Anda di halaman 1dari 6

ZALFA HASNA NADHIRA

170110190068
ADMINISTRASI PUBLIK
KELAS B
UAS MPW

PERAN PEMERINTAH DALAM TATA RUANG MENURUT KONSEP AGLOMERASI

Masyarakat berkembang sesuai dengan tahapannya. Pembangunan masyarakat


yang ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk telah memberikan kontribusi
terhadap peningkatan kebutuhan hidup, baik jumlah maupun jenisnya. Peningkatan
produksi berbagai barang dan jasa dengan cara meningkatkan kapasitas produksi atau
memperluas cakupan kegiatan sektoral di suatu wilayah menyebabkan pertumbuhan
wilayah tersebut. Pertumbuhan wilayah terus berkembang sesuai dengan kegiatan
ekonomi yang dilakukan, yang akan menjadi motor penggerak terwujudnya kota.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah menjelaskan bahwa pengalokasian tugas, fungsi, tanggung jawab, dan
wewenang pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini terkonsentrasi di pusat
kepada Pemerintah Daerah.

Terdapat beberapa teori yang berusaha mengupas tentang masalah aglomerasi.


Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai teori-teori tersebut, perlu dipahami
lebih dahulu konsep aglomerasi. Istilah aglomerasi muncul pada dasarnya berawal dari
ide Marshall tentang penghematan aglomerasi (agglomeration economies) atau dalam
istilah Marshall disebut sebagai industri yang terlokalisir (localized industries).
Agglomeration economies atau localized industries menurut Marshall muncul ketika
sebuah industri memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat
berlangsung dalam jangka panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh
keuntungan apabila mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut (Mc
Donald, 1997: 37). Konsep aglomerasi menurut Montgomery tidak jauh berbeda dengan
konsep yang dikemukakan oleh Marshall. Montgomery mendefinisikan penghematan
aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan (economies of
proximity) yang diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan
konsumen secara spasial untuk meminimalisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi,
informasi dan komunikasi (Montgomery, 1988: 693). Sementara Markusen menyatakan
bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat adanya
penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya
berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat kalkulasi
perusahaan atau para pekerja.

Menurut Landiyanto (2005), aglomerasi berkaitan dengan pemusatan beberapa


fasilitas penunjang yang melayani industri, yang keberadaannya mempengaruhi
terjadinya aglomerasi. Fasilitas tambahan ini termasuk transportasi, ketersediaan
pekerja dengan keterampilan yang berbeda, dan layanan yang disediakan pemerintah.
Faktor yang menentukan pilihan lokasi industri adalah perbedaan biaya transportasi,
perbedaan biaya upah, dan penghematan aglomerasi. Produsen cenderung memilih
lokasi yang menawarkan keuntungan berupa penghematan biaya transportasi untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi. Selain itu, produsen cenderung
mencari lokasi dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah untuk meminimalkan
biaya.

Perbedaan antara aglomerasi industri dan klaster industri terletak pada skala
ekonomi dan keanekaragaman industri. Skala ekonomi dan keanekaragaman industri
(industrial diversity) merupakan peran penting dalam pembentukan dan pertumbuhan
aglomerasi. Industri yang terkonsentrasi secara geografis disebabkan karena skala
ekonomi. Sedangkan keanekaragaman industri mendorong eksplorasi dan mencegah
stagnasi sehingga berperan dalam penyebaran pengetahuan (knowledge spillover) dan
pertumbuhan regional. Adanya keragaman industri menunjukkan terjadinya aglomerasi
karena produk lebih heterogen (Kuncoro 2002). Perbedaan antara aglomerasi industri
dan klaster industri terlihat pada output yang dihasilkan. Klaster industri merupakan
kumpulan industri sejenis yang secara geografis terkonsentrasi di suatu lokasi karena
adanya keuntungan atau penghematan akibat lokalisasi dan spesialisasi sehingga
menghasilkan output yang lebih homogen. Sedangkan aglomerasi industri terbentuk
karena berkumpulnya beragam industri pada suatu lokasi tertentu yang akhirnya akan
menghasilkan output yang heterogen. Kluster dan aglomerasi menjadi semakin
berkembang tidak hanya karena industri-industri yang ada di dalamnya tetapi didukung
pula oleh organisasi yang terkait sehingga dapat meningkatkan daya saing berdasarkan
keunggulan kompetitif (Santoso dan Prabatmodjo 2012). Salah satu ciri penting di
dalam aglomerasi adalah tumbuhnya industri-industri yang menggunakan teknologi
lebih maju, berkembangnya spesialisasi proses produksi pada perusahaan-perusahaan
tersebut, dan kegiatan ekonomi antar industri yang saling terkait dan saling mendukung.

Pada dasarnya aglomerasi industri merupakan pengelompokan industri inti yang


saling berhubungan dengan industri pendukung (supporting industries), industri terkait
(related industries), jasa penunjang maupun infrastruktur ekonomi. Oleh karena itu,
strategi pengembangan industri yang tepat untuk membangun daya saing industri yang
berkelanjutan dilakukan melalui pendekatan aglomerasi. Hal ini dikarenakan kegiatan-
kegiatan pada sektor industri memiliki keterkaitan yang erat dengan kegiatan-kegiatan
di sektor lain baik keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke
depan (forward linkages). Apabila kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan pada suatu
kawasan tertentu (beraglomerasi), maka dapat mengurangi biaya transportasi dan
berbagai biaya lainnya atau biaya transaksi (Deichmann et al 2005). Aglomerasi yang
baik ditunjukkan oleh tingginya tingkat keterkaitan berbagai kegiatan yang saling
mendukung antara satu pelaku dengan pelaku yang lain. Agar hal tersebut dapat
terwujud, maka dari sisi pemerintah perlu mempersiapkan dukungan infrastruktur
ekonomi yang memadai. Hal ini karena infrastruktur yang baik akan mendorong
kelancaran interaksi antara industri- industri terkait dan mampu meningkatkan efisiensi
biaya sehingga dapat meningkatkan daya saing industri.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri adalah sebagai


berikut: Pertama, Skala Ekonomi. Menurut Tarigan (2005) skala ekonomi adalah faktor-
faktor produksi yang tidak dapat dibagi (indivisibility). Dengan melakukan spesialisasi,
dapat dibuat pabrik/perusahaan dengan kapasitas yang lebih besar sehingga biaya per
unit bisa lebih murah karena besarnya perusahaan sehingga biaya tetap (fixed cost)
tidak bertambah, walaupun jumlah produksi ditingkatkan pada proporsi tertentu. Skala
ekonomi juga akan berdampak tersedianya berbagai fasilitas yang melancarkan
berbagai kegiatan perusahaan, misalnya transportasi yang mudah (akses jalan, dan
kendaraan), keamanan, perbankan, asuransi, perbengkelan/reparasi, perusahaan
listrik, perusahaan air bersih, dan tempat reklame;Kedua, Pendapatan Per Kapita.
Industri yang hasilnya meningkat (increasing return industry) akan berkonsentrasi pada
pasar yang besar. Menurut hipotesis Krugman (1991) menyatakan lokasi yang semakin
padat penduduk akan menarik konsentrasi produksi manufaktur, asumsi adalah daerah
tersebut menawarkan pasar lokal (domestic) yang lebih besar daripada daerah lain,
biaya tetap (fixed cost) relatif lebih besar dari biaya transportasi (Kuncoro, 2007). Pada
daerah yang padat penduduk dengan pendapatan yang rata-rata relatif tinggi maka
secara bersama akan mempengaruhi permintaan dan meningkatkan penawaran akan
barang konsumtif sehingga menimbulkan industri-industri baru untuk mencukupi pasar.
Ketiga, Input lokal. Input lokal adalah bahan baku, perlengkapan, atau layanan yang
hadir di lokasi yang layak dan tidak bisa didatangkan dari tempat lain seperti aspek
geografi dan pelayanan publik lokal yang disediakan akan masuk dalam perhitungan
akuntansi untuk menggambarkan biaya input total. Akhirnya, akan tetap masuk adanya
kemudahan lokal, seperti sosial budaya (tingkat estetika, budaya lingkungan atau
masyarakat yang memainkan peran sangat penting dalam preferensi lokasi
perumahan). Fitur umum dari semua faktor input lokal adalah bahwa apa pun yang
menawarkan lokasi tertentu tergantung pada kondisi di lokasi itu sendiri dan tidak
melibatkan transfer input dari lokasi lain. Keempat, Biaya Tenaga Kerja. Faktor pasar
tenaga kerja, khususnya tingkat upah dan keterampilan tenaga kerja akan mendorong
terjadinya konsentrasi spasial kerena dengan adanya pengelompokkan perusahaan
maka akan terjadi urbanisasi tenaga kerja yang besar karena Indonesia sebagai negara
berkembang masih tergolong sulit untuk menemukan lapangan pekerjaan dan tawaran
upah yang lebih menjanjikan. Hal itu terjadi karena kota berindustri padat memberi upah
lebih layak karena peraturan ketimbang di daerah yang berada pada pedalaman karena
budaya yang tertanam kadang menyulitkan. Biaya tenaga kerja adalah faktor kedua
yang dapat mempengaruhi lokasi industri. Hal ini dapat terjadi apabila penghematan
biaya tenaga kerja per unit produksi lebih besar daripada tambahan biaya transportasi
per unit produksi karena berpindahnya lokasi ke dekat sumber tenaga kerja (Tarigan,
2005). Menurut Djojodipuro (1992) pemilihan lokasi industri sendiri dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain : faktor endowment, pasar, bahan baku, aglomerasi, kebijakan
pemerintah, dan biaya angkutan. Fuji menyatakan bahwa konsentrasi spasial
merupakan pengelompokan setiap industri pada suatu wilayah tertentu (Fujita 2005).
Masih menurut orang yang sama, konsentrasi spasial sendiri disebabkan karena
adanya perbedaan kondisi geografis, infrastruktur, dan sumber daya alam antar daerah.

Lalu, bagaimana keberadaan aglomerasi di Indonesia, dengan secara spesifik,


aglomerasi industri? Lokasi aglomerasi industri di wilayah Indonesia ditemukan adanya
disparitas konsentrasi lokasi industri itu sendiri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Kuncoro (2002), yang melakukan studi tentang dinamika spasial industri manufaktur di
Indonesia dengan tahun pengamatan 1976 sampai 1999. Dalam studinya menemukan
bahwa pusat konsentrasi industri manufaktur Indonesia berlokasi di pulau jawa dengan
konsentrasi yang membentuk pola dua kutub (bipolar pattern), yaitu di ujung barat pulau
Jawa yang meliputi Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) dan Bandung.
kluster industri. terdapat kecenderungan perkembangan aktivitas industri manufaktur di
kota-kota inti (core region) dalam hal ini Metropolitan Jakarta dan Bandung terlihat
menurun. Sementara itu di kota-kota pinggiran (fringe region) seperti Bogor, Tangerang,
dan Bekasi (Botabek) aktivitas industri manufaktur justru semakin meningkat.

Fenomena aglomerasi yang terus meluas di suatu wilayah tentunya akan


menimbulkan kesenjangan pembangunan yang semakin melebar antar wilayah. Di
tingkat nasional, Jawa dan Sumatera merupakan dua pulau besar yang menyerap lebih
dari 90% industri menengah dan besar (IBM) Indonesia. Hal ini menimbulkan masalah
disparitas yang besar dalam distribusi industri manufaktur antar pulau. Di Jawa,
kesenjangan tersebut bahkan lebih terasa karena IBM terkonsentrasi secara spasial,
menciptakan pola bipolar yang dapat diposisikan di wilayah metropolitan. Akibat lain
dari pemusatan aglomerasi industri di suatu wilayah akan menyebabkan percepatan
pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut akibat urbanisasi tenaga kerja. Akibatnya
suatu kota atau wilayah akan mengurangi daya dukung lingkungannya.
Kebijakan yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor
kunci yang dapat mendukung pemerintah dalam pembangunan sektor industri
(Kuncoro, 2002). Pemerintah Indonesia, telah mendasarkan kebijakan industrinya pada
promosi usaha kecil menengah (UKM) dan pengembangan klaster. Maka dari itu,
peran pemerintah sangat dibutuhkan demi meminimalisir dampak negatif dari fenomena
aglomerasi yang kian meluas di suatu wilayah. Menurut Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi: pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota; pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; pelaksanaan penataan
ruang kawasan strategis nasional; dan kerjasama penataan ruang antarnegara dan
pemfasilitasan kerjasama penataan ruang antarprovinsi. Dengan wewenang pemerintah
yang telah disebutkan diatas, peran pemerintah dapat dilakukan dengan
mendesentralisasi kawasan industri dari Jabotabek agar merata.

Anda mungkin juga menyukai