Anda di halaman 1dari 24

Bab 6

Proses Terjadinya Kebijakan

"Belajar dari masal lalu, hidup hari ini, berharap untuk hari esok. Hal penting adalah tidak berhenti
mempertanyakan sesuatu

Albert Einstein

Secara umum proses pembuatan kebijakan dapat dibedakan menjadi dua cara. Pertama, pembuatan
kebijakan dianggap sebagai aktivitas penetapan masalah dan mencari solusinya yang dapat dilakukan
oleh seseorang atau lembaga swasta seperti perusahaan. Proses berfikir untuk menentukan bagaimana
masalah-masalah di tetapkan dan cara-cara penyelesaiannya sangat tergantung dari pe

196

Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan

ngalaman dan pengetahuan para pembejaan demikia biasanya terjadi dalam proses pembuatan
kebijakan pada lingku kecil atau terbatas, dengan dampak maupun resiko akibat pelak sanaan kebijakan
dapat diketahui dan dipastikan dapat diterima oleh siapapun yang menerima dampak akibat
pelaksanaan kebijakan tersebut. Misalnya dalam lingkungan perusahaan kecil atau lembaga lembaga
yang mempunyai lingkup kerja terbatas. Anggapan terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut
didukung oleh cara berfikr rasional dan model linier dalam pembuatan kebijakan yang akan diuraikan
lebih lanjut dalam sub bab berikutnya.

Kedua, pembuatan kebijakan yang prosesnya dipelajari berdasar kan ilmu-ilmu politik, sosiologi,
anthropologi maupun manajemen Dalam pendekatan ini, peretapan masalah dalam proses pembuatan
kebijakan, tidak dianggap sebagai proses sederhana yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang. Pendekatan ini setidaknya memberi dua pertimbangan, sebagai berikut:

1. Hasil rumusan masalah kebijakan sangat tergantung ilmu pengetahuan dan kerangka pikir serta
pengalaman yang diguna kan untuk merumuskan masalah tersebut (Lihat Bab 3). Apabila digunakan
kerangka pikir ilmu ekonomi atau sosial atau politik atau hukum, misalnya, akan menghasilkan masalah
ekonomi atau masalah sosial atau masalah politik atau masalah hukum. Sementara itu apabila digunakan
pendekatan anthropologi, tidak digunakan kerangka pikir atau frame yang dimiliki oleh pembuat
kebijakan untuk menentukan masalah. Dalam pendekatan anthropolgi masalah dirumuskan apa adanya
dari orang atau subjek yang mengalami masalah tersebut. Perbedaan substansi rumusan masalah di atas
pada akhirnya menentukan perbedaan cara penyelesaiannya

Proses Terjadinya Kebijakan |

197

2. Implikasi adanya perbedaan rumusan masalah dan perbedaan cara menyelesaikan masalah
menentukan siapa yang dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan dan siapa yang mendapat
manfaat dari pelaksanaan kebijakan. Dalam hal ini sekaligus perlu diperhatikan pula apa kepentingan
dibalik proses pem- buatan kebijakan itu.

Penjabaran dua kerangka pikir yang berbeda di atas diuraikan dalam Bab ini untuk memberi gambaran
bagaimana kebijakan itu dibuat dan apa implikasi-implikasi yang perlu menjadi perhatian dari proses
pembuatan kebijakan.

1. Model Linier dan Kelemahannya

Pembuatan kebijakan yang berjalan mengikuti model linier juga disebut model rasional, atau common-
sense. Model rasional memiliki tradisi panjang di bidang kebijakan. Analisis kebijakan yang
dikembangkan pada awal abad 20 dengan tradisi intelektual di kedua bidang ekonomi kesejahteraan dan
psikologi sosial, didasarkan pada tradisi positivisme, empirisme dan rasionalisme (Pittaway, tanpa tahun).
Asumsi utama dalam model rasional adalah bahwa pembuat- an kebijakan dianggap proses rasional
dalam pengambilan keputu- san. Rasional tersebut dalam pengertian informasi mengenai masalah dan
alternatifnya diketahui untuk tujuan yang telah dapat disepakati bersama. Dalam kerangka kerja ini
digunakan model logis dan hirarki analisis kebijakan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan
dirumuskan, dilaksanakan dan dievaluasi. Dinyatakan dalam pen- dekatan ini bahwa analisis kebijakan
yang tidak dijelaskan melalui asumsi-asumsi dan prinsip ilmiah, akan menghasilkan pernyataan subjektif
dan karena itu tidak valid.

| Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan


198

Para analis kebijakan ini juga menyediakan berbagai alat unt mengatur, mengukur dan mengontrol
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan. Model rasional ini berusaha untuk meng hapus pengaruh
politik dari seluruh proses pembuatan kebijakan Karena tidak spekulatif, maka proses pembuatan
kebijakan dengan model rasional ini diklaim terbebas dari bias pribadi dan prasangka berba-sis empiris-
ilmiah, pengambilan keputusan dipandu oleh fakta yang sudah terbukti dan dipandu oleh hasil
eksperimen.

Dalam pembuatannya, kebijakan disusun berdasarkan sejumlah langkah serial, dimulai dengan
merurauskan isu dan masalah dan diakhiri penetapan sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah
tersebut. Biasanya urutan model linier dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut (lihat Gambar
13; Sutton 1999):

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. Dalam tahap ini biasanya juga
dilakukan dengan menentukan kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan

kondisi harapan yang diinginkan;

2. Merumuskan segenap tindakan untuk mengatasi masalah atau

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat,Pelaksanaan kebijakan;

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Dalam pendekatan ini, apabila masalah tidak dapat dipecahkan melalui segenap tindakan yang telah
ditetapkan, kesalahan biasanya tidak dialamatkan pada isi kebijakan, melainkan pada pelaksanaannya.
Kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan, biasanya dialamatkan pada lemahnya 'political will',
terbatasnya sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), atau lemahnya manajemen.3

Proses Terjadinya Kebijakan | 199

Kelemahan pendekatan rasional tersebut dapat dilihat, misalnya, apabila memang anggaran,
sumberdaya dan manajemen pelaksanaan kebijakan lemah, mengapa kelemahan-kelemahan tersebut
tidak dipertimbangkan sebagai masalah dan ditetapkan dalam tahap penetapan agenda? Bagaimana
tindakan sebagai solusi diputuskan juga sangat tergantung siapa yang mempunyai kewenangan, dan oleh
karenanya, pemegang kewenangan seharusnya dapat mengarahkan tindakannya untuk menjalankan
solusi tersebut. Asumsi ini seringkali tidak dipenuhi. Disamping itu, informasi sebagai bahan untuk
mendalami isu dan menetapkan masalah seringkali tidak lengkap.

Penetapan alternatif tindakan sebagai solusi seringkali hanya menggunakan pendapat sekelompok orang
dan belum tentu merupakan tindakan tepat untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan. Dalam
banyak hal, rumusan masalah itu sendiri seringkali keliru, sehingga tindakan untuk memecahkan masalah
juga tidak tepat. Pendapat para pembuat kebijakan atau saran-saran dalam pembuatan kebijakan dari
berbagai sumber seringkali menggunakan kebenaran' di masa lalu dan tidak lagi sesuai untuk kondisi
saat ini '

dan yang akan datang.

