Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Kebijakan Publik

Kebijakan publik menurut Dye didefinisikan sebagai “Whatever

governments chooses to do or not to do”. 1 Kebijakan dianggap apapun

yang dilakukan pemerintah baik mengiyakan atau mentidakkan bahkan

mendiamkan terhadap suatu masalah maka disebut juga kebijakan.

Namun, dalam buku berikutnya, (tahun 1976) yang berjudul What

Government Do, Why They Do It, What Difference It Makes, Dye dengan

tegas mengatakan bahwa kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang

dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan

tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut? 2 Kemudian Parsons dalam

Winarno mengatakan bahwa pendapat Dye ini selaras dengan apa yang

dikatakan oleh Heiden-heimer, et al., (1990: 3) bahwa kebijkan publik

merupakan studi tentang bagaimana, mengapa, dan apa konsekuensi dari

tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah.3

Menurut pendapat Hamdi yang mengartikan: “kebijakan publik

sebagai pola tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah dan terwujud

dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam rangka

1
Thomas R. Dye dalam Budi Winarno, Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses,
dan studi Kasus Komparatif, (Yogyakarta: CAPS (Center of Academic Publishing
services, 2016), hlm. 21.
2
Ibid.
3
Ibid.

12
13

penyelenggaran pemerintahan negara”.4 Sebagaimana definisi diatas,

dalam hal pemecahan suatu permasalahan perlu diupayakan suatu pola

tindakan dalam pembuatan kebijakan publik.

Definisi di atas telah memberikan gambaran bahwa kebijkan

publik ada disebabkan semua tindakan yang dilakukan pemerintah dalam

rangka menyelesaikan dan mengatasi permasalahan yang timbul di

masyarakat. Sehingga melahirkan berbagai bentuk kebijakan yang

dioperasionalkan dalam bentuk keputusan-keputusan. Oleh karena itu,

Kebijakan publik merupakan proses yang amat kompleks dan

membutuhkan kajian didalamnya.

Menurut William Dunn ada beberapa tahapan kebijakan public

yakni sebagai berikut :

1. Tahap Penyusunan Agenda, dalam proses ini berbagai


permasalahan publik berkompetisi untuk dimasukan kedalam
agenda kebijakan berdasarkan permasalahan yang masuk ke
dalam agenda kebijakan berdasarkan permasalahan yang paling
penting dan berdasarkan alasan-alasan tertentu.
2. Tahap Formulasi Kebijakan, tahap ini merupakan proses
pendefinisian masalah dalam agenda kebijakan untuk dicari
pemecahan masalah yang terbaik yang berasal dari alternatif
kebijakan yang ada.
3. Tahap Adopsi Kebijakan, dari berbagai alternatif kebijakan, adalah
satu dari kebijakan tersebut dipilih kemudian diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
4. Tahap Implementasi, merupakan tahapan pelaksanaan keputusan
program kebijakan yang telah diambil.
5. Tahap Evaluasi, pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan
akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan
yang telah ditetapkan dapat memecahkan masalah. 5

4
Ibid., hlm. 37.
5
William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press), hlm. 22-29.
14

2.1.2 Model Implementasi Kebijakan Publik

Kemudian menurut Edwards III implementasi kebijakan dapat

dikaji dalam dua pertanyaan yaitu: keadaan apa yang dibutuhkan agar

kebijakan dapat terimplementasikan dengan baik dan hambatan apa yang

menjadi penghalang suatu kebijakan berhasil diimplementasikan. 6

Sehingga berdasarkan dari penjelasan diatas dalam

impelementasi kebijakan terdapat faktor pendukung dan faktor

penghambat, yang dapat diteliti dengan menggunakan empat faktor

berdasarkan teori Edward III meliputi komunikasi, sumber daya,

komitmen, strukur birokrasi.

bahwa masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama

lain dalam mendukung keberhasilan dari suatu implementasi kebijakan.

Keempat faktor diatas dapat menjadi faktor pendukung maupun

penghambat dari implementasi kebijakan tergantung pada bagaimana

faktor tersebut dilaksanakan. Edward III menjelaskan hal-hal yang harus

diperhatikan dalam keempat faktor tersebut 7.

1. Komunikasi
Terdapat tiga hal yang menjadi acuan dalam komunikasi, yakni:
a. Transmisi, yaitu penyaluran atau penyampaian informasi
diantara sesama pelaksana-pelaksana sehingga proses
implementasi dapat berjalan dengan baik. Hambatan yang ada
dalam proses transmisi komunikasi ini antara lain adanya
perbedaan pendapat antara pelaksana kebijakan dengan
keinginan pembuat kebijakan yang akhirnya membuat distorsi
dalam pelaksanaan kebijakan. Yang kedua, struktur hirarki
yang panjang dan tidak tersedianya saluran komunikasi antara

6
Edwards III dalam Budi Winarno, Kebijakan Publik Era Globalisasi: Teori, Proses, dan studi Kasus
Komparatif, ( Yoggyakarta: CAPS (Center of Academic Publishing services, 2016), hlm. 192.
7
Ibid, hlm 175.
15

atasan dan bawahan juga membuat adanya hambatan atau


distorsi oleh pelaksana kebijakan.
b. Kejelasan, berkaitan dengan jelasnya pesan komunikasi yang
disampaikan dan dan kejelasan petunjuk pelaksanaan yang
ditujukan kepada pelaksana kebijakan. Beberapa faktor yang
mendorong terjadinya ketidakjelasan menurut Edwards antara
lain kompleksnya kebijakan publik, keinginan untuk tidak
mengganggu kelompok masyarakat, kurangnya konsensus
tentang tujuan kebijakan, masalah dalam memulai kebijakan
yang baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan
sifat kebijakan itu sendiri.
c. Konsistensi, untuk pelaksanaan kebijakan yang berhasil maka
perintah-perintah yang diberikan harus dikomunikasikan
dengan konsisten agar menghindari perintah yang multitafsir.
Apabila perintah yang diberikan bertentangan dan
inkonsistensi, biarpun perintah disampaikan dengan jelas maka
akan membuat kebijakan tersebut berdampak baik.
2. Sumber Daya
Beberapa indikator sumber daya adalah:
a. Staf, berbicara tentang staf maka akan berbicara tentang
kualitas dan kuantitas. Banyaknya jumlah staf tidak menjamin
pelaksanaan kebijakan akan mencapai tujuan, tetapi juga perlu
didukung dengan keahlian-keahlian staf yang diperlukan dalam
melaksanakan kebijakan.
b. Informasi, yang pertama adalah mengenai petunjuk untuk apa
yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya.
Yang kedua adalah informasi mengenai ketaataan personil
terhadap peraturan-peraturan dalam melaksanakan kebijakan
tersebut
c. Wewenang, memiliki beberapa bentuk seperti memberikan
perintah kepada personil lain ataupun mengatur personil lain
sesuai dengan batasan yang diberikan dengan peraturan.
d. Fasilitas, merupakan suatu hal unsur penting dalam
pelaksanaan suatu kebijakan. Pelaksana mungkin memiliki
banyak staf, mengetahui apa yang harus dilakukan beserta
dengan caranya, memiliki wewenang dalam menjalankan
tugas, tetapi jika tidak ada fasilitas seperti bangunan,
kendaraan dan peralatan maka kebijakan tersebut hanya akan
menjadi kebijakan yang tidak mungkin dilaksanakan.
3. Disposisi
Disposisi diartiakan sebagai suatu sikap yang bersifat dukungan
atau tidak mendukung terhadap suatu kebijakan bagi pelaksana
pelaksana kebijakan. Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam
indikator disposisi menurut Edward III adalah:
a. Pengangkatan birokrat, dalam sistem pengangkatan birokrat
haruslah memiliki kompetensi, integritas dan loyalitas terhadap
16

kebijakan yang dijalankan. Hal ini penting karena ketika


pelaksana tidak mampu melaksanakan kebijakan sesuai yang
diinginan maka pencapaian tujuan tidak akan maksimal.
b. Insentif, menurut Edward salah satu teknik untuk mengatasi
masalah kecenderungan adalah dengan membuat insentif yaitu
dengan menambah keuntungan atau biaya tertentu yang
menjadi faktor pendorong yang mebuat para pelaksana
melaksanakan kebijakan tersebut dengan baik.
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi adalah faktor yang fundamental dalam mengkaji
suatu implementasi kebijakan karena terdapat karakteristik yang
sangat berkaitan dengan kebijakan. Hal penting terkait struktur
organisasi menurut Edward III8 yang akan mendukung organsasi
berjalan dengan baik adalah:
a. Standard Operating Procedures (SOP) yang berisikan standar
dalam setiap melakukan sesuatu dalam suatu organisasi.
b. Fragmentasi dari luar organisasi yang merupakan suatu
tanggung jawab yang menyebar pada berbagai organisasi tidak
hanya di dalam internal organisasi.

2.1.3 Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan diartikan sebagai suatu produksi yang dapat

mengahasilkan nilai dan manfaat suatu kebijakan 9. Evaluasi memainkan

fungsi utama dalam analisis kebijakan 10 Pertama, evaluasi dapat

memberikan informasi valid dan terpercaya mengenai bagaimana kinerja

kebijakan, mengenai sejauh mana kebutuhan, nilai dan kesempatan yang

telah dicapai. Kedua, memberikan informasi dan kritik terhadap nilai-nilai

yang mendasari pemilihan tujuan dan target evaluasi meberikan

sumbangan pada aplikasi metode analisis kebijakan lainnya.

Kebijakan bila dianggap sebagai suatu pola yang berurutan maka

tahap evaluasi merupakan tahap terakhir dalam studi kebijakan publik.


8
Edward III dalam Wirman Syafri dan Paulus Israwan Setyoko, Implementasi Kebijakan Publik
dan Etika Profesi Pamong Praja, (Sumedang: Airport, 2010), hlm. 40.
9
William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2003), hlm. 608.
10
Ibid.hlm 9
17

Namun tidak semua ahli setuju dengan anggapan yang demikian. Hal ini

dikarenakan pada esensinya evaluasi dibutuhkan untuk melihat

bagaimana jalannya suatu tahap dalam kebijakan publik dan masalah-

masalah yang dihadapkannya.

