Anda di halaman 1dari 13

E.

TAHAPAN-TAHAPAN KEBIJAKAN
PEMERINTAHAN
Dalam pandangan Ripley yang dikutip oleh A.G.
Subarsono, tahapan kebijakan pemerintahan (kebijakan
publik) digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Ripley (dalam A.G. Subarsono), (2006: 11)


Gambar 8.2
Tahapan Kebijakan Pemerintahan (Kebijakan Publik)
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga
kegiatan yang perlu dilakukan, sebagai berikut.
1. Membangun persepsi di kalangan stakeholders bahwa
sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai
masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok
masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh
sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan
dianggap sebagai masalah.
2. Membuat batasan masalah.
3. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat
masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisasi
dukungan ini dapat dilakukan dengan cara
mengorganisasi kelompok-kelompok yang ada dalam
masyarakat dan kekuatan- kekuatan politik, publikasi
melalui media massa, dan sebagainya.

Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, analis


kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis
informasi yang berhubungan dengan masalah yang
bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan
alternatif- alternatif kebijakan, membangun dukungan,
dan melakukan negosiasi sehingga sampai pada sebuah
kebijakan yang dipilih.
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan.
Pada tahap ini perlu dukungan sumber daya dan
penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam
proses implementasi sering ada mekanisme insentif dan
sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan
baik.
Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan
dampak kebijakan dan proses selanjutnya adalah evaluasi
terhadap implementasi, kinerja dan dampak kebijakan.
Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan
baru di masa yang akan datang agar kebijakan yang akan
datang lebih baik dan lebih berhasil.
Menurut Michael Howlet dan M. Ramesh yang
dikutip A.G. Subarsono, tahapan kebijakan pemerintahan
(kebijakan publik) meliputi hal-hal berikut ini.
a. Penyusunan agenda (agenda setting), yaitu suatu
proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian
dari pemerintah.
b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yaitu proses
perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.
c. Pembuatan kebijakan (decision making), yaitu proses
ketika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu
tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan.
d. Implementasi kebijakan (policy implementation),
yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai hasil.
e. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yaitu proses
memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.

Secara umum, dapat disimpulkan dari beberapa


pendapat pakar kebijakan bahwa tahapan kebijakan
meliputi tahap formulasi atau perumusan kebijakan, tahap
implementasi atau pelaksanaan kebijakan, serta tahap
evaluasi kebijakan.

