Anda di halaman 1dari 115

Thomas R.

Dye

Pendahuluan
Studi kebijakan publik berusaha untuk meninjau berbagi teori dan proses yang terjadi
dalam kebijakan publik. Dapat dikatakan bahwa kebijakan publik tidak lepas dari proses
pembentukan kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, salah satu tujuan studi kebijakan
publik adalah untuk menganalisis bagaimana tahapan demi tahapan proses pembentukan
kebijakan publik tersebut sehingga terwujudlah suatu kebijakan publik tertentu.
Tahapan demi tahapan tersebut terangkum sebagai suatu proses siklus pembuatan
kebijakan publik. Setiap tahapan dalam proses pembentukan kebijakan publik mengandung
berbagai langkah dan metode yang lebih rinci lagi. Tahapan yang terdapat dalam pembuatan
suatu kebijakan publik memiliki berbagai manfaat serta konsekuensi dari adanya proses
tersebut, khususnya bagi para aktor pembuat kebijakan publik.
Makalah ini mencoba menguraikan berbagi tahapan yang terjadi dalam proses siklus
perumusan kebijakan publik. Tujuannya adalah untuk memahami berbagai tahapan
pembuatan kebijakan publik sehingga mempermudah untuk menganalisis masalah-masalah
yang kompleks sehingga dapat dirumuskan ke dalam suatu kebijakan publik tertentu.

Kebijakan Publik sebagai Sebuah Proses Siklis


Pengertian kebijakan public
David Easton;
“Public policy is the authoritative allocation of values for the whole society”.
Kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara sah/paksa kepada seluruh
masyarakat. Adapun kebijakan publik sebagaimana yang dirumuskan oleh Easton (dalam
Thoha 2002: 62-63) merupakan alokasi nilai yang otoritatif oleh seluruh masyarakat. Akan
tetapi, hanya pemerintah sajalah yang berbuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan
semuanya yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah
hasil-hasil dari nilai-nilai tersebut.

Carl J. Friedrick;
“Public policy is a proposed course of action of a person, group, or government within a
given environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to
utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or purpose”.
Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan- hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.

Thomas R. Dye
“Public policy is whatever governments choose to do or not to do”. Kebijakan publik adalah
apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan. Dalam
pengertian ini, pusat perhatian dari kebijakan publik tidak hanya dilakukan oleh pemerintah,
melainkan termasuk apa saja yang tidak dilakukan oleh Pemerintah. Apa saja yang tidak
dilakukan oleh pemerintah itulah yang memberikan dampak cukup besar terhadap masyarakat
seperti halnya dengan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.

James E. Anderson;
“Public policies are those policies developed by governmental bodies and officials”.
Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini cenderung mengacu pada persoalaan teknis dan
administrative saja.
Anderson mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai
tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan Anderson ada elemen-elemen penting
yang terkandung dalam kebijakan publik antara lain mencakup:
1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu.
2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa
yang bermaksud akan dilakukan.
4. Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu
masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu).
5. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang
bersifat memaksa (otoritatif).
Berdasarkan pengertian dan elemen yang terkandung dalam kebijakan tersebut, maka
kebijakan publik dibuat adalah dalam kerangka untuk memecahkan masalah dan untuk
mencapai tujuan serta sasaran tertentu yang diinginkan.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan juga bahwa kebijakan publik adalah:
 Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan
pemerintah.
 Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu
mempunyai tujuan tertentu.
 Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran
strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai
keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik,
yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu
proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik
akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah.
Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang
merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau
meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang
mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan
retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan
berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.

Pengertian system
Para pakar yang disebutkan di atas pada dasarnya melihat proses pembentukan
kebijakan dalam perspektif sistem. Sistem merujuk pada sejumlah karakteristik yang sama
(common characteristics). Merujuk pada teori sistem, karakteristik yang sama itu adalah
sebagai berikut:

1. Sistem memiliki struktur


2. Sistem merupakan jeneralisasi dari realitas
3. Sistem cenderung berfungsi dengan cara yang sama . Sistem bekerja dengan
melibatkan masukan dan keluaran dengan mana berlangsung suatu proses aktifitas
dari sistem, yang kemudian menghasilkan perubahan-perubahan
4. Ragam bagian dari suatu sistem memiliki fungsi-fungsi tertentu, dan demikian pula
halnya dengan adanya hubungan-hubungan struktural, yang juga terbentuk dalam
hubungan fungsional tertentu
5. Karena adanya hubungan fungsional antar bagian-bagian dari sistem, maka
berlangsunglah aliran atau transfer atas substansi tertentu
6. Sistem juga mempertukarkan enerji atau substansi tertentu dengan sistem yang lebih
besar
7. Adanya hubungan fungsional adalah karena adanya kekuatan pengendali
8. Bagian-bagian akan mengarah pada taraf integrasi, dalam arti bagian-bagian bekerja
dalam situasi kebersamaan
Dalam pada itu, suatu sistem berada pada suatu situasi berikat (boundary). Situasi itu
ditandai dengan adanya suatu kesatuan sistem. Pada setiap sistem selalu terdapat tiga
properti (property) , yaitu:
 Elemen (elemen) yang menjadi penopang adanya sistem itu
 Atribut (attributes), yakni karateristik dari elemen sistem yang dapat diamati dan diukur. Di
dalam contoh suatu sistem politik atau sistem pemerintahan maka dapat teridentifikasi hal-hal
seperti adanya sejumlah penduduk, sejumlah entitas pemerintahan daerah, luas wilayah yang
menjadi batasan dari satu sistem pemerintahan dan lain-lain;
 Hubungan (relationships) yakni hubungan-hubungan yang timbul di antara elemen pada
suatu sistem. Hubungan-hubungan ini didasarkan pada adanya sebab dan akibat.

Pengertian siklus
Siklus merupakan kegiatan atas system yang berjalan dengan tahapan tahapannya
sehingga berulang kembali dan menghasilkan sesuatu. Dalam kebijakan public, selain
melihatnya memalui metode system dengan input, konversi, output dan feedback, kita juga
dapat melihat kebijakan public sebagai siklus atau tahapan tahapan yang pasti dan berulang
kembali.
Siklus kebijakan
Ada banyak keuntungan yang dapat diambil dari adanya siklus kebijakan ini yaitu.
 Siklus kebijakan menegaskan bahwa pemerintah itu merupakan proses yang melibatkan
banyak institusi dan bukan sekedar institusi yang berdiri independen tampa korelasi dengan
pihak lain (Bridgmen & Davis 2000,hlm 24.)
 Siklus untuk kebijakan merupakan suatu model yang dapat digunakan untuk membantu
mempermudah kompleksitas kebijakan publik .Dengan modal ini akan semakin
memungkinkan para pengambil kebijakan dan masyarakat banyak memberikan focus pada
tahapan-tahapan yang dipandang perlu disamping mengatur berbagai aspek yang diperlukan
dalam setiap tahapan siklus tersebut.
 Siklus kebijakan memberikan kesempatan yang bagus untuk secara sistimatis dan analitis
melakukan kajian-kajian kebijakan publik yang relevan dengan area yang akan dibahas
sehingga memberikan banyak kesempatan untuk belajar dari berbagai pengalaman kebijakan
yang sudah ada selama ini termasuk plus minusnya.
 Siklus kebijakan membantu membuat kebijakan dan masyarakat banyak dalam menentukan
langkah-langkah strategis-strategis berkaitan dengan apa yang ingin dilakukan dalam sebuah
kebijakan publik .
 Siklus kebijakan juga akan memberikan gambaran yang komprehensif dan juga berbagai
implikasi yang perlu dimengerti oleh para pihak yang berkepantingan dengan kebijakan
publik .
 Siklus kebijakan juga dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai efektifitas dan
efesiensi sebuah kebijakan dilihat berdasarkan masing-masing tahapan itu. Siklus kebijakan
penting untuk dipahami dan dimengerti dengan baik semakinbaik pemahaman terhadap siklus
kebijakan maka akan semakin lengkaplah kerangka piker seseorang terhadap sebuah
kebijakan publik .Siklus kebijakan meliputi identifikasi isu, analisis kebijakan, instrumen,
kebijakan,konsultasi, koordinasi, keputusan, implementasi, evaluasi, dan umpan balik.

Tahapan-Tahapan dalam Pembentukan Kebijakan Publik


 Problem Identification (Identifikasi Masalah)
A. Tahap Identifikasi :
1. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan:
 Tahap pertama dalam perumusan kebijakan sosial adalah mengumpul-kan data mengenai
permasalahan sosial yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs).
2. Analisis Masalah dan Kebutuhan:
 Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan
kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan
yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa
kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan
dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang terkena masalah?
3. Penginformasian Rencana Kebijakan:
 Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian
disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan
sosial untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada
lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
4. Perumusan Tujuan Kebijakan:
 Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan
pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian
dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
5. Pemilihan Model Kebijakan:
 Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan
strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model
ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan sosial
yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Penentuan Indikator Sosial:
 Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka
perlu dirumuskan indikator-indikator sosial yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau
standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
7. Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik:
 Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah
disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan,
melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar
tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan sosial yang akan diterapkan.
Biasanya suatu masalah sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan, masalah tersebut
menjadi isu terlebih dahulu. Isu, dalam hal isu kebijakan, tidak hanya mengandung
ketidaksepakatan mengenai arah tindakan aktual dan potensial, tetapi juga mencerminkan
pertentangan pandangan mengenai sifat masalah itu sendiri. Dengan demikian, isu kebijakan
merupakan hasil dari perdebatan definisi, eksplanasi dan evaluasi masalah.
Isu ini akan menjadi embrio awal bagi munculnya masalah-masalah publik dan bila
masalah tersebut mendapat perhatian yang memadai, maka ia akan masuk ke dalam agenda
kebijakan. Namun demikia, karena pada dasarnya masalah-masalah kebijakan mencakup
dimensi yang luas maka suatu isu tidak akan secara otomatis bisa masuk ke agenda
kebijakan. Isu-isu yang beredar akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan perhatian
dari para elit politik sehingga isu yang mereka perjuangkan dapat masuk ke agenda
kebijakan.

 Agenda Setting
Agenda kebijakan adalah tuntutan-tuntutan agar para pembuat kebijakan memilih atau
merasa terdorong untuk melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian, maka agenda
kebijakan dapat dibedakan dari tuntutan-tuntutan politik secara umum serta dengan istila
“prioritas” yang biasanya dimaksudkan untuk merujuk pada susunan pokok-pokok agenda
dengan pertimbangan bahwa suatu agenda lebih penting dibandingkan dengan agenda lain.
Barbara Nelson menyatakan bahwa proses agenda kebijakan berlangsung ketika pejabat
publik belajar mengenai masalah-masalah baru, memutuskan untuk memberi perhatian secara
personal dan memobilisasi organisasi yang mereka miliki untuk merespon masalah tersebut.
Dengan demikian, agenda kebijakan pada dasarnya merupakan pertarungan wacana yang
terjadi dalam lembaga pemerintah.
Tidak semua masalah atau isu akan masuk ke dalam agenda kebijaka. Isu-isu atau
masalah-masalah tersebut harus berkompetisi antara satu dengan yang lain dan akhirnya
hanya masalah-masalah tertentu saja yang akan menang dan masuk ke dalam agenda
kebijakan.

Lester dan Stewart menyatakan bahwa suatu isu akan mendapat perhatian bilA memenuhi
beberapa kriteria, yakni:
a. Bila suatu isu telah melampaui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama didiamkan.
Misalnya, kebakaran hutan.
b. Suatu isu akan mendapat perhatian bial isu tersebut memiliki sifat partikularitas, dimana isu
tersebut menunjukkan dan mendramatisir isu yang lebih besar. Misalnya, isu mengenai
kebocoran lapisan ozon dan pemanasan global.
c. Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena faktor human
interest.
d. Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi, dan masyarakat.
e. Isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang.
Menurut Peter Bachrach dan Morton Barazt ada beberapa cara yang digunakan oleh para
pembuat kebijakan untuk menghalangi suatu masalah masuk ke dalam agenda kenijakan,
yaitu:
a. Menggunakan kekerasan.
b. Menggunakan nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang berlaku, yaitu dengan
menggunakan budaya politik.
Kepemimpinan politik merupakan faktor penting dalam penyusunan agenda kebijaakn.
Para pemimpin politik, apakah dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan keuntungan
politik, kepentingan publik, maupun kedua-duanya, mungkin menanggapi masalah-masalah
tertentu, menyebarluaskannya dan mengusulkan penyelesaian terhadap masalah-masalah
tersebut. Dalam kaitan ini, eksekutif yaitu Presiden dan legislatif yaitu DPR mempunyai
peran utama dalam politik dan pemerintahan untuk menyusun agenda publik.

Jenis-jenis Agenda Kebijakan


Roger W. Cobb dan Charles D. Elder mengidentifikasi dua macam agenda pokok, yaitu:
a. Agenda sistemik
Terdiri dari semua isu yang menurut pandangan anggota-anggota masyarakat politik pantas
mendapat perhatian publik dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam yurisdiksi
wewenang pemerintah yang sevara sah ada. Agenda ini terdapat dalam setiap sistem politik di
tingkat nasionan dan di daerah. Agenda sistemik pada dasarnya merupakan agenda
pembahasan. Tindakan mengenai suatu masalah hanya akan ada apabila masalah tersebut di
ajukan kepada lembaga pemerintah dengan suatu kewenangan untuk mengambil tindakan
yang pantas.
b. Agenda lembaga atau pemerintah
Terdiri dari masalah-masalah yang mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pejabat
pemerintah. Karena terdapat bermacam-macam pokok agenda yang membutuhkan
keputusan-keputusan kebijakan maka terdapat pula banyak agenda lembaga. Agenda lembaga
merupakan agenda tindakan yang memiliki sifat lebih khusus dan lebih konkret bila
dibandingkan dengan agenda sistemik.
Pokok-pokok agenda lembaga dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
 Pokok-pokok agenda lama
Pokok-pokok agenda lama cenderung tidak mendapatkan proriyas dari para pembuat
kebijakan. Alokasi waktu yang diberikan terbatas, serta agendanya selalu sarat dengan
masalah. Hal ini terjadi karena masalah-masalah telah tercantum lama dalam agenda sehingga
para pembuat keputusan cenderung beranggapan bahwa masalah-masalah lama tersebut telah
mendapat perhatian yang cukup besar dan para pejabat lebih mempunyai pemahaman
terhadap masalah tersebut.
 Pokok-pokok agenda baru
Pokok-pokok agenda baru tercantum secara teratur dalamk agenda. Misalnya, kenaikan gaji
pegawai dan alokasi anggaran belanja. Agenda ini biasanya ikenal oleh para pejabat dan
alternatif-alternatif untuk menanggulanginya telah terpola sedemikian rupa. Pokok-pokok
agenda baru timbul dari keadaan-keadaan tertentu. Misalnya, pemogokan buruh kereta api
atau krisi kebijakan luar negeri.

 Policy Formulation (Formulasi Kebijakan)


Pengertian:
1. The stage of the policy process where pertinent and acceptable courses of action for
dealing with some particular public problem are identified and enacted into a law (Lester
and Stewart,2000).
2. Formulation is a derivative of formula and means simply to develop a plan, a method, a
prescription, in this chase for alleviating some need, for acting on a problem (Jones, 1984).
1. Tahap proses kebijakan di mana program yang bersangkutan dan diterima tindakan untuk
menangani beberapa masalah publik tertentu diidentifikasi dan disahkan menjadi hukum
(Lester dan Stewart, 2000).
2. Formulasi adalah turunan dari rumus dan cara hanya untuk mengembangkan rencana,
metode, resep, dalam mengejar untuk mengurangi membutuhkan beberapa, untuk bertindak
pada masalah (Jones, 1984).

Konsekuensi dari formulasi kebijakan public


Formulasi kebijakan mengisyaratkan diperlukannya tindakan yang lebih teknis
dengan cara menerapkan metode penelitian guna mengumpulkan informasi yang diperlukan
untuk merumuskan permasalahan kebijakan dan mencari berbagai alternatif solusi kebijakan.
Asumsi-asumsi Tentang Formulasi
• Sering tidak diawali dengan rumusan permasalahan yang jelas
• Tidak dimonopoli oleh suatu institusi pemerintah
• Formulasi dan reformulasi dapat terjadi secara terus menerus dalam jangka panjang
• Karena bersifat kompetisi antar aktor maka formulasi menimbulkan situasi ada yang kalah
dan menang
• Tidak terbatas hanya dilakukan oleh satu actor

Metode Formulasi
• Rasional
• Inkremental/tambal sulam (berdasarkan kebijakan/keputusan yang sudah ada kemudian
diperbaiki/disempurnakan untuk memecahkan masalah yang baru tersebut).
• Model system

Langkah-langkah dalam model rasional


• Pengambil kebijakan dihadapkan pada suatu masalah
• Tujuan dan nilai2 yang ingin dicapai dapat dirangking
• Alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah dirumuskan
• Analisa biaya dan manfaat dilakukan untuk masing-masing alternatif
• Membandingkan masing-masing alternatif
• Memilih alternatif yang terbaik

Model incremental

Model system

 Policy Legitimation
Proses legitimasi kebijakan public dilakukan setelah dilakukan formulasi kebijakan.
Legitimasi adalah proses pengesahan suatu keputusan menjadi sebuah undang-undang dan
hukum tertulis lainnya.

Bentuk-bentuk legitimasi kebijakan public


• UNDANG-UNDANG
Undang-undang merupakan peraturan tinggi setelah undang-undang dasar yang diangkat
sebagai konstitusi negara Indonesia. Undang-undang mengatur urusan-urusan yang bersifat
spesifik. Misalnya masalah pertanian, lalu lintas, pemasaran, dan lain sebagainya.
• PERPU ( peraturan pemerintah pengganti Undang-undang)
Perpu baru bisa diputusan oleh presiden disaat yang genting. Misalnya dalam hal
penanganan masalah bencana alam ataupun perang. Sebab harus dibahas DPR pada
kesempatan pertama untuk dijadikan UU. Dalam konteks ini, DPR cuma punya dua pilihan:
menolak atau menyetujui.
• PP
Peraturan pemerintah diterbitkan untuk memeberikan penjelasan terhadap undang-
uandang agar tidak terjadi salah tafsir bagi masing-masaing penafsir kebijakan.
• PERATURAN PRESIDEN
Peraturan presiden merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh presiden untuk
menajalankan implementasi kebijakan kepada pemerintahan.
• PERATURAN DAERAH
Peraturan Daerah adalah Naskah Dinas yang berbentuk peraturan perundang-undangan,
yang mengatur urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan atau untuk mewujudkan
kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan
menetapkan sesuatu organisasi dalam lingkungan Pemerintah daerah yang ditetapkan oleh
Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

 Policy Implementation (Implementasi Kebijakan)


Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan dalam suatu keputusan. Tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-
keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-
perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi
pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program
dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggung
jawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan
politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan
keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:
1. tahapan pengesahan peraturan perundangan;
2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana;
3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak;
5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.
Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
1. penyiapan sumber daya, unit dan metode;
2. penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan;
3. penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.
Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari
pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi. Berikut ini merupakan tahapan-tahapan
operasional implementasi sebuah kebijakan:
1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang
bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat
manajerial dan operasional. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan
perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun
undang-undang. Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif
yang bisa berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan
operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri
ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses
penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis, namun juga berupa proses
komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut, baik yang berbentuk abstrak maupun
operasional kepada para pemangku kepentingan.
2. Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana
kebijakan (policy implementor) yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen
masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur
tetap kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan
sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi
masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar
pelayanan minimal (SPM). Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya
dan sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah
(APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan
penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan
penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan. Langkah
selanjutnya – penetapan manajemen pelaksana kebijakan – diwujudkan dalam penentuan pola
kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana
kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera disusun untuk
memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat penentu efisiensi implementasi
sebuah kebijakan.
3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-masing tahapan
yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, para ahli mengidentifikasi berbagai
faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Dari kumpulan
faktor tersebut bisa kita tarik benang merah faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Isi atau content kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik dari sisi content setidaknya
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: jelas, tidak distorsif, didukung oleh dasar teori yang
teruji, mudah dikomunikasikan ke kelompok target, didukung oleh sumberdaya baik manusia
maupun finansial yang baik.
2. Implementator dan kelompok target. Pelaksanaan implementasi kebijakan tergantung pada
badan pelaksana kebijakan (implementator) dan kelompok target (target groups).
Implementator harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk
melaksanakan sebuah kebijakan sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan (policy
makers), selain itu, kelompok target yang terdidik dan relatif homogen akan lebih mudah
menerima sebuah kebijakan daripada kelompok yang tertutup, tradisional dan heterogen.
Lebih lanjut, kelompok target yang merupakan bagian besar dari populasi juga akan lebih
mempersulit keberhasilan implementasi kebijakan.
3. Lingkungan. Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun kultur populasi
tempat sebuah kebijakan diimplementasikan juga akan mempengaruhi keberhasilan kebijakan
publik. Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil dan
demokratis, dukungan baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya keseharian
masyarakat yang mendukung akan mempermudah implementasi sebuah kebijakan

Model-model Implementasi Kebijakan Publik


 Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul.
Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti
yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke
tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”. Masih menurut
Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan
orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah
sistem. Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa
implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar.
 Implementasi Kebijakan Bottom Up
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap
model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-
benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan
pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah
negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan
bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan
dalam penerapan kebijakan. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi
kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam
Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model
Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti
perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk
mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variable, yaitu :
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan
untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi
pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok
ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-
pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam
implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.

 Policy Evaluation (Evaluasi Kebijakan)


Konsep Evaluasi Kebijakan Publik
Dalam Studi Analisis Kebijakan Publik, maka salah satu cabang bidang kajiannya
adalah Evaluasi Kebijakan. Mengapa Evaluasi Kebijakan dilakukan? karena pada dasarnya
setiap kebijakan negara ( public policy ) mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. (
Abdul Wahab, 1990 : 47-48 ), mengutip pendapat Hogwood dan Gunn ( 1986 ), selanjutnya
menjelaskan bahwa penyebab dari kegagalan suatu kebijakan ( policy failure ) dapat dibagi
menjadi 2 katagori, yaitu : (1) karena “non implementation” ( tidak terimplementasi ), dan (2)
karena “unsuccessful” ( implementasi yang tidak berhasil ).Tidak terimplementasikannya
suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan di
rencanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu
kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi
eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan tersebut tidak dapat berhasil
dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki. Biasanya kebijakan
yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya : pelaksanaannya
jelak ( bad execution ), kebijakannya sendiri itu memang jelek ( bad policy ) atau kebijakan
itu sendiri yang bernasib kurang baik ( bad luck ). Adapun telaah mengenai dampak atau
evaluasi kebijakan adalah, dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat dari suatu kebijakan
atau dengan kata lain untuk mencari jawaban apa yang terjadi sebagai akibat dari pada
“implementasi kebijakan” ( Abdul Wahab, 1997 : 62 ).
 Menurut ( Santoso, 1988; 8 ), sementara itu ( Lineberry 1977; 104 ), analisis dampak
kebijakan dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu kebijakan dan
membahas “hubungan antara cara -cara yang digunakan dan hasil yang hendak akan dicapai”.
 Sinyal tersebut lebih diperjelas oleh ( Cook dan Scioli 1975 : 95 ), dari salah satu buku yang
ditulis oleh ( Dolbeare, 1975 : 95 ) dijelaskan bahwa : “policy impact analysis entails an
extension of this research area while, at the same time, shifting attention toward the
measurment of the consequences of public policy. In other words, as opposed to the study of
what policy causes”. Dengan demikian, secara singkat analisis dampak kebijakan “menggaris
bawahi” pada masalah what policy causes sebagai lawan dari kajian what causes policy.
Konsep evaluasi dampak yang mempunyai arti sama dengan konsep kebijakan yang telah
disebutkan diatas, yaitu : Seperti pada apa yang pernah didefinisikan oleh ( Dye, 1981 : 366 –
367 ) : “Policy vealuation is learning about the consequences of public policy”. Adapun
definisi yang lebih kompleks adalah sebagai berikut :
 “Policy evaluation is the assesment of the overall effectiveness of a national program in
meeting its objectives, or assesment of the relative effectiveness of two or more programs in
meeting common objectives” ( Wholey, 1970, dalam Dye, 1981 ).
 Evaluasi Kebijakan adalah merupakan suatu aktivitas untuk melakukan penilaian terhadap
akibat-akibat atau dampak kebijakan dari berbagai programprogram pemerintah. Pada studi
evaluasi kebijakan telah dibedakan antara “policy impact / outcome dan policy output.
“Policy Impact / outcome ” adalah akibat-akibat dan konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan dengan dilaksanakannya suatu kebijakan. Adapun yang dimaksud dengan
“Policy output” ialah dari apa yang telah dihasilkan dengan adanya program proses
perumusan kebijakan pemerintah ( Islamy, 1986 : 114-115). Dari pengertian tersebut maka
dampak mengacu pada adanya perubahan-perubahan terjadi yang di akibatkan oleh suatu
implementasi kebijakan. Dampak kebijakan disini tidak lain adalah seluruh dari dampak pada
kondisi “dunia -nyata” ( the impact of a policy is all its effect on real – world conditions ),
untuk itu masih menurut ( Dye, 1981: 367 ) yang termasuk dampak kebijakan adalah :
 1. The impact on the target situations or group.
 2. The impact on situations or groups other than the target (“spoilover effect”).
 3. Its impact on future as well as immediate conditions.
 4 . Its direct cost, in term of resources devote to the program.
 5. Its indirect cost, including loss of opportunities to do other things.

Model Evaluasi Kebijakan Publik


( House, 1978 : 45 ) dalam William Dunn, mengemukakan beberapa Model Evaluasi
Kebijakan Publik yang terdiri dari :
1. The Adversary Model, para evaluator dikelompokkan menjadi dua, yang pertama bertugas
menyajikan hasil evaluasi program yang positip, hasil dampak kebijakan yang efektif dan
baik, tim kedua berperan untuk menemukan hasil evaluasi program negatif, tidak efektif,
gagal dan yang tidak tepat sasaran. Kedua kelompok ini dimaksudkan untuk menjamin
adanya netralitas serta obyektivitas proses evaluasi. Temuannya kemudian dinilai sebagai
hasil evaluasi. Menurut model dari evaluasi ini tidak ada efisiensi data yang dihimpun.
2. The Transaction Model, Model ini memperhatikan penggunaan metode studi kasus,
bersifat naturalistik dan terdiri dua jenis, yaitu : evaluasi responsif (responsive evaluation)
yang dilakukan melalui kegiatan - kegiatan secara informal, ber ulang-ulang agar program
yang telah direncanakan dapat digambarkan dengan akurat ; dan evaluasi iluminativ
(illuminativ evaluation) bertujuan untuk mengkaji program inovativ dalam rangka
mendeskripsikan dan menginterpretasikan pelaksanaan suatu program atau kebijakan. Jadi
evaluasi model ini akan berusaha mengungkapkan serta mendokumenter pihak-pihak yang
berpartisipasi dalam program.
3. Good Free Model, model evaluasi ini ber tujuan untuk mencari dampak aktual dari suatu
kebijakan, dan bukan hanya sekedar untuk menentukan dampak yang diharapkan sesuai
dengan ditetapkan dalam program. Dalam upaya mencari dampak aktual, evaluator tidak
perlu mengkaji secara luas dan mendalam tentang tujuan dari program yang direncanakan.
Sehingga evaluator (peneliti) dalam posisi yang bebas menilai dan ada obyektivitas. Evaluasi
Kebijakan Publik sering kali diartikan sebagai aktivitas yang hanya mengevaluasi kegiatan
proyek, selanjutnya mengevaluasi anggaran, baik ( rutin / pembangunan ).

Evaluasi Kebijakan Publik, ialah :


 a. Evaluasi Administratif, evaluasi kebijakan publik yang dilakukan sebatas dalam lingkungan
pemerintahan atau instansi pemerintah.
 b. Evaluasi Yudisial, evaluasi ini melihat apakah kebijakan itu melanggar hukum. Sedangkan
yang melaksanakan evaluasi yudisial adalah lembaga-lembaga hukum, pengacara,
pengadilan, dan kejaksaan.
 c. Evaluasi Politik, pada umumnya evaluasi politik dilakukan oleh lembaga politik, misalnya:
parlemen, parpol, atau masyarakat. Pertimbangan politik apa saja dan bagaimana yang
seharusnya mungkin dapat dijadikan acuan untuk mengevaluasi suatu kebijakan.

Kesimpulan
Studi kebijakan publik melihat proses pembentukan kebijakan sebagai suatu proses
siklus di mana terdapat berbagai tahapan yang pasti dan berulang kembali. Tahapan-tahapan
pembentukan kebijakan publik yang terdapat dalam proses siklus tersebut adalah problem
identification, agenda setting, policy formulation, policy legitimation, policy implementation,
dan policy evaluation. Satu demi satu tahapan dalam proses pembentukan kebijakan publik
menunjukkan bahwa suatu tahapan proses kebijakan publik terkait dengan tahapan yang
sebelumnya dan mempengaruhi tahapan yang selanjutnya.
Adanya siklus kebijakan memberikan keuntungan, antara lain untuk membantu
mempermudah kompleksitas perumusan kebijakan publik, memberikan kesempatan yang
bagus untuk melakukan kajian-kajian kebijakan publik yang relevan secara sistimatis dan
analitis sesuai dengan batasan area, dan sebagai tolak ukur untuk menilai efektifitas dan
efesiensi sebuah kebijakan dilihat berdasarkan masing-masing tahapan itu.
Daftar Pustaka

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.
http://rush.dagdigdug.com/2009/11/06/kebijaksanaan-pemerintahan-analisis-kebijakan-
melalui-pendekatan-empirik/
http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/
http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/27/penjabaran-operasional-proses-implementasi-
kebijakan/
http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/27/penjabaran-operasional-proses-implementasi-
kebijakan/
http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/05/13/penelitian-evaluasi-kebijakan/

Kamis, 01 April 2010

Pengertian Kebijakan Publik

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan
Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan
bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan
didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R.,
2004; 1-7).

Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi
kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum
namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut
kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi
kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang
berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik;
apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum
yang harus ditaati.

Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan
harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan
yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan
berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun
demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah
harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).

Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor,
terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk
mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat.
Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):

bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian
tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka
panjang dan menyeluruh.

Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-
499)

bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai
pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan
secara formal mengikat.

Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang
relatif (Michael Hill, 1993: 8):

The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable
element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.

Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai
kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan.
Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat
menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan
model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok,
model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan
model sistem.

Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan
terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan
menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman
yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah
sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).

Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat
dibedakan dalam tiga tingkatan:

1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik
yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau
instansi yang bersangkutan.
2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat
pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran
ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan
dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)

Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu
pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika
pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit
dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.

Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan
oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu
keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna
menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu.
Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)

A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning


the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation
where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to
achieve.

Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public
actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi
berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal
dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy
“Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan
penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik.
Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan
berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan
dalam pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004:
21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan
berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.

Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding
Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3)

Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka
melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.

Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US,
(Said Zainal Abidin,2004: 23)

kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada
pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum
untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Dalam Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan
suatu sistem nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan dapat
digambarkan sebagai berikut:

Sistem Nilai Kearifan

Selanjutnya kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan
dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan
kebijakan publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:

1. Model Kelembagaan;
2. Model Elit;
3. Model Kelompok;
4. Model Rasional;
5. Model Inkremental;
6. Model Teori Permainan;
7. Model Pilihan Publik;
8. Model Sistem

Selain itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:

1. Model Pengamatan Terpadu;


2. Model Demokratis;
3. Model Strategis

Di sisi lain kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor
mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan
“administrasi negara.” Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu
atau kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan pihak lain yang dibentuk oleh
masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang kemudian disebut dengan administrasi negara.

Proses dilakukan organisasi atau perorangan yang bertindak dalam kedudukannya sebagai
pejabat yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang
dikeluarkan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Administrasi negara dalam mencapai
tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan
dalam bentuk kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said
Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan
kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.
Pendapat lain tentang kebijakan menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewit adalah suatu
keputusan yang menuntut adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan bagi pembuat dan
pelaksana kebijakan.

Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding
Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah
segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang
membuat sebuah kehidupan bersama tampil.

Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US,
(Said Zainal Abidin,2004: 23)

kebijakan publik adalah biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada
pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk
kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.

Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama
untuk mencapai visi dan misi yang telah disepakati. Hal ini seperti tergambar dalam gambar
berikut:

Kebijakan Publik

Dari gambar di atas dapat simpulkan bahwa kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian
tujuan yang dapat diukur. Namun menurut Riant Nugroho D., bukan berarti kebijakan publik
mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik
menyangkut politik (Nugroho, 2004:52).

Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi
dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik
(Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan
ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)

Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat tidak
semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk
dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan
analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:

1. Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
2. Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
3. Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
4. Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas
dalam masyarakat kalau diabaikan?
5. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
6. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam
masyarakat?

Namun dari semua isu tersebut di atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,
2004: 56-59) tidak semua mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh
suatu proses penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat
digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:

1. Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif
kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
2. Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
3. Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang
ada.
4. Adil
5. Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu
masalah tertentu dalam masyarakat.

Aktivitas analisis didalam kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta
disiplin ilmu lain. Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran
bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan pendekatan
kebijakan publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis
secara bersama-sama. Dalam kesempatan ini Ripley menyatakan (Randal B. Ripley, 1985:
31)

Didalam proses kebijakan telah termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan
intelektual yang berjalan secara bersama-sama.

Pada praktik kebijakan publik antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor
networks). Melalui mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal
(second track), yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi persoalan-persoalan yang
sukar untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan jaringan aktor sebagai: (Mark
Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi dan semi resmi antara individu-individu dan kelompok-
kelompok di dalam suatu sistem kebijakan.

Terdapat 3 (tiga) rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu
dipahami, yaitu formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy
implementation) dan evaluasi kebijakan (policy evaluation). Didalam kesempatan ini dibahas
lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan, karena memiliki relevansi dengan tema kajian.

Diposkan oleh Neo-Link di 22.34

PENGANTAR ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


PENGANTAR ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

A. Konteks Politik dalam Administrasi Publik


Dalam konteks pencarian identitas kontemporer, administrasi publik telah menempatkan dirinya
pada posisi yang dinamik. Bahkan dalam arti yang luas proses pencarian identitas administrasi publik
dalam ekologi yang demikian itu hingga kini terus berlangsung intens. Mulai dari awal kelahirannya,
kemudian berkembang paradigma administrasi publik dalam konteks manajemen, dikotomi
administrasi publik-politik, dan kemudian kembali pada mainstream administrasi publik sebagai
administrasi publik. Reposisi diartikan sebagai suatu langkah untuk menempatkan Administrasi
Publik dalam basis yang kuat baik secara teoritis maupun praktika. Wilayah ‘abu-abu’ antara politik
dan administrasi bukanlah kelemahan tapi sisi unik dari Administrasi Publik. Sisi unik lain yang
dimiliki adalah setiap langkah Administrasi Publik memunculkan dampak dan konsekuensi baik
secara politik, ekonomi, sosial, budaya, kelembagaan dan lain-lain.

Dalam praktika administrasi Publik memiliki dua peran kunci; pertama, dalam ruang publik,
administrasi publik terlibat dalam pengambilan keputusan dimana wilayah politik lebih berperan.
Dalam ruang publik semua keputusan politik dibuat dan bersifat mengikat kedalam maupun keluar.
Selanjutnya ruang publik memberikan kewenangan politik pada Administrasi publik untuk
membentuk perangkat yang bertugas menegakkan regulasi yang dibuat. Kedua, berdasarkan
kewenangan politik yang diberikan oleh komponen ruang publik, administrasi publik berhak untuk
membentuk perangkat hukum serta menegakkannya.

Secara teoritis administrasi publik direposisi dengan mendefinisikan ‘wilayah abu-abu’ antara politik
dan administrasi karena memiliki tafsir yang sangat luas. Baik dalam lokus maupun fokus
administrasi publik, wilayah politik dan administrasi memiliki porsi yang dominan. Wilayah politik
dan administrasi yang selama ini menjadi kelemahan ternyata sangat penting dalam menentukan
langkah di masa datang. Dikotomi politik dan administrasi sangat membantu dalam menentukan
wilayah permasalahan dalam administrasi publik.
Konteks Politik Administrasi Publik
Administrative Decentralization & Political Power (1969) Herbert Kufman :
• Desentralisasi dan distribusi kekuasan di tingkat daerah

• Desentralisasi dan distribusi korupsi

• Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

• Desentralisasi, distribusi sumberdaya dan dis-integrasi

Contoh kasus:
Desentralisasi Korupsi BOS

Mengubah mekanisme penyaluran dana saja tidak cukup untuk mengatasi


masalah dalam program BOS. Langkah penting yang harus segera dilakukan
adalah memenuhi kebutuhan sekolah agar mampu menyediakan pelayanan
berkualitas tanpa membebani warga. jika mekanisme penyaluran dana tidak diikuti pengawasan
ekstraketat, terutama terhadap dinas pendidikan, potensi korupsi BOS
akan jauh lebih besar dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. Hasil riset Indonesia Corruption
Watch memperlihatkan bahwa tanpa memiliki kewenangan dalam proses distribusi pun ternyata
dinas pendidikan (kecamatan dan kabupaten/kota) tetap bisa ikut
"menikmati"dana BOS. dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Garut, Musyawarah Kepala Sekolah,
pengawas, organisasi profesi guru tertentu, dan wartawan pun ikut memperoleh "jatah"dana BOS.

B. Konteks Birokrasi dalam Administrasi Publik


Salah satu gerakan reformasi administrasi publik yang sempat populer di awal 90-an muncul dalam
kemasan ‘reinventing government’ yang berakar pada tradisi dan perspektif New Public
Management yang merupakan kristalisasi dari praktek administrasi publik di Amerika Serikat. Para
pendukung gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi administratif yang didirikan dalam
kerangka birokrasi dengan model komando dan pengawasan telah berubah secara signifikan selama
abad ke 20, dan harus terus diubah. Birokrasi jenis ini tidak lagi efektif, efisien dan sudah ketinggalan
zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin mengglobal. Oleh karena itu birokrasi di
Amerika Serikat harus melakukan reformasi institusi administrasi publik agar lebih memiliki karakter
kewirausahaan.

Konteks Birokrasi

• Street Level Bureaucracy : the critical role of street level Bureaucrats (1980) : (peran street level
birokrasi dalam diskresi pengambilan keputusan; diskresi vs responsibilitas, efektifitas, efisiensi,
keadilan)

• Breaking through bureaucracy (1992) Michael barzealy & Babak J Armajani : (kepentingan publik
berdasar perspektif pemerintah vs kepentingan masyarakat; kualitas pelayanan publik)
Contoh:
Pemerintah sebagai Pelayan Masyarakat
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa
memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service function), fungsi
pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function). pemerintah
adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang publik murni, khususnya barang
publik yang bernama rules atau aturan (kebijakan publik). pemberian pelayanan publik oleh aparatur
pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai
pelayan masyarakat. karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public
services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan
menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan
pendiriannya.

C. Konteks Organisasi dalam Administrasi Publik


Administrasi Publik adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan
bernegara yang meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan
publik yang meliputi kebijakan publik, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara.
Lokus ilmu `dministrasi publik, lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada.
Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik adalah: kepentingan publik (public interest) dan urusan
publik (public affair). focus ilmu administrasi publik, Fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting
dalam memepelajari ilmu administrasi publik. yang menjadi fokus dari ilmu administrasi publik adalah
teori organisasi. Jadi hubungan antara organisasi dengan Administrasi Publik adalah organisasi
merupakan fokus dari administrasi publik tersebut.

Teori organisasi

• Scientific Management (1912) FW Taylor (tenaga informal dalam proses akumulasi modal dan
dukungan bagi domonasi pembuat keputusan/ecision maker.)

• The Cooperative Mechanism (1949) Philip Zelsnick (partisipasi-kooptasi; kepemimpinan-kooptasi)

• Informal Organization and Their Relation to Formal Organization (1938) Chester I Barnard (teamwork-
kualitas pelayanan; kinerja organisasi; klik-efisiensi/klik inefisiensi)

• Struktur, Desain dan Budaya Organisasi (struktur, efisiensi, manajemen dan resolusi konflik)

Organisasi Administrasi Publik (Organisasi Pemerintah): Organisasi Publik harus memberi pelayanan
yang sebaik-baiknya pada publik, jangan sampai karena perbuatan negatif nya menyebabkan
masyarakat tidak percaya lagi pada Birokrat Publik, sehingga masyarakat sulit diharapkan
partisipasinya.

Contoh:
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah dokumen yang berisi serangkaian instruksi tertulis yang
dibakukan mengenai berbagai proses penyelenggaraan administrasi perkantoran yang berisi cara
melakukan pekerjaan, waktu pelaksanaan, tempat penyelenggaraan dan aktor yang berperan dalam
kegiatan. Sebagai suatu aturan, regulasi, dan kebijakan yang secara terus menerus menjamin
perilaku yang benar bagi seluruh pegawai instansi pemerintah maka SOP sangat tepat diterapkan
pada aktivitas administrasi perkantoran yang relatif bersifat rutin, berulang serta menghendaki
adanya keputusan yang terprogram guna melayani pelanggannya. Dengan penerapan SOP secara
konsisten maka administrasi perkantoran memiliki pedoman dalam menyelenggarakan Kebijakan
Reformasi Birokrasi yang merupakan suatu kebijakan yang komprehensif dalam peningkatan
pelayanan dan kinerja organisasi instansi pemerintah di Indonesia saat ini karena SOP selalu
dijadikan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas bagi pegawai sesuai dengan peraturan yang
berlaku dan target kinerja yang telah ditentukan yang selalu dimonitor dan ditinjau ulang setiap
periode tertentu untuk mengakomodasi dan mengantisipasi dinamika tugas. Di sisi lain SOP juga
sekaligus menjadi feedback guna penyesuaian antara kondisi yang dipersyaratkan dalam SOP dengan
kondisi riil yang ada guna mencapai kinerja individu dan kinerja organisasi yang optimal. Bahkan
dalam jangka panjang ,SOP dapat dijadikan sebagai langkah perbaikan kinerja pelayanan dan kinerja
organisasi berdasarkan konsep manajemen kinerja.

D. Konteks SDM dalam Administrasi Publik


Sebagai salah satu isu strategis dalam reformasi administrasi publik, berkaitan dengan kompetensi
SDM aparatur yang di dalamnya mencakup kompetensi, profesionalisme, etika dan budaya kerja.
Sejauh ini masih banyak aparatur negara yang belum kompeten, serta mengabaikan norma-norma,
etika dan aturan administrasi negara yang baik. Indikasinya adalah masih tingginya penyalahgunaan
kewenangan sehingga menimbulkan ketidakefisienan, ketidakefektifan dan ketidak produktifan
dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan, sehingga harapan akan suatu kultur aparatur
negara yang profesional dan akuntabel belum dapat tercapai. Fenomena seperti ini menunjukkan
keadaan yang sangat memperihatinkan mengingat dewasa ini bangsa sedang menghadapi tantangan
yang sangat kompleks, yang ditandai dengan semakin tingginya persaingan antar negara

Contoh:
Perbedaan Pelayanan Publik dan Swasta
Perbedaan mendasar antara pelayanan yang disediakan oleh negara (institusi pelayanan publik) dan
swasta adalah dari sudut peran. Bahwa negara wajib mengelola sumber daya yang dimiliki dan
mengalokasikan (dalam bentuk pelayanan publik dan subsidi) kepada rakyat demi kesejahteraannya.
Oleh karena itulah, institusi pelayanan publik bertanggungjawab kepada otoritas politik dan hukum.
Disamping itu pelayanan oleh pemerintah tidak bersifat mencari laba (non-profit oriented). Hal ini
dikarenakan sumber pendanaan institusi publik berasal dari dana publik, yang berasal dari retribusi
dan pajak. Sementara pihak swasta dalam mengelola sumber daya ekonomi adalah demi meraih
keuntungan (profit oriented) bagi para pemegang saham atau pemilik lembaga. Sebab sumber
pendanaannya dari pemegang saham, sehingga kepada merekalah pertanggungjawaban diberikan.
Disisi lain, indikator keberhasilan lembaga swasta dapat diukur dari jumlah penjualan barang/jasa
dan keuntungan yang dihasilkan. Namun tidak demikian dengan institusi publik. Salah satu fungsi
negara adalah sebagai penyedia pelayanan publik dengan penyediaan public goods secara non profit
oriented, artinya penyediaan layanan tidak boleh memperhitungkan seberapa besar profit atau
keuntungan yang diperoleh. Sehingga, pelayanan publik akan bersifat ekonomis artinya biaya yang
dibebankan harus terjangkau oleh masyarakat. Jadi, apabila indikator keberhasilannya seperti
indikator keberhasilan institusi swasta jelas akan menyalahi fungsi negara sebagai penyedia public
goods. Bertolak dari hal itulah, diterbitkan dan diberlakukan peraturan perundangan mengenai
Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi pemerintah, terutama pemerintah daerah, sebab dengan
otonomi daerah (desentralisasi pemerintahan) memiliki konsekuensi logis bahwa pemerintah daerah
menerima pelimpahan fungsi pelayanan dari pusat.

E. Konteks Manajemen Publik dengan Administrasi Publik


Manajemen Publik
• Productivity & Quality Management (1952) Marc Holzer (kualitas pelayanan sektor publik)

• Exploring the limit of Privatization (1987) Ronald C Moe (dampak provatisasi, informasi bagi decision
making untuk privatisasi)

• Public and private management (1980) Graham T Allison (perbedaan pelayana sektor publik dan
swasta)

Manajemen publik tidak lain dari manajemen instansi pemerintah. Overman (dalam Keban, 1994)
mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “manajemen ilmiah”, meskipun sangat dipengaruhi
oleh “manajemen ilmiah”. Manajemen publik juga bukan “analisis kebijakan”, bukan administrasi publik
yang baru, atau kerangka yang lebih baru. Manajemen publik merefleksikan tekanan-tekanan antara
orientasi “rational-instrumental” pada satu pihak, dan orientasi politik kebijakan di pihak lain.
Manajemen publik adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi. Ia merupakan
gabungan fungsi-fungsi manajemen seperti: perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan dengan
sumber daya manusia, keuangan, fisik, informasi dan politik. Berdasarkan pandangan tersebut, Ott, Hyde
dan Shafritz (1991:xi) mengemukakan bahwa manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua
bidang pemerintahan yang tumpang tindih. Tapi untuk membedakan keduanya, dapat dikemukakan
bahwa kebijakan publik merefleksikan “sistem otak dan syaraf’ , sementara manajemen publik
mempresentasikan “sistem jantung dan sirkulasi” dalam tubuh manusia.

Contoh:

Perbedaan Pelayanan Sektor Publik dan Swasta

Salah satu perbedaan manajemen pada sektor publik dan sektor swasta yang dapat diidentifikasi dengan
jelas adalah pada manajemen pelayanannya. Dalam bukunya Management in the Public Domain, Public
Money and Management, Stewart & Ranson secara umum menggambarkan perbedaan manajemen
pelayanan pada sektor publik dan manajemen pelayanan sektor swasta. Pelayanan pada sektor publik
tidak menjadikan laba sebagai tujuan utamanya dan keputusan dalam manajemen sektor publik dapat
bersifat memaksa. Hal ini berbeda dengan sektor swasta yang tidak bisa memaksa pelanggannya.
Masyarakat bisa dipaksa untuk mematuhi aturan atau keputusan pemerintah, misalnya tentang
penetapan tarif pajak dan harga pelayanan tertentu.

F. Konteks Kebijakan Publik dalam Administrasi Publik

Kebijakan Publik merupakan kajian utama dari Ilmu Administrasi Publik. Chandler & Plano (1982)
dalam kamus “wajib” Ilmu Administrasi Negara, The Public Administration Dictionary, mengatakan
bahwa: “Public Policy is strategic use of reseorces to alleviate national problems or governmental
concerns”. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang
strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah.
Chandler & Plano lalu membedakannya atas empat bentu, yakni: regulatory, redistributive,
distributive, dan constituent. kebijakan publik dapat dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan:

(1) keputusan atau aksi bersama yang dibuat oleh pemilik wewenang (pemerintah);

(2) berorientasi pada kepentingan publik dengan dipertimbangkan secara matang terlebidahulu baik
buruknya dampak yang ditimbulkan;

(3) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

Contoh:

Kebijakan BLT

Setelah pemerintah memutuskan untuk menaikkan BBM, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
menjadi kebijakan turunan dari kebijakan kenaikan BBM tersebut. Kebijakan BLT yang diluncurkan
pemerintah ini, menuai banyak protes mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, mahasiswa dan
tokoh-tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah. Kebijakan yang sama juga pernah dilakukan
oleh pemerintah pada tahun 2005, ketika pemerintah menaikkan BBM sebesar 126 persen.

G. Konteks Etika dalam Administrasi Publik

Administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan
persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang
diinginkan (get thejob done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana
mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi —seperti ketertiban, efisiensi,
kemanfaatan, produktivitas— dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana
gagasangagasan dasar etika –mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu—dapat
menjelaskan hakikat administrasi.

Posisi Etika dalam Studi Administrasi Publik

• Teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, Urwick) kurang memberi tempat pada
pilihan-pilihan moral (etika).

• Kebutuhan moral administrator hanyalah keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara
efisien.

• Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik tidak hanya harus efisien, tapi juga harus dapat
mendefinisikan kepentingan publik, barang publik dan menentukan pilihan-pilihan kebijakan atau
tindakan secara bertanggungjawab.

Contoh:

Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik

Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini.
Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana
sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan
dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan
publik itu sendiri.

DEFENISI KEBIJAKAN PUBLIK MENURUT AHLI


Posted on September 26, 2013 by lumainsteivan Standard

Kebijakan Publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan
merupakan bagian dari keputusan politik untuk mengatasi berbagai persoalan dan isu-isu
yang ada dan berkembang di masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan keputusan yang
dibuat oleh pemerintah untuk melakukan pilihan tindakan tertentu untuk tidak melakukan
sesuatu maupun untuk melakukan tidakan tertentu.

Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara sering terjadi
berbagai permasalahan. Negara yang memengang penuh tanggung jawab pada kehidupan
rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan
publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara diharapkan dapat menjadi solusi akan
permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang
dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan
tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002).

Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi permasalahan yang
ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan seperti apa kebijakan publik itu
sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik.

Thomas R. Dye (1981)

Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah.
Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas.
Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian.

Easton (1969)

Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh


masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang
dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan
bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian
nilai-nilai kepada masyarakat.

Anderson (1975)

Kebijakan publik adalah kebijakan kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-
pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik
selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada
tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik
merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang
masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif
dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau
bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan
perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Dye (1978)

Mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever governments choose to do or not to do.”,


yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa
sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa
yang menyebabkan mereka melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan bahwa
apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut harus
memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan
hanya merupakan keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena
sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar
dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.

David Easton

Mendefinisikan public policy sebagai : “The authoritative allocation of value for the whole
society, but it turns out that only theg overnment can authoritatively act on the ‘whole’
society, and everything the government choosed do or not to do result in the allocation of
values.” Maksudnya, public policy tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah,
akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah karena keduanya sama-sama
membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan.

Chief J.O. Udoji (1981)

Mendefinisikan kebijaksanaan publik sebagai “ An sanctioned course of action addressed to a


particular problem or group of related problems that affect society at large.” Maksudnya ialah
suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada
suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi
sebagian besar warga masyarakat.

Jonnes (1977)

Memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah di masa lalu
dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit.

Edward

Kebijakan publik didefinisikan sebagai “What governments say and do, or do not do. It is the
goals or purposes of governments programs.” Maksudnya, apa yang dinyatakan dan
dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah termasuk kebijakan publik. Merujuk pada
definisi di atas, kebijakan publik tampil sebagai sasaran atau tujuan program-program.
Edward lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan publik itu dapat diterapkan secara jelas
dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah
ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.

Chandler dan Plano (1988)

Kebijakan publik ialah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang


ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan
bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-
menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Woll (1966)

kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di


masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh
sebagai implikasi dari tindakan pemerintah tersebut yaitu: 1) adanya pilihan kebijakan atau
keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan
menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2) adanya output
kebijakan, di mana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk
melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam
bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; 3) adanya dampak
kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyrakat.

Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik
mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi
perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian
disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan
persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects,
motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002).

Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu kebijakan
umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari
sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian
kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c)
evaluasi kebijakan.

Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses
kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan
kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a)
penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi
kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan.

Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut:

1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat


persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab
akibat.
2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui
kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin
diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi
yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk,
misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk
menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain
kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan
tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan
setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif
kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan
kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

sumber : http://afrizalwszaini.wordpress.com/2012/01/13/defenisi-kebijakan-publik-
menurut-pakar/

Pengertian, Jenis-jenis, dan Tingkat-tingkat Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa Inggris


"Public Policy". Kata "policy" ada yang menerjemahkan menjadi "kebijakan" (Samodra
Wibawa, 1994; Muhadjir Darwin, 1998) dan ada
juga yang menerjemahkan menjadi "kebijaksanaan" (Islamy, 2001; Abdul Wahap, 1990).
Meskipun belum ada "kesepakatan", apakah policy diterjemahkan menjadi "Kebijakan"
ataukah "kebijaksanaan", akan tetapi tampaknya kecenderungan yang akan datang untuk
policy digunakan istilah kebijakan maka dalam modul ini, untuk public policy diterjemahkan
menjadi "kebijakan publik".

A. Uraian

1. Pengertian Kebijakan Publik.

a. Thomas R. Dye

Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut:


"Public Policy is whatever the government choose to do or not to do". (Kebijakan publik
adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu).
Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka tentunya ada
tujuannya, karena kebijakan publik merupakan "tindakan" pemerintah. Apabila pemerintah
memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun merupakan kebijakan publik, yang tentunya
ada tujuannya.

Sebagai contoh: becak dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, bertujuan untuk
kelancaran lalu-lintas, karena becak dianggap mengganggu kelancaran lalu-lintas, di samping
dianggap kurang manusiavvi. Akan tetapi, dengan dihapuskannya becak, kemudian muncul
"ojek sepeda motor". Meskipun "ojek sepeda motor" ini bukan termasuk kendaraan angkutan
umum, tetapi Pemerintah DKI Jakarta tidak meiakukan tindakan untuk melarangnya.
Tidakadanya tindakan untuk melarang "ojek" ini, dapat dikatakan kebijakan publik, yang
dapat dikategorikan sebagai "tidak meiakukan sesuatu".

b. James E. Anderson

Anderson mengatakan:
"Public Policies are those policies developed by governmen¬tal bodies and officials".
(Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan
pejabat-pejabat pemerintah).
c. David Easton

David Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut:


"Public policy is the authoritative allocation of values for the whole society".(Kebijakan
publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara syah kepada seluruh anggota masyarakat).

Kesimpulan:
a. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah.
b. Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak meiakukan sesuatu itu mempunyai
tujuan tertentu.
c. Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

2. Jenis-jenis Kebijakan Publik.

James E. Anderson (1970) mengelompokkan jenis-jenis kebijakan publik sebagai berikut:


a. Substantive and Procedural Policies.
Substantive Policy.
Suatu kebijakan dilihatdari substansi masalahyangdihadapi oleh pemerintah.
Misalnya: kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi, dan Iain-lain.
Procedural Policy.
Suatu kebijakan dilihatdari pihak-pihak yang terlibatdalam perumusannya (Policy
Stakeholders).

Sebagai contoh: dalam pembuatan suatu kebijakan publik, meskipun ada Instansi/Organisasi
Pemerintah yang secara fungsional berwenang membuatnya, misalnya Undang-undang
tentang Pendidikan, yang berwenang membuat adalah Departemen Pendidikan Nasional,
tetapi dalam pelaksanaan pembuatannya, banyak instansi/organisasi lain yang terlibat, baik
instansi/organisasi pemerintah maupun organisasi bukan pemerintah, yaitu antara lain DPR,
Departemen Kehakiman, Departemen Tenaga Kerja, Pecsatuan Guru Indonesia (PGRI), dan
Presiden yang mengesyahkan Undang-undang tersebut. Instansi-instansi/ organisasi-
organisasi yang terlibat tersebut disebut policy stakeholders.

b. Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies.

Distributive Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada individu-
individu, kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan.
Contoh: kebijakan tentang "Tax Holiday"

Redistributive Policy
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-
hak.

Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum.

Regulatory Policy.
Suatu kebijakan yang memgatur tentang pembatasan/ pelarangan terhadap
perbuatan/tindakan.

Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan senjata api.

c. Material Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/
penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi
penerimanya.

Contoh: kebijakan pembuatan rumah sederhana.

d. Public Goods and Private Goods Policies.


Public Goods Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-pelayanan oleh
pemerintah, untuk kepentingan orang banyak
Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum.
Private Goods Policy.
Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang/pelayanan oleh pihak
swasta, untuk kepentingan individu-individu (perorangan) di pasar bebas, dengan imbalan
biaya tertentu.
Contoh: kebijakan pengadaan barang-barang/pelayanan untuk keperluan perorangan,
misalnya tempat hiburan, ho¬tel, dan Iain-lain.

3. Tingkat-tingkat Kebijakan Publik.

Mengenai tingkat-tingkat kebijakan publik ini, Lembaga Administrasi Negara (1997),


mengemukakan sebagai berikut:

a. LingkupNasional
1) KebijakanNasional
Kebijakan Nasional adalah adalah kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis
dalam pencapaian tujuan nasional/negara sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945.
Yang berwenang menetapkan kebijakan nasional adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat berbentuk:
UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (PERPU).
2) Kebijakan Umum
Kebijakan umum adalah kebijakan Presiden sebagai pelaksanaan UUD, TAP MPR, UU,-
untuk mencapai tujuan nasional.
Yang berwenang menetapkan kebijakan umum adalah Presiden.
Kebijakan umum yang tertulis dapat berbentuk: Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan
Presiden (KEPPRES), Instruksi Presiden (INPRES).
3) Kebijakan Pelaksanaan.
Kebijaksanaan pelaksanaan adalah merupakan penjabaran dari kebijakan umumsebagai
strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu.
Yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan adalah menteri/pejabat setingkat
menteri dan pimpinan LPND.
Kebijakan pelaksanaan yang tertulis dapat berbentuk Peraturan, Keputusan, Instruksi pejabat
tersebut di atas.

b. Lingkup Wilayah Daerah.


1) Kebijakan Umum.
Kebijakan umum pada lingkup Daerah adalah kebijakan pemerintah daerah sebagai
pelaksanaan azas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga Daerah.

Yang berwenang menetapkan kebijakan umum di Daerah Provinsi adalah Gubernur dan
DPRD Provinsi. Pada Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh BupatiAValikota dan DPRD
Kabupaten/Kota.

Kebijakan umum pada tingkat Daerah dapat berbentuk Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi
dan PERDA Kabupaten/Kota.

2) Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan pada lingkup Wilayah/Daerah ada tiga macam:

- Kebijakan pelaksanaan dalam rangka desentralisasi merupakan realisasi pelaksanaan


PERDA;
- Kebijakan pelaksanaan dalam rangka dekonsentrasi merupakan pelaksanaan kebijakan
nasional di Daerah;
- Kebijakan pelaksanaan dalam rangka tugas pembantuan (medebewind) merupakan
pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat di Daerah yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah.
Yang berwenang menetapkan kebijakan pelaksanaan
adalah:
- Dalam rangka desentralisasi adaiah Gubernur/ Bupati/Walikota;
- Dalam rangka dekonsentrasi adalah Gubernur/ Bupati/Walikota;
- Dalam rangka tugas pembantuan adalah Gubernur/ Bupati/Walikota.

Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan tugas pembantuan berupa Keputusan-keputusan


dan Instruksi Gubernur/Bupati/Walikota.

Dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi berbentuk Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

B. Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian Anda mengenai Pengertian, Jenis, dan Tingkat-tingkat
Kebijakan Publik, cobalah latihan di bawali ini.
1. Menurut Thomas R. Dye, tidak melakukan sesuatu merupakan
kebijakan publik. Coba jelaskan dan berikan contohnya !
2. Jelaskan tentang Substantive and Procedural Policies dan berikan
masing-masing contohnya!
3. Jelaskan tentang Distributive, Redistributive and Regulatory
Policies dan berikan masing-masing contohnya !
4. Jelaskan tentang Public Goods and Private Goods Policies dan
berikan masing-masing contohnya !
5. Jelaskan tentang kebijakan publik lingkup Nasional !
6. Jelaskan tentang kebijakan publik lingkup Wilayah/Daerah !

ApabilaAndabelum mampu menjawab latihan tersebutdi atas, maka pelajari kembali kegiatan
pembelajaran tentang Pengertian, Jenis-jenis, dan Tingkat-tingkat Kebijakan Publik, terutama
yang belum Anda pahami.

C. Rangkuman
Kebijakan publik adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang ditujukan
untuk kepentingan masyarakat. Kebijakan publik bertujuan untuk memecahkan masalah-
masaiah yang ada di dalam masyarakat.
. •■•'
Ada beberapa jenis kebijakan publik, yaitu Substantive and Procedural Policies, Distributive,
Redistributive and Regulatory Policies, Material Policies, Public Goods and Private Goods
Policies.
Di Indonesia dikenal adanya tingkatan-tingkatan kebijakan publik, yaitu kebijakan publik
lingkup Nasional, yang meliputi Kebijakan Nasional, Kebijakan Umum, dan Kebijakan
Pelaksanaan. Di samping itu, ada kebijakan publik lingkup Wilayah/Daerah, yang meliputi
Kebijakan Umum dan Kebijakan Pelaksanaan.

KEBIJAKAN PUBLIK

Desember 17, 2009 pukul 3:11 am · Filed under Uncategorized

A. PENGERTIAN KEBIJAKAN

Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Diantara para
ahli yang memberikan pendapat tentang kebijakan :

 Thomas Dye kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu (whatever government chooses to do or not to do).
 Lasswell dan Kaplan yang melihat kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan,
menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai
dan praktek (a projected program of goals, values and practices).
 Carl Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya
tujuan (goal ), sasaran(objektive) atau kehendak(purpose).
 H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish
some end,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu.
Tujuan tersebut meliputi :
– Tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai. Bukan suatu tujuan yang sekedar
diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukan
tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam
kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk
mencapainya, dan ada”faktor pendukung” yang diperlukan.

– Rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya.

– Program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk
mencapai tujuan yang dimaksud.

– Keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan
menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat.

 Bertolak dari sini, Jones merumuskan kebijakan sebagai perilaku yang tetap dan berulang
dalam hubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah untuk
memecahkan masalah umum.
 William Dunn mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang merupakan
sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab itu dia mendefinisikan analisis kebijakan sebagai”ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi
yang relevan yang dipakai dalam memecahpersoalan dalam kehidupan sehari-hari.

Secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor
(pejabat, suatu kelompok, maupun lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu
bidang tertentu.

B. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kehidupan bernegara dalam suatu komunitas menghendaki adanya interaksi antara pemimpin
dan yang dipimpin, atau antara pemerintah dan rakyat. Pada dasarnya baik pemerintah
maupun rakyat menjalankan fungsinya masing-masing, sehingga terdapat adanya perbedaan
hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Pemerintah merupakan wujud perwakilan rakyat, sehingga secara ideal keinginan pemerintah
merupakan keinginan rakyat pula.

Berpangkal dari perbedaan hak dan kewajiban tersebut, pemerintah berhak mengatur serta
rakyat berkewajiban mematuhi aturan-aturan tersebut. Aturan-aturan serta keinginan-
keinginan rakyat tersebut diwujudkan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan publik
apapun yang dipilih dan ditetapkan oleh pemerintah, baik untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Hal ini berarti bahwa tindakan pemerintah melakukan atau pun tidak melakukan
sesuatu merupakan bentuk kebijakan yang dipilih oleh pemerintah karena apapun pilihan
bentuk kebijakannya akan tetap menimbulkan dampak sama besarnya.

Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-
hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu
sasaran atau maksud tertentu.
James, A. Anderson, “…….a purposive course of action followed by an actor or set of actors
in dealing with a problem or matter concern.” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah.

Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu proses dan
melihat proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat memahami konstelasi antar
aktor dan interaksi yang terjadi di dalamnya.

Fauzi Ismail, dkk dalam bukunya menyatakan bahwa kebijakan publik adalah bentuk
menyatu dari ruh negara, dan kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan
negara dengan rakyatnya. Kebijakan publik yang transparan dan partisipatif akan
menghasilkan pemerintahan yang baik. Paradigma kebijakan publik yang kaku dan tidak
responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak responsif. Demikian pula
sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah
negara yang luwes dan responsif pula.

Parker, kebijakan publik adalah suatu atau tindakan yang dilakukan oleh suatu tujuan tertentu
atau serangkaian prinsip, atau tindakan yang dilakukan oleh suatu pemerintahan pada periode
tertentu ketika terjadi suatu subyek atau krisis.

Kebijakan publik didefinisikan oleh Dye sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dilakukan atau sesuatu, maka harus ada tujuannya dan kebijakan publik atau kebijakan negara
harus meliputi semua tindakan pemerintah. Dengan demikian, kebijakan publik bukan
semata-mata merupakan pernyataan atau keinginan pemerintah ataupun pejabat pemerintah
saja.

Edward III dan Sharkansky menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dikatakan
dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara berupa sasaran atau
tujuan dari berbagai program pemerintahan. Edward III dan Sharkansky selanjutnya
mengemukakan bahwa kebijakan dapat ditetapkan secara jelas dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, atau dalam bentuk pidato pejabat pemerintah.

Anderson, kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga atau badan
pemerintah (Islamy, 1984:25). Menurut Enderson konsep kebijakan public mempunyai
beberapa implikasi :

1. Titik perhatian dalam kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan
perilaku secara serampangan
2. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan
bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri
3. Kebijakan merupakan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah

Nakamura dan Smalwood, kebijakan publik berarti serangkaian instruksi dari para pembuat
keputusan kepada pelaksana untuk mencapai tujuan tersebut (Santoso, 1990:5).

Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan negara (public policy), seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah
serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Berbagai implikasi dari pengertian diatas ini adalah bahwa kebijakan publik memiliki
karakteristik sebagai berikut :

1. Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang berorientasi tujuan.
2. Berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.
3. Merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
4. Bersifat posistif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negatif dalam arti keputusan
itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang bersifat memaksa.

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :

 Dukungan dan penilaian dari lembaga eksternal. Jika lembaga eksternal mendukung, maka
pelaksanaan kebijakan-kebijakan akan berhasil. Sebaliknya, jika menolak maka pelaksanaan
kebijakan akan gagal.
 Ketersediaan waktu dan sumber daya yang cukup.
 Dukungan dari berbagai macam sumber daya yang ada.
 Kemampuan pelaksana kebijakan menganalisis kausalitas persoalan yang timbul dari
pelaksanaan kebijakan.
 Kepatuhan para pelaksana kebijakan terhadap kesepakatan dan tujuan yang telah diciptakan
dalam tingkat koordinasi.

Dasar pelaksanaan kebijakan publik di Indonesia adalah :

1. UU APBN dan UU APBN-P


2. UU 17/2003, UU 1/2004 dan UU 19/2005
3. UU Perpajakan, UU 17/2006, UU 19/2003, UU 34/2000, UU 32 dan UU 33/2004
4. UU Sektoral
5. Berbagai macam peraturan Presiden/Pemerintah dan Menteri Keuangan

C. MODEL KELOMPOK DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

Model dalam kebijakan public menganut paham teori kelompok David B. Truman dalam
bukunya “The Govermental Process” (1951), yang menyatakan bahwa interaksi antara
kelompok-kelompok adalah merupakan kenyataan politik. Individu-individu yang memiliki
kepentingan yang sama mengikatkan baik secara formal maupun informal kedalam kelompok
kepentingan (interest group) yang dapat mengajukan dan memaksakan kepentingan-
kepentingannya kepada pemerintah.

Truman mengartikan kelompok kepentingan sebagai suatu kelompok yang memiliki sikap
yang sama yang mengajukan tuntutan-tuntutan terhadap kelompok yang lain dalam
masyarakat. Dan kelompok kepentingan itu akan mempunyai arti politis, kalau kelompok
kepentingan itu mengajukan tuntutan terhadap suatu lembaga pemerintahan. Kelompok
kepentingan semakin mempunyai arti yang penting dalam proses dan kegiatan politik. Dan
sebenarnya politik itu adalah merupakan perjuangan diantara kelompok-kelompok untuk
mempengaruhi kebijaksanaan negara. Menurut teori kelompok, kebijaksanaan negara itu
adalah merupakan pertimbangan yang dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Untuk
menjaga perimbangan tersebut maka tugas atau peranan sistem politik adalah menengahi
konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Thomas R. Dye, tugas sistem politik adalah menengahi konflik antar kelompok dengan cara:
1) Membuat aturan permainan dalam percaturan antar kelompok,

2) Mengatur kompromi dan menciptakan keseimbangan kepentingan yang berbeda,

3) Mewujudkan kompromi-kompromi tersebut dalam bentuk kebijaksanaan negara,

4) Memaksakan berlakunya kompromi-kompromi bagi semua pihak.

Kelompok kepentingan yang berpengaruh diharapkan dapat mempengaruhi perubahan


kebijaksanaan negara. Tingkat pengaruh kelompok kepentingan tersebut ditentukan oleh
jumlah anggotanya, harta kekayaannya, kekuatan dan kebaikan organisasinya,
kepemimpinannya, hubungannya yang erat dengan para pembuat keputusan, kohesi intern
para anggotanya, dan sebagainya. Dan aktivitas politik dipandang oleh model ini sebagai
hasil perjuangan kelompok, sehingga para pembuat kebijaksanaan Negara secara terus
menerus memberikan respons terhadap tekanan-tekana yang diberikan oleh kelompok
tersebut, yaitu dengan melakukan tawar menawar, perjanjian dan kompromi terhadap
persaingan tuntutan-tuntutan dari kelompok-kelompok yang berpengaruh.

Sistem politik yang juga merupakan keseluruhan sistem kelompok kepentingan selalu
berusaha untuk menciptakan keseimbangan diantara kekuatan yang ada pada sub-sub
sistemnya. Dengan adanya kelompok laten yang besar dan kuat selalu berusaha untuk
memelihara keseimbangan yang ada dan menjaga kalau ada kelompok-kelompok lain yang
akan merusak atau mengancam keseimbangan tersebut. Disamping itu karena adanya
anggota-anggota kelompok yang merangkap menjadi anggota kelompok yang lain, maka hal
inipun akan ikut memelihara adanya keseimbangan tadi. Dan juga sistem atau mekanisme
“checks and balances” yang berlaku diantara kelompok-kelompok yang bersaing akan ikut
berperan juga dalam memelihara keseimbangan perjuangan kelompok-kelompok kepentingan
tersebut. Jadi kesimpulannya, kebijaksanaan negara, menurut model ini adalah merupakan
keseimbangan yang dicapai dari perjuangan kelompok yang berbeda-beda.

John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam
beberapa model pendekatan, yaitu :

1) Pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap proses


kebijakan.

2) Model inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel internal
dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi status quo.

3) Model rasional

4) Model garbage can

5) model collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme
perumusan kebijakan. (mencakup 2 dan 3)

D. TAHAPAN KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan Publik dilihat sebagai suatu sistem terdiri dari input, proses, output dan impact.
 Input berisikan masalah kebijakan publik meliputi tuntutan, keinginan, tantangan dan
ancaman yang diharapkan dapat segera diatasi melalui kebijakan publik.
 Proses adalah pembuatan Kebijakan publik yang biasanya bersifat politis, ada pengaruh,
tarik menarik dari pihak yang berkepentingan).
 Output adalah produk Kebijakan publik berupa peraturan, Undang-Undang dan Perda,
 Impact adalah dampak Kebijakan Publik berisikan hal yang positif dan negatif terhadap
target group.

Kebijakan publik dilihat sebagai suatu Proses terdiri dari tahapan yaitu :

 Identifikasi Masalah Kebijakan


 Agenda seting
 Formulasi kebijakan
 Legitimasi kebijakan
 I,plementasi kebijakan
 Evakuasi kebijakan

Dalam proses identifikasi, pemerintah merasakan


adanya masalah yang harus diselesaikan dengan pembuatan kebijakan. Kemudian
memfokuskan perhatian media massa atau pejabat publik (pemerintah pada masalah publik
tertentu) untuk memutuskan apa yang diputuskan.

– Identifikasi isu dan agenda setting untuk mengenal kebijakan

– Mempengaruhi sikap dan nilai kea rah isu kebijakan

– Mengubah perilaku voter dan pengambil keputusan

Berdasarkan identifikasi tersebut dilakukanlah formulasi kebijakan. Kebijakan disusun


berdasarkan alternatif-alternatif tindakan dan partisipan. Setelah alternatif tindakan dan
partisipan disusun, maka proses adopsi dilakukan dengan memilih alternatif terbaik dengan
memperhatikan syarat pelaksanaan, partisipan, proses dan muatan kebijakan. Tahap
selanjutnya adalah legitimasi kebijakan. Menyeleksi proposal, membangun dukungan publik,
mensahkan UU (ada tanda tangan pejabat yang mengesahkan dan stempel instansi yang
berwenang melalui birokrasi yang teratur). Implementasi kebijakan terkait dengan pihak-
pihak yang terlibat, tindakan yang dilakukan dan dampak terhadap muatan kebijakan itu
sendiri. Setelah implementasi kebijakan dilakukan, evaluasi kebijakan harus dilaksanakan.
Mempelajati program, melaporkan autput dari program pemerintah, evalusasi dampak
kebijakan, mengusulkan perubahan kebijakan yang dilakukan olah pemerintan sendiri,
konsultan luar, pers dan publik.

E. ANALISIS KEBIJAKSANAAN PUBLIK

William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu
sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk
menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat
dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Weimer and Vining, (1998:1): The product of policy analysis is advice. Specifically, it is
advice that inform some public policy decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih
merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang
masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan
masalah tersebut, dan berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan
berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.

Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat
kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan
publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-
argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan
kepada pihak pembuat kebijakan.

Analisis Kebijakan Publik adalah proses penciptaan pengetahuan dari dan dalam proses
penciptaan kebijakan. Ciri-ciri analisis kebijakan publik yakni:

 Analisis kebijakan publik merupakan kegiatan kognitif, yang terkait dengan proses
pembelajaran dan pemikiran.
 Analisis kebijakan publik merupakan hasil kegiatan kolektif, karena keberadaan sebuah
kebijakan pasti melibatkan banyak pihak, dan didasarkan pada pengetahuan kolektif dan
terorganisir mengenai masalah-masalah yang ada.
 Analisis kebijakan merupakan disiplin intelektual terapan yang bersifat reflektif, kreatif,
imajinatif dan eksploratori.
 Analisis kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah publik, bukan masalah pribadi
walaupun masalah tersebut melibatkan banyak orang.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis kebijakan publik :

1) Fokus utamanya mengenai penjelasan kebijakan bakan mengenai anjuran kebijakan yang
pantas

2) Sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan publik diselidiki dengan teliti dan
mengunakan metodologi ilmiah

3) Analisis dilakukan dalam rangka mengembangkan teori umum yangdapat diandalkan


tentang kebijakan publik dan pembentukannya

Tipe analisis kebijakan dikategorikan menjadi dua tipe yaitu:

 Tipe analisis akademis.

