Anda di halaman 1dari 46

MATERI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Implemantasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang


luas,merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah
penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas
mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai
aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama
untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-
tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi
yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin
dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output)
maupun sebagai dampak (outcome).
Menurut Ripley dan Franklin, implementasi mencakup banyak
macam kegiatan.
1. Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh
undang-undang dengan tanggung jawab menjalankan
program harus mendapatkan sumber-sumber yang
dibutuhkan agar implemantasi berjalan lancar. Sumber-
sumber ini meliputi personil, peralatan, lahan tanah,
bahan-bahan mentah, dan di atas semuanya-uang.
2. Kedua, badan-badan pelaksanaan mengembangkan bahasa
anggaran dasar menjadi arahan konkret, regulasi,serta
rencana-rencana dan desain program.
3. Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan
kegiatan-kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit
birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja.
Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan
keuntungan atau pembatasan kepada para pelanggan atau
kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan
pelayanan atau pembayaran atau batasan-batasan tentang
kegiatan ataau apapun lainnya yang bisa dipandang
sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu
program.
Sementara itu, Grindle juga memberikan pandangannya
tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum,
tugas implemantasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage)
yang memudahkan tujuan–tujuan kebijakan bisa direalisasikan
sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

1
Selanjutnya, van Meter dan van Horn membatasi
implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh individu-individu (atau kelompokkelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan
kebijakan sebelumnya.
Implementasi kebijakan sebagai salah satu fokus dalam
kebijakan publik dihadapkan pada masalah pilihan model, mana
yang terbaik yang hendak dipakai. Setiap jenis kebijakan
memerlukan model imlementasi kebijakan yang berlainan. Ada
kebijakan yang lebih tepat menggunakan model implementasi
top-down, ada yang lebih tepat dengan model implementasi
bottom-up, bahkan ada juga yang lebih tepat dengan
menggabungkan atau memadukan kedua model yaitu bersifat top-
downer dan bottomupper. Selain itu terdapat kebijakan dengan
mekanisme pasar yang lebih efektif dan ada juga mekansime
paksa yang tepat dan efektif.(Nugroho;2009), Matland (1995).
Pilihan lainnya adalah terhadap model implementasi kebijakan
dinegara dunia ketiga (grindle,1980)
Studi Implementasi muncul sebagai minat untuk mengkaji
usaha atau mencari jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang
timbul yang berkaitan dengan fenomena implementasi seperti
mengapa suatu kebijakan yang telah dirumuskan dengan baik
dengan melalui proses deliberasi yang panjang kemudian gagal
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan dalam penerapannya,
Mengapa kebijakan nasional yang sama ketika
diimplementasikan oleh pemerintah daerah berbeda-beda ada
yang berhasil dan ada yang tidak berhasil dan yang berhasil
memiliki tingkat variasi yang berbeda, mengapa jenis kebijakan
tertentu lebih mudah tingkat keberhasilannya dibanding kebijakan
lainnya. Minat untuk mengkaji implementasi kebijakan mendapat
perhatian yang luas, yang menurut Peter de Leon dan Linda de
Leon (2011), pendekatan-pendekatan dalam implementasi
kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga
generasi.yaitu generasi pertama, generasi kedua dan generasi
ketiga. Masing-masing generasi memiliki tantangan dan
kontribusinya sendiri-sendiri terhadap upaya memahami
fenomena implementasi ini
1. Generasi Pertama (1970-an) Generasi menggunakan Studi
Kasus. Memahami implemantasi kebijakan sebagai

2
masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan
eksekusinya. Generasi pertama tidak dapat dilepaskan dari
kegalauan para ahli tentang kenyataan yang mereka
hadapi dan temukan dalam kehidupan peraktis kebijakan
publik. Hakekat kebijakan publik yang dipahami oleh
akademisi atau ilmuan administrasi publik, mereka
percaya bahwa kebijakan publik, sebagai sebuah aksi
kolektif dan merupakan instrumen yang dianggap paling
efektif dalam memecahkan problema atau masalah yang
dihadapi oleh masyarakat (masalah publik) ketika
mekanisme pasar gagal memecahkan masalah bersama.
Pendekatan generasai pertama hanya terbatas pada studi
kasus dengan metode deskriptif dengan melakukan
investigasi terhadap implementasi suatu kebijakan publik
secara mendalam yang dilaksanakan pada daerah atau
lokasi tertentu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
mengapa implementasi kebijakan yang dilakukan tersebut
gagal dilakukan. Dari berbagai studi kajian yang
dilakukan oleh generasi pertama maka lahirlah sebuah
istilah yang lazim disebut sebagai missing link yang
dipakai untuk menjelaskan kegagalan pemerintah dalam
mentrasformasikan niat baik mereka menjadi kebijakan
yang baik sehingga bisa dimaknakan bahwa tidak cukup
hanya sebuah niat baik mereka (good intentions) menjadi
good policy (P.delon dan L.deLeon,2002). Maknanya,
niat baik yang ditunjukkan pemerintah tidak akan
membuahkan hasil yang positif ketika pemerintah tidak
mampu merancang dan mengimplementasikan kebijakan
tersebut dengan baik
2. Generasi kedua (1980-an),Generasi yang Membangun
Model. Mengembangkan pendekatan implementasi
kebijakan yang bersifat dari atas kebawah (top-down
perspective), perspektif dari pendekatan yaitu berfokus
pada tugas birokrasi untuk melaksanakan kebijakan yang
telah diputuskan secara politik. Generasi kedua banyak
membangun teori serta model implementasi untuk diuji
dilapangan disebabkan kontribusi para peneliti pada

3
generasi pertama. Studi implementasi yang dilakukan
generasi kedua lebih kompleks dan telah menggunakan
metode yang ketat dengan mematuhi kaedah yang
diisyaratkan bagi suatu kajian ilmiah. Peneliti generasi ke
dua juga telah menggunakan hipotesis tentang model
implementasi yang ideal serta menguji model yang
dirancang tersebut dengan menggunakan data empiris
yang mereka kumpulkan dilapangan.Generasi kedua
cenderung menggunakan metode yang bersifat
posotivistik dengan dukungan data-data kuantitatif. Dalam
menjelaskan permasalahan dalam implementasi mereka
dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu
pendekatan Top-Down dan Bottom-Up.
a. Top-Down Approach
Pendekatan ini menggunakan logika berfikir dari atas
lalu melakukan pemetaan kebawah untuk melihat
keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi
suatu kebijakan. Menggunakan bahasa Sabatier
(1986), pendekatan top-down dilakukan oleh para
peneliti dengan langkah sebagai berikut: “they started
with policy decision (usually statue) and examined the
extent to which its legally-mandated objectives were
achieved over time and why” Pendekatan ini juga
sering kali disebut “policy centered” karena hanya
fokus kepada kebijakan dan berusaha untuk
memperoleh fakta-fakta apakah kebijakan tersebut
ketika diimplementasikan mampu mencapai tujuan
atau tidak (cf.Hogwood and Gunn, 1984).
Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti
Generasi kedua yang menggunakan pendekatan top-
down biasanya adalah sebagai berikut :
a) Memilih kebijakan yang akan dikaji
b) Mempelajari dokumen kebijakan yang ada untuk
dapat mengidentifikasi tujuan dan sasaran
kebijakan yang secara formal tercantum dalam
dokumen kebijakan;

4
c) Mengidentifikasi bentuk-bentuk keluaran
kebijakan yang digunakan sebagai instrument
untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan;
d) Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan telah
diterima oleh kelompok sasaran dengan baik
(sesuai dengan Standard Operating Procedure
yang ada);
e) Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan
tersebut memiliki manfaat bagi kelompok sasaran
f) Mengidentifikasi apakah muncul dampak setelah
kelompok sasaran memanfaatkan keluaran
kebijakan yang mereka terima. Analisis kemudian
diarahkan untuk mengetahui apakah dampak yang
muncul tersebut berimplikasi terhadap
terwujudnya tujuan kebijakan sebagaimana
ditetapkan dalam dokumen kebijakan.
Beberapa ahli yang dapat digolongkan sebagai
penganut top-down adalah: Nakamura dan Smallwood
(1980).Edward III (1980) dan Grindle (1980). Mereka
diklasifikasikan sebagai pengguna pendekatan top-
down karena cara kerja mereka sesuai dengan
langkah-langkah yang telah dijelaskan didepan yaitu
dimulai dengan memahami kebijakan dan melihat
efektifitas pencapaian tujuan kebijakan tersebut
dilapangan. Cara pendekatan yang demikian ini sering
juga disebut sebagai pendekatan command and control
yang secara harafiah diartikan sebagai memberikan
komando dan mengawasi pelaksanaannya (P.deLeon
and L.deLeon,2002)
b. Bottom-Up Approach
Para peneliti Generasi kedua yang menggunakan
pendekatan top-down telah memberikan banyak
kontribusi terhadap upaya untuk memahami realitas
implementasi kebijakan, akan tetapi beberapa peneliti
Generasi kedua tidak terlalu puas dengan pendekatan
top-down yang dianggap terlalu menyederhanakan
masalah dan cenderung instrumentalis karena hanya

5
menaruh perhatian terhadap efektifitas implementasi
kebijakan. Padahal, menurut para pengkritik
pendekatan top-down ini, realitas implementasi
kebijakan bisa jadi kompleks dan tidak hanya
berkepentingan dengan isu efektifitas atau efisiensi
implementasi suatu kebijakan saja. Sabatier (1984)
mencatat pada dasarnya ada empat kritik yang
dilontarkan terhadap pendekatan top-down oleh para
peneliti implementasi. Empat kelemahan pendekatan
topdown yang dimaksudkan tersebut menurut para
peneliti yang kritis seperti: Hjern dan Hull (1982),
Barrett dan Fudge (1981), serta Elmore (1979) adalah
(i) menganggap bahwa aktor utama yang paling
berpengaruh adalah dalam implementasi yaitu para
policy maker, sehingga mereka lupa bahwa kegagalan
dalam implementasi dapat dipengaruhi oleh beberapa
aktor antara lain yaitu birokrat garda depan, kelompok
sasaran,sektor swasta dan lain-lainnya; (ii) pendekatan
top-down sulit diterapkan ketika tidak ada kebijakan
atau aktor yang dominan.
Pendekatan bottom-up ini dipelopori oleh beberapa
peneliti Generasi kedua seperti Elmore (1978,1979),
Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta
Porter (1978) yang didasarkan atas ketidakpuasan
mereka, kemudian mereka mengembangkan
pendekatan baru yaitu bottom-up. Para penganut
pendekatan ini mencoba menekankan bagaimana
pentingnya memperhatikan dua aspek yang penting
dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu: birokrat
pada level bawah (street level bureaucrat) dan
kelompok sasaran kebijakan (target group).
Secara garis besar, tahapan-tahapan kerja para peneliti
Generasi kedua yang menggunakan pendekatan
bottom-up biasanya adalah dengan langkah-langkah
sebagai berikut :

6
a) Memetakan aktor dan organisasi (steakholder)
yang terlibat dalam implementasi kebijakan pada
level bawah;
b) Mempertanyakan para aktor tersebut tentang
pemahaman mereka terhadap kebijakan yang
mereka implementasikan dan apa kepentingan
mereka terlibat dalam implementasi dalam bentuk
pengumpulan informasi;
c) Memetakan keterkaitan (jaringan) para aktor pada
level terbawah tersebut dengan aktor-aktor pada
level diatasnya;
d) Peneliti mencoba memetakan pimpinan pada level
yang lebih tinggi dengan mencari informasi yang
sama
e) Peneliti melakukan pemetaan sampai kejenjang
level tertinggi yaitu para pembuat kebijakan
(policy maker)

7
c. Generasi ketiga (1990-an) dikembangkan oleh
Malocom L.Gogging. Merumuskan bahwa perilaku
aktor pelaksana implementasi kebijakan lebih
menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
Pada masa ini lahir pendekatan kontijensi (situasional)
yang berpandangan bahwa implementasi kebijakan
didukung oleh implementasi kebijakan tersebut.
Berbagai upaya untuk membangun model dan
mengujinya dilapangan makin membuat body of
knowledge studi implementasi terus mengalami
perkembangan. Hal ini member peluang bagi para
model yang berhasil digagas oleh para ahli. Generasi
ketiga ketiga disebut sebagai generasi pembaharu
karena ingin menerapkan menerapkan metodologi
yang lebih “sound” sehingga hasil studi implementasi
lebih dipercaya. Generasi ketiga sepakat untuk
melanjutkan dukungannya terhadap pendekatan

8
bottom-up yang telah dirintis oleh para generasi
kedua, namun disamping itu mereka juga berusaha
mengembangkan studi implementasi kearah yang
lebih scientific.
Implementasi kebijakan memiliki bayak pengertian dari
berbagai ahli, seperti Masmanian dan Sabatier (1983 : 71) melihat
implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan berbagai keputusan,
baik yang berasal dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Menurut Van Meter dan Van Horn (1978 : 447), “Policy
implementation encompasses those action by public or private
individuals (or group) that are directed at the achievement of
objectives set forth in prior policy decisions” implementasi
kebijakan merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu/pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta, yang
diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan. Selanjutnya, Wahab (1997 : 50)
mendefinisikannya sebagai “suatu proses melaksanakan
keputusan kebijakan”. Definisi yang sama juga dikemukakan oleh
Edward III (1980 : 1), yaitu : “policy implementatiom… is the
stage of policy making between the establisment of a policy…
and the consequencies of the policy for the people whom it
affects”. Sedangkan menurut Jones (1996 : 126) Implementasi
kebijakan merujuk pada pelaksanaan secara efektif, sehingga
implementasi kebijakan memuat tentang aktivitas-aktivitas
program yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan dan dirasakan manfaatnya oleh kelompok sasaran
yang dituju. Sementara Anderson melihat implementasi sebagai:
“administration of the law in which various
actors,organizations,producers, and techniques work together to
put adopted policies into effect in an effort to attain policy or
program goals”(Anderson,1990:172). Dalam pemahaman ini,
implementasi dimaknai sebagai pengelolaan hukum (karena
kebijakan telah disyahkan dalam bentuk hukum) dengan
mengerahkan semua sumber daya yang ada agar kebijakan
tersebut mampu mencapai atau mewujudkan tujuannya.
Model-model implementasi kebijakan
1. Model Van Meter dan Van Horn
Model pertama dikemukakan oleh duet Donald Van Meter
dan Carl Van Horn (1975: 462 – 474) adalah model yang