Selanjutnya Lester dan Stewart dalam Winarno menyebutkan

bahwa evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab

kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan

publik yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan11. Dari

pengertian lester dan stewart jelas menerangkan evaluasi sebagai suatu

kegiatan untuk mencari informasi mengenai apakah kebijakan telah di

jalankan dengan benar atau sebaliknya dan jika sebaliknya apa yang

yeng menyebabkan suatu kebijakan tidak sesuai dengan kenyataan

seharusnya. Selanjutnya pengertian evaluasi secara lengkap mencakup

hal sebagai berikut12:

1. Evaluasi awal, yaitu dari perumusan kebijakan sampai saat


sebelum diimplementasikan (ex-ante evaluation).
2. Evaluasi dalam proses implementasi atau monitoring.
3. Evaluasi akhir yang dilakukan setelah selesai proses
implementasi kebijakan (ex-post evaluation)

William N. Dunn mengelompokkan evaluasi kebijakan dengan

menggunakan kriteria13 yang berbeda-beda untuk menganalisis hasil

kebijakan. Kriteria untuk evaluasi kebijakan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu

kriteria untuk evaluasi dan kriteria untuk rekomendasi. Kriteria untuk

11
Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori, Proses dan Studi Kasus, (Yogyakarta: CAPS,
, 2012), hlm. 192.
12
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, ( Jakarta.Salemba Humanika, 2012), hlm.165
13
Op.cit, hlm. 611.
18

evaluasi diterapkan secara retrospektif (ex-post) dan evaluasi

rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex-ente). Kriteria untuk

rekomendasi terdiri dari:

1. Efektifitas (effectiveness)
Berkenaan bagaimana alternatif mencapai hasil (akibat) yang
diharapkan, atau mencari tujuan dari diadakannya tindakan.
Efektifitas,yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas
teknis.
2. Efisiensi (efificiency)
Berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
mengahasilkan tingkat efektifitas tertentu
3. Kecukupan (adequacy)
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas
memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang akan
menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan
pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dengan hasil
yang diharapkan
4. Pemerataan (equity)
Berkenaan dengan bagaimana biaya dan manfaat didistribusikan
secara merata kepada kelompok-kelompok tertentu
5. Responsivitas (responsiveness)
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Secara lebih aktual dari kelompok yang
semestinya diuntungkan dari kebijakan yang dibuat
6. Ketepatan(appropriateness)
Berkenaan dengan rasionalitas substantif atau apakah hasil yang
diinginkan berguna atau bernilai.

Tabel 2.1
Model Evaluasi

Tipe Kriteria Pertanyaan


Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?
Efesiensi Seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk
mencapai hasil tujuan?
Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan
memecahkan masalah?
Perataan Apakah biaya manfaat didistribusikan dengan merata
kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
Responsifitas Apakah hasil program memuaskan kebutuhan,
prefensi atau nilai kelompok tertentu?
Ketetapan Apakah hasil yang diinginkan benar-benar berguna
19

atau bernilai?
Sumber: Dunn,2013.

Selanjutnya dalam melakukan evaluasi terdapat dua macam jenis

evaluasi, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif

adalah evaluasi yang meliputi usaha-usaha yang secara terus menerus

memantau pencapaian tujuan-tujuan dan target-target formal, sedangkan

evaluasi sumatif adalah evaluasi yang meliputi usaha-usaha untuk

memantau pencapain tujuan dan target secara formal setelah kebijakan

dilakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dengan demikian dalam penelitian Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU) di Kota Bengkulu Peneliti akan melihat bagaimana

pelaksanaan Program KOTAKU dengan tujuan utama untuk mengentas

kawasan permukiman kumuh di Kota Bengkulu menggunakan evaluasi

penelitian sumatif untuk memperoleh analisis akhir yang dapat

direkomendasikan apabila Program KOTAKU tidak memberikan hasil

yang optimal.

2.1.4 Konsep Tata Ruang Kota

Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan ruang,

dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang

adalahkegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan

pengawasan penataan ruang. Hal tersebut di atas telah digariskan dalam


20

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 14

Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota mengacu pada:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang

wilayah provinsi; 

b. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan 

c. rencana pembangunan jangka panjang daerah. 

Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota harus

memperhatikan hal berikut ini:

a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian

implikasi penataan ruang kota; 

b. keselarasan aspirasi pembangunan  kota ; 

c. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

d. Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi

kota; 

e. rencana pembangunan jangka panjang daerah; 

f. rencana tata ruang wilayah  kota yang berbatasan; dan 

g. rencana tata ruang kawasan strategis  kota. 

Rencana rinci tata ruang ditetapkan dengan peraturan daerah kota

dan menjadi pedoman untuk:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; 

b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; 

14
http://www.penataanruang.com/perencanaan-tata-ruang-wilayah-kota.html , diakses pada 5
November 2019.
21

c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di

wilayah kota; 

d. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan

antarsektor;

e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan 

f. penataan ruang kawasan strategis  kota. 

2.1.5 Pembangunan Wilayah Perkotaan (Urban Develompment)

Menyadari begitu banyak permasalahan yang terjadi di perkotaan,

maka diperlukan usaha keras untuk menanggulangi hal tersebut melalui

pembangunan integral wilayah perkotaan.15

Adapun tujuan umum pembangunan kawasan perkotaan antara lain:

a. Menciptakan lingkungan tempat tinggal sekaligus tatanan

kehidupan masyarakat yang berkualitas.

b. Menciptakan kondisi dimana setiap orang merasa aman dan

nyaman untuk tinggal dan hidup di daerah perkotaan.

c. Menciptakan keadaan dimana setiap orang mampu bekerja

dengan baik, membangun keluarga, serta memelihara

keberlangsungan hidup hingga generasi berikutnya.

