Anda di halaman 1dari 4

BAB II

Proses kebijakan adalah proses yang meliputi kegiatan perencanaan, penyusunan,


pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini kita khususnya membahas kebijakan
publik, yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk kepentingan public. Proses
kebijakan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain: para politisi, berbagai institusi
pemerintah, para pengambil keputusan, kelompok kepentingan dan pihak-pihak lain. Untuk
memahami proses kebijakan, kita perlu memahami berbagai konsep dasar terkait proses
kebijakan, penentuan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan.
2.1 Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan berasal dari istilah yang diterjemahkan dari kata “policy”. Policy sendiri secara
etimologis diambil dari bahasa Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar kata “policy” dalam
bahasa Yunani adalah “polis” berarti negara kota, sedang dalam bahasa Sansekerta “pur”
berarti kota. Kata ini berkembang dalam bahasa Latin “politic” yang berarti negara. Dalam
bahasa Inggris Pertengahan kata “policie” menunjuk kepada perbuatan yang berhubungan
dengan masalah kenegaraan dan administrasi pemerintahan. Asal kata “policy” sama dengan
asal kata dua kata latin yaitu “polis” dan “politic”. Kelihatannya hal terakhir ini dapat
memberikan penjelasan mengapa dalam bahasa modern, seperti Jerman dan Rusia hanya 3
mempunyai satu kata (politik, politikal) yang keduanya menunjuk kepada kebijakan dan
politik. Ilmu kebijakan (policy science) seperti dikatakan oleh Lasswell (Dunn, 1981) tidak
hanya semata-mata ilmu, tetapi juga secara fundamental berorientasi praktis.
Tujuan ilmu kebijakan bukan hanya membantu membuat keputusan yang efisien, tetapi
juga menyumbang perbaikan praktek demokrasi, yang pada gilirannya nanti akan membantu
merealisasikan sepenuhnya harga diri manusia (human dignity). Dalam hubungan ini, ilmu
dipakai sebagai alat kemajuan manusia sekaligus juga mempunyai komitmen terhadap nilai
yang diyakini manusia itu sendiri. Horkheimer (Dunn, 1981) menyatakan bahwa tujuan
policy science sebagai berikut: “was not merely to predict through scientific research what
must happen, but to contribute to the establishment of conditions for the gratification of
human existence” Kebijakan harus dapat membantu merealisasikan kebutuhan manusia, yang
antara lain meliputi: (1) kekuasaan (power) yaitu keikutsertaan dalam pengambilan
keputusan, (2) pencerahan dari kebodohan (enlightenment) yaitu pemahaman, pengetahuan
informasi, (3) kekayaan (wealth) yaitu penghasilan dan hak milik, (4) kesejahteraan (well-
being) yaitu kesehatan, rasa aman, kenyamanan dan keselamatan, (5) keterampilan (skill)
yaitu kemahiran dalam melaksanakan tugas, (6) perasaan kasih sayang (affection) yaitu cinta,
persahabatan, kesetiaan dan solidaritas, (7) penghargaan (respect) yaitu kehormatan, status,
reputasi dan nondiskrimasi, (8) kejujuran (rectitude) yaitu kecocokan dengan standar etik dan
keagamaan.
Dalam menetapkan kebijakan perlu diperhatikan bahwa kebijakan itu menjangkau masa
depan. Oleh karena itu pelaku kebijakan seringkali belum ada pada saat kebijakan ditetapkan.
Hal ini menyebabkan kemungkinan tidak tepatnya kebijakan itu sendiri, karena antisipasi
yang belum jelas tentang pengaruh timbal balik antara pelaku dan lingkungannya. Riant
Nugroho (2008:35-36) mengatakan bahwa kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di
bidang pendidikan. Kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan
yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan
dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Kebijakan pendidikan harus sejalan dengan
kebijakan publik. Di dalam konteks kebijakan publik secara umum, yaitu kebijakan
pembangunan, maka kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik.
Kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai
tujuan pembangunan bangsa di bidang pendidikan, sebagai satu dari tujuan bangsa secara
keseluruhan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mark Olsen dalam Riant Nugroho (2008:36),
kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara-
negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan prioritas
utama dalam era globalisasi. Salah satu argumen utamanya adalah bahwa globalisasi
membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang
didukung oleh pendidikan. 11 Margaret E. Goertz (Riant Nugroho, 2008:37) mengemukakan
bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan.
Isu ini menjadi penting dengan meningkatnya kritisi publik terhadap biaya pendidikan.
Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan
pembangunan negara di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari tujuan
pembangunan secara keseluruhan.

2.2 Proses pembuatan Kebijakan Publik


Sebelum berlanjut ke proses pembuatan kebijakan pendidikan, ada baiknya apabila kita
mempelajari terlebih dahulu mengenai proses perumusan kebijakan publik. Hal ini
dikarenakan kebijakan pendidikan dibuat untuk publik, tentu saja kebijakan pendidikan
merupakan bagian dari kebijakan publik pula. Berdasarkan berbagai definisi para ahli ,
kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat
kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam
penyusunannya melalui berbagai tahapan.[1] Tahap-tahap pembuatan kebijakan
publik menurut William Dunn
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn.[1] adalah sebagai berikut:

A. Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai
masalah publik dan agenda publik perlu diperhitungkan. Jika sebuah isu telah menjadi
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam penyusunan
agenda juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam
suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah
kebijakan (policy problem). Isu/masalah kebijakan biasanya muncul karena telah terjadi
silang pendapat di antara para Perumus mengenai arah tindakan yang telah atau akan
ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut
William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan
baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu.
Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa Kriteria
isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach,
1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2] diantaranya: telah mencapai titik kritis tertentu à jika
diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à
berdampak dramatis; 3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat
manusia) dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau dampak yang amat luas ; 5.
mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ; 6. menyangkut suatu
persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik: Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu
lama.

Ilustrasi: Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang


mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui.
Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.

Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi
kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat
urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.

B. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah
yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan agar suatu masalah untuk masuk dalam
agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk
dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.[3]

C. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan


Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.[4] Jika
tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah.[5]Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan
pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan
pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat
dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar
untuk mendukung pemerintah.[6]

E. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan


Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi
atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.[7] Dalam hal
ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak
hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah
kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan,
implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

2.3 Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan


Perumusan kebijakan pendidikan merupakan tahapan kedua dalam siklus kebijakan
pendidikan. Sebagai tahapan kedua, formulasi kebijakan dengan sendirinya tidak dapat
dilepaskan dari tahapan agenda setting. Secara fundamental tahapan ini terjadi tatkala
pemerintah mengakui keberadaan masalah-masalah publik dan menyadari adanya kebutuhan
dan tuntutan untuk melakukan sesuatu dalam rangka mengatasi masalah tersebut. Karenanya
dalam perumusan kebijaksanaan pendidikan, persoalan mendasar adalah merumuskan
masalah kebijakan (policy problems) dan merancang langkah-langkah pemecahannya
(solution). Merumuskan masalah-masalah kebijakan berarti memberi arti atau
menerjemahkan problema kebijakan secara benar, sedang merumuskan langkah pemecahan
menyangkut perancangan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah publik
tersebut. Formulasi kebijakan mengandung beberapa isi penting yang dijadikan sebagai
pedoman tindakan sesuai rencana yang mencakup kepentingan yang terpengaruh oleh
kebijakan, jenis dan manfaat yang dihasilkan, pelaksanaan program serta sumber daya yang
dikerahkan. Dalam konteks perumusan masalah kebijakan, William Dunn mengatakan bahwa
ada 4 (empat) macam fase proses yang saling bergantung yaitu: pencarian masalah,
pendefinisian masalah, spesifikasi masalah dan pengendalian masalah.

Adapun skenario dalam merumuskan kebijakan pendidikan sebagai berikut:

1. Pengenalan masalah diawali dengan pengakuan atau dirasakannya keberadaan situasi


masalah. Situasi masalah dapat dilakukan dengan menemukan dan mengenali masalah.

2. Pencarian masalah, biasanya yang didapat adanya setumpuk masalah yang saling
mengkait. Kumpulan masalah yang saling mengkait namun belum terstruktur tadi disebut
meta masalah.

3. Pendefinisian masalah, dari setumpuk masalah tadi, dapat dipecahkan secara serentak,
namun harus didefinisikan terlebih dahulu masalah mana yang menjadi masalah publik.
Hasil pendefinian dari setumpuk masalah yang belum tertstruktur tadi menghasilkan
masalah substantif.

4. Spesifikasi masalah, dari masalah substantif tadi kemudian dilakukan spesifikasi masalah
dan menghasilkan masalah formal sebagai masalah kebijakan.

5. Perancangan tindakan, dengan dihasilkannya masalah formal, maka tahapan berikutnya


adalah perancangan tindakan yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan
solusi terhadap masalah kebijakan tersebut. Proses ini disebut dengan “usulan kebijakan”
(policy proposal) yang dipahami sebagai kegiatan menyusun dan mengembangkan
serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah tertentu.[15]

Anda mungkin juga menyukai