (output), dampak (outcomes), dan manfaat (benefit), serta dampak
(impacts) yang dapat dinikmati oleh kelompok sasaran (target groups).
Kamus Webster dalam Wahab merumuskan implementasi berarti menyediakan sarana
untuk melaksanakan sesuatu; menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu.[1] Implementasi
kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan suatu proses (biasanya dalam
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dll).
Menurut Ripley dan Franklin, implementasi adalah apa yang terjadi sesudah undang-
undang di tetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau
suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menuju pada sejumlah
kebijakan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil yang
diinginkan oleh pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh berbagai
aktor yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.[2]
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier menjelaskan implemetansi yaitu
memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program di nyatakan berlaku atau
dirumuskan merupakan focus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan
kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman, kebijakan negara,
yang menyangkut baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Berdasarkan
pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan sesunggunhnya
tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan
pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dn sosial secara langsung
ataupun tidak, mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap dampak.
Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar.
Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:
1. tahapan pengesahan peraturan perundangan;
2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana;
3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak;
5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.
Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
1. penyiapan sumber daya, unit dan metode;
2. penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan
dijalankan;
3. penyediaan layanan, pembayaran, manfaat dan hal lain secara rutin.
Aktivitas penorganisasian (Organivation) merupakan suatu upaya untuk menetapkan
dan menanta kembali sumber daya (units), dan metode-metode (methods) yang mengarah
pada upaya mewujudkan atau merealisasikan kebijakan menjadi hasil (outcomes) sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Aktivitas interprestasi (penjelasan)
merupakan subtansi dari suatu kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah
dipahami. Aktivitas aplikasi merupakan aktivitas penyediaan layanan secara rutin sesuai
dengan tujuan dan sarana kebijakan yang ada.
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan:
1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah
kebijakan yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan
yang lebih bersifat manajerial dan operasional. Kebijakan abstrak biasanya tertuang
dalam bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan
legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan manajerial
biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa peraturan
presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan operasional berupa
keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri ataupun
keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses
penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa
proses komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut – baik yang berbentuk abstrak
maupun operasional – kepada para pemangku kepentingan.
2. Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan
pelaksana kebijakan (policy implementor) – yang setidaknya dapat diidentifikasikan
sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM
maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka
dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman,
petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya
kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap
tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal
(SPM). Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber
pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah
(APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga
diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut
akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan
kebijakan. Langkah selanjutnya – penetapan manajemen pelaksana kebijakan –
diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam
hal ini penentuan focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan
implementasi kebijakan segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan
sebagai salah satu alat penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.
3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-
masing tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

2.2 Model-Model Implementasi Kebijakan


Dalam analisis kebijakan negara telah banyak dikembangkan model-model yang
membahas tentang implementasi kebijakan namun disini kelompok kami mengambil
beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi
pelbagai pemikiran maupun tulisan para ahli. Diambil sumber dari buku Solichin Abdul
Wahab.
a. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn
Model mereka ini sering disebut oleh para ahli sebagai model Top Down Approach.
Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara
sempurna diperlukan beberapa persyaratan antara lain:

1. Kondisi Eksternal yang Dihadapi oleh Badan/Instansi Pelaksana Tidak Akan


Menimbulkan Gangguan atau Kendala yang Serius
Beberapa kendala atau hambatan pada saat implementasi kebijakan sering kali berada
diluar kendali para implementor, sebab hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan
wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambata-hambatan tersebut diantaranya bersifat
fisik, misalkan program oertanian di suatu masalah terbengkalai atau bersifat politis diartikan
kebijakan maupun tundakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima
atau disepakati oleh pelbagai pihak yang kepentingannya terkait yang memiliki kekuasaan
untuk membatalkannya. Yang mungkin dilakukan oleh implementor ialah mengingatkan
kemungkinan-kemungkinan perlu dipikirkan matang-matang dalam merumuskan kebijakan.
2. Untuk Pelaksanaan Program tersedia Waktu dan Sumber-Sumber yang cukup
Memadai
Kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis bisa saja tidak berhasil
mencapai tujuan yang diinginkan. Ada alasan tertentu antara lain terlalu banyak berharap
dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan
perilaku. Alasan lainnya, para politisi kadang kala hanya peduli dengan pencapaian tujuan
namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-
tindakan pembatasan atau pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan
membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber tidak memadai.
3. Perpaduan Sumber-sumber yang Diperlukan Benar-Benar Tersedia
Persyaratan ketiga ini diartikan bahwa disatu pihak harus dijamin tidak terdapat
kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan dan dilain pihak, setiap tahapan
proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus dengan benar
dapat disediakan. DAlam praktejnya sering kali terdapat hambatan serius misalkan,
perpaduan antara dana, tenaga kerja, tanah, peralatan dan bahan-bahan bangunan yang
diperlukan untuk membangun proyek dapat dipersiapkan secara serentak, namun ternyata
salah satu dari berbagai sumber tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaan sehingga
proyek tersebut tertunda pelaksanaannya dan penyelesaiaannya dalam beberapa bulan.

4. Kebijakan yang akan Di Implementasikan Didasari oleh Suatu Hubungan Kausalitas


yang Andal
Kebijaksanaan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan
lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena
kebijaksanaan itu sendiri memang tidak baik.
5. Hubungan Kausalitas Bersifat Langsung dan Hanya Sedikit Mata Rantai
Penghubungnya
Semakin banyak penghubung dalam mata rantai semakin besar pula resiko bahwa
beberapa di antaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
6. Hubungan Saling Ketergantungan Harus Kecil
Implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian
tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen tehadap setiap
tahapan diantara sejumlah besar aktor pelaku yang terlibat.
7. Pemahaman yang Mendalam dan Kesepakatan Terhadap Tujuan
Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai
kesepakatan tehadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang penting keadaan ini
harus dipertahankan selama proses implementasi
8. Tugas-tugas Diperinci dan Ditempatkan dalam Urutan yang Tepat
Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah menuju
tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati masih dimungkinkan untuk memerinci dan
menyusun dalam urutan-urutan yang tepat yang dilaksanakan oleh pihak yang terlibat. Juga
diperlukan adanya ruang yang cukup bagi kebebasan bertindak dan melakukan improvisasi,
sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat.
9. Komunikasi dan Koordinasi yang Sempurna
Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi
sempurna diantara pelbagai unsure atau badan yang telibat dalam program.
10. Pihak-Pihak yang Memiliki Wewenang Kekuasaan dapat Menuntut dan Mendapatkan
Kepatuhan yang Sempurna
Menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi ketundukan penuh dan tidak ada
penolakan terhadap perintah/komando dari siapapun dalam sistem administrasi itu.

b. Model yang Dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai A
Model of the Policy Implementation Process (Model Proses Implementasi Kebijakan)
Teori beranjak dari suatu argument bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses
implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan akan dilaksanakan. Selanjutnya meraka
menawarkansuatu pendekatan yang mencoba utuk menghubungkan antara isu kebijakan
dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan
pestasi kerja. atas dasar pandangan kedua ahli kemudian berusaha membuat tipologi
kebijakan menurut:
 jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,
 jangakauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat
dalam proses implementasi.
Hal lain yang dikemukakan ahli diatas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara
kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variable bebas(independent variable)
yang saling berkaitan.
Variabel-variabel bebas itu ialah:
 ukuran dan tujuan kebijakan
 sumber-sumber kebijakan
 ciri-ciri atau sifat badan/instasi pelaksana
 komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan
 sikap para pelaksana,dan
 lingkungan ekonomi,sosialdan politik

c. Model yang dikembangkan Daniel Mazmania dan Paul A.Sabatiar, yang Disebut
Dengan KerangkaAnalisis Implementasi.
Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan
negara ialah mengidentifkasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kategori besar yaitu :
1. mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.
2. kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasinya,dan
3. pengaruh langsung pelbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan
yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
George C. Edward III mengajukan empat faktor atau variable yang berpengaruh
terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Faktor atau variable ini
adalah:
1. Faktor Komunikasi (communication)
Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada
komunikan. Komunikasi kebijakan merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari
pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors).
Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi yaitu, dimensi transformasi
(transmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi (consistency). Dimensi transmisi
menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana
kebijakan, tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak yang lain
yang berkepentingan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan
kepada para pelaksana, target grup dan pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak
langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga mengetahui apa yang
menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta subtansi dari kebijakan punlik tersebut.
2. Sumber Daya (resources)
Faktor sumber daya juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Sumber daya sebagaimana telah disebutkan meliputi sumber daya manusia, sumber daya
keuangan, dan sumber daya peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan.
a. sumber daya manusia
Salah satu variable yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan.
b. sumber daya anggaran
Dana atau anggaran diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan.
c. sumber daya peralatan
Merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang
meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan
pelayanan dalam implementasi kebijakan.
d. sumber daya infomasi dan kewenangan
Merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Terutama informasi yang relevan
dan cukup tentang cara bagaimana mengimplemantasikan suatu kebijakan.
3. Disposisi (disposition)
Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana para
pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi
juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat
terhadap keijakan yang sedang di implementasikan.
Disposisi ini merupkan kemauan, keinginan, dan keenderungan para pelaku kebijakan
untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga kebijakan tadi terjadi dapat
tercapai. Terdapat tiga macam elemen respons yang dapat mempengaruhi keinginan dan
kemauan untuk melaksanakan kebijakan, antara lain pengetahuan, pemahaman, dan
pendalaman, arah respon apakah menerima, netral, atau menolak, instensitas tehadap
kebijakan.
4. Struktur Birokrasi (bureaucratic structure)
Implementasi kebijakan masih belum efektif karena adanya ketidak efisien struktur
birokrasi. Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian
kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang
bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Struktur
birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasi yang akan
memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam
melaksanakan apa yang menjadi bidang kebijakanny. Dimensi ini menegaskan bahwa
struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi. Dengan
kata lain, organisasi yang terfragmentasi akan menjadi distorsi dalam pelaksanaan kebijakan.
Keberhasilan implementasi kebijakan yang kompleks, perlu adanya kerjasama yang
baik dari banyak orang. Oleh karena itu, fragmentasi organisasi dapat merintangi koordinasi
yang diperlukan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan yang kompleks dan dapat
memboroskan sumber-sumber langka.
Faktor tujuan dan sasaran, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi
sebagaimana telah disebutkan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu
implementasi kebijakan publik. Struktur birokrasi merupakan variable kedua yang
menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan kebijakan.
Sedangkan menurut teori Marilee S. Grindle implementasi dipengaruhi oleh dua
variable besar, yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini
mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasarn atau target groups termuat dalam
isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh, masyarakat
di wilayah slum areaslebih suka menerima program air bersih atau perlistrikan daripada
menerima program kredit seperti motor; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari
sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan
telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung
oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan variable lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan,
kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang teribat dalam implementasi
kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan
dan responsivitas kelompok sasaran.
Menurut Meter dan Horn, ada lima variable yang mempengaruhi kinerja
implementasi, yakni; (1) standard an sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi
antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi
sosial, ekonomi dan politik.
Menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ada empat kelompok variable
yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yaitu: (1) kondisi lingkungan;
(2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi untuk implementasi program; (4)
karekteristik dan kemampuan agen pelaksana.
Menurut David L. Weimer dan Vining membagi ada tiga kelompok variable besar
yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program,yaitu: (1) logika
kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan dioperasikan; (3) kemampuan implementor
kebijakan. Logika dari suatu kebijakan dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan
masuk akal dan mendapat dukungan teoritis. Lingkungan tempat kebijakan tersebut
dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam, dan fisik atau
geografis.

