Disusun oleh:
H1401201003 Supriadi
H1401201009 Alfina Rizkia Nur Aini
H1401201060 Julius Gunawan
H1401201078 Selviani Rahmita
H1401201087 Marsya Novianda
- Klasifikasi Aglomerasi
1. Internal scale economies merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan karena
membesarnya skala produksi perusahaan tersebut pada suatu lokasi. Ketika banyak
terjadi investasi di suatu tempat yang hanya dimiliki oleh satu perusahaan, maka hal
tersebut dapat dikategorikan sebagai internal returns to scale.
Ex : pertambangan Freeport di Tembagapura.
2. Localization economies merupakan keuntungan yang diperoleh bagi semua
perusahaan dalam industri yang sama dalam suatu lokasi. Localization economies
hampir sama sifatnya dengan jenis sebelumnya, hanya saja pada kasus ini, banyak
perusahaan yang terlibat, namun masih berada dalam satu sektor.
Ex : Aglomerasi industri otomotif di Detroit, atau industri teknologi informasi di
Silicon Valley.
3. Urbanization economies merupakan keuntungan bagi semua industri pada suatu lokasi
yang sama sebagai konsekuensi membesarnya skala ekonomi (penduduk, pendapatan,
output atau kemakmuran) dari lokasi tersebut dan perusahaan yang terlibat disini
bersifat lintas sektor.
Ex : Contoh dari aglomerasi ini adalah ibukota negara-negara berkembang seperti
Jakarta, dan Kuala Lumpur
- Klaster Industri
Klaster Industri merupakan konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri
yang saling berkompetisi, komplementer, atau saling terkait, yang melakukan bisnis
satu dengan lainnya dan memiliki kebutuhan serupa akan kemampuan, teknologi dan
infrastruktur. Pembentukan klaster bisa membantu industri kecil untuk meningkatkan
daya saing, keuntungan yang dihasilkan dari pembentukan klaster antara lain peluang
penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, kemudahan dalam modal, akses kepada
supplier, dan input pelayanan khusus serta terjadinya transfer informasi dan ilmu
pengetahuan.
● Klasifikasi Klaster Industri
1. Peternakan
2. Perikanan
3. Kehutanan
4. Pertanian
5. Pertambangan dan penggalian
6. Perkebunan
7. Industri pengolahan
8. Klaster Perdagangan Besar dan Eceran
9. Konstruksi
- Pengelompokan Industri lainnya
1. The Growth Pole Model
Konsep “growth pole” atau dikenal sebagai konsep “kutub
pertumbuhan” yang dibangun oleh ahli ekonomi Prancis, Francois Perroux,
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah tidak terjadi di
sembarang tempat, melainkan di lokasi tertentu. Teori ini menjadi dasar dalam
strategi dan kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak
dijalankan di berbagai negara berkembang maupun negara maju. Pada
awalnya konsep ini dianggap penting karena memberikan kerangka
rekonsiliasi antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota) dan
hinterland-nya.
Akan tetapi, faktanya tidak seperti yang diharapkan karena dampak
backwash effect lebih besar daripada spread effect sehingga pengurasan
sumber daya hinterland oleh pusat menjadi sangat menonjol dan mendorong
ketimpangan yang semakin lebar.
Idealnya, pembangunan ekonomi yang dilakukan selain menciptakan
pertumbuhan setinggi-tingginya, harus pula ikut menghapus dan mengurangi
tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran,
sekaligus menciptakan tambahan pendapatan masyarakat bagi rumah tangga.
Backwash effect yang terjadi di Indonesia terlihat melalui terbentuknya
megaurban di berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek dan
wilayah Gerbangkertosusila. Lebih lanjut backwash effect yang terjadi di
Indonesia menimbulkan terjadinya ketimpangan wilayah, terutama dalam hal
kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Karena itu,
ada kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/sumber
penghidupan, yaitu menuju kota-kota utama tersebut.
(Sumber :
https://feb.ub.ac.id/id/growth-pole-dalam-pembangunan-ekonomi-indonesia.ht
ml#:~:text=KONSEP%20%E2%80%9Cgrowth%20pole%E2%80%9D%20ata
u%20dikenal,tempat%2C%20melainkan%20di%20lokasi%20tertentu.)
2. The Incubator Model
The Incubator Model dikemukakan oleh Chinitz yang menyatakan
bahwa suatu klaster industri dengan keragaman yang tinggi yang terdiri dari
beragam industri dengan ukuran perusahaan yang berbeda-beda akan
bertindak sebagai ‘inkubator’ bagi perkembangan dan pertumbuhan
perusahaan-perusahaan baru. Klaster tersebut menyediakan beragam jasa
pelayanan bisnis lokal yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan kecil
lokal di wilayah tersebut untuk tumbuh.
Lokasi dengan industri yang berbeda-beda (sektor, ukuran, dan tipe)
dan tidak didominasi oleh beberapa perusahaan saja akan menjadi inkubator
munculnya industri lain yang berbeda dalam skala yang lebih kecil, karena
tersedia lebih banyak konsumen untuk setiap industri.
Kegiatan rintisan penerapan model inkubator pada tahun 2012
ditujukan pada sosialisasi dan menginformasikan rintisan model yang telah
dilakukan inkubator 4 perguruan tinggi dalam rangka pengembangan:
1. Inkubator Model Green Energy/Energi ramah lingkungan (IPB)
2. Inkubator Model Manufacturing (ITB)
3. Inkubator Model Industri Kreatif/ICT(ITS)
4. Inkubator Model Agrobisnis (UB) yang telah dicobakan pada tahun
sebelumnya.
Contohnya, BNV Labs mulai beroperasi sejak Maret 2017. Program ini
merupakan kolaborasi Bank Bukopin dan Kibar. BNV Labs memiliki
keutamaan yaitu akses mudah bagi penggiat fintech dengan Bank Bukopin.
Beberapa startup lokal yang bekerja sama dengan BNV Labs adalah
Jojonomic, eFishery, 8Villages, Reblood, Olride, Riliv, Pasienia, dan Iwak.
● High value product terbagi menjadi dua yakni High Intrinsic Value Product
(HIV) dan High Value Branded Products (HVB). Produk berjenis High
Intrinsic value adalah produk yang nilai intrinsiknya sendiri memang sudah
mewah dan mahal seperti berlian, emas, dan sebagainya. High Value Branded
adalah produk-produk yang menjadi terkesan mewah karena Brand yang
menempel padanya.
Ex: PT Antam
● Low value product adalah produk yang nilainya rendah. Produk ini cenderung
menyebar di beberapa wilayah dan diproduksi oleh banyak perusahaan area
pasar lebih terbatas
Ex : Janji Jiwa dan Kopi Kenangan