Anda di halaman 1dari 17

TATA GUNA LAHAN DESA & KOTA SERTA POLA

PEMUKIMAN DAN PERMASALHANNYA

Kelompok 6
Sri Anggraini (3191131016)
Verry S. Mendrofa (3192431022)
Teopilus Barus (3193131029)
Yohannes Napitupulu (3193331027)

Kelas : A Geografi 2019


Dosen Pengampu : Dr. Novida Yenny, M.Si

M.Kuliah : Geografi Desa Kota

Program S1 Pendidikan Geografi


Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan
Medan
OKTOBER 2021

1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Puji dan syukur saya hanturkan atas kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas izin-Nya
penulis masih diberikan rahmat serta ridhonya sehingga masih memberikan kesempatan bagi
saya sehingga Makalah Tata Guna Lahan Desa & Kota Serta Pola Pemukiman Dan
Permasalhannya dapat diselesaikan dengan tepat waktu, sehingga sedikit banyaknya pasti
memberikan manfaat baik sebagai referensi atau pedoman serta menambah wawasan atau
ilmu pengetahuan bagi si pembaca.

Dalam penulisan Makalah Tata Guna Lahan Desa & Kota Serta Pola Pemukiman
Dan Permasalhannya ini tentu sedikit banyaknya ada kendala yang penulis hadapi, namun
berkat masukan serta arahan dari dosen pembimbing serta dukungan dari kedua orangtua saya
sehingga kendala yang saya hadapi dapat diminimalisir dan ditanggulangi.

Tentu masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Tata Guna Lahan Desa
& Kota Serta Pola Pemukiman Dan Permasalhannya ini, sehingga saya sebagai penulis
tentu menerima tanggapan kritikan dan saran yang dapat membangun agar penulisan critical
selanjutnya lebih baik lagi.

Medan, 4 Oktober 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
1.3. Tujuan....................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................2
2.1. Tata Guna Lahan dan Pola Permukiman Desa Serta Permasalahannya..............................2
2.2. Tata Guna Lahan dan Pola Permukiman Kota Serta Permasalahannya...............................5
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................13
3.1. Kesimpulan..........................................................................................................................13
3.2. Saran....................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................14

ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan adalah keseluruhan lingkungan yang menyediakan kesempatan bagi manusia
menjalani kehidupannya (Rahayu, 2007). Lahan adalah tanah yang sudah ada
peruntukkannnya dan umumnya ada pemiliknya, baik perorangan atau lembaga (Budiono,
2008). Berdasarkan pada dua pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa lahan
merupakan bagian dari ruang merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia sebagai
ruang maupun sumber daya, karena sebagian besar kehidupan manusia tergantung pada lahan
yang dapat dipakai sebagai sumber penghidupan, yaitu dengan mencari nafkah melalui usaha
tertentu selain sebagai pemukiman.
Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan
aktivitasnya, semakin meningkatnya jumlah penduduk di suatu tempat akan berdampak pada
makin meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Selain itu, dengan adanya pertumbuhan
dan aktivitas penduduk yang tinggi akan mengalami perubahan penggunaan lahan yang cepat
pula, sehingga diperlukan perencanaan tataguna lahan yang sesuai dengan peruntukan
wilayah tersebut. Perencanaan tataguna lahan pada hakekatnya adalah pemanfaatan lahan
yang ditujukan untuk suatu peruntukan tertentu, permasalahan yang mungkin timbul dalam
menetapkan peruntukan suatu lahan adalah faktor kesesuaian lahannya. (Noor, 2011).

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tata guna lahan dan pola permukiman desa serta permasalahannya?
2. Bagaimana tata guna lahan dan pola permukiman kota serta permasalahannya?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mampu menjabarkan tata guna lahan dan pola permukiman desa serta
permasalahannya
2. Mampu menjabarkan tata guna lahan dan pola permukiman kota serta
permasalahannya

1
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Tata Guna Lahan dan Pola Permukiman Desa Serta Permasalahannya
Menurut Undang-undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam artian, desa memiliki
kewenangan tersendiri termasuk dalam mengatur tata ruang desanya. Namun dalam
implementasinya, pengaturan wilayah desa masih dikelola dan diatur oleh pemerintah
kab/kota. Konflik kepentingan antara desa, masyarakat dan sektor swasta juga meningkat dan
seringkali merugikan pihak desa dan warga lokal. Akhirnya, desa kehilangan kewenangannya
dalam mengatur dan menata ruangnya sendiri.