[1] Solichin Abdul Wahab, 2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Malang: UMM Press
[2] Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin, Illiois: The Dorsey Press,hal 4.
Senin, 14 April 2014
Konsep Evaluasi Kebijakan

Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. Kebijakan harus diawasi dan salah satu
mekanisme pengawasan tersebut disebut “evaluasi kebijakan”. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan
antara harapan dan kenyataan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh
masalah yang telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.
Evaluasi ditujukan untuk menilai sajauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan
kepada konstituennya. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencapai hasil yang maksimal
dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Kaitannya dengan kebijakan, menurut Ramdan dkk, ukuran
efektivitas kebijakan yaitu:

1. Efisiensi, suatu kebijakan harus mempu meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya secara optimal

2. Adil, bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil yakni kepentingan publik tidak terabaikan

3. Mengarah kepada insentif, suatu kebijakan harus mengarah kepada atau merangsang tindakan dalam perbaikan
dan peningkatan sasaran yang ditetapkan

4. Diterima oleh publik, oleh karena diperuntukkan bagi kepentingan publik maka kebijakan yang baik harus
diterima oleh publik

5. Moral, suatu kebijakan harus dilandasi oleh moral yang baik

Tujuan pokok evaluasi untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan
suatu kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut.
Jadi, evaluasi kebijakan publik harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat positif. Evaluasi bertujuan untuk
mencari kekurangan dan menutup kekurangan. Ciri dari evaluasi kebijakan adalah:

1. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan

2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan target kebijakan

3. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi

4. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian

Menurut William N Dunn (dalam Riant Nugroho, 2009:536), istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assesment). Evaluasi memberi informasi yang
valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan
telah dapat dicapai melalui tindakan publik; evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target; dan evaluasi memberikan sumbangan pada aplikasi
metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

Secara umum, William N Dunn (dalam Riant Nugroho, 2009:537) menggambarkan kriteria-kriteria
evaluasi kebijakan publik sebagai berikut:

1. Efektivitas;

Pertanyaan: apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?

Ilustrasi : unit pelayanan

2. Efesiensi;

Pertanyaan: seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?

Ilustrasi : unit biaya, manfaat bersih, rasio cost-benefit

3. Kecukupan;

Pertanyaan: seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?

Ilustrasi : biaya tetap, efektifitas tetap

4. Perataan;

Pertanyaan: apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

Ilustrasi : kriteria pareto, kriteria kaldor-hicks, kriteria rawls

5. Responsivitas;

Pertanyaan: apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

Ilustrasi : konsistensi dengan survei warga negara

6. Ketepatan;

Pertanyaan: apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Ilustrasi : program publik harus merata dan efisien

Mengikuti Samodra Wibawa dkk (dalam Riant Nugroho, 2003:186), evaluasi kebijakan publik memiliki

empat fungsi, yaitu:

1. Eksplanasi, melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat generalisasi tentang
pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamati. Dari evaluasi, elevator dapat mengidentifikasi
masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan
2. Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan para pelaku, baik birokrasi maupun
pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan kebijakan

3. Audit, melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran
kebijakan, atau justru ada kebocoran atau peyimpangan

4. Akunting, evaluasi dapat diketahui apa akibat ekonomi kebijakan tersebut

Teknik evaluasi ulang sistematis dan ilmiah semakin mempunyai kecendrungan banyak dipakai, karena
dengan kemampuannya untuk mengumpulkan dan menganalisis data secara akurat akan menghasilkan
kesimpulan hasil penelitian yang akurat pula. Teknik ilmiah yang sekarang banyak dibutuhkan, baik oleh
pemerintah ataupun masyarakat secara luas. Karena dengan mengetahui hasil dan dampak kebijakan akan
dapat dikenali tingkat efektifitas kebijakan-kebijakan publik dan nantinya juga akan dipakai sebagai masukan-
masukan baru dalam rangka memutuskan kebijakan-kebijakan baru yang lebih baik.

Unsur-unsur pokok evaluasi kebijakan, yaitu:

1. Tujuan (goals), termasuk kendala normatif dan pertimbangan relatif untuk mencapai tujuan (goals)

2. Kebijakan, program, proyek, keputusan, pilihan, sarana atau alternatif lain yang tersedia untuk mencapai tujuan

3. Hubungan antara kebijakan dan tujuan, termasuk hubungan yang terbentuk oleh intuisi, kewenangan, statistik,
pengamatan, deduksi, perkiraan atau sarana lain

4. Penarikan kesimpulan tentatif sebagai kebijakan atau kombinasi kebijakan yang mana paling baik untuk diadopsi
dalam hal tujuan, kebijakan dan hubungan

5. Menentukan apa yang akan dilakukan untuk memetakan alternatif kebijakan

Untuk dapat melakukan kebijakan publik, ada 7 (tujuh) kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Relevansi

Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pembuat dan pelaku-
pelaku kebijakan dan harus dapat menjawab pertanyaan secara benar pada waktu yang tepat.

2. Signifikan

Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan informasi baru dan penting bagi para pelaku kebijakan
melebihi dari hal-hal yang selama ini mereka anggap telah jelas dan terang.

3. Validitas
Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan pertimbangan yang persuasif dan seimbang mengenai
hasil-hasil nyata dari kebijakan atau program.

4. Reliabilitas

Evaluasi kebijakan harus dapat membuktikan bahwa kesimpulan hasil evaluasi tidak didasarkan pada
informasi melalui prosedur pengukuran yang tidak teliti dan konsisten.

5. Objektivitas

Evaluasi kebijakan harus dapat memberikan laporan kesimpulan dan informasi pendukung yang
sempurna dan tidak memihak (bias), yaitu informasi yang membuat evaluator-evaluator dapat mencapai
kesimpulan-kesimpulan yang sama.

6. Ketepatan waktu

Evaluasi kebijakan harus dapat menyediakan informasi tepat pada waktunya (pada waktu keputusan
harus dibuat).

7. Daya guna

Evaluasi kebijakan harus dapat menyediakan informasi yang bisa dimengerti dan dipergunakan oleh
pembuat dan pelaku-pelaku kebijakan yang lain.

Edwar A. Suchman (dalam Riant Nugroho, 2003:199) di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan

mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:

1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi

2. Analisis terhadap masalah

3. Deskripsi dan standardisasi kegiatan

4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi

5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan atau karena penyebab yang lain

6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak

Jamed Anderson (dalam Riant Nugroho, 2009:541) membagi evaluasi kebijakan publik menjadi tiga.

Tipe pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional. Kedua, evaluasi yang
memfokuskan pada bekerjanya kebijakan. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif
program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana
tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan telah dicapai.
Sementara itu, Bingham dan Felbinger (dalam Riant Nugroho, 2009:542) membagi evaluasi kebijakan

menjadi empat jenis, yaitu:

1. Evaluasi proses, yang fokus pada bagaimana proses implementasi suatu kebijakan

2. Evaluasi impak, yang fokus pada hasil akhir suatu kebijakan

3. Evaluasi kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan tujuan yang direncanakan dalam kebijakan pada saat
dirumuskan

4. Meta-evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai hasil atau temuan evaluasi dari berbagai kebijakan
yang terkait

Evaluasi kebijakan publik mencangkup tiga lingkup makna, yaitu evaluasi perumusan kebijakan,
evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan karena ketiga komponen tersebutlah yang
menentukan apakah kebijakan akan berhasilguna atau tidak.

1. Evaluasi formulasi kebijakan publik

Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik
telah dilaksanakan sebagai berikut (dalam Riant Nugroho, 2009:545):

1. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan-karena setiap masalah publik
memerlukan model formulasi kebijakan publik yang berlainan

2. Mengarah pada permasalahan inti-karena setiap pemecahan masalah harus benar-benar mengarah pada inti
permasalahannya

3. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun dalam rangka
kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan

4. Mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya waktu, dana, manusia,
maupun kondisi lingkungan strategis

Teknik evaluasi formulasi kebijakan publik sendiri dapat mengacu pada model formulasi kebijakan
publik apa yang dipergunakan. Model formulasi yang dipilih merupakan ukuran standar yang dapat dipergunakan
untuk menilai proses formulasi. Jadi, secara praktis paling tidak ada dua belas model evaluasi formulasi
kebijakan publik (dalam Riant Nugroho, 2009:397), yaitu:

1. Model kelembagaan

Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik
adalah tugas pemerintah. Jadi, apa pun yang dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik.
Model ini mendasarkan kegiatan-kegiatan politik pada fungsi-fungsi kelembagaan di pemerintahan disetiap
sektor dan tingkat, seperti lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif pada pemerintah pusat maupun daerah.
Perumusan kebijakan publik secara otoritatif dirumuskan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah
tersebut. Model kelembagaan lebih menekankan struktur dari pada proses atau perilaku politik. Dalam model ini,
tugas formulasi kebijakan adalah tugas lembaga-lembaga pemerintah yang dilakukan secara otonom tanpa
berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Model proses

Pengikut model ini berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktifitas sehingga mempunyai proses. Kebijakan
publik juga merupakan proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan. Model ini menerangkan, bagaimana
kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun kurang menekankan substansi seperti apa yang harus ada.

3. Model kelompok

Model ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium), yang dicapai dari perjuangan

kelompok kepentingan yang berbeda-beda. Inti gagasan model ini adalah bahwa interaksi dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah yang terbaik. Model teorikelompok merupakan
abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha
mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Dalam model ini, peran sistem politik adalah untuk
memanajemeni konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan.

4. Model elite

Model ini berkembang dari teori politik elite-massa, yang berasumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti
terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan (elite), dan yang tidak memiliki kekuasaan (massa). Teori
elite-massa berasumsi bahwa sedemokratis apapun suatu negara, selalu ada bias dalam formulasi kebijakan,
karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dihasilkan merupakan permainan politik dari para elite.

5. Model rasional

Model ini memiliki gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain, yang berarti pemerintah
sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat maksimum bagi publik. Model ini
mengatakan bahwa formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan
rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai.
Model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis.

6. Model inkremental

Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan kebijakan dimasa lalu. Model ini
dapat dikatan sebagai model pragmatis/ praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambilan kebijakan
berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi
kebijakan secara komprehensif. Pengambilan kebijakan dihadapkan pada ketidakpastian yang muncul
disekelilingnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan dimasa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya.
Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistik, yang
membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga.

7. Model teori permainan

Model teoripermainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi kebijakan. Model ini
mendasarkan pada formulasi kebijakan yang rasional namun dalam kondisi kompetisi dimana tingkat
keberhasilan kebijakan tidak lagi hanya ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, namun juga aktor-aktor lain.

8. Model pilihan publik

Melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan
atas keputusan tersebut. Akar kebijakan dari teori ekonomi pilihan pubik (economic of public choice) yang
mengandaikan bahwa manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus
dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller;supply meet demand. Secara umum, ini adalah konsep formulasi
kebijkan publik yang paling demokratis karena memberi ruang luas kepada publuk untuk mengkontribusikan
pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Model ini biasanya digunakan oleh kebikan
yang bersifat ekonomi publik atau meskipun digunakan bukan untuk kebijkan yang bersifatekonomi public,
mayoritas analisis kebijakan atau “selera” kekuasaan adalah ekonom atau ekonomi.

9. Model sistem

Model sistem mengandaikan bahwa kebijkan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Sitem
mendapatkan input dari sektor masyarakat (rakyat, society;bisnis, nirlaba, politik dan lain-lain) dan sektor negara
(state;eksekutif, legislatif, yudikatif, akuntatif). Kemudian diproses menghasilkan produk berupa kebijakan publik
dan pelayanan publik Sistem politik tidak hanya menghasilkan produk, tetapi juga limbah dalam bentuk kebijkan
publik yang merugikankehidupan bersama (kebijakan yang bertabrakan, kebijkan yang memperlambat usaha/
investasi dan lain-lain) dan pelayanan publik yang tidak efesien (pemborosan, korupsi dan lain-lain)

10. Model demokratis

Model ini biasanya diperkaitkan dengan implementasi good governance bagi pemerintahan yang
mengamanatkan agar dalam membuat kebijkan, para konstituen dan pemanfaatan (beneficiaries) diakomodasi
keberadaannya. Model yang dekat dengan model “pilihan publik” ini bauk, namun kurang efektif dalam
mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun, jika dapat
dilaksanakan model ini sangat efektif dalam implementasinya karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk
ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan dan setiap pihak bertangun jawab atas kebijakan yang dirumuskan.