9
paling klasik.Model ini mengendalikan bahwa
implementasi kebijakan berjalan secara linier dari
kebijakan publik,implementor, dan kinerja kebijakan
publik. Model kebijakan adalah yang memperlihatkan 6
variabel yang membentuk hubungan antara kebijakan
dengan kinerja, yaitu, policy standard and objectives,
policy resources, kemudian ditambah lagi dengan 4 faktor
yang berhubungan dengan kinerja kebijakan, yaitu,
interorganizational communication and enforcement
activities; characteristics of the implementation agencies;
economic, social, and political condition; and disposition
of implementors.
2. Model Mazmanian dan Sabatier
Selanjutnya, model kebijakan kedua dikemukakan oleh
Daniel Mazmanian dan Paul A.Sabatier (1983),yang
mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Hal yang berbeda
dengan model kebijakan top down dan model kebijakan
van Meter dan van Horn, melihat keberhasilan suatu
kebijakan ditentukan oleh berbagai variabel yang saling
berkaitan. Mazmanian dan Sabatier (1983 : 71)
memperkenalkan model implementasi kebijakan dengan
suatu kerangka analisis implementasi (a frame work for
implementation analysis) sebagai salah satu model
implementasi kebijakan yang tepat dan operasional.
Menurut mereka, analisis implementasi kebijakan adalah
mengidentifikasikan variabel-variabel yang
mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada
keseluruhan proses implementasi. Ada tiga kategori
variabel dimaksud, yakni : 1) Variabel independen, yaitu
mudah tidaknya masalah yang akan digarap,yang
berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis
pelaksanaan,keragaman objek dan perubahan seperti apa
yang dikehendaki. 2)Variabel Intervening, yaitu
kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan
secara tepat proses implementasi dengan indicator
kejelasan dan konsistensi tujuan,dipergunakan teori

10
kausal,ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan
hierarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana
dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana
dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variable di luar
kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang
berkenaan dengan indicator kondisi sosio-ekonomi dan
teknologi,dukungan publik,sikap dan risorsis konstituen,
dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan
kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana , dan 3)
Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses
implementasi dengan lima tahapa pemahaman dari
lembaga-lembaga atau badan pelaksana dalam bentuk
disusunnya kebijakan pelaksans,kepatuhan objek,hasil
nyata,penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya
mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan
yang bersifat mendasar.

3. Model Hogwood dan Gunn

11
Model ketiga adalah model Brian W.Hogwood dan Lewis
A.Gunn (1978) yang dalam pemetaan kita beri label “MS”
yang terletak di kuadran “puncak bawah” dan berada di
“mekanisme paksa” dan “mekanisme pasar”. Pada model
Top Down Approach, Wahab (1997 : 13)
mengemukkakan bahwa untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan publik secara sempurna
atau perfect implementation maka diperlukan 10
persyaratan, yaitu :
a. Pertama, kondisis eksternal yang dihadapi instansi
pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan yang
serius.
b. Kedua, untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan
sumber-sumber daya yang cukup memadai.
c. Ketiga, perpaduan sumbersumber yang diperlukan
benar-benar tersedia.
d. Keempat, kebijakan yang akan dimplementasikan
didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.
e. Kelima, hubungan kausalitas yang bersifat langsung
dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.
f. Keenam, hubungan saling ketergantungan harus kecil.
g. Ketujuh, Pemahaman yang mendalam dan
kesepakatan terhadap tujuan.
h. Kedelapan, tugastugas terperinci dan ditempatkan
dalam urutanyang tepat.
i. Kesembilan, komunikasi dan koordinasi yang
sempurna.
j. Kesepuluh, pihak-pihak yang memiliki wewenang
kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
4. Model Elmore
Model Elmore adalah model yang dikembangkan secara
terpisah oleh Richard Elmore (1979), Michael Lipsky
(1971), dan Benny Hjern & David O’Porter (1981).
Mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam proses
pelayanan dan menanyakan kepada mereka seperti tujuan,
strategi, aktivitas, dan kontak-kontak yang mereka miliki,

12
menjadi awal dari model ini. Model implementasi ini
didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong
masyarakat untuk melaksanakan sendiri implementasi
kebijakannya atau mengikut sertakan pejabat birokrat
namun hanya pada tataran rendah. Maka dari itu
kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan
harapan,keinginan publik yang menjadi target group atau
kliennya.Kebijakan ini biasanya diprakarsai oleh
masyarakat, baik secara langsung maupun melalui
lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).
5. Model Edward III
George Edward III (1980:1) menegaskan bahwa masalah
utama administrasi publik adalah Lack of attention to
implementation. Dikatakannya, without effective
implementation the decision of policy makers will not be
carried out successfully. Selanjutnya, Edward III (1980 :
148) menamakan model implementasi kebijakannya
adalah “direct and indirect impact on implementation”.
Dalam model memperlihatkan dampak langsung dan tidak
langsung terhadap implementasi kebijakan, yaitu
komunikasi dan struktur birokrasi berpengaruh langsung
dan tak langsung terhadap implementasi, sumber-sumber
daya dan disposisi berpengaruh langsung terhadap
implementasi kebijakan.Kemudian, diatara keempat faktor
berpengaruh tersebut (komunikasi, sumber daya,
disposisi, dan struktur birokrasi) terjadi hubungan timbal
balik.Pengaruh baik langsung maupun tidak langsung
terhadap implementasi kebijakan dan hubungan timbal
balik diantara keempat faktor tersebut dapat
divisualisasikan melalui model implementasi kebijakan.
6. Model Nakamura dan Smallwood
Nakamura dan Smallwood mengemukakan bahwa proses
kebijakan adalah proses yang rumit. Maka mereke
mencoba mengembangkan model implementasi kebijakan
yang disebut “environments influencing implementation”
yang terdiri atas tiga elemen dan masing-masing memiliki
actors and arenas.

13
7. Model Jaringan
Model jaringan memahami bahwa proses implementasi
kebijakan adalah sebuah complex of interaction processes
di antara sejumlah aktor yang berada dalam Environment
I Policy Formulation Arenas and Actors Environment II
Policy Formulation Arenas and Actors Environment III
Policy Formulation Arenas and Actors suatu jaringan
(network) aktor-aktor yang indepeden. Interaksi di antara
para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan
menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan,
permasalahan-permasalahan yang harus dikedepankan,
dan diskresidiskresi yang diharapkan menjadi bagian
penting didalamnya.
8. Model Goggin, Bowman, dan Lester
Goggin,Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan
apa yang disebut sebagai “communication model” untuk
implementasi kebijakan, yang disebutnya sebagai generasi
ketiga model implementasi kebijakan (1990). Goggin, dan
kawan-kawan bertujuan mengembangkan model
implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan
mengedepankan pendekatan metode penelitian dengan
menggunakan Variabel-Variabel Proses Implementasi
Kebijakan oleh Mazmanian dan Sabatier (independen,
intervening, dependen) dan meletakkan faktor komunikasi
sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan.

MATERI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan


secara penal dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan
secara penal, dilakukan melalui langkah-langkah perumusan
norma-norma hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan
melalui sarana penal tersebut dalam operasionalisasinya
dijalankan melalui suatu sistem, yakni sistem peradilan pidana
yang di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-
subsistem pendukungnya, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,

14
Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan).
Sistem Peradilan Pidana tersebut dibentuk sebagai sebuah sistem
yang mempunyai tujuan sebagai pengendali kejahatan di
masyarakat, yaitu dalam usaha penanggulangan kejahatan
di masyarakat dengan sarana penal.
Indonesia dalam usaha penanggulangan kejahatan di
masyarakat dengan sarana penal, dalam operasionalisasinya
menggunakan sistem peradilan pidana dengan model terpadu
(Integrated Criminal Justice System). Sistem peradilan pidana
terpadu diwujudkan dan diterapkan melalui kekuasaan
penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan
menjatuhkan putusan/pidana, dan kekuasaan pelaksanaan
putusan pidana, dan dalam perkembangan terakhir advokat
dalam perannya dalam proses peradilan pidana turut pula diakui
sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Konsepsi sistem
peradilan pidana tersebut dianut sebagai konsekuensi adanya
diferensiasi fungsional dan instansional dalam penyelengaraan
peradilan pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang merupakan dasar hukum dari pelaksanaan sistem peradilan
di Indonesia. Avianti (2008).
Pada keempat subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu di atas, subsistem “Kekuasaan Penyidikan” merupakan
tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem
Peradilan Pidana Terpadu dalam rangka tercapainya tujuan dari
penegakan hukum pidana. Pada tahap penyidikan dapat diketahui
adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana,
serta menentukan tersangka sebelum tersangka tersebut pada
akhirnya dituntut dan diadili di pengadilan dan diberi sanksi pidana
yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau
tahapan penyidikan, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses
peradilan pidana, yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di
muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak
dapat dilaksanakan.

15
Pengaturan mengenai penyidikan, antara lain pengertian
penyidikan, aparat yang berwenang melakukan penyidikan, dan
pemeriksaan penyidikan diatur dalam KUHAP dan juga
peraturan perundang-undangan lain di luar KUHAP, namun
peraturan lain tersebut tetap mengacu kepada KUHAP sebagai
dasar hukum pidana formal di Indonesia.
Dalam pelaksanaan penyidikan, kedudukan maupun
eksistensi pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) dalam sistem
peradilan pidana dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHAP, yang menyatakan bahwa Penyidik adalah pejabat
polisi negara Republik Indonesia (Penyidik Polri) atau PPNS
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan. Selain pada KUHAP, keberadaan
PPNS sebagai penyidik dinyatakan pula dalam Undang- Undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan peraturan perundang-undangan lain yang menjadi
dasar hukum masing-masing PPNS untuk melakukan
penyidikan, diantaranya Undang-Undang No. 15 Tahun 2001
tentang Merek, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Indonesia dalam usaha
penanggulangan kejahatan di masyarakat dengan sarana penal,
dalam operasionalisasinya menggunakan sistem peradilan
pidana dengan model terpadu (Integrated Criminal Justice
System). Sistem peradilan pidana terpadu diwujudkan dan
diterapkan melalui kekuasaan penyidikan, kekuasaan
penuntutan, kekuasaan mengadili dan menjatuhkan
putusan/pidana, dan kekuasaan pelaksanaan putusan pidana, dan
dalam perkembangan terakhir advokat dalam perannya dalam
proses peradilan pidana turut pula diakui sebagai bagian dari
sistem peradilan pidana. Konsepsi sistem peradilan pidana
tersebut dianut sebagai konsekuensi adanya diferensiasi
fungsional dan instansional dalam penyelengaraan peradilan

16
pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
merupakan dasar hukum dari pelaksanaan sistem peradilan di
Indonesia. Avianti (2008).
Hutan.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa
PPNS merupakan penyidik disamping penyidik Polri yang
memiliki kedudukan serta berperan penting dalam melakukan
penyidikan, dalam kaitannya menegakkan hukum pidana.
Adapun PPNS mendapatkan kewenangan untuk menyidik
berdasarkan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya,
sehingga penyidikannya terbatas sepanjang menyangkut tindak
pidana yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa PPNS merupakan penyidik,
disamping penyidik Polri yang memiliki kedudukan serta
berperan penting dalam melakukan penyidikan.
Untuk memudahkan memahami kedudukan PPNS,
terlebih dahulu disajikan tentang definisi dan istilah-istilah
penting dalam PPNS.

1.1 Definisi dan Istilah dalam PPNS

 Penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik


Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
 Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat
PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan tindak pidana sesuai undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan Penyidik Polri.

17
 Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
 Manajemen Penyidikan oleh PPNS adalah pengelolaan
penyidikan tindak pidana oleh PPNS secara terencana,
teroganisir, terkendali, dan dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
 Atasan PPNS adalah PPNS yang ditunjuk oleh instansinya
dan/atau secara struktural membawahi PPNS yang ditugaskan
menangani perkara tindak pidana tertentu yang menjadi
kewenangannya.
 Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang diancam
hukuman sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum baik
yang disebut dalam KUHP maupun peraturan perundang-
undangan lainnya.
 Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana.
 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang
suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialami
sendiri.
 Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
itu.
 Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.
 Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang

18
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
 Surat adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangannya itu.
 Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri.
 Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh
seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-
undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
 Laporan Kejadian adalah laporan tertulis yang dibuat oleh
petugas tentang adanya suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana, baik yang ditemukan sendiri maupun melalui
pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak
atau kewajiban berdasarkan undang-undang.
 Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seseorang pada
waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera
sesudah beberapa saat setelah tindak pidana itu dilakukan atau
sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya
diketemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana atau yang merupakan hasil
tindak pidana dan menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya
atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak
pidana itu.
 Tempat Kejadian Perkara yang selanjutnya disingkat TKP
adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi
dan tempat-tempat lain, dimana tersangka dan/atau korban
dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan tindak
pidana tersebut dapat ditemukan.

19
 Pemanggilan adalah tindakan untuk menghadirkan saksi, ahli,
atau tersangka guna didengar keterangannya sehubungan
dengan tindak pidana yang terjadi berdasarkan laporan
kejadian.
 Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan,
kejelasan, dan keidentikan tersangka, saksi ahli dan/atau
barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang
telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang
maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi
jelas dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan.
 Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa, apabila terdapat cukup bukti serta ketentuan hukum
guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
 Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau
Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang.
 Pembantaran Penahanan adalah penundaan penahanan
sementara waktu terhadap tersangka karena alasan kesehatan
(memerlukan rawat jalan atau rawat inap) yang dikuatkan
dengan keterangan dokter, sampai dengan yang bersangkutan
dinyatakan sembuh kembali.
 Penggeledahan Rumah adalah tindakan penyidik untuk
memasuki rumah tempat tinggal dan/atau tempat tertutup
lainnya guna melakukan pemeriksaan dan/atau penyitaan
barang bukti dan/atau penangkapan tersangka dalam hal-hal
menurut cara-cara yang diatur dalam KUHAP.
 Penggeledahan Badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka guna
mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau
dibawanya serta untuk disita.

20
 Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan/atau menyimpan dibawah penguasaannya
terhadap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
 Administrasi Penyidikan adalah suatu bentuk kegiatan dalam
penatausahaan untuk melengkapi administrasi yang
diperlukan dalam proses penyidikan.

1.2 Kedudukan Penyidik dalam Sistem Peradilan Pidana


Indonesia
Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system)
menurut Chamelin/Fox/Whisenand adalah suatu sistem dalam
proses menentukan konsep sistem, yaitu berupa aparatur
peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara
subsistem kepolisian, pengadilan, dan lembaga penjara.
Mardjono Reksodipoetro berpendapat bahwa sistem peradilan
pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi di sini
berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam
batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil
apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat
yang menjadi korban kejahatan dapat "diselesaikan", dengan
diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan
diputuskan bersalah serta mendapat pidana. Malamassam
(2012). Pada kesempatan lain, Mardjono Reksodipoetro
berpendapat, sistem peradilan pidana adalah sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan
terpidana, dan keempat komponen diharapkan dapat bekerja
sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice
system atau sistem peradilan pidana terpadu.

21
Menurut Barda Nawawi Arief dalam Avianti (2008),
Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan sistem
kekuasaan menegakkan hukum pidana atau sistem kekuasaan
kehakiman di bidang hukum pidana, yang diwujudkan atau
diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem, yaitu:
a. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga
penyidik);
b. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga
penuntut umum);
c. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan
putusan/pidana (oleh badan pengadilan);
d. Kekuasaan pelaksanaan putusan pidana (oleh
badan/aparat pelaksana/eksekusi).
Keempat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem
penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal
dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu.
Dalam perkembangan terakhir keberadaan advokat dalam
perannya untuk proses peradilan pidana mulai diakui sejak
diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
advokat. Status advokat diakui sebagai penegak hukum dalam
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun
2003. Istilah advokat dalam KUHAP belum dikenal, KUHAP
menggunakan istilah penasehat hukum sebagai pemberi jasa
bantuan hukum. Tuntutan perkembangan kebutuhan pemberian
bantuan hukum oleh advokat, menjadikan advokat masuk dalam
lingkaran sistem peradilan.
Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional
ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk
menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkat tertentu
(crime containment system), di lain pihak sistem peradilan
pidana juga berfungsi untuk pencegahan, yaitu mencoba
mengurangi kriminalitas dikalangan mereka yang pernah
melakukan kejahatan melalui proses deteksi, pemidanaan, dan
pelaksanaan pidana. Proses peradilan pidana itu adalah suatu

22
sistem dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta
pemasyarakatan sebagai sub-subsistem, pelanggar hukum
berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat,
baik sebagai warga yang taat pada hukum (non-residivis),
maupun mereka yang kemudian akan mengulangi perbuatannya
(residivis). Malamassam (2012).
Sistem Peradilan Pidana Indonesia menganut asas bahwa
kasus pidana merupakan sengketa antara individu dengan
masyarakat (publik) dan sengketa itu akan diselesaikan oleh
pemerintah sebagai wakil dari publik. Sistem ini dibangun
dengan satu doktrin bahwa pemerintah akan senantiasa berbuat
baik. Nisabella (2011)
Tujuan sistem peradilan pidana adalah untuk mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan; menyelesaikan kasus
kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Tujuan tersebut
tentunya akan melalui sebuah proses yaitu proses
penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan dan penuntutan pada
sidang pengadilan. Penyelenggaraan peradilan pidana
mempunyai tujuan akhir yaitu tercapainya keadilan bagi semua
pihak. Dalam operasionalnya peradilan pidana semua tahapan
mekanismenya harus melalui proses hukum yang adil (due
process of law). Bekerjanya peradilan pidana berarti mulai
bekerjanya subsistem struktur sistem peradilan pidana atau
penegak hukum, mulai tindakan penyelidikan oleh kepolisian
dan tindakan upaya paksa lain seperti penangkapan,
penggeledahan, penahanan, penyitaan dan pemeriksaan surat.
Dilanjutkan oleh kinerja kejaksaan mendakwa dan menuntut,
pengadilan atau hakim memeriksa dan memutus perkara, yang
kemudian narapidana dibina oleh lembaga pemasyarakatan.
Sinaryat (2015).

23
Tujuan yang ingin dicapai sistem peradilan pidana pada
umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial
tersebut, yaitu:
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan,
kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat
dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para
pelanggar hukum;
d. Memelihara atau mempertahankan integritas
pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan
individu.

Sebagai landasan normatif dan dasar bekerjanya


sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, Pemerintah
Republik Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981 telah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, yang
merupakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap mengenai
hukum acara pidana, yang meliputi seluruh proses pidana dari
awal mencari kebenaran, sampai pada upaya hukum luar biasa
peninjauan kembali (herziening), termasuk pengawasan dan
pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan.
Proses penyidikan merupakan salah satu bagian atau
subsistem dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Susunan
alur proses penyelesaian perkara pidana atau tindak pidana
berawal dari adanya suatu peristiwa hukum tertentu, yang terjadi
di dalam lingkungan masyarakat tertentu, pada suatu waktu
tertentu. Bilamana dalam peristiwa hukum tersebut ternyata
timbul dugaan yang kuat bahwa telah terjadi perkara pidana
sebagaimana dilarang dalam undaang-undang, maka penyelidik
atas kekuasaan yang berasal dari KUHAP dengan sendirinya
dapat segera melakukan penyelidikan, semata-mata untuk
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan proses penyidikan
atas peristiwa tersebut. Bila dalam hasil penyelidikan yang

24
dilakukan ditemukan bahwa peristiwa hukum tersebut
merupakan tindak pidana, maka proses yang dilakukan
selanjutnya adalah penyidikan. Di dalam proses penyidikan
ini, tindakan yang dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan
bukti (alat bukti dan barang bukti), yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi, dan
menemukan tersangkanya. Nisabela (2012)
Berdasarkan susunan alur proses penyelesaian perkara
pidana di Indonesia, dapat dinyatakan bahwa berhasilnya
suatu penyidikan, atau baik tidaknya suatu penyidikan yang
telah dilakukan sebelum pemeriksaan di depan persidangan,
akan sangat menentukan berhasil tidaknya pemeriksaan perkara
pidana tersebut di depan sidang pengadilan. Tidak semua orang
dapat melakukan tindakan penyidikan, hanya orang-orang
tertentu saja yang dapat memiliki wewenang untuk melakukan
tindakan penyidikan, mereka disebut sebagai Penyidik. Penyidik
adalah orang atau pejabat yang oleh Undang-Undang
ditunjuk atau ditugaskan untuk melaksanakan penyidikan
perkara pidana.
Penyidikan sendiri adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Di Indonesia, masalah kewenangan
dan ketentuan mengenai “penyidikan” diatur di dalam
KUHAP dan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan
lain di luar KUHAP. Aparat Penyidik yang memiliki wewenang
untuk melakukan penyidikan yaitu:

a. Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia


(Penyidik Polri)
Keberadaan Penyidik Polri sebagai penyidik
diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP dan

25
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002. Penyidik Polri
berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya (Pasal 14 ayat (1) huruf g
Undang-Undang No. 2 tahun 2002).
Secara diferensiasi fungsional, KUHAP memang
telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan
kepada instansi kepolisian, sedangkan jaksa tidak lagi
diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan atau
penyidikan lanjutan dalam tindak pidana umum
sebagaimana diatur di dalam HIR. Peralihan HIR kepada
KUHAP, khusus yang menyangkut pejabat penyidik dan
kewenangannya membawa suatu perubahan yang
mendasar, yaitu dimana jaksa tidak lagi diberikan
kewenangan untuk melakukan penyidikan kecuali
terhadap tindak pidana khusus.
Seorang pejabat kepolisian untuk dapat diberi
jabatan penyidik, maka ia harus memenuhi syarat
kepangkatan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 6
ayat (2) KUHAP, syarat kepangkatan tersebut diatur
lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
Berdasarkan peraturan tersebut, maka Penyidik Polri
adalah:
1) Penyidik Polri
Penyidik Polri mempunyai wewenang melakukan
tugas masing-masing pada umumnya di seluruh
wilayah Indonesia,
khususnya di daerah hukum masing- masing di
mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang, dan berwenang melakukan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya.