F. PERUMUSAN KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

Sejauh mana suatu kebijakan berhasil dalam


masyarakat sangat ditentukan oleh perumusan kebijakan
itu. Banyak kebijakan yang secara umum dipandang para
ahli cukup baik, tetapi tidak berhasil diterapkan dalam
masyarakat sehingga tidak berhasil mencapai tujuan yang
diharapkan. Sebaliknya, ada kebijakan yang kelihatannya
kurang bermutu dilihat dari substansinya, namun diterima
masyarakat karena mewakili aspirasinya, sekalipun dalam
pencapaian tujuan terdapat banyak kekurangan.
Dilihat dari sini ada dua faktor yang menentukan
keberhasilan suatu kebijakan. Pertama, mutu dari
kebijakan dilihat dari substansi kebijakan yang
dirumuskan. Hal ini bisa dilihat pada kebenaran
mengidentifikasi masalah secara tepat. Kebenaran
identifikasi masalah secara tepat, artinya masalah yang
diidentifikasi itu tidak sekadar benar dalam arti plausible
atau masuk akal, tetapi juga dapat ditangani (actionable)
dilihat pada berbagai sarana dan kondisi yang ada dan
mungkin dapat diusahakan. Ketepatan masalah memang
selalu dapat diperdebatkan, tetapi yang dimaksudkan di
sini adalah bahwa sekurang-kurangnya prosedur yang
ditempuh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di
samping itu, terdapat rumusan strategi yang tepat pula.
Strategi yang dirumuskan didasarkan pada perhitungan
berbagai alternatif secara luas dengan menggunakan
berbagai kriteria seperti sudah dibicarakan terdahulu.
Kedua, ada dukungan pada strategi kebijakan yang
dirumuskan. Tanpa dukungan yang cukup, kebijakan tak
dapat diwujudkan. Pengalaman yang menarik dari kedua
hal ini dapat dilihat pada riwayat perencanaan
pembangunan yang pernah terjadi di Indonesia. Rencana
pembangunan ekonomi yang pernah disusun oleh Prof
Sumitro Djojohadikusumo pada awal kemerdekaan untuk
dilaksanakan antara 1956-1960, tidak mendapat
dukungan cukup dari parlemen pada waktu itu. Rumusan
rencana cukup baik dilihat dari substansi ekonomi, tetapi
baru mendapat persetujuan parlemen pada tahun 1958.
Dan karena sementara itu muncul peristiwa-peristiwa
daerah, rencana itu tidak direalisasikan. Rencana itu
dipandang orang terlalu sempit, hanya mencakup bidang
ekonomi sehingga tidak mampu menghimpun dukungan
luas dari parlemen yang sangat bervariasi pada waktu itu.
Proses perumusan kebijakan tidak hanya berlangsung
secara terbatas melalui satu kelompok saja dalam
masyarakat. Keadaan yang demikian biasa terjadi dalam
sistem dua partai. Dalam hal ini, pihak oposisi biasanya
mempersiapkan konsep kebijakan tandingan untuk
menghadapi suatu rancangan kebijakan dari pemerintah.
Dengan cara ini, rakyat dapat menilai kebijakan pihak
mana yang dianggap paling mewakili mereka dalam kasus
yang sedang dialami. Akan tetapi, satu hal yang umumnya
terjadi adalah pada setiap rumusan kebijakan kepentingan
golongan kuat dalam masyarakat sering lebih unggul
daripada kepentingan golongan lemah. Kepentingan
golongan kuat menjadi lebih tercermin di dalam setiap
rumusan kebijakan.
Teknik perumusan suatu kebijakan erat hubungannya
dengan sifat atau bentuk dari kebijakan itu sendiri. Pada
kebijakan yang bersifat rutin, teknik atau cara
perumusannya juga bersifat rutin, begitu juga halnya
dengan kebijakan yang strategis mempunyai teknik atau
cara perumusan yang strategis pula. Sesuai dengan bentuk
atau sifat dari kebijakan itu kita mengenal tiga teknik
perumusan kebijakan publik: rutin, analogis, dan kreatif.
Teknik perumusan kebijakan rutin, sesuai dengan
namanya berulang setiap waktu/periode tertentu. Contoh
dari kebijakan yang teknik perumusannya demikian dapat
disebutkan antara lain UU tentang APBN dan Keppres
tentang REPELITA. Karena masa berlaku kebijakan itu
sudah tertentu, yaitu satu tahun untuk APBN dan lima
tahun untuk REPELITA, proses perumusannya juga
terjadi berulang selama masa satu dan lima tahun sekali.
Kemudahan yang dapat diperoleh dalam teknik
perumusan kebijakan yang bersifat rutin ini adalah
perumusannya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
Sebab itu dalam hubungan dengan pelayanan umum,
orang cenderung membuat formula-formula baku yang
berlaku selama beberapa periode. Dengan mengikuti
formula tersebut, tugas perumusan dapat diserahkan
kepada tim teknis yang terdiri dari beberapa orang saja.
Kelemahan dari cara ini terletak pada kecenderungan
yang berlebihan untuk mempermudah tugas perumusan
sehingga mengabaikan perbedaan masalah tertentu yang
bersifat khusus yang timbul sewaktu-waktu. Bisa jadi,
selama periode awal akibat yang timbul belum terlihat,
tetapi baru akan dirasakan setelah menjadi lebih besar.
Bentuk kedua adalah perumusan kebijakan yang
bersifat analogis. Perumusan kebijakan di sini
dianalogikan dengan rumusan kebijakan lain yang
dipandang ada persamaannya. Pertimbangan yang dipakai
untuk menggunakan cara atau teknik perumusan
kebijakan yang dianggap sama ini bisa bermacam-
macam. Ada kalanya orang mengasumsikan persamaan
lokasinya, persamaan aspeknya, persamaan kondisi
lingkungan sosial budayanya, dan lain-lain.
Pada tingkat perumusan kebijakan secara ilmiah ini,
diperlukan beberapa persyaratan. Data yang digunakan
harus cukup obyektif, artinya cara pengumpulan dan
pengolahannya tidak subyektif, cara pengambilan
keputusan cukup logis atau rasional, prosesnya dapat
dijelaskan, dan sebagainya. Pada taraf ini perumusan
kebijakan merupakan suatu yang baru. Proses perumusan
pada taraf ini disebut perumusan kebijakan yang kreatif.
Sifatnya inovatif atau merupakan terobosan-terobosan
baru. Namun demikian, perlu diingat bahwa yang
dimaksud dengan baru di sini tidak berarti baru sama
sekali atau berbeda sama sekali dengan apa yang sudah
ada. Setiap kreatifitas atau inovasi tetap bertolak dari apa
yang sudah ada sebelumnya.

G. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

Donald S. Van Meter dan Cari E. Van Horn


mengemukakan pengertian implementasi kebijakan
sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun
swasta, baik secara individual maupun kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana
dirumuskan dalam kebijakan. Mengenai pentingnya
implementasi kebijakan, Wahab mengungkapkan bahwa
implementasi kebijakan merupakan hal yang penting,
bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan
kebijakan. Kebijakan akan sekedar berupa impian atau
rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan.
Ada banyak variabel atau faktor yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan, baik yang bersifat
individual maupun kelompok atau institusi. Dalam
pandangan George C. Edwards III, implementasi
kebijakan dipengaruhi empat variabel, yaitu: komunikasi,
sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Menurut
Merilee S. Grindle, keberhasilan implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu:
1. Isi kebijakan (content ofpolicy) yang mencakup:
a. sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target
groups termuat dalam isi kebijakan;
b. jenis manfaat yang diterima oleh target group;
c. sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan;
d. apakah letak program sudah tepat;
e. apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementatornya dengan rinci;
f. apakah sebuah program didukung oleh sumber daya
yang memadai.

2. Lingkungan implementasi (context of implementation)


yang mencakup:
a. seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi
yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan;
b. karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa;
c. tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Sementara itu, Daniel A. Mazmanian dan Paul A.
Sabatier mengungkapkan ada tiga kelompok variabel
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan, yaitu karakteristik dari masalah, karakteristik
kebijakan/Undang-undang, dan variabel lingkungan.
Donald S. Van Meter dan Cari E. Van Horn
sebagaimana dikutip oleh A.G Subarsono mengajukan
model implementasi kebijakan (a model of policy
process), di mana dalam model implementasi kebijakan
ini terdapat variabel yang membentuk hubungan antara
kebijakan dengan pelaksanaan. Variabel-veriabel tersebut
adalah sebagai berikut:
1. ukuran dan tujuan kebijakan;
2. sumber-sumber daya;
3. karakteristik agen pelaksana;
4. komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-
kegiatan pelaksanaan;
5. disposisi implementator (sikap para pelaksana);
6. kondisi sosial, politik dan ekonomi .

Untuk lebih jelasnya, model implementasi kebijakan


menurut Van Meter dan Van Horn dapat dilihat dalam
gambar di bawah ini.

Sumber: A.G. Subarsono, (2006: 100)


Gambar 8.3
Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn
H. EVALUASI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja


suatu kebijakan. Evaluasi baru dapat dilakukan kalau
suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu.
Sebagian besar dari kita memahami evaluasi
kebijakan publik sebagai evaluasi atas implementasi
kebijakan saja. Sesungguhnya evaluasi kebijakan publik
mempunyai tiga lingkup makna, yaitu evaluasi
perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan,
dan evaluasi lingkungan kebijakan. Karena ketiga
komponen tersebutlah yang menentukan apakah
kebijakan akan berhasil guna atau tidak.
Meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses
kebijakan, evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada
kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi
kebijakan publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan
pada sisi posMindakan, yaitu lebih pada “proses”
perumusan daripada muatan kebijakan yang biasanya
“hanya” menilai apakah prosesnya sudah sesuai dengan
prosedur yang sudah disepakati.
Secara umum, William N. Dunn menggambarkan
kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik sebagai berikut.
Tabel 8.2
Kriteria-kriteria (Indikator) Evaluasi Kebijakan

No Kriteria Penjelasan
Apakah hasil yang diinginkan telah
1 Efektivitas tercapai?
Seberapa banyak usaha yang
2 Efisiensi diperlukan untuk mencapai hasil yang
diinginkan?
Seberapa jauh pencapaian hasil yang
3 Kecukupan
diinginkan memecahkan masalah?
Apakah biaya dan manfaat
4 Pemerataan didistribusikan merata kepada
kelompok masyarakat yang berbeda?
Apakah hasil kebijakan memuaskan
5 Responsivitas kebutuhan, preferensi, atau nilai
kelompok-kelompok tertentu?

6 Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang iinginkan


benar-benar berguna atau bernilai?
Sumber: William N. Dunn, (1994: 405)

Berkaitan dengan evaluasi kebijakan, Samodra


Wibawa mengemukakan bahwa evaluasi kebijakan
pemerintahan (kebijakan publik) memiliki empat fungsi,
sebagai berikut.
1. Eksplanasi
Melalui evaluasi dapat dipotret realitas
pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu
generalisasi tentang pola-pola hubungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari
evaluasi ini, evaluator dapat mengidentifikasi
masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan
Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan
yang dilakukan para pelaku, baik birokrasi maupun
pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur
yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit
Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output
benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran
kebijakan atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.
4. Akunting
Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-
ekonomi dari kebijakan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai