Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini, digunakan teori kebijakan publik
yang meliputi tahap formulasi hingga implementasi kebijakan dari William N. Dunn, dan Fadilah
Putera serta pakar kebijakan lainnya sebagai teori pendukung yang relevan untuk digunakan
yang mana pada intinya kebijakan pendanaan pendidikan yang berorientasi pada pembangunan
pendidikan disini merupakan suatu keputusan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah dalam
upaya menyelesaikan permasalahan pendanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan
yang berkualitas. Kemudian dalam teori Kebijakan Pendidikan yang digunakan pula teori yang
bersumber dari dari Ali Imron serta beberapa teori pendukung lainnya.
Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari
kata bijaksana yang artinya:
“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan
tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama
dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:5).
Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan
publik adalah:
“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang
mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of
instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for
achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari
lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura,
1980:31).
Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai dengan
pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam
bukunya yang berjudul Understanding Public Policy memberikan definisi kebijakan publik
sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye
mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada
tujuannya. Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata-
mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak
dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai dampak yang sama
besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti
terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.
Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan
yang bersifat publik dimana menurut Schubert Jr. mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu
ternyata paling tidak sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :
Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981)
merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi
kebijakan sebagai :
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions
into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or
legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and
review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian
masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-
tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan
pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan
pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin.
2002:17).
Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses
tersebut untuk sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu
sendiri.
Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat
hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana sudah
dikenal secara umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu :
(Fadillah, 2001:50-62).
Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat
dari Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18
langkah yang merupakan uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik
yaitu :
Pemrosesan nilai;
Pemrosesan realitas;
Pemrosesan masalah;
Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;
Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;
Penentuan strategi pembuatan kebijakan.
Keterangan :
(Dunn. 2000:26-29).
Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap usaha perumusan kebijakan khususnya
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat dimana ternyata pada
kenyataannya proses penentuan keputusan atau kebijakan tersebut kental dengan berbagai
macam pengaruh-pengaruh yang bersifat negatif.
Sebaliknya kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan
keputusan menurut Nigro and Nigro adalah sebagai berikut:
Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota,
Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja implementasi
kebijakan menurut pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan Van Horn yang
menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar dan sasaran tertentu
yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan
penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja
(performance) merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam
model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yang dapat meningkatkan kejelasan antara
kebijakan dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut adalah standar dan sasaran
kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik organisasi
komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, sikap pelaksana
(Dalam Keban, 1994:1).
Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan sasaran
kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat kebijakan yang masih
berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai
kinerja program. Dengan standar dan sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan
program yang telah dicapai.
Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan
(Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :
Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai
keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor
mempengaruhi sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.
Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat
menimbulkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:
Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan
sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup
kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada awal
perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat bekerja maksimal dan bahkan
tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn (1978;
1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”, menurutnya untuk
mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan
tertentu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut
sebagai A model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan)
dimana dalam teorinya beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses
implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya
mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu
kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan
dengan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan pula pendiriannya bahwa
perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-
prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha membuat tipologi
kebijakan sebagai berikut :
Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi
oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan
akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan
terhadap tujuan --- terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relatif tinggi
(Dalam Solichin, 2002:78-79).
Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sbatier yang
disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis implementation). Kedua
ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara ialah
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal
pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kategori besar, yaitu :
Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan
Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasinya; dan
Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan
bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
Dari model-model yang disajikan tersebut ada yang relatif abstrak, dan ada pula yang
relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti tidak bermaksud untuk menilai mana yang
diantara model-model tersebut yang baik atau paling tepat, sebab penggunaan model ini untuk
keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permasalahan
kebijakan yang dikaji serta tujuan dan analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali ada
baiknya diingat bahwa semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam
analisis yang dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif operasional yang
mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar yang menjadi fokus analisis.
“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Hak negara meliputi
menciptakan uang; hak mendatangkan hasil; hak melakukan pungutan; hak meminjam dan hak
memaksa. Kewajiban negara meliputi kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi
kepentingan masyarakat; dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam
BPK, 2000:16).
Dari pendapat M. Subagio tersebut nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang dan
barang yang dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :
“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government
Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) sudah ada kata sepakat,
hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari sumber-sumber dana
(Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan (uses of fund) untuk
mencapai tujuan (pemerintah) tertentu. Jadi keuangan negara mencerminkan kegiatan-kegiatan
pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private
sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).
Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto, amaka unsur-
unsur keuangan negara yang dikemukakan meliputi : kegiatan mencari dana dan kegiatan
menggunakan dana untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu.
Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk
menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (tetap) dalam tingkah laku, fikiran,
dan sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow and Crow (1980); “Modern educational
theory and practice not only are eimed at preparation for future living but also are operative in
determining the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak hanya
dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang tetapi, juga untuk kehidupan
sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya)
(Dalam Fattah, 1996:4-5). Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefinisikan beberapa ciri
pendidikan menurut Fattah antara lain :
(Fattah, 1996:5)
Pendidikan menurut sumber yang terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas adalah :
“Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).
B. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengatakan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengubah
tingkah laku sasaran pendidikan. Tingkah laku baru (hasil perubahan) itu dirumuskan dalam
suatu tujuan pendidikan (educational objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu
deskripsi dari pengetahuan, sikap, tindakan, penampilan, dan sebagainya yang diharapkan akan
memiliki sasaran pendidikan pada periode tertentu. Lahirnya tujuan pendidikan disebabkan
karena diperlukannya suatu kurikulum yang efisien dan efektif. Maksudnya menetapkan tujuan
pendidikan terlebih dahulu, agar memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam
rangka pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan tingkatan
tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar (Notoatmodjo. 2003:41-42).
Tujuan pendidikan tersebut sebagai berikut :
1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini merupakan tingkatan yang tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan
harapan masyarakat atau negara tentang ciri-ciri seorang manusia yang dihasilkan oleh proses
pendidikan atau manusia yang terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini
menggambarkan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus
dihasilkan oleh setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap lembaga pendidikan harus
mengarahkan tujuannya pada tujuan pendidikan nasional.
2. Tujuan Institusional
Tiap tingkat dan jenis lembaga pendidikan, mengembangkan tujuan institusinal. Isi tujuan
institusional adalah tingkah laku yang bagaimanakah yang diharapkan oleh lembaga pendidikan
tersebut. Dengan kata lain lembaga pendidikan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang
diinginkan dengan pengertian bahwa tujuan institusional ini harus mendukung tujuan pendidikan
nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yang baik diperlukan criteria-kriteria yaitu jelas,
dapat dengan mudah diobservasi, dan realistis.
4. Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional mempunyai fungsi :
(Notoatmodjo, 2003:41-45)
Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya dibentangkan
harapan tentang tingkat dan jenis perubahan tingkah laku sasaran pendidikan, antara lain
perubahan pengetahuan, sikap dan kemampuan mereka. Sudah tentu bukan sembarang
perubahan tingkah laku, sebagai akibat dari berlengsungnya proses pendidikan. Demikian pula
bukan setiap perubahan tingkah laku dapat dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses
pendidikan. Itulah sebabnya maka harapan perubahan tingkah laku tersebut perlu dirumuskan
dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah rumusan pada
tingkah laku dan jenis tingkah laku: yang lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan,
kecerdasan sikap, keterampilan yang diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah
menyelesaikan program pendidikan (serangkaian proses belajar).
“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment
of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding
decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yang
didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat
situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengoperasikan pendidikan
yang bersifat melembaga; pertimbangan tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan
sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa
tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).
Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan sebagai suatu proses, tak terkecuali
ketika melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses dimana pertimbangan-
pertimbangan itu mesti diambil dalam rangka pelaksanaan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dalam melakukan petimbangan, ada dua hal yang harus dipertimbangkan, ialah sistem
nilai yang berlaku dan faktor-faktor situasionalnya. Dan, pertimbangan yang mempedomani
terhadap sistem nilai dan faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam melaksanakan
pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya. Pertimbangan
tersebut ketika dirumuskan dapat berupa perencanaan umum. Dan, perencanaan yang bersifat
umum ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan-pengambilan keputusan
pendidikan (Imron, 1996:18).
Sistem Politik yang berlaku dalam suatu negara senantiasa terkait dengan kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan pendidikan. Letak kaitan tersebut dapat
dilihat pada, bagaimana kebijakan tersebut pada saat dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan,
dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Berbedanya perumusan kebijakan dinegara yang
satu dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yang dianut. Berbedanya
pelaksanaan dan evaluasi kebijakan negara, kebijakan pendidikan, antara negara yang satu
dangan yang lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yang dianut oleh negara-negara
tersebut (Imron, 1996:20-25).
Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara disebut sebagai
aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini adalah: partisipan, peserta
perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu kebijakan pendidikan mempunyai tingkatan-
tingkatan (nasional, umum, khusus dan teknis), maka para aktor perumusan kebijakan disetiap
tingkatan-tingkatan tersebut berbeda. Aktor tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator,
Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron,
1996:38-45).
Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi
kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau
hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan dapat
dipergunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini
berarti, bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah banyak dikeluarkan tidak sekedar
dipergunakan untuk memecahkan satu masalah atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).
Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron ditentukan oleh
banyak faktor. Faktor tersebut adalah :
(Imron, 1996:76-77)
Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam implementasi
kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan pertimbangan utama oleh para penentu dan
pelaksana kebijakan dilapangan.
“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja
berdasarkan suatu rencana tertentu. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik secara spritual maupun secara material, yang
mencakup seperangkat cita-cita meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pembangunan harus bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus didasarkan
pada fakta, sehingga nantinya merupakan suatu kerangka yang singkron.
2. Adanya rencana pembangunan dan proses pembangunan artinya, adanya
keinginan untuk selalu membangun pada ukuran dan haluan yang terkoordinasi secara rasional
dalam satu sistem.
3. Peningkatan produktifitas.
4. Peningkatan standar kehidupan.
5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yang sama dibidang politik,
sosial, ekonomi, dan hukum.
6. Pengembangan lembaga-lembaga sosial dan sikap-sikap dalam masyarakat
mencakup; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan
kecermatan, ketelitian dan kejujuran, bersifat rasional dalam mengambil keputusan, siap
menghadapi perubahan, giat dan menggunakan kesempatan yang benar, integritas dan dapat
berdiri sendiri, bersikap kooperatif”.
(Soekanto, 2000:454)
Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai oleh pembangunan.
Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yang terkandung dalam pembangunan itu.
Pembangunan untuk mencapai tujuan tertentu itu, dapat dilakukan melalui cara-cara tertentu.
Cara-cara tersebut diatas dapat ditempuh, oleh karena secara analitis masyarakat terdiri
dari struktur sosial yang mencakup ekonomi, teknologi dan sistem kedudukan serta peranan.
Kecuali itu, juga terdapat sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan dan
wewenang, serta adanya kebudayaan yang mencakup sistem nilai.
Konsep pembangunan tersebut merupakan upaya pembangunan berwawasan manusia,
dimana menurut The World Commision on Environment and Development (WCED)
dimaksudkan sebagai :