Anda di halaman 1dari 14

1.

Pendahuluan

Pada era globalisasi, kota dan wilayah memiliki peran penting dalam mempengaruhi proses
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Globalisasi dari perspektif geografi dan ekonomi
berkaitan erat dengan fenomena industrialisasi. Banyak aktivitas industri yang mengelompok
bersama (aglomerasi) dalam satu ruang dan mempengaruhi perkembangan kota dan wilayah.
Proses aglomerasi industri kemudian berdampak pada peningkatan harga lahan dan perumahan
serta upah buruh lokal. Aktivitas industri yang berusaha menyeimbangkan faktor input untuk
mendapatkan skala ekonomi dalam suatu lokasi tersebut disebut aglomerasi ekonomi (McCann,
2013)

Industri memiliki berbagai alasan untuk memilih beraglomerasi/berkluster dalam satu


tempat. Berbagai faktornya seperti pengurangan biaya input, knowledge spillover,
peningkatan keuntungan, dll. Keuntungan yang diperoleh industri dalam beraglomerasi
diprediksi tidak hanya mampu memberikan dampak positif terhadap suatu kota namun juga
pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain perilaku industri itu sendiri, pemerintah melalui
kebijakan ekonomi wilayahnya juga berperan dalam membantu industri dalam
memaksimalkan potensinya dan mendapatkan keuntungan maksimal (McCann, 2013).

Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam mengelola kawasan industrinya. Kawasan


Ekonomi Khusus (KEK) sebagai bentuk kawasan industri modern telah menjadi primadona
para pelaku industri dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari nilai investasi
dan komitmen pemerintah dalam mengembangkan KEK sebagai simpul ekonomi baru di
berbagai wilayah. KEK dibentuk sebagai kawasan khusus bagi industri untuk beraglomerasi
dan mendapatkan fasilitas, insentif dan kemudahan dalam menjalankan aktivitasnya.
Pemerintah berharap KEK mampu mendorong tumbuhnya perekonomian lokal, wilayah
hingga nasional (Damuri dkk, 2015).

Terlepas dari keberhasilan maupun efektivitas kebijakan KEK di Indonesia, muncul pertanyaan
bagaimana KEK menjadi sebuah bentuk aglomerasi ekonomi di Indonesia dan apa model
kebijakan ekonomi wilayah yang digunakan Pemerintah Indonesia dalam
mengimplementasikan kebijakan KEK. Makalah ini akan menjawab pertanyaan tersebut
melalui tinjauan literatur dan dokumen, sehingga dapat diperoleh informasi penting
mengenai KEK dari perspektif ekonomi spasial.

1
Pada bagian awal makalah ini akan dibahas mengenai tinjauan literatur aglomerasi ekonomi
dan kebijakan ekonomi wilayah, selanjutnya akan dijelaskan secara singkat mengenai kasus
yang akan dibahas, kemudian kasus tersebut akan didiskusikan dengan berbagai teori dan
bagian terakhir merupakan kesimpulan makalah.

2. Tinjauan Literatur

2.1 Aglomerasi Ekonomi dan Kluster Industri

Teori tentang kluster industri berasal dari Marshall (1890) dalam McCann (2013) ketika
memperkenalkan aglomerasi ekonomi. Marshall menekankan keuntungan industri dapat
diperoleh ketika mereka berlokasi dekat satu sama lain. Keuntungan tersebut didapatkan
melalui pengurangan biaya transport. Marshal menekankan tiga jenis biaya transport, yaitu
biaya pemindahan barang, orang dan ide/pengetahuan dimana dapat dikurangi melalui
aglomerasi industri. Aglomerasi ekonomi diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu internal return
to scale, economies of localization dan economies of urbanization.

 Internal Return to Scale. Skala ekonomi internal disini diciptakan melalui tingkat
investasi yang besar dalam lokasi tertentu. Produksi ekonomi internal berkaitan
dengan konsentrasi spasial baik investasi maupun pekerja. Dalam rangka
meningkatkan efisiensi tersebut perusahaan memilih lokasi tertentu, misalnya,
perusahaan besar Fiat automobile di Turin atau perusahaan pesawat Boeing di Seattle.
Perusahaan tersebut membutuhkan jumlah pekerja yang sangat besar pada lokasi
yang sama.
 Economies of Localization. Konsep ini dipakai ketika sekelompok industri pada sektor
yang sama berlokasi di tempat yang sama. Seperti industri mobil di Detroit, Stuttgart,
atau Nagoya dimana banyak industri yang memproduksi barang untuk kebutuhan
sektor mobil dan berkolompok di satu tempat.
 Economies of Urbanization. Konsep ini berhubungan dengan perilaku industri dengan
berbeda sektor produksi yang berkelompok di lokasi tertentu. Jenis aglomerasi ini
biasanya berkaitan dengan kawasan industri barang/jasa dengan beragam spesialisasi
di suatu kota.

Aglomerasi industri juga berkaitan erat dengan teori growth pole milik Perroux (1950) dalam
McCann (2013). Walaupun dalam penelitiannya tidak dijelaskan secara spesifik mengenai

2
faktor kehadiran industri dalam area tertentu, namun dalam teori nya menyebutkan adanya
polarisasi transaksi ekonomi yang diciptakan antar industri dapat menimbulkan growth pole.

Terori aglomerasi ekonomi dan growth pole kemudian berkembang menjadi teori kluster
industri (Porter, 1990) dalam McCann (2013) yang nantinya menjadi standar bagi para
pembuat kebijakan untuk meningkatkan daya saing, inovasi dan pertumbuhan baik dalam
lingkup lokal, regional maupun nasional. Jika teori growth pole banyak membahas tentang
bagaimana pusat pertumbuhan dapat menciptakan spillover effect kepada lingkugannya,
sedangkan teori kluster industri membahas mengenai hubungan antara pemerintah, industri
dan elemen dalam klusternya. Kluster industri dibagi 3 jenis yaitu, pure agglomeration,
industrial complex, dan social network. Pembagian tersebut didasarkan atas ukuran industri,
karakteristik hubungan antar industri, akses keanggotaan kedalam kluster, space outcome,
dan pendekatan analitis (McCann, 2013).

Berbagai macam aktivitas industri yang mengkluster memiliki beberapa keuntungan dalam
menghemat biaya transportasi dan transaksi, akses kepada kelompok kerja, dan mampu
menciptakan skala ekonomi. Aktivitas industri juga berkaitan dengan teori New Economic
Geography (NEG) yang membahas beberapa hal seperti diversifikasi produk dan input buruh
lokal dalam jumlah besar mampu meningkatkan efisiensi industri, kemudian dampak
kumulatif adanya aktivitas perdagangan dalam aglomerasi industri mampu membuat
aglomerasi tersebut berkembang lebih besar pada satu wilayah (Krugman, 1991; Fujita dkk,
1999 dalam McCann, 2013)

Masih terdapat perdebatan apakah aglomerasi kawasan industri dengan spesialiasi tertentu
atau beragam yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Perbedaan
ketiga karakteristik industri tersebut bergantung pada definisi yang terikat pada industri dan
sektor masing-masing. Aglomerasi ekonomi berjalan efektif di negara berkembang, walaupun
dengan lemahnya infastruktur, kelembagaan yang tersentralisasi, dan peran pemerintah yang
sangat besar. Hal ini disebabkan, perkembangan ekonomi di negara berkembang sangat
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, sehingga pemerintah cenderung menggunakan
kebijakan industri secara konkrit di lokasi tertentu untuk mendapatkan keuntungan
aglomerasi ekonomi (Mc Cann, 2013)

Perubahan kebijakan ekonomi wilayah berkembang sejalan dengan era globalisasi yang
mencakup banyak isu yang kompleks. Penyesuaian tersebut menggeser ide tradisional
3
kebijakan ekonomi wilayah yang berkembang di berbagai negara dan memunculkan
pendekatan modern dalam mendukung kebijakannya.

2.2 Kebijakan Ekonomi Wilayah Tradisional

Kebijakan ekonomi yang diimplementasikan pada tingkat wilayah sering digunakan untuk
meningkatkan ketertarikan investasi pada lokasi wilayah tertentu, khususnya bagi wilayah
yang belum berkembang. Kebijakan wilayah tradisional cenderung pada kebijakan supply side
yang mencoba meningkatkan kualitas lingkungan untuk investasi lokal melalui peningkatan
kualitas faktor input produksi. Pada khususnya, kebijakan supply-side fokus pada faktor input
dalam lokasi yang spesifik (unit administrasi) dengan pendekatan sektoral. Berdasarkan
bahwa, lokasi sumber daya tidak dapat dipengaruhi oleh intervensi kebijakan, maka kebijakan
ekonomi wilayah tradisional cenderung fokus pada peningkatan kualitas dan input berbagai
infrastruktur lokal atau subsidi secara spesifik pada input biaya pekerja seperti training untuk
pekerja. Pada umumnya pemerintah pusat mengambil peran lebih dalam
mengimplementasikan kebijakan wilayah tersebut (McCann, 2013).

2.3 Kebijakan Ekonomi Wilayah Modern

Globalisasi modern telah mengubah perilaku industri, yang juga berakibat pada perubahan
dinamika ekonomi dunia. Krisis ekonomi global tahun 2008 berdampak pada perubahan
kebijakan ekonomi berbagai negara. Pada tahun 2009 – 2010 banyak rekomendasi dari
berbagai lembaga finansial dunia terkait isu analisis dan kebijakan ekonomi dunia yang fokus
pada pengembangan kebijakan wilayah. World Bank menjadi salah satu lembaga yang
merekomendasikan model kebijakan wilayah modern yang disebut space blind approach dan
cukup berbeda dengan kebijakan wilayah yang dikenal sebelumnya dengan istilah place-
based approach. Keduanya fokus terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi secara
agregat (McCann, 2013)

McCann (2013) menerangkan bahwa pendekatan Space Blind dalam kebijakan


pengembangan wilayah yang diinspirasi dan didukung analisa dari kombinasi model new
economic geoghraphy. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa aglomerasi menyebabkan
peningkatan produktivitas. Namun, secara umum kebijakan ini tidak percaya dengan
intervensi wilayah yang sudah ditentukan dan berorientasi pada kebijakan dengan lingkup
secara universal pada setiap wilayah. Pendekatan Place Based berusaha melanjutkan

4
pandangan tradisional dengan mengintervensi wilayah secara spesifik dan berargumen
bahwa kebijakan di wilayah yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Berbeda dengan kebijakan wilayah tradisional yang mengutamakan dukungan peningkatan


hard capital (infrastruktur), kebijakan wilayah modern juga mendukung soft capital
(dukungan kemudahan bisnis, penyediaan kredit, sistem jaringan). Selain itu, pengambilan
kebijakan juga melibatkan berbagai stakeholder baik pemerintah pusat dan daerah maupun
swasta (industri) (McCann, 2013)

3. Studi Kasus

Studi kasus yang akan dijadikan subjek penelitian adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di
Indonesia. KEK sebagai bentuk kebijakan kawasan industri dinilai dapat merefleksikan bentuk
aglomerasi ekonomi dan kebijakan ekonomi wilayah. Sebelum dijelaskan lebih jauh soal KEK,
akan diuraikan secara singkat mengenai perkembangan industri di Indonesia. Data dan
informasi mengenai studi kasus didapatkan penulis dari review dokumen.

3.1 Perkembangan Kawasan Industri di Indonesia

Kebijakan industri di Indonesia dimulai ketika orde baru tahun 1966. Pada saat itu, proses
industrialisasi yang cepat didorong oleh adanya kebijakan subtitusi impor. Tahun 1970 terjadi
pergeseran kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan akan keberagaman barang dan jasa,
sehingga pemerintah mulai membuka struktur industri yang beragam. Pemerintah melalui
kebijakannya berusaha menempatkan lokasi industri di daerah hinterland, namun banyak
industri manufaktur yang tidak tertarik, sehingga pada tahun 1990 kawasan industri tidak
banyak ditempati. Gelombang liberalisasi pasca reformasi dan peningkatan infrastruktur yang
signifikan membuat industri manufaktur berpindah di sekitar Jakarta dan akhirnya
membentuk kawasan metropolitan. Industri memilih wilayah dengan upah buruh rendah dan
ketersediaan infrastruktur serta market size yang cukup untuk melanjutkan operasinya.
Industri beroperasi di sekitar wilayah kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya
karena kedekatan pasar dan ketersediaan pelayanan. Selain itu, kemudahan birokrasi dalam
menyediakan perijinan juga menjadi alasan pemilihan lokasi industri di berbagai daerah
(World Bank, 2012)

Kebijakan pemerintah dalam mempromosikan industri di luar Jawa juga cukup signifikan
dengan diluncurkannya kawasan free trade port di Batam. Kedekatannya dengan Singapura

5
sebagai pusat finansial dan transit pelabuhan internasional memudahkan investasi asing
masuk ke Batam. Dalam rangka mengurangi kesenjangan industrialisasi di luar Jawa,
pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan KAPET (Kawasan Pembangunan Ekonomi
Terpadu) di berbagai wilayah di Indonesia. Kebijakan kawasan strategis industri juga terus
dikembangkan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan daya saing industri di daerah
untuk kepentingan ekspor dan domestik. Pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan
kebijakan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai kerangka kebijakan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor (Damuri dkk, 2015)

3.2 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

KEK didefinisikan sebagai kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum NKRI yang
ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas (sarana
prasarana yang dibangun pemerintah), kemudahan (perijinan dan aktivitas bisnis), dan
insentif tertentu (pemotongan pajak). Beberapa tujuan dibentuknya KEK menurut Dewan
Nasional KEK (2017) antara lain :

 Meningkatkan penanaman modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan


geoekonomi dan geostrategis;
 Optimalisasi kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki
nilai ekonomi tinggi;
 Mempercepat perkembangan daerah melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru untuk keseimbangan pembangunan antar wilayah; dan
 Mewujudkan model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi,
antara lain industri, pariwisata dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan
pekerjaan.
Gambar 1. Persebaran Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia

Sumber : Dewan Nasional KEK, 2017 6


KEK terdiri atas satu atau lebih dari zona-zona seperti, pengolahan ekspor, logistik, industri,
pengembangan teknologi, energi, pariwisata dan zona ekonomi lainnya. Saat ini, telah ada
dua belas kawasan (8 Kawasan berbasis industri/logistik dan 4 Kawasan berbasis pariwisata)
yang ditetapkan sebagai KEK dengan target 25 KEK sampai tahun 2019 (Dewan Nasional KEK,
2017)

Pemerintah membentuk Dewan Nasional KEK sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas
segala urusan KEK pada tingkat pusat. Kemudian, provinsi yang telah ditetapkan menjadi
lokasi KEK harus membentuk Dewan Kawasan yang tugasnya termasuk mengawasi,
mengevaluasi pelaksanaan tugas Administrator KEK. Sementara itu, Administrator KEK
bertugas memberikan berbagai izin yang diperlukan oleh pelaku usaha untuk memulai
mengembangkan usahanya di dalam KEK. Sedangkan, tanggung jawab atas kegiatan usaha di
dalam KEK adalah Badan Usaha Pengelola yang dibentuk khusus untuk tujuan tersebut. KEK
sendiri dapat diusulkan oleh pemerintah kota, provinsi, kementerian/lembaga dan
perusahaan/industri itu sendiri (Damuri dkk, 2015).

4. Diskusi

4.1 Kawasan Ekonomi Khusus dan Pendekatan Aglomerasi Ekonomi

Marshall (1890) dalam Mc Cann (2013) meletakkan dasar teori mengenai dampak kedekatan
industri sehingga menghasilkan eksternalitas, yang nantinya disebut aglomerasi ekonomi. Hal
ini didukung bukti bahwa industri yang berkelompok dalam konsentrasi spasial tertentu dapat
menstimulan tumbuhnya daya saing bagi ekonomi wilayah dan nasional (Porter, 1998 dalam
McCann, 2013). Konsep tersebut relevan dengan pembentukan KEK di Indonesia yang
menjadi bagian penting dari kebijakan pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan industri
berbasis ekspor, impor, dan aktivitas lainnya dengan nilai ekonomi tinggi untuk menunjang
daya saing wilayah maupun nasional (Damuri dkk, 2015).

Konsep KEK sendiri merupakan sebuah kawasan khusus yang ditetapkan pemerintah untuk
menjadi kawasan industri dengan berbagai macam aktivitas, diantaranya export-processing,
logistik, manufaktur, pengembangan teknologi, pariwisata, energi, dll. Konsep kawasan
tersebut mirip dengan jenis aglomerasi industri economies of urbanization, dimana menurut
Hoover (1937) dalam McCann (2013) industri dengan berbeda sektor produksi akan

7
berkelompok di lokasi tertentu. Misalnya, KEK Sei Mangkei di Simalungun, Sumatera Utara
memiliki beberapa industri yang bergerak di sektor minyak kelapa sawit, karet, logistik,
pariwisata, gas dan bahan kimia. Namun, KEK juga dapat masuk dalam jenis economies of
localization, dimana industri dalam sektor yang sama berkumpul pada satu lokasi. Hal
tersebut dapat diilihat khususnya pada jenis KEK pariwisata, seperti di KEK Mandalika,
Lombok dan Tanjung Lesung, Banten, dimana berbagai industri bergerak untuk mendukung
sektor pariwisata di loaksi tersebut seperti perhotelan, jasa pariwisata, restoran, dll.

KEK dalam tipologi kluster industri McCann (2013) merupakan kategori komplek industri.
Jenis tersebut biasanya memiliki hubungan perdagangan antar industri yang jelas dan stabil
dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu, kompleks industri juga memiliki beberapa
industri skala besar seperti baja atau kimia, dimana menggunakan model lokasi-produksi yang
merepresentasikan gabungan analisis lokasi dan analisis input dan output. Beberapa KEK
memiliki karakteristik yang sama seperti industri baja di Palu atau industri kimia di Sei
Mangkei. KEK sebagai kompleks industri juga memiliki keanggotaan yang terbatas dengan
syarat tertentu untuk bisa masuk menjadi bagian kluster. Industri juga tidak mendapatkan
rental appreciation (penghargaaan sewa lahan) karena lahan yang sudah terbeli tidak dapat
dijual dan harus digunakan. Ide komplek kluster ini juga dapat direfleksikan dengan teori
growth pole milik Perroux, dimana industri lebih cenderung terletak di luar perkotaan untuk
menumbuhkan pusat perekonomian baru. Hal tersebut relevan dengan keinginan pemerintah
dalam mendesain KEK sebagai pusat-pusat baru bagi pertumbuhan ekonomi di daerah,
khususnya wilayah di luar jawa.

Krugman (1991) dalam McCann (2013) mengatakan bahwa industri yang mengkluster
memiliki keuntungan dalam menghemat biaya transportasi dan transaksi, akses kepada
kelompok kerja, dan terciptanya skala ekonomi. KEK yang sangat terkonsentrasi memiliki
keuntungan maupun kerugian. Pemerintah menjanjikan ketersediaan infrastruktur yang
lengkap serta sarana transportasi yang memadai kegiatan industri. Walaupun performa
positif KEK masih belum terlihat sampai sekarang, namun upaya pemerintah terlihat serius
dengan menjadikan KEK sebagai proyek strategis nasional beserta kelengkapan sarana
prasarana seperti pembangunan rel kereta api, jalan tol, pelabuhan dan bandara yang
terintegrasi dengan kawasan industri tersebut. Kemudahan aksesibilitas ini diharapkan dapat
menurunkan biaya transport dan meningkatkan keuntungan perusahaan. Biaya transaksi

8
(transaction cost) berupa informasi (knowledge spillover) tentang proses produksi, teknologi,
pengetahuan baru, pasar maupun kebijakan juga dapat dihemat, karena interaksi antar
industri dan kuatnya relasi terhadap pemerintah. Namun, lokasi KEK yang cenderung jauh dari
pusat perkotaan dan permukiman tidak memberikan kemudahan dalam mengakses
kelompok kerja. Misalnya KEK pariwisata di Pulau Morotai yang membutuhkan 30 ribu
pekerja, sedangkan jumlah angkatan kerja di pulau tersebut tidak kurang dari 10 ribu jiwa.
Hal ini juga terjadi di beberapa KEK yang terletak di desa yang jauh dari akses kelompok kerja.
Terkait dengan terciptanya skala ekonomi, hal ini tentu berbeda bagi masing- masing industri,
namun dengan berbagai kemudahan dan keuntungan yang ada, industri di KEK berpeluang
besar menciptakan skala ekonominya.

KEK diharapkan dapat menarik investasi luar negeri (FDI) dimana iklim investasi yang kondusif
diciptakan melalui kawasan industri modern dengan skala internasional. Adanya FDI dalam
KEK secara tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan wilayah sekitarnya. Aktivitas
antar industri dapat berkekspansi dan terhubung dengan aktivitas lain di sekitarnya
(Aggarwal, 2011). Konsep tersebut mirip dengan teori New Economic Geography (NEG) milik
Fujita dkk (1999) dan Krugman (1991) dalam McCann (2013) dimana dampak kumulatif
aktivitas perdagangan aglomerasi industri dapat membuat konsentrasi industri tersebut
menjadi semakin besar dalam suatu wilayah melalui dukungan perdagangan internasional.
Hal ini membuat KEK yang berorientasi pada kegiatan ekspor dan impor menjadi kawasan
potensial untuk mengakumulasi investasi guna mendorong pertumbuhan wilayah yang lebih
luas.

Aglomerasi ekonomi melalui KEK juga memiliki eksternalitas negatif baik secara ekonomi
maupun lingkungan. Aktivitas industri skala besar yang dilakukan dalam suatu kawasan dapat
menyebabkan kemacetan, polusi udara, degradasi lingkungan, dll. Pembangunan kawasan
industri tersebut juga memungkinkan terjadinya konversi lahan pertanian dan penggusuran
tanah milik warga. Hal ini sempat terjadi di beberapa KEK di Indonesia, seperti KEK Mandalika
dan Sei Mangkei. KEK dapat gagal menjadi kebijakan ekonomi wilayah jika tidak mampu
bersinergi dengan ekonomi lokal sebagai pusat pertumbuhan baru (Aggarwal, 2011). Hal ini
terjadi ketika KEK tidak mampu mengembangkan potensinya dan menjadi benalu bagi
perekonomian wilayah. Esensi dari KEK bukan dari kedekatan antar industri, namun terletak

9
pada sinergi dan jaringan yang muncul bersama ekonomi lokal (Porter, 1998 dalam McCann,
2013)

4.2 KEK Sebagai Kebijakan Ekonomi Wilayah Modern dan “Placed Based”

Kebijakan ekonomi wilayah bergeser dari tradisional menjadi modern untuk merespon
fenomena globalisasi. Tabel 1 menunjukkan perbedaan antara kebijakan ekonomi wilayah
tradisional dan modern.

Tabel 1. Perbedaan Kebijakan Ekonomi Wilayah Tradisional dan Modern

Indikator Kebijakan Wilayah Tradisional Kebijakan Wilayah Modern

Mengkompensasi sementara lokasi Menstimulan wilayah/kawasan


Objektifitas yang mempengaruhi wilayah yang potensial untuk meningkatkan
tertinggal pembangunan di semua wilayah
Unit Intervensi Unit Administrasi Kawasan ekonomi fungsional
Pendekatan sektoral Terintegrasi dengan proyek
Strategi
pembangunan yang lain
Subsidi dan bantuan negara Campuran hard capital (Infrastruktur)
dan soft capital (Sistem jaringan,
Alat
dukungan aktivitas bisnis, penyediaan
kredit)
Pemerintah Pusat Multi stakeholder (Pemerintah lokal,
Aktor regional dan nasional serta private dan
masyarakat)

Sumber : McCann, 2013

KEK sangat relevan dengan bentuk kebijakan ekonomi wilayah modern, karena lahir pasca
munculnya globalisasi dan krisis tahun ekonomi tahun 2008. KEK merupakan pengembangan
kebijakan kawasan industri pemerintah pusat dalam usaha meningkatan ekonomi lokal,
regional maupun nasional. Secara objektifitas kebijakan KEK berfungsi untuk
mendorong/menstimulan potensi-potensi ekonomi di daerah, seperti sumber daya alam
(pariwisata, tambang, dll) dan posisi geografis yang strategis untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi wilayah. Pengembangan kawasan industri yang didukung dengan
kebijakan soft capital seperti insentif (pemotongan pajak) dan kemudahan (perijinan, bisnis,
investasi,dll) diharapkan dapat menciptakan multiplier effect pembangunan di tingkat lokal,