Tipe analisis ini berfokus pada hubungan antara faktor determinan utama dengan isi
kebijakan dan berusaha untuk menjelaskan hakikat, karakteristik dan profil kebijakan dan
bersifat komparatif baik dari segi waktu maupun segi subtansi.

 Tipe analisis terapan.

Tipe analisis ini lebih memfokuskan diri pada hubungan isi kebijakan dengan dampak
kebijakan serta lebih berorientasi pada evaluasi kebijakan dan bertujuan untuk menemukan
alternatif lebih baik dan bisa menggantikan kebijakan yang sedang dianalisis.

Gaya analisis kebijakan dibedakan menjadi tiga kategori yaitu:


 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif masih dibedakan menjadi 2 bagian yakni :

(a) analisis isi (content analysis) yang merupakan definisi empiris mengenai isi kebijakan
terutama pada maksud, definisi masalah, tujuan dan orientasi sebuah kebijakan;

(b) analisis sejarah (historical analysis) yang lebih menekankan aspek evolusi isi kebijakan
dari awal pembentukan hingga implementasinya bahkan bersifat ekspansif dengan
membandingkan beberapa kebijakan secara kronologis-sinkronis.

 Analisis Proses

Analisis proses tidak begitu berfokus pada isi kebijakan, namun lebih memfokuskan diri pada
proses politik dan interaksi faktor-faktor lingkungan luar yang kompleks dalam membentuk
sebuah kebijakan.

 Analisis Evaluasi

Analisis ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat penilaian. Penilaian yang diberikan bisa
didasarkan pada konsistensi logis, efisiensi dan karakteristik etis. Analisis evaluasi dibedakan
menjadi tiga bagian yakni :

– evaluasi logika, dimana analisis ini melakukan evaluasi atas beberapa dimensi yakni
konsistensi internal tujuan kebijakan; konsistensi tujuan dan instrumen kebijakan; dan
perbedaan antara konsekuensi yang diharapkan dan yang tidak diharapkan,

– evaluasi empiris, dimana analisis ini bertujuan untuk mengukur apakah kebijakan publik
mampu memecahkan masalah dan menekankan teknik-teknik untuk melihat efisiensi dan
efektifitas sebuah kebijakan,

– evaluasi etis yang dalam analisisnya mengacu pada etika, norma dan nilai (value) dimana
dalam evaluasi yang lain sangat bersifat bebas nilai.

Dalam mengkritisi kebijakan, terdapat dua pendekatan yaitu:

1. Analisis proses kebijakan (analysis of policy process), analisis dilakukan atas proses
perumusan, penentuan agenda, pengambilan keputusan, adopsi, implementasi dan evaluasi
dalam proses kebijakan. Pendekatan ini lebih melihat kandungan (content) sebuah proses
kebijakan.
2. Analisis dalam dan untuk proses kebijakan (analysis in and for policy process), analisis
dilakukan atas teknik analisis, riset, advokasi dalam sebuah proses kebijakan. Pendekatan ini
cenderung melihat prosedur proses kebijakan.

Hasil analisis kebijakan adalah informasi yang relevan bagi pihak-pihak yang akan
melaksanakan kebijakan. Analisis bisa dilakukan pada semua tahap proses kebijakan. Pada
tahap agenda setting, analisis dilakukan untuk mengidentifikasi masalah publik dan
memobilisasi dukungan agar masalah publik tersebut menjadi kebijakan publik. Hasil analisis
tahap ini adalah daftar masalah publik yang menjadi agenda pemerintah. Analisis pada tahap
selanjutnya dilakukan untuk menemukan alternatif kebijakan publik dengan menentukan
tujuan, sasaran, program dan kegiatan. Hasil analisis tahap ini adalah pernyataan kebijakan
(policy statement) yang biasanya berupa peraturan perundangan. Analisis pada tahap
selanjutnya mencakup interpretasi dan sosialisasi kebijakan, merencanakan serta menyusun
kegiatan implementasi kebijakan. Hasil analisis pada tahap ini adalah aksi kebijakan (policy
action). Analisis berikutnya adalah evaluasi implementasi kebijakan dengan memperhatikan
tingkat kinerja dan dampak sebuah implementasi kebijakan. Hasil analisisnya berupa
informasi kinerja yang akan menjadi dasar tindakan apakah kebijakan tersebut akan
diteruskan atau sebaliknya.

Kegagalan sebuah kebijakan publik disebabkan oleh beberapa kesalahan antara lain
kesalahan dalam perumusan masalah publik menjadi masalah kebijakan, kesalahan dalam
formulasi alternatif kebijakan, kesalahan dalam implementasi atau kesalahan dalam evaluasi
kebijakan.

F. PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Merumuskan masalah kebijakan merupakan salah satu tahap yang sangat krusial dalam
mengkaji kebijakan publik karena banyak sekali perumusan kebijakan gagal menyelesaikan
persoalan publik karena cara yang digunakan untuk menyesaikan masalah tersebut salah,
melainkan disebabkan oleh masalah yang diselesaikan tidak tepat. Perumusan masalah publik
tidak bisa lepas dari dua hal, yaitu:

 Kelompok atau individu yang menyelesaikan masalah tersebut

Individu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah.


Perbedaan dalam merumuskan masalah akan berakibat pada macam atau jenis kebijakan yang
diambil.

 Kompleksitas dan sifat masalah

Kompleksitas masalah dapat dilihat dari pengaruh yang ditimbulkan dari masalah tersebut.
Proses perumusan masalah akan semakin rumit bila masalah tersebut melibatkan banyak
aktor.

G. AKTOR-AKTOR DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Aktor dalam perumusan kebijakan publik dikelompokkan menjadi dua, yaitu pemeran serta
resmi dan pemeran serta tidak resmi. Pemeran serta resmi terdiri dari :

 Badan-badan administrasi
 Presiden (eksekutif)
 Lembaga yudikatif
 Lembaga legislative

Pemeran serta tidak resmi terdiri dari :

 Kelompok-kelompok kepentingan
 Partai politik
 Warga Negara individu
H. KEBIJAKAN PUBLIK YANG IDEAL

Peran pemerintah dalam kebijakan publik sangat penting karena hanya pemimpinlah yang
mempunyai tugas pokok memastikan perumusan kebijakan dibuat sesuai dengan seharusnya.
Untuk dapat mengambil kebijakan secara bijaksana, seorang pemimpin yang unggul sangat
diperlukan dalam suatu pemerintahan. Karakter pemimpin yang unggul :

 Kreditabilitas

Pemimpin mempunyai keyakinan dan komitmen, integritas kejujuran, respek, kepercayaan


yang konsisten, keberanian, kemauan untuk bertanggung jawab atas keyakinan, ketenangan
batin, keahlian dan profesionalitas.

 Nilai

Tugas pemimppin adalah member value atau nilai bagi organisasi yang dipimpin.

 Teladan

Pemimppin dapat memberikan contoh, inspirasi dan dorongan. Keteladanan berarti simbol
kedewasaan, karena seorang yang menjadi teladan harus mampu memberikan toleransi,
kerendahan hati dan kesabaran.

 Harapan

Pemimpin memberikan harapan dengan membuka mata pengikutnya akan tantangan masa
depan dan cara mengatasinya.

Kebijakan publik yang ideal mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut :

 Cerdas

Cerdas berarti dapat memecahkan masalah pada intinya. Kecerdasan membuat pengambilan
keputusan kebijakan publik fokus pada isu kebijakan yang hendak dikelola dalam kebijakan
publik daripada popularitasnya sebagai pengambilan keputusan kebijakan.

 Bijaksana

Bijaksana bararti tidak menghasilkan masalah yang baru yang lebih besar dari masalah yang
dipecahkan. Kebijaksanaan membuat pengambil keputusan kebijakan publik tidak
menghindarkan diri dari kesalahan yang tidak perlu.

 Memberi harapan

Memberi harapan pada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok yang lebih
baik dari hari ini. Dengan member harapan, kebijakan publik berarti membangun kehidupan
yang produktif sehingga kebijakan dapat dilaksanakan secara self implementea atau
masyarakat secara mandiri termotifasi untuk melaksanakannya.
tugas take home teori kebijakan publik

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
mata kuliah Teori Kebijakan Publik ini.

Kebijakan adalah sebuah kegiatan pemahaman manusia mengenai pemecahan


masalah. Kebijakan dibuat untuk dapat membuat solusi akan problematika manusia yang
bermacam-macam. Pemerintah merupakan lembaga tinggi negara yang merupakan
pengambil alih kebijakan bagi rakyatnya, akan tetapi kadang kala kebijakan tersebut dapat
diterima dan kadang kala pun ditolak oleh masyarakat.
.
Penulis sadar bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, tugas ini tidak akan terwujud.
Oleh karena itu, sebagai tanda terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah Teori Kebijakan Publik.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belumlah sempurna, kritik dan Saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
.

Pontianak, 14 Januari 2016

Agatha Sinak
E.1051131043
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................1

1.1. Latar Belakang Masalah...................................................................1

1.2. Rumusan Masalah..............................................................................2

1.3. Tujuan Dan Manfaat..........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................... 3

2.1. Teori Kebijakan Publik………………………………………………3

2.2. Teori Siklus Kebijakan…………………………………………….....7

BAB III PENUTUP....................................................................................27

3.1. Kesimpulan..........................................................................................27

3.2. Saran…………………………………………………………….…...28

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………29

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan publik, hadir dengan tujuan tertentu, yaitu mengatur kehidupan bersama
untuk mencapai tujuan (misi dan visi) bersama yang telah disepakati. Kebijakan publik
merupakan jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan, Jika cita-cita bangsa
Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan
UUD RI 1945 (negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum dan tidak
semata-mata kekuasaan), maka kebijakan publik adalah seluruh prasarana
(jalan,jembatan,dan sebagainya) dan sarana (mobil,bahan bakar, dan sebagainya) untuk
mencapai ‘tempat tujuan’ tersebut.
Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul diperlukan pengambilan
kebijakan yang tepat, sehingga kebijakan tersebut tidak menimbulkan permasalahan baru.
Pengambilan suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis yang cukup jeli, dengan
menggunakan berbagai model serta pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan
dipecahkan.

Untuk bisa mengambil kebijakan yang sesuai dengan permasalahan yang ada,
dipandang sangat perlu bagi pengambil kebijakan untuk mengerti serta memahami berbagai
model dan pendekatan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan suatu
kebijakan.

Analisis kebijakan menurut Dunn (1994) merupakan suatu aktivitas intelektual dan
praktis yang dimaksudkan untuk menciptakan, memberi penilaian kritis, dan
mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan, sedangkan
menurut Quade (1984) dalam Effendi (2000), analisis kebijakan adalah suatu bentuk
penilaian terapan yang digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang isu-isu sosioteknis
dan memperoleh solusi yang lebih baik, sedangkan menurut Weimer dan Vining (1988),
analisis kebijakan merupakan advice yang berorientasi pada masyarakat yang relevan dengan
keputusan publik dan dibentuk berdasarkan nilai-nilai sosial.

Secara luas lebih lanjut Dunn (1994) mendefinisikan analisis kebijakan publik adalah
satu diantara sejumlah aktor lainnya dalam sistem kebijakan, suatu sistem kebijakan (policy
sistem) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup
hubungan timbal balik antara ketiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan
lingkungan kebijakan
1.2. Rumusan Masalah
a. apa yang dimaksud dengan Teori Kebijakan Publik?
b. apa saja yang dibutuhkan dalam membuat kebijakan public?
c. siapa pelaku pembuatan kebijakan public?

1.3. Manfaat dan Tujuan Masalah


a. Menambah wawasan, pengetahuan dan informasi mengenai teori kebijakan public.
b. Untuk mengetahui apa saja yang terdapat dalam kebijakan publik sehingga kebijakan
tersebut sangat di butuhkan dalam masyarakat.
c. Untuk mengetahui apa saja yang digunakan dalam pembentukan kebijakan serta untuk
mengetahui pelaku pembuatan kebijakan publik dan lain-lainnya.

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Teori Kebijakan Publik
Kebijakan public merupakan keputusan atau peraturan yang dibuat oleh yang
berwenang untuk mengatasi masalah public, sehingga diharapkan tujuan organisasi dapat
tercapai dengan baik. Cirri-ciri utama kebijakan public adalah suatu peraturan atau ketentuan
yang diharapkan dapat mengatasi masalah public. Cochram dan Malone mengemukakan
“public policy the is stady of gaverments decision and action designed to deal with matter of
public concern”.
Kebijakan Publik merupakan suatu aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan
merupakan bagian dari keputusan politik untuk mengatasi berbagai persoalan dan isu-isu
yang ada dan berkembang di masyarakat. Kebijakan publik juga merupakan keputusan yang
dibuat oleh pemerintah untuk melakukan pilihan tindakan tertentu untuk tidak melakukan
sesuatu maupun untuk melakukan tidakan tertentu.

Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara sering terjadi
berbagai permasalahan. Negara yang memengang penuh tanggung jawab pada kehidupan
rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan
publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara diharapkan dapat menjadi solusi akan
permasalahan yang terjadi.

Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi
permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi permasalahan yang
ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan seperti apa kebijakan publik itu
sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik.

1. Thomas R. Dye (1981)


Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh
pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini memiliki ruang lingkup yang
sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian.

2. Easton (1969)
Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk
seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah
yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan
bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian
nilai-nilai kepada masyarakat.

3. Dye (1978)
Mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever governments choose to do or not
to do.”, yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik sebagai suatu upaya untuk mengetahui
apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa
yang menyebabkan mereka melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan bahwa
apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut harus
memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan
hanya merupakan keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena
sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar
dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.

4. David Easton
Mendefinisikan public policy sebagai : “The authoritative allocation of value for the
whole society, but it turns out that only theg overnment can authoritatively act on the ‘whole’
society, and everything the government choosed do or not to do result in the allocation of
values.” Maksudnya, public policy tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah,
akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah karena keduanya sama-sama
membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan.

5. Chief J.O. Udoji (1981)


Mendefinisikan kebijaksanaan publik sebagai “ An sanctioned course of action
addressed to a particular problem or group of related problems that affect society at large.”
Maksudnya ialah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang
diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang
mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.

Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan
Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang
menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian
disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan
persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects,
motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002).

Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu
kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu,
dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai
serangkaian kegiatan yang meliputi:

1. pembuatan kebijakan,
2. pelaksanaan dan pengendalian, serta
3. evaluasi kebijakan.

Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam
proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung,
yaitu :

1. penyusunan agenda,
2. formulasi kebijakan,
3. adopsi kebijakan,
4. implementasi kebijakan, dan
5. penilaian kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut:
Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat
persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab
akibat.

1. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui
kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
2. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin
diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
3. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi
yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk,
misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
4. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk
menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain
kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
5. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan
tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan
setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
6. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif
kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan
kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

Menurut Nakamura dan Smallwood dalam bukunya yang berjudul The Politics of Policy
Implementation, melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungannya yaitu :

1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),


2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.

Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti kebijakan publik
adalah :

“Serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang
mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (A set of
instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean
for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri
dari lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura,
1980:31).

2.2. Teori Siklus Kebijakan


Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam lima tahap, yaitu : tahap pertama
ialah penyusun agenda, tahap kedua melalui formulasi kebijakan, tahap ketiga berupa adopsi
kebijakan, tahap keempat implementasi kebijakan dan tahap kelima adalah tahap penilaian
atau evaluasi kebijakan. Kelima tahapan tersebut menjadi urutan hierarki sehingga semua itu
perlu dikelola dan dikontrol oleh pembuat dan pelaksana kebijakan public. Tanpa adanya
kepemimpian yang professional dan bertanggung jawab maka bukan kesuksesan yang
diperoleh melainkan kebijakan yang membawa kerugian bagi public.

Dunn merumuskan ada 5 tahap dalam membuat kebijakan (public policy) yaitu,
pertama penyusunan agenda kebijakan, kedua penyusunan formula kebijakan (sanse policy) ,
ketiga penerapan kebijakan (policy implementation), keempat proses evaluasi dan kelima
tahap penilaian atau evaluasi kebijakan.

Dalam proses penyusunan kebijakan dapat melibatkan tiga elemen kelembagaan dari
eksekutif, legislative dan pihak lainnya yang terkait seperti asosiasi profesi serta lembaga
swadaya masyarakat. Sehingga seluruh elemen tersebut merupakan pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam kebijakan public.

Aktor Dan Pelaku Pembuat Kebijakan


a. Legislatif
Legislatif berhubungan dengan tugas politik sentral dalam pembuatan peraturan dan
pembentukan dalam pembuatan peraturan dan pembentukan kebijakan dalam suatu sistem
politik. Legislatif ditunjuk secara formal yang mempunyai fungsi memutuskan keputusan-
keputusan politik secara bebas. Dalam melakukan penetapan perundangan, parlemen
mempunyai peran sentral dalam mempertimbangkan, meneliti, mengoreksi sampai
menyebarluaskan kebijakan kepada masyarakat. Di Negara-negara komunis, legislatifnya
hanya melakukan ratifikasi atau konfirmasi atas keputusan yang telah dibuat oleh pejabat
tinggi dalam partai komunis.

b. Eksekutif
Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran yang sangat penting dalam
pembuatan kebijakan public. Keterlibatan presiden dalam pembuatan kebijakan dapat dilihat
dalam komisi-komisi presidensial atau dalam rapat-rapat kabinet. Dalam beberapa kasus,
presiden terlibat secara personal dalam pembuatan kebijakan. Selain keterlibatan secara
langsung, kadangkala presiden juga membentuk kelompok-kelompok atau komisi-komisi
penasehat yang terdiri dari warga Negara swasta maupun pejabat-pejabat yang ditunjuk untuk
menyelidiki kebijakan tertentu dan mengembangkan usulan-usulan kebijakan.

c. Yudikatif
Lembaga yudikatif mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk mempengaruhi
kebijakan public melalui pengujian kembali suatu undang-undang atau peraturan . (melalui
peninjauan yudisial dan penafsiran undang-undang). Tinjauan yudisial merupakan kekuasaan
pengadilan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh eksekutif atau
legislatif sesuai dengan konstitusi atau tidak. Bila keputusan-keputusan terseut bertentangan
dengan konstitusi, maka yudikatif berhak membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap
peraturan perundangan yang sudah ditetapkan.

d. Intansi Administrasi
Meskipun terdapat suatu doktrin dalam ilmu politik bahwa intansi administrasi hanya
dipengaruhi kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah, namun saat ini diakui bahwa politik
dan administrasi dapat berbaur dan intansi administrasi sering terlibat dalam pengembangan
kebijakan public. Konsep administrasi baru---- New Public Administratian (George
Frederickson:1980) tidak lagi membahas dikotomi administrasi public dengan politik Dalam
masyarakat pasca-industri seperti saat ini dimana keberagaman (pluralitas) menjadi hal yang
lumrah, teknis dan kompleksitas maslah kebijakan pun bertambah luas sehingga
memungkinkan adanya penyerahan kekuasaan yang lebih luas secara foramal pada intansi
administrasi terkait. Hal inilah yang memberikan kesempatan yang lebih luas kepada intansi
administrasi untuk menjadi actor dalam kebijakan.
e. Kelompokan Kepentingan
Hampir di semua sistem politik di dunia, kelompok kepentingan mempunyai fungsi
mempertemukan kepentingan “warga tertentu” yang tidak hanya mengemukakan tuntunan
dalam dukungan tetapi juga memberikan alternatif bagi tindakan kebijakan. Mereka member
banyak informasi kepada pejabat public, yang bahkan seringkali pada hal-hal yang bersifat
teknis, mengenai sifat dan akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu usulan kebijakan. Dalam
hal ini mereka memberikan rasionalitas pembuatan kebijakan. Kelompok kepentingan
merupakan sumber utama pemertintah dalam memproses kebijakan publik.
f. Partai Politik
Selain berfikir untuk memperoleh kekuasaan partai politik juga berusaha
menghasilkan kebijakan publik yg menguntungkan bagi konsistuensinya, manakala mereka
memenang kan pemilihan umun. Ketika partai politik sudah duduk diparlemen, mereka
sering memberikan suara yang berhubungan dengan posisi kebijakan partai, hal ini
menunjukkan posisi tawar yang cukup besar ketika mereka mengusulkan kebijakan-
kebijakan. Pada masyarakat pascamodern seperti saat ini umumnya partai politik menerapkan
fungsi sebagai “kumpulan kepentingan”, yaitu mereka berusaha untuk mengubah permintaan
khusus dari kelompok kepentingan menjadi usulan kebijakan atau bahkan alternatif
kebijakan.
g. Warga Negara
Meskipun tugas untuk membuat kebijakan biasanya diberikan kepada pejabat publik,
namun dalam beberapa kejadian warga Negara sebagai individu masih mempunyai peluang
untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijakan. Dalam tatar ormatif
demokratik, warga Negara mempunyai kewajiban untuk didengarkan dan pejabat mempunyai
kewajiban untuk mendengarkan.

1. Agenda Setting/Penetapan Agenda


Penetapan agenda adalah proses dimana masalah dan solusi alternative memperoleh
atau kehilangan perhatian public dan elit. Persaingan kelompok untuk menetapkan agenda
adalah sengit karena tidak ada masyarakat atau lembaga politik mempunyai kapasitas untuk
menanggani semua alternatif yang mungkin untuk semua masalah yang mungkin timbul
sekaligus (Hilgartner dan Bosk 1988).

Pada tahap penetapan agenda kebijakan, ditentukan apa yang menjadi masalah publik
yang perlu dipecahkan, hakekat permasalahan ditemukan melalui proses yang dikenal dengan
namaproblem structuring. Menurut Peter (1984), bahwa suatu isu kebijakan dapat masuk
menjadi agenda kebijakan apabila isu tersebut : 1) Memiliki efek yang besar terhadap
masyarakat; 2) Membuat analogi dengan cara mengkiaskannya dengan kebijakan yang telah
ada; 3) Menghubungkannya dengan simbol-simbol (nasional/ politik); 4) Terjadinya market
failure dan ; 5) Ketersediaan Teknologi bagi penyelesaian masalah tersebut.
Problem structuring didasarkan pada 4 fase pencarian masalah, menurut Dunn (1994)
fase tersebut adalah : pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem
definition), spesifikasi masalah (problem sfecification), dan pengenalan masalah (problem
sensing). Sedangkan untuk merumuskan masalah dapat digunakan berbagai metode yaitu :
analisis batasan masalah, analisis klasifikasi, analisis hirarkis, sinektik, brainstorming,
analisis multi persfektif, analisis asumsional, serta pemetaan argumentasi.

2. Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan
publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat
menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang.
Oleh sebab itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan
melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi
kebijakan publik yang baik adalah formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada
implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa
formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-
pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan
publik yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus
alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang
dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah
asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang ada
dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).

Solichin menyebutkan, bahwa seorang pakar dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981)
merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan negara dalam hal ini adalah formulasi
kebijakan sebagai :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions
into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions
or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation,
monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian
dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah
dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem
politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih,
pengesahan dan pelaksanaan/implementasi monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik)
(Dalam Solichin. 2002:17).

Dalam formulasi kebijakan publik terdapat empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan
dalam formulasi kebijakan publik dimana sudah dikenal secara umum oleh khalayak
kebijakan publik yaitu :

a) Pendekatan Kekuasaan dalam pembuatan Kebijakan Publik


b) Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
c) Pendekatan Pilihan Publik dalam Pembuatan Kebijakan Publik

3. Adopsi Kebijakan
Adopsi kebijakan merupakan tahap dimana ditentukan pilihan-pilihan kebijakan
melalui dukungan stakeholders, tahap ini detentukan setelah melalui proses rekomendasi,
menurut Effendi (1999) langkah rekomendasi meliputi :
a) Pengidentifikasian alternatif – akternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk
merealisasikan masa depan yang diinginkan yang merupakan langkah terbaik dalam upaya
mencapai tujuan tertentu.
b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria untuk menilai alternatif yang akan direkomendasikan.
c) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan criteria-kriteria yang relevan
agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar dari efek negatif yang akan
ditimbulkannya.

Lebih lanjut Effendi (1999), mengemukakan metode identifikasi alternatif kebijakan adalah
sebagai berikut :
1. Researched analysis and experimentation.
2. Analisis tidak bertinda.
3. Quick surveys
4. Review literature
5. Perbandingan dengan pengalaman dunia nyata
6. Passive collection and classifikasi
7. Tipologi
8. Analogi
9. Brainstorming
10. Perbandingan ideal
Untuk menyeleksi atau memilih alternatif kebijakan yang ada diperlukan kriteria
relevan yang standar, dengan menerapkan kriteria tersebut seorang analis dapat
merekomendasikan alternatif mana yang paling baik untuk mencapai tujuan kebijakan,
berkaitan dengan hal tersebut Patton dan Sawicki (1988) dalam Keban ( 1999)
mengemukakan beberapa kriteria penting yang biasa digunakan yaitu: Technical Feasibility,
Political Viability, Economic and Financial Possibility dan Administrative Operability.

