1. PEMBAHASAN
1) Model Kelompok
Model teori elit berkembang dari teori politik elit-massa yang melandaskan diri
pada asumsi bahwa didalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok yaitu
pemegang kekuasaan atau elit dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini
mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apapun selalu ada bias didalam
formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan
merupakan preferensi politik dari para elit.
Ada dua penilaian didalam pendekatan ini negative dan positif. Pada pandangan
negative dikemukakan bahwa pada akhirnya didalam sistem politik pemegang kekuasaan
politiklah yang menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya.
Dalam konteks ini rakyat dianggap sebagai kelompok yang dimanipulasi sedemikian rupa
agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun bukan
bermakna partisipasi melainkan mobilisasi.
Pada gambar di atas tampak bahwa elit secara top down membuat kebijakan
publik untuk di implementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau
massa. Pendekatan ini dapat dikaitkan dengan paradigm pemisahan antara politik dengan
administrasi publik yang di ikonkan dalam konstanta where politics end administrations
begin. Jadi model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana
kebijakan publik merupakan perspeksi elit politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap
elit politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat
konservatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti selalu
mementingkan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah kelemahan-kelemahan dari model
elit.
4) Model Sistem
Pendekatan ini pertama kali oleh David Easton yang melakukan analogi dengan sistem
biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara makluk hidup dengan
lingkungannya yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relative stabil.
Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Dalam
pendekatan ini dikenal tiga komponen yaitu : input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari
pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah
dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah.
Jadi formulasi kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan
merupakan hasil atau output dari sistem ( politik ). Seperti dipelajari dalam ilmu politik maka
sistem politik terdiri dari input, throughtput dan output seperti yang digambarkan diatas.
Dari gambar diatas dapat dipahami bahwa prose formulasi kebijakan publik berada didalam
sistem politik dengan mengandalkan kepada masukan (input) yang terdiri dari dua hal yakni
tuntutan dan dukungan. Model ini merupakan model yang paling sederhana namun cukup
komprehensif meski tidak memadai lagi untuk digunakan sebagai landasan pengambilan
keputusan atau formulasi kebijakan publik.
5) Model Proses
Didalam model ini para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan
sebuah aktifitas sehingga mempunyai proses. Untuk itu kebijakan publik merupakan juga
proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan berikut :
6) Model Rasional
Model ini mengatakan bahwa prose formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada
keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah
perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain model ini
lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi
kebijakan disusun dalam urutan :
Apabila dirunut kebijakan ini merupakan model ideal dalam formulasi kebijakan
dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektifitas kebijakan. Studi-studi kebijakan
biasanya memberikan fokus pada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan. Namun
demikian idealisme dari model rasional ini perlu diperkuat dan ditingkatkan, karena
disepanjang sejarah kenegaraan selalu ada negarawan-negarawan dan birokrat-birokrat
professional yang mengabdikan diri secara tulus kepada kemajuan bangsanya dari pada
sekedar. mencari keuntungan pribadi. Oleh karena itu model rasional ini perlu menjadi
kajian didalam proses formulasi kebijakan
7) Model Inkrementalis
Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan
dari kebijakan dimasa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model pragmatis atau
praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan
keterbatasan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan
evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu pengambil kebijakan dihadapkan
kepada ketidakpastian yang muncul disekitarnya. Pilihannya adalah melanjutkan
kebijakan dimasa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya, pilihan ini biasanya
dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistic yang
membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh
warga.
Gagasan pokok dari kebijakan dalam model ini adalah formulasi kebijakan berada
didalam situasi kompetisi yang intensif, para aktor berada dalam situasi pilihan yang
tidak independen ke dependen melakukan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau
independen. Sama seperti sebuah permainan catur setiap langkah akan bertemu dengan
kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas.
Model teori permainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif didalam
formulasi kebijakan. Sesungguhnya model ini mendasarkan kepada formulasi kebijakan
yang rasional namun didalam kondisi kompetitif dimana tingkat keberhasilan kebijakan
tidak lagi ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan namun dari pembuat kebijakan.
Konsep kunci dari teori permainan dalah strategi dimana konsep kuncinya
bukanlah yang paling optimum namun yang paling aman dari serangan lawan. Jadi
dasarnya konsep ini mempunyai tingkat konservatifitas yang tinggi karena pada intinya
adalah strategi defensif. Pendekatan teori ini juga dapat pula dikembangkan sebagai
strategi ofensif terlebih apabila yang bersangkutan berada dalam posisi superior atau
mempunyai dukungan sumber daya yang memadai. Inti dari teori permainan ini yang
terpenting adalah bahwa ia mengakomodasikan kenyataan yang paling riil bahwa setiap
negara, setiap pemerintahan, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum. Ketika kita
mengambil keputusan maka lingkungan tidak pasif melainkan membuat keputusan yang
bisa menurunkan keefektifan keputusan kita. Disini teori permainan memberikan
kontribusi yang paling optimal.
Pada intinya kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan
pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries atau customer dalam konsep
bisnis). Proses formulasi kebijakan publik denan demikian melibatkan publik melalui
kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum ini adalah konsep formulasi kebijakan
publik yang paling demokratis karena mmberi ruang yang bebas kepada publik untuk
mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan.
Sebuah pemikiran yang dilandasi gagasan John Locke bahwa pemerintah adalah sebuah
lembaga yang muncul dari kontrak sosial di antara individu-individu warga masyarakat.
Model ini membantu untuk menjelaskan kenapa para pemenang pemilu acapkali
gagal memberikan yang terbaik kepada masyarakat karena mereka lebih berkepentingan
kepada publiknya yaitu para pemberi suara atau pendukungnya. Model ini juga
membantu kita memahami kenapa kebijakan-kebijakan publik tempatnya selalu di
tengah-tengah dari kebijakannya yang liberal maupun yang konservatif seperti tampak
pada gambar diatas.
Model kebijakan publik meski ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak sosial
namun memiliki kelemahan pokok didalam realitas interaksi itu sendiri, karena interaksi
akan terbatas pada publik yang mempunyai akses dan disisi lain terdapat kecendurungan
dari pemerintah untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas. Tidak jarang
kita melihat kebijakan publik yang tampak adil namun apabila dikaji ia hanya
menguntungkan sejumlah kecil warga atau kelompok saja.
Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional dan model
inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi Amitai Etzioni pada tahun
1967. Ia memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi
keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi
kebijakan pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-
proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok, dan menjalankannya setelah
keputusan itu tercapai. Model ini ibaratnya pendekatan dengan dua kamera. Kamera
dengan wide angle untuk melihat keseluruhan dan kamera dengan zoom untuk melihat
detailnya.
Pada dasarnya model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah.
Etzioni pun hanya memperkenalkan dalam sebuah papernya dalam Publik Administration
Review desember 1967 dengan judul “Mixed Scanning : A Third Approach to Decision
Making”. Namun harus diakui di Indonesia model ini disukai karena merupakan “model
kompromi” meski tidak efektif. Mengkompromikan Rasional dan Inkremental dapat
dilihat ketika Soekarno menggabungkan antara “Agama” dengan “Komunisme” pada
doktrinya yang disebut dengan Nasakom.
Model ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai salah satu derivat manajemen dari
model rasional karena mengandaikan bahwa proses perumusan kebijakan adalah proses
rasional dengan pembedaan bahwa model ini lebih fokus kepada rincian-rincian langkah
manajemen strategis.
Jadi menurut saya, UU pelayanan public dibuat berdasarkan model System yang
dikemukakan pada awalnya oleh David Easton. Artinya UU ini dibuat berdasarkan
tuntutan dan dukungan dari masyarakat yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih
baik. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik.
Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen yaitu : input, proses dan output. Salah satu
kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak
pernah dilakukan pemerintah.
A. Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan menurut Thomas R.Dye (1995) merupakan usaha pemerintah
melakukan inervensi terhadap kehidupan publik sebagai solusi terhadap setiap
permasalahan di masyarakat. Intervensi yang dilakukan dapat memaksa publik, karena
pemerintah diberi kewenangan otoritatif.
Peran sang analis kebijakan diharapkan dapat memastikan bahwa kebijakan yang
akan dirumuskan, dan diimplementasikan benar-benar didasarkan pada asas manfaat dan
optimalisasi outcome-nya, dan pada akhirnya akan diterima oleh publik. Oleh karena itu,
menurut Patton & Sawicky seorang analis kebijakan perlu memiliki skills dan kecakapan
teknis, sebagai berikut: