BAB : I-IV
JUDUL BUKU : KEBIJAKAN PUBLIK BERBASIS DYNAMIC
POLICY ANALYSIS
PENERBIT : GAVA MEDIA
PENGARANG : DWIYANTO INDIAHONO
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013
mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui,
mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan
pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan
kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah,
perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan
penilaian kebijakan.
a.
Kegiatan ini
Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam
penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas
pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan
kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik,
menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.
Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian
besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk
memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan
memasukkan ke dalam agenda pemerintah.
Cara mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.
(4) continuing
agenda, yaitu hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus
menerus.
c.
ini
merupakan
kegiatan
menyusun
dan
mengembangkan
d.
Pengesahan kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses
penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui
dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards).
Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial
seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion
dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai Usahausaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai
kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri.
Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai Suatu proses dimana dua orang
atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan
setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat
merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu
tidak terlalu ideal bagi mereka. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining
adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan
kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya
saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan
dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.
Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa
komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga
membentuk pola sistemik berupa input proses output feedback. Menurut
Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang terdapat dalam proses formulasi
kebijakan adalah :
a.
Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan
secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan
tertentu, sehingga pada akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak bagi
sistem kebijakan. Jika pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan
dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan apa yang
akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran berikutnya,
ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan
mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem.
b.
Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan
memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan
yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap
perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian
mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan
legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan
(policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau
karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap
bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen
terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh
semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan
mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap
Orientasi nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan proses
mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian
menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat, sehingga
setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi nilai, baik secara
implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-aktor yang berperan dalam
formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbangan
diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or balancing
interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer), yakni mampu
menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang didasarkan pada
penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang
maksimal.
Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang dilakukan secara
ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian
tindakan dalam memecahkan problem publik melalui identifikasi dan analisis
alternatif, tidak terlepas dari nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor
dalam proses tersebut. Anderson (1966), Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994,
21) mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari
para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam
beberapa kategori, yakni :
a.
Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari
partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka
dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses
pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya,
sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses pembuatan
kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan miskin aspek lapangannya
sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari aspek politik.
Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah
proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor kekuasaan,
dimana sumber-sumber kekuasaan itu berasal dari strata social, birokrasi,
akademis, profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.
b.
Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilainilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction)
yang
dapat
mempengaruhi
anggota
organisasi
untuk
menerima
dan
d.
Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi
pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang
secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini
adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain.
Pandangan iniu melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu
merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak terlihaty
tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana
mereka menggunakan informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka
menentrukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka
Selain
itu,
ideologi
juga
masih
merupakan
sarana
untuk
b.
c.
d.
pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi
kebijakan.
e.
latihan
dan
pengalaman
pekerjaan
yang
terdahulu
3. Hasil yang berupa keluaran yang berupa keadaan yang diinginkan (output)
atau keluaran yang berupa realitas yang bisa dihitung (outcome); manfaat
(benefit); dampak (impact).
Selanjutnya, implementasi kebijakan juga melibatkan beberapa aktifitas
yakni:
1. Pengorganisasian yang meliputi penataan kembali sumber daya, unit dan
metode sesuai dengan tujuan kebijakan;
2. Penafsiran yang berupa penerjemahan dan penjelasan tujuan kebijakan ke
dalam istilah dan acuan yang bersifat lebih operasional sehingga lebih
mudah dipahami baik oleh personil lembaga pelaksana maupun oleh
pemangku kepentingan atau kelompok sasaran;
3. Aplikasi yang berupa penyediaan layanan, pembayaran, atau pelaksanaan
instrumen atau tujuan yang telah disepakati bersama.
Tahapan implementasi kebijakan publik:
Tahap Interpretasi: tahap penjabaran dan penerjemahan kebijakan yang masih
dalam bentuk abstrak menjadi serangkaian rumusan yang sifatnya teknis dan
operasional. Hasil interpretasi biasanya berbentuk petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis.
Tahap Perorganisasian: tahap pengaturan dan penetapan beberapa komponen
pelaksanaan kebijakan yakni: lembaga pelaksana kebijakan; anggaran yang
diperlukan; sarana dan prasarana; penetapan tata kerja; penetapan manajemen
kebijakan.
Tahap aplikasi: tahap penerapan rencana implementasi kebijakan ke kelompok
target atau sasaran kebijakan.
MODEL-MODEL IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
PUBLIK
(Sebuah
I.
2.
3.
4.
suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk
menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang saya bagikan
adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.
Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang
dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan
guna
mengetahui
bagaimana
pengaruh
faktor-faktor
tersebut
terhadap
a. Komunikasi (Communication)
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator
kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan
proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers)
kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).
dalam
implementasi
kebijakan.
Sedangkan
dimensi
konsistensi
Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan
untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan
yang dijelaskan sebagai berikut :
1) Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari
sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya
manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan kompetensi
di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia
apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya
manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa
sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia, implementasi
kebijakan akan berjalan lambat.
2) Anggaran (Budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan
modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin
terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi,
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3) Fasilitas (facility)
fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung,
tanah
dan
peralatan
perkantoran
akan
menunjang
dalam
keberhasilan
informasi
yang
relevan
dan
cukup
terkait
bagaimana
organisasi
memiliki
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu
mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme,
dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur
(SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar
dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan.
Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan
terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan
aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.
3. Mazmanian dan Sabatier
Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai
upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka :
Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated
in a statute but wich can also take the form of important executives orders or
court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and,
in a vaiety of ways, structures the implementation process
Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga
variable, yaitu (Nugroho, 2008)
a.. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan
dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki.
b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan
proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan
teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang
lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana
4. Model Grindle
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah
b.
c.
d.
e.
Pelaksana program
f.
b.
c.
khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang
mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber
daya implementasi yang diperlukan.
II.
Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan
Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat
Environmental
factors
unsur-unsur
di
dalam
lingkungan
yang
b. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau programprogram tertentu.
c. Evaluasi kebijakan sistematis. Melihat secara obyektif programprogram
kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan
melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut dicapai.
Menjawab kontribusi dampak dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Langkah Evaluasi
Edward A. Schuman mengemukakan 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan Standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan
tersebut atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
Evaluasi dalam Analisis Kebijakan
Sifat Evaluasi
1.
Fokus Nilai
2.
3.
Orientasi Masa Kini dan Masa lampau Ex Post, beda dengan tuntutan
advokatif
4.
1. Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid
dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh
kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuantujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan) dan target tertentu.
2. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas
dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga
dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target
dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan
kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai
maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis,
ekonomis, legal, sosial, substantif).
3. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode
analisis
kebijakan
lainnya,
termasuk
perumusan
masalah
dan
Evaluasi Semu
1. Asumsi : Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya
2. Contoh: Jumlah lulusan pelatihan, Jumlah unit pelayanan medis yang
diberikan
3. Teknik: sajian grafik, tampilan Tabel, angka indeks, Analisis seri waktu
Evaluasi Formal
1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator
yang secara remi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat
atau nilai
2. Contoh: Evaluasi program pendidikan
3. Teknik : Pmetaan sasaran, pemetaan hambatan, klarifikasi nilai, kritik
nilai, analisis crosstab
Evaluasi keputusan teoritis
1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara
formal ataupun diam-diam
2. Cara untuk mengatasi kekurangan evaluasi semu dan formal (Kurang dan
tidak dimanfaatkannya informasi kinerja, Ambiuitas kinerja tujuan,
Tujuan-tujuan yang saling bertentangan)
3. Tujuan Utama : menghubungkan informasi mengenai hasil-hasil kebijakan
dengan nilai-nilai dari berbagaipelaku kebijakan
4. Teknik: Brainstorming, analisis argumentasi, Analisi survaipemakai
Evaluasi Kebijakan
1. Para pelaku yang terlibat dalam tahap perumusan dan implementasi
kebijakan, cenderung untuk memandang evaluasi dari sudut asumsi dan
prosedur sehubungan dengan pencPapaian tujuan utama.
2. POLICY
MAKERS:
cenderung
memandang
evaluasi
dari
segi
dapat
HAKIKAT EVALUASI
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. kebijakan harus diawasi,
dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai evaluasi
kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh
mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara
harapan dengan kenyataan.
Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk
melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup
kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan
menutup kekurangan.
Tiga lingkup makna evaluasi kebijakan publik
1. evaluasi perumusan kebijakan.
2. evaluasi implementasi kebijakan.
3. evaluasi lingkungan kebijakan.
4 fungsi evaluasi kebijakan publik
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program
dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator
dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai
dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai
ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari
kebijakan tersebut.
Evaluasi Formulasi Kebijakan Publik
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah
formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan:
1. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak
diselesaikan, karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi
kebijakan publik berlainan.
2. Mengarah kepada permasalahan inti, karena setiap pemecahan masalah
harus benar-benar mengarah kepada inti permasalahannya.
3. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka
keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduan langkah
perumusan;
4. Mendayagunakan sumber daya ada secara optimal, baik dalam bentuk
sumber daya waktu, dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis.
11 model evaluasi formulasi kebijakan publik
1. model kelembagaan
2. model proses
3. model kelompok
4. model elit
5. model rasional
6. model inkremental
7. model teori permainan
8. model pilihan publik, dan
9. model sistem
10. model demokratis
11. model perumusan strategis
Sajian grafik Tampilan tabel Angka indeks Analisis seri waktu terinterupsi
Analisis seri terkontrol Analisis diskontinyu regresi
2.