11. Model strategis

Pendekatan ini menggunakan rumusan runtutan perumusan strategis sebagai basis perumusan kebijakan.
Makna perencanaan strategis yaitu upaya yang didisiplikan untuk membuat keputusan dan tindakan penting
yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entitas lainnya), apa yang dikerjakan
organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal yang seperti
itu. Perencanaan strategis mengisyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan
menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang. Perencanaan strategis lebih memfokuskan
pada pengindentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan pada penilaian terhadap lingkungan diluar
dan didalam organisasi dan berorientasi pada tindakan.

12. Model deliberatif

Model deliberatif atau “musyawarah” pada perumusan kebijakan dapat juga dilihat pada bagian analisis
kebijakan dengan model deliberatve policy analysis. Proses analisis kebijakan publik model “musyawarah”
memiliki peran analisis kebijkanan “hanya” sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan
kebijakan atas dirinya sendiri. Peran pemerintah disini lebih sebagai legalisator dari pada “kehendak publik”.
Sementara peran analisis kebijakan sebagai prosesor proses dialog publik agar menghasilkan keputusan publik
untuk dijadikan kebijakan publik

2. Evaluasi implementasi kebijakan publik

Sebagian besar pemahaman evaluasi kebijakan pulik berada pada domain ini. Hal ini bisa dipahami
karena memang implementasi merupakan faktor penting kebijakan yang harus dilihat benar-benar.

Tujuan implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja
yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu:

1. Bagaimana kinerja implemetasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik
(variasi darioutcome) terhadap variabel independen tertentu.

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu
sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan mempengaruhi
variasi outcome implementasi kebijakan.

3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan dengan
“tugas” pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variabel-varibel yang

bersifat natural atau variabel lain yang tidak bisa diubah tidak dapat dimasukkan sebagai variabel evaluasi.

Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai panduan pokok, yaitu:

1. Terdapat perbedaan tipis antara evaluasi kebijakan dan analisis kebijakan. Namun demikian, terdapat satu
perbedaan pokok, yaitu analisis kebijakan biasanya diperuntukkan bagi lingkungan pengambil kebijakan untuk
tujuan formulasi atau penyempurnaan kebijakan, sementara evaluasi dapat dilakukan oleh internal ataupun
eksternal pengambil kebijakan.

2. Evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok, yaitu:

a. tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan


b. yang bersangkutan harus mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan target
kebijakan

c. prosedur evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi

3. Evaluator haruslah individu atau lembaga yang mempunyai karakter profesional, dalam arti menguasai
kecakapan keilmuwan, metodologi dan dalam beretika

4. Evaluasi dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian.

3. Evaluasi lingkungan kebijakan publik

Jenis evaluasi ini mendapat sedikit sekali perhatian, baik dari praktisi maupun akademisi evaluasi
kebijakan publik. Kenyataan ini harus diakui karena sesungguhnya, sekuat apa pun pengaruh lingkungan, ia
merupakan faktor yang berada di luar kendali kebijakan publik. Namun demikian, perkembangan terkini
membuktikan bahwa keberhasilan dan kegagalan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh keandalan kebijakan dan
implementasinya, namun dukungan lingkungan. Konteks lingkungan dikedepankan karena perubahan yang
terjadi hari ini dan masa depan adalah perubahan dalam volume yang besar dan cepat.

Globalisasi membuat setiap pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan harus sadar bahwa
lingkungan adalah faktor ketiga yang menentukan keberhasilan kebijakan; faktor yang telah berubah
sekedar “variabel pengganggu” menjadi “variabel penentu”. Oleh karena itu, dalam evaluasi
kebijakan, perlu kekhususan evaluasi lingkungan kebijakan. Evaluasi ini sendiri terbagi menjadi dua,
yaitu evaluasi lingkungan formulasi kebijakan dan evaluasi lingkungan implementasi kebijakan.
Mengikuti William N. Dunn (2003: 608-610), istilah evaluasi dapat
disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka(rating), dan
penilaian(assessment). Evaluasi berkenan dengan produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi memberi informasi
yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa
jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik; evaluasi member sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis
kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi,
meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan, evaluasi
kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada
implementasi kebijakan publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan pada
sisi post-tindakan, yaitu lebih pada “proses” perumusan daripada muatan
kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah proesnya sudah sesuai
dengan prosedur yang sudah disepakati.

Menurut pendapat sebagian ahli kebijakan, evaluasi dimasukkan dalam tahap


akhir siklus (proses) kebijakan. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa
evaluasi bukan merupakan tahap akhir namun masih ada tahap selanjutnya
dari hasil evaluasi tersebut. Sejatinya, kebijakan publik lahir mempunyai
tujuan untuk menyelesaikan permasalahan, namun seringkali terjadi
kebijakan tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian suatu kebijakan dan sebab-sebab
kegagalan suatu kebijakan dilakukan evaluasi. Dalam bahasa yang lebih
singkat evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat”
suatu kebijakan ( Winarno, 2012).

Menurut Harris (2010) yang mengutip pendapat Rossi et al (2004) bahwa


evaluasi adalah penggunaan metode pengujian atau penelitian sosial untuk
mengetahui efektifitas suatu program. Sementara menurut Tuckman (1985)
yang dikutip oleh Sopha Julia (2010), evaluasi adalah suatu proses untuk
mengetahui / menguji apakah suatu kegiatan,proses kegiatan, keluaran suatu
program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah ditentukan.
Suatu program tidak hanya sekedar dirancang dan dilaksanakan melainkan
harus diukur pula sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.

Evaluasi kebijakan mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya


dari metode-metode analisis kebijakan lainnya. Menurut Dun, 2003:608-609,
evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakannya dari
metode- metode analisis kebijakan lainnya:

1. Fokus Nilai
Evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari
suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk
menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan
bukan sekedar usaha mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan
yang terantisipasi dan tidak terantisipasi. Kerena ketepatan tujuan dan
sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur
untuk mengevaluasi tujuan-tujuan dan sasaran itu sendiri.

2. Interdependensi Fakta-Nilai
Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk menyatakan
bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang
tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan
berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk
menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan
secara actual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk
memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan
prasyarat bagi evaluasi.

3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau


Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan
pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi
bersifat retrospektif dan setelah aksi- aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi
yang juga mencakup premis-premis nilai, bersifat prospektif dan dibuat
sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).

4. Dualitas Nilai.
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda,
karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama
dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya,
kesehatan) dapat dianggap sebagai intristik (diperlukan bagi dirinya) ataupun
ekstrinsik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-
tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang
merefleksiakan kepentingan relative dan saling ketergantungan antar tujuan
dan sasaran.

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.


Evaluasi merupakan tahapan penting dalam pelaksanaan suatu program.
Manfaat positif akan diperoleh apabila evaluasi dijalankan dengan benar dan
memperhatikan segenap aspek yang ada dalam suatu program. Menurut
Dunn, 2003:609-611, mempunyai sejumlah fungsi utama dalam analisis
kebijakan, yakni:

1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai


kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah
dapat dicapai melalui tindakan publik.

2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-


nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan
mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik
dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam
hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan
tujuan dan sasaran, anlis dapat menguji alternatif sumber nilai (misalnya,
kelompok kepentingan dan pegawai negeri, kelompok-kelompok klien)
maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis,
ekonomi, legal, sosial, subtantif).

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis


kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi
tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat member sumbanagan pada
perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukan
bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang.

Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru
atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang
diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.

Selain hal tersebut diatas, mengikuti Samodra Wibawa (1994: 10-11), evaluasi
kebijakan publik memiliki 4 (empat) fungsi, yaitu:

1. Eksplanasi
Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat
dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antarberbagai dimensi
realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi
maslah, kondisi, dan actor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan
kebijakan.

2. Kepatuhan
Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standard dan
prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

3. Audit
Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke
tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.

4. Akunting
Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan
tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Konsep Kebijakan Publik
Kebijakan publik berasal dari terjemahan public policy, berikut
kami akan jelas apa yang dimaksud public dan policy. Islamy
(1996:1.7) menerjemahkan kata public kedalam bahasa
Indonesia sangat susah misalnya diartikan masyarakat, rakyat,
umum dan negara. Namun kebanyakan penulis buku
menerjemahkannya sebagai “publik” saja seperti
terjemahan Public Policy yaitu kebijakan publik.
Kata public mempunyai dimensi arti yang agak banyak, secara
sosiologi kita tidak boleh menyamakannya dengan masyarakat.
Perbedaan pengertiannya adalah masyarakat di artikan sebagai
sistem antar hubungan sosial dimana manusia hidup dan tinggal
bersama-sama. Di dalam masyarakat tersebut terdapat norma-
norma atau nilai-nilai tertentu yang mengikat dan membatasi
kehidupan anggota-angotanya. Dilain pihak publik diartikan
sebagai kumpulan orang-orang yang menaruh perhatian, minat
atau kepentingan yang sama. Tidak ada norma/nilai yang
mengikat/membatasi perilaku public sebagaimana halnya pada
masyarakat, karena public sulit dikenali sifat-sifat kepribadiannya
(indentifikasinya) secara jelas. Satu yang menonjol adalah
mereka mempunyai perhatian atau minat yang sama (Islamy,
1996:1.6).
Sedangkan Kebijakan yang dimaksud disepadankan dengan
katapolicy yang dibedakan dengan
kebijaksanaan (wisdom) maupun kebajikan (virtues). Winarno
(2008 : 16) dan Wahab (2010:1-2) sepakat bahwa istilah
‘kebijakan’ ini penggunaannya sering dipertukarkan dengan
istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan,
undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal
dan grand design. Bagi para policy makers(pembuat kebijakan)
dan orang-orang yang menggeluti kebijakan, penggunaan istilah-
istilah tersebut tidak menimbulkan masalah, tetapi bagi orang di
luar struktur pengambilan kebijakan tersebut mungkin akan
membingungkan.
Menurut Rakhmat (2009 : 127), bahwa secara konseptual,
katapolicy diartikan dan diterjamahkan menjadi istilah kabijakan
atau kabijaksanaan, karena memang biasanya dikaitkan dengan
keputusan pemerintah dalam suatu pemerintahan. Menurut Said
dalam Rakhmat (2009 : 127) perbedaan makna antara konsep
kebijakan dan kebijaksanaan tidak menjadi persoalan selama
kedua istilah diartikan sebagai keputusan pemerintah yang
bersifat umum dan ditujukan kapada masyarakat atau
kepentingan publik.
Banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan kebijakan (policy). Setiap definisi tersebut memberi
penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena
setiap ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda pula.
Seorang penulis mengatakan, bahwa kebijakan adalah prinsip
atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Menurut Ealau dan Kenneth Prewitt yang dikutip
Charles O. Jones, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang,
baik oleh yang membuatnya maupun oleh mereka yang
mentaatinya (a standing decision characterized by behavioral
consistency and repetitiveness on the part of both those who
make it and those who abide it).
Konsep public policy dapat dipelajari secara sistematik pertama
kali digambarkan oleh John Dewey di dalam bukunya Logic: The
Theory of Inquiry, Dewey memberikan perhatian terhadap sifat
eksprimen dari cara mengukur kebijaksanaan (policy).
Digambarkan pula bagaimana rencana-rencana tindakan harus
dipilih dari alternatif-alternatif dan bagaimana mengamati akibat-
akibat yang dapat dipergunakan sebagai uji coba yang tepat
(Thoha, 2008:104).
Mac Rae dan Wilde dalam Islamy (1996:1.7) mengartikan
kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang dipilih oleh
pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap
sejumlah orang. Pengertian ini mengandung maksud bahwa
kebijakan itu terdiri dari berbagai kegiatan yang terangkai, yang
merupakan pilihan pemerintah dan kebijakan tersebut
mempunyai pengaruh dan dampak terhadap sejumlah besar
orang.
Rose (1969) sebagai seorang pakar ilmu politik menyarankan
bahwa kebijakan hendaknya dimengerti sebagai serangkaian
kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-
konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai suatu keputusan tersendiri. Kebijakan menurutnya
dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar
suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.

Friedrich (Thoha, 2008:107) menyatakan kebijakan adalah suatu


tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan
atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Pengertian-pengertian policy seperti dikutipkan di atas kiranya


dapat dipergunakan sebagai dasar pemahaman dari public
policy.Tetapi sehubungan dengan pernyataan Heinz Eulau dan
Kennth Prewitt di atas, bahwa policy dilakukan baik oleh
pemerintah maupun yang melaksanakan dengan menekankankan
adanya perilaku yang konsisten dan berulang. Maka Thomas R.
Dey meragukan hal semacam itu. Menurut Dey (Thoha,
2008:107) pemerintah acap kali melakukan hal-hal yang tidak
konsisten dan tidak berulang.
“Now certainly it would be a wonderful theng if government
avtivities were characterized by “consistency and repetitiveness”,
but it is doubtful that we would ever find “public policy” in
government if we insist on these criteria. Much of what
government does is inconsistent and nonrepetitive”.
Adapun public policy menurut David Easton dalam Thoha
(2008:107) sebagai berikut:

“the authoritative allocation of value for the whole society-but it


turns out that only the government can authoritatively act on the
‘wholw’ society, and everything the government choose to do or
not to do results in the allocation of values”.

Menurut Thomas R. Dye bahwa public policy adalah apa pun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak
dilakukan (whatever government choose to do or not to do).
Dalam pengertian seperti ini, maka pusat perhatian dari public
policy tidak hanya pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah,
melainkan termasuk apa saja yang tidak dilakukan oleh
pemerintah (Thoha, 2008:107).
Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang
secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang
dihadapi. Jadi, definisi ini memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau
dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara
tegas antara kebijakan (policy) dan keputusan (decision)-
pemilihan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yang
tersedia.
Winarno (2008:16) mengingatkan bahwa berkenaan dengan
definisi kebijakan ini, dalam mendefinisikan kebijakan haruslah
melihat apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang
diusulkan mengenai suatu persoalan. Alasannya adalah karena
kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap
implementasi dan evaluasi, sehingga definisi kebijakan yang
hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang
memadai.

Winarno menganggap definisi dari Anderson yang mirip dengan


definisi Friedrich sebagai yang lebih tepat. Jadi, definisi ini
memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan
bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu
konsep ini juga membedakan secara tegas antara
kebijakan (policy)dan keputusan (decision), pemilihan salah satu
di antara berbagai alternatif kebijakan yang tersedia.
Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh
Robert Eyeston sebagaimana yang dikutip oleh Winarno
(2008:17). Eyeston mengatakan bahwa ‘secara luas’ kebijakan
publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan suatu unit
pemerintah dengan lingkungannya”. Definisi yang sama juga
dikemukakan oleh Jones. Definisi Jones tentang kebijakan publik
tersebut oleh Wahab (2010:4) digunakan untuk memberikan
definisi kebijaksanan negara. Konsep yang ditawarkan ini
mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti
karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat
mencakup banyak hal.

Wahab (2010:4) mengajukan definisi dari W.I Jenkis yang


merumuskan kebijaksanaan publik sebagai “a set of interrelated
decisions taken by a political actor or group of actors concerning
the selection of goals and the means of achieving them within a
specified situation where these decisions should, in prinsciple, be
within the power of these actors to achieve” (serangkaian
keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor
politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan
yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam
suatu situasi dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya
masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari
para aktor tersebut).
Pendapat yang lain dikemukakan Chief J.O Udoji dalam Wahab
(2010:5). Udoji mendefinisikan kebijakan publik “an sanctioned
course of action addressed to a particular problem or group of
related problems that affect society at large” (suatu tindakan
bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang saling
berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar masyarakat).
Definisi kebijakan yang oleh Wahab (2010:5) dan Winarno
(2008:20) dianggap lebih tepat dibanding definisi lainnya adalah
yang dikemukakan James Anderson yang diartikan sebagai
kebijakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-
instansi serta pejabat-pejabat pemerintah. Dalam kaitan ini,
aktor-aktor bukan pemerintah (swasta) tentu saja dapat
mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan publik.

Berdasarkan pembahasan di atas, kami ingin merumuskan


definisi kebijakan publik sebagai respon suatu sistem politik,
melalui kekuasaan pemerintah terhadap masalah-masalah
masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan publik adalah
keputusan pemerintahguna memecahkan masalah publik.
Keputusan itu bisa berimplikasi pada tindakan maupun bukan-
tindakan. Kata ‘publik’ dapat berarti masyarakat dan perusahaan,
bisa juga berarti negara –sistem politik serta administrasi.
Sementara ‘pemerintah’ adalah orang atau sekelompok orang
yang diberi amanat oleh seluruh anggota suatu sistem politik
untuk melakukan pengaturan terhadap keseluruhan sistem –bisa
RT, RW, desa, kabupaten, provinsi, negara hingga supra negara
(ASEAN, EU) dan dunia (WTO, PBB).
Para ilmuwan politik yang pada masa lampau umumnya berminat
terhadap proses-proses politik seperti proses legislatif, proses
pemilu dan unsur-unsur sistem politik seperti kelompok
kepentingan atau pendapat umum, dewasa ini telah semakin
meningkatkan perhatian mereka terhadap studi kebijakan publik.
Studi kebijakan publik merupakan suatu studi yang bermaksud
untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan secara
cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan
pemerintah. Kecenderungan para ilmuwan politik semakin
menaruh minat yang besar terhadap studi kebijakan publik telah
dinyatakan Thomas Dye (1978) sebagaimana dikutip Wahab
(2010:11-12) sebagai berikut:

“Studi ini mencakup upaya menggambarkan isi kebijakan publik,


penilaian mengenai dampak dari kekuatan-kekuatan yang berasal
dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik, analisis mengenai
akibat dari berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses
politik terhadap kebijakan publik; penelitian mendalam mengenai
akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat,
baik berupa dampak yang diharapkan (direncanakan) maupun
dampak yang tidak diharapkan.”

Fenomena kecenderungan meningkatnya minat ilmuwan politik


terhadap kebijakan publik dapat kita lihat dari semakin
banyaknya studi mengenai kebijakan publik dalam bentuk
penelitian-penelitian berkala maupun literatur-literatur yang
membahas kebijakan publik secara khusus.

Jika kebijakan publik dipahami sebagai tindakan yang dilakukan


oleh pemerintah, maka menurut Winarno (2008:24), minat untuk
mengkaji kebijakan publik telah berlangsung sejak amat lama,
bahkan sejak zaman Plato dan Aristoteles, walaupun saat itu
studi mengenai kebijakan publik masih terfokus pada lembaga-
lembaga negara saja. Ilmu politik tradisional lebih menekankan
pada studi-studi kelembagaan dan pembenaran filosofis terhadap
tindakan-tindakan pemerintah, namun kurang menaruh perhatian
pada hubungan antara lembaga tersebut dengan kebijakan-
kebijakan publik. Baru setelah itu perhatian para ilmuwan politik
mulai beranjak pada masalah-masalah proses-proses dan tingkah
laku yang berkaitan dengan pemerintahan dan aktor-aktor politik.
Sejak adanya perubahan orientasi ini, maka ilmu politik mulai
dianggap memberi perhatian pada masalah-masalah pembuatan
keputusan secara kolektif atau perumusan kebijakan.

Kebijakan publik semakin relevan untuk dikaji karena persoalan-


persoalan aktual yang muncul dari berbagai kebijakan atau
program pemerintah. Pertanyaan atau persolan-persoalan aktual
tersebut misalnya: Apakah Program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) dapat membantu kesejahteraan masyarakat miskin, dari
adanya dampak kenaikan harga BBM? Apakah sebenarnya isi
atau muatan kebijakan penanaman modal asing? Siapakah yang
diuntungkan dan siapakah yang dirugikan dengan program
kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga pupuk, dsb.?

Persoalan-persoalan tersebut di atas merupakan persoalan atau


pertanyaan penelitian kebijakan dan sekaligus menunjukkan
kenapa kebijakan publik perlu dipelajari. Ada tiga alasan
mengapa kebijakan publik penting/urgen dan perlu dipelajari.
Wahab dengan mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan
Dye (1978) menjelaskan ketiga alasan itu, alasan
ilmiah (scientific reason), alasan profesional(professional reason),
dan alasan politis (political reason).
Alasan pertama adalah alasan ilmiah. Dari sudut ini, maka
kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh
pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses-proses
perkembangannya dan konsekuensi-konsekuensinya bagi
masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan menambah pengertian
tentang sistem politik dan masyarakat secara umum. Dalam
konteks seperti ini, maka kebijakan dapat dipandang sebagai
variabel terikat (dependent variable) maupun sebagai variabel
independen (independent variable).
Jika kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka
perhatian akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan
yang membantu menentukan substansi kebijakan atau diduga
mempengaruhi isi kebijakan publik. Misalnya, bagaimana
kebijakan dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan (power) antara
kelompok-kelompok penekan dan lembaga-lembaga pemerintah?
Bagaimana urbanisasi dan pendapatan nasional membantu dalam
menentukan atau mempengaruhi isi atau muatan kebijakan?
Sebagai variabel bebas, dapat dipertanyakan bagaimana
kebijakan mempengaruhi dukungan bagi sistem politik atau
pilihan-pilihan kebijakan masa depan? Pengaruh apa yang
ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan sosial masyarakat? Apa
saja dampak yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan? Dengan
demikian kebijakan publik dipandang sebagai variabel bebas bila
fokus perhatian tertuju pada dampak kebijakan terhadap sistem
politik dan lingkungan.
Alasan kedua adalah alasan profesional: studi kebijakan
dimaksudkan untuk menghimpun pengetahuan ilmiah di bidang
kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial
sehari-hari. Dalam hal ini Don K. Price (1964) membuat
perbedaan antara tingkatan ilmiah (the scientific estate) yang
berusaha menetapkan pengetahuan dan tingkatan
profesional (the professional estate)yang berusaha menerapkan
pengetahuan ilmiah kepada penyelesaian masalah-masalah sosial
praktis. Beberapa ilmuwan politik setuju bahwa seorang ilmuwan
dapat membantu menentukan tujuan-tujuan kebijakan publik,
namun beberapa yang lain tidak sependapat.
James E. Anderson termasuk yang mendukung profesionalitas
(bukan hanya saintifik). Menurutnya, jika kita mengetahui
sesuatu tentang fakta-fakta yang membantu dalam membentuk
kebijakan publik atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-
kebijakan yang mungkin timbul, jika kita tahu bagaimana
individu, kelompok atau pemerintah dapat bertindak untuk
mencapai tujuan-tujuan kebijakan mereka, maka kita layak
memberikan hal tersebut dan tidak layak untuk berdiam diri. Oleh
karenanya menurut Anderson adalah sesuatu yang sah bagi
seorang ilmuwan politik memberikan saran-saran kepada
pemerintah maupun pemegang otoritas pembuat kebijakan agar
kebijakan yang dihasilkannya mampu memecahkan persoalan-
persoalan dengan baik. Tentunya pengetahuan yang didasarkan
pada fakta adalah prasyarat untuk menentukan dan menghadapi
masalah-masalah masyarakat.

Alasan ketiga adalah alasan politik: mempelajari kebijakan publik


pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh
kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.
Sebagaimana telah diuraikan di atas beberapa ilmuwan politik
cenderung pada pilihan bahwa studi kebijakan publik seharusnya
diarahkan untuk memastikan apakah pemerintah mengambil
kebijakan yang pantas untuk mencapai tujuan-tujuan yang tepat.
Mereka menolak pendapat bahwa analis kebijakan harus bebas
nilai. Bagi mereka ilmuwan politik tidak dapat berdiam diri atau
tidak berbuat apa-apa mengenai masalah-masalah politik.
Mereka ingin memperbaiki kualitas kebijakan politik dalam cara-
cara menurut yang mereka sangat diperlukan, meskipun dalam
masyarakat seringkali terdapat perbedaan substansial mengenai
kebijakan apa yang disebut ‘benar’ dan ‘tepat’ itu.

Dalam literatur ilmu politik terdapat banyak batasan atau definisi


mengenai kebijakan politik yang masing-masing memberi
penekanan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan setiap ahli
mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Faktor lain yang
menyebabkan para ahli berbeda dalam memberikan definisi
kebijakan publik ini menurut Winarno (2008:16) karena
perbedaan pendekatan dan model apakah kebijakan publik dilihat
sebagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau
sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya dapat diramalkan.

Sementara itu, Santosa (1993:4-5) dengan meng- komparasikan


berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh
minat dalam kebijakan publik mengumpulkan bahwa pada
dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi ke
dalam dua wilayah kategori.

Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik


dengan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok
ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah
dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua
menurut Amir Santosa berangkat dari para ahli yang memberikan
perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang
masuk faham kategori atau kelompok ini terbagi ke dalam dua
kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai
keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan
maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap
kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang dapat diramalkan.
Para ahli yang termasuk ke dalam kubu ini yang pertama melihat
kebijakan publik dalam ketiga lingkungan, yakni perumusan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata
lain, menurut kelompok atau kubu ini, kebijakan publik secara
ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan,
implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan
kepada pelaksanan kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan
dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Sedangkan kubu yang kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri
dari rangkaian keputusan dan tindakan. Kubu atau kelompok
kedua ini diwakili oleh Presman dan Widavsky yang
mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang
mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang dapat
diramalkan. Dari berbagai definisi tentang kebijakan publik yang
dikemukakan para ahli, pandangan yang dikemukakan James
Anderson dianggap cukup tepat. Dengan mengikuti pandangan
Anderson, kebijakan publik diartikan sebagai kebijakan yang
dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta
pejabat-pejabat pemerintah. Dalam kaitan dengan hal ini, aktor-
aktor bukan pemerintah/swasta tentunya dapat mempengaruhi
perkembangan atau perumusan kebijakan publik.

David Esaton menyatakan ciri kebijakan publik yang utama yang


disebut sebagai orang-orang yang memiliki wewenang dalam
sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para
eksekutif, para legislator, para hakim, para administrator, para
raja/ratu dan lain sebagainya. Mereka inilah yang menurut
Easton merupakan orang-orang yang dalam kesehariannya
terlibat dalam urusan-urusan politik dan dianggap oleh sebagian
besar warga sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan-
urusan politik tadi dan berhak untuk mengambil tindakan-
tindakan tertentu.

Berdasarkan penyataan di atas maka implikasinya adalah: (1)


kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada
tujuan, bukan tindakan yang acak dan kebetulan. Kebijakan
publik dalam sisem politik modern merupakan suatu tindakan
yang direncanakan; (2) kebijakan pada hakikatnya terdiri atas
tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang
mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-
pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang
berdiri sendiri. Kebijakan tidak hanya berupa keputusan untuk
membuat undang-undang, melainkan diikuti pula dengan
keputusan-keputusan yang bersangkut-paut dengan
implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya; (3) Kebijakan
bersangkut-paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam
mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi atau
menggalakkan program perumahan rakyat dan bukan sekedar
apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang
tersebut. (4) kebijakan publik mungkin berbentuk positif,
mungkin pula negatif. Dalam bentuknya yang positif, mungkin
akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara
dalam bentuknya yang negatif, kemungkinan meliputi keputusan-
keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak
melakukan tindakan apapun ketika campur tangan pemerintah
sebenarnya diharapkan. Sudah barang tentu tiadanya bentuk
campur tangan/keterlibatan pemerintah dapat membawa dampak
tertentu bagi seluruh atau sebagian warga.

Para ahli memberikan padangan masing-masing mengenai jenis


kebijakan. James Anderson. Misalnya, menyampaikan kategori
tentang kebijakan publik tersebut sebagai berikut: (1) Kebijakan
substansif versus kebijakan prosedural. Kebijakan substantif
yakni kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh
pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana
kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan. (2) Kebijakan
distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan re-
distributif. Kebijakan distributif. Kebijakan distributis menyangkut
distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau
individu. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa
pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau
kelompok masyarakat. Sedangkan kebijakan re-distributif adalah
kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan,
pemilikan atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam
masyarakat. (3) Kebijakan material versus kebijakan simbolis.
Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan
keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok sasaran.
Sedangkan kebijkan simbolis adalah kebijakan yang memberikan
manfaat simbolis pada kelompok sasaran. (4) Kebijakan yang
berhubungan dengan barang umum (public goods)dan barang
privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan
yangbertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan
publik. Sedangkan kebijakan privat goods adalah kebijakan yang
mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.
Nugroho (2004:54-57) membagi jenis-jenis kebijakan publik
berdasarkan 3 kategori. Pembagian jenis kebijakan publik
kategoripertama berdasarkan pada makna dari kebijakan publik.
Berdasarkan maknanya, maka kebijakan publik adalah hal-hal
yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang
diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan.
Kebijakan publik berdasar makna kebijakan publik dengan
demikian terdiri dua jenis, yakni: kebijakan hal-hal yang
diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan kebijakan atau hal-
hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau
dibiarkan. Kedua, pembagian jenis kebijakan publik yang
didasarkan pada lembaga pembuat kebijakan publik tersebut.
Pembagian menurut kategori ini menghasilkan tiga jenis
kebijakan publik. Kesatu, kebijakan publik yang dibuat oleh
legislatif. Kebijakan publik ini disebut pula sebagai kebijakan
publik tertinggi. Hal ini mendasarkan teori Politica yang diajarkan
oleh Montesquieu pada abad pencerahan di Perancis abad 7.
Demokrasi adalah sebuah suasana dimana seorang penguasa
dipilih bukan atas dasar kelahiran atau kekerasan, namun atas
dasar sebuah kontrak yang dibuat bersama melalui mekanisme
pemilihan umum baik langsung atau tidak langsung dan siapa
pun yang berkuasa harus membuat kontrak sosial dengan
rakyatnya. Kebijakan publik adalah kontrak sosial itu sendiri.

Kedua kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama


antara legislatif dengan eksekutif. Model ini bukan menyiratkan
ketidakmampuan legislatif, namun mencerminkan tingkat
kompleksitas permasalahan yang tidak memungkinkan legislatif
bekerja sendiri. Di Indonesia produk kebijakan publik yang dibuat
oleh kerjasama kedua lembaga ini adalah undang-undang di
tingkat nasional dan peraturan daerah di tingkat daerah untuk
hal-hal tertentu yang bersifat sementara sampai UU-nya dibuat.
Bahkan di Indonesia yang mengesahkan UU adalah Presiden. UU
sendiri disahkan setelah ada persetujuan dari legislatif dan
eksekutif. Dalam hal setelah persetujuan setelah 30 hari
eksekutif tidak segera mengesahkan, maka sesuai dengan Pasal
20 ayat 5 UUD 1945, maka Rancangan UU tersebut dianggap sah
dengan sendirinya. Di sini tampak bahwa keluaran legislatif relatif
lebih tinggi daripada eksekutif.

Ketiga, kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja. Di dalam


perkembangannya, peran eksekutif tidak cukup hanya
melaksanakan kebijakan yang dibuat legislatif, karena dengan
semakin meningkatnya kompleksitas permasalahan kehidupan
bersama sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan publik
pelaksanaan yang berfungsi sebagai turunan dari kebijakan
publik di atasnya. Di Indonesia ragam kebijakan publik yang
ditangani eksekutif bertingkat sebagi berikut: (1) Peraturan
Pemerintah, (2) Keputusan Presiden (keppres), (3) Keputusan
Menteri (Kepmen) atau Lembaga Pemerintah Nondepartemen, (4)
dan seterusnya, misalanya Instruksi Menteri.

Sedangkan di tingkat daerah terdapat: (1) Keputusan Gubernur


dan bertingkat keputusan Dinas-Dinas di bawahnya, (2)
Keputusan Bupati, (3) Keputusan walikota dan bertingkat
keputusan dinas-dinas di bawahnya. Pembagian jenis kebijakan
publik kategori ketiga didasarkan pada karakter dari kebijakan
publik yang sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan publik
yang sebenarnya merupakan bagian dari kebijakan publik tertulis
formal. Di sini kebijakan publik dibagi menjadi dua
yaitu: Pertama, regulasi versus de-regulatif, atau restriktif versus
non restriktif; dan kedua,alokatif versus distributif atau
redistributif Kebijakan publik jenis pertama adalah kebijakan
yang menetapkan hal-hal yang dibatasi dan hal-hal yang
dibebaskan dari pembatasan-pembatasan. Sebagian besar
kebijakan publik berkenaan dengan hal-hal yang regulatif/
restsruktif dan regulative non restruktif.
Kebijakan publik jenis kedua, kebijakan alokatif dan distributif.
Kebijakan kedua ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan yang
berkenaan dengan anggaran atau keluaran publik. Richard A.
Musgrave dan Peggi Musgrave (1973), pakar keuangan publik
mengemukakan bahwa fungsi dari kebijakan keuangan publik
adalah fungsi alokasi yang bertujuan mengalokasiakan barang-
barang publik dan mekanisme pasar, fungsi distribusi yang
berkenaan dengan pemerataan kesejahteraan termasuk di
dalamnya perpajakan, fungsi stabilisasi yang berkenaan dengan
peran penyeimbang dari kegiatan alokasi dan distribusi tersebut,
dan fungsi koordinasi anggaran yang berkenaan dengan
koordinasi anggaran secara horizontal dan vertikal.

Kategori lain, secara tradisional para ilmuwan politik umumnya


membagi: (1) kebijakan substantif (misalnya kebijakan
perburuhan, kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar
negeri dan sebagainya; (2) kelembagaan (misalnya: kebijakan
legislatif, kebijakan yudikatif, kebijakan departemen; (3)
kebijakan menurut kurun waktu tertentu (misalnya: kebijakan
masa reformasi, kebijakan masa Orde Baru ( Subarsono, 2005).

Selanjutnya menurut Young dan Quinn sebagaimana dikutip oleh


Suharto (2006 : 44) mendefinisikan bahwa kebijakan publik
adalah tindakan yang dibuat dan di implementasikan oleh badan
pemerintah yang memiliki kewenangan hukum ,politis dan
finansial untuk melakukannya.

Dunn ( 2003 : 109-110) mengemukakan bahwa kebijakan publik


(publik policy) adalah rangkaian pilihan yang kurang lebih saling
berhubungan (termasuk keputusan keputusan untuk sudah
berbuat), yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah,
diformulasikan dalam bidang-bidang lsu (isue areas) yaitu
serangkaian tindakan pemerintah yang aktual ataupun yang
potensial mengandung konflik diatara tujuan-tujuan yang ada
dalam masyarakat. Sementara Jenkins yang dikutip oleh Wahab
(2008 : 4) mengatakan kebijakan publik adaiah :

“ Serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh


seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan
dengan tujuan yang dipilih, beserta cara-cara untuk mencapainya
dalam suatu situasi dimana keputusan-keputusan ini pada
prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan
kekuasaan dari pada aktor “
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli kebijakan publik
tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Kebijakan publik yaitu suatu agenda kebijakan yang telah
dirumuskan oleh Pemerintah yang merupakan tanggapan
(responsiveness) terhadap lingkungan atau masalah publik.
Sementara itu Tjokroamidjojo dan Mustopadididjaya, (1996 : 98)
menjelaskan bahwa untuk mampu menyelenggarakan seluruh
siklus kebijakan berupa formulasi, implementasi dan evaluasi
serta penilaian hasil-hasil pelaksanaan berbagai kebijakan, maka
dalam pembangunan suatu sistem administrasi diperlukan
peningkatan kemampuan dalam formulasi dan implementasi
kebijakan pembangunan. Selanjutnya Gerald Caiden dalam
Thoha, (2008 :116) mengatakan bahwa, ruang Iingkup studi
kebijakan publik meliputi hal-hal sebagai berikut yaitu : 1)
Adanya partisipasi masyarakat (Public Participation), 2) Adanya
kerangka kerja kebijakan (Policy Framework), 3) Adanya strategi-
strategi kebijakan (Policy Strategies), 4) Adanya kejelasan
tentang kepentingan (Public Interest), 5) Adanya pelembagaan
Lebih Lanjut dari Kemampuan Public Policy, 6) Adanya isi
kebijakan dan Evaluasinya.
Lebih lanjut Said yang dikutip oleh Rakhmat (2009 : 129)
berpandangan bahwa, terdapat beberapa isi dan sebuah
kebijakan yaitu :

1. Adanya tujuan (goals) tertentu yang hendak dicapai


2. Rencana (plans) yang merupakan alat atau cara tertentu
untuk mencapai tujuan
3. Program (programs); cara yang disahkan untuk mencapai
tujuan
4. Keputusan atau pilihan ( decition or choises) ; tindakan yang
diambil untuk mencapai tujuan , mengembangkan rencana,
melaksanakan dan mengevaluasi program.
5. Dampak (Impack), yaitu efek atau dampak yang ditimbulkan
dari suatu program dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Anderson sebagaimana dikutip oleh Kadji (2008 : 14)
dan Rakhmat (2009 : 133), mengatakan bahwa proses kebijakan
publik meliputi lima tahap yaitu : 1) Perumusan masalah
(problem formulation), 2) Perumusan kebijakan (policy
formulation), 3) Penentuan kebijakan (policy adoption) 4)
Pelaksanaan kebijakan (policy implementation), 5) Penilaian
kebijakan (policy evaluation).
Sedangkan Menurut Dunn (2003 : 22) bahwa, proses pembuatan
kebijakan publik mencakup antara lain : 1) Penyusunan agenda
kebijakan, 2) Formulasi kebijakan, 3) Adopsi kebijakan, 4)
lmplementasi kebijakan ,dan 5) Penilaian kebijakan. Berdasarkan
berbagai pendapat para ahli kebijakan publik tersebut diatas ,
maka secara sederhana dapat dipahami bahwa kebijakan publik
adalah suatu hukum yang mengatur arah dan kebijakan dari
suatu pemimpin dalam pemerintahan yang disusun dan
disepakati oleh masyarakat dan para pejabat yang berwenang
yang diwujudkan melalui undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan Presiden, termasuk peraturan daerah yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Michael Howlet dan M. Ramesh sebagaimana yang dikutip


Subarsono menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari
lima tahapan sebagai berikut:

1. Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses


agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari
pemerintah.
2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses
perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan kebijakan (decition making), yakni proses ketika
pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau
tidak melakukan suatu tindakan.
4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu
proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai
hasil.
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk
memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
2. Evaluasi Kebijakan Publik
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa
dilakukan evaluasi. Evaluasi kebijakan dilakukan untuk menilai
sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggung
jawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan
antara harapan dan kenyataan.
Menurut Winarno (2008:225) Bila kebijakan dipandang sebagai
suatu pula kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan
merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun
demikian, ada beberapa ahli yang mengatakan sebaliknya bahwa
evaluasi bukan merupakan tahap akhir dari proses kebijakan
publik. Pada dasamya, kebijakan publik dijalankan dengan
maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang
berangkat dari masalah-masalah yang telah dirumuskan
sabelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak semua program
kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi,
kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan
ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan
atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah
dijalankan meraih dampak yang diinginkan. Dalam bahasa yang
lebih singkat evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk
menilai “manfaat” suatu kebijakan.

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai


kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan
yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal
ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan
pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses
kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi
tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program
yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan,
implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

1) Tipe-tipe Evaluasi Kebijakan Publik


Dane (Wibawa, 1994) menyebutkan ada dua tipe evaluasi yaitu:

1. Sumative evaluation, adalah penilaian dampak dari suatu


program, disebut juga dengan evaluasi dampak (out come
evaluation)
2. Formative evaluation, adalah penilaian terhadap proses dari
program, disebut pula evaluasi proses.
Putra (2003:100-101) mengemukakan tiga macam evaluasi
kebijakan publik, yaitu: (1) evaluasi administratif, yaitu evaluasi
yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan atau di dalam
instansi-instansi. Sorotan dari evaluasi ini adalah hal-hal yang
berkaitan dengan prosedur kebijakan publik dan aspek finansial;
(2) evaluasi yudisial; yaitu evaluasi yang berkaitan dengan objek-
objek hukum. Apakah terdapat pelanggaran hukum atau tidak
dari kebijakan publik yang sedang dievaluasi tersebut; (3)
evaluasi politik, yaitu evaluasi yang menyangkut pertimbangan-
pertimbangan politik dari suatu kebijakan.
Anderson dalam Winarno (2008:227) membagi evaluasi
kebijakan ke dalam tiga tipe. Masing-masig tipe evaluasi yang
diperkenalkan ini didasarkan pada pemahaman para evaluator
terhadap evaluasi.Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami
sebagai kegiatan fungsional. Tipe kedua, merupakan tipe
evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau
program tertentu. Tipe ketiga adalah tipe evaluasi sistematis.
Pendapat Anderson tersebut dapat dijelaskan yaitu Tipe
evaluasi pertama, Bila evaluasi kebijakan dipahami sebagai
kegiatan fungsional, maka evaluasi kebilakan dipandang sebagai
kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.
Para pembentuk kebijakan dan administrator selalu membuat
pertimbangan-pertimbangan mengenai manfaat atau dampak
dari kebijakan-kebijakan, program-program dan proyek-proyek.
Pertimbangan-pertimbangan ini banyak memberi kesan bahwa
pertimbangan-pertimbangan tersebut didasarkan pada bukti yang
terpisah-pisah dan dipengaruhi oleh ideologi, kepentingan para
pendukungnya dan kriteria-kriteria lainnya. Dengan demikian,
suatu program kesejahtaraan misalnya, oleh suatu kelompok
tertentu mungkin akan dipandang sebagai program yang sangat
sosialistis, terlepas dari pertimbangan apa dampaknya yang
sebenarnya. Oleh karena itu, program seperti ini tidak diharapkan
untuk dilaksanakan tanpa melihat dampak yang sebenarnya dari
program tersebut. Atau contoh yang lain misalnya, penjualan
saham perusahaan-perusahaan pemerintah (BUMN) akan
dipandang sebagai proses kapitalisasi dan dianggap akan
mengancam kepentingan rakyat. Demikian juga misalnya
menyangkut kompensasi yang diberikan kepada pengangguran
mungkin dianggap “buruk” karena evaluator “mengetahui banyak
orang” yang tidak layak menerima keuntungan-keuntungan
seperti itu. Pandangan-pandangan seperti ini muncul karena
setiap orang dalam melihat persoalan-persoalan tadi
menggunakan cara pandang yang berbeda. Sebagaimana telah
kita singgung pada bab terdahulu di mana nilai-nilai dan
kepentingan-kepentingan individu akan memengaruhi
keseluruhan proses kebijakan. Oleh karena itu, evaluasi seperti
ini akan mendorong terjadinya konflik karena evaluator-evaluator
yang berbeda akan menggunakan kriteria-kriteria yang berbeda,
sehingga kesimpulan yang didapatkannya pun berbeda mengenai
manfaat dari kebijakan yang sama.
Tipe kedua merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri
pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe
evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar
yang menyangkut: Apakah program dilaksanakan dengan
semestinya? Berapa biayanya? Siapa yang menerima manfaat
(pembayaran atau pelayanan), dan berapa jumlahnya? Apakah
terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain?
Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedur-prosodur secara sah
diikuti? Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini
dalam melakukan evaluasi dan memfokuskan diri pada
bekerjanya kebijakan atau progam-program, maka evaluasi
dengan tipe seperti ini akan lebih membicarakan sesuatu
mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program.
Namun demikian, evaluasi dengan mangggunakan tipe seperti ini
mempunyai kelemahan, yakni kecenderungannya untuk
manghasilkan informasi yang sedikit mengenai dampak suatu
program terhadap masyarakat.
Tipe evaluasi kebijakan ketiga adalah tipe evaluasi kebijakan
sistematis. Tipe ini secara komparatif masih dianggap baru, tetapi
akhir-akhir ini telah mendapat perhatian yang meningkat dari
para peminat kebijakan pubik. Evaluasi sistematis melihat sacara
obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk
mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana
tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai. Lebih
lanjut, evaluasi sistematis diarahkan untuk melihat dampak yang
ada dari suatu kebijakan dengan berpijak pada sejauh mana
kebijakan tersebut menjawab kebutuhan atau masalah
masyarakat. Dengan demikian, evaluasi sistematis akan berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah kebijakan
yang dijalankan mencapai tujuan sebagaimana yang telah
ditetapkan sebelumnya? Berapa biaya yang dikeluarkan serta
keuntungan apa yang dia dapat? Siapa yang menerima
keuntungan dan progam kebijakan yang telah dijalankan?
Dengan mendasarkan pada tipe-tipa pertanyaan evaluatif seperti
ini, maka konsekuensi yang diberikan oleh evaluasi sistematis
adalah bahwa evaluasi ini akan memberi suatu pemikiran tentang
dampak dari kebijakan dan merekomendasikan perubahan-
perubahan kebijakan dengan mendasarkan kenyataan yang
sebenarnya kepada para pembentuk kebijakan dan masyarakat
umum. Penemuan-penemuan kebijakan dapat digunakan untuk
mengubah kebijakan-kebijakan dan program-program sekarang
dan membantu dalam merencanakan kebijakan-kebijakan dan
program-program lain di masa depan.
Namun demikian, suatu evaluasi tidak selamanya digunakan
untuk hal-hal yang baik. Bisa juga evaluasi dilakukan untuk
tujuan-tujuan buruk. Dalam hal ini Carol Weiss mengatakan
bahwa para pembuat keputusan program melakukan evaluasi
untuk menunda keputusan; untuk membenarkan dan
mengesahkan keputusan-keputusan yang sudah dibuat; unluk
membebaskan diri dari kontronversi tentang tujuan-tujuan masa
depan dangan mengelakkan tanggungjawab; mempertahankan
program dalam pandangan pemilihnya, pemberi dana, atau
masyarakat; serta untuk memenuhi syarat-syarat pemerintah
atau yayasan dengan ritual evaluasi. Selain itu, evaluasi dapat
digunakan untuk meraih tujuan-tujuan politik tertentu, misalnya
evaluasi yang dilakukan oleh partai oposisi dalam suatu
pemerintahan biasanya seringkali digunakan untuk menjatuhkan
partai yang berkuasa. Oleh karena itu, motivasi seorang
evaluator dalam melakukan evaluasi dapat dibedakan ke dalam
dua bentuk, yakni motivasi untuk melayani kepentingan publik
dan motivasi untuk melayani kepentingan pribadi. Bila seorang
evaluator mempunyai motivasi pelayanan publik, maka evaluasi
digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, yakni dalam rangka
membenahi kualitas kebijakan publik. Namun bila para evaluator
lebih mengedepankan melayani kepentingan sendiri, maka
evaluasi kebijakan yang dijalankan digunakan untuk hal-hal yang
kurang baik.
2) Fungsi Evaluasi
Fungsi Evaluasi kebijakan publik menurut Nugroho (2011:463)
memiliki empat fungsi, yaitu eksplanasi, kepatuhan, audit, dan
akunting. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan
program dan generalisasi tentang pola-pola hubungan antar-
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. (1) Eksplanasi,
evaluator dapat mengindetifikasi masalah, kondisi, dan aktor
yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan; (2)
Kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan
para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan
standar prosedur yang ditetapkan kebijakan; (3) Audit, Melalui
evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai
kekelompok saran kebijakan, atau ada kebocoran, atau
penyimpangan; (4) Akunting, melalui evaluasi dapat diketahui
apa akibat ekonomi dari kebijakan tersebut.
Evaluasi Kinerja kebijakan diakukan untuk menilai hasil yang
dicapai oleh suatu kebijakan setelah dilaksanakan. Hasil yang
dicapai dapat diukur dalam ukuran jangka pendek atau output,
jangka panjang atau outcome. Evaluasi kinerja kebijakan dengan
melakukan penilaian komprehensif terahadap:
1. Pengcapain target (output)
2. Pencapai tujuan kebijakan (outcome)
3. Kesenjangan (gap) antar target dan tujuan dengan
pencapaian
4. Perbandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama
di tempat lain yang berhasil.
5. Indentifikasi faktor pendukung keberhasilan dan kegagalan
sehingga menyebabkan kesenjangan, dan memberikan
rekomendasi untuk menanggulangi kesenjangan.
Fungsi dari evaluasi kebijakan publik menurut Putra (2003:93)
ada tiga hal pokok, yaitu : (1) memberi informasi yang valid
tentang kinerja kebijakan; (2) untuk menilai kepasan tujuan atau
target dengan masalah yang dihadapi; dan (3) untuk memberi
sumbangan pada kebijakan lain terutama segi metodologinya.
Ketiga fungsi tersebut menunjukkan pentingnya evaluasi
kebijakan dilakukan agar proses kebijakan secara keseluruhan
dapat berlangsung secara baik.
Menurut Lester dan Stewart dalam Winarno (2008:227), evaluasi
kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang
berbeda. Tugas pertama adalah untuk menentukan konsekuensi-
konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan
cara menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas
kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari
suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Tugas pertama merujuk pada usaha
untuk melihat apakah program kebijakan publik mencapai tujuan
atau dampak yang diinginkan ataukah tidak. Bila tidak, faktor-
faktor apa yang menjadi penyebabnya? Misalnya, apakah karena
terjadi kasalahan dalam merumuskan masalah ataukah karena
faktor-faktor yang lain? Tugas kedua dalam evaluasi kebijakan
pada dasarnya berkait erat dengan tugas yang pertama. Setelah
kita mengetahui konsekuensi-konsekuensi kebijakan melalui
penggambaran dampak kabijakan publik, maka kita dapat
mengetahui apakah program kebijakan yang dijalankan sesuai
atau tidak dengan dampak yang diinginkan. Dari sini kita dapat
melakukan penilaian apakah program yang dijalankan berhasil
ataukah gagal? Dengan demikian, tugas kedua dalam evaluasi
kebijakan adalah menilai apakah suatu kebijakan berhasil atau
tidak dalam meraih dampak yang diinginkan. Dari kedua hal yang
dipaparkan di atas, maka kita dapat menarik suatu kesimpulan
mengenai arti pentingnya evaluasi dalam kebijakan publik.
Pengetahuan menyangkut sebab-sebab kegagalan suatu
kebijakan dalam meraih dampak yang diinginkan dapat dijadikan
pedoman untuk mengubah atau memperbaiki kebijakan di masa
yang akan datang.
Untuk memenuhi tugas tersebut, suatu evaluasi kebijakan harus
meliputi beberapa kegiatan, yakni pengkhususan (spesification),
pengukuran (measurement), analisis, dan rekomendasi.
Spesifikasi merupakan kegiatan yang paling panting di antara
kegiatan yang lain dalam evaluasai kebijakan. Kegiatan ini
meliputi identifikasi tujuan atau kriteria melalui mana program
kebijakan tersebut akan dievaluasi. Ukuran-ukuran atau kriteria-
kriteria inilah yang akan kita pakai untuk menilai manfaat
program kebijakan. Pengukuran manyangkut aktivitas
pengumpulan informasi yang relevan untuk obyek evaluasi,
sedangkan analisis adalah penggunaan informasi yang telah
terkumpul dalam rangka menyusun kesimpulan. Dan akhimya,
rekomendasi, yakni penentuan mengenai apa yang harus
dilakukan di masa yang akan datang.
Terdapat beberapa alasan untuk menjawab mengapa perlu ada
kegiatan evaluasi kebijakan. Alasan tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi dua dimensi, internal dan eksternal. Yang
bersifat internal, antara lain:

1. Untuk mengetahui keberhasilan suatu kebijakan. Dengan


adanya evaluasi kebijakan dapat ditemukan informasi apakah
suatu kebijakan sukses ataukah sebaliknya.
2. Untuk mengetahui efektivitas kebijakan. Kegiatan evaluasi
kebijakan dapat mengemukakan penilaian apakah suatu
kebijakan mencapai tujuannya atau tidak.
3. Untuk menjamin terhindarinya pengulangan
kesalahan(guarantee to non-recurrence). Informasi yang
memadai tentang nilai sebuah hasil kebijakan dengan
sendirinya akan memberikan rambu agar tidak terulang
kesalahan yang sama dalam implementasi yang serupa atau
kebijakan yang lain pada masa-masa yang akan datang.
Sedangkan alasan yang bersifat eksternal paling tidak untuk dua
kepentingan:

1. Untuk memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Kegiatan


penilaian terhadap kinerja kebijakan yang telah diambil
merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban
pengambil kebijakan kepada publik, baik yang terkait secara
langsung maupun tidak dengan implementasi tindakan
kebijakan.
2. Untuk mensosialisasikan manfaat sebuah kebijakan. Dengan
adanya kegiatan evaluasi kebijakan, masyarakat luas,
khususnya kelompok sasaran dan penerima, manfaat dapat
mengetahui manfaat kebijakan secara lebih terukur.
3. Program Hibah Kompetisi (PHK-A2)
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional meluncurkan 4 (empat) jenis PHK yang terdiri dari: (1)
Program Peningkatan Pengelolaan Program Studi (Program A-1);
(2) Program Peningkatan efisiensi Internal (PHK-A2); (3)
Program Peningkatan Efisiensi Eksternal (Program A-3); dan (4)
Program Pengembangan Unggulan (Program B). Masing-masing
jenis program hibah dirancang untuk meningkatkan kinerja
Jurusan/Departemen secara berjenjang dan berkelanjutan sesuai
dengan tingkat perkembangannya.

Program Hibah Kompetisi secara umum mempunyai tujuan: (1)


Membangun dan meningkatkan kapasitas institusional di
perguruan tinggi sehingga dapat mengelola dan
menyelenggarakan program akademik secara efisien dan efektif;
(2) Membantu perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu
program studi yang diselenggarakan; (3) Membantu
mengembangkan program unggulan yang dipunyai oleh program
studi untuk berkontribusi kepada daya saing bangsa.

Khusus untuk Program Peningkatan Efisiensi Internal (Program


A-2) ditujukan untuk membantu Unit Pengusul untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas penyelenggaraan
program pendidikan, paling tidak untuk program studi yang
diajukan. Setelah menjalankan hibah ini diharapkan akan terjadi
peningkatan efisiensi internal Unit Pengusul yang ditandai antara
lain oleh penurunan rata-rata masa studi lulusan, peningkatan
jumlah lulusan, pemanfaatan fasilitas secara optimal.

Pelaksanaan PHK-A2 Jurusan Ilmu Kelautan FIKP Unhas


dilaksanakan selama 3 tahun yakni tahun anggaran 2007, 2008
dan 2009 dengan program seperti di bawah ini:

1) Peningkatan Kualitas Input (Calon Mahasiswa


Baru), yang bertujuan meningkatkan popularitas Jurusan Ilmu
Kelautan sehingga sehingga jumlah peminat dan kualitas input
(calon mahasiswa baru) meningkat, kegiatan ini dilakukan
melalui sosialisasi keberadaan dan potensi yang dimilki Jurusan
Ilmu Kelautan UNHAS dengan penyebaran leaflet, spanduk dan
pembuatan film dokumenter.
2) Peningkatan kualitas proses pembelajaran, yang
bertujuan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui perbaikan
kurikulum, peningkatan ketersediaan sarana penunjang utama
proses pembelajaran (bahan ajar, penambahan koleksi pustaka
(text bookdan jurnal), pelaksanaan pelatihan pembelajaran
berbasis learning, dan lain lain), peningkatan kualitas kegiatan
PKL dan kegiatan akademik lainnya, peningkatan motivasi staf
pengajar dalam meningkatkan mutu penelitian serta pelibatan
mahasiswa dalam kegiatan penelitian dosen, peningkatan
pelayanan internal dan eksternal laboratorium, dan peningkatan
atmosfir akademik.
3) Pengembangan Keterampilan Mahasiswa, yang bertujuan
meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam hal survey laut
terpadu, bahasa Inggeris, komputer/teknologi informasi dan
kewirausahaan sehingga lulusan mampu bersaing untuk
mendapatkan atau menciptakan lapangan kerja.
4) Pengembangan kompetensi, inovasi dan budaya mutu
dosen, dan staf administrasi, yang bertujuan untuk
mengembangkan kompetensi, inovasi & budaya mutu dosen, dan
staf administrasi dan laboran di jurusan Ilmu Kelautan dengan
sasaran akhir adalah meningkatkan kompetensi dosen dalam
meningkatkan kualitas penelitian dan pengajaran, serta
meningkatkan kompetensi staf administrasif dan laboran untuk
memperbaiki kinerja dalam melayani sivitas akademika di jurusan
Ilmu Kelautan.
5) Pengembangan sistem manajemen informasi
jurusan,yang bertujuan menyempurnakan Sistem Basis Data
Jurusan, membuat situs Jurusan Ilmu Kelautan untuk
penyebarluasan informasi jurusan dan upaya merintis sistem
pembelajaran elektronik, meningkatkan kapasitas akses internet
untuk penelusuran informasi digital berbasis web dan
meningkatkan kemampuan staf untuk mengelola sistem
informasi.
Pelaksanaan komponen program pada tahun anggaran 2007
seperti pada tabel 1:

Tabel 1 : Pelaksanaan komponen program tahun anggaran 2007

NO. Komponen Program Sasaran

Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Input (calon


mahasiswa baru)

1. 1.1. Desain leaflet 1 Paket


1.2. Pembuatan spanduk 25 Buah

1.3. Film Dokumenter 1 Paket

Peningkatan Kuantitas Proses Pembelajaran

2.1 Magang staf laboratorium 2 orang

2.2 Pengadaan Teaching Aid 1 Paket

2.3 Lokakarya Pembelajaran Berbasis Learning 1 Paket

2. 2.4 Hibah Pengajaran 2 Mata`kuliah

Pengembangan Keterampilan Mahasiswa

3.1 Magang Dosen untuk Teknik Analisis Data 1 Orang

3.2 Mendatangkan Tenaga Ahli untuk Pelatihan


Kewirausahaan 1 Orang

3. 3.3 Pengadaan buku dan software TOEFL 1 Paket

Pengembangan Kompetensi, Inovasi dan Budaya Mutu


dosen dan Staf Administrasi

4.1 Magang Staf untuk Pengelolaan Basis data 1 Orang

4. 4.2 Hibah Penelitian 3 Judul

5. Pengembangan Sistem Manajemen Informasi Jurusan 3 Unit

5.1 Magang staf laboratorium 1 Paket

5.2 Pengadaan Teaching Aid 1 Paket


5.3 Lokakarya Pembelajaran Berbasis Learning 1 Paket

5.4 Hibah Pengajaran 1 Paket

Sumber : Panitia PHK-A2, 2007

Pelaksanaan komponen program pada tahun anggaran 2008


dapat dilihat pada tabel 2 di bawah :

Tabel 2 : Pelaksanaan komponen program pada tahun anggaran


2008

NO. Komponen Program Sasaran

Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Input (calon


1. mahasiswa baru) –

Peningkatan Kuantitas Proses Pembelajaran

2.1 Peralatan 1 Paket

2.2 Tenaga Ahli 1 M-M

2.3 Koleksi Perpustakaan 31 Exampler

2.4 Lokakarya 1 M-M

2. 2.5 Hibah Pengajaran 3 Grant

3. Pengembangan Keterampilan Mahasiswa –

Pengembangan Kompetensi, Inovasi dan Budaya Mutu


dosen dan Staf Administrasi –

4.1 Pelatihan Selam (Seintific Daving) 2 M-M

4. 4.2 Pengembangan Staf 2 Paket


4.3 Hibah Penelitian 2 Grant

5. Pengembangan Sistem Manajemen Informasi Jurusan 3 Unit

Sumber : Panitia PHK-A2, 2008


Pelaksanaan komponen program pada tahun anggaran 2009
dapat dilihat pada table 3 dibawah ini:

Tabel 3 : Pelaksanaan komponen program pada tahun anggaran


2009

NO. Komponen Program Sasaran

Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Input (calon


1. mahasiswa baru) –

Peningkatan Kuantitas Proses Pembelajaran

2.1 Peralatan 1 Paket

2.2 Tenaga Ahli 1 M-M

2.3 Koleksi Perpustakaan 31 Exampler

2.4 Lokakarya 1 M-M

2. 2.5 Hibah Pengajaran 3 Grant

3. Pengembangan Keterampilan Mahasiswa –

Pengembangan Kompetensi, Inovasi dan Budaya Mutu


dosen dan Staf Administrasi –

4.1 Pelatihan Selam (Seintific Daving) 2 M-M

4. 4.2 Pengembangan Staf 2 Paket


4.3 Hibah Penelitian 2 Grant

5. Pengembangan Sistem Manajemen Informasi Jurusan 3 Unit

Sumber : Panitia PHK-A2, 2009


4. Model Berpikir
Model berpikir yang kami ajukan pada peniliatian evaluasi
program hibah kompetisi PHK-A2 di Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan Unhas, meliputi evaluasi
program dengan melihat sejauhmana tingkat pencapai tujuan
kebijakan (outcome). Seperti terlihat pada gambar 1 di bawah
ini.
Gambar 1. Model Berpikir Evaluasi PHK-A2

KEBIJAKAN PHK DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS 2007,2008 dan 2009

EVALUASI TINGKAT PENCAPAIAN TUJUAN PROGRAM PHK-A2

Penilian :
Tingkat Pencapaian Tujuan (outcome)

Tujuan Program PHK-A2 (Peningkatan Efisiensi Internal Jurusan)


1. Penurunan rata-rata masa studi lulusan
1. Peningkatan jumlah lulusan
2. Pemanfaatan fasilitas secara optimal.

5. Pertanyaan Penelitiaan
Dalam penelitian pertanyaan penelitian yang diajukan untuk
dilakukan penelitian yaitu :

1. Bagaimana pencapaian tujuan kebijakan (outcome) ?


posted by muhammadong. categories: uncategorized. tinggalkan komentar

Tinggalkan Balasan

Navigasi pos
Next Post
Cari
Cari untuk:

Pos-pos Terbaru
 Evaluasi Kebijakan Publik
 Evaluasi Kebijakan Publik

Arsip
 Juli 2012

Kategori
 Uncategorized

Meta
 Daftar
 Masuk log
 RSS Entri
 RSS Komentar
 Blog di WordPress.com.
Blog di WordPress.com. | T
Analisis Proses Evaluasi Kinerja KebijaKan
Publik (4 Juni 2013)
Konsep Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan untuk menilai atau
melihat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan
suatunkebijakan publik.
Oleh karena itu,evaluasi merupakan kegiatan pemberian
nilai atas sesuatu "fenomena" di dalamnya terkandung
pertimbanga n nilai (value judgment) tertentu. (
Mustopadidjaja,2002:45).
Lalu,fenomena apa yang dinilai? Ya tergantung pada
konteksnya. Jika konteksnya kebijakan publik,maka
fenomena yang dinilai ,menurut Mustopadidjaja,adalah
berkaitan dengan "tujuan,sasaran kebijakan, kelompok
sasaran (target group) yang ingin dipengaruhi,berbagai
instrumen kebijakan yang digunakan,responsi dari
lingkungan kebijakan,minerja yang dicapai,dampak yang
terjadi dan sebagainya".

Evaluasi kebijakan publik dimaksudkan untuk melihat atau


mengukur tingkat Kinerja pelaksanaan suatu kebijakan
publik yang latar belakang dan alasan-alasan diambilnya
suatu kebijakan,tujuan dan kinerja kebijakan, berbagai
instrumen kebijakan yang dikembangkan dan
dilaksanakan,responsi kelompok sasaran dan stakeholder
lainnya serta konsistensk aparat, dampak yang timbul dan
perubahan yang ditimbulkan,perkiraan perkembangan
tanpa kehadirannya dan kemajuan yang dicapai kalau
kebijakan dilanjutkan atau diperluas.
Evaluasi kebijakan bisa saja mempersoalkan pada tataran
"abstrak" berupa pemikiran,teori,ataupun paradigma yang
mendasari suatu kebijakan apabila dipandang perlu.

Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk


menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat
membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara
hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target
kebijakan publik yang ditentukan (Muhajir,1996).
Evaluasi kebijakan publik tidak hanya untuk melihat hasil
(outcomes) atau dampak (impacts),akan tetapi dapat pula
untuk melihat bagaimana proses pelaksanaan suatu
kebijakan dilaksanakan. Dengan kata lain,evaluasi dapat
pula digunakan untuk melihat apakah proses pelaksanaan
suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk
teknis/pelaksanaan (guide lines) yang telah ditentukan.

Oleh karena itu,evaluasi kebijakan publik dibedakan dalam


dua macam tipe. Pertama, tipe evaluasi hasil (outcomes of
public policy implementation)merupakan riset yang
mendasarkan diri pada tujuan kebijakan. Ke dua, tipe
evaluasi proses (process of public policy
implemantation),yaitu risett evaluasi yang mendasarkan
diri pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Ukuran keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan adalah
kesesuaian antara proses implementasi suatu kebijakan
dengan garis petunjuk (guide lines ) yang telah ditetapkan.
Bahkan Mustopadidjaja, 2002:45, menegaskan baHwa
evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada tahap pemantauan
pelaksanaan,pengawasan dan pertanggungjawaban.

Evaluasi kinerja pada pemantauan dimaksudkan untuk


mendapatkan informasi dini mengenai perkembangan
pelaksanaan kebijakan pada momentum atau dalam jangka
waktu tertentu sehingga dapat diketahui hal-hal yang perlu
diperbaiki.baik mengenai sistem dan proses pelaksanaan
maupun kebijakan itu sendiri,agar rumusan kebijakan lebih
tepat,pelaksanaan kebijakan dapat berjalan dengan
baik,dan tujuan kebijakan dapat dicapai lebih optimal.
Selain itu,evaluasi kinerja pada pemantauan ini juga dapat
diperoleh identifikasi kelemahan kebijakan dan
penyimpangan terhadap sistem dan Proses pelaksanaan
kebijakan ,serta saran koreksi terhadap penyimpangan
pelaksanaan ataupun terhadap kebijakan itu sendiri.

Evaluasi kinerja dalam rangka pengawasan harus dapat


memberikan informasi obyektif mengenai tingkat capaian
pelaksanaan kebijakan pada momentum atau dalam jangka
waktu tertentu mengenai kekeliruan atau penyimpangan
yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan serta
rekomendasi mengenai tindak lanjut hasil temuan
pengawasan.
Evaluasi kinerja pada tahap pertanggungjawaban harus
dapat memberikan analisis obyektif mengenai
perkembangan pelaksanaan, perubahan atau penyesuaian
yang telah dilakukan berikut alasannya dan penilaian
tingkat capaian kinerja dalam jangka waktu tertentu.

Menurut Weiss (1972:4),unsur-unsur penting yg terkandung


dalam evaluasi kebijakan adalah :
1. untuk mengukur dampak dengan bertumpu pada riset
yang digunakan.
2. dampak tadi menekamkan pada suatu hasil dari
efisiensi,kejujuran,moral yang melekat pada aturan-aturan
atau standar.
3. Perbandingan antara dampak (effects) dengan tujuan
(goals) menekankan pada penggunaan kriteria yang jelas
dalam menilai bagaimana suatu kebijakan telah dilakjkan
dengan baik.
4. memeberikan konstribusi pada pembuatan keputusaan
selanjutnya dan perbaikan kebijakan pada masa mendatang
sebagai tujuan sosial.

Dari uraian di atas,dapat disimpulkan bahwa evaluasi


kebijakan publik tujuan utamanya adalah untuk mengetahui
tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan suatu
kebijakan publik. Selanjutnya adalah memberikan
rekomendasi kebijakan berupa keputusan tentang masa
depan kebijakan punlik tadi. Altetnatif
rekomendasinya,menurut Weiss setidaknya adalah :
a. Kebijakan perlu diteruskan atau dihentikan
B. Diteruskan,tapi perlu diperbaiki baik prosedur,maupun
penetapannya.
C. Perlunya menambaah atau mengembangkan strategi dan
teknik program-program khusus.
d. Perlunya menerapkan kebijakan program serupa di
tempat lain,
e. Perlunya mengalokasikan sumberdaya langka di antara
program yang saling berkompetitif
f. Perlunya menolak atau menerima teori atau pendekatan
kebijakan program.

Tipe Evaluasi kebijakan Publik;


Menurut Langbein (1980:5),tipe riset evaluasi dibagi menjadi 2
macam tipe: risetprocess dan riset outcomes
Metode riset juga dibedakan menjadi : metode deskriptif dan kausal.
Metode deskriptif lebih mengarah kepada tipe penelitian evaluasi
proses (process of public policy implementation ),sementara metode
kausal lebih mengarah pada penelitian evaluasi dampak (outcomes of
public policy implementation)

Metode deskriptifif pertanyaan mendasarnya adalah apakah kebijakan


dilaksanakan sesuai dengan pegunjuk? Apakah fasilitas yang berupa
sumberdaya digunakan dalam kebijakan? Bagaimana derajat
manfaat/keuntungan yang ditetapkan dalam kebijakan? Apakah
sekelompok sasaran dapat menikmati kemanfaatan nyata dari
kebijakan tersebut?
Metode Kausal pertanyaan mendasarnya adalah : Siapa yang terlibat
dalam kebijakan? Apakah kebijakan dapat mencapai siapa yang
menjadi sasaran kebijakan? Apakah kebijakan menghasilkan
outcomes yang diharapkan/tidak diharapkan? Sarana (faktor)
implementasi kebijakan mana yang menghasilkan outcomes yanb
terbaik? Berusaha mencari/melihat apakah outcomes utama yanb
terjadi karena oleh kebimakan utama? Apakah kebijakan utama
menjadi penyebab dampak utama?

Tahapan (proses) Evaluasi Kebijakan Publik:


1. Mengidentifikasi apa tujuan kebijakan, program dan kegiatan.
2. Menjabarkan tujuan,program dan kegiatan program ke dalam
kriteria atau indikator pencapaian tujuan.
3. Mengukur indikator pencapaian tujuan kebijakan program.
4, Mencari data di lapangan berdasarkan indikator pencapaian tujuan
kebijakan program.
5. Mengolah data lapangan dikomparasikan dengan kriteria
pencapaian tujuan.
Diposkan oleh Isa Anshori di 17.16

Anda mungkin juga menyukai