Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Manajemen Pelayanan Publik

http://dx.doi.org/10.24198/jmpp.v3i2.25342

Analisis Formulasi dan Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia


a
Zalfa Hasna Nadhira
a
Universitas Padjadjaran

ABSTRACT
Perumusan kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam pembentukan
kebijakan publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimana keadaan formulasi dan
implementasi kebijakan publik di Indonesia. Penilitian ini menggunakan metode kualitatif dan
studi pustaka. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa praktek formulasi dan implementasi
kebijakan publik di Indonesia masih perlu ditingkatkan karena beberapa kasus terhambatnya
formulasi atau implementasian sebuah kebijakan disebabkan oleh pembuat dan pelaksana
kebijakan itu sendiri.

INTRODUCTION
Perumusan kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam pembentukan
kebijakan publik. Seperti yang ditulis oleh Charles Lindblom dan beberapa ahli yang lain, dalam
memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau
pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan tersebut, baik aktor-aktor yang resmi
maupun aktor-aktor yang tidak resmi. Seperti yang diungkapkan oleh Charles Lindblom,
bahwa untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan lebih dahulu harus
dipahami sifat-sifat semua pemeran serta (participants), bagian atau peran apa yang mereka
lakukan, wewenang atau bentuk kekuasaan yang mereka miliki, dan bagaimana mereka
saling berhubungan serta saling mengawasi. Dari berbagai jenis pameran serta, masing-
masing pemeran serta ini menurut Lindblom mempunyai peran secara khusus yang meliputi:
warga negara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin lembaga legislatif aktivis
partai, pemimpin partai, hakim, pegawai sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha. Formulasi
kebijakan publik ialah langkah paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan.
Oleh karenanya apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya
kebijakan publik yang dibuat pada masa yang akan datang. Menurut Anderson dalam
Winarno, (2007. h. 93) Formulasi kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan
bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan
siapa yang berpartisipasi. Studi mengenai formulasi kebijakan memberikan perhatian yang
sangat dalam pada sifat –sifat (perumusan) permasalahan publik. Karena (perumusan)
permasalahan publik merupakan fundamen besar dalam merumuskan kebijakan publik
sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk

Correspondence Name Email 1st Author @gmail.com


© 2020
Jurnal Manajemen Pelayanan Publik Vol. xx No. xx, February 2021 2

menganalisis formulasi-formulasi kebijakan publik yang terjadi di Indonesia, bagaimana


prosesnya dan apakah rata-rata berhasil atau tidak.

LITERATURE REVIEW
Istilah kebijakan seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah tujuan (goals),
program, keputusan, Undang-Undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-
rancangan besar (Abdul Wahab, 1997: 2). Kebijakan pada intinya adalah sebagai pedoman
untuk bertindak. Pedoman ini boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum
maupun khusus. Sejalan dengan makna kebijakan yang dikemukakan oleh United Nation
tersebut di atas, Fredrick (dalam Islamy, 1998) memberikan pengertian kebijakan, yaitu
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam satu
lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan
terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan pengertian kebijakan publik atau Negara itu sendiri juga didefinisikan berbeda oleh
para ahli, seperti yang dikemukakan oleh Dye (dalam Islamy, 1998) bahwa kebijakan Negara
sebagai “is whatever government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Lebih lanjut Dye, mengatakan bahwa bila pemerintah
memilih untuk melakukan sesuatu harus ada tujuannya dan bersikap objektif serta meliputi
semua tindakan pemerintah.
Perumusan kebijakan adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara
keseluruhan. Oleh karena itu apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil
tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Perlu diingat pula
bahwa perumusan kebijakan publik yang baik adalah perumusan yang berorientasi pada
implementasi dan evaluasi, sebab sering kali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa
perumusan kebijakan publik yang baik adalah sebuah konseptual yang sarat dengan pesan-
pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi (Putra, 2001).

Berbagai model dan teori oleh para pakar telah dikembangkan untuk pembahasan tentang
implementasi kebijakan negara baik yang bersifat abstrak maupun yang relatif operasional
tergantung pada kompleksitas permasalahan yang akan dikaji. Sebagai pedoman bahwa
semakin kompleks permasalahan kebijakan maka semakin mendalam analisis yang dilakukan
dan semakin diperlukan model atau teori yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas
antara variabel yang menjadi fokus analisis.

Untuk menganalisis suatu proses implementasi kebijakan itu berlangsung, dapat dilihat dari
berbagai model implementasi kebijakan. Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2002:109-
124) mengajukan model mengenai proses implementasi kebijakan. Dalam model ini Van Meter
dan Van Horn mendasarkan pada argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses
implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Kemudian
ditegaskan pula bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-
konsep yang sangat penting dalam prosedur implementasi.
1st AUTHOR’S & 2nd AUTHOR <Furthermore, if the author is above 2 people, it will be changed to "et al".

Dijelaskan dalam Winarno (2002:109-124)) bahwa keberhasilan implementasi kebijakan


dipengaruhi enam variabel, yaitu: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2) sumberdaya kebijakan,
(3) komunikasi antar organisasi dan pelaksana, (4) karakteristik pelaksana, (5) kondisi sosial
ekonomi dan politik dan (6) organisasi pelaksana.

Edward III (1994:10), mengajukan empat faktor atau variabel yang berpengaruh terhadap
keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Variabel- variabel tersebut, yaitu
communication, resources, dispositions dan bureaucratic structure. Dijelaskan bahwa keempat
variabel yang mempengaruhi implementasi saling berinteraksi satu sama lain. Faktor
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi mempengaruhi secara langsung
terhadap implementasi kebijakan. Disamping itu terdapat pengaruh tidak langsung di antara
variabel tersebut, yaitu melalui dampak satu sama lain. Keempat faktor tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:

a. Komunikasi

Edward III dalam Winarno mengemukakan faktor komunikasi mempunyai tiga dimensi yaitu
dimensi transmisi (transmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency). Dimensi
transmisi menghendaki agar kebijakan publik tidak hanya disampaikan kepada para pelaksana
kebijakan (implementers), tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan
pihak lain yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan
tersebut. Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada
para pelaksana, kelompok sasaran dan pihak-pihak yang berkepentingan langsung maupun
tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga pihak-pihak tersebut
mengetahui maksud, tujuan, sasaran dan substansi dari kebijakan publik. Dimensi ketiga yang
berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan
ingin berlangsung efektif, maka perintah- perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

b. Sumber Daya

Meski perintah-perintah implementasi disampaikan secara akurat, jelas dan konsisten, tetapi
jika pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan kebijakan,
implementasi tidak akan efektif. Sumber daya merupakan faktor yang penting dalam
mengimplementasikan kebijakan publik. Sumber daya meliputi staf dengan jumlah memadai
dan keahlian yang tepat untuk menjalankan tugas mereka, serta informasi, wewenang dan
fasilitas yang diperlukan untuk menerjemahkan usulan tertulis menjadi pelayanan publik yang
berfungsi.

c. Disposisi (Sikap)

Edward III memandang disposisi sebagai kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para
pelaksana (implementers) untuk melaksanakan kebijakan. Keberhasilan implementasi
kebijakan tidak hanya ditentukan oleh sejauhmana para pelaku kebijakan mengetahui apa
yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para
pelaksana untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Jurnal Manajemen Pelayanan Publik Vol. xx No. xx, February 2021 4

d. Struktur Birokrasi

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan kebijakan cukup dan para pelaksana


kebijakan mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mempunyai keinginan
untuk melakukannya, implementasi kebijakan dapat jadi masih belum efektif, karena adanya
ketidakefisienan struktur birokrasi (Edward III, 1980:11). Struktur birokrasi mencakup aspek-
aspek seperti struktur organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, dan hubungan
organisasi dengan luar organisasinya.

Selanjutnya Gogin (1990) sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:20) mengemukakan bahwa


untuk mengimplementasikan kebijakan terdapat variabel-variabel yang mempengaruhi proses
implementasi yaitu: (1) bentuk dan isi kebijakan; (2) kemampuan organisasi; (3) pengaruh
lingkungan. Pendapat senada dikemukakan Mustopadidjaja (2002:6-8), dijelaskan bahwa
sistem kebijakan adalah tatanan kelembagaan yang berperan dalam penyelenggaraan
sebagian atau keseluruhan proses kebijakan yang mengakomodasikan kegiatan teknis maupun
sosiopolitis serta saling hubungan atau interaksi antar empat faktor dinamik yang merupakan
unsur dari sistem kebijakan dan berperan dalam proses kebijakan. Masing-masing unsur dari
sistem kebijakan dirumuskan sebagai berikut : (1) lingkungan kebijakan (policy environment);
(2) pembuat dan pelaksana kebijakan (policy maker and implementer); (3) Kebijakan itu sendiri
(policy contents); dan (4) kelompok sasaran kebijakan (target groups).

RESEARCH METHODS
Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini bersifat literatur, termasuk pada jenis penelitian pustaka
(library research). Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang pengumpulan
datanya dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur. Literatur yang diteliti
tidak terbatas pada buku-buku tetapi dapat juga berupa bahan-bahan dokumentasi, majalah,
jurnal, dan surat kabar. Penekanan penelitian kepustakaan adalah ingin menemukan berbagai
teori, hukum, dalil, prinsip, pendapat, gagasan dan lain-lain yang dapat dipakai untuk
menganalisis dan memecahkan masalah yang diteliti.

Adapun menurut Zed Mestika penelitian pustaka atau riset pustaka ialah serangkaian kegiatan
yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta
mengolah bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan. Menurut Abdul
Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian yang menggunakan
cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di
perpustakaan, seperti buku, majalah, dokumen, catatan kisah-kisah sejarah.

RESULTS AND DISCUSSIONS


Dokumen pertama berjudul “FORMULASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN
PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN KARAWANG”. Penelitian ini dimaksudkan untuk
menganalisis Formulasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di
1st AUTHOR’S & 2nd AUTHOR <Furthermore, if the author is above 2 people, it will be changed to "et al".

Kabupaten Karawang. Adapun permasalahan di dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah


Proses Perumusan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan sebagai upaya
pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Hasil penelitian di Kabupaten
Karawang dalam perumusan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yakni Proses Perumusan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Di Kabupaten Karawang
diawali dengan perumusan masalah terkait dengan alih fungsi lahan dan tumbuh suburnya
industri-industri di lahan 19 ribu Ha, dan pengurangan lahan pertanian di tahun 2015-2017
yakni 625 Ha. Oleh sebab itu pemerintah kabupaten Karawang menggunakan pendekatan
kebutuhan lahan pertanian dan citra satelit untuk mengetahui luasan pertanian yang ada
dan menjaga kabupaten Karawang tetap eksis sebagai lumbung padi nasional. Dan
Pemerintah Kabupaten Karawang memilih alternatif kebijakan terbaik kemudian dimasukan
dalam Draf Naskah Akademik terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
nantinya akan menjadi draf Peraturan Daerah No 1 Tahun 2018. Alternatif kebijakan
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini juga mengatur tentang insentif bagi
petani yaitu adanya subsidi untuk bibit, obat-obatan pertanian, dan alat-alat penunjang
pertanian hal ini agar para petani tidak mengalih fungsi lahan pertanian, tetapi 87,5 ribu Ha
yang sudah dikunci sebagai zona hijau dan dengan adanya mapping memudahkan bangsa ini
dalam mengetahui secara pasti berapa luas lahan pertanian untuk ketahanan pangan.

Dokumen kedua berjudul “FORMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH SULAWESI UTARA DALAM


MENYELESAIKAN KONFLIK ANTARA TRANSPORTASI ONLINE DENGAN TRANSPORTASI
KONVENSIONAL STUDI KASUS PROVINSI SULAWESI UTARA”. Penelitian ini dimaksudkan untuk
meneliti bagaimana Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara merumuskan kebijakan untuk
menyelesaikan konflik antara transportasi online dengan transportasi konvensional di daerah
Sulawesi Utara, yang nantinya apakah tahapan ini bisa memberikan solusi yang benar terhadap
masalah yang benar atau justeru memberikan solusi yang salah terhadap masalah yang benar.
Pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada perumusan/formulasi kebijakan pemerintah
Provinsi Sulawesi Utara dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara transportasi online
dengan transportasi konvensional. Setelah konflik yang terjadi antara transportasi online
dengan transportasi konvensional, masalah tersebut disepakati masuk dalam agenda
kebijakan. Rapergub yang sifatnya mendesak dari pemerintah Provinsi Sulawesi Utara saat ini
tidak membuat atau tidak memiliki alternatif-alternatif kebijakan. Penetapan kebijakan yang
merupakan tahap akhir dari proses formulasi kebijakan ini pun belum bisa terlaksana yang
disebabkan pada tanggal 12 September tahun 2018 Mahkama Konstitusi telah mencabut atau
membatalkan PM 108 tahun 2017. Pemerintah Sulawesi Utara dalam merumuskan Rapergub
tentang Angkutan Sewa Khusus terlihat kurang serius dan kurang komprehensif, karena tidak
dilibatkannya Dinas Komunikasi dan Informatika selaku salah satu aktor kunci dalam
perumusan Rapergub tersebut, dan ini pun berdampak pada hasil pembahasan rumusan
masalah yang hanya menempatkan transportasi online dalam bingkai angkutan umum yang
dimana seharusnya transportasi online diletakkan pada bingkai angkutan sewa khusus.

Dokumen ketiga berjudul “FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM PENGOLAHAN SAMPAH


PERKOTAAN BERKELANJUTAN (Studi Kasus : DKI Jakarta)” Pengolahan sampah di wilayah
perkotaan, yang dilakukan baik dengan sistem sanitary landfill, control landfill maupun open
Jurnal Manajemen Pelayanan Publik Vol. xx No. xx, February 2021 6

dumping akan menimbulkan permasalahan baik masalah lingkungan, sosial maupun ekonomi.
Di wilayah perkotaan terutama di kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta,
permasalahan pengolahan sampah muncul berkaitan dengan tidak tersedianya lahan sebagai
tempat pemrosesan akhir sampah di dalam wilayahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah
bagaimana memformulasikan kebijakan pengolahan sampah yang dapat menyelesaikan
permasalahan dalam pengolahan sampah, optimalisasi pengolahan, menghitung biaya dan
dampak lingkungan, dengan menggunakan sistem pengolahan sampah terintegrasi, dikaitkan
dengan aspek ekonomi, sosial dan keterbatasan lahan dengan mempergunakan sistem analisis
minimalisasi biaya, analisis biaya dan manfaat serta statistik Ordinary Least Square. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa di masa yang akan datang : ”integrasi teknologi dalam
sistem pengolahan sampah”, dapat membantu DKI Jakarta menyelesaikan masalah
pengolahan sampah baik aspek teknis, ekonomi, dan lingkungan. Sistem ini meliputi
pemanfaatan teknologi komposter kecepatan tinggi (High Rate Composting), incinerator
dengan pemulihan energi listrik, dan sanitary landfill sebagai tempat pembuangan akhir
sampah, yang dioperasikan bersama (terintegrasi) untuk mendapatkan pengolahan sampah
yang maksimal, mengurangi limbah dan pencemaran, untuk mencapai efektivitas dan tingkat
efisiensi yang tinggi.

Dokumen keempat berjudul “FORMULASI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN ANAK DI KOTA


SEMARANG”. Permasalahan anak yang merupakan isu kebijakan yang telah mengalahkan isu
isu lainnya untuk diangkat menjadi suatu perda di Kota Semarang karena Kota Semarang
memiliki jumlah kasus yang relatif tinggi dibandingkan kota-kota lain. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan, kekerasan terhadap anak terjadi karena faktor pendidikan, ekonomi dan sosial.
Proses Formulasi Kebijakan Perlindungan Anak yang terjadi di Kota Semarang belum terlaksana
dengan baik. Keberhasilan proses formulasi kebijakan perlindungan anak dinilai dari
bagaimana prosesnya dan juga berdasarkan dengan kebutuhan kondisi masyarakat Kota
Semarang. Namun pada pelaksanaannya, proses formulasi kebijakan perlindungan anak
sempat mengalami penundaan dan ketidaksesuaian dalam pembuatannya. Dalam Penelitian
Formulasi Kebijakan Perlindungan Anak di Kota Semarang, pelaksanaan proses formulasi dapat
dilihat dari aspek tingginya tingkat kekerasan terhadap anak di Kota Semarang, Pembuatan
Agenda Kebijakan dan aspek perumusan kebijakan bersama aktor kebijakan. Adanya
kepentingan dari para aktor kebijakan membuat proses formulasi kebijakan perlindungan anak
terhambat dan mengalami penundaan. Terhambatnya proses formulasi kebijakan
perlindungan anak diawali dari adanya konflik kepentingan antara pihak eksekutif dan
legislatif. Konflik kepentingan tersebut yaitu keinginan legislatif untuk menentukan ingin
bekerjasama dengan siapa saja tanpa pemberitahuan kepada eksekutif. Koordinasi yang
kurang baik dari kedua lembaga pemerintahan tersebut mengakibatkan terhambatnya
pembuatan kebijakan perlindungan anak di Kota Semarang.

Dokumen kelima berjudul “FORMULASI KEBIJAKAN SISTEM TRANSPORTASI LAUT”. Penelitian


ini bertujuan menganalisis kebijakan transportasi laut dalam mewujudkan angkutan tol laut
modern dan peningkatan pembangunan. Penelitian menggunakan metode deskriptif-kualitatif.
Hasil penelitian sebagai berikut: 1) kebijakan Pemerintah mengenai tol laut adalah untuk
melayari angkutan barang, menjamin ketersediaan barang, mengurangi disparitas harga dan
1st AUTHOR’S & 2nd AUTHOR <Furthermore, if the author is above 2 people, it will be changed to "et al".

menjamin kelangsungan pelayanan penyelenggaraan angkutan barang ke daerah tertinggal,


terpencil, terluar, dan perbatasan; 2) kebijakan pembangunan transportasi laut diarahkan di
antaranya meningkatkan peran armada pelayaran nasional baik angkutan dalam negeri
maupun ekspor-impor dengan memberlakukan asas cabotage; menghapuskan pungutan tidak
resmi di pelabuhan melalui peningkatan koordinasi bagi semua instansi terkait proses bongkar
muat barang dan memenuhi standar pelayaran internasional serta pelaksanaan International
Ship and Port Security; merestrukturisasi peraturan perundangan pelayaran dan
pelaksanaannya, serta kelembagaan di subsektor transportasi laut guna menciptakan kondisi
yang mampu menarik minat swasta dalam pembangunan prasarana transportasi laut; 3)
kebijakan transportasi laut ditetapkan sebagai urat nadi peningkatan pembangunan nasional
untuk kelancaran arus manusia, barang, maupun informasi. Kebijakan ini merupakan
penunjang tercapainya pengalokasian sumber-sumber perekonomian secara optimal, sehingga
jasa Transportasi laut cukup tersedia merata dan terjangkau daya beli masyarakat.

CONCLUSIONS
Berdasarkan studi pustaka yang telah penulis lakukan dalam penelitian ini, ditemukan bahwa
implementasi kebijakan di Indonesia masih jauh dari kata sempurna, bahkan dari tahap
formulasinya. Penulis mengutamakan menggunakan teori yang dikemukakan Mustopadidjaja
sebagai dasar penelitian, dimana dijelaskan bahwa sistem kebijakan adalah tatanan
kelembagaan yang berperan dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan proses
kebijakan yang mengakomodasikan kegiatan teknis maupun sosio politik serta saling hubungan
atau interaksi antar empat faktor dinamik yang merupakan unsur dari sistem kebijakan dan
berperan dalam proses kebijakan. Masing-masing unsur dari sistem kebijakan dirumuskan
sebagai berikut : (1) lingkungan kebijakan (policy environment); (2) pembuat dan pelaksana
kebijakan (policy maker and implementer); (3) Kebijakan itu sendiri (policy contents); dan (4)
kelompok sasaran kebijakan (target groups). Dari kelima penelitian tentang formulasi dan
implementasi kebijakan publik yang telah penulis rangkum, benar adanya keterkaitan antara
teori yang penulis gunakan sebagai dasar dan fakta lapangan. Dari dua penelitian yang telah
penulis rangkum dan analisis, proses implementasi keduanya berjalan kurang baik dikarenakan
oleh pembuat dan pelaksana kebijakan itu sendiri. Ditemukan bahwa pemerintah atau
pembuat kebijakan kurang serius dalam menanggapi sebuah isu yang perlu dibuatkan
kebijakan. Kemudian konflik kepentingan juga menjadi salah satu faktor, yang menyebabkan
kurangnya koordinasi antar lembaga yang bersangkutan yang kemudian berdampak pada
hambatan dalam formulasi dan pengimplementasian kebijakan itu sendiri.

REFERENCES
Kadarisman, M., Yuliantini, Y., & Majid, S. A. (2016). Formulasi kebijakan sistem
transportasi laut. Jurnal Manajemen Transportasi & Logistik, 3(2), 161-183.
Amalina, A., Binasasi, S. D., & Purnaweni, H. (2018). Formulasi Kebijakan Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Karawang. GEMA PUBLICA:
Jurnal Manajemen dan Kebijakan Publik, 3(2), 92-102.
Jurnal Manajemen Pelayanan Publik Vol. xx No. xx, February 2021 8

Bagaskara, S., & Lituhayu, D. (2017). Formulasi Kebijakan Perlindungan Anak di Kota
Semarang. Journal of Public Policy and Management Review, 6(3), 104-114.
YAHYA, E. R., LENGKONG, F. D., & DENGO, S. (2018). Formulasi Kebijakan Pemerintah
Sulawesi Utara dalam Menyelesaikan Konflik antara Transportasi Online dengan
Transportasi Konvensional Studi Kasus Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Administrasi
Publik, 4(65).
Chalik, A. A., Lay, B. W., Fauzi, A., & Etty, R. (2011). Formulasi Kebijakan Sistem
Pengolahan Sampah Perkotaan Berkelanjutan Studi Kasus: DKI Jakarta. Jurnal
Permukiman, 6(1), 18-30.

Sarjono. DD., Panduan Penulisan Skripsi, (Yogyakarta : Jurusan Pendidikan Agama Islam, 2008),
h.20

Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta : Yayasan Bogor Indonesia, 2004), h.3

Tangkilisan, Drs Hessel Nogi S, 2003, Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Lukman
Offset YPAPI.

Mustopadidjaja, A. R. 2000. Perkembangan Penerapan Studi Kebijakan. Jakarta : LAN.


Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC : Congressional
Quarterly Inc.
Winarno, Budi. 2003. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Med Press.
Islamy, Irfan. 1998. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta : Bumi Aksara.
Abdul Wahab, Solichin, (1997). Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi Keimplementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara
Dye R Thomas. (2008). Understanding Public Policy. Pearson Education' Upper Saddle River'
NewJersey
Putra, Fadillah.2001. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai