Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

Tentang

POLICY MAKING PROCESS LANJUTAN

Oleh

Suri Makhsura NIM. 23324004

Dosen Pengampu

Prof. Nurhizrah Gistituati, M.Ed. Ed.D


Dr. Yahya, M.Pd.
Dr. Irsyad, M.Pd

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN (S3)


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024

1
POLICY MAKING PROCESS LANJUTAN
(PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN)

A. Policy Issue and Agenda ( Isu dan Agenda Kebijakan)


Pengertian Isu Kebijakan ( Policy Issue)

Isu Kebijakan ≠ Kabar Burung

Isu Kebijakan adalah suatu keadaan dimana terjadi silang pendapat, adanya
perdebatan atau ketidaksepakatan mengenai masalah kebijakan itu. Hasil dari konflik mengenai
masalah kebijakan. Ketidaksepakatan atau konflik diantara para pelaku kebijakan mengenai
arah tindakan pemerintah baik yang actual maupun yang potensial.
Contoh Isu Kebijakan: Pendapat Publik Pelaksnaan pemilu serentak , atau tidak.
Isu Kebijakan juga dapat diartikan sebagai fungsi dari adanya perdebatan baik
menyangkut rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Pada
tingkat yang paling ekstrem isu kebijakan bisa menjadi alternatif bagi kebijakan itu sendiri.
Kesimpulan: Isu Kebijakan muncul terutama disebabkan oleh adanya perbedaan
persepsional antara para aktor atas suatu situasi problematic yang dihadapi oleh masyarakat
pada suatu waktu tertentu (Solichin, 1997).
Arti Penting Isu Kebijakan

Mengapa isu kebijakan perlu dipelajari dan dicermati, serta mengapa kita perlu
menggulirkan isu kebijakan?
1. Kebijakan Publik senantiasa diawali oleh adanya isu kebijakan. Isu kebijakan muncul
karena adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah publik tertentu.
2. Suatu system politik dapat dikatakan menghargai demokratisasi, diukur dari cara
bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah dan pada
akhirnya menjadi kebijakan publik (dalam betuk UU, Peraturan Pemerintah, Keppres,
Inpres, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Peraturan Daerah, dsb).

Bagaimana Suatu Isu bisa diangkat kedalam agenda kebijakan .

2
Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara.
Pertama, masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi
harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam agenda masyarakat
(public agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda
kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media dapat sangat efektif
dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari agenda
kebijakan dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi melalui proses
kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk melalui dorongan
kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media (Rogers, E.
M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where has it been? Where is it going?,
Communication Yearbook, 11, 1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat
bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam agenda
kebijakan. Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.

Gambar 4. Agenda Setting

Namun, agenda setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus menarik
perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi pemerintah) untuk
dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua 'agenda publik'
dan 'agenda media' akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan kemudian menjadi rumusan
kebijakan, sampai akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun

3
memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser dengan cepat dan
digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis.

- Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat diterima
untuk mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda kebijakan. Perhatikan bahwa
ada dua bagian definisi ini:

 Formulasi efektif, berarti bahwa kebijakan yang diusulkan dianggap sebagai solusi yang
valid, efisien, dan dapat diterapkan. Jika kebijakan ini dilihat sebagai tidak efektif atau
tidak bisa dijalankan dalam prakteknya, maka tidak ada alasan yang sah untuk
mengusulkan rumusan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, terdapat berbagai alternatif
kebijakan yang diusulkan. Ini adalah fase analisis dari perumusan kebijakan.
 Formulasi diterima berarti bahwa arah kebijakan yang diusulkan kemungkinan akan
disahkan oleh pengambil keputusan yang sah, biasanya melalui suara mayoritas dalam
proses tawar-menawar. Artinya, kebijakan itu harus layak secara politis. Jika kebijakan
kemungkinan akan ditolak oleh pengambil keputusan, mungkin tidak praktis untuk
menyarankan kebijakan tersebut. Ini adalah fase politik perumusan kebijakan.

Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase
analisis. Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus dianalisis untuk
menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi masalah, efisien dan dapat
dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis dalam rumusan kebijakan, misalnya:

1. Analisis Biaya-Manfaat
2. Model multiobjectives
3. Analisis Keputusan (decision analysis)
4. Analisis Sistem (system analysis)
5. Operation research
6. Nominal group technique

4
Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis sistem
yang menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke lingkungan internal dan
lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu hanyalah salah satu bagian saja dari proses
rumusan kebijakan, karena ada fase selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih atau
ditunjuk secara politis bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang baik
dan efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal tersebut.

Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara kita.
Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar sebuah usulan
kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya dengan memahami proses
perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses
kebijakan dan siapa pengambil keputusan. Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa 'entry
point' ke dalam area kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan area yang
terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya dapat dimasuki
dengan adanya 'undangan' dari para pengambil keputusan. Di bawah ini kami memberikan
beberapa bahan bacaan berbagai mekanisme penyusunan perundangan yang dapat dipelajari
lebih lanjut. Sebagai penutup, penting untuk kembali memijakkan kaki ke dunia nyata.
Pengambilan keputusan di dunia nyata seringkali dibatasi oleh setidaknya dua hal ini:

Bounded rationality — pengambil keputusan memiliki keterbatasan dalam hal sejauh


mana mereka berperilaku rasional.

Satisficing — pengambil keputusan dapat saja mengambil usulan pertama yang


memenuhi kriteria-kriteria minimum tertentu.

Akibatnya, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh berbagai bias, misalnya


hanya dapat melihat satu dimensi ketidakpastian, memberikan bobot yang terlalu besar terhadap
infomasi yang tersedia, dan mengabaikan the law of randomness.

B. Kriteria Isu menjadi Agenda Kebijakan


a. Kreteria Isu Menjadi Agenda Kebijakan

Agar Isu Publik (isu kebijakan) mendapatkan tempat dalam Agenda Kebijakan, maka
isu publik harus dikelola dengan baik. Pengelolaan isu (Manajemen Isu Kebijakan) sangat
penting, mengingat begitu banyaknya isu kebijakan yang dimunculkan, baik oleh rakyat,

5
kelompok penekan, partai politik, pemerintah maupun anggota legislative sendiri. Isu (Isu
Kebijakan) dapat didorong menjadi Agenda Kebijakan, jika memenuhi syarat sebagai berikut
(Abdul Wahab):
1. Isu tersebut telah (harus didorong) mencapai titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak
lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius
yang jika tidak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih
hebat di masa datang (Misal: Isu Terorisme di Amerika dan Negara-negara lain termasuk
Indonesia)
2. Isu tersebut telah (harus didorong) mencapai tingkat partikularistik tertentu (mendapat
perhatian masyarakat luas secara khsusus) yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang
bersifat dramatik Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dari sudut kepentingan
orang banyak, bahkan umat manusia pada umumnya dan mendapat dukungan berupa
liputan media massa yang amat luas. (Misal: isu HAM, Lingkungan Hidup, Wabah
Penyakit, dsb)
3. Isu tersebut mampu menjangkau dampak yang amat luas.
4. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
(Misal: Kasus Bupati Kampar, Riau) Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang
fasionable, dimana posisi isu sulit untuk dijelaskan tetapi mudah dirasakan kehadirannya.

b. Pengaruh Kekuasaan Terhadap Isu Kebijakan Menjadi Agenda Kebijakan


Persyaratan diatas bukan “Resep Siap Pakai” untuk mendorong isu kebijakan menjadi
Agenda Kebijakan dan bahkan Kebijakan itu sendiri. Apa yang disebut Agenda Setters, juga
menjadi hal yang perlu dicermati. Agenda Setters pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas
kebijakan dan pengaruh bagi pembuat kebijakan (Policy Maker). Mereka yang secara potensial
dapat dimasukkan dalam Agenda Setters ini diantaranya:
 Kelompok-kelompok Kepentingan
 Kelompok-kelompok Pemrotes
 Tokoh-tokoh (partai) Politik
 Para Pejabat Senior Pemerintah (Sipil dan Militer)
 Tokoh (yang berpengaruh dalam) Masyarakat
 Para Pembentuk Opini: Editor Surat Kabar, dll
Posisi dari kelompok-kelompok tertentu yang (dianggap) berpengaruh akan semakin
kukuh jika mereka dipersepsi sebagai pihak yang memiliki legitimasi dan kekuasaan atas isu

6
tersebut, sehingga pandangan-pandangan mereka atas isu yang diperdebatkan dianggap
memiliki niali keabsahan tertentu (Abdul Wahab, 1997). Untuk menjadi Agenda Kebijakan,
suatu Isu Kebijakan harus “berdosis politik” sangat tinggi. Agar isu kebijakan bisa “berdosis
politik” sangat tinggi, pembawa isu harus mampu menembus pusat kekuasaan. Bila pada masa
lalu pusat kekuasaan adalah Soeharto dan orang-orang dekatnya baik yang di sipil maupun
militer, maka saat ini pusat kekuasaan adalah di partai-partai politik, utamanya partai penguasa
legislative. Meski untuk kasus Indonesia hal ini sangat debatable. (kasus PDIP kalah pemilihan
dimana-mana).

c. Formulasi Kebijakan dan Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Kebijakan

1. Tahap Formulasi Kebijakan


Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan
(policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing
alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan
masalah. Dalam tahap ini masing-masing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik.

2. Tahap Adopsi Kebijakan


Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,
pada akhirnya salah satu dari alternative kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.

3. Tahap Implementasi Kebijakan


Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut
tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen
pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap
implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan
mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain munkin akan
ditentang oleh para pelaksana.

7
4. Tahap Evaluasi Kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk
melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah
dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum (Purwo, 2012).
Proses penyusunan kebijakan terdiri dari:

1. Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu – isu yang ada dapat masuk
kedalam agenda kebijakan, mengapa isu-isu yang lain justru tidak pernah dibicarakan.
2. Perumusan kebijakan: menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan,
bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan.
3. Pelaksanaan Kebijakan: tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap sebagai
bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang diperdebatkan
sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan sebab bila kebijakan tidak
dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi,
dan hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan.
4. Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan bagaimana
pengawasannya, apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan.
Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah atau dibatalkan.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembuatan kebijaksanaan
1. Adanya Pengaruh Tekanan-Tekanan Dari Luar

Seringkali administrator harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari


luar, walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan dengan nama “rational
comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertiimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian
”rasional” semua, tetapi proses dan prosedur pembuatan keputusan itu tidak dapat
dipisahkan dari dunia nyata. Sehingga adanya tekanan-tekanan dari luar tiu ikut
berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya.

2. Adanya Pengaruh Kebiasaan Lama (Konservatisme)

8
Kebiasaan lama organisasi (Nigro menyebutnya dengan istilah “sunk costs”) seperti
kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali dipergunakan untuk
membiayai progama-progama tertentu, cenderung akan selalu diikuti kebiasaan itu oleh
para administrator kendatipun misalnya keputusan-keputusan yang nerkenaan dengan itu
telah dikritik sebagai salah dan perlu di ubah. Kebiasaan lama itu akan terus diikuti lebih-
lebih kalau suatu kebijaksanaan yang telah ada dipandang memuaskan. Kebiasaan-
kebiasaan lama tersebut seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka
sering segen secara terang-terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaankebiasaan
lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahuluannya, apalagi para
administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan karirinya.

3. Adanya Pengaruh Sifat-Sifat Pribadi

Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak mempengaruhi
oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya alam proses penerimaan/pengangkatan
pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar
sekali.

4. Adanya Pengaruh Dari Kelompok Luar

Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan
keputusan, seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai
kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang alam, tetapi
keputusankeputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar dapat
memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan dilakukan dengan
mempertimbangkan pengalamanpengalamandari orang lain yang sebelumnya berada
diluar bidang pemerintahan.

5. Adanya Pengaruh Keadaan Masa Lalu

Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) Pekerjaan yang terdahulu berpengaruh


pada pembuatan keputusan. Seperti misalnya orang sering membuat keputusan untuk
tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawab kepada orang lain
karena khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan itu

9
disalahgunakan. Atau juga orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat
keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan, dan sebagainya. Di samping
adanya faktor-faktor tersebut diatas, Gerald E. Caiden menyebutkan adanya beberapa
faktor yang menyebabkan sulitnya membuat kebijaksanaan, yaitu sulitnya memperoleh
informasi yang cukup, bukti-bukti sulit disimpulkan; adanya pelbagai macam
kepentingan yang berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula,
dampak kebijaksanaan sulit dikenali, umpan balik keputusan bersifat sporadis, proses
perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan sebaliknya

C. Legitimasi Kebijakan

a. Definisi Legitimasi Kebijakan Pendidikan


Legitimasi adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin
pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin
‘dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum
dan nilai-nilai politik atau moral. Legitimasi mungkin akan diberikan kepada pemegang
kekuasaan dalam berbagai cara dalam masyarakat yang berbeda, biasanya melibatkan ritual
formal serius yang bersifat religius atau non-religius, misalnya kelahiran kerajaan dan penobatan
di monarki, pemilihan umum dan “sumpah” dalam demokrasi dan seterusnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Gray bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang
berorientasi pada keberpihakan masyarakat (society),pemerintah individu dan kelompok
masyarakat.
Legitimasi dianggap penting bagi pemimpin pemerintahan, karena para pemimpin
pemerintahan dari setiap sistem politik berupaya keras untuk mendapatkan atau
mempertahankannya. Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat
menimbulkan kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka
kesempatan yang semakin besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang
kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.
Legitimasi juga merupakan konsep yang menimbulkan hubungan antara pemimpin dan
yang dipimpin. Legitimasi dapat diartikan dalam arti luas dan arti sempit, dalam arti luas adalah
dukungan masyarakat terhadap sistem politik, sedangkan dalam arti sempit merupakan dukungan
masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Antara kekuasaan normatif dan kualitas
pribadi berkaitan erat dengan legitimasi. Legitimasi juga merupakan suatu tindakan perbuatan

10
hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat,
maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah. Jadi, dalam legitimasi
kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara
legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan dianggap absah memangku
jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.

b. Alasan-Alasan Perlunya Legitimasi


Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.
Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara
akan mengikuti arahan pemerintah. Legitimasi dilakukan diantara kegiatan perumusan dan
pelaksanaan kebijaksanaan. Sebelum kebijaksanaan pendidikan yang telah disusun dalam proses
perumusan dilaksanakan, terlebih dulu dilegitimasikan. Hal tersebut dikarenakan hasil rumusan-
rumusan kebijaksanaan tersebut perlu mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dan, pengakuan
tersebut dilakukan oleh masyarakat lazimnya melalui lembaga-lembaga perwakilan masyarakat.
Pengakuan dari masyarakat sangat penting mengingat suatu pelaksanaan kebijaksanaan
pendidikan pastilah melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan. Semakin banyak masyarakat
yang berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaannya, maka kebijaksanaan tersebut dinilai
semakin sukses.

Bentuk pengakuan masyarakat atas kebijaksanaan, antara lain melalui pengabsahan.


Pengabsahan adalah suatu proses di mana kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan yang telah
dirumuskan tersebut diabsahkan. Dengan demikian, setelah rumusan kebijaksanaan tersebut
absah, berarti kebijaksanaan tersebut dinyatakan dapat diberlakukan. Otorisasi kebijaksanaan
pendidikan adalah bentuk lain dari legitimasi. Sedangkan yang dimaksud dengan otorisasi adalah
memberikan kewenangan untuk memberlakukan kebijaksanaan. Dari otorisasi atau kewenangan
inilah maka muncul tanggung jawab untuk melaksanakan. Dengan demikian, mereka yang diberi
kewenangan untuk melaksanakan tersebut, sekaligus juga dimintai pertanggungjawaban atas
hasil pelaksanaan kewenangannya. N Manfaat dari legitimasi antara lain:

1. Menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial.


2. Mengatasi masalah lebih cepat.
3. Mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik.

11
4. Memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualitas kesejahteraan.

c. Proses Legitimasi Kebijakan Pendidikan

Setelah kebijakan berhasil diformulasikan, sebelum diterapkan pada masyarakat,


kebijakan tersebut haruslah memperoleh legitimasi (pengesahan) atau kekuatan hukum yang
mengatur penerapan (implementasi) kebijakan pada masyarakat. Legitimasi sangat penting
karena akan membawa pengaruh terhadap masyarakat banyak, baik yang menguntungkan bagi
sebagian masyarakat maupun yang membawa dampak yang merugikan kelompok lain. Selain itu
setiap kebijakan juga membawa implikasi terhadap anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah.
Pada umumnya wewenang melakukan legitimasi dimiliki oleh pemerintah atau badan legislatif.
Namun kalau dikaji lebih mendalam, bahwa proses legitimasi tersebut tidak dapat dipisahkan
dari hubungan antara negara dan rakyat sebagai sumber legitimasi yang paling utama, sebab
ukuran legitimasi yang dimiliki oleh pemerintah sangat tergantung pada tersedianya dukungan
bagi pemerintah dan apa yang ingin diperoleh dari masyarakat. Adapun cara-cara yang
digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu:

1. Simbolis yaitu dengan cara menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk
simbol-simbol seperti kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi.
Contoh; upacara kenegaraan, pementasan wayang, pengidentifikasian diri dengan kelompok
mayoritas (misalnya agama tertentu) merupakan sejumlah contoh penggunaan simbol-
simbol yang bersifat ritualistik.
2. Prosedural yaitu menjanjikan kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas
pendidikan dan kesehatan lebih baik, kesempatan kerja lebih besar, menjamin tersedianya
pangan yang dibutuhkan rakyat, menjanjikan sarana produksi pertanian, sarana komunikasi
dan transportasi, serta modal yang memadai.
3. Materiil yaitu dengan cara mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil
rakyat, perdana menteri, presiden, dan sebagainya. Para anggota lembaga tinggi negara atau
referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.

12
Pada umumnya, pemimpin pemerintahan yang mendapatkan legitimasi berdasarkan
prinsip-prinsip legitimasi tradisional, ideologi, dan kualitas pribadi cenderung menggunakan
metode simbolik. Menurut Andrain berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat
terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:

1. Legitimasi tradisional: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin


pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah biru”
yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2. Legitimasi ideologi: masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan
karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang
dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis
seperti liberalisme dan ideologi pancasila.
3. Legitimasi kualitas pribadi: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun
penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4. Legitimasi prosedural: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Legitimasi instrumental: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada
pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil
(instrumental) kepada masyarakat.
Dalam kehidupan nyata biasanya para pemimpin pemerintahan tidak hanya
menggunakan satu tipe, tetapi juga mengkombinasikan dari dua tipe atau lebih sesuai dengan
struktur dan tingkat perkembangan masyarakatnya. Ada kalanya suatu kebijaksanaan yang telah
dirumuskan, dimintakan pendapat secara langsung kepada rakyat, dan rakyat diminta memberi
dukungan. Tetapi, ada kalanya, dukungan tersebut dimintakan oleh pengurus kebijaksanaan
kepada tokoh-tokoh non formal atau kunci di masyarakat. Dengan harapan, tokoh kunci atau non
formal itulah, yang akan mencari dukungan kepada massa atau rakyat kebanyakan.

Tokoh-tokoh kunci atau non formal tersebut ada di berbagai bidang agama, profesi,
budaya dan seni, ekonomi, pertanian dan bahkan sektor-sektor ekonomi dan jasa. Tokoh-tokoh
non formal ini, meski tidak menduduki jabatan apa pun di pemerintahan, umumnya mempunyai

13
massa banyak dan menaruh kepercayaan yang besar terhadap tokohnya. Bahkan dalam hal-hal
tertentu, sesuatu yang dikemukakan oleh tokoh kunci tersebut, diterima dengan lapang hati oleh
rakyatnya.

d. Krisis Legitimasi
Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang
memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan (skill) yang cukup untuk melakukan
pengelolaan (manajemen) Negara secara keseluruhan. Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh
kapabilitas dan kapasitas untuk menimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat,
rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat adalah ukuran
utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian,
dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan
kecakapannya

Sosialisasi merupakan kegiatan terbatas yang hanya bisa dilakukan sebelum


implementasi kebijakan dilaksanakan, meskipun demikian kegiatan penyampaian isu atau
substansi kebijakan publik masih dapat dilanjutkan/diteruskan dalam proses internalisasi
kebijakan, sehingga internalisasi kebijakan merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan sosialisasi
kebijakan yang dapat dilakukan berulang-ulang apabila hasil atau output kegiatan sosialisasi
kebijakan publik dirasakan tidak sesuai dengan harapan atau perencanaan awal.

Atas dasar tersebut maka internalisasi kebijakan dilaksanakan didasarkan kepada


beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, waktu yang diberikan dalam sosialisasi kebijakan
tidak lagi tersedia dikarenakan akan memasuki tahapan implementasi kebijakan. Kedua,
minimnya hasil kegiatan sosialisasi kebijakan yang mana pihak-pihak yang akan terlibat dalam
implementasi kebijakan masih kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik
mengenai isi atau substansi kebijakan tersebut. Ketiga, untuk memastikan kembali bahwa pihak-
pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan mengetahui perannya masing-masing.

Berdasarkan pemahaman tersebut di atas maka internalisasi kebijakan merupakan


kegiatan tentatif yang akan dilaksanakan apabila berbagai aspek prasyarat implementasi
kebijakan belum cukup terpenuhi atau untuk memastikan kembali adanya kapasitas pengetahuan

14
dan pemahaman yang baik dari pihak-pihak yang terlibat selagi proses implementasi kebijakan
tengah dilakukan.

1. Perbandingan Terminologi Sosialisasi dalam Kajian Kebijakan Publik dengan Ilmu


Sosiologi dan/atau Ilmu Antropologi

Terminologi sosialisasi dalam konteks kajian kebijakan publik dikarenakan tidak


memiliki dasar konsep yang kuat sehingga tidak jarang menggunakan terminologi dari kajian
rumpun ilmu sosial lainnya, namun kondisi tersebut justru mendistorsi terminologi sosialisasi
itu sendiri, terlebih lagi apabila digunakan sebagai dasar penelitian kebijakan publik maka
sangat besar peluangnya untuk menghasilkan penelitian yang bias.
Terminologi yang sering digunakan dalam rangka penelitian kebijakan publik yaitu
terminologi sosialisasi dari rumpun ilmu sosiologi dan/atau ilmu antropologi yang mana
sosialisasi diartikan sebagai bentuk kemampuan manusia atau seorang individu dalam
menerima nilai-nilai sosial sehingga mampu diterima dalam lingkungan tersebut. Terminologi
sosialisasi seperti inilah yang menggiring penelitian kebijakan publik lebih berorientasi
kepada ciri/karakteristik seseorang atau masyarakat, bukan kepada isi atau substansi dari suatu
kebijakan. Adapun perbedaan keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 1. Aspek Perbedaan Terminologi Sosialisasi dalam Kajian Kebijakan Publik
dengan Kajian Ilmu Sosiologi dan/atau Antropologi

Aspek Kajian Kebijakan Publik Kajian Ilmu Sosiologi / Ilmu


Antropologi
Konsep Penyebarluasan isu atau Kemampuan individu
substansi kebijakan memahami nilai-nilai
Nilai yang Digunakan Nilai hukum/kebijakan Nilai-nilai sosial/
kemasyarakatan
Subjek Tindakan yang dilakukan Tindakan yang dilakukan
Tindakan Pemerintah oleh individu/kelompok
Kelompok Sasaran Kelompok sasaran (target group) Masyarakat/lingkungan
Hasil yang Pengetahuan dan Penerimaan individu oleh
Diharapkan pemahaman isi atau substansi lingkungannya
kebijakan
Sumber: Analisis Peneliti, 2018.

15
Berdasarkan kepada tabel 1 di atas, maka konsep sosialisasi telah tepat diterjemahkan
dalam kajian rumpun ilmu sosiologi dan ilmu antropologi, sosialisasi ditempatkan sebagai
proses dari aktivitas seorang individu dalam rangka memahami, mempelajari dan
mempraktekan nilai- nilai sosial/kemasyarakatan dalam bentuk perilaku sosial agar diterima
oleh lingkungannya (Nasution, 1995; Waters & Crook, 1946; Zanden, 1979).
Terminologi tersebut di atas sejalan dengan fokus kajian ilmu sosiologi yang
mengkaji mengenai manusia sebagai mahluk sosial yang saling berinteraksi baik antara
individu dengan individu, individu dengan kolompok dan kelompok dengan kelompok
(Narwoko & Suyanto, 2005; Natzir, 2009), dan juga sesuai dengan fokus ilmu antropologi
yang mengkaji tentang manusia baik dari segi budaya, perilaku maupun dari
keanekaragamannya (Koentjaraningrat, 1990, 2009). Adapun contoh praktis dari perbedaan
terminologi sosialisasi tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut ini:

Gambar

Sosialisasi kebijakan Sosialisasi yang dilakukan oleh warga


pengentasan kemiskinan masyarakat pendatang

Isu: Isu: Bagaimana cara warga


Bagaimana isi atau substansi masyarakat pendatang
memahami nilai-nilai agar dapat
kebijakan pengentasan kemiskinan
diterima lingkungannya
diketahui oleh kelompok sasaran.

Nilai yang Digunakan: Nilai Nilai yang Digunakan: Nilai


Hukum/Kebijakan Sosial/Kemasyarakatan

Proses yang Dilakukan: Melakukan Proses yang Dilakukan: Melakukan


penyebarluasan isi/substansi pembelajaran dan interaksi dengan
kebijakan pengentasan lingkungannya
kemiskinan
Hasil: Pengetahuan dan pemahaman Hasil:
kelompok sasaran mengenai Diterimanya warga masyarakat
kebijakan pengentasan kemiskinan pendatang oleh lingkungannya

Contoh Perbedaan Terminologi Sosialisasi dalam Kajian Kebijakan Publik dengan


Ilmu Sosiologi dan/atau Ilmu Antropologi Sumber: Analisis Peneliti, 2018.

Berdasarkan kepada gambar 3 tersebut di atas, maka terminologi sosialisasi dalam

16
kajian kebijakan publik dibandingkan dengan kajian dalam ilmu sosiologi dan/atau ilmu
antropologi memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Adanya perbedaan tersebut
didasarkan konsep yang digunakan memang berbeda, sehingga dalam prosesnya, adanya
pemanfaatan terminologi sosialisasi dalam kajian ilmu masing-masing akan memiliki
signifikansi kepada hasil penelitian masing-masing pula. Atas dasar tersebut maka kajian
sosialisasi dalam konteks rumpun kajian kebijakan publik harus didasarkan kepada perspektif
kebijakan publik itu sendiri.
1. Prasyarat Keberhasilan Sosialisasi Kebijakan Publik
Kegiatan sosialisasi kebijakan memerlukan prasyarat agar dapat terlaksana dengan
baik, mengingat kegiatan tersebut dapat dijadikan gambaran dan dasar bagi terlaksananya
implementasi kebijakan sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan. Adapun beberapa
prasyarat tersebut antar lain adalah sebagai berikut:

Pertama, adanya kejelasan kedudukan dan peran sosialisator. Hal ini memiliki artian
sosialisator atau pihak yang ditunjuk melakukan sosialisasi kebijakan memiliki kewenangan
secara legal-formal untuk melaksanakan kegiatan sosialisasi baik itu ditunjuk oleh pejabat
yang berwenang secara langsung (penguasa) atau atas perintah yang terdapat dalam isi atau
substansi suatu kebijakan yang telah dibuat. Dengan begitu akan memunculkan kejelasan
peran yang akan dilakukan oleh sosialisator dalam melaksanakan sosialisasi suatu kebijakan.

Kedua, adanya kejelasan isi/substansi dan metode sosialisasi. Sosialisator dalam


melaksanakan sosialisasi kebijakan harus didasarkan kepada kejelasan isi atau substansi
kebijakan yang akan mencakup antar lain bagian isi atau substansi mana yang harus
disosialisasikan, cara atau metode seperti apa yang akan digunakan agar sosialisasi kebijakan
dapat berjalan lancar serta berapa lama waktu yang diberikan dalam kegiatan sosialisasi
kebijakan tersebut.

Ketiga, adanya kejelasan kelompok sasaran atau target group. Sosialisasi kebijakan harus
memiliki kejelasan kepada siapa sosialisasi dilakukan, dengan begitu sosialisator memiliki
gambaran mengenai kelompok sasaran tersebut, khususnya mengenai potensi dan peluang
kelompok sasaran untuk dapat mengetahui dan memahami suatu kebijakan, sehingga
sosialisator dapat memetakan kapasitas kelompok sasaran agar dapat terlibat dan berkontribusi
secara optimal dalam implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan.

17
Keempat, adanya kejelasan hasil atau output. Sosialisasi kebijakan merupakan kegiatan yang
dilakukan atas dasar perencanaan yang jelas, terarah dan terukur sehingga hasil dari
sosialisasi kebijakan bisa dinilai tingkat keberhasilannya, dengan begitu sosialisasi kebijakan
yang dilakukan dapat dijadikan gambaran mengenai peluang, potensi dan hambatan yang akan
muncul dalam proses implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan.

18

Anda mungkin juga menyukai