Tentang
Oleh
Dosen Pengampu
1
POLICY MAKING PROCESS LANJUTAN
(PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN)
Isu Kebijakan adalah suatu keadaan dimana terjadi silang pendapat, adanya
perdebatan atau ketidaksepakatan mengenai masalah kebijakan itu. Hasil dari konflik mengenai
masalah kebijakan. Ketidaksepakatan atau konflik diantara para pelaku kebijakan mengenai
arah tindakan pemerintah baik yang actual maupun yang potensial.
Contoh Isu Kebijakan: Pendapat Publik Pelaksnaan pemilu serentak , atau tidak.
Isu Kebijakan juga dapat diartikan sebagai fungsi dari adanya perdebatan baik
menyangkut rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Pada
tingkat yang paling ekstrem isu kebijakan bisa menjadi alternatif bagi kebijakan itu sendiri.
Kesimpulan: Isu Kebijakan muncul terutama disebabkan oleh adanya perbedaan
persepsional antara para aktor atas suatu situasi problematic yang dihadapi oleh masyarakat
pada suatu waktu tertentu (Solichin, 1997).
Arti Penting Isu Kebijakan
Mengapa isu kebijakan perlu dipelajari dan dicermati, serta mengapa kita perlu
menggulirkan isu kebijakan?
1. Kebijakan Publik senantiasa diawali oleh adanya isu kebijakan. Isu kebijakan muncul
karena adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah publik tertentu.
2. Suatu system politik dapat dikatakan menghargai demokratisasi, diukur dari cara
bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah dan pada
akhirnya menjadi kebijakan publik (dalam betuk UU, Peraturan Pemerintah, Keppres,
Inpres, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Peraturan Daerah, dsb).
2
Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara.
Pertama, masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi
harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam agenda masyarakat
(public agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda
kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media dapat sangat efektif
dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari agenda
kebijakan dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi melalui proses
kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk melalui dorongan
kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media (Rogers, E.
M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where has it been? Where is it going?,
Communication Yearbook, 11, 1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat
bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam agenda
kebijakan. Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.
Namun, agenda setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus menarik
perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi pemerintah) untuk
dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua 'agenda publik'
dan 'agenda media' akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan kemudian menjadi rumusan
kebijakan, sampai akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun
3
memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser dengan cepat dan
digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis.
- Perumusan Kebijakan
Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat diterima
untuk mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda kebijakan. Perhatikan bahwa
ada dua bagian definisi ini:
Formulasi efektif, berarti bahwa kebijakan yang diusulkan dianggap sebagai solusi yang
valid, efisien, dan dapat diterapkan. Jika kebijakan ini dilihat sebagai tidak efektif atau
tidak bisa dijalankan dalam prakteknya, maka tidak ada alasan yang sah untuk
mengusulkan rumusan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, terdapat berbagai alternatif
kebijakan yang diusulkan. Ini adalah fase analisis dari perumusan kebijakan.
Formulasi diterima berarti bahwa arah kebijakan yang diusulkan kemungkinan akan
disahkan oleh pengambil keputusan yang sah, biasanya melalui suara mayoritas dalam
proses tawar-menawar. Artinya, kebijakan itu harus layak secara politis. Jika kebijakan
kemungkinan akan ditolak oleh pengambil keputusan, mungkin tidak praktis untuk
menyarankan kebijakan tersebut. Ini adalah fase politik perumusan kebijakan.
Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase
analisis. Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus dianalisis untuk
menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi masalah, efisien dan dapat
dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis dalam rumusan kebijakan, misalnya:
1. Analisis Biaya-Manfaat
2. Model multiobjectives
3. Analisis Keputusan (decision analysis)
4. Analisis Sistem (system analysis)
5. Operation research
6. Nominal group technique
4
Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis sistem
yang menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke lingkungan internal dan
lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu hanyalah salah satu bagian saja dari proses
rumusan kebijakan, karena ada fase selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih atau
ditunjuk secara politis bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang baik
dan efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal tersebut.
Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara kita.
Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar sebuah usulan
kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya dengan memahami proses
perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses
kebijakan dan siapa pengambil keputusan. Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa 'entry
point' ke dalam area kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan area yang
terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya dapat dimasuki
dengan adanya 'undangan' dari para pengambil keputusan. Di bawah ini kami memberikan
beberapa bahan bacaan berbagai mekanisme penyusunan perundangan yang dapat dipelajari
lebih lanjut. Sebagai penutup, penting untuk kembali memijakkan kaki ke dunia nyata.
Pengambilan keputusan di dunia nyata seringkali dibatasi oleh setidaknya dua hal ini:
Agar Isu Publik (isu kebijakan) mendapatkan tempat dalam Agenda Kebijakan, maka
isu publik harus dikelola dengan baik. Pengelolaan isu (Manajemen Isu Kebijakan) sangat
penting, mengingat begitu banyaknya isu kebijakan yang dimunculkan, baik oleh rakyat,
5
kelompok penekan, partai politik, pemerintah maupun anggota legislative sendiri. Isu (Isu
Kebijakan) dapat didorong menjadi Agenda Kebijakan, jika memenuhi syarat sebagai berikut
(Abdul Wahab):
1. Isu tersebut telah (harus didorong) mencapai titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak
lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius
yang jika tidak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih
hebat di masa datang (Misal: Isu Terorisme di Amerika dan Negara-negara lain termasuk
Indonesia)
2. Isu tersebut telah (harus didorong) mencapai tingkat partikularistik tertentu (mendapat
perhatian masyarakat luas secara khsusus) yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang
bersifat dramatik Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan
orang banyak, bahkan umat manusia pada umumnya dan mendapat dukungan berupa
liputan media massa yang amat luas. (Misal: isu HAM, Lingkungan Hidup, Wabah
Penyakit, dsb)
3. Isu tersebut mampu menjangkau dampak yang amat luas.
4. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
(Misal: Kasus Bupati Kampar, Riau) Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang
fasionable, dimana posisi isu sulit untuk dijelaskan tetapi mudah dirasakan kehadirannya.
6
tersebut, sehingga pandangan-pandangan mereka atas isu yang diperdebatkan dianggap
memiliki niali keabsahan tertentu (Abdul Wahab, 1997). Untuk menjadi Agenda Kebijakan,
suatu Isu Kebijakan harus “berdosis politik” sangat tinggi. Agar isu kebijakan bisa “berdosis
politik” sangat tinggi, pembawa isu harus mampu menembus pusat kekuasaan. Bila pada masa
lalu pusat kekuasaan adalah Soeharto dan orang-orang dekatnya baik yang di sipil maupun
militer, maka saat ini pusat kekuasaan adalah di partai-partai politik, utamanya partai penguasa
legislative. Meski untuk kasus Indonesia hal ini sangat debatable. (kasus PDIP kalah pemilihan
dimana-mana).
7
4. Tahap Evaluasi Kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk
melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah
dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum (Purwo, 2012).
Proses penyusunan kebijakan terdiri dari:
1. Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu – isu yang ada dapat masuk
kedalam agenda kebijakan, mengapa isu-isu yang lain justru tidak pernah dibicarakan.
2. Perumusan kebijakan: menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan,
bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan.
3. Pelaksanaan Kebijakan: tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap sebagai
bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang diperdebatkan
sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan sebab bila kebijakan tidak
dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi,
dan hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan.
4. Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan bagaimana
pengawasannya, apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan.
Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah atau dibatalkan.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuatan kebijaksanaan
1. Adanya Pengaruh Tekanan-Tekanan Dari Luar
8
Kebiasaan lama organisasi (Nigro menyebutnya dengan istilah “sunk costs”) seperti
kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali dipergunakan untuk
membiayai progama-progama tertentu, cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh
para administrator kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang nerkenaan dengan itu
telah dikritik sebagai salah dan perlu di ubah. Kebiasaan lama itu akan terus diikuti lebih-
lebih kalau suatu kebijaksanaan yang telah ada dipandang memuaskan. Kebiasaan-
kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka
sering segen secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaankebiasaan
lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahuluannya, apalagi para
administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan karirinya.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak mempengaruhi
oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya alam proses penerimaan/pengangkatan
pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar
sekali.
Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan
keputusan, seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai
kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang alam, tetapi
keputusankeputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar dapat
memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan dilakukan dengan
mempertimbangkan pengalamanpengalamandari orang lain yang sebelumnya berada
diluar bidang pemerintahan.
9
disalahgunakan. Atau juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat
keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, dan sebagainya. Di samping
adanya faktor-faktor tersebut diatas, Gerald E. Caiden menyebutkan adanya beberapa
faktor yang menyebabkan sulitnya membuat kebijaksanaan, yaitu sulitnya memperoleh
informasi yang cukup, bukti-bukti sulit disimpulkan; adanya pelbagai macam
kepentingan yang berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula,
dampak kebijaksanaan sulit dikenali, umpan balik keputusan bersifat sporadis, proses
perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan sebaliknya
C. Legitimasi Kebijakan
10
hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat,
maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Jadi, dalam legitimasi
kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara
legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan dianggap absah memangku
jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.
11
4. Memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualitas kesejahteraan.
1. Simbolis yaitu dengan cara menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk
simbol-simbol seperti kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi.
Contoh; upacara kenegaraan, pementasan wayang, pengidentifikasian diri dengan kelompok
mayoritas (misalnya agama tertentu) merupakan sejumlah contoh penggunaan simbol-
simbol yang bersifat ritualistik.
2. Prosedural yaitu menjanjikan kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas
pendidikan dan kesehatan lebih baik, kesempatan kerja lebih besar, menjamin tersedianya
pangan yang dibutuhkan rakyat, menjanjikan sarana produksi pertanian, sarana komunikasi
dan transportasi, serta modal yang memadai.