Technical Feasibility mengukur apakah keluaran (outcome) dari kebijakan atau


program dapat mencapai tujuan yang ditetapkan, dalam kriteria ini ada dua subkriteria pokok
yang dibahas yaitu Effectiveness dan Adequacy, Effectiveness menyangkut sejauh mana
kebijakan atau program mencapai apa yang diinginkan, sedangkan Adequacy menyoal
sampai seberapa jauh kebijakan/program yang disarankan akan mampu memecahkan
persoalan baik keseluruhan ataupun sebagian.

Economic and Financial Possibility menyangkut evaluasi ekonomis dari policy atau
program yang ada, yang meliputi aspek perubahan dalam nilai seperti perubahan asset
ekonomis, GDP, Human Capital, dan non human resources lainnya, aspek Economis
Efficiency, aspek Profitability dan aspek Cost-Effectiveness.

Political Viability menyangkut 5 subkriteria yang harus diperhatikan yaitu


Acceptability yang menyangkut apakah suatu alternatif kebijakan dapat diterima oleh aktor-
aktor politik dan para klien dan aktor-aktor lainnya dalam masyarakat, Appropriateness
berkenaan dengan apakah suatu alternatif kebijakan tidak merusak atau bertentangan dengan
nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat, Responsiveness berkenaan dengan apakah suatu
alternatif kebijakan akan memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada, Legal dalam pengertian
apakah suatu alternatif kebijakan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
berlaku, serta Equity yang mengacu pada kriteria alternatif kebijakan yamg dipilih apakah
akan menciptakan keadilan dan pemerataan dalam masyarakat.

Kriteria terakhir adalah Administrative Operability yang menyangkut penilaian pada


beberapa elemen Administrative seperti Authority yang berkenaan dengan kewenangan
mengimplementasi suatu kebijakan atau program, Institusional Comitment yang menyangkut
kesamaan komitment dari administrator level atas sampai bawah, Capability berkenaan
dengan kemampuan skill dan staff serta financial suatu implementor agent, dan
Organizational Support yang berkaitan dengan ada atau tidaknya dukungan peralatan,
fasilitas fisik dan pelayanan- pelayanan lainnya terhadap alternatif kebijakan.

Adapun teknik yang paling praktis untuk memilih dan merekomemdasikan suatu
alternatif kebijakan adalah dengan mengunakan sitem rangking (Keban,1999), dimana total
skor yang paling sedikit akan dianggap yang paling baik, ataupun dengan menggunakan
sistem indeks untuk masing-masing alternatif, sehingga indeks yang tertinggi akan menjadi
alternatif terbaik.

4. Implementasi
Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar
bersangkutan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-
prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh karena itu
tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari
keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan tidak akan ada manfaatnya
bila tidak dapat diterapkan sesuai dengan rencana. Penerapan adalah suatu proses yang tidak
sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji mengatakan dengan tegas bahwa “The
execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policy will
remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan
kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada
pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus
yang tersimpan rapih dalam arsip jika tidak diimplementasikan). Oleh karena itu
implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada
semangat kompetensi dan berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang terlibat baik tenaga
kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif dalam proses
perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan dan
tindakan yang mampu untuk meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk
membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang
menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah terutama


dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat sebuah kebijakan publik yang
baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang
memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya adalah
kesulitan dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang dapat menyebabkan konflik
yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter
dan Van Horn yang dikutip oleh Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah :

“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan sampai tercapainya hasil kebijakan”.
Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation
encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the
achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini memberikan
makna bahwa implementasi kebijakan adalah keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan
baik oleh individu-individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan)
(Dalam Fadillah, 2001:81).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua tindakan
yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.

Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi di Tiga Kota,
Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa untuk mengukur kinerja
implementasi kebijakan menurut pendapat Keban yang dikutip dari pendapat Van Meter dan
Van Horn yang menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar dan
sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada
dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut”. Lebih
sederhana lagi kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degree of
accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yang dapat
meningkatkan kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut
adalah standar dan sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi dan pengukuran aktivitas,
karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik,
sumber daya, sikap pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja untuk menilai derajat pencapaian standar dan sasaran
kebijakan dapat dijelaskan bahwa kegiatan itu melangkah dari tingkat kebijakan yang masih
berupa dokumen peraturan menuju penentuan standar spesifik dan kongkrit dalam menilai
kinerja program. Dengan standar dan sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan
program yang telah dicapai.

Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan
(Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga faktor yaitu :

1) Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strect level
bereau cratsterhadap atasan mereka.
2) Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.
3) Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama
kelompok penerima manfaat yang diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas merupakan suatu kepastian dalam menilai keberhasilan
suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya salah satu faktor mempengaruhi
sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.

Kemudian sebaliknya Jam Marse mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat
menimbulkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:

1) Isu kebijakan. Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ketidaktetapan atau ketidak
tegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan
yang menyangkut sumber daya pembantu.
2) Informasi. Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang
kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan
yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
3) Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya tidak
cukup dukungan untuk kebijakan tersebut

(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam proses implementasi kebijakan
sebelumnya harus sudah difikirkan dalam merumuskan kebijakan, sebab tidak tertutup
kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian besar terletak pada awal
perumusan kebijakan oleh pemerintah sendiri yang tidak dapat bekerja maksimal dan bahkan
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa model implementasi kebijakan yang relatif
baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli.

Pertama, model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn (1978;
1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”, menurutnya untuk
mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna maka diperlukan beberapa
persyaratan tertentu, syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan
gangguan/kendala yang serius
2) Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai
3) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
4) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal
5) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya
6) Hubungan saling ketergantungan harus sedikit
7) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
8) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
9) Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
10) Pihak-pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
(Dalam Solichin, 2002:70-78)

Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), yang disebut
sebagai A model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan)
dimana dalam teorinya beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam
proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan.
Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan
antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan
kebijakan dengan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan pula pendiriannya
bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam
prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha membuat
tipologi kebijakan sebagai berikut :

1) Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,


2) Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat
dalam proses implementasi
Alasan yang dikemukakannya ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh
dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan
akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan
terhadap tujuan — terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relatif
tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).

Ketiga, model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sbatier yang
disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis implementation). Kedua
ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan negara
ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan
formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu :

1) Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan


2) Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasinya; dan
3) Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan
yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut. (Dalam Solichin, 2002:81).

5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan dalam perspektif alur proses/siklus kebijakan publik, menempati
posisi terakhir setelah implementasi kebijakan, sehingga sudah sewajarnya jika kebijakan
publik yang telah dibuat dan dilaksanakan lalu dievaluasi. Dari evaluasi akan diketahui
keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan, sehingga secara normatif akan diperoleh
rekomendasi apakah kebijakan dapat dilanjutkan; atau perlu perbaikan sebelum dilanjutkan,
atau bahkan harus dihentikan. Evaluasi juga menilai keterkaitan antara teori (kebijakan)
dengan prakteknya (implementasi) dalam bentuk dampak kebijakan, apakah dampak tersebut
sesuai dengan yang diperkirakan atau tidak. Dari hasil evaluasi pula kita dapat menilai
apakah sebuah kebijakan/program memberikan manfaat atau tidak bagi masyarakat yang
dituju. Secara normatif fungsi evaluasi sangat dibutuhkan sebagai bentuk pertanggung-
jawaban publik, terlebih di masa masyarakat yang makin kritis menilai kinerja pemerintah.
Evaluasi kebijakan dilakukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik
untuk dipertanggung jawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Menurut Winarno (2008:225) Bila kebijakan dipandang sebagai suatu pula kegiatan
yang berurutan, maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan.
Namun demikian, ada beberapa ahli yang mengatakan sebaliknya bahwa evaluasi bukan
merupakan tahap akhir dari proses kebijakan publik. Pada dasamya, kebijakan publik
dijalankan dengan maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari
masalah-masalah yang telah dirumuskan sabelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak semua
program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi, kebijakan publik
gagal meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
sSecara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.
Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya,
evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam
seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap
perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. Putra
(2003:100-101) mengemukakan tiga macam evaluasi kebijakan publik, yaitu: (1) evaluasi
administratif, yaitu evaluasi yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan atau di dalam
instansi-instansi. Sorotan dari evaluasi ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan prosedur
kebijakan publik dan aspek finansial; (2) evaluasi yudisial; yaitu evaluasi yang berkaitan
dengan objek-objek hukum. Apakah terdapat pelanggaran hukum atau tidak dari kebijakan
publik yang sedang dievaluasi tersebut; (3) evaluasi politik, yaitu evaluasi yang menyangkut
pertimbangan-pertimbangan politik dari suatu kebijakan.
Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian
kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975). Evaluasi
kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak
hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan.
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing
menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Evaluasi
mencakup kesimpulan + klarifikasi + kritik + penyesuaian dan perumusan masalah kembali.

Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang
berbeda :
a. Untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan
dengan cara menggambarkan dampaknya.
b. Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standard atau
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan sebagai berikut, yaitu:
1. Evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan,
yaitu, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu
(misalnya, perbaikan kesehatan) dan target tertentu.
2. Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan
tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan
dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan
tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai maupun landasan mereka
dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomis, legal, sosial, substantif).
3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya,
termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja
kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai
contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang. Evaluasi
dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan
dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus
dan diganti dengan yang lain.

Empat Fungsi Evaluasi Kebijakan Publik


1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat
suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang
diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor
yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang
ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan
kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan
tersebut.
Tujuan Evaluasi
1. Mengukur efek suatu program/kebijakan pada kehidupan masyarakat dengan
membandingkan kondisi antara sebelum dan sesudah adanya program tersebut. Mengukur
efek menunjuk pada perlunya metodologi penelitian. Sedang membandingkan efek dengan
tujuan mengharuskan penggunaan kriteria untuk mengukur keberhasilan.

2. Memperoleh informasi tentang kinerja implementasi kebijakan dan menilai


kesesuaian dan perubahan program dengan rencana.
3. Memberikan umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan
implementasi.
4. Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan untuk pembuatan keputusan lebih
lanjut mengenai program di masa datang
5. Sebagai bentuk pertanggung-jawaban public/ memenuhi akuntabilitas public.
6. Menentukan tingka kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui
derajat pencapain tujuan dan sasaran.
7. Mengukur tingkat keluaran (out come). Suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi
adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu
kebijakan.
8. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujuakn untuk
melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.
9. Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk
mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara
membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.
10. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari
evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar
dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

Tipe Evaluasi Kebijakan


James Anderson membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe:
a. Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Menyangkut prihal kepentingan
(interest) dan ideologi dari kebijakan.
b. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu.
c. Evaluasi kebijakan sistematis. Melihat secara obyektif program–program kebijakan yang
dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-
tujuan yang telah dinyatakan tersebut dicapai. Menjawab kontribusi dampak dalam menjawab
kebutuhan masyarakat.
Evaluasi Kinerja kebijakan diakukan untuk menilai hasil yang dicapai oleh suatu
kebijakan setelah dilaksanakan. Hasil yang dicapai dapat diukur dalam ukuran jangka
pendek atau output, jangka panjang atau outcome. Evaluasi kinerja kebijakan dengan
melakukan penilaian komprehensif terahadap:
1. Pengcapain target (output)
2. Pencapai tujuan kebijakan (outcome)
3. Kesenjangan (gap) antar target dan tujuan dengan pencapaian
4. Perbandingan (benchmarking) dengan kebijakan yang sama di tempat lain yang berhasil.
5. Indentifikasi faktor pendukung keberhasilan dan kegagalan sehingga menyebabkan
kesenjangan, dan memberikan rekomendasi untuk menanggulangi kesenjangan.

Dimensi Evaluasi
Secara garis besar ada dua dimensi penting yang harus diperoleh informasinya dari studi
dievaluasi dalam kebijakan public adalah sebagai berikut :
1. Evaluasi kinerja pencapaian tujuan Kebijakan, yakni mengevaluasi kinerja orang-orang yang
bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan. Darinya kita akan memperoleh jawaban
atau informasi mengenai kinerja implementasi, efektifitas dan efisiensi, dlsb yang terkait.
2. Evaluasi kebijakan dan dampaknya, yakni mengevaluasi kebijakan itu sendiri serta kandungan
programnya. Darinya kita akan memperoleh informasi mengenai manfaat (efek) kebijakan,
dampak (outcome) kebijakan, kesesuaian kebijakan/program dengan tujuan yang ingin
dicapainya (kesesuaian antara sarana dan tujuan), dll

Pendekatan evaluasi
1. Evaluasi semu. Evaluasi semu (pseudo evaluation) adalah pendekatan evaluasi yang
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid
mengenai hasil-hasil kebijakan, tanpa mannyakan manfaat atau nilai dari hasil kebijkaan
tersebut pada individu, kelompok atau masyarakat. Asumsi yang digunakan adalah bahwa
ukuran tentang manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang terbukti dengan sendirinya atau
tidak kontroversial.
2. Evaluasi formal. Adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan
berdasarkan sasaran program kebijakan yang telah ditetapkan secara formal oleh pembuat
kebijakan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa sasaran dan target yang ditetapkan secara
formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk melihat manfaat atau nilai dari program
dan kebijakan.
3. Evaluasi keputusan teoritis. Adalah pendekatan evaluasi yang menggunakan metode deskriptif
untuk menghasilkan informasi yang dapat dipercaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan
yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai stakeholder. Dalam hal ini, evaluasi keputusan
teoritik berusaha untuk menentukan sasaran dan tujuan yang tersembunyi dan dinyatakan
oleh para stakeholder.

Langkah Evaluasi
Edward A. Schuman mengemukakan 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan Standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau
karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.

BAB III PENUTUP


3.1.KESIMPULAN
Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi
permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam lima tahap, yaitu : tahap pertama
ialah penyusun agenda, tahap kedua melalui formulasi kebijakan, tahap ketiga berupa adopsi
kebijakan, tahap keempat implementasi kebijakan dan tahap kelima adalah tahap penilaian
atau evaluasi kebijakan.
Dalam rangka memecahkan masalah ada beberapa tahap penting dari kebijakan publik
antara lain (Dunn, 1994) yaitu: penetapan agenda kebijakan (agenda setting), Formulasi
kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan (policy adoption), implementasi
kebijakan (policy implementation), dan penilaian kebijakan ( policy assesment),
dimana tahap-tahap tersebut akan dibahas sebagai berikut :
1. Penetapan agenda adalah cara yang sangat bermanfaat untuk mulai memahami bagaimana
kelompok, kekuasaan, dan agenda berinteraksi untuk menetapkan batas-batas perdebatan
kebijakan public.
2. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik
secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat menentukan
berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang.
3. Adopsi kebijakan merupakan tahap dimana ditentukan pilihan-pilihan kebijakan melalui
dukungan stakeholders, tahap ini detentukan setelah melalui proses rekomendasi
4. Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar
bersangkutan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-
prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Implementasi
kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan
kebijakan dan dampak aktualnya.
5. Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975). Evaluasi kebijakan
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya
dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan. Menurut W.
Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada
aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Evaluasi mencakup
kesimpulan + klarifikasi + kritik + penyesuaian dan perumusan masalah kembali. Evaluasi
kebijakan dilakukan untuk menilai sejauhnmana keefektifan kebijakan publik untuk
dipertanggung jawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

3.2. SARAN
Saran sebagai penulis, saya mengharapkan pemerintah mampu membuat kebijkan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kondisi masyarakat serta tepat sasarannya. Agar
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, rakyat secara merata mendapatkan perhatian. Hal ini
guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat perbatasan yang
jauh tertinggal. Perbaikan infrastruktur yang memadai merupakan akses penting bagi
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku

Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik: formulasi, implementasi, dan evaluasi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Frank Fischer; Gerald J. Miller; Mara S. Sidney. Cetakan I, Februari 2015. HANDBOOK ANALISIS
KEBIJAKAN PUBLIK: Teori, Politik dan Metode. Bandung: Nusa Media.

Formulasi Kebijakan

Diposkan oleh syamsuri di 21.02 | Jumat, 01 Juni 2012 | 1 komentar


Label: Formulasi Kebijakan

Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang
paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila
tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau
program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada
ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2). Tjokroamidjojo (Islamy;
1991, 24) mengatakan bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan kebijakan
merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus
menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan
keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik), Udoji (Wahab ;
2001, 17) merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions
into political demands, channelling those demands into the political systems, seeking
sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and
implementation, monitoring and review (feedback)”.
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi
sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir
(penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap
ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.

Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989, 53), dapat dipandang
dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa
yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk
memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan
yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya
diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu
keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk
menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan
pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam
tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan
kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
a. Perumusan masalah kebijakan.
Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapat
menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak
hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh
masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut
dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa
berubah menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai
sesuatu masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political will
untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi positif
oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi
problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya
menjadi kebijakan publik, maka langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat
kebijakan adalah mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian membuat
perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut. Kegiatan ini merupakan
upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan
memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan
sifat proses perumusan kebijakan.
b. Penyusunan agenda pemerintah.
Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para
pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya
memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif, sehingga biasanya
agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit dan terbatas jumlahnya.
Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan problem-
problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
 Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group equlibirium),
dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan menuntut tindakan
pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
 Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan
agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas pertimbangan
keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan kepentingan umum,
sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskan dan
mengusulkan usaha pemecahannya.
 Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian besar dari
masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk memperhatikan secara
seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda
pemerintah.
 Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga menarik perhatian
para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam agenda pemerintah.
 Masalah-masalah khusus atau isyu-isyu politis yang timbul dalam masyarakat, sehingga
menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai sorotan. Hal ini dapat
menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi
perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isyu tersebut.
Sedangkan Jones (1977, 32) mengajukan suatu pedoman untuk meneliti atau mempelajari
tentang syarat-syarat suatu problem publik dapat masuk ke dalam agenda pemerintah,
yakni :
 Dilihat dari peristiwanya, yang meliputi ruang lingkup, persepsi masyarakat, definisi dan
intensitas orang-orang yang dipengaruhi oleh peristiwa tersebut.
 Organisasi kelompok, yang meliputi luasnya anggota kelompok, struktur kelompok dan
mekanisme kepemimpinan.
 Cara mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.
 Proses kebijaksanaan, yang meliputi struktur, kepekaan dan kepemimpinan.
Selanjutnya, setelah problem publik tersebut dimasukkan ke dalam agenda pemerintah,
maka para pembuat keputusan memprosesnya kedalam fase-fase, yang oleh Jones (ibid)
dibagi kedalam 4 (empat) tahap, yakni : (1) problem definition agenda yaitu hal-hal
(problem) yang memperoleh penelitian dan perumusan secara aktif dan serius dari para
pembuat keputusan ; (2) proposal agenda, yaitu hal-hal (problem) yang telah mencapai
tingkat diusulkan, dimana telah terjadi perubahan fase merumuskan masalah kedalam fase
memecahkan masalah ; (3) bargaining agenda, yaitu usulan-usulan kebijakan tadi
ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius ; dan (4) continuing
agenda, yaitu hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus menerus.
c. Perumusan usulan kebijakan
Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang
perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :
 Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem
yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif kebijakan yang telah pernah
dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya baru maka para pembuat kebijakan
dituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru
sehingga masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang
benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan
alternatif.
 Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing alternatif yang
telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas
alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan
mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
 Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas
bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-
masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif
maka para pembuat keputusan dapat memutuskan alternatif mana yang lebih
memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap
berbagai alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang
relevan.
 Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang memuaskan atau
yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat
kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif
yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah
diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan
alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa
pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang
dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang
akan memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi dari pilihannya.
d. Pengesahan kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan
penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming
to recognized principles or accepted standards). Landasan utama untuk melakukan
pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara,
sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan
bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai “Usaha-usaha untuk
meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang, sehingga
mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri”. Sedangkan Bergaining diterjemahkan
sebagai “Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau
otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak
mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima
bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi mereka”. Yang termasuk ke dalam kategori
bargaining adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give)
dan kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya saling
melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat
memperlancar proses pengesahan kebijakan.

Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa komponen
(unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga membentuk pola sistemik berupa
input – proses – output – feedback. Menurut Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang
terdapat dalam proses formulasi kebijakan adalah :
a. Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan secara terorganisasi dan
berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan tertentu, sehingga pada akhirnya akan
menciptakan norma-norma bertindak bagi sistem kebijakan. Jika pada tahap awal
tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk
menentukan tindakan apa yang akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada
giliran berikutnya, ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan
tadi akan mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem.
b. Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan memberikan
dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan yang dihasilkan oleh
sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap perumusan kebijakan dengan
tuntutan yang bersifat intern, dalam artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk
menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut
pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau
karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan
bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main,
yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini
komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma
bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena
diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi
norma bersama.
c. Orientasi nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan proses mengidentifikasi
dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian menentukan nilai-nilai yang
relevan dengan kepentingan masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan
mempunyai implikasi nilai, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-
aktor yang berperan dalam formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya
keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or
balancing interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer), yakni mampu
menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang didasarkan pada penilaian-
penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang maksimal.

Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang dilakukan secara ajeg dengan
melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian tindakan dalam
memecahkan problem publik melalui identifikasi dan analisis alternatif, tidak terlepas dari
nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor dalam proses tersebut. Anderson (1966),
Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994, 21) mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang
mempengaruhi tindakan dari para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan
dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yakni :
a. Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik
atau kelompok kepentingan tertentu.
Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi
kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu
tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan
politik itu dari proses pembuatan kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan
miskin aspek lapangannya sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari
aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah
proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor kekuasaan, dimana
sumber-sumber kekuasaan itu berasal dari strata social, birokrasi, akademis,
profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.
b. Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang
dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat
mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. Pada tataran ini,
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para stakeholders lebih dipengaruhi serta dimotivasi
oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga pada gilirannya, produk-produk
kebijakan yang dihasilkan lebih mengakomodasi kepentingan organisasi mereka ketimbang
kepentingan publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah
perangkat sistemik yang mampu mengeliminir kecenderungan tersebut.
c. Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang
dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi,
kekayaan dan sebagainya.
Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih dipahami sebagai suatu proses yang
terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal.
Fokus dari pandangan ini adalah siapa mendapatkan nilai apa, kappa ia mendapatkan nilai
tersebut dan bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.
d. Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan
tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dan dapat
dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini adalah nilai moral, keadilan,
kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain. Pandangan iniu melihat bagaimana
pembuat kebijakan sebagai personal mampu merespon stimulasi dari lingkungannya.
Artinya, di sini, akan banyak terlihaty tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan
mengenali masalah, bagaimana mereka menggunakan informasi yang mereka miliki,
bagaimana mereka menentrukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana
mereka mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana informasi diproses dan bagaimana
informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
e. Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi
landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu,
ideologi juga masih merupakan sarana untuk merasionalisasikan dan melegitimasikan
tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sedangkan menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap proses formulasi kebijakan adalah :
a. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive”
yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses
dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya
tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama.
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu
terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun
keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu
dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh
sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru,
seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar.
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering
pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang
lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada
pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering
membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan
karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang
lain akan disalahgunakan.

Masalah nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik, merupakan aspek metapolicy karena
menyangkut substansi, perspektif, sikap dan perilaku, baik yang tersembunyi ataupun yang
dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang bertanggung jawab dalam perumusan
kebijakan publik. Masalah nilai menjadi relevan untuk dibahas karena ada satu anggapan
yang mengatakan bahwa idealnya pembuat kebijakan itu seharusnya memiliki kearifan
sebagai seorang filsuf raja, yang mampu membuat serta mengimplementasikan kebijakan-
kebijakannya secara adil sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa
melanggar kebebasan pribadi. Meskipun demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan
keputusan-keputusan kebijakan tidak mampu memaksimasi ketiga nilai tersebut di atas.
Juga, tidak ada bukti pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang satu lebih penting
dari yang lainnya. Oleh karena itu, maka keputusan-keputusan kebijakan mau tidak mau
haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple values). Kesadaran akan pentingnya
multiple values itu dilandasi oleh pemikiran “ethical pluralism”, yang dalam teori
pengambilan keputusan sering disebut dengan istilah “multi objective decision making”.

Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa para pembuat kebijakan idealnya memperhatikan
semua dampak, baik positif maupun negatif dari tindakan mereka, tidak saja bagi para
warga unit geopolitik mereka, tetapi juga warga yang lain, dan bahkan generasi di masa
yang akan datang. Oleh karena itu, proses pembuatan kebijakan yang bertanggung jawab
ialah proses yang melibatkan interaksi antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-
pemimpin organisasi professional, para administrator dan para politisi.

Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik.
Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan
prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat
dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah
kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di
antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan
merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan
maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu
agenda kebijakan.

Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury
1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2] diantaranya:

1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;

2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;

3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat
dukungan media massa;

4. menjangkau dampak yang amat luas ;

5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;

6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan
kehadirannya)

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan


ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite
dan tidak terpilih.

Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi
kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat
urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.

2.Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang
ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam
tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah.[3]

3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.[4] Jika
tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah.[5]Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah
yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat
baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan
disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui
proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.[6]

4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.[7] Dalam hal ini , evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang
diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
[8]

Pengertian Kebijakan Publik

Chandler & Plano dalam kamus “wajib” Ilmu Administrasi Negara, The Public Administration
Dictionary, mengatakan bahwa: “Public Policy is strategic use of reseorces to alleviate national
problems or governmental concerns”. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kebijakan publik
adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah
publik atau pemerintah. Chandler & Plano lalu membedakannya atas empat bentu, yakni: regulatory,
redistributive, distributive, dan constituent.

Dalam bukunya Harbani Paolong (Teori Administrasi Publik: 2007) terdapat beberapa pengertian
Kebijakan Publik dari beberapa ahli. Thomas R Dye (1981), mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah “apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. William N Dunn
(1994), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah rangkaian pilihan-pilihan yang saling
berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang
menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.

Sementara itu, Shiftz & Russel (1997) mendefinisikan kebijakan publik dengan sederhana
dan menyebut “is whatever government dicides to do or not to do”. Sedangkan Chaizi Nasucha
(2004), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah kwenangan pemerintah dalam pembuatan suatu
kebijakan yang digunakan ke dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut bertujuan untuk
menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar
tercipta hubungan sosial yang harmonis.

Menurut Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan
dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan
mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud
tertentu.

Menurut James, A. Anderson, “…….a purposive course of action followed by an actor or set
of actors in dealing with a problem or matter concern.” (serangkaian tindakan yang mempunyai
tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah.

Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan, kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai
dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.

Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu proses dan melihat
proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat memahami konstelasi antar aktor dan
interaksi yang terjadi di dalamnya.

John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam beberapa
model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh lingkungan
terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai
kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi
status quo. (3) model rasional. (4) model garbage can dan (5) model collective choice aksentuasinya
lebih diberikan pada proses atau mekanisme perumusan kebijakan. (mencakup 2 dan 3)

Berbagai implikasi dari pengertian diatas ini adalah bahwa kebijakan publik memiliki
karakteristik sebagai berikut :

1. Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang berorientasi tujuan.

2. Berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.

3. Merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.

4. Bersifat posistif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negatif dalam arti keputusan itu
bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.

5. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang bersifat memaksa.

DINAMIKA PELAYANAN PUBLIK

Banyak sekali definisi tentang kebijakan publik. Sebagian besar ahli memeberi pengertian
kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan
suatu tindakan yang dianggap akan membawa pengaruh positif bagi kehidupan warga negaranya.
Bahkan dalam pengertian yang lebih luas kebijakan publik acapkali diartikan sebagai “apapun yang
dipilih oleh pemerintah apakah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Apa yang dikemukakan diatas
merujuk ke semua keputusan pemerintah untuk memutuskan atau tidak memutuskan sesuatu atas
masalah yang dihadapinya. Menurutnya, kebijakan pemerintan tidak hanya merujuk kepada apa
yang dilakukan dan diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan, tatapi ketika pemerintah tidak
melakukan tindakan apapun atas isu yang berkembang juga merupakan kebijakan publik dari
pemerintah.

Dari beberapa definisi kebijakan publik di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan publik
merupakan: (1) keputusan atau aksi bersama yang dibuat oleh pemilik wewenang (pemerintah); (2)
berorientasi pada kepentingan publik dengan dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu baik
buruknya dampak yang ditimbulkan; (3) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu; (4)
dari hasil diskusi kelas saya menghasilkan “kebijakan publik adalah aksi pemerintah dalam mengatasi
masalah dengan memperhatikan untuk siapa, untuk apa, kapan, dan bagaimana?

Kebijakan publik tidak didefinisikan sebagai sesuatu yang ditetapkan secara tiba-tiba dan tanpa
sesuatu sebab atau sebagai sesuatu yang aksidental, tetapi kebijakan publik adalah tindakan atau
keputusan pemerintah untuk merespon tekanan-tekanan untuk kemudian diambil tindakan
tersebut.

Kebijakan publik bisa dilihat sebagai sebuah fenomena gerakan sosial.

• Kebijakan publik adalah membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan
(doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middle van machtsuitoefening).

• Amir Santoso mengemukakan pandangannya mengenai Kebijakan Publik yakni :

Pertama adalah pendapat para ahli yang menyamakan kebijaksanaan publik dengan tindakan-
tindakan pemerintah. Mereka cenderung untuk menganggap bahwa semua tindakan pemerintah
dapat disebut sebagai kebijaksanaan publik.

Kedua adalah pendapat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan
kebijaksanaan.

• Dalam kaitan ini termasuk definisi yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye sebagai berikut : Public
Policy is whatever govertments choose to do (semua pilihan atau tindakan apa pun yang diakukan
oleh pemerintah baik untuk melakukan sesuatu ataupun pilihan untuk tidak melakukan sesuatu).

• Selanjutnya Nakamura dan Smallwood mengemukakan pendapat bahwa : Kebijakanaan negara


adalah serentetan instruksi/pemerintah dari para pembuat kebijaksanaan yang ditujukan kepada
para pelaksana kebijaksanaan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai
tujuan tersebut

• Berkaitan dengan pendapat di atas, Edwards dan Sharkansky mengatakan bahwa : Kebijaksanaan
negara adalah apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah atau apa yang tidak
dilakukannya……ia adalah tujuan-tujuan sasaran-sasaran dari program-program……pelaksanaan niat
dan peraturan-peraturan.

• Parker, salah seorang ahli analisis kebijaksanaan publik menyebutkan bahwa : Kebijaksanaan
negara itu adlah suatu tujuan tetentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang
dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan sesuatu subyek
atau sebagai respon terhadap suatu keadan yang krisis.

• William N. Dunn merumuskan kebijaksanaan publik sebagai berikut : Kebijaksanaan Publik (Public
Policy) adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan
untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya

Konsep kebijaksanaan publik menurut David Easton sebagai berikut : Alokasi nilai yang otoritatif
untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat bebuat secara otoritatif
untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemeintah untuk dikerjakan atau untuk
tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut

3.2 Proses Analis Kebijakan Publik

Proses kebijakan baru dimulai ketika para pelaku kebijakan mulai sadar bahwa adanya situasi
permasalahan, yaitu situasi yang dirasakan adanya kesulitan atau kekecewaan dalam perumusan
kebutuhan, nilai dan kesempatan( Ackoff dalam Dunn,2000:121). Dunn (2000-21) berpendapat
bahwa metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai
dalam pemecahan masalah manusia: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Dalam
analisis kebijakan prosedur-prosedur tersebut memperoleh nama-nama khusus, yakni:

1. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik.
Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan
prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan
diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai
masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang
pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990),
isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian,
penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk
menjadi suatu agenda kebijakan.

2.Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang
ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam
tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah.

3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan
legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti
arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang
sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik
terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan
disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui
proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang
diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

Dalam analisis kebijakan publik paling tidak meliputi tujuh langkah dasar. Ke tujuh langkah tersebut
adalah:

• Formulasi Masalah Kebijakan

Untuk dapat mengkaji sesuatu masalah publik diperlukan teori, informasi dan metodologi
yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. Sehingga identifikasi masalah akan tepat dan
akurat, selanjutnya dikembangkan menjadi policy question yang diangkat dari policy issues tertentu.
Teori dan metode yang diperlukan dalam tahapan ini adalah metode penelitian termasuk evaluation
research, metode kuantitatif, dan teori-teori yang relevan dengan substansi persoalan yang
dihadapi, serta informasi mengenai permasalahan yang sedang dilakukan studi.

• Formulasi Tujuan

Suatu kebijakan selalu mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah publik. Analis
kebijakan harus dapat merumuskan tujuan-tujuan tersebut secara jelas, realistis dan terukur. Jelas,
maksudnya mudah dipahami, realistis maksudnya sesuai dengan nilai-nilai filsafat dan terukur
maksudnya sejauh mungkin bisa diperhitungkan secara nyata, atau dapat diuraikan menurut ukuran
atau satuan-satuan tertentu.

• Penentuan Kriteria

Analisis memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif-alternatif. Hal-
hal yang sifatnya pragmatis memang diperlukan seperti ekonomi (efisiensi, dsb) politik (konsensus
antar stakeholders, dsb), administratif ( kemungkinan efektivitas, dsb) namun tidak kalah penting
juga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai abstrak yang fundamental seperti etika dan falsafah (equity,
equality, dsb)

• Penyusunan Model

Model adalah abstraksi dari dunia nyata, dapat pula didefinisikan sebagai gambaran
sederhana dari realitas permasalahan yang kompleks sifatnya. Model dapat dituangkan dalam
berbagai bentuk yang dapat digolongkan sebagai berikut: Skematik model ( contoh: flow chart),
fisikal model (contoh: miniatur), game model (contoh: latihan pemadam kebakaran), simbolik model
(contoh: rumus matematik). Manfaat model dalam analisis kebijakan publik adalah mempermudah
deskripsi persoalan secara struktural, membantu dalam melakukan prediksi akibat-akibat yang
timbul dari ada atau tidaknya perubahan-perubahan dalam faktor penyebab.

• Pengembangan Alternatif
Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai,
langsung ataupun tak langsung sejumlah tujuan yang telah ditentukan. Alternatif-alternatif kebijakan
dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal: (1) Berdasarkan pengamatan terhadap
kebijakan yang telah ada. (2) Dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam
sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya dalam bidang yang tengah dikaji, (3) merupakan hasil
pengkajian dari persoalan tertentu.

• Penilaian Alternatif

Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria sebagaimana yang dimaksud
pada langkah ketiga. Tujuan penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat
efektivitas dan fisibilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan
mengenai alternatif mana yang paling layak , efektif dan efisien. Perlu juga menjadi perhatian
bahwa, mungkin suatu alternatif secara ekonomis menguntungkan, secara administrasi bisa
dilaksanakan tetapi bertentangan dengan nilai-nilai sosial atau bahkan mempunyai dampak negatif
kepada lingkungan. Maka untuk gejala seperti ini perlu penilaian etika dan falsafah atau
pertimbangan lainnya yang mungkin diperlukan untuk bisa menilai secara lebih obyektif.

• Rekomendasi kebijakan

Penilaian atas alternatif-alternatif akan memberikan gambaran tentang sebuah pilihan


alternatif yang tepat untuk mencapai tujuan-kebijakan publik. Tugas analis kebijakan publik pada
langkah terakhir ini adalah merumuskan rekomendasi mengenai alternatif yang diperhitungkan
dapat mencapai tujuan secara optimum. Rekomendasi dapat satu atau beberapa alternatif, dengan
argumentasi yang lengkap dari berbagai faktor penilaian tersebut. Dalam rekomendasi ini sebaiknya
dikemukakan strategi pelaksanaan dari alternatif kebijakan yang yang disodorkan kepada pembuat
kebijakan publik.

3.3 Pelaksanaan Kebijakan Publik

Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi
masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada
masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa
persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara)
sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan
publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses
pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya.
Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau
budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai
variabel terikat.

3.4 Isu Kebijakan Publik

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan
diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai
masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang
pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn, isu
kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian,
penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk
menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa

Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik menurut Kimber, Salesbury,
Sandbach, Hogwood dan Gunn, diantaranya:

1. telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius

2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis;

3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat
dukungan media massa

4. menjangkau dampak yang amat luas

5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;

6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan
kehadirannya)

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama. Ilustrasi :
Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi
Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak
terpilih. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi
kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat
urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. Formulasi kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam
agenda kebijakan kemudia dibahas oleh para pembuat kebijakan.

Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama
halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil untuk memecahkan masalah. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk
memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu
masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun
warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk
rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah
yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui
manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belaja untuk mendukung
pemerintah. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal
ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya
dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan
demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah- masalah kebijakan, rogram-
program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap
dampak kebijakan.

Pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa berlangsung karena
adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh"
oleh pemerintah atau ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai
membangkitkan tingkat perhatian tertentu. (Wahab : 2001:35) Jadi, pada intinya isu kebijakan
(policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai
arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter
permasalahan itu sendiri.

Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya
perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah
tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau
ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-
kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan (Hogwood dan
Gunn, 1996).

Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif
(alternative policies) atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau
kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka
(Alford dan Friedland, 1990: 104). Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah
terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik
yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.

Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses dengan mana
seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas pentingnya sesuatu
peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa
konseptual" (conceptual lense) yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk
memahami suatu masalah (Allison, 1971).

Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu saja perumusan
atas suatu isu sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat dari sudut pandang ini, maka besar
kemungkinan masing-masing orang, kelompok atau pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang
berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana
merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga akan mempengaruhi terhadap penilaian
mengenai status peringkat yang terkait pada sesuatu isu.

Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan dapat dibagi menjadi
empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu fungsional, dan isu minor (Dunn, 1990).
Kategorisasi ini menjelaskan bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan
oleh peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang diberikan atas sesuatu
isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya secara politis

MENGENAL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

DISKRIPSI DAN RELEVANSI

Bab ini memberikan pengantar bagi mahasiswa yang ingin memahami apa dan bagaimana
studi implementasi itu. Melalui buku bahan ajar ini mahasiswa diajak untuk mengenali apa
saja yang menjadi topik bahasan dalam mata ajaran Studi Implementasi. Perkenalan akan
diawali dari fakta-fakta kehidupan yang terkait erat dengan intervensi pemerintah dalam
wujud kebijakan, konsep – konsep yang digunakan, tujuan, fungsi, dan posisi studi
implementasi dalam studi Public Policy. Bab ini juga akan mereview kembali tahapan –
tahapan dalam proses pembuatan policy, karena dari proses tersebutlah dihasilkan dokumen
kebijakan yang mengharuskan adanya implementasi.

Dokumen policy yang dihasilkan dari proses tersebut memuat tujuan yang diharapkan dapat
tercapai melalui proses implementasi. Tentu saja proses tersebut tidak selalu berjalan mulus.
Berbagai factor menjadi penyebabnya dan akan dibahas sekilas pada bab ini sebelum dibahas
lebih mendalam pada bab selanjutnya. Bab ini juga akan membantu mahasiswa memahami
cara kerja dunia pemerintahan melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat
melalui kebijakan.

Bahasan dalam bab ini juga terkait dengan bahasan-bahasan dalam Teori Politik; Teori
Organisasi, khususnya tentang Perencanaan & Pembuatan Keputusan; serta Teori Kebijakan
Publik pada umumnya.

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mengetahui dan memahami gambaran umum materi – materi pokok


pembelajaran dalam Studi Implementasi
2. Mahasiswa mampu memahami tujuan, proses, siklus dan actor-aktor kebijakan publik serta
output yang dihasilkan, serta memahami pola interaksi antar aktor dalam proses tersebut
yang dapat mempengaruhinya.
3. Mahasiswa memahami dan mampu membedakan antara analisis implementasi kebijakan
dengan analisis evaluasi kebijakan.

PENGANTAR
Disadari atau tidak kebijakan publik mempengaruhi setiap sendi kehidupan
bermasyarakat kita, mulai dari kewajiban memiliki akta lahir sampai pencatatan kematian;
mulai dari berkendara di jalan raya sampai akhirnya kita kembali lagi di rumah. Sebagai
sarana mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Kebijakan publik ada dan setua
adanya negara itu sendiri. Demikian juga dengan implementasi kebijakan. Jika belakangan
masalah kebijakan publik makin banyak diperbincangkan, tak lain karena makin
berkembangnya demokrasi dan makin tinggi pula tuntutan masyarakat agar kebijakan makin
memihak kepentingan publik.

Manakala kebijakan publik telah dirumuskan dengan sebaik – baiknya, maka wajar jika kita
berharap hasilnya akan dapat membawa kemaslahatan bagi publik sebagaimana tujuannya.
Namun harapan tersebut sering tidak terwujud. Jarak antara harapan atas hasil suatu
kebijakan dengan kenyataan sering begitu jauh dan hal ini kerap terjadi, bahkan di negara –
negara yang telah maju sekalipun. Ada apa dengan kebijakan publik ? Mengapa tujuan yang
mulia seolah membentur dinding saat diimplementasikan ?

Permasalahan ini yang kemudian mendorong para akademisi dan praktisi untuk mengkaji
“apa yang sesungguhnya terjadi setelah kebijakan disyahkan ?” (meminjam kata – kata
Eugene Bardach : “ what happens after a bill become a law”. Kendati masalah kebijakan
publik telah lama menjadi kajian akademisi, namun tetap tak mampu memberi jawaban yang
memuaskan mengapa kebijakan publik tidak mencapai hasil yang diinginkan. Oleh karenanya
kemudian perhatian mulai dialihkan pada proses pengimplementasiannya, dan secara
mengejutkan dari temuan-temuan yang semula merupakan kajian berbagai kasus kegagalan
kebijakan, justru menghasilkan berbagai pendekatan terhadap implementasi kebijakan. Maka
mulailah implementasi kebijakan publik mendapat perhatian menjadi kajian tersendiri yang
disebut studi implementasi.

Berikut ini kita akan bahas beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan publik dan
implementasinya. Setelah itu kita akan singgung beberapa factor yang dapat mempengaruhi
proses implementasi. Diharapkan bahasan awal ini dapat memberikan pemahaman yang lebih
baik tentang implementasi kebijakan publik dan permasalahannya dan menarik minat
mahasiswa untuk mendalami studi implementasi dan analisisnya lebih lanjut.

I.1. KEBIJAKAN PUBLIK

I.1.1. KONSEP DAN PENGERTIAN

Kata “Public Policy” dalam bahasa Indonesia kadang diterjemahkan menjadi “Kebijaksanaan
Publik” atau “Kebijakan Publik”. Dua kata yang sama – sama tidak mewakili secara tepat apa
yang dimaksud dengan kata “publik policy”, bahkan sering menimbulkan perdebatan dalam
kelas yang mungkin tidak perlu apabila kata “policy” tidak diterjemahkan atau dipadankan
menjadi kata “Kebijaksanaan” ataupun “Kebijakan”.

Dalam kehidupan sehari – hari kita sering mendengar atau bahkan menggunakan kata
kebijaksanaan dalam konteks yang tidak semestinya, misalnya: “Mohon kebijaksanaan bapak
agar …. Akibatnya Kata kebijaksanaan dalam praktek organisasi (pemerintah) mendapat
makna baru yang negatif, yakni sebagai suatu tindakan / keputusan pengecualian yang
sengaja diambil oleh pribadi yang berwenang untuk menyalahi aturan/ prosedur yang
berlaku”. Mahasiswa menjadi lebih suka padanan kata “kebijakan” untuk policy daripada
“kebijaksanaan” yang konotasinya sering melenceng menjadi negatif.
Kebijaksanaan ataupun kebijakan sebenarnya memiliki makna yang sama, yang berakar dari
kata “bijak” yang memiliki makna positif “penuh pertimbangan sebelum memutuskan/
melakukan sesuatu” (mungkin itulah harapan yang terkandung ketika kata tersebut
diputuskan sebagai padanan yang tepat untuk kata policy). Namun dalam bahasa Inggris kata
“bijak” dan “kebijakan” atau “kebijaksanaan” semakna dengan kata “wise” dan “wisdom”,
sehingga seharusnya bukanlah terjemahan atau padanan yang tepat untuk kata “policy”,
walau ada juga kamus sinonim dan antonym yang memadankan demikian. Namun
seandainya ada kajian “Public Wisdom” niscaya isinya akan sangat berbeda dengan apa yang
dimaksud dengan kajian tentang Public Policy.

Kata mana yang tepat “kebijaksanaan” atau “kebijakan” untuk menggantikan kata “policy”
atauy bahkan tetap menggunakan kata aslinya, untuk sementara dianggap sederajad, sampai
disepakati padanan yang lebih sesuai oleh para ahli bahasa kita. Jika dalam penulisan buku
ajar ini kata “kebijakan” yang kerap digunakan secara bergantian dengan kata “policy”
semata karena alasan kepraktisan yang kerap digunakan secara bergantian dengan kata
“policy” semata karena alasan kepraktisan dan agar lebih mendekati makna aslinya.

Kebijakan atau policy dalam kamus Webster dimaknai sebagai : ‘a definitife course or
method of action selected (as by a government, institution or individual) from among
alternative presents and future decisions”. Definisi ini tentu masih sangat bersifat umum.
Dalam konteks studi implementasi yang dibicarakan disini tentu saja kebijakan selalu
dikaitkan dengan kepentingan public, karena “Public Policy is what public administration
implement”, sebagaimana yang dikatakan oleh Nicholes Henry (2004, p.305).

Pada konteks public, kebijakan dalam berbagai literature dimaknai sebagai “suatu perangkat
aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik” (Persons): atau untuk memecahkan
permasalahan public sebagaimana yang didefinisikan oleh James A. Anderson sebagai “a
purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or
matter of concern” (James E. Anderson, p. 3), dan Chandler & Plano : “kebijakan Publik
adalah pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah
public dan pemerintahan”, serta Peterson :”Kebijakan public secara umum dapat dilihat
sebagai tindakan pemerintah dalam menghadapi masalah dengan mengarahkan perhatian
terhadap “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana” (Public Policy, 2003, 1030). Oleh
karenanya kebijakan public memiliki tujuan sebagai “suatu bentuk intervensi yang kontinum
oleh pemerintah demi kepentingan orang_orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar
mereka dapat hidup dan berpartisipasi dalam pemerintahan” (dalam Keban, 2008, h 60).

Kebijakan public dapat berupa keputusan yang dikeluarkan oleh berbagai hirarkhi
pemerintahan sepanjang hal tersebut mempengaruhi kehidupan public, karena tidak semua
keputusan lembaga pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan/policy. Hal ini dipertegas
oleh Robert R. Meyer dan Ernest Greenwood (1980, h 2) dengan membedakannya dari sudut
tingkatan pembuatan keputusan. Keputusan tingkat pertama adalah keputusan birokrat yang
bersifat rutin dan berulang – ulang yang mewujud dalam pedoman pelaksnaan/ SOP.
Keputusan tingkat kedua adalah keputusan yang lebih kompleks dan jangkauan yang lebih
jauh, wujudnya adalah taktik/ strategi. Keputusan tingkat ketiga adalah “keputusan yang
memliki jangkauan paling luas, perspektif waktu yang paling lama, dan umumnya
memerlukan informasi dan kontemplasi yang paling banyak”. Keputusan tingkat ketiga
inilah yang dimaksud dengan Publik Policy.
Charles O Jones (1977 : 4) secara singkat mengatakan bahwa kebijakan publik adalah
tindakan pemerintah atas permasalahan publik, yang di dalamnya terkandung komponen –
komponen :

1. Goals atau sasaran – sasaran yang merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai
1. Plans/ proposals atau rencana – rencana atau proposal yang merupakan spesifikasi
alat untuk mencapai tujuan tersebut.
2. Programs atau program – program yang merupakan alat formal untuk mencapai
tujuan.
3. Decisions atau keputusan – keputusan yang merupakan spesifikasi tindakan –
tindakan yang diambil untuk mencapai tujuan, mengembangkan rencana,
melaksanakan dan mengevaluasi program.
4. Efek atau dampak sebagai hasil terukur dari pelaksanaan program, baik yang
diharapkan atau yang tidak diharapkan baik dampak utama ataupun dampak
sampingan.

Memang ada definisi lain tentang kebijakan publik yang juga sering dikutip yakni: “whatever
government choose to do or not to do” (Thomas R, Dye, 1978 p. 3). Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang diputuskan untuk tidak dilakukan oleh pemerintahan
termasuk suatu kebijakan karena apa yang dipilih untuk tidak dilakukan akan berdampak
sama besarnya dengan apa yang dipilih untuk dilakukan. Namun rumusan ini tentu saja tidak
berguna bagi studi implementasi karena memilih untuk tidak melakukan berarti tidak ada
yang diimplementasikan.

I.1. 2. SIKLUS/PROSES KEBIJAKAN PUBLIK

Secara normative proses kebijakan memang digambarkan sebagai sebuah siklus yang
bermula dari agenda setting (atau bahkan dari identifikasi masalah – masalah publik):
pemilihan alternatif kebijakan; formulasi kebijakan; implementasi kebijakan (termasuk
monitoring); lalu evaluasi kebijakan yang kemudian memberi feedback pada proses awal atau
pada tahap lainnya. Gambaran secara normative ini sesungguhnya ditujukan untuk
mempermudah kita dalam memahami proses kebijakan publik. Dari proses tersebut kita bisa
mempelajari tentang peran dan interaksi antara konstitusi, legislative, kelompok kepentingan
dan administrasi publik dalam proses kebijakan publik.

Secara umum tahapan – tahapan dalam pembuatan kebijakan digambarkan sebagai suatu
siklus yang mengandung formulasi dari disadarinya ada 1). masalah yang memerlukan
intervensi kebijakan; lalu bagaimana 2). mendefinisikan permasalahan sebenarnya, yakni
mencari penyebab atau akar permasalahan, bukan akibat yang timbul dari masalah tersebut;
selanjutnya 3) mengidentifikasikan solusi-solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dari berbagai solusi yang ada kemudian 4) dievaluasi opsi-opsi yang paling memungkinkan
untuk dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya. Dari hasil evaluasi tersebut, maka
dipilihkan opsi yang terbaik dalam bentuk sebuah kebijakan. Kebijakan tersebut itulah yang
nantinya akan diimplementasikan dalam bentuk program-program sebagai bentuk intervensi
nyata pemerintah terhadap permasalahan public. Hasil implementasi akan dievaluasi apakah
benar program-program yang telah dilaksanakan tersebut dapat mengatasi permasalahan
sebagaimana yang dimaksud atau tidak, dst. lebih jelasnya siklustersebut dapat dilihat pada
gambar berikut ini (Sumber: Wayne Parsons, Public Policy: h. 80)

Gambar I.1 : Siklus Kebijakan


PROBLEM

EVALUASI DEFINISI PROBLEM

RESPON/ ALTERNATIF IDENTIFIKASI SOLUSI

IMPLEMENTASI EVALUASI OPSI

SELEKSI OPSI KEBIJAKAN

`Robert S. Mayer dan Ernest Greenwood (1984 : 12) mengatakan bahwa dalam gambaran
yang lebih komprehensif, maka langkah – langkah dalam proses penyusunan kebijakan
adalah :

1. Menentukan tujuan
2. Penilaian kebutuhan
3. Spesifikasi sasaran – sasaran
4. Perencanaan perangkat tindakan alternatif
5. Perkiraan konsekuensi tindakan – tindakan alternatif
6. Pemilihan satu (atau lebih) perangkat tindakan
7. Implementasi tindakan
8. Evaluasi hasil
9. Modifikasi sasaran, tujuan, dan perangkat – perangkat tindakan berdasarkan umpan balik
(lihat gambar 1.2)

Gambar I.2 : Arus langkah – langkah proses penyusunan kebijakan

Penetapan Tujuan

Spesifikasi sasaran
Penilaian kebutuhan
Perancangan perangkat

Tindakan alternatif

Umpan balik
Pemilihan perangkat

(perangkat) tindakan
Perkiraan konsekuensi

Tindakan – tindakan alternatif


Evaluasi
Implementasi

Sumber : Meyer &Greenwood, p 12

Dari skema tersebut tampak bahwa langkah – langkah penyusunan kebijakan adalah
langkah – langkah yang penuh pertimbangan dan bersifat sangat rasional sampai ke tingkat
pemilihan perangkat – perangkat tindakan, sehingga peran para pelaksana tinggal
menjalankan perangkat tindakan yang telah dipilih tersebut. Teknik-teknik dan prinsip-
prinsip pembuatan keputusan rasional juga telah banyak dikembangkan untuk mempermudah
pejabat public memperoleh alternative terbaik dalam pembuatan kebijakan guna memperoleh
solusi terbaik bagi masalah public. Teknik-teknik tersebut misalnya Prinsip Pareto’s
Optimality atau Doctrine of Maximum Satisfaction (bahwa kebijakan dapat diterima jika
minimal menguntungkan satu orang dan tidak merugikan seorangpun); Penggunaan analisis
sitematik atau rational comprehensive untuk menghindari perilaku tidak rasional dalam
pembuatan keputusan (Daniel Lerner & Harold D. Laswell, 1951); dll.

Kendati Mayer & Green Wood juga menegaskan bahwa dalam tahap implementasi
mungkin akan memerlukan proses perencanaan sendiri, namun perencanaan yang berkaitan
dengan implementasi tak lebih sebagai program atau perencaan administratif (hal 17 – 18).
Tentu saja gambaran demikian berperspektif sangat top-down, seolah seluruh factor penentu
keberhasilan kebijakan mencapai tujuannya dapat diperhitungkan sebelumnya dan mereduksi
peran implementor menjadi sekedar pelaksanaan tugas yang bersifat admnisitratif belaka.

Dalam paparan yang lebih rinci, Randall P. Ripley (Policy Analysis in Political
Science, 1985: bab 1) memberikan gambaran yang sedikit berbeda (lihat gambar 1.3). Ripley
tidak menafikan adanya penafsiran oleh implementors atas kebijakan yang telah ditetapkan.
Ruang penafsiran ini bisa bernuansa politis, bisa juga karena situasi dan kondisi yang
mengharuskan adanya penafsiran yang berbeda saat kebijakan harus dilaksanakan.

Gambar I.3 : POLICY PROCESS, ACTIVITIES AND PRODUCTS

STAGE AND ACTIVITIES : PRODUCTS

AGENDA SETTING:

- PERCEPTION OF PROBLEMS

- DEFINITION OF PROBLEMS

- MOBILIZATION OF SUPPORTS
PROGRAM IMPLEMENTATION

- RESOURCES

- INTERPRETATION

- PLANNING

- ORGANIZING

- PROVIDING BENEFITS, SERVICES, COERCION


EVALUATION OF PERFORMANCE AND IMPACTS
DECISISONS ABOUT THE FUTURE OF POLICIES/ PROGRAMS
POLICY & PROGRAM PERFORMANCE
POLICY ACTION
FORMULATION AND LEGITIMATION GOALS AND PROJECTS

- INFORMATION COLLECTION, ANALYSIS DISSEMINATION

- ALTERNATIVE DEVELOPMENT

- ADVOCACY AND COALITION

- COMPROMIZE, NEGOITATION
POLICY STATEMENT :
- GOALS AND DESIGN PROGRAMS

- STATUTE
AGENDA OF GOVER MENT
PRODUCES
NECESSISTATES
PRODUCES
LEADS

TO
STIMULATES
LEADS TO
PRODUCES
LEADS TO
Dari 3 gambaran yang dipaparkan tampak seolah selalu ada langkah – langkah pasti dalam
penyusunan kebijakan, yang dimulai dari:

1. Identifikasi adanya masalah atau kebutuhan (publik) yang memerlukan penanganan/


intervensi pemerintah.
2. Penetapan agenda pemerintah untuk menjadi prioritas utama pembangunan
3. Proses formulasi kebijakan yang berlangsung di tingkat eksekutif dan legislative. Proses ini
(seharusnya) berlangsung sangat rasional dalam pemilihan alternatif – alternatif tindakan
(Mayer dan Greenwood), atau Rasional terbatas (Herbert A. Simon) karena juga sarat
aktifitas politik berupa advokasi, koalisi, negosiasi, ataupun kompromi (Ripley).

1. Penilaian atas masalah/ tujuan tersebut apakah akan masuk menjadi agenda pemerintah
atau tidak. Penilaian atas apa yang akan menjadi agenda pemerintah atau, tidak bisa bersifat
sangat politis dan juga bisa diwarnai pertarungan memperebutkan pengaruh politik.

5. Legimitasi kebijakan di tingkat legislative, yang di dalamnya terkandung dasar hukum,


sasaran – sasaran yang ingin dicapai, sekaligus program – program/ perangkat – perangkat
tindakan yang harus dilaksanakan.

6. Implementasi (program) kebijakan

7. Evaluasi atas hasil implementasi

8. Umpan balik

Ide tentang tahapan dalam proses kebijakan publik tersebut merupakan kontribusi pemikiran
dari Harold Laswell, Herbert Simon, dan David Easton tentang pembuatan keputusan yang
rasional. Teknik-teknik dan prinsip-prinsip pembuatan keputusan rasional memang telah
banyak dikembangkan untuk mempermudah pejabat public memperoleh alternative terbaik
dalam pembuatan kebijakan guna memperoleh solusi terbaik bagi masalah public. Teknik-
teknik tersebut mulai dari prinsip Pareto’s Optimality atau Doctrine of Maximum
Satisfaction (bahwa kebijakan dapat diterima jika minimal menguntungkan satu orang dan
tidak merugikan seorangpun); Penggunaan berbagai analisis sistematik atau rational
comprehensive untuk menghindari perilaku tidak rasional dalam pembuatan keputusan
(Daniel Lerner & Harold D. Laswell, 1951)

Pada kenyataannya bahkan langkah – langkah terinci yang sangat rasional yang telah
dipilihkan oleh pembuat kebijakan, tidaklah menjamin implementasi akan berjalan sesuai
dengan harapan dan kehendak pembuatnya, karena nuansa politik tidak hanya berhenti saat
kebijakan sudah diputuskan, tapi juga berlanjut saat kebijakan dilaksanakan. Charles
Lindblom adalah yang menentang ide tahapan rasional dalam siklus kebijakan publik,
katanya: “ Langkah – langkah yang tercatat dan penuh pertimbangan bukanlah gambaran
yang akurat tentang bagaimana proses kebijakan bekerja, karena proses kebijakan merupakan
proses yang interaktif dan kompleks, tanpa awal dan tanpa akhir” (dalam Wayne Parsons:
24). Oleh karenanya Lindblom dalam The Science of Muddling Through, menyarankan agar
kebijakan sebaiknya dilakukan secara incremental, bukan rasional komprehensif karena
permasalahan di lapangan tidak seluruhnya dapat dihitung dan dirasionalkan.
Ide tahapan rasional dalam pembuatan kebijakan juga dikritik dan disebut sebagai paradigma
textbook dianggap memiliki kelemahan utama, antara lain seperti yang disimpulkan dari
pernyataan Sabatier yakni :

1. Tidak memberikan penjelasan kausal bagaimana kebijakan bergerak dari satu tahapan ke
tahapan berikutnya.

1. Tidak bersifat empiris


2. Kebijakan publik dianggap sebagai kebijakan “top-down” dan gagal menjelaskan peran aktor
street level dan aktor lainnya
3. Mereduksi dunia nyata dalam pembuatan kebijakan yang melibatkan berbagai level
pemerintahan dan siklus yang saling berinteraksi.

Kendati memiliki kelemahan, pendekatan tahapan rasional dalam proses pembuatan


kebijakan ini sangat membantu kita memahami proses kebijakan karena mereduksi
kompleksitasnya dan menjadikannya lebih mudah dipahami. Selain pendekatan itu juga
sangat membantu manakala ingin memulai analisis salah satu tahap kebijakan, karena masing
– masing tahapan menyediakan konteks tempat yang berbeda – beda.

Tabel I.4 : The Policy Process – A Framework for Analysis

Functional Catagorized in
Activities Government And as Systems With Outputs
Perception Problems to Problem Problem to
Government Identification
Definition Demand

Agregation

Organization

Representation
Formulation Action in Program Proposal to
Government Development
Legitimation Budgeted

Appropritation Program
Organization Government to Program Varies

Interpretation Problem Implementation (service, payment,


facilities, control, etc)
Aplication
Specification Program to Program Varies

Measurement Government Evaluation (Justification,


recommendation, etc)
Analysis
Resolution/ Program Program Solution or
Termination Resolution or Termination change

change

(Sumber : Jones, p.12)

Model yang ditawarkan oleh Charles O Jones tampaknya berusaha menggabungkan


pendekatan “stagiest” dengan pendekatan system ( tapi lebih menekankan pada fungsinya
dIbanding pada tahapannya) ini mungkin lebih mudah dipahami dan tetap memberikan
tempat berpijak bagi kita untuk menganalisis proses implementasi.

Dari tabel I.4 di atas dengan mudah kita membedakan aktifitas-aktifitas dalam proses
kebijakan beserta tujuan dan output yang dihasilkannya. Implementasi misalnya dapat
bermakna bagaimana cara pemerintah untuk mengatasi masalah dengan aktifitas-aktifitas
pengorganisasian sumberdaya, penafsiran kebijakan ke dalam bentuk-bentuk tindakan nyata
atau program terkait, yang wujudnya bisa berupa layanan, pembayaran, fasilitas,
pengendalian, dll. Sedang aktifitas evaluasi kebijakan berkaitan dengan aktifitas spesifikasi,
pengukuran dan analisis atas program-program kebijakan. Hasilnya dapat berupa justifikasi,
rokomendasi, penghentian, dlsb.

I. 1..3. PARADIGMA KEBIJAKAN

Sekalipun semua prinsip rasionalitas tersebut memberi sumbangan terhadap kualitas dalam
pembuatan kebijakan publik, tetapi pada kenyataannya kebijakan seringkali tetap dirasa tidak
memuaskan masyarakat. Theodore Lowi (1969) menyatakan bahwa yang tidak beres dalam
pembuatan kebijakan bukanlah teknik yang digunakan, tetapi justru kecenderungan para
kelompok kepentingan tertentu yang mendominasi pembuatan keputusan, untuk memenuhi
kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan public.

Untuk mengatasi kecenderungan tersebut di atas, maka pada perkembangan selanjutnya


dikenal 5 paradigma dalam pembuatan kebijakan public (Bobrow & Dryzek, 1987), yakni:

1. Welfare economic, yakni bahwa setiap alternative keputusan untuk kebijakan publik
hendaknya diperhitungkan untung ruginya dari segi ekonomi (prinsip rasional komprehensif)
dan kemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat.
2. Public Choice, yakni dalam memilih alternative kebijakan, harus mengutamakan keputusan
yang dibuat oleh lembaga yang mengatasnamakan atau mewakili kepentingan public.
3. Social Structure, bahwa dalam memilih alternative kebijakan harus memperhitungkan
kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat yang ada, termasuk manfaat yang dapat
mereka nikmati dan dampak yang mungkin mereka hadapi.
4. Information Processing, yakni bahwa dalam memilih alternative, informasi dan data yang
dibutuhkan harus diteliti kualitasnya, diproses dan dianalisis secara benar serta disimpulkan
pula secara tepat pula.
5. Filsafat Politik, yakni bahwa dalam memilih alternative harus pula dipertimbangkan nilai
moral yang berlaku. Apakah ada nilai moral yang diemban atau justru dilanggar.
Namun pada Negara-negara sedang berkembang ada dua Paradigma yang lebih
popular dijalankan (Turner & Hulme, 1997) dibanding paradigma yang disebutkan
sebelumnya. Paradigma tsb adalah :

1. Society-Centered Models, yang memiliki 3 model kebijakan yakni :

a. Social Class Analysis, yakni bahwa kebijakan dipandang sebagai suatu bentuk perwujudan
dari usaha kelas yang dominan (elit/borjuis) untuk mempertahanan dan melindungi
kepentingannya dari kelas-kelas bawah. Untuk itu harus dicari suatu bentuk kebijakan yang
membela kepentingan kaum lemah dan melindungi mereka dari tekanan kelas yang dominan.

b. Model Pluralism, yakni bahwa kebijakan lebih dipandang sebagai hasil kompromi,
negoisasi, koalisi dari berbagai kelompok kepentingan (bisnis, asosiasi profesi, serikat
pekerja, konsumen, dll) yang diorganisir untuk melindungi kepentingan anggotanya. Oleh
karenanya fungsi Negara adalah bertindak sebagai “arbiter” atau wasit bagi berbagai
kepentingan tersebut.

c. Model Public Choice, yakni bahwa kebijakan lebih dipandang sebagai bentuk pemenuhan
kepentingan tuntutan konsumen akan layanan public yang lebih efisien serta untuk
memanfaatkan peluang pasar yang ada. Yang dipandang sebagai tuntutan konsumen tersebut
adalah kepentingan-kepentingan disuarakan oleh berbagai kelompok tersebut di atas.

2. State-Centered Models

1. Rational Actor Model, yakni yang berasumsi bahwa para pembuat kebijakan adalah pejabat
yang (yang sudah seharusnya) rasional dalam memilih alternative-alternatif kebijakan yang
ada, padahal asumsi ini sulit dipenuhi mengingat di Negara-negara berkembang justru
sumberdaya dan data yang tersedia seringkali tidak memuaskan.
2. Bureaucratic Model, Yakni memandang bahwa kebijakan merupakan hasil dari kegiatan
politik dari para petinggi Negara dengan melakukan koalisi, negoisasi, kompromi, bargaining,
bahkan kooptasi untuk memenangkan kepentingan pribadi atau lembaganya melalui
kebijakan.
3. State Interest Model, yakni memandang kebijakan sebagai hasil dari rumusan kepentingan
Negara untuk menjaga keutuhan Negara melalui pertahanan dan perlindungan terhadap
warganya. Bahwa Negara memiliki otonomi untuk menentukan hakekat permasalahan
public dan mengembangkan solusinya.

I.2. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

1.2.1. KONSEP DAN PENGERTIAN

Kata implementasi dalam literature – literature kebijakan publik belum lama digunakan.
Meski kebijakan publik sudah berlangsung sangat lama dan literature modern yang
membahasnya sangat banyak, namun istilah tersebut termasuk baru ’ditemukan’. Sebelumnya
hanya disebut sebagai ”proses administrasi” atau ”penegakan hukum”. Ditemukan atau tidak,
yang dimaksud sebagai implementasi kebijakan sudah berlangsung berabad – abad yang
digambarkan sebagai aktifitas “interaksi antara penentuan tujuan dan tindakan – tindakan
yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut”.
Tapi apa sebenarnya implementasi ? Kata implementasi dalam kamus Webster hanya
dinyatakan sebagai : menyediakan sarana untuk menjalankan kebijakan publik. Bagaimana
wujud ’sarana’ tersebut agar kebijakan publik dapat berjalan? Definisi yang diberikan oleh
Paul A. Sabatier dan DA. Mazmanian – yang memandangnya sebagai bagian dari proses
kebijakan - berikut ini mungkin dapat memperjelasnya:

“Implementation is the carrying out a basic policy decision, usually incorporated in a


statute but which can also take the form of important executive or court decisions. Ideally
that the decision identitas the problems (s) to be addressed, stipulates the objective (s) to be
pursued and in a variety of ways, structures the implementation process (1983 : 20).

Sabatier & Mazmanian menegaskan bahwa implementasi kebijakan berarti mewujudkan


suatu keputusan kebijakan yang memiliki legalitas hukum - bisa berbentuk undang – undang,
peraturan pemerintah, keputusan eksekutif, dll dalam bentuk program-program kerja yang
merujuk pada masalah yang akan ditangani oleh kebijakan. Program – program inilah yang
kemudian disusun struktur pengimplementasiannya agar selanjutnya menghasilkan perubahan
sebagaimana yang diinginkan oleh kebijakan yang dimaksud.

Karena implementasi merupakan perwujudan nyata dari (isi/tujuan) kebijakan publik, maka
aktifitas-aktifitas implementasi haruslah dilakukan secara cermat. Bahwa memang ada
kebijakan yang bersifat self executed, yakni yang dapat langsung dilaksanakan, tidaklah
mengurangi makna penting dari kecermatan dalam menyusun proses implementasi, sebab
dari hasil implementasi tersebut kinerja pemerintah dapat dinilai. Selain itu sebagai bagian
dari proses kebijakan, maka dari hasil implementasilah kebijakan memperoleh umpan balik,
apakah perlu kebijakan direvisi atau tidak sebagaimana yang dikatakan oleh Sabatier dan
Mazmanian:

“The process normally runs through a number of stages beginning with passage the basic
statute, followed by policy outputs (decisions) of the implementing agencies, the compliance
of target groups with those outputs, the perceived impacts of agency decisions, an finally
important revisions (or attempted revisions) in the basic statute” (1983 : 20).

1.2.2. FUNGSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Dari sudut pandang sistem, maka implementasi adalah proses bagaimana menstranformasikan
input (tujuan dan isi kebijakan) ke dalam bentuk rangkaian tindakan operasional guna
mewujudkan hasil yang diinginkan oleh kebijakan tersebut (outputs dan outcomes). Outputs
adalah hasil langsung dari pengimplementasian kebijakan (programmes performance).
Sedangkan outcomes (impacts/ effects) adalah dampak perubahan yang terjadi setelah
kebijakan tersebut dilaksanakan. Dalam bentuk gambar sederhana proses tersebut tampak
sebagai berikut:

EVALUASI

Gambar I.4 : Implementasi sebagai Sistem Transformasi


INPUT

Policy/ Program:

- Tujuan kebijakan – Sasaran Kbjkn

- Tipe Kebijakan

- Anggaran

- Kewenangan

-
KONVERSI

Proses Implementasi

- Memilih tindakan2

Operasional

- Operasionalisasi tindakan
POLICY OUTPUT

- Layanan, Fasilitas, Kontrol,Dana dll)

- Kinerja Implementasi (output kebijakan)

- Dampak Kebijakan (Outcomes)

LINGKUNGAN

Dari model system tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi implementasi adalah
mentransformasikan tujuan kebijakan ke dalam bentuk – bentuk kegiatan operasional yang
dibutuhkan agar kebijakan mencapai tujuannya. Fungsi implementasi tidak akan berubah
sekalipun kebijakan yang diimplementasikan berbeda, yang berbeda adalah hasil akhirnya.
Sedang tujuan implementasi itu sendiri adalah menghasilkan perubahan sebagaimana yang
dikehendaki oleh kebijakan. Oleh karenanya jika dikatakan bahwa sebuah kebijakan dibuat
untuk mengintervensi peri kehidupan public, maka implementasi adalah bentuk nyata dari
tindakan intervensi itu sendiri.

Dari sudut pandang Keputusan Rasional, maka Implementasi dapat dimaknai sebagai
preposisi kongkrit untuk mengatasi masalah publik. Misalnya kebijakan (sebagai hasil
pembuatan Keputusan Rasional) mengatakan bahwa untuk mengatasi masalah “Y”
diperlukan tindakan “X” yang diperkirakan akan mampu mengatasi masalah tersebut, maka
implementasi adalah cara untuk menguji validitas preposisi tersebut. Dengan kalimat lain,
Pressmann & Wildavsky (1984, pp. xiv – xv) menyatakan bahwa implementasi policy
adalah menjalankan program kerja yang disusun setelah hipotesis permasalahan
ditemukan dan diterjemahkan ke dalam bentuk – bentuk tindakan yang telah
disyahkan; atau jelasnya sebagai berikut :

A program consists of governmental action initiated in order to secure objectives whose


attainment is problematic. A program exists when the initial conditions – the “if” stage of the
policy hypothesis – have been met. The word “program” signifies the conversion of a
hypothesis in to governmental action. The initial premises of the hypothesis have been
authorized. The degree to which predicated consequences (the “then” stage) take place we
will call implementation”

I.2.3. STRUKTUR IMPLEMENTASI

Sebagai tindakan intervensi, maka faktor kritis dalam proses implementasi adalah merancang
struktur implementasinya, yakni memilih tindakan – tindakan operasional yang tepat; serta
mengoperasionalkan tindakan – tindakan tersebut secara tepat pula ke dalam bentuk Program
dan Proyek. Agar dapat melakukan intervensi secara optimal, Sabatier dan Mazmanian
(1983) menyebutkan bahwa beberapa factor perlu diperhatikan dalam implementasi, yakni:
1. Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi; 2. Menegaskan tujuan yang hendak
dicapai; 3. Merancang struktur proses implementasi. Untuk menyusun struktur Implementasi
tersebut Lineberry (1984) menyatakan ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Pembentukan unit organisasi atau staf pelaksana

2. Penjabaran tujuan dalam berbagai aturan pelaksana (Standard operating procedures/SOP)

3. Mengkoordinasikan berbagai sumberdaya dan pengeluaran pada kelompok sasaran serta


pembagian tugas diantara badan pelaksana

4. Pengalokasian sumberdaya untuk mencapai tujuan.

Nyaris tidak ada literatur mengenai implementasi yang membahas bagaimana petunjuk
penyusunan struktur (proses) implementasi. Hal ini karena masing-masing kebijakan
memiliki tujuan dan tipenya sendiri, sehingga kebutuhan akan struktur
pengimplementasiannya pun dapat berbeda, bergantung pada metode penyampaian (delivery
system) yang dipandang sesuai untuk itu. Terlebih lagi struktur implementasi lebih dipandang
sebagai the matter of organization/management of a programme.

I.2.4. KENDALA-KENDALA IMPLEMENTASI

Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit serta
merupakan proses yang berlangsung dinamis, yang hasil akhirnya tidak bisa diperkirakan
hanya dari ketersediaan kelengkapan program. Implementasi berfungsi menetapkan suatu
kaitan yang memungkinkan tujuan – tujuan kebijakan terwujud, sehingga menjadi apa yang
disebut sebagai hasil kerja atau prestasi pemerintah. Namun dalam prakteknya sering terjadi
kegagalan dalam implementasi karena walau telah diperhitungkan sedemikian rupa, bukan
berarti kesulitan dalam proses implementasi telah tiada.

Permasalahan seringkali justru timbul karena kenyataan di lapangan justru tidak sesuai
dengan yang diperkirakan. Walter William menyatakan kesulitan implementasi sebagai
berikut :“ The most pressing implementation problem is that of moving from a decision to
operation in such way that what it is put into place bears a reasonable resemblance to the
decision and is fuctioning well in its that of the difficulty of bringing the gap between policy
decision and workable field operations” (Jones, 139). Menafsirkan keputusan menjadi
tindakan operasional yang tepat tidaklah semudah yang dibayangkan.

Sasaran – sasaran program bahkan mungkin harus direvisi secara drastic saat program
tersebut dilaksanakan, selain karena kesulitan menjembatani antara tujuan kebijakan dengan
tindakan-tindakan operasional yang dapat dijalankan, (yang disebut oleh Andrew Dunsire
sebagai implementation gap, yaitu suatu kondisi dimana terjadi perbedaan antara apa yang
diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan hasil implementasinya). Juga karena kondisi
lingkungan yang berbeda dari yang dibayangkan oleh pembuat keputusan.

Walau Implementation gap ini menurut Goggin sangat dipengaruhi oleh implementation
capacity dari organisasi pelaksana, namun banyak hal lain yang dapat menjadi penyebab gap
tersebut. Kebijakan-kebijakan yang melibatkan implementers lapangan (street-level
bureaucrat) yang biasanya terdiri dari para professional (guru, dokter Puskesmas, penyuluh
pertanian, dll; justru seringkali harus memutar otak agar tujuan kebijakan dapat dicapai walau
tidak sesuai dengan prosedur yang dituntut. Oleh karena itu sangat naïf jika mengabaikan
peran para implementor dalam publik policy, karena keberhasilan atau kegagalan suatu
publik policy tidaklah semata – mata bergantung pada peran implementor.