26
Persyaratan Pejabat Polri dapat dinyatakan sebagai
penyidik berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan
Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983, menyatakan
bahwa Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, dan jika di
dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat
penyidik seperti tersebut di atas, maka Komandan
Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di
bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena
jabatannya adalah penyidik.
2) Penyidik Pembantu
Penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1 angka
3 KUHAP jo. Pasal 10 KUHAP, pada kedua pasal
tersebut dikatakan bahwa pejabat penyidik
pembantu adalah Penyidik Polri, yang syarat
kepangkatannya juga diatur di dalam PP No. 27
Tahun 1983. Berdasarkan hierarki dan organisasi,
penyidik pembantu diperbantukan kepada pejabat
penyidik penuh, oleh karena itu, syarat kepangkatan
penyidik pembantu lebih rendah dari pangkat
jabatan penyidik penuh.
Pada dasarnya penyidik pembantu merupakan
penyidik dengan Pasal 11 dan Pasal 12 KUHAP,
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti
dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari Penyidik Polri.

b. PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh


Undang -Undang
Urgensi diangkatnya PPNS didasarkan pada
adanya pengaturan mengenai suatu tindak pidana khusus
dalam Undang-Undang, dan penyidikan yang dilakukan
memerlukan keahlian khusus, dimana jika tindak pidana

27
tersebut ditangani oleh Penyidik Polri dimungkinkan
terjadinya keterbatasan dalam penyidikan atas tindak
pidana khusus tersebut.
Hal yang berhubungan dengan penyidikan salah
satunya adalah siapa yang memiliki kewenangan dalam
melakukan penyidikan suatu peristiwa tindak pidana,
Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penyidik
adalah Penyidik Polri dan PPNS tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang.
Pasal 1 angka 6 PP No. 58 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas PP No. 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP memberikan pengertian
PPNS adalah pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat
maupun daerah yang diberi wewenang khusus oleh
Undang- Undang. Kemudian Pasal 1 angka 11 dan Pasal
3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia juga
memberikan pengertian dan pengaturan mengenai PPNS,
yaitu:
Pasal 1 angka 11
Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku
penyidik dan mempunyai wewenang untuk
melakukan penyidikan tindak pidana dalam
lingkup Undang-Undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.

Pasal 3
(1) Pengemban fungsi kepolisian adalah
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh:
a. kepolisian khusus;

28
b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
(2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c,
melaksanakan fungsi kepolisian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Berdasarkan ketentuan di atas, PPNS mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyidikan apabila
memiliki “wewenang khusus” yang diberikan oleh
Undang- Undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing, dimana kewenangan sebagai penyidik
adalah terbatas sepanjang menyangkut tindak pidana
yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, atau dengan
kata lain PPNS memiliki fungsi dan wewenang
sebagai penyidik yang bersumber pada ketentuan
peraturan perundang-undangan khusus. Jadi, di
samping Penyidik Polri, Undang-Undang yang
memberi wewenang khusus kepada PPNS yang
bersangkutan untuk melakukan penyidikan, hanya
sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang
diatur dalam Undang-Undang pidana khusus itu, di luar
itu PPNS tidak berwenang melakukan penyidikan.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 2 Tahun
2002, dinyatakan bahwa PPNS merupakan salah satu
unsur yang membantu Polri dalam mengemban fungsi
kepolisian, fungsi kepolisian tersebut adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-
Undang No. 2 Tahun 2002, PPNS merupakan
pengemban fungsi kepolisian mempunyai wewenang
untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam

29
lingkup Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas mengenai aparat
penyidikan menurut KUHAP dan peraturan perundang-
undangan yang terkait, dapat disimpulkan bahwa
Penyidik Polri merupakan badan penyidik tunggal
untuk tindak pidana umum sebagaimana diatur
dalam KUHP, sedangkan PPNS tertentu merupakan
penyidik yang mengemban fungsi kepolisian untuk
tindak pidana khusus sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang yang mengaturnya.
Peraturan perundang-undangan yang didalamnya
mengatur tindak pidana yang dapat disidik oleh PPNS
diantaranya:
1) PPNS untuk tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup (Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup) PPNS pada lingkungan
instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup diberikan
wewenang sebagai penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
2) PPNS untuk tindak pidana perusakan hutan
(Undang Undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan) Kewenangan melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana perusakan hutan selain
berada pada Penyidik Polri, Undang-Undang ini
juga memberikan kewenangan kepada kepada
PPNS sebagai penyidik pada tindak pidana
perusakan hutan. Tindak pidana perusakan hutan

30
dapat dikenakan kepada setiap orang
perseorangan, korporasi, dan pejabat, kualifikasi
tindak pidana yang dilakukan diatur pada Pasal
82 s.d. Pasal 106.
PPNS menurut Undang-Undang tersebut adalah
pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam
lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah
yang oleh Undang-Undang diberi wewenang
khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan
dan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
3) PPNS untuk tindak pidana perikanan (Undang-
Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan) Penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan
oleh PPNS Perikanan, penyidikan yang
dilakukan PPNS Perikanan bersifat koordinatif
dengan Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut
agar penyidikan tersebut berjalan lebih efisien
dan efektif berdasarkan Prosedur Tetap
Bersama.
4) PPNS untuk tindak pidana di bidang Merek
berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun
2001 tentang Merek.
5) PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai untuk tindak pidana di bidang
Kepabeanan berdasarkan Undang-Undang No.
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

c. Penyidik Tindak Pidana Khusus

31
Pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa
penyidik adalah Penyidik Polri dan PPNS, namun Pasal
284 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:

(2) Dalam waktu dua tahun setelah Undang-


Undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan Undang-
Undang ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada Undang-
Undang tertentu, sampai ada perubahan dan
atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP kemudian


dijelaskan kembali dalam Pasal 17 dan Penjelasan Pasal
17 PP No. 27 Tahun 1983 yang menyatakan:
Pasal 17
Penyidikan menurut ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada Undang-
Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh
penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang
berwenang lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Penjelasan Pasal 17
Wewenang penyidikan dalam tindak pidana
tertentu yang diatur secara khusus oleh Undang-
Undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa
dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya
yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Bagi penyidik dalam Perairan Indonesia, zona
tambahan, Landas kontinen dan Zona Ekonomi

32
Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh
perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut dan pejabat penyidik lainnya yang
ditentukan oleh Undang-Undang yang
mengaturnya.

Berikut adalah mengenai tugas dan wewenang


dari aparat penyidik tindak pidana khusus yaitu:
1) Jaksa (Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang, diantaranya melakukan
penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat (Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), dan
tindak pidana korupsi (Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
2) Penyidik TNI AL (Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan) TNI AL
berwenang melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
dan terhadap tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi di ZEEI.

33
3) Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (Undang-
Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan) Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mempunyai kewenangan untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan,
Penyidik OJK adalah Penyidik Polri, PPNS tertentu
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang
meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di
lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik.
4) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai
kewenangan luar biasa sebagai institusi dalam
memberantas tindak pidana korupsi. Salah satu
proses yang penting dalam penyelesaian tindak
pidana korupsi adalah proses penyidikan.
Kewenangan penyidikan dalam tindak pidana
korupsi menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku selalu dikaitkan dengan aparat
penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan, tetapi
setelah dibentuk KPK, kewenangan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi juga dimiliki oleh
KPK.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 bersifat
“Lex specialis derogat lex generalis” atau Undang-
Undang khusus mengesampingkan Undang-Undang yang
umum, atau dapat ditafsirkan bahwa Undang-Undang
No. 30 Tahun 2002 merupakan kekhususan dari
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Terdapat
kekhususan dalam pengangkatan penyelidik,
penyidik, dan penuntut umum pada KPK diangkat dan
diberhentikan oleh KPK (penyidik KPK tidak diangkat

34
oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia). Dan untuk penyelidik, penyidik, dan
penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK,
diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan
kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK.
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk
dan atas nama KPK. Kewenangan KPK dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi
yang:
1) melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
2) mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat;
3) menyangkut kerugian negara paling sedikit
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan
memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan
wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

35
Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau
penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara
beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan.
Penyerahan dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala
tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada
saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK.

1.3 Kedudukan PPNS dalam Sistem Peradilan Pidana


Indonesia
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1981
menyatakan penyidik terdiri dari Penyidik Polri dan PPNS,
kemudian dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang No. 8 tahun
1981 mengatur mengenai kewajiban dan kewenangan penyidik
yang berasal dari Penyidik Polri, kewenangan tersebut terdiri
dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, hingga
memanggil saksi dan ahli. Kewajiban dan kewenangan tersebut
adalah sangat luas, proses penyidikan yang dilakukan
tersebut bukan merupakan proses yang sederhana, oleh
karena itu Polri membutuhkan adanya PPNS. Selain hal
tersebut diberikannya kewenangan PPNS dalam melakukan
proses penyidikan tindak pidana tertentu dilatarbelakangi oleh
kondisi faktual Polri yang memiliki beberapa
keterbatasan sumber daya, diantaranya:
a. Sumber daya manusia
Sampai dengan saat ini sumber daya manusia Polri
masih menghadapi kendala dari segi kualitas dan
kuantitas, belum seimbangnya rasio antara jumlah
anggota Polri dan masyarakat berdampak pada
minimnya personil Polri yang memiliki kualifikasi
sebagai penyidik, sedangkan secara kuantitas masih
banyak anggota Polri yang belum memahami
materi (substansi) tidak pidana tertentu, diantaranya

36
pemahaman tentang keimigrasian, kepabeanan,
ketenagakerjaan, dan sebagainya. Oleh karena itu
keterlibatan PPNS dalam penyidikan suatu tindak
pidana tertentu merupakan upaya mengatasi kendala
tersebut. Gultom (2016).
b. Sarana dan prasarana
Dalam tindak pidana tertentu, institusi Polri belum
memiliki sarana dan prasarana penyidikan yang relatif
memadai dibandingkan dengan PPNS, diantaranya
dalam tindakan kepabeanan yang memerlukan sarana
prasarana tertentu (kapal motor) dengan kualifikasi
khusus, sementara aparat Polri belum memiliki kapal
dengan kualifikasi tersebut sehingga memerlukan
bantuan bea dan cukai. Hal yang sama terjadi pula pada
penyidikan illegal fishing, hingga sekarang sarana
prasarana pendukung penyidikan yang dimiliki Polri
masih belum memadai sehingga memerlukan
keterlibatan PPNS.
c. Anggaran
Anggaran yang dialokasikan khusus untuk melakukan
tindak pidana relatif kecil dibandingkan kebutuhan
sebenarnya, terutama jika lokasi penyidikan saling
berjauhan dan melintasi batas wilayah, karena itu
keterlibatan PPNS dalam melakukan penyidikan
diharapkan dapat meminimalisasi kendala anggaran.
d. Pembatasan kewenangan penyidikan oleh peraturan
perundang-undangan
Adaya pembatasan kewenangan penyidikan oleh
Polri dapat terjadi karena telah ditetapkan oleh suatu
peraturan perundang-undangan, diantaranya:
1) Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 45 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan

37
Pada ketentuan diatas diatur bahwa yang berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di
bidang perikanan yang terjadi di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia adalah penyidik TNI AL dan
PPNS Perikanan.
Berdasarkan ketentuan tersebut Penyidik Polri tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan
penyidikan pada area Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.

2) Pasal 112 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995


tentang Kepabeanan
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa PPNS di
lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam KUHAP untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan. Atas
ketentuan tersebut, Polri dibatasi dalam melakukan
penyidikan terkait tindak pidana di bidang
Kepabeanan.

Proses penyidikan tindak pidana merupakan salah satu


subsistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
sebagaimana diatur dalam KUHAP dan dalam proses penyidikan
ini sangat perlu adanya sinkronisasi dan keharmonisan dalam
subsistem penyidikan dalam sistem peradilan pidana.
Berdasarkan KUHAP dan peraturan perundang-undangan
lainnya, PPNS berwenang melaksanakan penyidikan sesuai
undang undang yang menjadi dasar hukumnya, dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan Penyidik Polri.
Konsepsi Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang dianut
oleh Indonesia ini menghendaki adanya kerjasama secara
terpadu di antara komponen-komponen yang terlibat dalam

38
sistem peradilan pidana, mengingat dalam keterpaduan,
kegagalan dari salah satu komponen dalam sistem tersebut akan
mempengaruhi cara dan hasil kerja dari komponen lainnya.
Selain itu konsep sistem peradilan pidana terpadu juga
menghendaki kesatuan pola pikir bahwa keberhasilan
pelaksanaan tugas hanya dapat dicapai karena adanya
kerjasama di antara para penegak hukum. Untuk itu setiap
komponen penegak hukum, dalam rangka mewujudkan sistem
peradilan pidana terpadu hendaknya mampu mengembangkan
pola pikir yang seragam dalam pelaksanaan tugas masing-
masing menuju penyelenggaraan administrasi negara yang
efisien sebagaimana cita-cita peradilan pidana Indonesia yaitu
proses peradilan yang cepat dan tepat dengan beaya terjangkau
oleh semua lapisan masyarakat pencari keadilan.Avianti (2008).
Lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum
dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan
kebijakan masing-masing pihak. Kondisi ini rawan
menimbulkan konflik kepentingan antar intansi penegak hukum.
Dalam upaya menciptakan sinkronisasi dan
keharmonisan dalam pelaksanaan penyidikan oleh PPNS,
pemerintah telah menetapkan hal-hal sebagai berikut:

a. Pengangkatan dan Pemberhentian PPNS


Penyidik mempunyai peranan penting dalam proses
penegakan hukum pidana, kinerja penyidik berpengaruh
besar dalam proses penanganan perkara pidana,
sehingga perlu diatur tingkat kinerja dan profesionalitas
penyidik dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya. Untuk meningkatkan kinerja dan
profesionalitas PPNS, PP No. 58 Tahun 2010 pada
Pasal 3A s.d. Pasal 3J mengatur mengenai persyaratan
seorang pegawai negeri sipil (PNS) untuk dapat
diangkat dan diberhentikan menjadi PPNS.

39
Persyaratan PNS untuk dapat diangkat sebagai
pejabat PPNS, harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling
singkat 2 (dua) tahun;
2) berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan
III/a;
3) berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau
sarjana lain yang setara;
4) bertugas di bidang teknis operasional penegakan
hukum;
5) sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan
surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;
6) setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai
negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2
(dua) tahun terakhir; dan
7) mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di
bidang penyidikan.
Pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang membawahi PNS yang bersangkutan
mengajukan nama calon yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana disebutkan diatas kepada Kepala Polri untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan di bidang
penyidikan. Selain memenuhi persyaratan di atas, calon
pejabat PPNS harus mendapat pertimbangan dari Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung
Republik Indonesia.
Pengangkatan calon pejabat PPNS dilakukan oleh
Menteri (dhi. Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia) atas
usul dari pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang membawahi PNS tersebut.

40
Wewenang pengangkatan oleh Menteri dapat dilimpahkan
kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Sebelum menjalankan jabatannya, calon pejabat
PPNS wajib dilantik dan mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji sesuai agamanya dan diberikan kartu
tanda pengenal yang dikeluarkan oleh Menteri.
Untuk pemberhentian Pejabat PPNS dapat
dilakukan karena diberhentikan sebagai PNS, tidak lagi
bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum,
dan atas permintaan sendiri secara tertulis. Pemberhentian
pejabat PPNS diusulkan oleh pimpinan kementerian atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi
pejabat PPNS kepada Menteri disertai dengan alasannya.
Surat keputusan pemberhentian pejabat PPNS dikeluarkan
oleh Menteri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterimanya surat pengusulan
pemberhentian.

b. Koordinasi dan Pengawasan PPNS

PPNS berwenang dalam melakukan penyidikan


sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing, dan dalam proses penyidikan
perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi agar tidak
terjadi tumpang tindih antara Penyidik Polri dan PPNS.
Mekanisme pelaksanaan koordinasi dan pengawasan yang
dilakukan Penyidik Polri terhadap PPNS dalam proses
penyidikan diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1981, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang menjadi dasar hukum
masing-masing PPNS.
Pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, PPNS
membantu Polri sebagai pengemban fungsi kepolisian dan
hanya berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak

41
pidana tertentu sesuai dengan Undang-Undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan Penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2)) Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981.
Mekanisme pelaksanaan koordinasi dan
pengawasan yang dilakukan Penyidik Polri terhadap
PPNS sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1981, yaitu:

1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik pada Polri


memberikan petunjuk kepada PPNS dan
memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan
(Pasal
107 ayat (1));
2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan
oleh PPNS dan kemudian ditemukan bukti yang
kuat untuk diajukan kepada penuntut umum,
PPNS melaporkan hal itu kepada Penyidik Polri
(Pasal 107 ayat (2));
3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh
PPNS, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum melalui Penyidik Polri
(Pasal 107 ayat (3));
4) Dalam hal penghentian penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau
penyidikan dihentikan demi hukum yang
dilakukan oleh PPNS, pemberitahuan mengenai
hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan
penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)).
Pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban Polri
untuk melakukan koordinasi, pengawasan, dan

42
pembinaan teknis terhadap PPNS sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 2
Tahun 2002, kemudian pada Pasal 16 ayat (1) huruf k
Polri mempunyai wewenang untuk memberikan petunjuk
dan bantuan penyidikan PPNS, serta menerima hasil
penyidikan PPNS untuk diserahkan kepada penuntut
umum.
Pengaturan teknis mengenai koordinasi dan
pengawasan PPNS lebih lanjut diatur dalam PP No. 43
Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi,
Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap
Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan
Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa. PP ini bertujuan
untuk meningkatkan kerjasama, menunjang kelancaran
pelaksanaan tugas, serta untuk menjamin agar kegiatan
yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Koordinasi dengan
instansi, lembaga, atau badan pemerintah yang memiliki
PPNS dilaksanakan melalui kegiatan operasional
penyidikan. Koordinasi di bidang operasional penyidikan
dilaksanakan dengan cara:
1) menerima surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan dari PPNS serta meneruskan kepada
Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2) merencanakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan
penyidikan bersama sesuai kewenangan masing-
masing;
3) memberikan bantuan teknis, taktis, tindakan upaya
paksa, dan konsultasi penyidikan kepada PPNS;
4) menerima berkas perkara hasil penyidikan dari
PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;

43
5) menghadiri atau menyelenggarakan gelar perkara
yang ditangani oleh PPNS;
6) menerima pemberitahuan mengenai penghentian
penyidikan dari PPNS dan diteruskan ke Penuntut
Umum;
7) tukar menukar data dan informasi mengenai dugaan
tindak pidana yang penyidikannya dilakukan oleh
PPNS; dan
8) menghadiri rapat berkala yang diselenggarakan
oleh PPNS.
Dalam pelaksanaan tugas PPNS, Polri juga
melakukan pengawasan dan pembinaan teknis terhadap
PPNS, agar kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh
PPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan meningkatkan kemampuan operasional
penyidikan kepada PPNS.
Polri melaksanakan pengawasan bersama
dengan pimpinan instansi, lembaga, atau badan
pemerintah yang memiliki PPNS. Pengawasan dilakukan
terhadap kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan terhadap kegiatan penyidikan yang
dilakukan oleh PPNS meliputi:
1) gelar perkara;
2) pemantauan proses penyidikan dan penyerahan
berkas perkara;
3) melaksanakan supervisi bersama
kementerian/instansi yang memiliki PPNS atas
permintaan pimpinan instansi PPNS;
4) pendataan penanganan perkara oleh PPNS; atau
5) analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan
secara berkala.
Selanjutnya Polri melaksanakan pembinaan teknis
dengan instansi, lembaga, atau badan pemerintah yang

44
memiliki dan/atau membawahi PPNS. Pembinaan teknis
terhadap PPNS dilaksanakan dengan cara meningkatkan
kemampuan operasional penyidikan kepada PPNS yaitu:
1) pendidikan dan latihan PPNS; dan
2) peningkatan kemampuan PPNS
3) Peningkatan kemampuan PPNS dapat dilakukan
melalui penyegaran, pelatihan lanjutan teknis dan
taktis penyidikan, dan seminar/workshop bidang
penyidika

45
MATERI KEUANGAN PUBLIK
MANAJEMEN ASET
- UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2003 TENTANG
KEUANGAN NEGARA
- UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004
TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA
- PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG
PENGELOLAAN BARANG MILIK
NEGARA/DAERAH
- PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2020 TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG
PENGELOLAAN BARANG MILIK
NEGARA/DAERAH
- PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 111/PMK.06/2017
MENIMBANG MENGINGAT TENTANG PENILAIAN
BARANG MILIK NEGARA
- PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 115 /PMK.06/2020 TENTANG
PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA
- PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
96/PMK.06/2007 TENTANG TATA CARA
PELAKSANAAN PENGGUNAAN, PEMANFAATAN,
PENGHAPUSAN, DAN PEMINDAHTANGANAN
BARANG MILIK NEGARA

46

Anda mungkin juga menyukai