Menurut Undang-Undang Penataan Ruang, hukum penataan ruang adalah hukum


yang berwujud struktur ruang (susunan pusat -pusat pemukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang
secara hierarkis memiliki hubungan fungsional) dan pola ruang (distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan
ruang untuk fungsi budi daya). Dalam konteks penataan pola ruang, distribusi peruntukan
wilayah dibagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam proses
penetapan tersebut, seharusnya pemerintah desa dilibatkan karena desa memiliki kewenangan
tersendiri yang sudah dijelaskan sebelumnya. Proses penetapan tersebut merupakan
kolaborasi perencanaan top-down dan bottom up karena pemerintah kabupaten/kota
menetapkan distribusi kawasan yang dikehendaki sesuai dengan persetujuan dari pemerintah
desa, begitu pula sebaliknya. Perwujudan tata ruang desa sebisa mungkin mengedapankan
konsep keberlanjutan. Jika tidak ada pengaturan tata ruang yang baik dan keberlanjutan maka
bisa saja desa akan menghadapi permasalahan yang sudah mulai kita temui sekarang.

Atas dasar hal tersebut maka prinsip dasar yang digunakan dalam bagi penyusunan
pedoman penataan ruang kawasan perdesaan berbasis masyarakat ini adalah sebagai berikut:

1. Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses


perencanaan tata ruang kawasan perdesaan;

2. Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses perencanaan tata ruang;


2
3. Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan
keberagamansosial budayanya;

4. Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika;

5. Memperhatikan perkembangan teknologi dan bersikap profesional

Agar masyarakat kawasan perdesaan dapat berperan dalam proses perencanaan tata
ruang secara partisipatif, maka dibutuhkan upaya sebagai berikut:

1. Menumbuh-kembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban masyarakat dan


pemangku kepentingan lainnya, khususnya yang bertempat tinggal di kawasan
perdesaan dalam proses perencanaan tata ruang kawasan perdesaan.

2. Meningkatkan kesadaran kepada pelaku pembangunan lainnya bahwa masyarakat


perdesaan bukanlah obyek perencanaan tata ruang, tetapi justru merekalah pelaku dan
pemanfaat utama yang seharusnya terlibat dari proses awal sampai akhir dalam proses
perencanaan tata ruang kawasan perdesaan.

3. Mendorong masyarakat dan lembaga sosial kemasyarakatan atau lembaga swadaya


masyarakat untuk lebih berperan dan terlibat dalam perencanaan tata ruang kawasan
perdesaan.

Pola Permukiman Desa dan Permasalahannya

Pola permukiman desa dapat dibedakan menjadi tiga sebagai berikut.

a. Pola Permukiman Tersebar

Pola ini terbentuk dari rumah-rumah penduduk yang dibangun bebas dan tersebar
pada wilayah yang luas. Pola permukiman ini umumnya terdapat di dataran rendah.
Arah pemekaran permukiman dapat ke segala jurusan. Pusat kegiatan dan fasilitas
dapat dibangun tersebar sesuai dengan kebutuhan.

b. Pola Permukiman Menjalur

Pola ini terbentuk di lokasi sepanjang jalur utama seperti jalan, sungai, dan pantai. Di
daerah pantai yang landai, dapat tumbuh permukiman menjalur. Penduduk pantai
pada umumnya bermata pencaharian di bidang perikanan, perkebunan kelapa, dan
perdagangan. Apabila kemudian permukiman desa ini berkembang, maka rumah-

3
rumah dibangun meluas sejajar garis pantai. Permukiman desa yang berkembang ini
akhirnya dapat tersambung dengan permukiman desa di dekatnya. Pusat kegiatan
industri kecil seperti perikanan dan pertanian, dapat tetap bertahan di dekat
permukiman lama.

c. Pola Permukiman Mengelompok

Pola ini terbentuk karena terjadi pengelompokan rumah pada wilayah terpadu yang
biasanya berupa titik pertemuan atau persimpangan jalur transportasi. Pola
permukiman mengelompok dapat juga berkembang di daerah pegunungan. Penduduk
desa di daerah pegunungan umumnya masih memiliki hubungan keluarga.
Pengelompokan permukiman ini didorong oleh kegotongroyongan penduduknya.
Apabila jumlah penduduk bertambah dan terjadi pemekaran desa, maka arah
pemekaran ke segala jurusan tanpa direncanakan. Pusat kegiatan penduduk dapat
bergeser mengikuti pemekaran.