Factor lain tersebut misalnya karena banyak variabel yang dapat mempengaruhi sekaligus
membatasi pilihan (alternatif) tindakan operasional, serta membatasi pilihan cara
mengoperasionalkannya. Penyebabnya bisa jadi karena terbatasnya waktu, uang, tipe
kebijakan, hubungan antar pelaksana, tingkat kewenangan, kondisi lingkungan, dll, yang bisa
berpengaruh secara langsung atau tidak langsung.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kegagalan dalam suatu proses implementasi
(Unimplemented Policy & Poorly Implemented Policy) dapat disebabkan oleh :

1. Unimplemented Policy :
1. Kebijakan hanya bersifat politis dan tidak benar-benar dimaksudkan untuk
dilaksanakan (karenanya tidak disertai aturan pelaksanaan, bahkan tidak menunjuk
lembaga yang bertanggung-jawab untuk mengimplementasikannya). Kebijakan
seperti ini umumnya hanya untuk mengakomodir tuntutan-tuntutan kelompok
kepentingan yang bersifat oposisi.
2. Kesulitan menafsirkan kebijakan dalam bentuk-bentuk kegiatan operasional, baik
tujuan kebijakan yang terlalu utopis, tidak sesuai dengan keadaan lapangan,
ataupun karena kendala-kendala di lapangan yang membatasi alternative tindakan.

2. Poorly Implemented

Lemahnya kapasitas implementasi (implementation capacity) dari pelaksananya. Hal ini


dapat terjadi karena :

1. Struktur implementasi tidak disusun secara efektif.


2. Benturan penafsiran atas tujuan program antar aktor, baik administrator, petugas lapangan,
maupun kelompok sasaran.
3. Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun kelompok
sasaran.
4. Kurangnya kapasitas dan kapabilitas pelaksana (SDM yang dibutuhkan tidak tepat/sesuai)
5. Kurangnya kapasitas dan kapabilitas organisasional dari institusi-institusi pelaksana
6. Lemahnya manajemen implementasi
7. Kurangnya risorsis (anggaran, alat, waktu), dll.

Dari uraian mengenai factor-faktor yang dapat menjadi kendala dalam proses implementasi,
dapat disimpulkan bahwa keberhasilan implementasi akan sangat bergantung pada :

1. Logika kebijakan itu sendiri


2. Kemampuan Pelaksana
3. Keterdiaan Sumberdaya yang dibutuhkan
4. Manajemen implentasi yang baik
5. Lingkungan dimana kebijakan tersebut dilaksanakan.

Banyaknya kegagalan dalam implementasi kebijakan telah memunculkan kajian baru dalam
studi kebijakan yaitu studi implementasi kebijakan, berikut pendekatan-pendekatan dan
teori-teori yang dihasilkannya. Sedang untuk menilai keberhasilan atau kinerja sebuah
kebijakan maka dilakukan evaluasi kebijakan.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Bab ini memberikan pengantar bagi studi implementasi dengan terlebih dahulu memahami
induknya yakni kebijakan publik. Jika kebijakan publik dimaknai sebagai segala sesuatu yang
diputuskan pemerintah berkaitan dengan publik dan permasalahannya; maka implementasi
adalah menafsirkan keputusan pemerintah tersebut dalam bentuk tindakan – tindakan. Jika
Kebijakan Publik bertujuan untuk mengintervensi masalah – masalah public melalui aturan
atau program-program pembangunan, maka implementasi adalah sarana – sarana tindakan
untuk mencapainya atau bentuk nyata dari intervensi itu sendiri.

Tidak selamanya apa yang diputuskan oleh pemerintah mencapai hal yang diharapkan setelah
dilaksanakan. Output implementasi mungkin saja bisa sesuai dengan yang dikehendaki,
namun outcomesnya bisa sangat berbeda, padahal justru pencapaian Outcomes tersebutlah
yang menentukan berhasil-tidaknya sebuah kebijakan mencapai tujuannya. Berbagai factor
dapat mempengaruhinya, yang dalam perspektif proses kebijakan, bahkan sudah dimulai dari
awal perancangan kebijakan tersebut. Mengapa hal tersebut terjadi dan bagaimana
pengetahuan dapat mempengaruhi hasilnya (di kemudian hari)? Pertanyaan – pertanyaan
tersebutlah yang akhirnya melahirkan studi implementasi. Analisis proses kebijakan
memberikan titik sebagai starting point untuk memahami letak proses implementasi dalam
keseluruhan proses kebijakan.

Untuk menyimpulkan tentang apa yang terkandung dalam konsep implementasi, pernyataan
Muhammad Syukur Abdullah (1988) berikut ini mungkin akan dapat memperjelas:

1. Proses implementasi program kebijaksanaan adalah “rangkaian tindakan tindak lanjut


(setelah sebuah program atau kebijaksanaan ditetapkan) yang terdiri atas pengambilan
keputusan, langkah – langkah yang strategis maupun yang operasional yang ditempuh guna
mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, untuk mencapai sasaran
dari program yang telah ditetapkan sejak semula.
2. Proses implementasi dalam kenyataan yang sesungguhnya dapat berhasil, kurang berhasil
atau gagal sama sekali, ditinjau dari wujud hasil yang dicapai atau outcomes, karena dalam
proses tersebut turut bermain dan terlibat berbagai unsur yang pengaruhnya dapat bersifat
mendukung atau menghambat pencapaian sasaran program.
3. Pada dasarnya implementasi kebijaksanaan memuat suatu proses tindakan administrasi dan
politik, proses administrasi dapat ditujukan melalui bagaimana para aktor yang terlibat
dalam kebijaksanaan menciptakan suatu system, struktur, prosedur dan aturan – aturan
untuk melaksanakan kebijaksanaan mencapai tujuan. Sedang proses politik dapat ditelaah
dari bagaimana aktor – aktor yang terlibat tersebut memilih dan menentukan alternatif –
alternatif mana yang harus diambil dan dapat digunakan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.

Dari berbagai uraian tersebut diatas, secara ringkas Implementasi dapat disimpulkan sebagai
berikut:

1. Merupakan mata rantai yang menghubungkan antara kebijakan dengan dampak yang
diharapkan terjadi. Karena tanpa implementasi, kebijakan tak akan bisa mewujudkan
hasilnya.
2. Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks, rumit dan dinamis.
3. Dalam prosesnya benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan,
maupun kelompok sasaran sering terjadi.
4. Selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun
strateginya oleh aktor aktor pelaksananya.
5. Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual, organisasional
maupun lingkungan.

TUGAS – TUGAS MAHASISWA :

Tugas 1. Identifikasikan area publik dan area privat dalam konteks kebijakan di Indonesia.

Tugas 2. Cari sedikitnya lima definisi/ konsep tentang public policy, berikan kesimp[ulan
anda tentang konsep policy publik)

Tugas 3. Cari sedikitnya 5 konsep tentang implementasi dari berbagai sumber, dan dari
konsep yang ada di buku ajar ini dirumuskan kesimpulan anda tentang implementasi policy
serta tujuan dan fungsinya.
Tugas 4. Mengidentifikasikan paradigm/model pembuatan Kebijakan Publik yang umumnya
berlaku di Idonesia beserta alasan pembenarnya

Tugas 5. Mengidentifikasikan setidaknya 5. kendala-kendala implementasi beserta


contohnya.

SENARAI

Kebijakan

Kebijakan Publik Tujuan kebijakan

Pendekatan Sistem dalam kebijakan Publik

Pendekatan Proses dalam kebijakan Publik

Rasionaliatas Pembuatan Kebijakan Rasionalitas terbatas

Muddling-Through Model Public Choice

Society-Centered Models State-Centered Models

Implementasi kebijakan Input Implementasi Kebijakan

Output implementasi Outcome implementasi

Kendala Implementasi ImplementationGap


Unimplemented Policy Poorly-Implemented Policy

DAFTAR PUSTAKA

1. 1. James E. Anderson, Public Policy Making, Reinhart and Wiston, New York, 1970,
2. 2. Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1978.
3. 3. Randall P. Ripley (Policy Analysis in Political Science, Nelson Hall, Chicago, 985)
4. 4. Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
5. 5. John W, Kingdon, Agendas, Alternative and Public Poilicies Little Brown & Company,
Totonto: 1984.
6. 6. Riant Nugroho, Public Policy, Elekmedia Komputindo, Jakarta; 2008
7. 7. Robert R Meyer & Ernest Greenwood Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial CV.
Rajawali, Jakarta, 1984.
8. 8. Nicholas Henry, Public Administration and Public Affairs, Ninth Edt, 2004, 305).
Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno (2012) adalah
apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever
government choose to do or not to do). Defenisi ini menunjukkan bahwa kebijakan
publik dibuat oleh badan pemerintah dan kebijakan publik juga menyangkut pilihan
yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Segala keputusan yang diambil
pemerintah adalah kebijakan, namun tidak mengambil keputusan pun adalah suatu
kebijakan.

Sebelumnya, Rose (1969) yang dikutip oleh Winarno (2012) mendefenisikan


kebijakan publik sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan
beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan .

Selanjutnya, menurut James Anderson (1979) yang dikutip oleh Subarsono (2009),
kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud yang
ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah
atau suatu persoalan.

Defenisi lain diungkapkan Nugroho (2008), bahwa kebijakan publik adalah


keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk
merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan untuk mengantar masyarakat
menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Sementara menurut William Dunn (1995) kebijakan publik adalah pedoman yang
berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung
tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya. Kebijakan publik
muncul dari adanya permasalahan publik dan kebijakan yang dihasilkan merupakan
upaya penyelesaian masalah tersebut. Namun tidak semua permasalahan menjadi
permasalahan publik yang dianggap membutuhkan suatu kebijakan. Lahirnya suatu
kebijakan akan melalui suatu proses yang disebut siklus kebijakan publik.

Kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dalam Keban (2008, h.60) adalah
pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Sedangkan menurut Suwitri
dalam Suaedi dan Wardiyanto (2010, h.138), kebijakan publik adalah serangkaian
tindakan berupa pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
rangka mencapai tujuan negara yang merupakan kepentingan publik dengan
memperhatikan input yang tersedia, berdasarkan usulan dari seseorang atau
kelompok orang di dalam pemerintahan atau di luar pemerintahan.

Bahkan menurut AG. Subarsono (2005:1), kebijakan publik merupakan bagian dari
studi ilmu administrasi negara, tetapi bersifat multidisipliner, karena banyak
meminjam teori, metode dan teknik dari studi ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu
politik, dan ilmu psikologi. Studi kebijakan publik mulai berkembang pada awal
tahun 1970-an terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Laswell tentang Policy
Sciences. Fokus utama studi ini adalah pada penyusunan agenda kebijakan,
formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi
kebijakan.

Menurut Solichin Abdul Wahab (1997:1-2) Istilah public Policy (kebijaksanaan


negara) seringkali penggunaannya saling ditukarkan dengan istilah-istilah lain
seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan,
usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Bagi para pembuat kebijaksanaan
(policy makers) dan para sejawatnya istilah-istilah itu tidaklah akan menimbulkan
masalah apapun karena menggunakan referensi yang sama. Namun bagi orang-
orang yang berada di luar struktur pengambilan kebijaksanaan istilah-istilah
tersebut mungkin akan membingungkan.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kebijaksanaan itu diartikan sebagai pedoman


untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat
umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci,
bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijaksanaan dalam
maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar
pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai
aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana (United Nations, 1975).

Seorang ahli, James E. Anderson (1979), merumuskan kebijaksanaan sebagai


perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau
serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Kadangkala orang awam bingung dan tidak dapat membedakan antara


kebijaksanaan (policy) dan politik (politics). Namun untuk mudahnya kita harus
selalu ingat bahwa istilah policy itu dapat dan memang seyogianya bisa
dipergunakan di luar konteks politik.
Menurut Budi Winarno (2007:15) dalam kehidupan modern seperti sekarang ini,
kita tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai kebijakan publik. Kebijakan-
kebijakan tersebut kita temukan dalam bidang kesejahteraan sosial (social welfare),
di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi,
hubungan luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan
tersebut ada yang berhasil namun banyak juga yang gagal.

Sedangkan Riant Nugroho (2008:55) merumuskan definisi kebijakan publik secara


sederhana yakni “kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya
pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan.
Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang
dicita-citakan.”

Dengan demikian, kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta
politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah
terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses
kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan
publik tidak saja bersifat positif, namum juga negatif, dalam arti pilihan keputusan
selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang
bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi
win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banya pada ranah zero-
sum-game, yaitu menerima yang ini, dan menolak yang itu.

Dalam AG. Subarsono (2005:3) dari hirarkinya dapat dilihat, kebijakan publik dapat
bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan Keputusan/Walikota. Sebagaimana juga diatur dalam
Undang-undang No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 mengatur jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah.

Kebijakan publik, menurut Riant Nugroho (2008:69) adalah keputusan otoritas


negara yang bertujan mengatur kehidupan bersama. Tujuan kebijakan publik dapat
dibedakan sebagai berikut:

a. Men-distribusi sumber daya negara kepada masyarakat, termasuk alokatif,


realokatif, dan redistribusi, vesus meng-absorbsi atau menyerap sumber daya ke
dalam negara.
b. Regulative versus deregulatif.
c. Dinamisasi versus stabilisasi.
d. Memperkuat Negara versus memperkuat masyarakat/pasar.

Pada praktiknya, setiap kebijakan mengandung lebih dari satu tujuan kebijakan yang
dikemukan di atas, dengan kadar yang berlainan. Kebijakan publik selalu
mengandung multi-tujuan, yaitu untuk menjadikan kebijkan itu sebagai kebijkan
yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama.

Menurut Dye, 1981: Anderson, 1979, bahwa studi kebijakan publik memiliki tiga
manfaat penting, yakni untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, meningkatkan
profesionalisame praktis, dan untuk tujuan politik.

Dalam Budi Winarno (2007:30-31) kebijakan publik secara garis besar mencakup
tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Sementara itu, analisis kebijakan berhubungan dengan penyelidikkan dan
deskripsi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik.

Menurut AG. Subarsono (2005:18-19), analis kebijakan merupakan proses kajian


yang mencakup lima komponen, dan setiap komponen dapat berubah menjadi
komponen lain melalui prosedur metodologi tertentu, seperti perumusan masalah,
peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi.

James Anderson (1979:23-24) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan proses


kebijakan publik sebagai berikut:

Proses Kebijakan Publik menurut Anderson, dkk

Menurut James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2005:186) proses
kebijakan melalui tahap-tahap/stages sebagai berikut:

1. Agenda Kebijakan (Policy Agenda):


Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan?
Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?

2. Formulasi kebijakan (Formulation):


Bagaimana mengembangkan pilihan- pilihan atau alternatif-alternatif untuk
memecahkan masalah tersebut Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi
kebijakan?

3. Penentuan kebijakan (Adoption):


Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau criteria seperti apa yang harus
dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi
untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?

4. Implementasi (Implementation):
Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa
dampak dari isi kebijakan?

5. Evaluasi (Evaluation):
Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang
mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan?

Pakar lain, Dye mengemukakan tahap proses kebijakan yang hampir mirip dengan
model Anderson, dkk. Di model Dye terlihat bahwa proses kebijakan Anderson, dkk.
mendapatkan satu tambahan tahap sebelum agenda setting, yaitu identifikasi
masalah kebijakan. Dalam hal ini Dye melihat tahapan pra penentuan agenda
(agenda setting) yang terlewatkan oleh Anderson, dkk.. Selain itu Dye juga
menggantikan tahap policy adoption dengan policy legitimation. Namun dalam hal
ini pergantian ini tidak memiliki perbedaan mendasar karena baik Anderson, dkk.
dan Dye sama-sama menekankan pada proses legitimasi dari kebijakan itu menjadi
suatu keputusan pemerintah yang sah.

Proses Kebijakan Publik Menurut Dye

Sumber: Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008: 189)

Sedangkan menurut AG. Subarsono (2005:8) bahwa proses analisis kebijakan publik
adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam prose kegiatan yang
bersifat politis. Aktivitas politis tersebut Nampak dalam serangkaian kegiatan yang
mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijkan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah,
forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah
aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

Selain teori proses kebijakan dari Anderson, dkk. dan Dye terdapat teori lain seperti
dari William N. Dunn dan Patton & Savicky. Baik Dunn maupun Patton & Sawicky
mengemukakan model-model proses kebijakan yang lebih bersifat siklis daripada
tahap-tahap/stages. Dunn menambahkan proses forecasting, recommendation, dan
monitoring. Hampir sama seperti Anderson, dkk. maupun Dye, Dunn membuat
analisis pada tiap tahap dari proses kebijakan dari model Anderson, dkk. dan Dye.

William Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam 5 tahap yaitu :

Proses Kebijakan Publik


( William N. Dunn, 2003 )

1. Penyusunan agenda (Agenda Setting) yaitu agar suatu proses masalah bisa
mendapatkan perhatian dari pemerintah;
2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation), merupakan proses perumusan
pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah;
3. Pembuatan kebijakan (Decision Making) merupakan proses ketika pemerintah
membuat pilihan untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan;
4. Implementasi kebijakan (Policy Implementation), yaitu proses melaksanakan
kebijakan supaya mencapai hasil;
5. Evaluasi kebijakan yaitu proses untuk menilai hasil atau kinerja kebijakan yang
telah dibuat.
Pada tiap tahap kebijakan Dunn mendefinisikan analisis kebijakan yang semestinya
dilakukan. Pada tahap penyusunan agenda/agenda setting, analisis yang mesti
dilakukan adalah perumusan masalah/identification of policy problem. Dalam hal
ini Dunn membuat sintesis dari model Anderson, dkk. dan Dye yaitu
menggabungkan tahapan antara identification of problem dan agenda setting dari
Dye dengan tahap policy agenda dari Anderson. Pada tahap formulasi
kebijakan/policy formulation, terdapat langkah analisis yang seharusnya dilakukan
yaitu peramalan/forecasting.

Dunn menjelaskan: Peramalan dapat menguji masa depan yang plausibel, potensial,
dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang
diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian
tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai
pilihan.

Sedangkan Michael Howlet dan M. Ramesh (1995:11) menyatakan bahwa proses


kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting), yakni proses agar suatu masalah bisa
mendapat perhatian dari pemerintah.
2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation), yakni proses perumusan pilihan-
pilihan kebijakan oleh pemerintah.
3. Pembuatan Kebijakan (Decision Making), yakni proses ketika pemerintah
memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan.
4. Implementasi kebijakan (Policy Implementation), yaitu proses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5. Evaluasi kebijakan (Policy Evaluation), yakni proses untuk memonitor dan
menilai hasil atau kinerja kebijakan.

Namun demikian, ada satu pola yang sama, yang dikembangkan dari pendekatan
dalam teori sistem oleh Riant Nugroho (2008:352-354) bahwa model formal proses
kebijakan adalah dari “gagasan kebijakan”, formalisasi dan legalisasi kebijakan”,
“implementasi”, baru kemudian menuju pada kinerja atau mencapai prestasi yang
diharapkan-yang didapatkan setelah dilakukan evaluasi kinerja kebijakan.

Mengapa implementasi penting ?

• Implementasi merupakan proses yg penting dalam proses kebijakan, dan tak terpisahkan
dari proses formulasi kebijakan (Jones, 1987)

• Implementasi bahkan jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan hanya berupa
impian atau rencana yg bagus dan tersimpan dalam arsip kalau tak diimplementasikan
(udoji, 1981)

• Tanpa implementasi kebijakan tak akan bisa mewujudkan hasilnya.

• Implementasi bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit.

• Benturan kepentingan antar aktor baik administrator, petugas lapangan, maupun sasaran
sering terjadi
• Selama implementasi sering terjadi beragam interprestasi atas tujuan, target maupun
strateginya

• Implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik variabel individual maupun


organisasional

• Dalam prakteknya sering terjadi kegagalan dalam implementasi

• Banyaknya kegagalan dalam implementasi kebijakan telah memunculkan kajian baru dalam
studi kebijakan yaitu studi implementasi kebijakan

• Guna menilai keberhasilan atau kinerja sebuah kebijakan maka dilakukan evaluasi kebijakan

Bagaimana melakukan intervensi dalam implementasi?

Mazmanian dan Sabatier (1983); memberikan langkah-langkah sbb :

1. Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi

2. Menegaskan tujuan yang hendak dicapai

3. Merancang struktur proses implementasi

Dg demikian program harus disusun secara jelas dan harus dioperasionalkan dalam bentuk proyek.

Lineberry (1984) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam implementasi :

1. Pembentukan unit organisasi atau staf pelaksana

2. penjabaran tujuan dalam berbagai aturan pelaksana (Standard operating procedures/SOP)

3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran pada kelompok sasaran serta pembagian tugas
diantara badan pelaksana

4. pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan

Menurut Anderson 1979) ada 4 aspek dalam implementasi kebijakan :

1. Who is involved policy implementation ?

2. The nature of administrative process (hakekat dari proses administrasi)

3. Compliance with policy (kepatuhan pada kebijakan)

4. The effect of implementation (dampak dari pelaksanaan kebijakan)

Faktor penentu keberhasilan implementasi

1. Logika kebijakan itu sendiri

2. Kemampuan pelaksana dan ketersediaan sumber


3. Manajemen yang baik

4. Lingkungan dimana kebijakan diimplementasikan

• Sering terjadi suatu program tidak mampu mewujudkan tujuannya( kegagalan implementasi)

• Ketidakmampuan program mewujudkan tujuan disebut oleh Andrew Dunsire sebagai


implementation gap yaitu suatu kondisi dimana dalam proses kebijakan terjadi perbedaan
antara apa yang diharapkan pembuat kebijakan dengan apa yg senyatanya terjadi.

• Implementation gap ini sangat dipengaruhi oleh implementation capacity dari orgs
pelaksana (Goggin, 1990)

Kegagalan implementasi

A. Tak bisa diimplementasikan

B. Unsucsessfull implementation

Penyebab kegagalan sebuah kebijakan :

1. Bad policy : perumusannya asal-asalan, kondisi internal belum siap, kondisi eksternal tak
memungkinkan dsb

2. Bad implementation : pelaksana tak memahami juklak, terjadi implementation gap dsb)

3. Bad Luck

Faktor lain penyebab publik tak mau melaksanakan kebijakan (Anderson, 1979)

• Kebijakan bertentangan dg sistem nilai masyarakat

• Adanya konsep ketidakpatuhan selektif thd hukum

• Keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi/ kelompok

• Tidak adanya kepastian hukum (terjadi pertentangan antara kebijakan satu dg lainnya)

• Beberapa pakar beranggapan bahwa studi implementasi perlu melihat output kebijakan, shg
sering disebut juga evaluasi implementasi

• Dalam evaluasi implementasi dilihat dampak jangka pendek akibat proses implementasi
tersebut

• Biasanya bersifat deskriptif kualitatif

• Metode pengumpulan data = metode penelitian sosial lainnya


• Karena bertujuan untuk memberikan umpan balik maka biasanya digunakan metode yg lain
spt, FGD, rapat, brainstorming dsb. Juga catatan-catatan harian pribadi dapat dijadikan
sumber data yang akurat (Bryan & White, 1987)

Evaluasi kebijakan

• Kegiatan untuk menilai sejauhmana kefektifan sebuah kebijakan publik guna


dipertanggungjawabkan pada konstituennya dan sejauhmana tujuan tercapai

• Kegiatan yang bertujuan menilai “manfaat” suatu kebijakan (Jones ,1984)

• Kegiatan yang ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk
mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan meraih dampak yg diinginkan

Apa itu evaluasi.?

• Anderson (1979) : Evaluasi adalah the appraisal of assesstment of policy including its content
implementation and impact (penilaian atau pengukuran kebijakan termasuk isi,
implementasi dan dampaknya)

• Jones (1987) Evaluasi : an activity designed to judges the merits of government programs
which varies significancy in the spesificationof objects, the techniques measurement and
methods of analysis (suatu aktivitas yg dirancang untuk menilai keberhasilan program-
program yg berbeda secara tajam dalam spesifikasi obyeknya, tehnik pengukurannya serta
metode analisanya).

Mengapa evaluasi diperlukan ?

• 1. Merupakan satu tahapan dalam siklusKebijakan

• 2. mengetahui keberhasilan/ kegagalan atau kebijakan

• 3. mengetahui penyebab kegagalan

• 4. mengetahui apakah dampak kebijakan publik sesuai dg yang diharapkan

• 5. menilai manfaat suatu kebijakan

Manfaat Evaluasi kebijakan :

• 1. Memperoleh informasi tentang kinerja kebijakan

• 2. Mendorong seseorang untuk lebih memahami maksud, kualitas dan dampak kebijakan

• 3. Umpan balik bagi manajemen dalam rangka perbaikan/ penyempurnaan implementasi

• 4. Memberikan rekomendasi pada pembuat kebijakan

Fungsi Evaluasi (Dunn; Ripley)


• Eksplanasi : Menjelaskan realitas pelaksanaan program

• Kepatuhan : Melihat apakah pelaksanaan sesuai standar dan prosedur)

• Auditing: Melihat apakah output sampai ke sasaran. Adakah kebocoran dan penyimpangan

• Akunting : Apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan. Misal seberapa jauh mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat, adakah dampak yang ditimbulkan

Anda mungkin juga menyukai