10
regional maupun nasional. Unit intervensi kebijakan KEK juga jelas pada kawasan fungsi
ekonomi, dimana kawasan tersebut merupakan kawasan strategis dan berpotensi menjadi
simpul ekonomi wilayah. Pembangunan KEK terintegrasi dengan berbagai kebijakan
pembangunan lainnya, seperti jalan, bandara, pelabuhan, dan rel kereta api dimana
diorientasikan sebagai dukungan hard capital untuk membantu pertumbuhan ekonomi
wilayah. Walaupun KEK merupakan kebijakan pemerintah pusat, namun manajemen KEK
menggunakan prinsip desentralisasi, dimana pemerintah pusat (Dewan Nasional KEK)
menunjuk Dewan Kawasan (Skala Provinsi) dan Adminsitrator KEK (Skala Kawasan) untuk
berkoordinasi dengan Pelaku Usaha/Industri (Private Sector) dalam mengelola
pengembangan KEK. Kolaborasi multi stakehloder tersebut merupakan bentuk nyata KEK
sebagai kebijakan ekonomi wilayah yang modern.

Kebijakan wilayah modern tidak hanya mengatur kawasan atau batas wilayah saja, namun
lebih dari itu kebijakan tersebut harus terlibat dalam hubungan antara kelembagaan, geografi
dan pengembangan ekonomi. Pendekatan kebijakan space – blind maupun placed-based
sama-sama menyentuh interaksi spasial antar aktivitas dalam suatu wilayah. Perbedaannya
adalah berkaitan dengan bagaimana mereka mempersepsikan spasial/geografi, ekonomi,
interaksi antar lembaga, dan proses pembuatan kebijakan serta isu tertentu yang dibahas (Mc
Cann, 2013)

Tabel 2. Perbedaan Pendekatan Space-Blind dan Placed-Based

Indikator Pendekatan Space-Blind Pendekatan Placed-based

Pertumbuhan tidak merata secara Memaksimalkan pertumbuhan nasional


spasial melalui pengembangan lokasi potensial
Menghilangkan hambatan dalam Memperkuat lokasi aset tertentu dan
Spasial pertumbuhan kota membantunya berkembang untuk
menjadi lebih kompetitif
Menghindari target secara spesifik
pada kawasan/wilayah
Proses pembangunan bersifat kaku Strategi ekonomi lebih fleksibel dan
Ekonomi
dan linier adaptif

11
Indikator Pendekatan Space-Blind Pendekatan Placed-based

Memaksimalkan pertumbuhan Mempromosikan industri lokal dan


nasional melalui peningkatan inovasi
produktivitas dan efisiensi
Penekanan pada kota besar dan
aglomerasi ekonominya
Membutuhkan kerjasama dengan
stakeholder lain (Lokal, Horisontal,
Kebijakan “people-based” –
Kelembagaan Private)
Penyediaan layanan sosial dan
dan Pengambilan kebijakan dengan lintas
membiarkan mereka bermigrasi
Kebijakan dan dukungan multi stakeholder
menuju lapangan kerja
Lembaga/Institusi menjadi hal yang
penting

Sumber : Diolah dari McCann (2013)

KEK sebagai salah satu bentuk kebijakan ekonomi wilayah berkaitan erat dengan elemen
spasial, pengembangan ekonomi serta institusi dalam proses penyusunannya. Pendekatan
placed-based menjadi cara yang paling mirip dengan karakteristik kebijakan KEK yang dibuat
oleh pemerintah Indonesia. Dari sisi spasial/geografi, KEK merupakan lokasi potensial yang
nantinya menjadi simpul ekonomi wilayah hingga nasional. Pertumbuhan ekonomi tersebut
dilakukan melalui penguatan lokasi/kawasan agar industri-industri dapat berkembang dan
menjadi lebih kompetitif. Selain dukungan infrastruktur, insentif dan berbagai kemudahan,
adanya aliran FDI diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekonomi dari KEK. Kebijakan
KEK juga mencerminkan strategi ekonomi yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap dinamika
ekonomi, dimana KEK diharapkan mampu membuat stimulan terhadap perkembangan
industri-industri lokal di wilayah, sehingga mampu mendukung pertumbuhan wilayah secara
seimbang. Hal ini berbeda dengan pendekatan space-blind yang menganggap bahwa
aglomerasi ekonomi skala besar adalah prioritas dan satu-satunya cara dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.

Dari perspektif kelembagaan dan kebijakan, KEK juga mirip dengan pendekatan placed-based,
karena berbagai stakeholder dari skala lokal, regional, nasional hingga sektor private (industri)

12
terlibat dalam pengambilan keputusan. Proses pengusulan KEK misalnya,
industri/perusahaan boleh mengusulkan diri menjadi KEK, namun harus dengna perstujuan
pemerintah lokal dan regional, kemudian usulan tersebut dibahas di tingkat nasional hingga
proses penetapan. Pasca penetapan, pengelolaan KEK akan dikembalikan melalui dewan
kawasan dan administrator KEK di daerah dengan koordinasi bersama industri/perusahaan.
Oleh karenanya, kelembagaan menjadi hal yang penting dalam mendukung pengelolaan dan
pengembangan KEK di Indonesia.

5. Kesimpulan

Aglomerasi ekonomi dalam bentuk kluster industri di Indonesia telah muncul sejak era orde
baru dan terus berkembang hingga munculnya kawasan industri modern berbentuk kawasan
ekonomi khusus seperti sekarang. Pemerintah berharap KEK mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi di tingkat wilayah maupun nasional. KEK merupakan bentuk dari
economies of urbanization untuk KEK yang bergerak di spesialisasi industri/logistik dan juga
economies of localization khususnya bagi KEK yang sektor utamanya adalah pariwisata. KEK
juga masuk dalam kategori komplek industri jika melihat karakteristik dan prosedur
kawasannya.

Terdapat berbagai keuntungan maupun kerugian industri yang beraglomerasi di dalam KEK.
Keuntungan yang didapatkan industri adalah penghematan biaya transaksi dan transportasi,
namun lokasi KEK yang jauh dari pusat kota/permukiman membutuhkan upaya lebih bagi
industri untuk mendatangkan para pekerja. Implementasi pembangunan KEK di luar jawa dan
jauh dari pusat kota merefleksikan model growth pole yang ingin menciptkan pusat
pertumbuhan baru di wilayah. Adanya aktivitas perdagangan internasional melalui FDI yang
masuk dalam KEK dan pengaruhnya terhadap wilayah di sekitarnya juga merupakan aplikasi
model Neo Geographic Economy.

Pemerintah Indonesia menggunakan kebijakan ekonomi wilayah modern melalui


pembentukan dan pengembangan KEK. Keterlibatan multi stakeholder, integrasi dengan
proyek pembangunan lain dan penggunaan dukungan soft dan hard capital adalah beberapa
ciri kebijakan ekonomi wilayah modern. Kebijakan tersebut juga berkaitan dengan
pendekatan placed-based melalui Intervensi pada kawasan ekonomi tertentu dan
menstimulasi wilayah potensial untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Terlepas dari
pertanyaan mengenai keberhasilan dan efektivitas kebijakan KEK di Indonesia, pemerintah
13
sangat serius dalam mengembangkan KEK sebagai salah satu bentuk aglomerasi ekonomi
yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi baik di tingkat wilayah maupun nasional.

Daftar Pustaka

Aggarwal, A. 2011. Promoting Agglomeration Economies And Industrial Clustering Through


Sezs: Evidence From India. Journal Of International Commerce, Economics And Policy Vol.
2, No. 2, 201–227
Damuri, dkk. 2015. Kawasan Ekonomi Khusus dan Strategis di Indonesia : Tinjaun atas
Peluang dan Permasalahan. Centre for Strategic and International Studies. PT Kanisius:
Yogyakarta
Dewan Nasional KEK. Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia. Kek.go.id. 21 Desember 2017.
http://kek.go.id/kek-indonesia
McCann, Philip. 2013. Modern Urban and Regional Economics: Second Edition. Oxford,
UK: Oxford University Press.
World Bank. 2012. Agglomeration and Manufacturing Activities in Indonesia. The World
Bank Office : JAKARTA

14

Anda mungkin juga menyukai