Paul H. Landis, seorang ahli sosiologi perdesaan, membedakan pola persebaran


permukiman desa menjadi empat tipe. Perbedaan pola ini ditentukan oleh lahan pertanian,
pusat kegiatan, permukiman, dan jalan utama.

1. Tipe desa yang penduduknya tinggal bersama di suatu daerah dengan lahan
pertanian di sekitarnya (The farm village type).

2. Tipe desa yang sebagian besar penduduknya tinggal bersama di suatu daerah
dengan lahan pertanian di sekitarnya dan sebagian kecil penduduknya tersebar di
luar permukiman utama yang telah padat (The nebulous farm type).

3. Tipe desa yang penduduknya bermukim di sepanjang jalan utama desa, sungai,
atau pantai. Lahan pertanian berada di sekitar permukiman desa dan jarak
antarrumah tidak terlalu jauh (The arranged isolated farm type).

4. Tipe desa yang penduduknya tinggal tersebar dan terpisah dengan lahan pertanian
masing-masing serta mengumpul pada suatu pusat perdagangan. Tipe ini biasanya
terjadi pada daerah yang tanahnya memiliki tingkat kesuburan tidak sama (The
pure isolated type).

Desa merupakan suatu lokasi di pedesaan dengan kondisi lahan sangat heterogen dan
topografiyang beraneka ragam. Pola tata ruangnya sangatlah tergantung pada topografi yang

4
ada. Pola tataruang merupakan pemanfaatan ruang atau lahan di desa untuk keperluan
tertentu sehingga tidakterjadi tumpang tindih dan berguna bagi kelangsungan hidup
penduduknya.

Salah satu permasalahan mengenai pola permukiman yaitu Seiring dengan terjadinya
jumlah penduduk yang terus meningkat,sedangkan jumlah tersediaan lahan untuk pemukiman
yang tetap maka tidak jarang menyebabkan pada lokasi pemukiman yang dekat dengan pusat
kegiatan akan timbul beberapa titik konsentrasi pemukiman hunian yang padat.Pemukiman
hunian yang padat ini menimbulkan kesan kumuh bagi lingkungan sekitarnya. Desa Botawa
merupakan salah satu desa di Kabupaten Waropen bagian utara yang beberapa wilayahnya
memiliki Permukiman Tradisional .Permukiman tradisional di Wilayah desa botawa dapat di
kategori termasuk dalam permukiman tidak tertata dengan baik dan masi bersifat tradisional.
Permasalahan pemukiman tradisional di desa botawa muncul akibat kurang adanya perhatian
dari pemerintah dalam pembangunan pemukiman tradisional di desa botawa,dan kurangnya
perhatiaan pemerintah dalam menangani permasalahan perumahan dan pemukiman
tradisional yang ada di desa botawa tersebut sehingga seringkali terjadi tumpang tindi di
dalam desa tersebut mengenai batas wilayah dalam pembanguan perumahan,dan kurang
adanya sosialisasi dari pemerintah daerah tetang polah hidup sehat,sehingga dari kehidupan
tradisional masyarakat yang ada membuat lingkungan pemukiman tradisional yang ada di
desa botawa terlihat kotor dan kumuh. Maka dari itu di perlukan suatu arahan dalam penataan
lingkungan permukiman tradisional tersebut untuk menghilanhkan kekumuhan yang ada di
pemukiman wilayah botawa.Dalam arahan Karakteristik pemukiman tradisional baik secara
soial,ekonomi dan fisik perlu mendapat perhatiaan khusus dan partisipasi masyarakat perlu di
jaring untuk mendapatkan arahan yang paling sesuai dengan keinginan dan harapan
masyarakat itu sendiri.

2.2. Tata Guna Lahan dan Pola Permukiman Kota Serta Permasalahannya
1. Tata Guna Lahan Kota
Saat ingin memulai pembangunan, pemerintah atau pihak yang terlibat wajib
memperhatikan tata guna lahan perkotaan. Setiap lahan yang ada di sebuah kota memiliki
fungsi dan peruntukan yang berbeda. Tanah untuk pembangunan jalan raya, gedung, hingga
fasilitas umum masing-masing sudah diatur dalam tata guna lahan perkotaan.

5
Setiap peraturan yang dibentuk pasti memiliki tujuan, begitu pula dengan dibentuknya
aturan tata alokasi lahan. Beberapa tujuan tata guna lahan adalah:

 Untuk memberikan sebuah hak dan perlindungan pada lingkungan.


 Dengan adanya tata alokasi lahan akan mengurangi potensi penyalahgunaan lahan.
 Membentuk sistem transportasi yang baik dan efektif dalam sebuah kota.
 Menyediakan lahan untuk tempat berlangsungnya aktivitas publik.

Selain itu, dengan adanya tata alokasi lahan maka perencanaan sebuah daerah akan
tertata dengan baik, tertib dan rapi. Serta meminimalisir terjadinya penggunaan lahan secara
sembarangan oleh orang yang tidak memiliki izin.

Pemerintah di setiap daerah telah mengatur fungsi lahan pada masing-masing


wilayahnya. Penetapan peruntukkan lahan tersebut biasanya dapat dilihat pada peta tata guna
lahan. Dalam peta tata guna lahan, akan disediakan informasi berupa pembagian lahan
beserta masing-masing fungsinya yang dibedakan dalam beberapa warna. Peta tata guna
lahan umumnya bisa Anda akses melalui website resmi pemerintah daerah.

Kondisi geografis yang berbeda membuat setiap kawasan memiliki fungsi lahan yang
berbeda pula. Maka dari itu, setiap daerah juga memiliki beberapa jenis tata penggunaan
lahan yang dijadikan patokan. Terdapat tiga jenis tata alokasi lahan, berikut penjelasannya:

 Lahan Komersial

Lahan komersial diperuntukkan dalam berbagai aktivitas dagang ataupun perusahaan


besar, misalnya saja perhotelan, pusat belanja, restaurant, gedung perkantoran dan
sebagainya.

 Lahan Industri

Lahan industri adalah lahan yang diperuntukkan dalam berbagai kegiatan industri seperti
pabrik. Lahan industri harus jauh dari pemukiman warga untuk menghindari pencemaran
dan polusi yang mengganggu kesehatan.

 Lahan Publik

Lahan ini digunakan untuk keperluan masyarakat atau fasilitas layanan publik.
Contohnya rumah sakit, tempat ibadah atau tempat rekreasi. Lahan yang telah menjadi
lahan publik tidak dapat difungsikan untuk keperluan komersial.

6
Teori Tata Guna Lahan

Perencanaan tata peruntukkan lahan sangat diperlukan agar semua fungsinya saling
mendukung satu sama lain. Seperti halnya lahan yang dipakai untuk kepentingan publik
berada di kawasan yang terjangkau. Terdapat beberapa teori tata guna lahan yang
dikemukakan oleh para ahli terkait dengan perencanaan tata peruntukkan lahan.

 Teori konsentris

Teori tata guna lahan ini disampaikan oleh E.W Burgess. Ia melakukan analisis pada
kota Chicago pada tahun 1925 dimana sebuah kota analoginya sama dengan dunia
hewan, akan terdapat sebuah daerah yang didominasi oleh spesies tertentu. Begitu juga
dengan perkotaan, akan muncul pengelompokan jenis peruntukkan lahan di daerah
tertentu.

Teori tata guna lahan ini dikemukakan oleh Homer Hoyt pada tahun 1913. Ia
mengatakan bahwa pola sektoral yang terdapat di suatu daerah bukanlah sesuatu yang
terjadi secara kebetulan tetapi asosiasi keruangan yang berasal dari variabel yang
ditentukan oleh penduduk. Variabel tersebut merupakan kecenderungan warga untuk
tinggal di daerah yang mereka anggap nyaman.

 Teori Pusat Kegiatan Banyak

Teori tata guna lahan selanjutnya disampaikan oleh Harris dan Ulmann pada tahun
1945. Mereka berpendapat bawah pusat kegiatan publik tidak harus selalu berada di
tengah namun membentuk persebaran yang teratur dan menghasilkan pola keruangan
yang khas.

 Teori Nilai Lahan

Dalam teori ini disebutkan bahwa klasifikasi tinggi rendahnya suatu jenis peruntukkan
lahan ditimbulkan oleh beberapa faktor, diantaranya: Lahan untuk pertanian bergantung
pada faktor drainase, aksesibilitas dan kesuburan. Lahan untuk perkotaan bergantung
pada faktor infrastruktur, kelengkapan, aksesibilitas dan potensial konsumen.

Merencanakan tata peruntukkan lahan yang baik tentunya akan memberikan manfaat
serta dampak positif bagi masyarakat, diantaranya:

7
Perkembangan ekonomi menjadi semakin positif adanya pemerataan fungsi lahan
yang benar, hal ini sekaligus menjaga sumber daya alam agar tidak rusak Mengatur struktur
kota yang tertata dengan baik untuk mengurangi terjadinya kemacetan. Perencanaan
ketentuan ini dapat mengurangi dampak negatif terjadinya bencana alam di suatu wilayah.

2. Pola Permukiman Kota


Adapun beberapa pola permukiman kota adalah sebagai berikut:
 Pola Pemukiman Memanjang (Linear).

Pola pemukiman memanjang memiliki ciri pemukiman berupa deretan memanjang karena
mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai.

1. Mengikuti jalan
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri jalan. Umumnya pola pemukiman
seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga
memudahkan pembangunan jalan-jalan di pemukiman. Namun pola ini sebenarnya terbentuk
secara alami untuk mendekati sarana transportasi.

Pola pemukiman mengikuti jalan


2. Mengikuti rel kereta api
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri rel kereta api. Umumnya pola
pemukiman seperti ini banyak terdapat di daerah perkotaan terutama di DKI Jakarta dan atau
daerah padat penduduknya yang dilalui rel kereta api.

8
Pola pemukiman mengikuti jalan atau rel kereta api
3. Mengikuti Alur Sungai
Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola
pemukiman ini terdapat di daerah pedalaman yang memiliki sungai-sungai besar. Sungai-
sungai tersebut memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan penduduk.

Pola pemukiman mengikuti alur sungai


4. Mengikuti Garis Pantai
Daerah pantai pada umumnya merupakan pemukiman penduduk yang bermata pencaharian
nelayan. Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti garis pantai. Hal itu
untuk memudahkan penduduk dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan ke
laut.

9
Pola pemukiman mengikuti garis pantai
 Pola Pemukiman Terpusat
Pola pemukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya
terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang
daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola pemukiman memusat mengitari mata air dan
tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan di pedalaman pemukiman memusat
mendekati lokasi pertambangan. Penduduk yang tinggal di pemukiman terpusat biasanya
masih memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola pemukiman ini
sengaja dibuat untuk mempermudah komunikasi antarkeluarga atau antarteman bekerja.

Pemukiman terpusat di daerah pegunungan


 Pola Pemukiman Tersebar.
Pola pemukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan
daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah dataran tinggi atau daerah gunung api
penduduk akan mendirikan pemukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak
terjal, morfologinya rata dan relatif aman. Sedangkan pada daerah kapur pemukiman
penduduk akan tersebar mencari daerah yang memiliki kondisi air yang baik. Mata
pencaharian penduduk pada pola pemukiman ini sebagian besar dalam bidang pertanian,
ladang, perkebunan dan peternakan

10
Pola Pemukiman Tersebar

3. Permasahan Tata Guna Lahan dan Pola Permukiman Kota

Permasalahan tata guna lahan kota:

Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan akan perumahan
menjadikan lahan-lahan pertanian semakin berkurang. Lahan yang sempit semakin
terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan dan perdagangan. Petani lebih memilih bekerja
di sektor informal dari pada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang
memudar dan terus menurun menjadikan petani cenderung mengalih fungsikan lahannya.

Peningkatan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non pertanian mengakibatkan


banyak lahan terutama disekitar perkotaan mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan juga
dapat terjadi oleh karena kurangnya insentif yang diberikan kepada petani lahan serta proses
urbanisasi yang berdampak pada meluasnya aktivitas-aktivitas di daerah perkotaan.

Tanah sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, memiliki peran vital
dalam kehidupan dan penghidupan bangsa serta Negara, terlebih lagi pada negara agraris. Di
negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial,
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu condition sine
qua non.

Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan upaya yang tidak terpisahkan dari
reforma agraria. Reforma agraria tersebut mencakup upaya penataan yang terkait dengan
aspek penguasaan/pemilikan serta aspek penggunaan dan pemanfaatan. Aspek
penguasaan/pemilikan berkaitan dengan hubungan hukum antara manusia dan lahan,
sedangkan aspek penggunaan/pemanfaatan terkait dengan kegiatan pengambilan manfaat atau
nilai tambah atas sumber daya lahan. Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun
2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di maksudkan agar bidang-
bidang lahan tertentu hanya boleh digunakan untuk aktivitas pertanian pangan yang sesuai.

Permasalahan pola permukiman kota:

Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota
besar di Indonesia, bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Telaah tentang
permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga segi, yaitu, pertama, kondisi

11
fisiknya. Kondisi fisik tersebut antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat
rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras,
sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik. Kedua,
kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di permukiman tersebut. Kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh antara lain
mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang
mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga,
dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi
kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku
menyimpang, yang berdampak pada kehidupan keseluruhannya.

Kawasan permukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang harus diatasi.
Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan
permukiman. Sedangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemampuan pengelola kota
akan menentukan kualitas permukiman yang terwujud. Permukiman kumuh adalah produk
pertumbuhan penduduk kemiskinan dan kurangnya pemerintah dalam mengendalikan
pertumbuhan dan menyediakan pelayanan kota yang memadai.

12
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menurut Undang-Undang Penataan Ruang, hukum penataan ruang adalah hukum
yang berwujud struktur ruang (susunan pusat -pusat pemukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional) dan pola ruang (distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya). Saat ingin memulai pembangunan, pemerintah
atau pihak yang terlibat wajib memperhatikan tata guna lahan perkotaan. Setiap lahan yang
ada di sebuah kota memiliki fungsi dan peruntukan yang berbeda. Tanah untuk
pembangunan jalan raya, gedung, hingga fasilitas umum masing-masing sudah diatur dalam
tata guna lahan perkotaan. Salah satu permasalahan mengenai pola permukiman yaitu
Seiring dengan terjadinya jumlah penduduk yang terus meningkat,sedangkan jumlah
tersediaan lahan untuk pemukiman yang tetap maka tidak jarang menyebabkan pada lokasi
pemukiman yang dekat dengan pusat kegiatan akan timbul beberapa titik konsentrasi
pemukiman hunian yang padat.Pemukiman hunian yang padat ini menimbulkan kesan
kumuh bagi lingkungan sekitarnya.

3.2. Saran
Tentu banyak kekurangan dalam penyajian makalah yang di lakukan tim penyusun,
untuk melengkapi kekurangan tersebut bisa di sampaikan kepada tim penyusun agar bisa
di perbaiki kembali atau di diskusi kembali untuk mencari solusi dalam penyelesain
kekurangan tersebut. Kritik dan saran dari pembaca kami terima dengan baik agar dapat
membangun dan memperbaiki kesalahan tim penyusun dalam penulisan makalah
selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, A., & MA'RIF, S. (2012). Pengaruh Keberadaan Universitas Haluoleo Terhadap
Perubahan Tata Guna Lahan Di Kawasan Andonuohu Kota Kendari (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS DIPONEGORO).
Satria, M., & Rahayu, S. (2013). Evaluasi kesesuaian lahan permukiman di kota Semarang
Bagian Selatan. Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota), 2(1), 160-167.
Goenmiandari, B., Silas, J., & Supriharjo, R. (2010). Konsep penataan permukiman bantaran
sungai di kota banjarmasin berdasarkan budaya setempat. In Seminar Nasional Perumahan
Permukiman Dalam Pembangunan Kota (pp. 1-14).
Kastomo, H. KAJIAN PENENTUAN ZONASI TATA RUANG KAWASAN
BERSEJARAH KOTA SINGKAWANG DAN DAMPAKNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN PEREKONOMIAN. Jurnal Teknik Sipil, 16(1).
Dwiyanto, A. (2009). Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) di permukiman
Kota. Jurnal Nasional Arsitektur.
Widayanti, R. (2010). Formulasi model pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap
angkutan kota di Kota Depok. Jurnal Tata Guna Lahan, 1-10.
Cahyono, D. A., Masrevaniah, A., & Priyantoro, D. P. D. (2014). Kajian Penataan Saluran
Drainase Berdasarkan Rencana Tata Guna Lahan Kota Kepanjen Kabupaten Malang. Jurnal
Teknik Pengairan: Journal of Water Resources Engineering, 4(2).

14

Anda mungkin juga menyukai