Kawasan perkotaan yang ideal seharusnya memiliki beberapa

kriteria utama, yakni:

15
https://www.ajarekonomi.com/2016/06/pembangunan-wilayah-perkotaan-urban.html,
diakses pada tanggan 4 November 2019.
22

a. Efisien dalam pemanfaatan tanah. Karena jumlah lahan perkotaan

yang terbatas, maka setiap pemanfaatan tanah harus diperhatikan

fungsi pokoknya.

b. Jumlah kendaraan bermotor pribadi yang tidak terlalu banyak. Hal

ini diwujudkan dengan menyediakan transportasi massal yang

layak dan terjangkau.

c. Penggunaan sumberdaya energy secara efisien. Mengingat

terbatasnya ketersediaan sumberdaya energy, maka efisiensi

dalam penggunaannya bias bermanfaat hingga generasi

selanjutnya. Termasuk dalam konteks ini adalah memaksimalkan

pemanfaatan sumberday energy terbarukan (renewable

resources).

d. Pemeliharaan lingkungan hidup. Salah satu upaya memelihara

lingkungan hidup, sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi

adalah melalui metode urban agriculture.

e. Perumahan yang layak huni. Tujuan utama hadirnya pemerintah

kota adalah untuk menyejahterakan warganya, maka

menyediakan tempat tinggal dan lingkungan yang layak huni

merupakan salah satu target yang harus dipenuhi.

f. Perekonomian yang menjadi daya dukung masyarakat.

Perekonomian yang terbuka dan kompetitif serta penciptaan

lapangan pekerjaan, akan mempercepat tercapainya

kesejahteraan masyarakat.
23

g. Partisipasi dan keterlibatan public. Keterlibatan ajtif masyarakat

diharapkan mampu memelihara sekaligus mengawasi

pembangunan perkotaan.

h. Pemeliharaan budaya local. Hal ini bermanfaat sebagai perekat

kesatuan dan kekerabatan masyarakat.

Disamping itu terdapat faktor-faktor yang harus diperhatikan

dalam perencanan pembangunan perkotaan (Urban development

planning), antara lain sebagai berikut:

a. Urbanisasi semestinya menjadi instrument untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan, bukan menjadi beban

perekonomian.

b. Pembangunan wilayah perkotaan seharusnya melibatkan

pembangunan daerah sekitarnya (seat-belt area), sehingga

menghasilkan pemerataan taraf kehidupan, baik di pusat kota

maupundi wilayah penyangga.

c. Adanya rencana kerja yang terstruktur dalam mewujudkan target-

target pembangunan.

d. Struktur pemerintahan kota yang efektif dan efisien, sehingga

mampu memberikan pelayanan terbaik kepada warga

masyarakatnya.

e. Tugas-tugas pokok pemerintah daerah harus jelas dan tidak

tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah pusat.


24

f. Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) untuk menunjang

pembangunan dan kesejahteraan masayrakat.

g. Partisipasi sektor swasta (Private Sector Participation), misalynya

melalui skema corporate social responsibility (CSR) dalam

mendukung pembangunan kawasan, sekaligus membantu

kehidupan masyarakat miskin kota.

h. Keterlibatan investor, baik local maupun internasional, untuk

mengakselerasi proses pembangunan wilayah perkotaan.

2.1.6 Definisi Program

Program dapat diartikan sebagai bentuk penjabaran dari suatu

rencana. Dapat pula diartikan sebagai sebuah kerangka dasar dari

pelaksanaan suatu kegiatan. Menurut Hogwood dan Gunn dalam

Suharto16 program adalah seperangkat kegiatan yang mencakup rencana

penggunaan sumber daya lembaga dan strategi pencapaian tujuan. Jones

dalam Arif Rohman17 menyebutkan program merupakan salah satu

komponen dalam suatu kebijakan. Program merupakan upaya yang

berwenang untuk mencapai tujuan.

Menurut Charles O. Jones dalam Suryana 18 ada tiga pilar aktivitas

dalam mengoperasikan program yaitu :

1. Pengorganisasian
Struktur oganisasi yang jelas diperlukan dalam
mengoperasikan program sehingga tenaga pelaksana dapat
16
Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008) ,Hlm. 5.
17
Arif Rohman, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2009). Hlm.
101
18
Siti Erna Latifi Suryana, “Implementasi Kebijakan tentang Pengujian Kendaraan Bermotor di Kab Aceh
Tamiang”, Tesis, Studi Pembangunan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara , 2009) Hlm. 28.
25

terbentuk dari sumber daya manusia yang kompeten dan


berkualitas.
2. Interpretasi
Para pelaksana harus mampu menjalankan program sesuai
dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana agar tujuan
yang diharapkan dapat tercapai.
3. Penerapan atau Aplikasi
Perlu adanya pembuatan prosedur kerja yang jelas agar
program kerja dapat berjalan sesuai dengan jadwal kegiatan
sehingga tidak berbenturan dengan program lainnya.

Salah satu model implementasi program yakni model yang

diungkapkan oleh David C. Korten dalam Akib dan Tarigan 19. Model ini

memakai pendekatan proses pembelajaran dan lebih dikenal dengan

model kesesuaian implementasi program. Model kesesuaian Korten

digambarkan pada gambar 2.1 berikut :

Gambar 2.1
Model Kesesuaian Implementasi Program

PROGRAM

Output Tugas

Kebutuhan Kompetensi
PEMANFAAT ORGANISASI
Tuntutan Putusan

Sumber: Haedar Akib dan Antonius Tarigan, 2000.

Korten menggambarkan model ini berintikan tiga elemen yang ada

dalam pelaksanaan program yaitu program itu sendiri, pelaksanaan

19
Haedar Akib dan Antonius Tarigan, Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan : Perspektif, Model dan Kriteria
Pengukurannya, (Jurnal, 2000) , Hlm. 12.
26

program, dan kelompok sasaran program. Korten menyatakan bahwa

suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari

tiga unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program

dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh

program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran

(pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi

pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program

dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara

kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana.

Berkaitan dengan penelitian, program yang dikaji adalah mengenai

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yakni program Pengentasan

Permukiman Kumuh Perkotaan di Kota Bengkulu.

2.1.7 Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Sejak tahun 1999 hingga 2006 telah berjalan Proyek

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan yang dikenal dengan program

P2KP. Kemudian tahun 2007 program tersebut berkembang menjadi

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-

MP) yang dalam pelaksanaannya mengacu pada tridaya (Sosial,

Ekonomi, dan Infrastruktur). Tahun 2015 Program PNPM-MP berganti

dengan P2KKP (Program Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan)

dimana fokus pengembangannya pada upaya peningkatan kualitas

pemukiman kumuh. Tahun 2016 pada bulan April tepatnya, program

P2KKP tersebut berganti dengan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)


27

yang lebih menitik beratkan pada peningkatan kualitas permukiman

kumuh khususnya di perkotaan dan pencegahan timbulnya kumuh baru. 20

Dari program KOTAKU disusunlah baseline Gerakan 100-0-100, yaitu

100% akses air minum, 0% luas kawasan kumuh perkotaan dan 100%

akses sanitasi. KOTAKU merupakan program penjabaran gerakan 100-0-

100 ini.

Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) adalah satu dari sejumlah upaya

strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman

kumuh di Indonesia dan mendukung “Gerakan 100-0-100”, yaitu 100

persen akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100

persen akses sanitasi layak. Arah kebijakan pembangunan Dirjen Cipta

Karya adalah membangun sistem, memfasilitasi pemerintah daerah, dan

memfasilitasi komunitas (berbasis komunitas). Program Kotaku akan

menangani kumuh dengan membangun platform kolaborasi melalui

peningkatan peran pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat.

Program KOTAKU dilaksanakan di 34 provinsi, yang tersebar di

269 kabupaten/kota, pada 11.067 desa/kelurahan. Berdasarkan Surat

Keputusan (SK) Kumuh yang ditetapkan oleh kepala daerah masing-

masing kabupaten/kota, permukiman kumuh yang berada di lokasi

sasaran Program Kotaku adalah seluas 23.656 Hektare.

20
Kementerian Pekerjaan Umum Ditjen Cipta Karya, Sekilas Informasi Program Tanpa Kumuh (KOTAKU),
(Jakarta : Satja Pengembangan Kawasan Permukiman), Hlm. 2-3
28

Sebagai implementasi percepatan penanganan kumuh, Program

Kotaku akan melakukan peningkatan kualitas, pengelolaan serta

pencegahan timbulnya permukiman kumuh baru, dengan kegiatan-

kegiatan pada entitas desa/kelurahan, serta kawasan dan kabupaten/kota.

Kegiatan penanganan kumuh ini meliputi pembangunan infrastruktur serta

pendampingan sosial dan ekonomi untuk keberlanjutan penghidupan

masyarakat yang lebih baik di lokasi permukiman kumuh.

Tujuan utama diadakannya Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

adalah untuk mengentaskan permukiman kumuh hingga 0 % di sektor

yang telah ditentukan, pengentasan kumuh yang dimaksud bukan hanya

kumuh dari segi tampak fisik saja, tapi meliputi berbagai aspek penting

dalam masyarakat, orientasi penaggulangan kumuh dalam program ini

antara lain berupa :

1. Peningkatan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di

permukiman perkotaan;

2. Menurunnya luas permukiman kumuh;

3. Terbentuknya dan berfungsinya Pokja PKP Kabupaten/kota;

4. Tersusunnya rencana penanganan permukiman tingkat

Kabupaten/kota dan tingkat masyarakat yang terintegrasi.

Tahapan pelaksanaan Program KOTAKU adalah pendataan.

Lembaga masyarakat di desa/kelurahan yang bernama Badan/Lembaga

Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM) sudah melakukan pendataan

kondisi awal (baseline) 7 Indikator Kumuh di desa/kelurahan masing-


29

masing. Data tersebut diintergrasikan antara dokumen perencanaan

masyarakat dan dokumen perencanaan kabupaten/kota untuk

menentukan kegiatan prioritas mengurangi permukiman kumuh dan

mencegah timbulnya permukiman kumuh baru. Yang nantinya akan

dilaksanakan, baik oleh masyarakat atau oleh pihak lain, yang memiliki

keahlian dalam pembangunan infrastruktur pada entitas kawasan dan

kota. Monitoring dan evaluasi akan dilakukan secara berkala guna

memastikan ketepatan kualitas dan sasaran kegiatan, sehingga dapat

membantu percepatan penanganan permukiman kumuh. Kegiatan-

kegiatan pengembangan kapasitas untuk pemerintah daerah dan

masyarakat akan dilakukan bersama tahapan kegiatan. Termasuk

mendorong perubahan perilaku dalam pemanfaatan dan pemeliharaan

sarana prasarana dasar permukiman.

Program KOTAKU ini telah disosialisasikan kepada pemerintah

daerah pada 27 April 2016 bertempat di Jakarta. BKM akan menjadi faktor

yang dapat mempercepat tercapainya permukiman yang layak huni dan

berkelanjutan karena sudah berpengalaman dalam merencanakan dan

melaksanakan kegiatan penanggulangan kemiskinan. BKM ini

“direvitalisasi” dari sebelumnya yang terfokus pada penanggulangan

kemiskinan, kini berorientasi ke penanganan kumuh. Sumber pembiayaan

Program KOTAK berasal dari pinjaman luar negeri lembaga donor, yaitu

Bank Dunia (World Bank), Islamic Development Bank, dan Asian

Infrastructure Investment Bank. Selain itu kontribusi pemerintah daerah


30

dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun

swadaya masyarakat, yang akan menjadi satu kesatuan pembiayaan demi

mencapai target peningkatan kualitas penanganan kumuh yang

diharapkan.

Penjabaran atas tujuan Program KOTAKU adalah memperbaiki

akses masyarakat terhadap infrastruktur permukiman sesuai dengan 7 + 1

indikator kumuh, penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk

mengembangkan kolaborasi dengan pemangku kepentingan

(stakeholder), dan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat melalui

pengembangan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood).

Indikator tersebut adalah :

1. Bangunan gedung;

a. Ketidakteraturan dalam hal dimensi, orientasi, dan bentuk;

b. kepadatan tinggi tidak sesuai dengan ketentuan dalam rencana

tata ruang;

c. ketidaksesuaian dengan persyaratan teknis sistem struktur,

pengamanan petir, penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan

bahan bangunan.

2. Jalan lingkungan;

a. Kondisi permukaan jalan yang tidak dapat dilalui kendaraan

dengan aman dan nyaman;

b. Lebar jalan yang tidak memadai;

c. Kelengkapan jalan yang tidak memadai.


31

3. Penyediaan air minum;

a. Ketidaktersediaan akses air minum;

b. Tidak terpenuhinya kebutuhan air minum setiap individu;

c. Tidak terpenuhinya kualitas air minum sesuai standar

kesehatan.

4. Drainase lingkungan;

a. Ketidakmampuan mengalirkan limpasan air hujan;

b. Menimbulkan bau;

c. Tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan.

5. Pengelolaan air limbah;

a. Ketidaktersediaan sistem pengelolaan air limbah;

b. Ketidaktersediaan kualitas buangan sesuai standar yang

berlaku;

c. Tercemarnya lingkungan sekitar.

6. Pengelolaan persampahan;

a. Ketidaktersediaan sistem pengelolaan persampahan;

b. Ketidaktersediaan sarana dan prasarana pengelolaan

persampahan;

c. Tercemarnya lingkungan sekitar oleh sampah.

7. Pengamanan kebakaran.

a. Ketidaktersediaan sistem pengamanan secara aktif dan pasif;


32

b. Ketidaktersediaan pasokan air untuk pemadaman yang

memadai;

c. Ketidaktersediaan akses untuk mobil pemadam kebakaran.

8. Ruang Terbuka Hijau

a. Ketidaktersediaan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH);

b. Ketidaktersediaan lahan untuk ruang terbuka non-hijau/ruang

terbuka publik (RTP).21

Sebagai Program Tingkat Nasional yang di canangkan oleh

pemerintah pusat dan di delegasikan ke pemerintah daerah dalam hal

pelaksanaannya, Program KOTAKU tentunya memiliki landasan hukum.

Dasar hukum pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

adalah :

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2011

tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah

3. Peraturan Presiden Nomor 02 Tahun 2015 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019

4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Nomor 02 Tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Terhadap

Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh

21
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 tahun 2016 tentang Peningkatan
terhadap Kualitas Perumahan kumuh dan permukiman kumuh, Pasal 4 ayat (2).
33

Beberapa prinsip yang telah disebutkan berkaitan dengan

pendekatan yang di lakukan dalam Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU),

Pendekatan yang dimaksud antara lain sebagai berikut :

1. Pemerintah Daerah sebagai NAHKODA, maksudnya disini

Pemerintah Daerah memiliki fungsi dan tanggungjawab sebagai

NAHKODA dalam pelaksanaan Program KOTAKU di daerah

kepemimpinannya masing-masing, NAHKODA dalam konteks ini

dapat dimaknai sebagai Regulator, Fasilitator, Implementator dan

Inovator.

2. Peningkatan partisipasi masyarakat melalui revitalisasi peran BKM

(Badan Keswadayaan Masyarakat). Revitalisasi dalam konteks ini

dimaknai sebagai upaya untuk menghidupkan dan mengaktifkan

kembali peran Badan Keswadayaan Masyarakat sebagai wadah

masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya mengentaskan

permukiman kumuh dan mencegah kumuh kembali.

3. Kolaborasi penanganan kumuh (antara pemerintah daerah dan

pemangku kepentingan), Kolaborasi yang dimaksud adalah

kolaborasi yaang melibatkan masyarakat, Pemerintah daerah, dan

pihak swasta.

2.2 Landasan Normatif

2.2.1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2011

tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman


34

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang

merupakan kebutuhan dasar manusia, negara bertanggung jawab

melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan

perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu

bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di

dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di

seluruh wilayah Indonesia.22 Agar masyarakat mampu mencapai derajat

kelayakan yang maksimal dalam hal hunian dan lingkungan, maka

diupayakan bagaimana tercipta suatu bentuk kawasan permukiman yang

layak dan asri.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 1 ayat (3)

Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar

kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan,

yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian

dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Pasal 1 ayat (5) menyebutkan Permukiman adalah bagian dari

lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan

yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai

penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan

perdesaan.

22
Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
35

Hal yang menjadi permasalahan adalah permukiman yang

merupakan bagian dari lingkungan hunian kerap menjadi tempat yang

tidak terurus terlebih lagi di kawasan perkotaan yang kepadatan

penduduknya cukup tinggi, inilah yang menjadi pemicu timbulnya istilah

permukiman kumuh.

Pasal 1 ayat (13) memaparkan bahwa Permukiman kumuh

adalahpermukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan

bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas

bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. 23

BAB III Pasal 5 ayat (1) dan (2) menerangkan bahwa Negara

memiliki tanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan

permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan

dilaksanakan oleh (a) Menteri pada tingkat nasional; (b) gubernur pada

tingkat provinsi; dan (c) bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota. 24

Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam BAB III dilakukan

melalui perencanaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan. Pasal

7 ayat (1) juga menjelaskan bahwa perencanan yang dmaksud

merupakan satu kesatuan yang utuh dari rencana pembangunan nasional

dan rencana pembangunan daerah. Dan Perencanaan sebagaimana

dimaksud diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah

dengan melibatkan peran masyarakat. 25

23
Ibid., Pasal 1 ayat (13)
24
Ibid., Bab III Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
25
Ibid., Bab III Pasal 7 ayat (i)
36

Masyarakat sebagai bagian yang amat dipentingkan

kesejahteraannya, dalam hal ini tidak hanya dijadikan sebagai penonton

dan penerima hasil saja. Masyarakat pun turut dilibatkan dalam upaya

pemerintah untuk memperbaiki kualitas permukiman yang tidak layak dan

tergolong kumuh. Dengan pemerintah pusat sebagai penggagas,

pemerintah daerah sebagai pelaksana, dan masyarakat sebagai

penunjang keberlangsungan pelaksanaan program.

2.2.2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2014 menyatakan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan

Pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia”.26 Otonomi daerah telah memberikan

keluasan pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan

kewajiban yang diberikan pemerintah pusat untuk mengurus sendiri

urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat, termasuk dalam

bidang permukiman. Sebagaimana tercantum dalam bagian ketiga Urusan

Pemerintah Konkuren Pasal 12 tentang Urusan Pemerintah Wajib yang

berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah:

a. Pendidikan;

b. Kesehatan;

26
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1.
37

c. Pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat;

dan Sosial. 27

Pada point d tentang perumahan rakyat dan kawasan permukiman

memberi kejelasan bahwa dengan ini pemerintah Kota Bengkulu memiliki

tugas dalam menjalankan amanat tersebut demi meningkatkan kualitas

permukiman sebagai investasi jangka panjang dalam memajukan bangsa

dan Negara.

2.2.3 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional menyebutkan bahwa Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Merupakan memuat

strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program

kementerian/lembaga dan lintas kementerian/Lembaga, kewilayahan dan

lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup

gambaran perekonomian secara meneluruh. RPJMN juga dapat menjadi

acuan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan

nasional. 28

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019

dalam Buku I Agenda Pembangunan Nasional menyebutkan untuk


27
Ibid, pasal 12
28
Peraturan presiden nomor 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019.
38

Mewujudkan Indonesia asri dan lestari dilakukan dengan memperbaiki

pengelolaan pembangunan untuk menjaga keseimbangan antara

pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya

alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung,

dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan,

melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk

permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi;

meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan

yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam

dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberikan

keindahan dan kenyamanan; serta meningkatkan pemeliharaan dan


29
pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal pembangunan.

Sasaran Untuk Pembangunan Kawasan Permukiman yang

disebutkan dalam RPJMN 2015-2019 dalam bidang Infrastruktur dan

Konektivitas poin 1 adalah Tercapainya pengentasan permukiman kumuh

perkotaan menjadi 0 persen (ditahun 2019) melalui penanganan kawasan

permukiman kumuh seluas 38.431 hektar (baseline tahun 2014) dan


30
peningkatan keswadayaan masyarakat di 7.683 kelurahan.

Penyusunan sasaran nasional tersebut yang kemudian menjadi

acuan dalam upaya meningkatkan kualitas pemukiman kumuh perkotaan

melalui Program KOTAKU demi mewujudkan derajat permukiman yang

layak dan asri bagi masyarakat yang bermukim maupun yang berkunjung.

29
Kementerian Perencanaan Pembanguna Nasional/ Badan Perencanaan Pembanguna Nasional, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 : Buku I Agenda Pembangunan Nasinal, 2014.
30
Ibid., hlm 6-9.
39

2.2.4 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2016 tentang

Peningkatan terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman

Kumuh

Setiap penyelenggaran program tentunya memiliki acuan

pelaksanan. Hal serupa juga berlaku pada program yang tengah dibahas

mengenai permukiman kumuh. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum dan perumahan rakyat menyatakan bahwa peraturan

menteri tersebut dibuat sebagai bahan acuan dalam penyelenggaraan

peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh bagi

pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang. Tujuan dari dibuatnya

aturan tersebut sesuai yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2) adalah

“untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat

penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh”.

Hal yang dibahas dan menjadi ruang lingkup dalam peraturan

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini adalah meliputi 5

point, antara lain sebagai berikut :

a. Kriteria dan tipologi

b. Penetapan lokasi dan perencanaan penanganan

c. Pola-pola penanganan

d. Pengelolaan
40

31
e. Pola kemitraan, peran masyaralat, dan kearifan lokal

Peraturan ini mengatur tentang kriteria perumahan dan

permukiman yang termasuk kategori kumuh setelah dipertimbangkan

melalui 7 kriteria berikut :

a. Bangunan gedung;

b. Jalan lingkungan;

c. Penyediaan air minum

d. Drainase lingkungan

e. Pengelolaan air limbah

f. Pengelolaan persampahan

g. Proteksi kebakaran. 32

2.3 Hasil Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian sebelumnya merupakan penelitian yang sudah

dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya yang bekenaan dengan judul

penelitian Peneliti, sehingga Peneliti mempunyai acuan Penelitian

penelitian. Adapun penelitian sebelumnya yang menjadi perbandingan

penelitian ini dapat dilihat pada table 2.2 berikiut :

31
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan
Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, Pasal 3.
32
Ibid., Pasal (4).
41

Tabel. 2.2
Perbandingan Penelitian Sebelumnya

Zaini Musthofa Dinda Gita Cahyani


Universitas Sebelas Maret Universitas Lampung
(Skripsi, 2011) (Skripsi, 2019)
(1) (2) (3)
Judul Penelitian Evaluasi Program Relokasi Evaluasi program bantuan
Permukiman kumuh (Studi stimulan perumahan swadaya
Kasus: Program Relokasi (bsps) bagi masyarakat
Permukiman di Kelurahan berpenghasilan rendah (mbr) di
Pucangsawit Kecamatan kota bandar lampung
Jebres Kota Surakarta)
Tujuan Penelitian Untuk Melakukan Penilaian Untuk mengevaluasi program
terhadap Pelaksanaan bantuan stimulan perumahan
Program Relokasi swadaya (bsps) bagi
Permukiman di Kelurahan masyarakat berpenghasilan
Pucangsawit Kecamatan rendah (mbr) di kota bandar
Jebres Kota Surakarta lampung
Metode  Metode Kualitatif  Metode Kualitatif
Penelitian  Pendekatan Induktif  Pendekatan Induktif
 Teknik Pengumpulan Data:  Teknik Pengumpulan Data:
Observasi, Wawancara, Observasi, Wawancara,
Dokumentasi Dokumentasi
Perbedaan Hanya membahas pada Mendalami sampai sub dimensi
dimensi teori William N Dunn teori William N Dunn dengan
model evaluasi yang digunakan
adalah evaluasi sumatif
Sumber: Diolah oleh Peneliti,2019.

Penelitian pertama yang dilakukan oleh Zaini Musthofa (2011,

Universitas Sebeas Maret) dalam bentuk skripsi dengan judul Evaluasi

Program Relokasi Permukiman kumuh (Studi Kasus: Program Relokasi

Permukiman di Kelurahan Pucang sawit Kecamatan Jebres Kota

Surakarta . Tujuan penelitian tersebut adalah Untuk Melakukan Penilaian

terhadap Pelaksanaan Program Relokasi Permukiman di Kelurahan

Pucangsawit Kecamatan Jebres Kota Surakarta . Metode penelitian yang

digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan induktif dan teknik

pengumpulan data menggunakan Observasi, Wawancara, Dokumentasi.


42

Sedangkan penelitian kedua yang dilakukan oleh Dinda Gita

Cahyani (2019, Universitas Lampung ) dalam bentuk skripsi dengan judul

evaluasi program bantuan stimulan perumahan swadaya (bsps) bagi

masyarakat berpenghasilan rendah (mbr) di kota bandar lampung.Tujuan

penelitian tersebut adalah untuk mengevaluasi program bantuan stimulan

perumahan swadaya (bsps) bagi masyarakat berpenghasilan rendah

(mbr) di kota bandar lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode kualitatif dengan pendekatan induktif dan teknik pengumpulan

data menggunakan Observasi, Wawancara, Dokumentasi.

Perbedaan antara kedua skripsi di atas yang menjadi acuan

Peneliti adalah pada penggunaan teori William N Dunn. Skripsi pertama

hanya pada dimensinya sedangkan pada skripsi kedua membahas hingga

sub-sub dimensi secara mendalam dengan menggunakan evaluasi

sumatif.

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini ialah dapat

dilihat dari focus penelitian diamana Peneliti dalam melakukan penelitian

lebih memfokuskan pada evaluasi Program Kota Tanpa Kumuh

(KOTAKU) dengan melakukan evaluasi pelaksanaan dan hasil Kota

Tanpa Kumuh (KOTAKU), serta faktor pendukung dan penghambat Kota

Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kota Bengkulu.

2.4 Kerangka Pemikiran

Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang

bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah


43

diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka pemikiran

berfungsi mempermudah pembaca untuk memahami apa yang akan

diteliti oleh peneliti.

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah Evaluasi

Program KOTAKU di Kota Bengkulu. Kerangka berpikir dalam penelitian

ini menggunakan model implementasi kebijakan berdasarkan teori George

C. Edwards III yang menyimpulkan sedikitnya ada empat faktor yang

mempengaruhi proses dari sebuah implementasi kebijakan, yaitu

komunikasi, Sumber Daya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi dan dikaitkan

dengan 6 (enam) kriteria evaluasi Dunn diantaranya adalah efektivitas,

efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan.


44

Gambar 2.2

Kerangka Pemikiran

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2016 tentang Peningkatan

terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh

Kota Tanpa Kumuh


(KOTAKU)

Faktor Pelaksanaan Kota


Pendukung dan Tanpa Kumuh
Penghambat (KOTAKU) Aksi
menurut Edward Kebijakan
III

1. Komunikasi
2. Sumber Daya
Hasil
3. Disposisi
4. Struktur Evaluasi Kota Tanpa Kebijakan
Birokrasi Kumuh (KOTAKU)
menurut teori Wiliam N
Dunn
1. Efektivitas
2. Perataan
3. Efisiensi
4. Kecukupan
5. Responsivitas
6. Ketepatan

Anda mungkin juga menyukai