3. Materiil yaitu dengan cara mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil
rakyat, perdana menteri, presiden, dan sebagainya. Para anggota lembaga tinggi negara atau
referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
12
Pada umumnya, pemimpin pemerintahan yang mendapatkan legitimasi berdasarkan
prinsip-prinsip legitimasi tradisional, ideologi, dan kualitas pribadi cenderung menggunakan
metode simbolik. Menurut Andrain berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat
terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:
Tokoh-tokoh kunci atau non formal tersebut ada di berbagai bidang agama, profesi,
budaya dan seni, ekonomi, pertanian dan bahkan sektor-sektor ekonomi dan jasa. Tokoh-tokoh
non formal ini, meski tidak menduduki jabatan apa pun di pemerintahan, umumnya mempunyai
13
massa banyak dan menaruh kepercayaan yang besar terhadap tokohnya. Bahkan dalam hal-hal
tertentu, sesuatu yang dikemukakan oleh tokoh kunci tersebut, diterima dengan lapang hati oleh
rakyatnya.
d. Krisis Legitimasi
Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang
memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan (skill) yang cukup untuk melakukan
pengelolaan (manajemen) Negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh
kapabilitas dan kapasitas untuk menimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat,
rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat adalah ukuran
utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian,
dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan
kecakapannya
14
dan pemahaman yang baik dari pihak-pihak yang terlibat selagi proses implementasi kebijakan
tengah dilakukan.
15
Berdasarkan kepada tabel 1 di atas, maka konsep sosialisasi telah tepat diterjemahkan
dalam kajian rumpun ilmu sosiologi dan ilmu antropologi, sosialisasi ditempatkan sebagai
proses dari aktivitas seorang individu dalam rangka memahami, mempelajari dan
mempraktekan nilai- nilai sosial/kemasyarakatan dalam bentuk perilaku sosial agar diterima
oleh lingkungannya (Nasution, 1995; Waters & Crook, 1946; Zanden, 1979).
Terminologi tersebut di atas sejalan dengan fokus kajian ilmu sosiologi yang
mengkaji mengenai manusia sebagai mahluk sosial yang saling berinteraksi baik antara
individu dengan individu, individu dengan kolompok dan kelompok dengan kelompok
(Narwoko & Suyanto, 2005; Natzir, 2009), dan juga sesuai dengan fokus ilmu antropologi
yang mengkaji tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku maupun dari
keanekaragamannya (Koentjaraningrat, 1990, 2009). Adapun contoh praktis dari perbedaan
terminologi sosialisasi tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini:
Gambar
16
kajian kebijakan publik dibandingkan dengan kajian dalam ilmu sosiologi dan/atau ilmu
antropologi memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan tersebut
didasarkan konsep yang digunakan memang berbeda, sehingga dalam prosesnya, adanya
pemanfaatan terminologi sosialisasi dalam kajian ilmu masing-masing akan memiliki
signifikansi kepada hasil penelitian masing-masing pula. Atas dasar tersebut maka kajian
sosialisasi dalam konteks rumpun kajian kebijakan publik harus didasarkan kepada perspektif
kebijakan publik itu sendiri.
1. Prasyarat Keberhasilan Sosialisasi Kebijakan Publik
Kegiatan sosialisasi kebijakan memerlukan prasyarat agar dapat terlaksana dengan
baik, mengingat kegiatan tersebut dapat dijadikan gambaran dan dasar bagi terlaksananya
implementasi kebijakan sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan. Adapun beberapa
prasyarat tersebut antar lain adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya kejelasan kedudukan dan peran sosialisator. Hal ini memiliki artian
sosialisator atau pihak yang ditunjuk melakukan sosialisasi kebijakan memiliki kewenangan
secara legal-formal untuk melaksanakan kegiatan sosialisasi baik itu ditunjuk oleh pejabat
yang berwenang secara langsung (penguasa) atau atas perintah yang terdapat dalam isi atau
substansi suatu kebijakan yang telah dibuat. Dengan begitu akan memunculkan kejelasan
peran yang akan dilakukan oleh sosialisator dalam melaksanakan sosialisasi suatu kebijakan.
Ketiga, adanya kejelasan kelompok sasaran atau target group. Sosialisasi kebijakan harus
memiliki kejelasan kepada siapa sosialisasi dilakukan, dengan begitu sosialisator memiliki
gambaran mengenai kelompok sasaran tersebut, khususnya mengenai potensi dan peluang
kelompok sasaran untuk dapat mengetahui dan memahami suatu kebijakan, sehingga
sosialisator dapat memetakan kapasitas kelompok sasaran agar dapat terlibat dan berkontribusi
secara optimal dalam implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan.
17
Keempat, adanya kejelasan hasil atau output. Sosialisasi kebijakan merupakan kegiatan yang
dilakukan atas dasar perencanaan yang jelas, terarah dan terukur sehingga hasil dari
sosialisasi kebijakan bisa dinilai tingkat keberhasilannya, dengan begitu sosialisasi kebijakan
yang dilakukan dapat dijadikan gambaran mengenai peluang, potensi dan hambatan yang akan
muncul dalam proses implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan.
18