Anda di halaman 1dari 47

RESUME

BAB : I-IV
JUDUL BUKU : KEBIJAKAN PUBLIK BERBASIS DYNAMIC
POLICY ANALYSIS
PENERBIT : GAVA MEDIA
PENGARANG : DWIYANTO INDIAHONO

NAMA : ALPIN QURNIAWAN


NIM : 07121401028
MATA KULIAH : KEBIJAKAN PUBLIK
DOSEN : DR. RANIASA PUTRA, M.S

ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013

FORMULASI/PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK


Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik
merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan
hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai,
disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuantujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap
formulasi (Wibawa; 1994, 2). Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24) mengatakan
bahwa folicy formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan
serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus
menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan
keputusan. Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik), Udoji
(Wahab ; 2001, 17) merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai
The whole process of articulating and defining problems, formulating
possible solutions into political demands, channelling those demands into the
political systems, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of
action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback).
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang
terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan
tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan
agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989, 53),
dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah
memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau dengan kata
lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif
kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses
seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana
keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan

mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui,
mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan
pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan
kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah,
perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan
penilaian kebijakan.
a.

Perumusan masalah kebijakan.


Pada prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu
dapat menimbulkan satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi
masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga
secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan,
dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan
keluarnya. Oleh karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi problem
umum tidak hanya cukup dihayati oleh banyak orang sebagai sesuatu masalah
yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki political will untuk
memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi
positif oleh pembuat kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem
umum itu menjadi problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda
pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan publik, maka langkah
pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah
mengidentifikasikan problem yang akan dipecahkan kemudian membuat
perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut.

Kegiatan ini

merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih


dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan
mempermudah dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan.
b.

Penyusunan agenda pemerintah.


Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi begitu banyak
jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan problem
mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara
serius dan aktif, sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang
khas, lebih kongkrit dan terbatas jumlahnya.

Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan


problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :

Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group


equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan
menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi
ketidakseimbangan tersebut.

Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam
penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas
pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan
kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik,
menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.

Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian
besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk
memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan
memasukkan ke dalam agenda pemerintah.

Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga


menarik perhatian para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam
agenda pemerintah.

Masalah-masalah khusus atau isyu-isyu politis yang timbul dalam masyarakat,


sehingga menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai sorotan. Hal
ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga
lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada
masalah atau isyu tersebut.
Sedangkan Jones (1977, 32) mengajukan suatu pedoman untuk meneliti atau
mempelajari tentang syarat-syarat suatu problem publik dapat masuk ke dalam
agenda pemerintah, yakni :

Dilihat dari peristiwanya, yang meliputi ruang lingkup, persepsi masyarakat,


definisi dan intensitas orang-orang yang dipengaruhi oleh peristiwa tersebut.

Organisasi kelompok, yang meliputi luasnya anggota kelompok, struktur


kelompok dan mekanisme kepemimpinan.

Cara mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.

Proses kebijaksanaan, yang meliputi struktur, kepekaan dan kepemimpinan.


Selanjutnya, setelah problem publik tersebut dimasukkan ke dalam agenda
pemerintah, maka para pembuat keputusan memprosesnya kedalam fase-fase,
yang oleh Jones (ibid) dibagi kedalam 4 (empat) tahap, yakni : (1) problem
definition agenda yaitu hal-hal (problem) yang memperoleh penelitian dan
perumusan secara aktif dan serius dari para pembuat keputusan ; (2) proposal
agenda, yaitu hal-hal (problem) yang telah mencapai tingkat diusulkan, dimana
telah terjadi perubahan fase merumuskan masalah kedalam fase memecahkan
masalah ; (3) bargaining agenda, yaitu usulan-usulan kebijakan tadi ditawarkan
untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius ; dan

(4) continuing

agenda, yaitu hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus
menerus.
c.

Perumusan usulan kebijakan


Tahap

ini

merupakan

kegiatan

menyusun

dan

mengembangkan

serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi :

Identifikasi alternatif dilakukan untuk kepentingan pemecahan masalah.


Terhadap problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja dipakai alternatif
kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya
baru maka para pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan
mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas
karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang benar dan jelas pada setiap
alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif.

Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masing-masing


alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya,
sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah
pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari
masing-masing alternatif tersebut.

Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif,


sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai bobot kebaikan dan
kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki
oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan

alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai. Untuk


dapat melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka
dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang relevan.

Memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang


memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat
dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian
terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih secara
memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah diantisipasi untuk
dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif
yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa
pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan
rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan terhadap
kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi
dari pilihannya.

d.

Pengesahan kebijakan
Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses
penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui
dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards).
Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial
seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya.
Proses pengesahan suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion
dan bargaining (Andersson; 1966, 80). Persuasion diartikan sebagai Usahausaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai
kedudukan seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri.
Sedangkan Bergaining diterjemahkan sebagai Suatu proses dimana dua orang
atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur/menyesuaikan
setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat
merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu
tidak terlalu ideal bagi mereka. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining
adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan menerima (take and give) dan
kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, kedua-duanya

saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan
dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.
Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa
komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga
membentuk pola sistemik berupa input proses output feedback. Menurut
Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang terdapat dalam proses formulasi
kebijakan adalah :
a.

Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan
secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan
tertentu, sehingga pada akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak bagi
sistem kebijakan. Jika pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan
dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan apa yang
akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran berikutnya,
ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan
mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem.

b.

Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan
memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan
yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap
perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian
mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan
legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan
(policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau
karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap
bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen
terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh
semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan
mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap

norma ini bahkan menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian


tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi norma bersama.
c.

Orientasi nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan proses
mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian
menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat, sehingga
setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi nilai, baik secara
implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-aktor yang berperan dalam
formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbangan
diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or balancing
interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer), yakni mampu
menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang didasarkan pada
penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang
maksimal.
Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang dilakukan secara
ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian
tindakan dalam memecahkan problem publik melalui identifikasi dan analisis
alternatif, tidak terlepas dari nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor
dalam proses tersebut. Anderson (1966), Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994,
21) mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari
para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam
beberapa kategori, yakni :

a.

Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari
partai politik atau kelompok kepentingan tertentu.
Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka
dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses
pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya,
sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses pembuatan
kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan miskin aspek lapangannya
sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari aspek politik.

Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah
proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor kekuasaan,
dimana sumber-sumber kekuasaan itu berasal dari strata social, birokrasi,
akademis, profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.
b.

Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilainilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction)
yang

dapat

mempengaruhi

anggota

organisasi

untuk

menerima

dan

melaksanakannya. Pada tataran ini, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para


stakeholders lebih dipengaruhi serta dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku
kelompok, sehingga pada gilirannya, produk-produk kebijakan yang dihasilkan
lebih mengakomodasi kepentingan organisasi mereka ketimbang kepentingan
publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah perangkat
sistemik yang mampu mengeliminir kecenderungan tersebut.
c.

Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai


pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status
quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya.
Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih dipahami sebagai suatu
proses yang terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, motivasi dan
hubungan interpersonal. Fokus dari pandangan ini adalah siapa mendapatkan nilai
apa, kappa ia mendapatkan nilai tersebut dan bagaimana ia mengaktualisasikan
nilai yang telah dianutnya.

d.

Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi
pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang
secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini
adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain.
Pandangan iniu melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu
merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak terlihaty
tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana
mereka menggunakan informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka
menentrukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka

mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana informasi diproses dan bagaimana


informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
e.

Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat


menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar
negeri.

Selain

itu,

ideologi

juga

masih

merupakan

sarana

untuk

merasionalisasikan dan melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang


dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah :
a.

Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar.


Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama rationale
comprehensive yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian
rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan
dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap
proses formulasi kebijakan.

b.

Adanya pengaruh kebiasaan lama.


Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumbersumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan
selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai
sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah
ada dipandang memuaskan.

c.

Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi.


Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau
pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat
keputusan berperan besar sekali.

d.

Adanya pengaruh dari kelompok luar.


Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh,
bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan

pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi
kebijakan.
e.

Adanya pengaruh keadaan masa lalu.


Pengalaman

latihan

dan

pengalaman

pekerjaan

yang

terdahulu

berpengaruh pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di


kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan
dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi
wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.
Masalah nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik, merupakan aspek
metapolicy karena menyangkut substansi, perspektif, sikap dan perilaku, baik
yang tersembunyi ataupun yang dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang
bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan publik. Masalah nilai menjadi
relevan untuk dibahas karena ada satu anggapan yang mengatakan bahwa idealnya
pembuat kebijakan itu seharusnya memiliki kearifan sebagai seorang filsuf raja,
yang mampu membuat serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya
secara adil sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar
kebebasan pribadi. Meskipun demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan
keputusan-keputusan kebijakan tidak mampu memaksimasi ketiga nilai tersebut di
atas. Juga, tidak ada bukti pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang
satu lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, maka keputusan-keputusan
kebijakan mau tidak mau haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple values).
Kesadaran akan pentingnya multiple values itu dilandasi oleh pemikiran ethical
pluralism, yang dalam teori pengambilan keputusan sering disebut dengan istilah
multi objective decision making.
Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa para pembuat kebijakan idealnya
memperhatikan semua dampak, baik positif maupun negatif dari tindakan mereka,
tidak saja bagi para warga unit geopolitik mereka, tetapi juga warga yang lain, dan
bahkan generasi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, proses pembuatan
kebijakan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan interaksi antara

kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi professional, para


administrator dan para politisi.
Kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan
keputusan menurut Nigro and Nigro adalah sebagai berikut:
1. Cara berfikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)
2. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu
(Assumption that future will repeat past)
3. Terlampau menyederhanakan sesuatu (Over simplication)
4. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (Overreliance
on onesown experience)
5. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi para pembuat
keputusan (Preconceived nations)
6. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (Unwillingness to
experiment)
7. Keengganaan untuk membuat keputusan (Reluctance to decide).

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK


Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan
publik, ada baiknya kita melihat beberapa hal yang terkait dengan kata
implementasi. Pengertian atas kata tersebut dipandang penting agar kita bisa
lebih memahami dan pada akhirnya berhasil melakukan implementasi sebuah
kebijakan.
Beberapa kamus memberi definisi pada kata implementasi seperti: to
provide the means for carrying out atau to give practical effect to, di Kamus