Beberapa kasus juga dapat ditemukan, misalnya meskipun rumusan dan solusi masalah telah ditetapkan,
namun naskah

200 Etika, Masalah, dan Proses R

kebijakan final tidak seperti naskah semula, akibat adanya kepenti ngan-kepentingan lain yang berhasil
mengubahnya. Kenyataan- kenyataan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai "seharusnya tidak
demikian". Para analis kebijakan perlu melihat kenyataan demikian itu dari berbagai sudut pandang,
untuk kemudian difahami sebagai bagian dari proses pembuatan kebijakan secara utuh.

penggunaan Model linier ini sangat efektif untuk menyangkal adanya penga ruh politik di dalam proses
pembuatan kebijakan Pada tahun 1947 Herbert A. Simon mengembangkan model rasionalitas terbatas
(bounded rationality), mengakui beberapa keterbatasan thetode ilmiah dan pembuatan keputusan
rasional sebagai alat analisis untuk pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan walaupun dikatakan
rasional, namun penetapan kebijakan senantiasa dihadap kan pada tiga hal yaitu: tidak cukupnya
informasi yang diperoleh pada saat menetapkan masalah dan solusi, kapasitas pikiran yang terbatas
untuk bisa menggunakan informasi yang tersedia, serta terbatasnya waktu dalam pengambilan
keputusan.

Kondisi yang kompleks dalam pengambilan keputusan dipahami sebagai elemen penting dalam proses
pembuatan kebijakan dan oleh karenanya menempatkan rasionalitas terbatas dalam proses pengam-
bilan keputusan menjadi sangat penting. Proses pembuatan kebijakan yang sedang berlangsung
seringkali berubah sehingga berjalan tahap demi tahap. Proses demikian itu menjadi inti dari teori
incrementalism dalam pembuatan kebijakan yang diringkas oleh Gregory (1989) sebagai berikut:

pembuatan kebijakan publik mengandung sedikit pemahaman tentang hubungan antar variabel,
pembuat kebijakan membatasi din pada apa yang sesuai dengan mereka dan apa yang mereka tahu dan
membuat kebijakan adalah proses yang dipengaruhi oleh kelompok kelompok yang berbeda dengan
kepentingan yang berbeda dan di situlah tujuan didorong."

Pengaruh politik kekuasaan dalam pembuatan kebijakan pada umumnya tidak diakui oleh pembuat
kebijakan yang menggunakan model rasional. Pfeffer (1981) menunjukkan bahwa, sementara

Proses Terjadinya Kebijakan | 201

kebanyakan orang secara nyata merasakan dan memahami adanya pengaruh kekuasaan dalam
pembuatan kebijakan, para pengguna model rasional justru sangat tidak nyaman dengan kekuasaan, ter-
utama kekuasaan dalam konteks politik. Politik atau kepentingan dalam pembuatan kebijakan biasanya
disederhanakan menjadi oteritas atau kewenangan yang sudah melekat pada lembaga yang membuat
kebijakan itu. Dalam model rasional, kewenangan tersebut diasumsikan dipegang oleh elit pembuatan
kebijakan sebagai peme- gang mandat melalui sistem politik pemerintahan untuk membuat keputusan
mengenai kebijakan atas nama orang banyak (konstituen). Kebijakan publik dianggap sebagai tindakan
dan posisi yang diambil oleh negara atas perannya yang sah sebagai pembuat keputusan.

Sifat pluralis dan kemungkinan konflik serta adanya permainan kekuasaan antara aktor kebijakan diakui
oleh para analis dengan model rasional. Pandangan mengenai kekuasaan yang tergantung pada sumber
daya yang menghubungkan kekuatan untuk kepe- milikan sumber daya yang langka juga diakui, tetapi
hal-hal demikian itu tidak dianggap sebagai masalah utama, karena Pemerintah di- anggap memiliki
sumber daya melimpah atau mempunyai kekuasaan mutlak, dibandingkan dengan pemain atau pihak-
pihak lainnya (Sutton 1999).

2. Narasi dan Pengembangannya

Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab 2 sebelumnya, dalam Bendekatan ilmu politik dan sosiologi
terhadap analisis kebijakan, dikenal apa yang disebut sebagai pembangunan narasi (die deployment).
Narasi dapat difahami sebagai suatu keyakinan di masa lalu, berisi penyederhanaan kompleksitas situasi
yang seringkali
digunakan oleh pembuat kebijakana huyu diony babkan banjir" atau "minimal luas hutan sebesar 30% da
wilayah pulau atau daerah aliran sungai". Narasi sering dijadikan argumen-argumen, sebagai
pengetahuan tersebut hand keyakinan yang sulit ditinggalkan. Narasi tersebut menjadi bagian penting
dari tindakan-tindakan Pemerintah maupun masyarakat din biasanya tidak ditelusuri lebih jauh
pengertiannya, sehingga dapat berlaku umum bahwa setiap banjir menjadi diyakini disebabkan oleh
hutan yang rusak atau hutan harus dipertahankan minimal seluas 30%, padahal tidak selalu demikian.
Curah hujan yang sangat ting juga dapat menyebabkan banjir, walaupun hutan di wilayah hulu tidak
rusak. Banjir juga disebabkan oleh faktor-faktor lainnya. Demi kian pula, wilayah-wilayah pulau kecil lebih
memerlukan konservasi dari adanya hutan.

Narasi dapat dibentuk sekaligus dilindungi oleh kelompok- kelompok tertentu di dalam masyarakat.
Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena
saling memberi pengaruh terhadap kebenaran asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari
pengalaman literatur, atau pasal-pasal dalam perturan-perundangan. Kelompok kelompok tersebut
menentukan cakupan atau arena yang perlu dibahas dalam pembuatan kebijakan. Menentukan penting
atau tidak pentingnya informasi.

Dalam banyak hal, narasi dibangun sebagai upaya untuk mengatasi adanya interaksi dan proses oleh
orang banyak yang kompleks yang menjadi karakteristik situasi pembangunan yang lebih sederhana
Kegiatan pembangunan mempunyai sifat ketidak-pastian. Birokrat dan para pembuat kebijakan
mengartikulasikan ketidak pastian tersebut dengan membuat parasi dan skenario melalui sejumlah
penyerderhanaan. Oleh karena itu, narasi dapat membatasi ruang untuk melakukan manufer atau
membatasi ruang kebijakan (policy space) yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk ketemu kan
alternatif atau pendekatan baru. Ruang kebijakan juga dapat

diartikan sebagai ketersediaan peluang perubahan kebijakan, yang mana narasi dapat mempersempit
peluang itu.

Selain berfungsi menyederhanakan fenomena yang dihadapi, narasi membantu kelompok kepentingan
tertentu untuk dapat mengatasi dominasi kelompok kepentingan yang lain, dengan cara menetapkan isu
sebagai dasar pembaruan kebijakan, menyediakan kerangka pikir bagaimana alternatif solusi
dirumuskan, argumen pemilihan terhadap alternatif ditetapkan, serta dampak dari imple- menttasi atas
pilihan alternatif tersebut.

Shore dan Wright (1997) melihat pentingnya penetapan agenda dan identifikasi alternatif tindakan
sebagai bagian penting, yaitu siapa yang mempunyai kekuatarı untuk menetapkannya:... a key concern is
who has "the power to define" Narasi yang paling kuat akan melemahkan atau menghilangkan alternatif
tertentu yang di- runuskan dalam pembuatan agenda dan menghilangkan alternatif tindakan dalam
pelaksanaan pembuatan kebijakan. Grillo (1997) menyatakan adanya pengaruh kuat narasi dalam
pembuatan kebija- kan, bahwa narasi mengidentifikasi dan melegitimasi cara menjalan- kan
pembangunan termasuk cara mengatakan dan cara memikirkan- nya

Dalam kondisi tertentu narasi dapat menjadi semacam dogma. Berikut diuraikan sepuluh narasi dalam
pembangunan kehutanan. Diuraikan disini bagaimana narasi pembuatan kebijakan saat ini, implikasinya
bagi pelaksanaan kebijakan, implikasi bagi sulitnya perbaikan kebijakan maupun counter narrative untuk
memper- baikinya.s

1 KEBIJAKAN ADMINIStrasi dan pertanggunGJAWABAN. Narasi saat ini dalam bidang kebijakan
administrasi dan pertanggung- jawaban yaitu reductionism. Seluruh kegiatan Pemerintah/Pemda

lebih ditekankan pada pertang gung jawaban penggunaan anggaran dengan asumsi bahwa: a). Semua
program dan kegiatan menjadi bagian dari solusi atau menjadi solusi secara langsung atas masalah yang
dihadapi pihak-pihak ya landscapat akibat langsung dari pelaksanat kebijakan sem tugas pokok dan
fungsi dari semua unit kerja suatu organisas lembaga membagi habis tugas-tugas untuk mencapai tujuan
organisasi/lembaga itu, c). Semua standar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Asumsi-asumsi itu tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Sementara hampir semua masalah/pekerjaan
di lapangan bersifat antar disiplin antar lembaga/sektor, administrasi memilah pekerjaan dan
membaginya habis kepada lembaga/sektor.

Akibat bagi pelaksanaan kebijakan saat ini, dalam pelaksanaan kebijakan dan peraturan-perundangan
mempunyai logika benar- salah sendiri dan dapat terlepas dari logika benar-salah dari apa yang
dibutuhkan masyarakat. Gap kebenaran tersebut misalnya dalam hal: a). Substansi program/kegiatan
tidak sejalan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, sehingga penyelesaian program/kegiatan tidak
berdampak pada kebutuhan masyarakat. b). Hasil/output kegiatan tertentu tidak ditunjang/ menunjang
output kegiatan lain, sehingga tujuan akhir tidak tercapai, c). Di lapangan kegiatan diubah volume
dan/atau spesifikasinya akibat ketidak sesuaian standar yang ditetapkan. Misalnya, dengan selesainya
kegiatan penetapan kawasan hutan tidak terkait dengan redanya klaim/konflik dan peningkatan
kepastian usaha Contoh lainnya, selesainya kegiatan penanaman pohon tidak lembaga/sektor di
lapanganpun Persoalan narasi ini

menjawab peningkatan kualtas DAS. Membuat kerja antar terpisah-pisah. menjadi bagian dari seluruh
hambatan pembaruan kebijakan. Apapun yang menjadi inisiatif untuk melakukan peningkatan efektivitas
penyelesaian masalah lapangan tidak dapat terjadi akibat ketidak sesuaian antara tolok ukur kebenaran
kegiatan/program Pemerintah/Pemda dengan

di
kebenaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ini akibat ukuran kinerja bersifat/berdasarkan
tolok ukur administratif, bukan berdasar hasil pekerjaan apa yang berguna bagi masyarakat.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu holistik- fokus pada tujuan akhir. Fakta lapangan dan
kebutuhan masyarakat serta hubungan input-output kegiatan semua unit kerja untuk mencapai tujuan
organisasi/lembaga perlu menjadi pertimbangan utama dalam penetapan administrasi dan pertanggung-
jawaban. Ada dua kebenaran yang dihadapkan dalam hal ini yaitu kebenaran menurut Pemerintah
berupa kegiatan/progran versus kebenaran masyarakat berupa apa yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan masalahnya. Dalam hal ini menjadi penting untuk menyandingkan tolok ukur kebenaran
masing-masing dengan menghilangkan informasi yang asimetris. Perlu adanya fungsi
pemimpin/manager pelaksana di lapangan, serta budaya berbagi habis pelaksanaan pekerjaan, bukan
berbagi habis kewenangan. Dalam perencaanaan dikoordinasi- kan lembaga tertentu yang bukan
pelaksana untuk menghindari konflik kepentingan.

2. HUBUNGAN KERJA DAN KONFLIK KEPENTINGAN-closed government. Adanya konflik kepentingan


antara pengawas dan yang diawasi atau antara pembuat kebijakan dan subjek yang terkena dampak
kebijakan secara umum belum menjadi perha- tian secara sungguh-sungguh. Pernyataan keharusan lebih
pen- ting daripada penerapan kode etik. Misalnya, pejabat aktif harus independen dan oleh karenanya
tidak ada masalah ketika ia punya konsultan yang menyelesaikan pekerjaan dikantornya atau konsultan
perusahaan dalam otoritasnya. Pejabat aktiť sebagai komisaris perusahaan dibawah otoritasnya
dianggap positif sebagai pembina dan tidak dianggap negatif karena konflik

etika.

kepentingan. Konflik kepentingan tersebut dapat sembunyi dibalik hukum dan prosedur/SOP, dan
miskin/kering

Akibat bagi pelaksanaan kebijakan saat ini, bahwa pelaksanaan prinsip imparsial dan tanpa pembelaan
dengan motif tertentu (pribadi, kelompok) sulit dilakukan akibat adanya konflik kepentingan. Keputusan
atas pelaksanaan perizinan tidak terfokus pada kriteria dan data teknis sebagai bahan pertimba- ngan
serta keadilan dan implikasi bagi publik secara luas, tetapi lebih pada negosiasi atas dasar saling
membantu kepentingan perusahaan dan kepentingan pribadi/kelompok pejabat. Relasi yang demikian
ini sudah bukan dianggap cacat karena sudah terjadi sargat lama. Akibatnya, keharusan bebas
kepentingan tidak dapat dioperasionalkan, dan tidak dapat dikontrol.
Dalam kondisi seperti itu perbaikan kebijakan mendapat hala- ngan akibat persoalan pernosisian pejabat
negara sebagai "wasit" menjadi sangat lemah, karena fungsinya dapat sekaligus sebagai bagian dari
"pemain". Hal ini dapat berimplikasi terjadinya state capture yaitu adanya kebijakan yang dapat
menguntungkan kelompok usaha atau kelompok masyarakat tertentu, serta korupsi akibat
bercampurnya keberadaan diskresi, ketertutupan sekaligus kewenangan.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu open government-kompetensi etika dan efisiens.
Pelembagaan code of conduct mempunyai urgensi tinggi. Kesadaran atas etika pemerintahan menjadi
kebutuhan utama dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan. Masalah ini mencakup area yang lebih
luas seperti kebijakan ke-PNS-an, terdapat dalam sistem hukum maupun sistem sosial. Diperlukan
pendekatan yang lebih radikal sehingga dapat "memaksa". Syarat lain, pemimpin di lapisan atas bersedia
memberi contoh dan menerapkan tuntunan etika (setelah sesuai hukum) ke lapisan birokrasi di
bawahnya

3. MASYARAKAT BUKAN SUBJEK PEMBANGUNAN-the forest first. dempir setiap pelaksanaan


program/kegiatan tidak disertai dengan pengetahuan mengenai apa yang menjadi masalah untuk
diselesaikan dan apa yang menjadi tolok ukur keberhasilan bagi masyarakat. Data karakteristik
masyarakat pada umumnya tidak

Proses Terjadinya Kebijakan | 207

diketahui, sehingga subjek pembangunan bergeser dari masya- rakat ke sumberdaya fisik seperti luas
hutan, lokasi kegiatan, potensi sumberdaya alam, dan lain-lain. Masyarakat dianggap objek bukan subjek.
Dalam hal ini manusia dan masyarakat tidak dianggap bagian dari ekosistem hutan. Hampir senantiasa
terda pat gap antara apa yang dihasilkan dalam pelaksanaan program/ kegiatan dengan apa yang
dibutuhkan masyarakat. Sebagaimana akibat dari persoalan administrasi dan pertanggung jawaban di
atas, kondisi ini menyebabkan tidak efektifnya pencapaian tujuan pembangunan, terutama bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara langsung atau peningkatan keadilan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam. Akibatnya, kehutanan ber- hadapan dan beradu dengan masyarakat, yang dalam
keadaan populasi dan kekuatannya meningkat, hutan menjadi kalah dan terpinggirkan.

Dengan tiadanya memori mengenai karakteristik masyarakat berakibat penetapan kebijakan dan
prosedur pelaksanaannya disamakan dengan usaha besar, sehingga terjadi ketimpangan respon.
Rendahnya respon masyarakat akibat rendahnya pengetahuan dan pengalaman dalam mengikuti
prosedur ter- sebut yang justru dianggap sebagai hambatan (masyarakat salah karena sebagai yang
lemah); dan bukan sebagai sumber pelayanan publik. Ini dapat diakibatkan fanatisme narasi ortodok
kehutanan di satu sisi, dan di sisi lain telah terbentuk phobia kehutanan dari pihak non-kehutanan pada
umumnya.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu the forest second-pertimbangan faktor lain selain
fisik hutan. Referensi sosial kemasyarakatan dan karakteristik usaha sebagai dasar pembuatan kebijakan
menjadi titik awal perubahan mindset, sehingga fokus program dan kegiatan ditujukan pada karakteristik
subjek yang dilayani. Norma, perilaku dan power masyarakat/ usaha komersialnya menjadi penentu
keberadaan hutan. Kebijakan yang mendekati ideal sebagaimana yang dimaksud dalam counter narrative
tersebut, seperti konsep

perhutanan sosial secara umum, perlu dikuatkan pelaksanaan- nya. Ketika

norma, perilaku dan power masyarakat menjadi penentu keberadaan hutan tetapi bertentangan dengan
perilaku alam misal pengelolaan di kawasan lindung yang senantiasa gagal karena bertentangan dengan
usaha tanain-menanam oleh masyarakat (mis: sayur-mayur dan semacamnya) yang terus akan
merugikan alam, maka perlu penerapan penge- hutan adaptif (adaptive forest management). WILAYAH
SATUAN sistem sektoral (fragmentasi

menerus lolaan 4. EKOREGION DAN FEMBANGUNAN-sectoralism. Dengan program) dampak kegiatan


bagi kegiatan lain tidak serta-merta menjadi pertimbangan dalam perencanaan dan penetapan
program/kegiatan. Tugas pokok dan fungsi suatu unit kerja menjadi lebih baku dan menentukan apa
yang dapat dan tidak dapat dilakukan daripada harus menyelesaikan masalah yang nyata ada. Kerjasama
antar unit kerja (di dalam dan antar lembaga) untuk menyelesaikan masalah tertentu juga hampir
mustahil karena lokasi dan arah kegiatan tidak dirancang agar koheren satu sama lain. Akibatnya, satuan
perencanaan pembangunan yang didasarkan pada daya dukung ekoregion tidak segera dapat diadopsi
sejak pemikiran ini bermula pada satuan perencanaan Daerah Aliran

PERENCANAAN

Sungai (DAS). Pengelolaan DAS direduksi menjadi penanaman pohon. Ditambah dengan ukuran kinerja
yang membenarkan hal tersebut, maka pendekatan ini menjadi terlembaga sejak puluhan tahun silam.
Akibatnya, kerjasama antar sektor dalam upaya untuk meningkatkan kualitas DAS menjadi terbengkalai.
Adanya pendekatan baru yang berbasis daya dukung ekoregion dengan cakupan yang lebih luas terbukti
menghadapi persoalan yang sama. Secara nasional sejak penetapan RPJMN satuan perencana- an
nasional tidak dilakukan berdasarkan pendekatan ekoregion, melainkan kompilasi dari rencana-rencana
yang telah ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga sebagai menu utamanya. Kondisi demikian itu
menyebabkan tidak adanya perubahan isi rencana

Proses Terjadinya Kebijakan |


209

karena seluruh perencanaan sudah terstruktur secara nasional sesuai dengan tugas fungsinya.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu integrasi tujuan-kerjasama antar lembaga dan
wilayah. Bentangan nusantara yang mempunyai ketergantung secara ekologis, sosial dan ekonomi perlu
menjadi dasar perencanaan nasional. Satuan- satuan produksi bukan hanya pada eksploitasi sumberdaya
alam tetapi juga produksi modal sosial, pengetahuan, teknologi untuk peningkatan daya dukung
ekoregion. Counter narrative yang sangat ideal itu memerlukan "syarat cukup" yang sangat mahal untuk
diwujudkan, yaitu merubah mindset masyarakat mulai dari persepsi, sikap dan perilakunya terhadap
sumberdaya alam dan pengelolaannya.

5. INSTRUMEN KEBIJAKAN-comannd and control. Faktor-faktor yag menentukan perubahan perilaku


masyarakat/pengusaha sebagai fokus dalam pelaksanaan kebijakan seringkali tidak diidentifikasi secara
jelas, karena isi kebijakan cenderung bersifat memaksa yang dilakukan dengan prosedur dan sangsi
melalui peraturan- perundangan. Instrumen kebijakan menjadi fokus pada hubungan fisik, misalnya
adanya jalan hutan (akses) dan tingginya permintaan hasil hutan dianggap sebagai faktor perusak hutan
sedangkan lemahnya pengelolaan hutan sebagai pokok soal tidak dibicarakan.

Akibatnya, hampir setiap pelaksanaan peraturan memerlukan pengawasan agar peraturan berjalan
karena peraturan tidak mengandung insentif/disinsentif yang mampu mengubah perilaku
masyarakat/pengusaha secara mandiri (tanpa diawasi). Ketergantungan pada pengawasan mempunyai
persoalan tersendiri akibat konilik kepentingan, korupsi, dil. Logika terbalik seringkali terjadi, misalnya
mempertahankan larangan ekspor log yang berakibat harga log domestik sangat rendah dianggap paling
baik untuk melestarikan hutan, padahal dengan harga log rendah tidak ada inseritif untuk menanam.

220 Baka, Masalah, dan Prores Kebijakan

Kanekuansinya perubahan kebijakan terhambat akibat batasnya pendekatan yang

bekerja.
digunakan. Tidak adanya per ngan pertimbangan ekonomi yang Fokus pada lembaga masyarakat yang
pelaksanaan kebijakan institungan politik-power di luar kewenangan semua perilaku social
memungkinkan efisiensi pemerintdan kontrak pemerintah yang ikut

Counter narrative untuk perubahan pendekatan multidisiplin. Perubahan dilakukan dengan


memperhatikan kontrak instrumen fiscal, serta pendekatan kebijakan yaitu holistik- instrumen kebijakan
perlu persoalan-persoalan pemilik- pemerintah-pemegang sosial dan psikologi bukan selalu
mengandalkan prosedur dan sanksi.

6.

KAWASAN HUTAN DAN ALOKASI KEKAYAAN NEGARA-state control wntuk status SDA. Sejak lama kawasan
hutan diartikan sebagai butan negara. Di hutan produksi, penetapan hutan negara dilakukan dan dibiayai
pemegang izin. Informasi mengenai ke- kayaan negara tidak dipastikan dikuasai Pemerintah/Pemda.
Perkembangan jumlah (stock) dan nilai kekayaan negara itu juga tidak dipergunakan sebagai tolok ukur
keberhasilan suatu unit pengelolaan hutan. Dalan hal ini, hak menguasai oleh negara tidak secara nyata
dapat dilaksanakan. Peran Pemerintah belum berjalan sebagaimana yang seharusnya.

Akibatnya, dalam proses pelaksanaan legalitas hutan negara berjalan seiring dengan pelaksanaan
pengelolaan dan izin pemanfaatan dan penggunaan hutan, sehingga persoalan hutan negara (konflik,
klaim) senantiasa mengiringi persoalan pengelolaan hutan.

Ketika kepastian status/legal hutan negara tidak menjadi prasyarat semua kegiatan pengelolaan hutan,
maka kebijakan pengukuhan hutan tidak mendapat prioritas dan/atau dilakukan hanya sebatas kegiatan
administratif tanpa mendapat legitimasi masyarakat. Pelaksanaan pembaruan kebijakan (peraturan)
tidak

dapat dilakukan secara fundamental. Karena tanpa melaksana

Proses Terjadinya Kebijakan | 211

kan persoalan yang fundamental itu semua kegiatan pengelolaan hutan dapat dilaksanakan dengan
kinerja (administasi dan keuangan) yang dapat diterima.
Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu state control untuk fungsi SDA. Negara perlu
menggeser perhatianinya bukan pada klaim/penetapan hak semata melainkan penetapan fungsi
hutan/lahan. Secara tegas memastikan kebijakan alokasi bukan hanya untuk pertumbuhan ekonomi
tetapi juga untuk keadilan sosial dan kelestarian fungsi lingkungan hidup bagi hutan. Counter narrative
dapat berkembang secara luas setelah adanya pembuktian manfaat hutan adat dan hutan desa dapat
diwujud kan di satu sisi, disisi lain hal itu dapat berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam
kelestarian. Desentralisasi (dalam sistem politik-pemerintahan) pengelolaan terhadap karakter
sumberdaya alam yang bersifat "lokal", maka counter narrative akan berjalan dalam skala "lokal" yang
dimaksud.

7. IZIN SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM-close government.


Pelaksanaan pengendalian belum terwujud, karena izin lebih sebagai persyaratan administratif
(prosedur, legal) dari suatu kegiatan. Hubungan kontraktual pemerintah dan pemegang izin seperti
atasan-bawahan yang bersifat instruksional. Hasil hutan yang keluar dari hutan hingga ke industri
pengolahan tetap dipertahankan sebagai barang publik sehingga perlu keterlibatan banyak pihak.

Akibatnya, efisiensi pelayanan publik bagi pelaksanaan perizin- an tidak mudah diwujudkan akibat
interdependensi pemerintah- pengusaha yang bersifat patron-klien secara tertutup dan bukan regulator-
operator secara terbuka. Perubahan kebijakan perizin- an sejauh ini belum mampu diikuti oleh
menurunnya biaya transaksi maupun keadilan pemanfaatan SDA. senantiasa terjadi

Hambatan bagi perubahan kebijakan perizinan akibat kuat-nya pertimbangan administratif dan teknikal
penga turan perizinan. Untuk mewujudkan sistem perizinan yang terbuka dan kredibel tidak didukung
oleh kondisi yang tersem-

213 | Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan

bunyi yaitu adanya kepentingan individual dan kelompok yang mendapat manfaat dari sistem yang
sedang berjalan.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu open goterument-peningkatan efisiensi dan
kredibilitas, Menetapkan batas yang tegas antara domain publik dan private dalam penetapan izin.
Dalam hal ini kebijakan perizinan sangat lekat dengan kebijakan untuk meningkatkan governance
(transparansi, akuntabilitas, efisiensi). Hubungan patron-klien tidak bermasa lah sepanjang dilakukan
secara terbuka, karena akan tetap dapat

mewujudkan maximum welfare.


8. REHABILITASI

HUTAN DAN "penanaman" menjadi fokus utama dan dapat menghilangkan gambaran utuh mengenai
pengelolaan hutan. Penanaman men jadi alat sah untuk sekaligus mengklaim bahwa apa yang di tanam
akan tumbuh menjadi suatu outcome yang berdampak positif bagi lingkungan hidup. Klaim itu justru
terbukti meng hilangkan bagian-bagian penting pengelolaan hutan yang memungkinkan hutan tumbuh
dan terjaga.

LAHAN-reductionism. Kata

Akibatnya, rehabilitasi hutan untuk perbaikan lingkungan menjadi "dipermudah" pelaksanaannya karena
mendapat beban untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang orientasinya cukup hanya menanam
tanpa peduli akan terwujud butan atau

tidak.

Perubahan kebijakan dengan fokus pada KPH, juga tetap belum dapat membantu karena orientasi pada
target (terlalu luas) masih mendominasi dengan tanpa memperhatikan kesiapan prasyarat

apakah target itu dapat dipenuhi atau tidak.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu holistik- fokus pada tujuan akhir. Mereduksi kata
penanaman dan mengembalikannya menjadi pengelolaan hutan dengan memperhatikan kesiapan
pengelolanya agar jaminan pertam-

bahan luas hutan terpenuhi. Identifikasi tipologi kegiatan yang

Proses Terjadinya Kebijakan | 213

berbasis pada kondisi sosial ekonomi dan biofisik, harus dilakukan secara lokal (baca: tidak digeneralisasi-
kan). 9 . KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM-conservationism. Ciri kuat
Kahzab conservationism dengan fokus pada flora fauna dan belum mengintegrasikan dengan kehidupan
sosial. Dengan kewenangan pengelolaan oleh Pemerintah dalam praktiknya mencerabut kawasan
konservasi dari kepentingan pembangunan daerah Akiba'nya manfaat konservasi yang sangat besar bagi
kehidupan manusia hanya dianggap beban pembangunan Belum difahami dan diterapkannya 3 pilar
konservasi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan oleh para pengelola areal konservasinya
sendiri, serta belum difahami dan diterapkannya pilar keberlanjutan/kelestarian oleh para peman faat
sumberdaya alam.

Akibatnya, di satu sisi pelaksanaan konservasi dianggap pihak lain sebagai penghambat pembangunan,
sedangkan di sisi internal pelaksanaan konservasi masih terfokus pada penga- maran kawasan hutan dan
belum sampai pada pemanfaatan kekayaan sumberdaya hayati dan non hayati.

Perubahan kebijakan dari berbagai inovasi yang telah ada ter hambat oleh lemahnya posisi unit
pelaksanaan konservasi di satu sisi dan di sisi lain terdapat hambatan narasi dari regulasi yang
bertentangan dangan fakta lapangan.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu holistik- koalisi diskursus. Untuk memperbaiki
kebijakan konservasi SDA dengan menggunakan koalisi ketiga mahzab yaitu: conservationism, eco-
populism, developrientalism. Penekanan setiap mahzab itu disesuaikan sesuai konteksnya di lapangan
Pemahaman yang sama tentang etnobiologi baik oleh pengelola maupun oleh masyarakat menjadi
sangat penting di setiap wilayah control

konservasi. 10. PERLINDUNGAN SUMBERDAYA Tidak menggunakan persoalan fundamental yaitu belum
ALAM-reductionism-state

214 Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan

elésainya klaim dan konflik aku herdaya alam elear pelaksanaan perlindungan SDA Dalam patakar
darannya cenderung tidak diikuti oleh dukungan legitima secara sosial. Di sisi lain kapasitas penjagaan
SDA dari berong bentuk kejahatan relatif cukup rendah, dibandingkan dengan beban kerja yang harus
dijalankan. Belam difahami dar diterapkannya prinsip untuk efektivitas dan efisiensi pertin dungan,
bahwa pelindung yang terbaik adalah pemanfaatan

yang berkepastian.
Akibatnya, hasil-hasil pelaksanaan perlindungan hutan cukup jauh dari kepuasan berbagai pihak yang
terkait. Ketergantungan pada kapasitas tenaga pelaksana perlindungan hutan tidak cukup menjawab
persoalan akibat lemahnya orientasi kebijakan pada peningkatan dukungan masyarakat.

Perubahan kebijakan senantiasa mendapat hambatan akibat pendekatan hukum positif yang sangat
kaku. Fakta sosial dan historis cenderung tidak digunakan dalam pelaksanaan perlin dungan SDA.
Kekuatan itu didukung oleh pengelolan hutan, Pemda, pemegang izin maupun aparat keamanan.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu open government-functionalism dan people control.
Ciri utama bentang hutan adalah high exclusion cost. Kriteria pilihan mekanisme pelaksanaan
perlindungan hutan tergantung pada konteksnya polisional (state control) di satu sisi, dan menguatkan
legitimasi masyarakat dengan people control di sisi lain.

Narasi-narasi di atas dilahirkan melalui jaringan pembuat kebi

jakan (policy coalition/network) yang mengembangkan paradigm-nya sendiri, sehingga menjadi sangat
berpengaruh Jaringan pembuat kebijakan tersebut terdiri dari kelompok individu atau lembaga. Mereka
membentuk suatu sistem kepercayaan, aturan main serta merabangun pola perilaku yang sama. Jaringan
seperti ini relatif terbuka dan fleksibel dalam menjalin hubungan.

Buka Masalah dan Proses Kebijakan

elesainya klaim dan konflik hak atas sumberdaya alam sebagai pelaksanaan perlindungan hukum positit
dan dapat penyeragaman penssikuti narannya cenderung tidak diikuti oleh dukungan legitimasi stata
sosial. Di sisi lain kapasitas penjagaan SDA dari berbagai bentuk kejahatan relatif cukup rendah,
dibandingkan dengan beban kerja yang harus dijalankan. Belum difahami dan diterapkannya prinsip
untuk efektivitas dan efisiensi perlin dungan, bahwa pelindung yang terbaik adalah pemanfaatan yang
berkepastian.

Akibatnya, hasil-hasil pelaksanaan perlindungan hutan cukup jauh dari kepuasan berbagai pihak yang
terkait. Ketergantungan pada kapasitas tenaga pelaksana perlindungan hutan tidak cukup menjawab
persoalan akibat lemahnya orientasi kebijakan pada peningkatan dukungan masyarakat.
Perubahan kelijakan senantiasa mendapat hambatan akibat pendekatan hukum positif yang sangat kaku.
Fakta sosial dan historis cenderung tidak digunakan dalam pelaksanaan perlin- dungan SDA. Kekuatan itu
didukung oleh pengelolan hutan, Pemda, pemegang izin maupun aparat keamanan.

Counter narrative untuk perubahan kebijakan yaitu open government-functionalism dan people control
Ciri utama bentang hutan adalah high exclusion cost. Kriteria pilihan mekanisme pelaksanaan
perlindungan hutan tergantung pada konteksnya: polisional (state control) di satu sisi, dan menguatkan
legitimasi masyarakat dengan people control di sisi lain.

Narasi-narasi di atas dilahirkan melalui jaringan pembuat kebi jakan (policy coalition/network) yang
mengembangkan paradigm-nya sendiri, sehingga menjadi sangat berpengaruh Jaringan pembuat
kebijakan tersebut terdiri dari kelompok individu atau lembaga Mereka membentuk suatu sistem
kepercayaan, aturan main serta membangun pola perilaku yang sama Jaringan seperti ini relatif terbuka
dan fleksibel dalam menjalin hubungan.

Proses Terjadinya Kebijakan | 215

Narasi perlu dikritisi karena dipercaya sebagai penghasil semacam "blue print", yaitu segenap solusi atas
masalah-marath yang telah dirumuskan pada waktu dan lingkup tertentu yang seringkali sudan tidak
sesuai lagi dengan keadaan yang terus berkembang. Narasi membantu kelompok kepentingan tertentu
seperti para ahli, tokoh tertentu, lembaga donor (epistemic community)-yang senantiasa
mempertahankan narasi-narasi yang ada, sehingga proses-proses pembuatan kebijakan dalam pem
bangunan "dimiliki" oleh kelompok kepentingan tersebut. Akibatnya, narasi mengurangi peran "orang-
orang setempat dan menyediakan pertimbangan perlunya peran ahli dan "orang-orang dari luar" dalam
suatu pembuatan kebijakan.

Berbeda dengan policy network, anggota epistemic community mempunyai hubungan yang relatif ketat
dan terdapat elit-elit yang mempunyai akses tertentu terhadap informasi dan pengetahuan. Kelompok
ini biasanya mempunyai pendapat yang sangat kuat terhadap kebijakan apa yang perlu diperbaiki dan
apa isi yang perlu diubah. Apabila pembuat kebijakan setuju dengan pandangannya, seringkali kelompok
ini diundang sebagai ahli dan ditempatkan dalam lingkungan kekuasaan, sehingga memperkuat posisinya
untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.

Narasi hampir senantiasa dapat meresap ke setiap pembentukan argumen-argumen dalam pembuatan
kebijakan karena melekat di dalam suatu institusi dan aktor-aktor tertentu. Narasi biasanya mempunyai
akar budaya dan sejarah yang kuat. Bahkan narasi melekat pada suatu teori tertentu yang diyakini oleh
kelompok profesi tertentu, terwariskan dalam metoda-metoda yang masih digunakan, terbawa oleh
pernyataan-pernyataan baru yang mene rangkan ide-ide yang telah diterima. Beberapa narasi terdapat
dalam akar sosial-budaya yang turut melestarikannya, juga dapat merupa kan alat kelompok ahli asing
pada saat jaman penjajahan dan kemu

216 | Etika, Macalah, dan Proses Kebijakan

dian setelah merdeka masih digunakan oleh kelompok tertentu untuk mempertahankan kedudukannya.

Dalam pendekatan sosiologi, biasanya dilakukan analisis kom posisi kelompok kepentingan di atas dan
tingkat integrasinya, untuk nengetahui aktor yang dominan dalam suatu wilayah kebijakan (policy area)
tertentu. Dalam kaitan ini, misalnya di Indonesia, kelom- pok kepentingan pertambangan didominasi
oleh pengusaha, kelom- pok kepentingan hutan dan lingkungan didominasi oleh lembaga swadaya
masyarakat, sedangkan kelompok kepentingan kesehatan masyarakat didominasi oleh kelompok profesi.
Tingkat integrasi di dalamnya dapat menyerupai korporasi, birokrasi, kolaborasi, atau pluralis.

Sebagai sesuatu yang dapat mengelompokkan ide-ide antar orang atau kelompok dan menentukan
bagaimana masalah kebijakan dirumuskan, maka narasi perlu diketahui dalam pembuatan kebija kan.
Grillo (1997) dalam Sutton (1999) mengklasifikasikan narasi- yang terus menerus berkembang menurut
waktu-menjadi tiga, yaitu:

1. Narasi/diskursus pesanan yang lahir dari pemerintah (state- engendered order) dalam pembangunan,
dengan menyertakan sejumlah ahli dalam hubungan-hubungan multilateral dan bilateral. Diskursus ini
berkembang sejak setelah perang dunia kedua;

2. Narasi/diskursus pesanan spontan yang lahir dari pasar (market- engendered order) dalam
pembangunan, dikembangkan sejak hun, 70an oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia;

Proses Terjadinya Kebijakan | 217

3. Narasi/diskursus pesanan dari publik (public sphere) yang dikembangkan oleh lembaga swadaya
masyarakat, lembaga penelitian maupun berbagai organisasi non profit.

Dalam antropologi, ilmu sosial dan politik, analisis narasi/ diskursus dalam pembuatan kebijakan sangat
penting dilakukan. Analisis ini mencoba untuk menguraikan, mendekonstruksi dan memahami kerangka
pikir yang digunakan dalam pembuatan suatu kebijakan, sehingga diketahui berbagai perspektif yang
diajukan, serta ditemukan alternatif pendekatan terbaik untuk memecahkan kembali masalah kebijakan.

Analisis tersebut berguna untuk mencari kesalahan-kesalahan cara berfikir dalam pembuatan suatu
kebijakan, menggunakan kem- bali alternatif kebijakan yang dulu dibuang, sehingga analisis tersebut
dapat mengkonstruksi kerangka pikir baru yang lebih sesuai (Apthorpe 1986). Dapat pula, analisis
tersebut ditujukan untuk mem- pelajari perkembangan narasi/diskursus itu sendiri, kemungkinan tidak
sejalan dengan struktur sosial, maupun menguraikan ide-ide siapa dihilangkan pada saat suatu kebijakan
dirumuskan (Escobar 1995 dalam Sutton 1999).

Penggunaan Bahasa

Analisis narasi/diskursus dapat dilaksanakan dengan secara khusus mempelajari bahasa yang digunakan,
pelaksanaan dialog, dan pembicaraan yang telah berlangsung. Analisis ini digunakan untuk mengetahui
"bahasa" dan tata cara yang digunakan dalam proses pembuatan kebijakan dan dari analisis tersebut
diketahui kepen- tingan siapa yang disertakan dan yang tidak disertakan dalam pem- buatan kebijakan
(Sutton, 1999).

Untuk mengidentifikasi kepentingan siapa dan dalam hal apa kepentingan itu diperjuangkan dalam
proses pembuatan kebijakan,

218 | Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan

Sutton (1999) menyampaikan beberapa tinjauan yang dapat dilaku- kan:

1. Penamaan kelompok. Dalam pembuatan kebijakan seringkali untuk mewujudkan keinginan pihak
tertentu dilakukan dengan cara menyampaikan istilah-istilah untuk penamaan kelompok Misalnya
berbagai bentuk target groups dinamakan sebagai "masyarakat miskin", "petani lapar lahan", "perambah
hutan" "kelompok miskin kota", dan lain sebagainya. Sebutan-sebutan tersebut dalam banyak hal dapat
menghilangkan makna atau karateristik kelompok. Identitas kelompok yang sesungguhnya dapat
terlucuti akibat penamaan tersebut. Hal-hal yang berkaitan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi
oleh kelompok keinginan kelompok, serta keragaman pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok tidak
tercakup akibat penamaan penamaan tersebut.
2. Pengkerangkaan (framing). Kerangka analisis selalu dibuat dengan tujuan untuk merumuskan masalah
kebijakan serta apa yang dicakup atau tidak dicakup dalam analisis kebijakan tersebut. Kerangka analisis
dapat berisi alasan, misalnya mengapa Y dapat dipengaruhi oleh X yang disertai dengan sejumlah asumsi.
Kerangka analisis biasanya dibatasi hanya berlaku pada situasi tertentu dan tidak tepat apabila
diterapkan pada situasi lainnya. Analisis narasi/diskursus pada dasarnya melakukan telaah kerangka
analisis vang digunakan dan dihubungkan dengan jawaban-jawaban yang dihasilkan untuk mengatasi
masalah.

3. Kepastian pernyataan mengenasi solusi. Pernyataan solusi yang tertuang dalam dokumen kebijakan
seringkali menggunakan bahasa yang pasti, nyata, tidak terbantahkan, tidak ada alternatif dan tidak ada
negosiasi untuk dapat menggunakan alternatif Proses Terjadinya Kebijakan |

219

lain. Pernyataan solusi seperti itu biasanya diperkuat oleh suatu narasi/diskursus yang secara sadar atau
tidak sadar dipertahan- kan kebenarannya oleh suatu kelompok masyarakat, kelompok profesi bahkan
suatu generasi.

Depolitisasi solusi masalah. Foucault yang pertama mengguna kan istilah political technology, yaitu cara
menghilangkan masalah politik dalam suatu diskursus melalui penggunaan bahasa ilmiah yang dianggap
netral. Kebijakan dipandang sebagai sesuatu yang objektif. netral, bebas nilai, yang dinyatakan dalam
pasal- pasal suatu peraturan-perundangan atau bahasa ilmiah dengan penekanan pada rasionalitas
isinya. Dengan cara ini, esensi politik dalam pembuatan kebijakan dihilangkan melalui pernya- taan
rasionalitas dan objektif. Memberikan topeng untuk menyelubungi aspek politik dengan netralitas
merupakan kunci cara modern saat ini oleh kelompok tertentu agar dapat menguasai kelompok lainnya
(Shore dan Wright 1997). Dampak simplifikasi dan depolitisasi dalam proses pembuatan kebijakan
adalah meningkatnya kesenjangan hubungan antara pembuat kebijakan dan pihak-pihak yang secara
langsung terpengaruh oleh dijalankannya kebijakan tersebut. Ini adalah suatu mekani me atau cara
membebaskan para pembuat kebijakan dari tanggungjawab akibat apa yang diputuskannya.

220 | Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan

Model Pembuatan Kebijakan

Adanya berbagai kelompok tersebut dapat mempengaruhi pro- ses pembuatan kebijakan, sehingga
proses pembuatan kebijakan dapat dikategorikan menjadi 4 macam (Sutton 1999), yaitu:
Model tahap demi tahap (incremental model). Dalam model ini kebijakan baru hanya mengubah hal-hal
kecil dari kondisi sebelumnya. Biasanya pembaruan kebijakan ditetapkan ber- dasarkan satu hal yang
dianggap paling penting, termasuk perubahan dasar acuan kebijakan itu, misalnya adanya perubahan
Undang-undang. Penetapan kebijakan seperti ini dianggap tidak optimal. Suatu penetapan kebijakan
dianggap optimal apabila disepakati oleh segenap pihak yang berkepen tingan dan bukan sekedar
dikatakan oleh pihak tertentu sebagai kebijakan paling baik untuk dapat menyelesaikan masalah.

Proses pembuatan kebijakan ini cenderung mengikuti tindakan serial. Apabila terdapat kesalahan
dikemudian hari akan kembali dilihat masalahnya dan kemudian diperbaiki dengan kebijakan baru. Hal
demikian ini didasari oleh alasan bahwa perubahan besar dimulai dari yang kecil. Alasan demikian ini
mempunyai kelemahan, karena proses perbaikan kebijakan berikutnya biasanya tidak didasarkan oleh
kebijakan sebelumnya atau sekedar mencampuraduk berbagai perbaikan kebijakan yang ada, tanpa
diketahui akibat yang satu terhadap lainnya."

Proses Terjadinya Kebijakan |

221

2 Kebijakan sebagai argumen. Dalam model ini adanya kebijakan baru merupakan argumen atas solusi
masalah tertentu Kebijakan dikembangkan melalui perdebatan antara pemerintah dengan pihak lainnya.
Pihak-pihak yang melakukan dialog pembuatan atau pembaruan kebijakan melakukan klaim dan
jastifikasi tertentu terhadap sesuatu yang ditanggapi oleh pihak lainnya secara kritis. Bahasa yang
digunakan sebagai per- wujudan diskursus, bukan hanya menyatakan realitas tetapi juga menampilkan
kerangka pikir terhadap isu-isu tertentu yang dibicarakan. Disamping menunjukkan komunikasi ide,
dalam praktiknya juga menampilkan posisi politik dan kenyataan- kenyataan sosial dari berbagai
pandangan dan ideologi yang ditampilkan.

3. Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Dalam hal ini pembaruan kebijakan memperhatikan perubahan
sosial yang berjalan seba- gai suatu proses trial and error, melalui pembuktian sejumlah hipotesis yang
diuji berdasarkan realitas. Hal demikian ini didasarkan pada pendekatan eksperimen untuk ilmu-ilmu
alam (natural sciences).

Kebijakan sebagai proses belajar secara interaktif (interactive learning). Pendekatan ini berakar dari kritik
kebijakan pembangunan top down dan bukan disusun berdasarkan pendekatan partisipatif dari bawah.
Kebijakan dibuat berdasarkan perspektif aktor secara terbatas pleh inividu-individu, lembaga atau
kelompok sosial yang mengen dalikan dan menjalankan sistem kepemerintahan. Pendekatan ar
pempromosikan interaksi antara para pembuat kebijakan dan para pihak yang langsung terkena dampak
berjalannya kebijakan en thekatan participatory rural appraisal (PRA) sebagai contoh pendekatan ini.

222 | Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan

3. Hubungan Internasional

Berbagai literatur hubungan internasional menunjukkan

adanya upaya untuk melakukan kerjasama antar kelompok kepenti ngan dalam pembuatan kebijakan di
tengah-tengah ketiadaan peng- organisasian kewenangan-kewenangan secara global. Konsep regim
internasional menyediakan sejumlah prinsip, norma, aturan dan prosedur bagaimana negara-negara di
dunia dapat melakukan kerja- sama. Analisis sifat-sifat kelompok kepentingan, alat yang diperguna kan,
bagaimana interaksi yang dilakukan dapat menghasilkan pengetahuan, bagaimana inisiatif kebijakan
diwujudkan dan di- rumuskan.

Prinsip yang dimaksud merupakan kepercayaan terhadap fakta- fakta, penyebab, dan suatu pernyataan
kejujuran. Norma berkaitan dengan standar perilaku yang dinyatakan dalam bentuk hak dan
tanggungjawab. Aturan merupakan sejumlah preskripsi untuk melakukan tindakan, sedangkan prosedur
dalam pembuatan keputusan merupakan acuan langkah-langkah operasional sebagai wujud tindakan
bersama (Krasner 1983 dalam Sutton 1999).

Berbagai bentuk regim internasional telah ada dan disepakati untuk dijalankan oleh berbagai negara.
Misalnya, regim perdagangan, lingkungan, penggunaan senjata nuklir, dlsb. Berbagai regim tersebut
telah mendirikan organisasi multilateral dan telah mengadakan pertemuan terus-menerus guna
inencapai kesepakatan dan tindakan bersama yang dikehendaki. Berbagai aliran pemikiran, seperti neo-
realism, institutionalism, dan pendekatan kognitif menjadi beberapa pendekatan dalam regim
internasional.

Proses Terjadinya Kebijakan | 223

Tiga Pendekatan
Pendekatan kepentingan (interest-based/neo-liberal) menekankan nyadari adanya kepentingan bersama.
Pendekatan ini berasumsi bahwa setiap negara cenderung menjalankan kebijakan sesuai dengan
kepentingan negaranya masing-masing.

Pendekatan kekuatan (power-based) mempunyai argumen bahwa dalam ketiadaan sentralisasi


kewenangan, hegemoni atau negara adi-kuasa, negara-negara perlu membentuk tindakan bersama.
Berbagai rezim dibuat oleh negara-negara yang lebih kuat yang membuat negara-negara lain mengikuti
rezim-regim tersebut.

Pendekatan pengetahuan (knowledge-based) menekankan penting- nya pengambil keputusan untuk


mempercayai norma dan sebab- akibat nyata sebagai dasar pengambilan keputusan. Pendekatan ini
percaya bahwa perubahan sistem kepercayaan dapat mengubah kebijakan dalam suatu negara.
Penganut pendekatan kognitif percaya bahwa distribusi pengetahuan sangat penting dan berpengaruh
terhadap persepsi para pengambil keputusan.

Komunitas Epistemik

Epistemic community mempunyai peran penting dalam membawa arus regim internasional. Mereka
dapat mempengaruhi empat hal yaitu inovasi kebijakan, difusi kebijakan, pemilihan kebijakan dan
Persistensi kebijakan (Hasenclever at al. 1997 dalam Sutton (1999). Penentu kebijakan di suatu negara
seringkali lebih memperhatikan pendapat epistemic community sebagai pihak yang menyuarakan
berbagai konsensus internasional.

Epistemic community juga mempengaruhi pembuatan kebijakan ragara-negara Timur Tengah dalam
upaya menanggulangi penceda ran laut. Ia menjelaskan bagaimana pendekatan kekuatan pe Pendekatan
institusi namenjen an peran mereka dalam pe ryusunan perencanaan negara-negara tersebut namun
gagal men224 | Etika, Masalah, dan Proses Kebijakan

jelaskan perkembangan kelanjutannya dan waktu ke waktu Memahami bagaimana epistemic community
mengontrol dan mengin troduksikan pengetahuan sebagai dasar pembuatan kebijakan dapat membantu
menjelaskan bagaimana perubahan kebijakan dalam suatu negara dari waktu ke waktu, isi regim yang
dijalankan, kekuatan dan efektifitasnya.

Politik Tingkat Tinggi (high politic)


Istilah ini digunakan untuk pengambilan keputusan penting yang hanya melibatkan kalangan tertentu.
Hal demikian ini penting diketahui untuk menelaat. lebih dalam bagaimana pelibatan pihak- pihak secara
terbatas dalam pembuatan suatu kebijakan. Proses pem- buatan kebijakan secara tertutup senantiasa
terjadi dan hal demikian itu perlu ditelaah tersendiri oleh pada analis kebijakan.

Memperluas Keseimbangan Kepentingan

Dengan berbagai perkembangan dalam hubungan internasional, berbagai cara diupayakan untuk
memperluas arena komunikasi antar pihak dengan memanfaatkan informasi yang secara global tersedia.
Dalam kaitan hal tersebut, peran aktor-aktor di luar pemerintah seperti lembaga internasional, lembaga
swadaya masyarakat, kelompok-kelompok peneliti, asosiasi swasta memegang peran sangat penting.
Berbagai organisasi di luar pemerintah tersebut telah berjalan untuk mencapai tujuan-tujuan politik
apakah secara langsung mendukung pemerintah atau mengambil sikap sebagai oposisi Kelompok di luar
pemerintah tersebut dalam banyak hal menjadi tidak sejalan dengan pemerintah, hal demikian ini turut
memperluas

arena bagaimana kebijakan dipengaruhi dan dirumuskan. Perkembangan tersebut telah mengurangi
peran hubungan

bilateral antar pemerintahan, sebaliknya meningkatkan manajemen dalam hubungan kelompok-


kelompok kepentingan oleh pemerintah untuk mendapat akses dan sumberdaya dari kelompok
kelompok di luar pemerintah. Demikian pula telah tumbuh hubungan baru

Anda mungkin juga menyukai