Anda di halaman 1dari 25

Modul Proses Pengambilan Kebijakan

Periode pelatihan: 1-29 November 2015

Shita Dewi dan Laksono Trisnantoro


Pusat Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan.

PENGANTAR

Latihan tentang pengambil kebijakan ini dimulai dengan pemahaman mengenai Proses
Pengambilan Kebijakan. Mengapa? Dalam hal ini para peserta perlu untuk meyakini dirinya
sendiri bahwa proses pembelajaran ini akan masuk ke kenyataan yaitu mempelajari ilmu
kebijakan yang berasal bukan dari disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Dengan demikian modul ini mencoba mengajak para peserta untuk memahami proses
pengambilan kebijakan dengan dasar teori ilmu kebijakan yang diaplikasikan di sector
kesehatan. Pembahasan aplikasi ini akan dilakukan dengan diskusi virtual dimana para
peserta di minta untuk mengaplikasikan apa yang ada di lapangan dengan konsep yang ada.

TUJUAN

Memberi gambaran mengenai konsep terkait proses pengambilan kebijakan

MATERI

Proses kebijakan adalah proses yang meliputi kegiatan perencanaan, penyusunan,


pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini kita khususnya membahas kebijakan
publik, yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk kepentingan public. Proses
kebijakan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain: para politisi, berbagai institusi
pemerintah, para pengambil keputusan, kelompok kepentingan dan pihak-pihak lain.

Untuk memahami proses kebijakan, kita perlu memahami berbagai konsep dasar terkait
proses kebijakan, penentuan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan.

1. Berbagai Model Proses Kebijakan

Terdapat berbagai macam model proses kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan membahas
hanya tiga model.

Pertama, model rasional. Model rasional menekankan bahwa proses kebijakan merupakan
proses yang rasional dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki cara berpikir yang
rasional. Menurut model ini, proses kebijakan meliputi tahap-tahapan tertentu dan berjalan
seperti sebuah siklus. Para aktornya dapat secara jelas melihat tujuan dari kebijakan dan cara
mencapai tujuan tersebut. Sejak tahun 1950an, konsep ini telah berkembang dan
1
menghasilkan berbagai variasi, namun memiliki esensi yang sama (Laswell, H.D., The
Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis, University of Maryland Press:
1956; Jenkins, W.I., Policy Analysis. A Political and Organisational Perspective, Martin
Robertson: 1978).

Apabila dielaborasi, maka proses kebijakan akan dimulai dari adanya masalah yang
teridentifikasi masuk ke dalam agenda kebijakan (atau, agenda setting). Kemudian setelah
informasi yang diperlukan terkumpul, ditemulan berbagai pilihan dan alternative kebijakan,
sehingga dapat disusun sebuah kebijakan (policy formulation). Kemudian diambil keputusan
mengenai rancangan kebijakan yang paling efisien dan efektif dan diputuskan sebagai suatu
kebijakan yang memiliki kekuatan hukum (decision making). Hasilnya adalah sebuah
kebijakan yang hampir ideal dan optimal. Setelah ini kebijakan dijalankan (policy
implementation) dan dievaluasi (monitoring & evaluation), apabila ditemukan masalah-
masalah baru, masalah tersebut akan masuk menjadi agenda kebijakan dan memulai siklus ini
kembali.

Namun kenyataannya, tidak semua kebijakan mengalami proses yang rasional seperti ini.
Dalam kenyataannya, proses kebijakan merupakan proses yang rumit dan kompleks karena
dipengaruhi oleh tarik-menarik antara berbagai kepentingan dan berbagai aktor, dipengaruhi
pula oleh latar belakang pengalaman implementasi kebijakan terkait atau kebijakan
sebelumnya, di'arah'kan oleh berbagai 'suara' kelompok kepentingan, dan biasanya memasuki
ranah politik kepentingan.

2
Maka muncul model kedua yaitu Incremental Model. Menurut model ini, proses pencarian
informasi yang diperlukan berlangsung terbatas, tidak seluruhnya sistematis, dan
dikendalikan oleh terlalu banyak pemain. Kadang cara mencapai tujuan tidak dapat terlihat
nyata. Terkadang pilihan dan alternatif kebijakan yang tersedia hanya bisa dinilai dengan cara
melihat sejauh mana manfaat kebijakan terdistribusi. Lebih lagi, kebijakan yang dipilih
seringkali adalah kebijakan yang mendukung kelompok peserta dari proses ini, dan kurang
mempertimbangkan pihak lain yang kebetulan tidak terlibat dalam proses ini. Hasilnya,
kebijakan seringkali tidak optimal dan harus diperbaiki terus menerus, sedikit demi sedikit
(Lindblom, C.E., The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19 (2), p.
79-88).

Konsep ini semakin berkembang dalam model ketiga, yaitu model "tong sampah"
(Garbage Can). Model ini melihat bahwa suatu kebijakan dapat dipicu dari tiga arah, yaitu
dari masalah (problem stream), kebijakan sebelumnya atau kebijakan terkait (policy stream)
atau dari kepentingan politis (political stream). Ketiga aliran ini dapat saja tercampur dan
seringkali tidak terduga arahnya. Akibatnya, baik masalah, para aktornya mau pun solusi
yang diperkirakan dapat berubah-ubah dengan cepat. (Cohen, M., March, J., and Olsen, J., A
Garbage Can Model of Organizational Choice, Administrative Science Quarterly 17, 1972,
p. 1-25; Kingdon, J.W., Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College
Publisher: 1983). Akhirnya, sebuah kebijakan bisa saja diambil karena dimotivasi oleh hal-
hal lain, yaitu:

1. Decision by Oversight: kebijakan dibuat for the sake of making decision tanpa
peduli apakah menyelesaikan masalah atau tidak.
2. Decision by Flight: keputusan tidak dibuat sampai masalahnya pergi meninggalkan
pilihan yang ada.
3. Decision by Resolution: masalah akan diselesaikan secara ad-hoc.

3
Jadi, menurut model ini, kebijakan seringkali tidak menyentuh esensi permasalahan. Para
pengambil keputusan harus segera pindah ke 'penyelesaian' masalah berikutnya.

2. Agenda setting

Namun, sebelum kebijakan dapat dirumuskan dan diadopsi, masalah harus bersaing untuk
mendapat ruang dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan ada di berbagai level, termasuk
agenda sistem politik, agenda lembaga legislatif dan presiden, dan agenda birokrasi. Aktor
kunci yang menentukan pengaturan agenda termasuk think tank, kelompok kepentingan,
media, dan pejabat pemerintah.

Ada dua model utama dalam melihat agenda kebijakan, yaitu model 'teknokratis' dan model
'politik'. Model teknokratis menjelaskan perubahan kebijakan sebagai hasil dari para
pengambil keputusan yang mengubah preferensi mereka dan beradaptasi dengan kondisi
baru. Sesuai siklus kebijakan, mereka belajar dari pengalaman yang ditunjukkan oleh hasil
evaluasi kebijakan. Inovasi kebijakan, jika ada, adalah produk dari pembuatan kebijakan di
mana kebijakan dipandang sebagai hipotesis, atau teori, dan pelaksanaan atau implementasi
kebijakan adalah sebagai pengujian dari teori atau hipotesis tersebut. Sementara, model
politik, pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan penyusunan kebijakan sebagai akibat dari
perubahan dalam konfigurasi kepentingan yang dominan.

Meskipun demikian, fakta bahwa suatu masalah harus masuk menjadi agenda kebijakan,
menegaskan kepada kita bahwa ada 'jendela kebijakan' dan 'kesempatan untuk tindakan'
(Kingdon, 1983), dan tidak selalu berarti bahwa hanya itu permasalahan yang ada di
lapangan. Dalam analisis kebijakan, "masalah" merupakan konstruksi analitik, namun dalam
politik "masalah" adalah konstruksi politik. Dalam analisis kebijakan, konstruk atau masalah
yang teridentifikasi adalah produk dari suatu hasil analisis. Dalam politik apa yang diakui
atau disahkan sebagai "masalah" adalah produk dari proses politik. Oleh karena itu, walau
pun ada banyak masalah di lapangan, namun tidak seluruhnya masuk ke dalam agenda
kebijakan.

Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara. Pertama,
masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi harapan
4
publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam agenda masyarakat (public
agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda
kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media dapat sangat
efektif dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari
agenda kebijakan dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi
melalui proses kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk melalui
dorongan kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media
(Rogers, E. M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where has it been? Where is it
going?, Communication Yearbook, 11, 1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting
dapat bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam
agenda kebijakan. Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.

Gambar 4. Agenda Setting

Namun, agenda setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus menarik
perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi pemerintah) untuk
dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua 'agenda
publik' dan 'agenda media' akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan kemudian menjadi
rumusan kebijakan, sampai akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda
kebijakan pun memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser
dengan cepat dan digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis.

3. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat diterima untuk
mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda kebijakan.

Perhatikan bahwa ada dua bagian definisi ini:

Formulasi efektif, berarti bahwa kebijakan yang diusulkan dianggap sebagai solusi
yang valid, efisien, dan dapat diterapkan. Jika kebijakan ini dilihat sebagai tidak
efektif atau tidak bisa dijalankan dalam prakteknya, maka tidak ada alasan yang sah
untuk mengusulkan rumusan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, terdapat berbagai
alternatif kebijakan yang diusulkan. Ini adalah fase analisis dari perumusan kebijakan.

5
Formulasi diterima berarti bahwa arah kebijakan yang diusulkan kemungkinan akan
disahkan oleh pengambil keputusan yang sah, biasanya melalui suara mayoritas dalam
proses tawar-menawar. Artinya, kebijakan itu harus layak secara politis. Jika
kebijakan kemungkinan akan ditolak oleh pengambil keputusan, mungkin tidak
praktis untuk menyarankan kebijakan tersebut. Ini adalah fase politik perumusan
kebijakan.

Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase analisis.
Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus dianalisis untuk
menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi masalah, efisien dan dapat
dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis dalam rumusan kebijakan, misalnya:

1. Analisis Biaya-Manfaat
2. Model multiobjectives
3. Analisis Keputusan (decision analysis)
4. Analisis Sistem (system analysis)
5. Operation research
6. Nominal group technique

Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis sistem yang
menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke lingkungan internal dan
lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu hanyalah salah satu bagian saja dari
proses rumusan kebijakan, karena ada fase selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih
atau ditunjuk secara politis bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang
baik dan efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal
tersebut.

Para perencana kebijakan memang diharapkan dapat memberikan kontribusi teknis mengenai
cara, perilaku, biaya, strategi implementasi, dan konsekuensi dari kebijakan, baik atau buruk.
Namun, para ahli dan analis teknis tidak bertanggung jawab langsung kepada publik.
Keputusan untuk melakukan trade-off, prioritas nilai, dan beban efek keseluruhan pada
akhirnya tetap harus diambil oleh para pengambil keputusan yang, secara teori, akuntabel
terhadap masyarakat dalam sistem perwakilan di pemerintahan kita. Hanya dengan adanya
otorisasi dari para pengambil keputusan inilah sebuah kebijakan dapat memiliki wewenang
dan kekuatan hukum.

Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara kita.
Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar sebuah usulan
kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya dengan memahami proses
perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses
kebijakan dan siapa pengambil keputusan. Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa
'entry point' ke dalam area kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan
area yang terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya dapat
dimasuki dengan adanya 'undangan' dari para pengambil keputusan. Di bawah ini kami
memberikan beberapa bahan bacaan berbagai mekanisme penyusunan perundangan yang
dapat dipelajari lebih lanjut.

6
Sebagai penutup, penting untuk kembali memijakkan kaki ke dunia nyata. Pengambilan
keputusan di dunia nyata seringkali dibatasi oleh setidaknya dua hal ini:

Bounded rationality pengambil keputusan memiliki keterbatasan dalam hal sejauh


mana mereka berperilaku rasional.

Satisficing pengambil keputusan dapat saja mengambil usulan pertama yang


memenuhi kriteria-kriteria minimum tertentu.

Akibatnya, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh berbagai bias, misalnya


hanya dapat melihat satu dimensi ketidakpastian, memberikan bobot yang terlalu besar
terhadap infomasi yang tersedia, dan mengabaikan the law of randomness.

TUGAS MATA KULIAH

7
ANALISIS KEBIJAKAN, ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

PENDEKATAN DALAM FORMULASI KEBIJAKAN

Nama Mahasiswa:

Arie Ratna Wuri (101414453014)


Dessya Putri Ayu (101414453043)
Ita Fajria (101414453022)

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN

SURABAYA

2015

8
Menurut N. Dunn kebijakan publik (Public policy) adalah pola ketergantungan yang

kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-

keputusan untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah (Dunn,

2000:132). Proses kebijakan terdiri dari penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Setiap tahapan merupakan

aktivitas yang terus berlangsung dan terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan

dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap

pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear.

Proses formulasi Kebijakan merupakan proses awal dalam policy proses yang berisi

aktivitas sebagai berikut: Perumusan masalah, agenda setting, penyusunan alternatif, seleksi

alternatif, penetapan alternatif terbaik. Formulasi kebijakan yg baik harus berorientasi pada

implementasi dan evaluasi. Perlu langkah yang hati-hati dalam formulasi kebijakan . Formulasi

kebijakan pada dasarnya merupakan uraian konseptual yang menunjuk kecermatan membaca

realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Pada setiap tahap siklus kebijakan perlu pendekatan

(approaches) yang sesuai. Tahap formulasi, pendekatan yang banyak digunakan adalah

normatif, valuatif, prediktif ataupun empiris.

a. Pendekatan Empiris

Prinsip pendekatan empiris antara lain adalah ;

1) Menekankan penjelasan sebab akibat dari kebijakan public

2) menghasilkan informasi deskriptif ataupun prediktif

b. Pendekatan Valuatif

Prinsip pendekatan valuatif antara lain adalah ;

1) Menilai manfaat (value) dari setiap kebijakan

2) Informasi yang dihasilkan bersifat valuatif

c. Pendekatan Normatif

Prinsip pendekatan normatif antara lain adalah ;

1) Menekankan pada tindakan apa yang semestinya dilakukan

2) Pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah problem kebijakan

3) Menghasilkan informasi yang bersifat anjuran atau rekomendasi di masa depan

9
Berbagai pendekatan dalam formulasi kebijakan menurut Parsons (1997) menyebut ada 4

(empat) pendekatan, antara lain yaitu :

1. Power approach (pendekatan kekuasaan).

a. Proses formulasi ditentukan oleh faktor kekuasaan.

b. Formulasi kebijakan ditentukan oleh siapa yang berkuasa dan seberapa besar

kekuasaannya.

c. Sumber kekuasaan : kelas sosial, birokrasi, pendidikan, profesionalisme, kaum

pengusaha dsb.

d. Identik dengan pendekatan politik

Pendekatan kekuasaan dapat dibagi dalam:

a. Elitism

Elitism diprakarsai oleh Mosca dan Pareto dimana kekuasaan ada ditangan elit

penguasa, dominasi para elite menentukan sebuah produk kebijakan public oleh karena

itu formulasi kebijakan sangat berada di tangan para elit yang dimana kebijakan

merupakan pencerminan keinginan elit (mengalir dari atas ke bawah). Jadi, kesempatan

untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan ini hanya dimiliki oleh para elit.

b. Pluralism

Proses pembuatan kebijakan ini menekankan pada kontinuitas dan keterlibatan

multi-metode dalam sebuah proses pembuatan kebijakan publik, sehingga dapat

meminimalisir dominasi salah satu kelas dalam masyarakat.

Bertumpu pada peran sub-sub sistem yang ada dalam sistem demokrasi.

Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungan dengan individu yang lain

dalam proses pemb keputusan. Hubungan tersebut tidak berlangsung selamanya tetapi

lebih dibentuk dalam rangka membuat keputusan-keputusan khusus, tak ada

pembedaan yang ketat antara elit dengan massa, dan tak ada kelompok tunggal yang

mendominasi pembuatan keputusan. Kompetisi dilakukan di tingkat pemimpin dimana

kebijakan publik dipandang merefleksikan kompromi dan tawar menawar

c. Marxism

10
Kekuasaan hanya akan digunakan untuk menghasilkan produk kebijakan publik

yang memihak pada kaum kapitalis. Pada umumnya di banyak negara semua kebijakan

publik adalah untuk kaum kapitalis yang biasanya berkuasa dalam pemerintahan..

Marxism berupaya menghilangkan dominasi kaum kapitalis dengan melibatkan kaum

proletar dalam pembuatan kebijakan oleh karena itu kaum proletar harus dilibatkan

dalam pembuatan kebijakan

d. Corporatism

Pembuatan kebijakan publik dengan menekankan pada konspirasi segelintir elite

yang tertata dengan sengaja. Diilhami oleh pandangan Schmitter bahwa dalam negara

otoriter, model korporatisme negara sangat efektif dalam melaksanakan pemerintahan.

Korporatism adalah praktek politik yang menekankan adanya konspirasi beberapa elit

yg tertata dengan rapi, namun tetap ada figur yang terkuat (diktatornya). Mereka yang

berada disekitar orang kuat inilah yang berperanan dalam perumusan kebijakan publik

e. Profesionalism

Pandangan ini akan efektif ketika sebuah negara banyak dipimpin oleh mereka-

mereka dari kalangan professional dimana suatu negara akan maju jika banyak

didominasi oleh kaum professional. Oleh karena itu pembuatan kebijakan ditentukan

oleh kaum professional dimana kaum profesional cenderung membuat kebijakan yang

menguntungkan kepentingan profesionalitasnya daripada kepentingan publik

f. Technocracy

Formulasi kebijakan didasarkan atas eksplorasi ilmiah yang dilakukan oleh para

ilmuwan. Pengaturan negara akan menjadi lebih baik jika terdapat eksplorasi ilmiah

dalam kehidupan kenegaraannya karena pandangan-pandangan ilmiah sangat

bermanfaat, sehingga peran tehnokrat sangatlah penting. Pembuatan kebijakan perlu

melibatkan kaum teknokrat sebanyak mungkin agar dapat memberikan pertimbangan

yang obyektif dan ilmiah.

2. Rationality and Policy Making (Pendekatan Rasionalitas dalam Pembuatan

Kebijakan).

Pembuatan kebijakan lebih mengarah pada dua konsep rasionalitas, yaitu rasionalitas

ekonomis (konsep efisiensi) dan rasionalitas administratif (konsep kepuasan)

a. Rasionalitas Ekonomis

11
Pembuatan kebijakan harus didasari oleh pembacaan yang mendalam atas dampak-

dampak ekonomis bila kebijakan tersebut diterapkan.

b. Rasionalitas Birokratis

Pembuatan kebijakan bertumpu pada efisiensi dan efektitivitas kinerja birokrasi.

3. Public Choice Approach

Lahir sebagai kritik atas model kekuasaan dan diprakarsai oleh Gordon Tullock, Niskanen,

Anthony Downs, kecenderungan para birokrat melayani kepentingan sendiri menjadi

penyebab lahirnya pendekatan ini.

Proses pembuatan kebijakan publik dalam paradigma ini akan bertumpu pada pilihan publik

yang mengakibatkan formulasi kebijakan yang dilakukan cenderung bertumpu pada

mekanisme pasar (apa yang menjadi kemauan dan kebutuhan publik).

4. Personality, cognition in Policy making

Pembuatan kebijakan lebih dipandang dari aspek psikologis dan informasi dan dimana

pembuatan kebijakan terkonsentrasi pada apa yang ada dalam pikiran pembuat kebijakan.

Pendekatan ini dikelompokkan pada dua kelompok :

a. Terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, kepribadian, motivasi serta hubungan

antar personal (pemb kebijakan adalah kegiatan analisis personal, kepribadian, budaya dan

idiologi yang dianut pembuat)

b. Terfokus pada respon yang dilakukan pembuat kebijakan terhadap yang terjadi pada

lingkungan (proses formulasi dilihat dari bagaimana pembuat kebijakan mengenali masalah,

menentukan alternatif, memproses informasi dari realitas sosial yang ada). Informasi

merupakan bagian integral dalam sistem politik. Sistem politik adalah suatu jaringan

komunikasi, sehingga proses pembuatan kebijakan harus mengakomodir dan melibatkan

elemen dalam masyarakat yg menjadi sasaran kebijakan.

Menurut Turne & Hulme,( 1997) di negara sedang berkembang sering terdapat dua

pendekatan, antara lain yaitu :

12
1. Society centered approach

Dibagi kedalam Social class analysis, pluralism dan public choice model. Dalam Social

class analysis kebijakan dipandang sebagai perwujudan dari usaha kelas yang dominan

untuk mempertahankan dan melindungi kepentingannya terhadap kelas bawah. Perumusan

kebijakan harus dicari yg membela kaum lemah dari dominasi kelas atas. Dalam pluralism,

kebijakan dipandang sebagai hasil konflik, tawar menawar dan koalisi antar kelompok

masyarakat sdangkan dalam public choice kelompok masyarakat berupaya untuk memiliki

akses dalam pembuatan kebijakan

2. State centered approach

Terbagi dalam rasional actor, bureaucratic politics dan State interests.

a. Rational actor ; para aktor berlaku selayaknya pemilih yang rasional dalam menentukan

alternatif kebijakan. Kebijakan ditentukan para aktor

b. Bureaucratic politics: peran birokrasi sangat besar

c. State interest : kebijakan dipandang sebagai suatu perspektif umum dimana negara

memiliki otonomi dan merumuskan hakekat masalah-masalah publik serta mencari

solusinya (peran negara sangat besar dalam perumusan kebijakan)

13
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK SERTA FAKTOR KEBERHASILAN
DAN KEGAGALANNYA
Standar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

George Edwards III (1980) mengungkapkan ada empat faktor dalam mengimplementasikan
suatu kebijakan publik yaitu:

1. Komunikasi

2. Sumber daya
3. Disposisi atau perilaku
4. Struktur Birokratik

Keempat faktor tersebut secara simultan bekerja dan berinteraksi satu sama lain agar membantu
proses implementasi atau sebaliknya menghambat proses implementasi. keempat faktor tersebut
saling mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung keefektifan implementasi
kebijakan.

Sementara menurut Maarse (1987), Keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh isi dari
kebijakan yang harus dilaksanakan dimana isi yang tidak jelas dan samar akan membingungkan
para pelaksana di lapangan sehingga interpretasinya akan berbeda. Kemudian ditentukan pula
oleh tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan sehingga pelaksana dapat
bekerja optimal. Lalu ditentukan juga oleh banyaknya dukungan yang harus dimiliki agar
kebijakan dapat dilaksanakan dan pembagian dari potensi-potensi yang ada seperti diferensiasi
wewenang dalam struktur organisasi.

Atas dasar hal tersebut, dalam mengimplementasikan suatu kebijakan Pemerintah Daerah harus
memperhatikan bermacam-macam faktor. Arus informasi dan komunikasi perlu diperhatikan
sehingga tidak terjadi pemahaman yang berbeda antara isi kebijakan yang diberikan oleh pusat
dengan persepsi aparat pelaksana di daerah. Diperlukan pula dukungan sumber daya maupun
stakeholders yang terkait dengan proses implementasi kebijakan di daerah. Diperlukan pula
pembagian tugas maupun struktur birokrasi yang jelas di daerah sehingga tidak terjadi
ketimpangan tugas dalam proses implementasi suatu kebijakan di daerah. Diperlukan pula nilai-
nilai yang dapat dianut atau dijadikan pegangan oleh pemerintah daerah untuk menerjemahkan
setiap kebijakan yang harus diimplementasikan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kebijakan publik menurut para ahli;


2. Apa ruang lingkup dari kebijakan publik;
3. Bagaimana proses pembuatan atau formulasi kebijakan publik;
4. Faktor apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik.

1.3 Tujuan

1. Memahami arti dari sebuah kebijakan publik;


2. Mengetahui apa yang menjadi ruang lingkup dari kebijakan publik;
3. Mengerti bagaimana proses atau tahapan dalam pembuatan suatu kebijakan;
4. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik;

14
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebijakan Publik

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan
Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama
yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi
sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat
oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).

Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi
kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum
namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut
kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi
kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang
berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah
menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden
termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus
ditaati.

Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus
dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang
holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak
kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada
yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam
menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).

Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor,
terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya
diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar
mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 372): bahwa kebijakan adalah suatu
upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan
tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.

Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499)
bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan
terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal
mengikat.

Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif
(Michael Hill, 1993: 8):

The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable
element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.

Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai
kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan.
Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi
suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model
kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional,
model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.

Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan
terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut
George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang
15
menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran
tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).

Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat
dibedakan dalam tiga tingkatan:

1. 1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik
yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau
instansi yang bersangkutan.
2. 2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk
tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3. 3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah
yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan
tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)

Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu
pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika
pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit
dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.

Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan
oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu
keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan
tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins
mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)

A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the
selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these
decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve.

Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor
mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan
administrasi negara. Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy Prinsip-prinsip
Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan penting dalam
merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara
dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk
mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell
dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk
mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan
praktik.

Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku Understanding Public
Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat
sebuah kehidupan bersama tampil.

Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US,
(Said Zainal Abidin,2004: 23) kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi
luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman
umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.

Dalam Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan
suatu sistem nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan dapat
digambarkan sebagai berikut:

2.2 Ruang Lingkup Kebijakan Publik

16
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) adalah Pola
ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk
keputusan-keputusan untuk bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah (N. Dunn,
2000:132).

Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu masalah karena merupakan upaya
memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu keburukan serta sebaliknya menjadi penganjur
inovasi dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat
dirumuskan pula bahwa pengetahuan tentang kebijakan publik adalah pengetahuan tentang
sebab-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan dan program publik (Kencana, 1999:106).

Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata
bijaksana yang artinya: (1) selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan),
arif, tajam pikirannya; (2) pandai dan ingat-ingat dalam menghadapi kesulitan (cermat; teliti).
Pengertian kebijakan sendiri adalah; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan
dan cara bertindak (tentang pemerintahan dan organisasi); penyertaan cita-cita, tujuan, prinsip
dan maksud.

Sementara itu pengertian publik yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti negara atau
pemerintah. Serangkaian pengertian tersebut diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik
menurut Santosa adalah :

Serangkaian keputusan yang dibuat oleh suatu pemerintah untuk mencapai suatu tujuan
tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama
dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah (Santosa, 1988:5).

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah


yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijakan
publik memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura dan
Smallwood dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat
kebijakan publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :

1. Lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),


2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.

Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan publik
adalah :

Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang
mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of
instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for
achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari
lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi (Nakamura,
1980:31).

Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai dengan pendekatan
masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam bukunya yang
berjudul Understanding Public Policy memberikan definisi kebijakan publik sebagai What ever
government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12).

Selanjutnya Dye mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka
harus ada tujuannya. Dan kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan
semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal
yang tidak dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai dampak

17
yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak
dilakukan pasti terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.

Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan yang
bersifat publik dimana menurut Schubert Jr. mengungkapkan bahwa kepentingan publik itu
ternyata paling tidak sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :

1. Pandangan rasionalis yang mengatakan kepentingan publik adalah kepentingan terbanyak dari
total penduduk yang ada.
2. Pandangan idealis mengatakan kepentingan publik itu adalah hal yang luhur, sehingga tidak
boleh direka-reka oleh manusia.
3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik adalah hasil kompromi dari
pertarungan berbagai kelompok kepentingan.

(Dalam Fadillah, 2001:20-21).

Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, nampaknya kita harus merefleksikan pada kenyataan
riil kehidupan politik masyarakat modern, maksudnya masyarakat masyarakat modern yang ideal
adalah masyarakat yang mampu mengorganisir diri mereka sesuai dengan kepentingan mereka
masing-masing.

2.3 Tahap Formulasi Kebijakan

Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan
kebijakan publik tidak boleh dilepaskan dari fokus kajiannya. Sebab bila kita melepaskan
kenyataan politik dari proses pembuatan kebijakan publik, maka jelas kebijakan publik yang
dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin
aspek lapangannya itu jelas akan menemui banyak persoalan pada tahap penerapan berikutnya.
Dan yang tidak boleh dilupakan adalah penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu
hidup tidaklah pernah steril dari unsur politik.

Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik
secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan berhasil
tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu perlu
adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi
kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik
adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab
seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu
adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak
membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah uraian
atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas
tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai
ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas
masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).

Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan
secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi kebijakan sebagai :

The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into
political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or
legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and
review (feedback) (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian
masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-
tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan
pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan
pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik) (Dalam Solichin.
2002:17).

Menurut pendapatnya, siapa yang berpartisipasi dan apa peranannya dalam proses tersebut untuk
sebagian besar akan tergantung pada struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri.

18
Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang
dijadikan pendekatan-pendekatan dalam formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara
umum oleh khalayak kebijakan publik yaitu :

1. Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik


2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
3. Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik
1. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi dalam Formulasi Kebijakan
Publik

(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu dalam proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat dari
Yezhezkhel Dror yang membagi tahap-tahap proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah
yang merupakan uraian dari tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu :

1. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):


1. Pemrosesan nilai;
2. Pemrosesan realitas;
3. Pemrosesan masalah;
4. Survei, pemrosesan dan pengembangan sumber daya;
5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
6. Pengalokasian masalah, nilai, dan sumber daya;
7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.
8. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
1. Sub alokasi sumber daya;
2. Penetapan tujuan operasional, dengan beberapa prioritas;
3. Penetapan nilai-bilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas;
4. Penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum;
5. Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif tersebut diatas, berikut
keuntungan dan kerugiannya;
6. Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus menentukan
alternatif mana yang terbaik;
7. 7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah dipilih
tersebut diatas.

1. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)


1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;
2. Mengambil dan memutuskan kebijakan publik;
3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah dilakukan;
4. Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah dilakukan.

(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan
kebijakan. Tahap tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi
sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap yang berikutnya, dan tahap terakhir
(penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah,
dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat membuahkan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan, dan aksi
dalam satu tahap yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi kinerja tahap-tahap
berikutnya.

Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk tahap-
tahap tertentu dari proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-
tahap pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam bagan
19
2.1. terdapat sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan dapat memperbaiki proses
pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).

Tahap-tahap dalam Proses Pembuatan Kebijakan

FASE KARAKTERISTIK
PENYUSUNAN AGENDA Para pejabat yang dipilih dan diangkat
menempatkan masalah pada agenda publik.
Banyak masalah tidak disentuh sama sekali
sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
FORMULASI KEBIJAKAN Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan
untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan
melihat perlunya membuat perintah eksekutif,
keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus
diantara direktur lembaga atau keputusan
peradilan.
IMPLEMENTASI Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan
KEBIJAKAN oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan
manusia.
PENILAIAN KEBIJAKAN Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi dalam
pemerintahan menentukan apakah badan-badan
eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi
persyaratan undang-undang dalam pembuatan
kebijakan dan pencapaian tujuan.

Sumber : William N. Dunn, 2000:24.

2.4 Implementasi serta Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut


paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur
rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik,
keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah jika
dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat
diterapkan sesuai dengan rencana.

Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji
mengatakan dengan tegas bahwa The execution of policies is a important if not more important
than policy-making. Policy will remain dreams or blue prints file jackets unless they are
implemented (Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih
penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau
rencana bagus yang tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh karena itu
implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat
kompetensi dan berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat baik tenaga kerja

20
maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif dalam proses perumusan
kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang
mampu untuk meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan-
hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungan tindakan dengan
tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah terutama dalam


mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat sebuah kebijakan publik yang baik dan
adil. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan semua
orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya adalah kesulitan dalam memenuhi
tuntutan berbagai kelompok yang dapat menyebabkan konflik yang mendorong berkembangnya
pemikiran politik sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter
dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah :

Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan.
Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : Policy implementation
encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the
achievement of objectives set forth in prior policy decisions (pernyataan ini memberikan makna
bahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam
Fadillah, 2001:81).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang
berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.

Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota, Determinan dan
Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan
menurut pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan Van Horn yang menyatakan
menyatakan Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus
dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas
tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut. Lebih sederhana lagi kinerja (performance)
merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model Van Meter
dan Van Horn ini ada enam faktor yang dapat meningkatkan kejelasan antara kebijakan dan
kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut adalah standar dan sasaran kebijakan,
komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar
organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya, sikap pelaksana (Dalam Keban,
1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan sasaran kebijakan
dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat kebijakan yang masih berupa
dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerja
program. Dengan standar dan sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan program yang
telah dicapai.

Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan
(Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :

1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level
bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama
kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

(Ripley dan Franklin, 1986:89)

21
Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan
suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor mempengaruhi sekali
terhadap kinerja kebijakan tersebut.

Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat
menimbulkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:

1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak
tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang
menyangkut sumber daya pembantu.
2. Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang
tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan
dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak cukup
dukungan untuk kebijakan tersebut.

(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan
sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup
kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada awal
perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat bekerja maksimal dan bahkan
tidak tahu apa yang harus dilakukan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Tahapan implementasi sebuah kebijakan merupakan tahapan yang krusial, karena tahapan ini
menentukan keberhasilan sebuah kebijakan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan
baik pada tahap perumusan dan pembuatan kebijakan.

Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses
pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan
tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan
yang diambil tersebut merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam
kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan
sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Hakikat utama
implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan
diputuskan.

Tahapan ini tentu saja melibatkan seluruh stake holder yang ada, baik sektor swasta maupun
publik secara kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni
tindakan yang diambil oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan
ketaatan kelompok target serta jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan
para stake holder tersebut. Interaksi ketiga unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan
dampak baik dampak yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.

22
Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil
atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang,
lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya
pengertian masyarakat atau lembaga; manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau
impact baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu
maupun kelompok.

3.2 Saran

Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, para ahli mengidentifikasi berbagai faktor yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Dari kumpulan faktor tersebut bisa
kita tarik benang merah faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik.
Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Isi atau content kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik dari sisi content setidaknya mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut: jelas, tidak distorsif, didukung oleh dasar teori yang teruji, mudah
dikomunikasikan ke kelompok target, didukung oleh sumberdaya baik manusia maupun finansial
yang baik.
2. Implementator dan kelompok target. Pelaksanaan implementasi kebijakan tergantung pada
badan pelaksana kebijakan (implementator) dan kelompok target (target groups).
Implementator harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk
melaksanakan sebuah kebijakan sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan (policy makers),
selain itu, kelompok target yang terdidik dan relatif homogen akan lebih mudah menerima
sebuah kebijakan daripada kelompok yang tertutup, tradisional dan heterogen. Lebih lanjut,
kelompok target yang merupakan bagian besar dari populasi juga akan lebih mempersulit
keberhasilan implementasi kebijakan.
3. Lingkungan. Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat
sebuah kebijakan diimplementasikan juga akan mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik.
Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil dan demokratis,
dukungan baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya keseharian masyarakat yang
mendukung akan mempermudah implementasi sebuah kebijakan.

Melihat hal tersebut diatas, maka penulis mengharapkan agar dalam penerapan atau
implementasi suatu kebijakan publik dapat memperhatikan faktor-faktor tersebut sehingga apa
yang menjadi tujuan dari kebijakan publik itu dapat terwujud.

23
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Tinggalkan Balasan

Implementasi kebijakan sesungguhnya bukan sekedar berhubungan dengan penerjemahan


pernyataan kebijakan (policy statement) kedalam aksi kebijakan (policy action). Dalam Aktifitas
implementasi terdapat berbagai faktor-faktor yang akan mempengaruhi terlaksananya kegiatan
atau kebijakan tersebut. Secara umum faktor-faktor yang memepengaruhi implementasi telah
banyak dikemukakan oleh para ahli kebijakan diantaranya sebagaimana dikemukakan oleh
Donald. S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975), Merilee S. Grindle (1980), George C.
Edwards III (1980), Daniel Mazmanian dan Paul Sebatier (1983), Cheema dan Rondinelli
(1983), serta David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999).

Menurut Meter dan Horn (dalam Subarsono, 2005) terdapat enam variabel yang memberikan
pengaruh terhadap implementasi kebijakan, yakni: Pertama, standar dan sasaran kebijakan.
Standar dan sasaran kebijakan menurut kedua pakar ini harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan
mudah menimbulkan konflik diantara agen pelaksana; Kedua, Sumber daya, implementasi
kebijakan memerlukan sumber daya baik sumber daya manusia (human resources) maupun
sumber daya non manusia (non-human resources); Ketiga, hubungan antar organisasi. Dalam
banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi
lain. untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama dengan instansi lain agar sasaran kebijakan/
program tercapai; Keempat, karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi,
norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan
mempengaruhi implementasi dari suatu kebijakan; Kelima, kondisi sosial politik dan ekonomi
yang mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan implementasi kebijakan, sejauhmana
kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan,
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung
implementasi kebijakan; dan Keenam, Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang
penting yaitu: 1).Respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauan
untuk melaksanakan kebijakan; 2).Kognisi, yaitu pemahamannya terhadap kebijakan; dan
3).Intensitas disposisi implementor.

Menurut Grindle (dalam Subarsono, 2005) implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua
variabel besar yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (conteks of
policy). Variabel isi kebijakan mencakup 1).Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau
target groups termuat dalam isi kebijakan; 2).Jenis manfaat yang diterima oleh target group;
3).Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan; 4).Apakah letak dari sebuah
program sudah tepat; 5).Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan impelmentornya dengan
rinci; dan 6).Apakah sebuah program di dukung oleh sumber daya manusia. Variabel lingkungan
kebijakan mencakup: 1). Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, strategi yang dimiliki para
aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; 2). Karakteristik institusi dan rejim yang
sedang berkuasa; dan 3). Tingkat kepatuhan dan responsivitas sasaran.

Edward III (dalam Subarsono, 2005) lebih lanjut mengemukakan dua premis untuk keperluan
studi implementasi kebijakan yaitu prakondisi-prakondisi apakah yang diperlukan untuk
keberhasilan implementasi kebijakan serta hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam
penerapannya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kemudian diidentifikasikan faktor-faktor
yang dianggap mempengaruhi implementasi kebijakan sebagai variabel independen yang
mempengaruhi kinerja dari implementasi. Faktor-faktor tersebut meliputi empat variabel, yaitu:
1).Komunikasi; 2).Sumber daya; 3).Disposisi; dan 4).Struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut
tidak hanya secara langsung mempengaruhi implementasi, akan tetapi juga tidak secara langsung
masing-masing faktor berpengaruh terhadap faktor lainnya.

Menurut Mazmanian dan Sebastier (dalam Subarsono, 2005) terdapat tiga kelompok variabel
yang berpengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan yaitu: 1). Karakteristik dari masalah
(tractability of the problem); 2). Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to
structure implementation); 3).Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting
implementation). Kelompok variabel karakteristik masalah mencakup: a).Tingkat kesulitan
teknis dari masalah yang bersangkutan; b).Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran;
c.Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi; dan d).Cakupan perubahan perilaku yang
diinginkan. Kelompok variabel karakteristik kebijakan/ undang-undang mencakup: a).Kejelasan
isi kebijakan; b).Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis; c).Besarnya
24
alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut; d).Seberapa besar adanya keterpautan
dan dukungan antar berbagai institusi pelasana; e).Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada
pada badan pelaksana; f).Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan; dan g).Seberapa
luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup a).Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan
tingkat kemajuan teknologi; b).Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan; 3.Sikap dari
kelompok pemilih; dan c).Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

Menurut Cheema dan Rondinelli (dalam Subarsono, 2005), ada empat kelompok variabel yang
mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program yaitu: 1). Kondisi lingkungan; 2). Hubungan
antar organisasi; 3). Sumber daya organisasi untuk implementasi program; dan 4). Karakteristik
dan kemampuan agen pelaksana. Sedangkan Weimer dan Vining (dalam Subarsono, 2005)
menegaskan ada tiga kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi implementasi suatu
program yaitu: 1). Logika kebijakan; 2). Lingkungan kebijakan; dan 3). Kemampuan
implementor kebijakan.

Dari pendapat yang dikemukakan oleh beberapa pakar kebijakan diatas, secara umum terlihat
bahwa para ahli kebijakan tersebut memiliki variasi pandangan dalam merumuskan faktor-faktor
yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Dalam variasi padangan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks karena ada
banyak faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan.

SUMBER :

Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogjakarata: Pustaka
Pelajar.

25

Anda mungkin juga menyukai