Besar Bahasa Indonesia edisi IV lema implementasi memiliki makna


pelaksanaan; penerapan. Berdasarkan pengertian tersebut, bisa kita pahami
bahwa implementasi kebijakan publik adalah pelaksanaan atau penerapan
keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam bentuk kegiatan-kegiatan baik
yang dilakukan oleh badan pemerintah tersebut, atau oleh pemangku kepentingan
lain yang menjadi sasaran keputusan yang telah diambil sedemikian rupa sehingga
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan tersebut bisa menimbulkan dampak,
baik dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan ini juga meliputi
transformasi konsep-konsep dalam keputusan menjadi tindakan yang lebih
bersifat operasional.
Lebih lanjut, mari kita bedah implementasi kebijakan publik dengan pisau
keawaman kita. Pertama, implementasi kebijakan memiliki beberapa aspek yaitu:
1. Pengesahan keputusan dalam bentuk peraturan perundangan dalam
berbagai level, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
presiden atau peraturan daerah;
2. Pelaksanaan kebijakan atau keputusan tersebut oleh instansi pelaksana;
3. Kesediaan para pemangku kepentingan atau kelompok target untuk
melaksanakan keputusan-keputusan tersebut;
4. Dampak nyata atas pelaksanaan kebijakan, baik dampak yang bersifat
positif maupun negatif
5. Persepsi instansi pelaksana atas pelaksanaan sebuah kebijakan; dan
6. Upaya perbaikan-perbaikan terhadap pelaksanaan kebijakan.
Komponen-komponen yang terlibat dalam implementasi sebuah kebijakan
adalah sebagai berikut:
1. Sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya dana, maupun
kemampuan organisasional;
2. Tujuan kebijakan, dimana biasanya tujuan kebijakan masih bersifat abstrak
dan harus diwujudkan dalam realitas;

3. Hasil yang berupa keluaran yang berupa keadaan yang diinginkan (output)
atau keluaran yang berupa realitas yang bisa dihitung (outcome); manfaat
(benefit); dampak (impact).
Selanjutnya, implementasi kebijakan juga melibatkan beberapa aktifitas
yakni:
1. Pengorganisasian yang meliputi penataan kembali sumber daya, unit dan
metode sesuai dengan tujuan kebijakan;
2. Penafsiran yang berupa penerjemahan dan penjelasan tujuan kebijakan ke
dalam istilah dan acuan yang bersifat lebih operasional sehingga lebih
mudah dipahami baik oleh personil lembaga pelaksana maupun oleh
pemangku kepentingan atau kelompok sasaran;
3. Aplikasi yang berupa penyediaan layanan, pembayaran, atau pelaksanaan
instrumen atau tujuan yang telah disepakati bersama.
Tahapan implementasi kebijakan publik:
Tahap Interpretasi: tahap penjabaran dan penerjemahan kebijakan yang masih
dalam bentuk abstrak menjadi serangkaian rumusan yang sifatnya teknis dan
operasional. Hasil interpretasi biasanya berbentuk petunjuk pelaksanaan atau
petunjuk teknis.
Tahap Perorganisasian: tahap pengaturan dan penetapan beberapa komponen
pelaksanaan kebijakan yakni: lembaga pelaksana kebijakan; anggaran yang
diperlukan; sarana dan prasarana; penetapan tata kerja; penetapan manajemen
kebijakan.
Tahap aplikasi: tahap penerapan rencana implementasi kebijakan ke kelompok
target atau sasaran kebijakan.
MODEL-MODEL IMPLEMENTASI

KEBIJAKAN

PUBLIK

(Sebuah

Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan dalam Kajian Teoritis)

I.

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)


Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama
muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan
implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : Segala
sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu
adalah buruk di tangan manusia. Masih menurut Parsons (2006), model rasional
ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apaapa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.
Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa
implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar.
Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan
dengan perspektif top down adalah sebagai berikut :
1. Van Meter dan Van Horn
Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi
kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja
kebijakan publik. Beberapa variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah
sebagai berikut :
1.

Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi

2.

Karakteristik agen pelaksana/implementor

3.

Kondisi ekonomi, social dan politik.

4.

Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor.

2. George Edward III


Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik maka
perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu,
diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep

suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk
menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang saya bagikan
adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.
Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang
dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan
guna

mengetahui

bagaimana

pengaruh

faktor-faktor

tersebut

terhadap

implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi


implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:
1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi
kebijakan?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor
yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan
yaitu faktor communication, resources, disposition, dan bureucratic structure
(Edward dalam Widodo, 2011:96-110).
Model Implementasi George C. Edward III

a. Komunikasi (Communication)
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator
kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan
proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers)
kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).

Widodo kemudian menambahkan bahwa informasi perlu disampaikan


kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang
menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga
pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan
pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan
efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.
Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi
penting yaitu tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan
konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar
informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada
kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Dimensi kejelasan menghendaki agar
informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu untuk menghindari kesalahan
interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang
terkait

dalam

implementasi

kebijakan.

Sedangkan

dimensi

konsistensi

menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten sehingga tidak


menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak
terkait.
b. Sumber Daya (Resources)
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.
Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa:
bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan
serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturanaturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk
melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan efektif.

Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan
untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini
mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan
yang dijelaskan sebagai berikut :
1) Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari
sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya
manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikas, profesionalitas, dan kompetensi
di bidangnya, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia
apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya
manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa
sumber daya manusia yang kehandalan sumber daya manusia, implementasi
kebijakan akan berjalan lambat.
2) Anggaran (Budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan
modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin
terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi,
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
3) Fasilitas (facility)
fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung,
tanah

dan

peralatan

perkantoran

akan

menunjang

implementasi suatu program atau kebijakan.