3.
A.
Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya
dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai
pelaku kebijakan.
B.
Asumsi:
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun
diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
C.
Bentuk-bentuk Utama:
Penilaian tentang Dapat tidaknya Dievaluasi Analisis uitilitas multi-atribut.
D.
Teknik:
laboratorium
atau
eksperimental,
yaitu
evaluasi
namun
Keterangan Gambar
1. evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model atau metode
implementasi kebijakan. Pada dasarnya, setiap metode implementasi
kebijakan di dalam dirinya telah menyediakan alat ukur bagi
keberhasilan/kinerja implementasi kebijakan.
2. evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan dari evaluator
yang dibebankan kepadanya.
3. Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan kompetensi
keilmuan dan metodologis yang dimilikinya.
4. Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan tidak
melakukan evaluasi politik.
5. evaluator harus menyesuaikan diri dengan sumber daya yang dimiliki,
mulai sumber daya waktu, manusia, alat atau teknologi, dana, sistem,
manajemen, bahkan sumber daya kepemimpinan yang ada.
namun
dukungan
lingkungan.
Konteks
lingkungan
dikedepankan karena perubahan yang terjadi hari ini dan dimasa depan adalah
perubahan dalam volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini begitu
mencemaskan karena tidak banyak melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat,
mendadak sudah menjadi usang karena perubahan.
Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua
tugas yang berbeda :
a. Untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu
kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya.
b. Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan
standard atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tipe evaluasi kebijakan :
James Anderson membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe:
Fokus Nilai
2.
3.
Orientasi Masa Kini dan Masa lampau Ex Post, beda dengan tuntutan
advokatif
4.
kebijakan
lainnya,
termasuk
perumusan
masalah
dan
Evaluasi Kebijakan
1. Para pelaku yang terlibat dalam tahap perumusan dan implementasi
kebijakan, cenderung untuk memandang evaluasi dari sudut asumsi dan
prosedur sehubungan dengan pencPapaian tujuan utama.
2. POLICY
MAKERS:
cenderung
memandang
evaluasi
dari
segi
dapat
HAKIKAT EVALUASI
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. kebijakan harus diawasi,
dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai evaluasi
kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh
mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara
harapan dengan kenyataan.
Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk
melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup
kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan
menutup kekurangan.
Tiga lingkup makna evaluasi kebijakan publik
1. evaluasi perumusan kebijakan.
2. evaluasi implementasi kebijakan.
3. evaluasi lingkungan kebijakan.
4 fungsi evaluasi kebijakan publik
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program
dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator
dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai
dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
D. Teknik:
Sajian grafik Tampilan tabel Angka indeks Analisis seri waktu terinterupsi
Analisis seri terkontrol Analisis diskontinyu regresi
2.
3.
A.
Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya
dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai
pelaku kebijakan.
B.
Asumsi:
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun
diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
C.
Bentuk-bentuk Utama:
Penilaian tentang Dapat tidaknya Dievaluasi Analisis uitilitas multi-atribut.
D.
Teknik:
Brainstorming Analisis argumentasi delphi kebijakan Analisis Survei Pemakai.
James P. Lester dan Joseph Steward Jr. (2000), mengelompokkan evaluasi
implementasi kebijakan:
1. evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi,
2. evaluasi impak atau evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh
dari implementasi kebijakan,
3. evaluasi kerjakan yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan
tujuan yang dikehendaki, dan
4. evaluasi metaevaluasi yang berkenaan dengan untuk menemukan
kesamaan-kesamaan tertentu.
Ernest R. House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda,
yang membagi model evaluasi menjadi :
1. model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.
2. model perilaku, dengan indikator utama adalah reduktivitas dan
akuntabilitas.
3. model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keefektifan
dan keterjagaan kualitas.
4. model tujuan bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan
pengguna dan manfaat sosial.
5. model kekritisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah
standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.
6. model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan
profesional.
7. model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi,
dan
8. model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas.
laboratorium
atau
eksperimental,
yaitu
evaluasi
namun
Keterangan Gambar
1. evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model atau metode
implementasi kebijakan. Pada dasarnya, setiap metode implementasi
kebijakan di dalam dirinya telah menyediakan alat ukur bagi
keberhasilan/kinerja implementasi kebijakan.
2. evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan dari evaluator
yang dibebankan kepadanya.
3. Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan kompetensi
keilmuan dan metodologis yang dimilikinya.
4. Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan tidak
melakukan evaluasi politik.
namun
dukungan
lingkungan.
Konteks
lingkungan
dikedepankan karena perubahan yang terjadi hari ini dan dimasa depan adalah
perubahan dalam volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini begitu
mencemaskan karena tidak banyak melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat,
mendadak sudah menjadi usang karena perubahan.