4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)

dalam

keberhasilan

Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan,


terutama

informasi

yang

relevan

dan

cukup

terkait

bagaimana

mengimplementasikan suatu kebijakan. Sementara wewenang berperan penting


terutama untuk meyakinkan dan menjamin bahwa kebijakan yang dilaksanakan
sesuai dengan yang dikehendaki.
c. Disposisi (Disposition)
Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan
berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana
kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan
implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan,
sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakn akan membuat mereka
selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung
jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam
implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka
dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan
oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka
implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.
d. Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)
Struktur

organisasi

memiliki

pengaruh

yang

signifikan

terhadap

implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu
mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme,
dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur
(SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar

dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan.
Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan
terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan
aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.
3. Mazmanian dan Sabatier
Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai
upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka :
Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated
in a statute but wich can also take the form of important executives orders or
court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and,
in a vaiety of ways, structures the implementation process
Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga
variable, yaitu (Nugroho, 2008)
a.. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan
dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan
perubahan seperti apa yang dikehendaki.
b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan
proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses
implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan
teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang
lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana
4. Model Grindle
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah

bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan


dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari
kebijakan tersebut.
Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut
a.

Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan

b.

Jenis manfaat yang akan dihasilkan

c.

Derajat perubahan yang diinginkan

d.

Kedudukan pembuat kebijakan

e.

Pelaksana program

f.

Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu, konteks implementasinya adalah :


a.

Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

b.

Karakteristik lembaga dan penguasa

c.

Kepatuhan dan daya tanggap


Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan,

khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang
mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber
daya implementasi yang diperlukan.
II.

Implementasi Kebijakan Bottom Up


Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik
terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan
bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara
pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model
yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus.
Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada
fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan
kebijakan.
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan
dalam persfektif bottom up adalah

Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi


kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini
memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti
perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai
kelompok sasaran.
Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh empat variable, yaitu
a.

Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan

dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group


untuk melaksanakannya
b.

Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat

mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus


kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan,
maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan
yang telah dirumuskan
c.

Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung

jawab dalam implementasi kebijakan.


d.

Environmental

factors

unsur-unsur

di

dalam

lingkungan

yang

mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan


politik.

EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK


Evaluasi Kebijakan ?

Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian


kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975).
Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi
kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh
proses kebijakan.
Pengertian
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masingmasing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan
program.
Evaluasi mencakup kesimpulan + klarifikasi + kritik + penyesuaian dan
perumusan masalah kembali.
Analisis Kebijakan
Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua
tugas yang berbeda :
a. Untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu
kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya.
b. Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan
standard atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tipe evaluasi kebijakan :
James Anderson membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe:
a. Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Menyangkut prihal
kepentingan (interest) dan ideologi dari kebijakan.

b. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau programprogram tertentu.
c. Evaluasi kebijakan sistematis. Melihat secara obyektif programprogram
kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan
melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut dicapai.
Menjawab kontribusi dampak dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Langkah Evaluasi
Edward A. Schuman mengemukakan 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan Standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan
tersebut atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
Evaluasi dalam Analisis Kebijakan
Sifat Evaluasi
1.

Fokus Nilai

2.

Interdependensi Fakta-Nilai, Pemantauan : prasyarat

3.

Orientasi Masa Kini dan Masa lampau Ex Post, beda dengan tuntutan
advokatif

4.

Dualitas Nilai (tujuan-cara)


Fungsi Evaluasi?
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.

1. Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid
dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh
kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuantujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan) dan target tertentu.
2. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas
dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga
dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target
dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan
kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai
maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis,
ekonomis, legal, sosial, substantif).
3. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode
analisis

kebijakan

lainnya,

termasuk

perumusan

masalah

dan

rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan


dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan,
sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu
didefinisikan ulang. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi
alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan
bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus
dan diganti dengan yang lain.
Evaluasi dengan Rekomendasi?
Ex Post, retrospektif- Ex Ante, prospektif
Pendekatan Evaluasi
1. Evaluasi Semu
2. Evaluasi Formal
3. Evaluasi Keputusan teoritis

Evaluasi Semu
1. Asumsi : Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya
2. Contoh: Jumlah lulusan pelatihan, Jumlah unit pelayanan medis yang
diberikan
3. Teknik: sajian grafik, tampilan Tabel, angka indeks, Analisis seri waktu
Evaluasi Formal
1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator
yang secara remi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat
atau nilai
2. Contoh: Evaluasi program pendidikan
3. Teknik : Pmetaan sasaran, pemetaan hambatan, klarifikasi nilai, kritik
nilai, analisis crosstab
Evaluasi keputusan teoritis
1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara
formal ataupun diam-diam
2. Cara untuk mengatasi kekurangan evaluasi semu dan formal (Kurang dan
tidak dimanfaatkannya informasi kinerja, Ambiuitas kinerja tujuan,
Tujuan-tujuan yang saling bertentangan)
3. Tujuan Utama : menghubungkan informasi mengenai hasil-hasil kebijakan
dengan nilai-nilai dari berbagaipelaku kebijakan
4. Teknik: Brainstorming, analisis argumentasi, Analisi survaipemakai

Evaluasi Kebijakan
1. Para pelaku yang terlibat dalam tahap perumusan dan implementasi
kebijakan, cenderung untuk memandang evaluasi dari sudut asumsi dan
prosedur sehubungan dengan pencPapaian tujuan utama.
2. POLICY

MAKERS:

cenderung

memandang

evaluasi

dari

segi

kepentingan constituents, karena kekuasaan mereka tergantung pada

dukungan rakyat yang diwakili mereka. Cara evaluasi kebijakan adalah


melalui survei terhadap kepuasan rakyat.
3. POLICY IMPLEMENTERS: cenderung memandang evaluasi dari segi
keberhasilan mengelola program. Karena itu ada kecenderungan untuk
menguasai dan mempengaruhi informasi yang diberikan pada policy
decision makers. Caranya:
1. Memilih data dan informasi yang mendukung kinerja
2. Memobilisasi dukungan terhadap kebijakan
Evaluasi Teknis
1. Evaluasi oleh pihak ketiga; yaitu oleh evaluator professional, lebih
menekankan pada cara evaluasi yang secara metodologis

dapat

dipertanggung jawabkan (scientifically valid findings)


2. Policy Makers atau implementer akan menerima hasil evaluasi oleh
profesional sebagai evaluator teknis, apabila dipenuhi persyaratan tertentu:
1. Tujuan yang diinginkan oleh policy makers telah dipahami dengan
benar oleh evaluator teknis;
2. Pencapaian tujuan diukur dengan obyektif
3. Laporan evaluasi menjelaskan hubungan antara tujuan dengan hasil
program
3. Sebaliknya, evaluator teknis hanya bisa melaksanakan tugasnya, apabila:
1. Tujuan kebijakan jelas
2. Tujuan dapat diukur
3. Implementasi diarahkan untuk mencapai tujuan
4. Tersedia cukup data yang diperlukan
4. Meskipun evaluasi teknis bersifat obyektif, hasil evaluasi mempunyai
konsekuensi terhadap policy makers maupun policy implementers.

HAKIKAT EVALUASI

Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. kebijakan harus diawasi,
dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai evaluasi
kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh
mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara
harapan dengan kenyataan.
Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk
melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup
kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan
menutup kekurangan.
Tiga lingkup makna evaluasi kebijakan publik
1. evaluasi perumusan kebijakan.
2. evaluasi implementasi kebijakan.
3. evaluasi lingkungan kebijakan.
4 fungsi evaluasi kebijakan publik
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program
dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator
dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai
dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai
ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.

4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari
kebijakan tersebut.
Evaluasi Formulasi Kebijakan Publik
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah
formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan:
1. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak
diselesaikan, karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi
kebijakan publik berlainan.
2. Mengarah kepada permasalahan inti, karena setiap pemecahan masalah
harus benar-benar mengarah kepada inti permasalahannya.
3. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka
keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduan langkah
perumusan;
4. Mendayagunakan sumber daya ada secara optimal, baik dalam bentuk
sumber daya waktu, dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis.
11 model evaluasi formulasi kebijakan publik
1. model kelembagaan
2. model proses
3. model kelompok
4. model elit
5. model rasional
6. model inkremental
7. model teori permainan
8. model pilihan publik, dan
9. model sistem
10. model demokratis
11. model perumusan strategis

Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik

Mengikuti Prof. Sofyan Effendi, tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan


publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang
digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu :
1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan
dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap
variabel independen tertentu.
2. Faktor-faktor apa saja menyebabkan variasi itu? jawabannya berkenaan
faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan
lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome
dari implementasi kebijakan.
3. OutPut/ keluarannya sepertia apa? Jawabannya sangat tergantung

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi :


1. Evaluasi sebelum pelaksanaan yang disebut William Dunn (1999) sebagai
evaluasi summatif.
2. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses.
3. Evaluasi setelah kebijakan yang juga disebut sebagai evaluasi konsekuensi
(output) kebijakan dan/atau evaluasi impak/pengaruh (output) kebijakan.
Tiga Pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan Publik
1.

Pendekatan Evaluasi Semu


A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif Untuk menghasilkan Informasi valid Tentang
hasil kebijakan
B. Asumsi:
Ukuran manfaat atau terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial
C. Bentuk-Bentuk Utama:
Eksperimentasi sosial Akuntansi sistem Sosial Pemeriksaan sosial Sintesis riset
dan praktek
D. Teknik:

Sajian grafik Tampilan tabel Angka indeks Analisis seri waktu terinterupsi
Analisis seri terkontrol Analisis diskontinyu regresi
2.

Pendekatan Evaluasi Formal


A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya
dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan
program kebijakan.
B. Asumsi:
Tujuan dan Sasaran dari pengambilan dan administrator yang secara resmi
diumumkan merupakan ukuran yang tepat dan manfaat atau nilai.
C. Bentuk-bentuk Utama:
Evaluasi perkembangan Evaluasi Eksperimental Evaluasi proses Retrospektif
(expost) evaluasi hasil retrospektif.
D. Teknik:
Pemetaan sasaran klarifikasi nilai kritik nilai pemetaan hambatan Analisis dampak
saling Disecounting

3.

Pendekatan Evaluasi Keputusan Teoritis

A.

Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya
dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai
pelaku kebijakan.

B.

Asumsi:
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun
diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

C.

Bentuk-bentuk Utama:
Penilaian tentang Dapat tidaknya Dievaluasi Analisis uitilitas multi-atribut.

D.

Teknik:

Brainstorming Analisis argumentasi delphi kebijakan Analisis Survei Pemakai.


James P. Lester dan Joseph Steward Jr. (2000), mengelompokkan evaluasi
implementasi kebijakan:
1. evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi,
2. evaluasi impak atau evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh
dari implementasi kebijakan,
3. evaluasi kerjakan yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan
tujuan yang dikehendaki, dan
4. evaluasi metaevaluasi yang berkenaan dengan untuk menemukan
kesamaan-kesamaan tertentu.
Ernest R. House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda,
yang membagi model evaluasi menjadi :
1. model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.
2. model perilaku, dengan indikator utama adalah reduktivitas dan
akuntabilitas.
3. model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keefektifan
dan keterjagaan kualitas.
4. model tujuan bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan
pengguna dan manfaat sosial.
5. model kekritisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah
standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.
6. model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan
profesional.
7. model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi,
dan
8. model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas.
Ada pula pemilahan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasi kebijakan
berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan

1. evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan


(proses dari hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau
berlainan, di satu tempat yang sama atau berlainan.
2. evaluasi historilal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang
sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.
3. evaluasi

laboratorium

atau

eksperimental,

yaitu

evaluasi

namun

menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis laboratorium.


4. evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak dalam
waktu segera dengan tujuan untuk mendapatkan gambar pada saat itu
(snap shot).
James Andeson membagi evaluasi (implementasi) kebijakan publik menjadi
tiga Tipe
1. Pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan
fungsional.
2. Kedua, evaluasi yang memfokuskan kepada bekerjanya kebijakan.
3. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara obyektif
program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya
bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan
telah dicapai (dikutip Winarno, 2002, 168).
Edward A. Suchman (dikutip Winarno, 2002, 169) di sisi lain lebih masuk ke
sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan,
yaitu :
1. mengidetifikasi tujuan program yang akan dievaluasi,
2. analisis terhadap masalah,
3. deskripsi dan standardisasi kegiatan,
4. pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi,
5. menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari
kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain,
6. beberapa indikator untuk menentuan keberadaan suatu dampak.

Dari berbagai-bagai ragam dan teknik evaluasi implementasi tersebut,


pertanyaannya adalah mana yang hendak digunakan? Jawabannya juga tidak
berbeda, tergantung kebutuhan evaluator. Keseluruhan model tersebut di atas
mencerminkan ragam dari kebutuhan evaluator, baik yang digerakkan dari
perbedaan kepentingan, perbedaan latar belakang, perbedaan tujuan, perbedaan
keberadaan (pemerintah atau target), perbedaan waktu, dan lain-lain.
evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok:
1. tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja
kebijakan.
2. yang bersangkutan harus mampu mengambil jarak dari pembuat
kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.
3. Prosedur evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.
Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik

Keterangan Gambar
1. evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model atau metode
implementasi kebijakan. Pada dasarnya, setiap metode implementasi
kebijakan di dalam dirinya telah menyediakan alat ukur bagi
keberhasilan/kinerja implementasi kebijakan.
2. evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan dari evaluator
yang dibebankan kepadanya.
3. Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan kompetensi
keilmuan dan metodologis yang dimilikinya.
4. Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan tidak
melakukan evaluasi politik.
5. evaluator harus menyesuaikan diri dengan sumber daya yang dimiliki,
mulai sumber daya waktu, manusia, alat atau teknologi, dana, sistem,
manajemen, bahkan sumber daya kepemimpinan yang ada.

6. evaluator harus menyesuaikan diri dengan lingkungan evaluasi, agar ia


bisa diterima dengan baik di lingkungan yang akan dievaluasinya.
Evaluasi Lingkungan Kebijakan Publik
Jenis evaluasi ini mendapat sedikit sekali perhatian, baik dari praktisi maupun
akademisi evaluasi kebijakan publik. Kenyataan ini harus diakui karena
sesungguhnya, sekuat apa pun pengaruh lingkungan, ia merupakan faktor yang
berada di luar kendali dari kebijakan publik. Karena itu, acapkali lingkungan
dikeluarkan dari evaluasi kebijakan publik.
Namun Demikian Perkembangan terkini membuktikan bahwa keberhasilan dan
kegagalan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh keandalan kebijakan dan
implementasinya,

namun

dukungan

lingkungan.

Konteks

lingkungan

dikedepankan karena perubahan yang terjadi hari ini dan dimasa depan adalah
perubahan dalam volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini begitu
mencemaskan karena tidak banyak melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat,
mendadak sudah menjadi usang karena perubahan.

Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua
tugas yang berbeda :
a. Untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu
kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya.
b. Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan
standard atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tipe evaluasi kebijakan :
James Anderson membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe:

a. Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Menyangkut prihal


kepentingan (interest) dan ideologi dari kebijakan.
b. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau programprogram tertentu.
c. Evaluasi kebijakan sistematis. Melihat secara obyektif programprogram
kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan
melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut dicapai.
Menjawab kontribusi dampak dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Langkah Evaluasi
Edward A. Schuman mengemukakan 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan Standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan
tersebut atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
Evaluasi dalam Analisis Kebijakan
Sifat Evaluasi
1.

Fokus Nilai

2.

Interdependensi Fakta-Nilai, Pemantauan : prasyarat

3.

Orientasi Masa Kini dan Masa lampau Ex Post, beda dengan tuntutan
advokatif

4.

Dualitas Nilai (tujuan-cara)


Fungsi Evaluasi?

Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.


1. Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid
dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh
kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan
publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuantujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan) dan target tertentu.
2. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas
dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga
dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target
dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan
kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai
maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis,
ekonomis, legal, sosial, substantif).
3. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode
analisis

kebijakan

lainnya,

termasuk

perumusan

masalah

dan

rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan


dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan,
sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu
didefinisikan ulang. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi
alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan
bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus
dan diganti dengan yang lain.
Evaluasi dengan Rekomendasi?
Ex Post, retrospektif- Ex Ante, prospektif
Pendekatan Evaluasi
1. Evaluasi Semu
2. Evaluasi Formal

3. Evaluasi Keputusan teoritis


Evaluasi Semu
1. Asumsi : Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya
2. Contoh: Jumlah lulusan pelatihan, Jumlah unit pelayanan medis yang
diberikan
3. Teknik: sajian grafik, tampilan Tabel, angka indeks, Analisis seri waktu
Evaluasi Formal
1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator
yang secara remi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat
atau nilai
2. Contoh: Evaluasi program pendidikan
3. Teknik : Pmetaan sasaran, pemetaan hambatan, klarifikasi nilai, kritik
nilai, analisis crosstab
Evaluasi keputusan teoritis
1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara
formal ataupun diam-diam
2. Cara untuk mengatasi kekurangan evaluasi semu dan formal (Kurang dan
tidak dimanfaatkannya informasi kinerja, Ambiuitas kinerja tujuan,
Tujuan-tujuan yang saling bertentangan)
3. Tujuan Utama : menghubungkan informasi mengenai hasil-hasil kebijakan
dengan nilai-nilai dari berbagaipelaku kebijakan
4. Teknik: Brainstorming, analisis argumentasi, Analisi survaipemakai

Evaluasi Kebijakan
1. Para pelaku yang terlibat dalam tahap perumusan dan implementasi
kebijakan, cenderung untuk memandang evaluasi dari sudut asumsi dan
prosedur sehubungan dengan pencPapaian tujuan utama.

2. POLICY

MAKERS:

cenderung

memandang

evaluasi

dari

segi

kepentingan constituents, karena kekuasaan mereka tergantung pada


dukungan rakyat yang diwakili mereka. Cara evaluasi kebijakan adalah
melalui survei terhadap kepuasan rakyat.
3. POLICY IMPLEMENTERS: cenderung memandang evaluasi dari segi
keberhasilan mengelola program. Karena itu ada kecenderungan untuk
menguasai dan mempengaruhi informasi yang diberikan pada policy
decision makers. Caranya:
1. Memilih data dan informasi yang mendukung kinerja
2. Memobilisasi dukungan terhadap kebijakan
Evaluasi Teknis
1. Evaluasi oleh pihak ketiga; yaitu oleh evaluator professional, lebih
menekankan pada cara evaluasi yang secara metodologis

dapat

dipertanggung jawabkan (scientifically valid findings)


2. Policy Makers atau implementer akan menerima hasil evaluasi oleh
profesional sebagai evaluator teknis, apabila dipenuhi persyaratan tertentu:
1. Tujuan yang diinginkan oleh policy makers telah dipahami dengan
benar oleh evaluator teknis;
2. Pencapaian tujuan diukur dengan obyektif
3. Laporan evaluasi menjelaskan hubungan antara tujuan dengan hasil
program
3. Sebaliknya, evaluator teknis hanya bisa melaksanakan tugasnya, apabila:
1. Tujuan kebijakan jelas
2. Tujuan dapat diukur
3. Implementasi diarahkan untuk mencapai tujuan
4. Tersedia cukup data yang diperlukan
4. Meskipun evaluasi teknis bersifat obyektif, hasil evaluasi mempunyai
konsekuensi terhadap policy makers maupun policy implementers.

HAKIKAT EVALUASI
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. kebijakan harus diawasi,
dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai evaluasi
kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh
mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara
harapan dengan kenyataan.
Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk
melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu
kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup
kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan
menutup kekurangan.
Tiga lingkup makna evaluasi kebijakan publik
1. evaluasi perumusan kebijakan.
2. evaluasi implementasi kebijakan.
3. evaluasi lingkungan kebijakan.
4 fungsi evaluasi kebijakan publik
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program
dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar
berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator
dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung
keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai
dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai


ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau
penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari
kebijakan tersebut.
Evaluasi Formulasi Kebijakan Publik
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah
formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan:
1. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak
diselesaikan, karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi
kebijakan publik berlainan.
2. Mengarah kepada permasalahan inti, karena setiap pemecahan masalah
harus benar-benar mengarah kepada inti permasalahannya.
3. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka
keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduan langkah
perumusan;
4. Mendayagunakan sumber daya ada secara optimal, baik dalam bentuk
sumber daya waktu, dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis.
11 model evaluasi formulasi kebijakan publik
1. model kelembagaan
2. model proses
3. model kelompok
4. model elit
5. model rasional
6. model inkremental
7. model teori permainan
8. model pilihan publik, dan
9. model sistem
10. model demokratis
11. model perumusan strategis

Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik


Mengikuti Prof. Sofyan Effendi, tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan
publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang
digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu :
1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan
dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap
variabel independen tertentu.
2. Faktor-faktor apa saja menyebabkan variasi itu? jawabannya berkenaan
faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan
lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome
dari implementasi kebijakan.
3. OutPut/ keluarannya sepertia apa? Jawabannya sangat tergantung

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi :


1. Evaluasi sebelum pelaksanaan yang disebut William Dunn (1999) sebagai
evaluasi summatif.
2. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses.
3. Evaluasi setelah kebijakan yang juga disebut sebagai evaluasi konsekuensi
(output) kebijakan dan/atau evaluasi impak/pengaruh (output) kebijakan.
Tiga Pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan Publik
1.

Pendekatan Evaluasi Semu


A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif Untuk menghasilkan Informasi valid Tentang
hasil kebijakan
B. Asumsi:
Ukuran manfaat atau terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial
C. Bentuk-Bentuk Utama:
Eksperimentasi sosial Akuntansi sistem Sosial Pemeriksaan sosial Sintesis riset
dan praktek

D. Teknik:
Sajian grafik Tampilan tabel Angka indeks Analisis seri waktu terinterupsi
Analisis seri terkontrol Analisis diskontinyu regresi
2.

Pendekatan Evaluasi Formal


A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya
dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan
program kebijakan.
B. Asumsi:
Tujuan dan Sasaran dari pengambilan dan administrator yang secara resmi
diumumkan merupakan ukuran yang tepat dan manfaat atau nilai.
C. Bentuk-bentuk Utama:
Evaluasi perkembangan Evaluasi Eksperimental Evaluasi proses Retrospektif
(expost) evaluasi hasil retrospektif.
D. Teknik:
Pemetaan sasaran klarifikasi nilai kritik nilai pemetaan hambatan Analisis dampak
saling Disecounting

3.

Pendekatan Evaluasi Keputusan Teoritis

A.

Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya
dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai
pelaku kebijakan.

B.

Asumsi:
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun
diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

C.

Bentuk-bentuk Utama:
Penilaian tentang Dapat tidaknya Dievaluasi Analisis uitilitas multi-atribut.

D.

Teknik:
Brainstorming Analisis argumentasi delphi kebijakan Analisis Survei Pemakai.
James P. Lester dan Joseph Steward Jr. (2000), mengelompokkan evaluasi
implementasi kebijakan:
1. evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi,
2. evaluasi impak atau evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh
dari implementasi kebijakan,
3. evaluasi kerjakan yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan
tujuan yang dikehendaki, dan
4. evaluasi metaevaluasi yang berkenaan dengan untuk menemukan
kesamaan-kesamaan tertentu.
Ernest R. House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda,
yang membagi model evaluasi menjadi :
1. model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.
2. model perilaku, dengan indikator utama adalah reduktivitas dan
akuntabilitas.
3. model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keefektifan
dan keterjagaan kualitas.
4. model tujuan bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan
pengguna dan manfaat sosial.
5. model kekritisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah
standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.
6. model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan
profesional.
7. model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi,
dan
8. model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas.

Ada pula pemilahan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasi kebijakan


berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan
1. evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan
(proses dari hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau
berlainan, di satu tempat yang sama atau berlainan.
2. evaluasi historilal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang
sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.
3. evaluasi

laboratorium

atau

eksperimental,

yaitu

evaluasi

namun

menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis laboratorium.


4. evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak dalam
waktu segera dengan tujuan untuk mendapatkan gambar pada saat itu
(snap shot).
James Andeson membagi evaluasi (implementasi) kebijakan publik menjadi
tiga Tipe
1. Pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan
fungsional.
2. Kedua, evaluasi yang memfokuskan kepada bekerjanya kebijakan.
3. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara obyektif
program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya
bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan
telah dicapai (dikutip Winarno, 2002, 168).
Edward A. Suchman (dikutip Winarno, 2002, 169) di sisi lain lebih masuk ke
sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan,
yaitu :
1. mengidetifikasi tujuan program yang akan dievaluasi,
2. analisis terhadap masalah,
3. deskripsi dan standardisasi kegiatan,
4. pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi,
5. menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari
kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain,

6. beberapa indikator untuk menentuan keberadaan suatu dampak.


Dari berbagai-bagai ragam dan teknik evaluasi implementasi tersebut,
pertanyaannya adalah mana yang hendak digunakan? Jawabannya juga tidak
berbeda, tergantung kebutuhan evaluator. Keseluruhan model tersebut di atas
mencerminkan ragam dari kebutuhan evaluator, baik yang digerakkan dari
perbedaan kepentingan, perbedaan latar belakang, perbedaan tujuan, perbedaan
keberadaan (pemerintah atau target), perbedaan waktu, dan lain-lain.
evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok:
1. tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja
kebijakan.
2. yang bersangkutan harus mampu mengambil jarak dari pembuat
kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.
3. Prosedur evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.
Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik

Keterangan Gambar
1. evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model atau metode
implementasi kebijakan. Pada dasarnya, setiap metode implementasi
kebijakan di dalam dirinya telah menyediakan alat ukur bagi
keberhasilan/kinerja implementasi kebijakan.
2. evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan dari evaluator
yang dibebankan kepadanya.
3. Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan kompetensi
keilmuan dan metodologis yang dimilikinya.
4. Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan tidak
melakukan evaluasi politik.

5. evaluator harus menyesuaikan diri dengan sumber daya yang dimiliki,


mulai sumber daya waktu, manusia, alat atau teknologi, dana, sistem,
manajemen, bahkan sumber daya kepemimpinan yang ada.
6. evaluator harus menyesuaikan diri dengan lingkungan evaluasi, agar ia
bisa diterima dengan baik di lingkungan yang akan dievaluasinya.
Evaluasi Lingkungan Kebijakan Publik
Jenis evaluasi ini mendapat sedikit sekali perhatian, baik dari praktisi maupun
akademisi evaluasi kebijakan publik. Kenyataan ini harus diakui karena
sesungguhnya, sekuat apa pun pengaruh lingkungan, ia merupakan faktor yang
berada di luar kendali dari kebijakan publik. Karena itu, acapkali lingkungan
dikeluarkan dari evaluasi kebijakan publik.
Namun Demikian Perkembangan terkini membuktikan bahwa keberhasilan dan
kegagalan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh keandalan kebijakan dan
implementasinya,

namun

dukungan

lingkungan.

Konteks

lingkungan

dikedepankan karena perubahan yang terjadi hari ini dan dimasa depan adalah
perubahan dalam volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini begitu
mencemaskan karena tidak banyak melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat,
mendadak sudah menjadi usang karena perubahan.

Anda mungkin juga menyukai