UNIVER
FA KULTA S
S
CANA
ANENDIDIKAN
SUR
AS N DA YA
IT GURUA N ILMU K
C I A NJ U R
BAHAN AJAR
Ikhtisar/Butir-butir Bahan Diskusi untuk Mahasiswa Strata Satu
Pada Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Suryakancana Cianjur
Dihimpun Oleh :
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..
DAFTAR ISI
ii
BAB
I. PENDAHULUAN .
BAB
A. PENGERTIAN-PENGERTIAN ..
10
13
13
B. ADMINISTRASI PEMBANGUNAN .
18
C. BIROKRASI PUBLIK ..
22
D. KEBIJAKAN PUBLIK ..
25
E. PELAYANAN PUBLIK
27
28
32
36
36
40
41
43
45
49
51
51
53
54
ii
56
56
59
62
73
A. PENGERTIAN INFORMASI .
73
74
77
77
BAB
BAB
77
83
83
B. ISU-ISU KONSEPTUAL ..
85
87
93
96
A. KONSEP IMPLEMENTASI .
96
101
110
119
123
126
126
127
133
135
144
144
144
iii
146
147
148
150
165
165
168
173
D. KEBIJAKAN PENDIDIKAN
176
DAFTAR KEPUSTAKAAN
iv
198
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Perkembangan terakhir mengenai administrasi negara seperti terlihat dalam
paradigma-paradigma administrasi negara, menurut Mustopadijaya AR (1992:3),
adalah berakhirnya dikotomi (pemisahan) antara politik (perumusan dan pembuatan kebijakan) dengan administrasi negara (pelaksanaan/implementasi kebijakan). Fungsi administrasi negara pada saat ini tidak terbatas secara tradisional dalam
pelaksanaan atau implementasi kebijakan, tetapi juga dalam perumusan dan
pembuatan kebijakan. Lebih dari itu, sistem administrasi negara juga mempunyai
peranan dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan/implementasi dan hasilhasilnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam membicarakan kebijakan, tidak
ada pemisahan secara tegas dengan administrasi, yang di dalamnya tercakup
organisasi dan manajemen. Begitu pula halnya dengan organisasi yang bernama
negara, dengan administrasi dan manajemennya, yang istilah populer sekarang
dikenal dengan administrasi dan manajemen publik. Demikianlah, maka dalam
mempelajari kebijakan publik perlu juga diketahui terlebih dulu administrasi publik.
B. Deskripsi Singkat.
Mata kuliah ini membahas pengertian administrasi dan manajemen publik, serta
konsep pokok kebijakan publik yang mencakup tujuan, jenis-jenis, tingkat-tingkat,
proses, aktor, sistem, siklus, bentuk, ciri-ciri, dan agenda setting, perumusan, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik, serta analisis kebijakan publik,
dan peranan informasi dalam membuat kebijakan publik, ditambah kebijakan publik
di bidang pendidikan.
C. Standar Kompetensi.
Mahasiswa menguasai pengetahuan tentang pengertian administrasi dan manaje-
men publik, konsep pokok kebijakan publik yang meliputi pengertian, tujuan, jenis,
tingkat-tingkat, proses, sistem, siklus, bentuk, ciri-ciri, dan agenda setting, perumusan, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan publik, serta analisis kebijakan kebijakan publik, serta peran informasi dalam pembuatan kebijakan publik.
D. Kompetensi Dasar.
Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan :
1. Pengertian Administrasi dan Manajemen Publik, serta Kebijakan Publik.
2. Pengertian, Jenis dan Tingkat-tingkat Kebijakan Publik.
3. Tujuan, Bentuk, dan Ciri-ciri Kebijakan Publik.
4. Sistem, Proses, dan Siklus Kebijakan Publik.
5. Peran Infornasi dalam Pembuatan Kebijakan Publik.
6. Agenda Setting dalam Kebijakan Publik.
7. Perumusan, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
8. Analisis Kebijakan Publik.
9. Kebijakan Publik di Bidang Pendidikan.
BAB II
PENGERTIAN, PRINSIP, DAN FUNGSI
ADMINISTRASI PUBLIK
A. PENGERTIAN
1. Administrasi.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa di antaranya :
a. The Liang Gie (1978:9) :
Administrasi adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha
kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.
b. S. Prajudi Atmosudirdjo (1979:21) :
Ilmu administrasi adalah cabang atau kesatuan atau disiplin ilmu sosial yang
secara khas mempelajari administrasi sebagai salah satu fenomenon masyarakat modern. Administrasi adalah sesuatu yang terdapat di dalam sesuatu organisasi modern dan yang memberi hayat kepada organisasi tersebut,
sehingga organisasi itu dapat berkembang, tumbuh dan bergerak.
c. Sondang P. Siagian (1996:3) :
Administrasi adalah proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih
berdasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama yang telah
ditentukan sebelumnya.
d. Luther Gullick (1937):
Administration has to do with getting things done with the accomplishment
of defined objectives. (Administrasi berkaitan dengan pelaksanaan suatu
pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan).
e. John M. Pfiffner :
Administration may be defined as the organization and direction of human
and material resourches to achieve desired ends. (Administrasi dapat
didefinisikan sebagai pengorganisasian dan pengarahan sumber-sumber yang
berupa manusia/tenaga kerja dan material untuk mencapai tujuan akhir yang
diinginkan).
f. William H. Newman :
Administration is guidance, leadership and control of the effort of a group of
individuals toward some common goals. (Administrasi adalah pemberian
pedoman, kepemimpinan dan pengendalian kegiatan-kegiatan sekelompok
orang untuk mencapai tujuan bersama).
Dari definisi para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya administrasi mempunyai pengertian yang sama, yaitu adanya :
a. Kegiatan;
b. Proses kerjasama;
c. Sekelompok manusia (lebih dari dua orang);
d. Pembagian tugas;
e. Tujuan yang ingin dicapai.
2. Unsur-unsur Administrasi.
Unsur-unsur administrasi meliputi :
a. Organisasi, yang merupakan rangka, struktur atau wadah di mana usaha
kerjasama dilakukan;
b. Manajemen, sebagai suatu proses yang menggerakkan kegiatan dalam
administrasi sehingga tujuan yang telah ditentukan benar-benar tercapai;
c. Kepegawaian, merupakan segi yang berkaitan dengan sumber tenaga kerja
yang harus ada pada setiap usaha kerjasama. Dari sini kemudian muncul
administrasi kepegawaian;
d. Keuangan atau modal, yang merupakan segi pembiayaan dalam setiap usaha
kerjasama. Dari sini kemudian muncul administrasi keuangan;
e. Perlengkapan, yang berkaitan denganm kebutuhan material/kebendaan dan
kerumahtanggaan yang harus ada dalam setiap usaha kerjasama. Dari sini
kemudian muncul administrasi perlengkapan (supply administration) yang
mencakup pembelian, klasifikasi, dan standarisasi alat-alat, dll.
f. Pekerjaan Kantor atau Tata Usaha, yaitu rangkaian kegiatan mengumpulkan,
mencatat, menggandakan, mengirim, dan menyimpan data/informasi. Ada
yang sifatnya office work, ada yang paper work atau clerical work. Dari sini
kemudian muncul administrasi perkantoran;
4
g. Tata Hubungan/Komunikasi, yang merupakan urat nadi sehingga memungkinkan orang-orang dalam usaha kerjasama itu mengetahui apa yang terjadi
atau diinginkan oleh masing-masing. Tanpa hubungan atau komunikasi yang
baik, tak mungkin proses kerjasama dapat terlaksana dengan baik. Pengetahuan tentang tata hubungan ini misalnya teknik pelaporan, metode rapat,
koordinasi, dll.
h. Hubungan Masyarakat (Public Relations), yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara organisasi dengan pihak luar (individu,
lembaga, dll.).
3. Publik.
Istilah publik berasal dari bahasa Inggris public yang berarti umum, masyarakat, atau negara. Tentang pengertian publik, Inu Kencana Syafiie, dkk. (1999)
memberikan pengertian, sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan
berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki. Karena itu publik tidak langsung
diartikan sebagai penduduk, masyarakat, warga negara, atau pun rakyat. Untuk
jelasnya berikut dikemukakan :
a. Penduduk : Orang-orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah negara. Di
Indonesia terdiri dari WNI (Warga Negara Indonesia), dan WNA (Warga
Negara Asing), serta terdapat juga yang nonpenduduk, yatu orang-orang yang
tinggal di Indonesia untuk sementara, misalnya turis asing;
b. Masyarakat : Kelompok individu atau komunitas, disebut juga masyarakat
umum;
c. Warga Negara : Penduduk yang secara resmi menjadi anggota/warga suatu
negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu;
d. Rakyat : Merupakan konsep politis, menunjuk pada orang-orang yang berada
di bawah satu pemerintahan, dan tunduk pada pemerintahah itu. Istilah
rakyat ini umumnya dilawankan (vis-a-vis) dengan istilah penguasa/
pemerintah.
Berkaitan dengan terjemahan publik dalam bahasa Inggris sebagai umum,
berikut :
a. Suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan negara;
b. Meliputi tiga cabang kekuasaan : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, serta
hubungan di antara mereka;
c. Mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijakan publik, dan
karenanya merupakan sebagian dari proses politik;
d. Sangat erat berkaitan dengan berbagai macam kelompok swasta dan
perorangan, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat;
e. Dalam beberapa hal berbeda dengan administrasi privat.
Menurut John M. Pfiffner dan Robert V. Presthus dalam Inu Kencana Syafiie
(1999) :
a. Administrasi publik meliputi implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah
yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik;
b. Administrasi publik dapat didefinisikan sebagai koordinasi usaha-usaha
perorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah,
terutama meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah;
c. Secara menyeluruh, administrasi publik adalah suatu proses yang berkaitan
dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, penggunaan keterampilan dan teknik-teknik yang tak terhingga jumlahnya yang memberikan arah
terhadap usaha-usaha sejumlah besar orang.
Sementara menurut Dwight Waldo dalam Soetopo, dkk. (2001:10) :
a. Administrasi publik adalah organisasi dan manajemen dari manusia dan benda
guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah;
b. Administrasi publik adalah suatu seni dan ilmu tentang manajemen yang
dipergunakan untuk mengatur urusan-urusan negara.
Dari definisi-definisi tersebut di atas, dapat disimpulan bahwa administrasi
publik adalah suatu proses yang melibatkan banyak orang dengan berbagai
keahlian dan keterampilan untuk merumuskan dan mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan pemerintah.
keputusan-keputusan
dan
mengimplementasikannya
melalui
kebijakan-kebijakan prosedur.
5. Coordinating (Pengkoordinasian), yang meliputi tugas-tugas mengintegrasikan
dan menyelaraskan berbagai macam unit (bagian) yang saling berkaitan.
6. Reporting (Pelaporan), yang merupakan proses dan teknik untuk memberikan
informasi tentang pekerjaan yang telah dan sedang dilaksanakan (misalnya ko10
Sebagai
11
hanya berkenaan dengan implementasi dan kinerja kebijakan, tetapi juga dengan
perumusan kebijakan dan lingkungan tempat kebijakan itu dilaksanakan.
12
BAB III
KONSEP ADMINISTRASI PUBLIK
bukan birokrasi (Customer driven government : Meeting the needs of customer, not the beureaucracy). Intinya :
a. Selalu mendengar suara/aspirasi masyarakat;
b. Misi pemerintah harus menyuarakan kepentingan masyarakat;
c. Ke mana rakyat menunjuk, ke sanalah arah pemerintah harus ditujukan.
7. Pemerintahan Wirausaha : Menghasilkan tinimbang membelanjakan. (Enterprising government : Earning rather than spanding). Intinya :
a. Pemerintahan yang sadar pendapatan/investasi;
b. Birokrasi harus dijalankan dalam perspektif investasi, yang bukan sematamata investasi uang, tetapi juga investasi jangka panjang, yaitu pembangun15
cenderung
1. Strategi Inti : Merumuskan kembali kejelasan tujuan sebuah organisasi birokrasi. Intinya :
a. Singkirkan fungsi-fungsi birokrasi dari fungsi yang tidak relevan dengan
tujuan pokok pemerintah;
b. Fungsi pokok pemerintah adalah menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk mendorong masyarakat menjalankan sendiri urusannya (steering rather than rowing, empowering rather than than serving);
c. Lakukan pemilihan untuk memisahkan fungsi yang secara fundamental
memiliki tujuan ke dalam organisasi yang berbeda :
1) Pisahkan organisasi yang memiliki fungsi membuat kebijakan atau aturan
dengan organisasi yang memiliki fungsi melayani;
2) Bedakan organisasi perencana dengan pelaksana.
2. Strategi Konsekuensi : Memberlakukan konsekuensi atau kinerja sebagai
ukuran keberhasilan. Intinya :
a. Ciptakan suasana kondusif yang memungkinkan munculnya perilaku kompetitif (bersaing dalam mencapai tujuan organisasi);
b. Kegagalan dalam mencapai tujuan organisasi akan mendatangkan konsekuensi (akibat) hilangnya pendapatan organisasi;
c. Strategi untuk membangun pemerintahan yang kompetitif;
d. Penghematan adalah inti strategi ini.
3. Strategi Pelanggan : Menempatkan pelanggan (masyarakat) sebagai pengarah,
mendefinisikan keberhasilan sebuah organisasi sebagai kemampuan memuaskan pelanggan atau masyarakat. Intinya :
a. Berikan masyarakat banyak pilihan pelayanan;
b. Tentukan standar pelayanan yang dikehendaki masyarakat;
c. Berikan sanksi/konsekuensi bagi yang tidak memenuhi standar;
d. Sediakan kompensasi bagi masyarakat yang merasa dirugikan;
e. Birokrasi harus terbuka menerima kritik untuk perbaikan/kepuasan pelanggan.
4. Strategi Pengendalian : Menempatkan misi/tujuan organisasi sebagai alat
pengendalian organisasi. Intinya :
17
Intinya :
B. ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
1. Pengertian Administrasi Pembangunan.
Administrasi Pembangunan = Administrasi + Pembangunan. Administrasi adalah
proses kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yang
diinginkan. Menurut Waldo dalam Ginanjar Kartasasmita (1997), bahwa administrasi publik adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri
berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antar manusia. Yang membedakan
administrasi dengan kegiatan kerjasama antar manusia lainnya adalah derajat
rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh
tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya.
Pengertian administrasi sebagaimana telah dikemukakan terdahulu (dalam
bab sebelumnya), pada pokoknya adalah proses kerjasama sekelompok orang
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan istilah
pembangunan pada awalnya diperkenalkan kepada publik dunia oleh Presiden
Amerika Serikat, Harry S. Truman tahun 1949 pada pelantikannya sebagai
Presiden, dengan pengertian kawasan terbelakang (underdeveloped areas)
yang memerlukan pembangunan (development) untuk menyebut kawasan
18
berlaku juga untuk kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menjadi politik
AS tahun 1950-an sebagai kelanjutan dari program Marshall Plan yang berhasil
memulihkan Eropa dari kehancuran akibat Perang Dunia Kedua. Persaingan
antara AS dengan Uni Soviet menjadikan AS membawa bendera pembangunan
sebagai ideologi global bagi negara-negara pengikut maupun simpatisannya
sebagai lawan dari revolusi yang ditawarkan Blok Timur pimpinan US. Pemahaman pembangunan ini kemudian dikembangkan oleh Sudjatmoko, Rektor
Universitas PBB, bahwa pembangunan merupakan sebuah proses alami, otonom,
dan kontekstual. Kekuatannya pada proses belajar yang bertahap, sehingga
selalu ada proses kapitalisasi kemajuan pada setiap tahapnya. Pembangunan
dipahami sebagai sebuah proses perubahan yang positif dari tahap ke tahap.
Adapun pengertian pembangunan, terdapat beberapa pendapat sebagai
berikut :
a. Ginanjar Kartasasmita (1997:9) :
Pembangunan adalah perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui
upaya yang dilakukan secara terencana.
b. Ucky Padmadiredja (1983) :
Pembangunan adalah usaha dan upaya yang dilakukan secara sadar,
rasional, dan sistematik, serta terencana yang dilakukan oleh suatu bangsa,
daerah, menuju ke arah tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang lebih baik.
c. Sondang P. Siagian (2005:4) :
Pembangunan adalah rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa
menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).
Lebih lanjur Siagian mengemukakan tujuh ide pokok pembangunan yang
meliputi :
1) Pembangunan merupakan suatu proses. Berarti, merupakan rangkaian
kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan terdiri dari tahaptahap yang di satu pihak bersifat independen, namun di pihak lain merupa19
kan bagian dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir (never ending);
2) Pembangunan adalah upaya sadar yang ditetapkan sebagai sesuatu untuk
dilaksanakan;
3) Pembangunan dilakukan secara terencana, ada jangka pendek, jangka
sedang, dan jangka panjang. Merencanakan berarti mengambil keputusan
sekarang tentang hal-hal yang akan dilakukan pada jangka waktu tertentu
di masa depan;
4) Rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan dan perubahan.
Pertumbuhan dimaksudkan sebagai peningkatan kemampuan suatu negara
bangsa untuk berkembang, tidak sekedar mampu mempertahankan
kemerdekaan, kedaulatan, dan eksistensinya. Sedangkan perubahan mengandung makna bahwa negara bangsa harus bersikap antisipatif dan
proaktif dalam menghadapi tuntutan situasi yang berbeda dari satu jangka
waktu ke jangka waktu yang lain, terlepas apakah situasi itu dapat
diprediksi sebelumnya atau tidak. Artinya, tidak sekedar mempertahankan
status quo.
5) Pembangunan mengarah kepada modernitas. Modernitas diartikan sebagai
cara hidup baru dan lebih baik dari sebelumnya, cara berpikir yang rasional,
dan sistem budaya yang kuat tetapi fleksibel. Modernitas dalam hal ini
jangan diartikan sama dengan cara hidup gaya Barat;
6) Modernitas pembangunan meliputi berbagai kegiatan yang multidimensional, yang mencakup seluruh segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, yang dapat mengejawantah dalam bidang ideologi politik,
ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan, baik yang bersifat
fisik-material maupun mental-spiritual.
7) Semuanya ditujukan kepada usaha pembinaan bangsa, agar negara bangsa
semakin kukuh fondasinya dan semakin mantap keberadaannya, sehingga
menjadi negara bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia
yang sudah maju dan sejahtera.
Dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokok adanya hakikat membangun, yang berlawanan dengan merusak. Karenanya, perubahan ke arah keada20
an yang lebih baik seperti yang dikehendaki dan upaya terencana, harus
dilakukan melalui jalan yang tidak merusak, tetapi mengoptimalkan sumber daya
yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada.
Berdasarkan definisi administrasi dan pembangunan
tersebut di atas,
21
C. BIROKRASI PUBLIK
Secara etimologis istilah birokrasi berasal dari bahasa Yunani bureau yang artinya
meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi adalah tipe dari suatu
organisasi untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara
mengkoordinasikan secara sistematis pekerjaan dari orang banyak (Wahyudi Kumorotomo, 1992:74). Kata birokrasi juga bermakna suatu metode organisasi yang rasional dan efisien (David Osborne dan Ted Gaebler, 1999:14).
22
Birokrasi menurut Peter M. Blau dan Marshal W. Meyer dalam Riant Nugroho
(2012:161), adalah lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik ataupun buruk
dalam keberadaannya sebagai instrumen administrassi rasional yang netral pada
skala besar. Dalam masyarakat modern, di mana terdapat begitu banyak urusan
yang terus-menerus dan rutin, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau
sekarang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Menurut S. Prajudi Atmosudirdjo (1996), birokrasi itu mempunyai tiga arti,
yaitu :
1. Birokrasi sebagai suatu tipe organisasi. Dalam hal ini birokrasi sangat cocok
untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan yang terikat pada peraturan-peraturan
rutin, artinya, volume pekerjaan besar, tetapi sejenis dan bersifat berulangulang, serta pekerjaan yang memerlukan keadilan merasa dan stabil;
2. Birokrasi sebagai sistem. Dalam hal ini birokrasi dipandang sebagai suatu sistem
kerja yang berdasar atas tata hubungan kerjasama antara jabatan-jabatan
(pejabat-pejabat) secara formal dan berjiwa tanpa pilih kasih atau tanpa pandang
bulu;
3. Birokrasi sebagai jiwa kerja. Dalam hal ini birokrasi merupakan jiwa kerja yang
kaku, sebab cara bekerjanya seolah-olah seperti mesin, ditambah lagi dengan
disiplin kerja yang ketat/keras, dan sedikit pun tidak boleh menyimpang dari apa
yang diperintahkan atasan atau yang telah ditetapkan oleh peraturan.
Jika memperhatikan butir a dan butir b, maka birokrasi kelihatannya sangat
baik untuk pengembangan pekerjaan atau untuk memperlancar kegiatan operasional. Akan tetapi butir c tampaknya sudah tidak sesuai lagi, karena di samping akan
menutup kreativitas para pekerja/karyawan, juga kemungkinan peraturanperaturan yang dijadikan pegangan telah usang atau tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman atau era pembangunan sekarang ini. Di Indonesia misalnya
masih banyak peraturan-peraturan yang berasal dari zaman kolonial Belanda.
Max Weber dalam bukunya The Theory of Social and Economic Organization
mengemukakan perilaku sosial yang berkaitan dengan birokrasi yang tujuannya
23
bersifat teknis dan mengidentifikasikan sifat-sifat dasar khusus bentuk yang formal,
antara lain :
1. Kegiatan reguler yang diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi dengan
dukungan distribusi tugas-tugas resmi yang dipertanggungjawabkan secara
kokoh kepada officialnya;
2. Organisasinya mengikuti prinsip-prinsip hierarki;
3. Operasionalnya terencana dengan baik, dilakukan secara teratur oleh sistem
yang konsisten dari peraturan-peraturan abstrak untuk ditetapkan pada kasus
individual;
4. Para petugas yang ideal akibatnya melakukan kerja secara formalitas, seakanakan tidak mempunyai kepribadian tanpa emosi;
5. Pengangkatan pegawai dalam organisasi didasarkan atas kualifikasi teknis dan
tidak mudah terkena pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang;
6. Ditinjau dari sudut pandang teknis yang murni, birokrasi pada umumnya memiliki
tingkat daya hasil yang tinggi.
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, birokrasi memang sangat diperlukan bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan pemerintah. Namun karena adanya
perlakuan dalam pelayanan terhadap masyarakat, yang menjadikan segala urusan
penting dan segera dirasakan oleh yang berkepentingan sangat menghambat
waktu, atau birokratis, akhirnya timbul anggapan bahwa birokrasi itu harus
disingkirkan.
birokrasi perlu mendapat perbaikan, disesuaikan dengan situasi kondisi yang sedang
berlangsung, misalnya dalam menyukseskan gerakan pembangunan. Segala perilaku
yang menghambat pelayanan kepada masyarakat perlu diubah atau mungkin
dihilangkan (debirokratisasi).
Adapun ciri-ciri birokrasi menurut The Liang Gie dalam Kamus Administrasi
adalah :
1. Adanya pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi dengan sepenuhnya;
2. Adanya peraturan-peraturan yang benar-benar ditaati;
3. Para pejabat bekerja dengan penuh perhatian dan kemampuan;
24
dalamnya sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi sekarang yang sudah
berubah. Birokrasi ternyata lebih mengutamakan formalitas daripada kreativitas.
Akibatnya birokrasi mematikan kreativitas sehingga banyak menimbulkan
inefisiensi. Karena itu upaya yang dilakukan adalah debirokratisasi, yang mengandung pengertian mengubah atau menyesuaikan. Yang diubah atau disesuaikan
adalah :
1. Prosedur yang panjang yang harus ditempuh secara berbelit-belit, dan
menyulitkan, diubah menjadi prosedur yang lebih pendek, tidak berbelit-belit,
dan tidak menyulitkan.
2. Prosedur birokrasi yang panjang pada umumnya memerlukan biaya tinggi (high
cost). Oleh karenanya prosedur dimaksud perlu diubah atau disesuaikan,
sehingga menjadi prosedur yang singkat dan mudah dilaksanakan dengan biaya
relatif murah.
3. Prosedur birokrasi yang panjang dan cenderung berbelit-belit sering menimbulkan stagnasi dalam arus barang, pelayanan, dan arus dokumen. Dengan
debirokratisasi segala permasalahan akan segera dapat diatasi.
Pengertian debirokratisasi tidak dapat dipisahkan dengan regulasinya, yaitu
peraturan yang mengatur birokrasi tersebut.
usang, ketinggalan zaman, atau tidak sesuai lagi dengan situasi kondisi saat ini
seyogianya diubah/direvisi, diganti atau dicabut, dan dibuatkan aturan baru yang
sesuai dengan kehendak masyarakat dan zaman.
D. KEBIJAKAN PUBLIK
Administrasi publik pada saat ini tidak terbatas secara tradisional dalam implemen-
25
tasi atau pelaksanaan kebijakan, tetapi juga dalam perumusan dan pembuatan
kebijakan. Lebih dari itu, sistem administrasi publik mempunyai peranan dalam
monitoring dan evaluasi implementasi kebijakan dan hasil-hasilnya.
Kebijakan publik (public policy) dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu proses
kebijakan (policy process) dan analisis kebijakan (policy analysis). Dimensi pertama,
proses kebijakan, mengkaji proses penyusunan kebijakan yang dimulai dari
identifikasi dan perumusan masalah/kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring
kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan dimensi kedua, analisis kebijakan,
meliputi penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat multidisiplin dalam
proses kebijakan, yaitu untuk menyusun strategi kebijakan.
Suatu kebijakan publik tidak hanya berkaitan dengan satu disiplin ilmu saja,
tetapi meliputi berbagai disiplin ilmu.
Para
mengenai kebijakan publik dan berbagai aspeknya perlu dimiliki oleh segenap
aparatur negara/pemerintah, terutama yang terlibat dalam proses kebijakan, baik
dalam perumusan, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan.
E. PELAYANAN PUBLIK
David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka Reinventing Government
mengemukakan tentang perlunya upaya peningkatan pelayanan publik oleh
birokrasi pemerintah, yaitu dengan lebih banyak memberi wewenang kepada pihak
swasta untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Yang terjadi di Amerika
Serikat (AS), memang sudah menjadi tradisi, hampir semua kebutuhan masyarakat
dilayani oleh swasta. Di dalam praktek, terutama di Indonesia, tidak semua pelayanan diserahkan kepada swasta. Pelayanan terhadap produk yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan, tidak dapat diserahkan kepada swasta,
misalnya pelayanan-pelayanan : Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP),
Akte Kelahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
Paspor, dsb.
Dalam memberikan pelayanan, pemerintah harus memperhatikan kehendak
masyarakat sebagai pelanggan (customers). Harapan masyarakat itu hendaknya
dapat dipuaskan oleh pelayanan pemerintah dengan pelayanan prima.
Pelayanan prima adalah pelayanan terbaik yang diperoleh masyarakat yang sesuai
dengan standar yang ditentukan dalam ketentuan, atau melebihi standar. Dalam
hal ini pemerintah hendaknya dapat mengidentifikasi melalui survei
terhadap
keinginan pelanggan. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, beberapa ahli pelayanan publik menyarankan penerapan Total Quality Mana-
27
gement (TQM). TQM yang berhasil diterapkan di sektor swasta diharapkan dapat
dilaksanakan di sektor publik (pemerintah).
TQM merupakan pendekatan dalam manajemen yang berusaha memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan secara berkesinambungan atas
kualitas barang, jasa, manusia, dan lingkungan organisasi, dengan tujuan untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan. Menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana
(1997), TQM hanya akan berhasil jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal.
2. Obsesi terhadap kualitas.
merupakan faktor fundamental. Di sini berlaku prinsip, bahwa belajar merupakan suatu proses yang tidak ada akhirnya, dan tidak mengenal batas usia.
jakan publik.
Menurut Diklat Spimnas LANRI (2009:15), manajemen kebijakan publik adalah
proses pengelolaan kebijakan publik, yaitu suatu pengaturan yang diperlukan untuk
merencanakan kegiatan formulasi, implementasi, dan evaluasi hasil kebijakan publik
dengan memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efisien seta memperhatikan
lingkungan internal dan eksternal dalam rangka mencapai sutu tujuan yang telah
ditetapkan. Manajemen kebijakan publik dibutuhkan karena yang ditangani sangat
rumit dan kompleks sehingga membutuhkan sumber daya, waktu, dan keterlibatan
banyak orang.
antara lain proses yang berlarut-larut dan tidak terselesaikan, pemborosan penggunaan dana dan waktu, serta kesimpangsiuran pemikiran yang dilandasi oleh
perbedaan kepenting-an antar pelaku yang terlibat (stakeholders).
Manajemen kebijakan publik itu meliputi :
1. Sistem Kebijakan Publik, yang mengikuti sistem politik, yang menurut David
Easton seperti dikemukakan oleh Anderson (Diklat Spimnas LANRI, 2009:16),
terdiri dari lembaga-lembaga yang berkaitan dalam aktivitas/kegiatan masyarakat yang dapat membuat keputusan yang mengikat dan ditaati oleh
masyarakat. William N. Dunn pun mengidentikkan sistem politik dengan sistem
kebijakan yang sekaligus mencermintan elemen-elemen :
a. Stekholders Kebijakan (Policy/Political Actors);
b. Kebijakan Publik (Policy Content);
c. Lingkungan Kebijakan (Policy Environmen).
Mustopadidjaya A.R. (1992) menambahkan satu elemen lagi, yaitu
kelompok sasaran kebijakan (target group). Alasannya, khusus bagi Indonesia
yang secara obyektif sangat heterogen dan plural, karenanya tidak mungkin
membuat kebijakan yang seragam.
2. Proses Pengelolaan Kebijakan Publik, yang terkait dengan konsep-konsep dasar
pembuatan kebijakan publik serta adanya kebutuhan untuk melaksanakan
analisis kebijakan publik yang prosesnya seperti seperti dikemukakan oleh
William N. Dunn, yaitu :
a. Perumusan masalah;
31
b. Peramalan;
c. Rekomendasi;
d. Pemantauan;
e. Evaluasi.
Sementara itu langkah-langkah yang ditawarkan oleh Mustopadidjaya A.R.
adalah :
a. Pengkajian persoalan;
b. Penentuan tujuan;
c. Perumusan alternatif;
d. Penyusunan model;
e. Penentuan kriteria;
f. Penilaian alternatif;
g. Perumusan rekomendasi.
3. Stratifikasi Kebijakan Publik, yaitu mengikuti hierarki atau tata urut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
adalah tingkat-tingkat kebijakan publik, yaitu tingkat nasional dan wilayah, yang
di dalamnya ada kebijakan nasional, kebijakan umum, dan kebijakan pelaksanaan. Pengaturannya didasarkan pada :
a. UUD 1945;
b. Tap MPR;
c. UU/PERPPU;
d. PP;
e. Perpres;
f. Perda Provinsi;
g. Perda Kabupaten/Kota. (UU No. 12 Tahun 2011).
Menurut Riant Nugroho, terdapat kebijakan yang bersifat makro, messo,
dan mikro.
utama yang memiliki obyek materi negara, antara lain ilmu pemerintahan, ilmu
politik, ilmu negara dan hukum tata negara, serta filsafat yang menjadi sumber
keilmuan. Demikianlah, maka ruang lingkup administrasi publik dapat diuraikan
sebagai berikut. (Inu Kencana Syafiie, dkk., 1999:29-31).
1. Di bidang hubungan, peristiwa, dan gejala pemerintahan :
a. Administrasi Pemerintahan Pusat;
b. Administrasi Kementerian/Departemen;
c. Administrasi Lembaga Pemerintahan Non Kementerian;
d. Administrasi Pemerintahan Daerah;
e. Administrasi Pemerintahan Kecamatan;
f. Administrasi Pemerintahan Kelurahan/Desa;
g. Administrasi BUMN/BUMD.
2. Di bidang kekuasaan :
a. Administrasi Politik Dalam Negeri;
b. Administrasi Politik Luar Negeri;
c. Administrasi Partai Politik;
d. Administrasi Kebijakan Pemerintah.
3. Di bidang peraturan perundang-undangan :
a. Landasaan ideal;
b. Landasan Konstitusional;
c. Landasan Operasional.
4. Di bidang kenegaraan :
a. Tugas dan Kewenangan Negara;
b. Hak dan Kewajiban Negara;
c. Tipe dan Bentuk Negara;
d. Fungsi dan Prinsip Negara;
e. Unsur-unsur Negara;
f. Tujuan negara (tujuan nasional).
5. Di bidang pemikiran hakiki :
a. Etika Administrasi Publik;
b. Estetika Administrasi Publik;
33
MURNI
ADMINISTRASI
PUBLIK
SEMI
ADMINISTRASI
PUBLIK
35
BUKAN
ADMINISTRASI
PUBLIK
BAB IV
KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam
pembahasan lebih lanjut dalam tulisan ini, kebijakan dan kebijaksanaan dianggap
sama.
Pengertian kebijakan atau kebijaksanaan sendiri diberi arti bermacam-macam
seperti yang dikemukakan oleh :
1. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan (1970:71) :
A projected program of goald, values and practice. (Suatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dan pratek-praktek yang terarah).
2. Carl J. Friedrick (1963:79) :
...a proposed course of action of a person, group, or government within a given
environment providing obstacles and opportunities which the policy was
proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an
objective or purpose. (...serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan
36
government programs. (... adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan
program-program pemerintah).
3. James A. Anderson (op.cit.:3) :
Public policy are those policies developed by governmental bodies and officials.
Juga pendapatnya yang lain (1965:212), the impact of government activity.
(Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badanbadan dan pejabat-pejabat pemerintah, dan sebagai akibat aktivitas pemerintah).
4. David Easton (1953:129) :
...the authoritative allocation of values for the whole society. (...pengalokasian
nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat).
6. Budi Winarno (2005:17) :
Kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabatpejabat pemerintah yang dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan
pemerintah.
7. RC. Chandler dan JC Plano 1988) dalam Inu Kencana Syafiie, (1999:107) :
Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdayasumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah publik.
8. Arnold Rose (Inu Kencana Syafiie, 1999:107) :
Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang salaing berkaitan (dalam
pemerintahan).
9. William N. Dunn (Inu Kencana Syafiie, 1999:107) :
Kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan
yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang
menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan, dan lainlain.
10. Dalam suatu glossary di bidang administrasi publik (Irfan Islamy, 2009:20),
kebijakan publik diberi arti sebagai berikut :
a. Susunan rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program38
KEBIJAKAN PUBLIK
Masyarakat pada
Kondisi Awal
Masyarakat pada
Masa Transisi
Masyarakat yang
dicita-citakan
40
pembatasan transaksi valas, penetapan suku bunga, kebijakan keaman negara, dll.
Pemilahan keempat, adalah kebijakan yang memperkuat negara versus
memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan
yang mendorong lebih besar peran negara, misalnya kebijakan pendidikan nasional
yang menjadikan negara sebagai pelaku utama. Kebijakan yang memperkuat pasar
adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar
daripada negara, misalnya kebijakan privatisasi BUMN, perseroan terbatas, dll.
Dalam praktiknya, memang setiap kebijakan publik mengandung lebih dari
satu tujuan kebijakan seperti dikemukakan di atas, dengan kadar yang berbeda.
Kebijakan yang multitujuan adalah untuk menjadikan
MENYERAP
(Absorptif)
MEREGULASI
(Mengatur, Membatasi)
MENDEREGULASI
(Membebaskan)
VERSUS
MENGGERAKKAN
(Dinamisasi)
MENJAGA
(Stabilisasi)
MEMPERKUAT PASAR
(Deregulatif)
MEMPERKUAT NEGARA
(Regulatif)
libat dalam perumusannya (policy stakeholders). Contohnya, dalam membuat suatu kebijakan publik, meskipun sudah ada instansi/organisasi pemerintah yang secara fungsional berwenang membuatnya, misalnya Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengatur tentang pendidikan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan atau Keputusan
Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan/Keputusan Dirjen, dst.), tetapi harus
melibatkan banyak instansi terkait seperti DPR, Kementerian Hukum dan
HAM, Kementerian Tenaga Kerja, Perguruan Tinggi, bahkan organisasi di luar
pemerintahan seperti PGRI, LSM, para ahli pendidikan, dan praktisi pendidikan, serta masyarakat umum. Mereka yang terlibat atau berkepentingan itu
disebut stakeholders.
2. Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies.
a. Distributive Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur pemberian
pelayanan/keuntungan kepada individu-individu, kelompok-kelompok, atau
perusahaan-perusahaan. Contohnya, kebijakan tentang Tax Holiday.
b. Redistributive Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur pemindahan
alokasi kekayaan, kepemilikan, atau yang berkaitan dengan hak-hak sesuatu.
Contohnya kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
c. Regulatory Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur pembatasan/
pelarangan terhadap suatu perbuatan atau tindakan. Contohnya, kebijakan
tentang larangan kepemilikan dan penggunaan senjata api.
3. Material Policy :
Suatu kebijakan yang mengatur pengalokasian/penyediaan sumber-sumber
material yang nyata bagi penerimanya. Contohnya, kebijakan pembuatan rumah
sederhana.
4. Public Goods and Private Goods Policies :
a. Public Goods Policy, yaitu suatu kebijakan yang mengatur penyediaan barangbarang/pelayanan-pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang banyak. Contohnya, kebijakan perlindungan keamanan ketertiban, penyedia42
kebijakan nasional ini adalah MPR, DPR, dan Presiden. Kebijakan nasional
yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat berbentuk
UUD, Ketetapan MPR, UU, PP/PERPPU.
Demikianlah, maka kebijakan publik di lingkup nasional ada yang dibuat
oleh Eksekutif (Presiden) untuk melaksanakan kebijakan publik yang bersifat
umum yang dibuat oleh Legislatif (MPRD/DPR/DPD), baik secara tunggal
(UUD, TAP MPR), maupun melalui kerjasama dengan Eksekutif (UU). Ada
kebijakan publik yang dibuat oleh Legislatif (DPR) dalam rangka pelaksanaan
tugas dan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran, yang dicantumkan
dalam Peraturan Tata Tertib, dll. selain yang dibuat bersama Eksekutif (UU).
Dan ada kebijakan publik dan yang dibuat oleh Yudikatif (Mahkamah Agung),
melalui keputusan-keputusan khusus MA yang biasanya berkenaan dengan
perselisihan hukum yang diputuskan Pengadilan di bawahnya yang belum/
tidak dapat diterima oleh para pihak.
b. Kebijakan umum, yaitu kebijakan Presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR,
dan UU dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan nasional. Jadi, yang
berwenang menetapkannya adalah Presiden, dan diatur dalam kebijakan
43
Yang berwenang
Ingat, berdasarkan UU
44
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
(UU/
PERPPU).
4. Peraturan Pemerintah (PP).
5. Peraturan Presiden (Perpres).
6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi.
7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
Setiap peraturan dari tingkat pusat atau nasional, hingga tingkat kelurahan/
desa, adalah kebijakan publik. Mereka adalah aparat publik yang dibayar oleh uang
publik melalui pajak dan penerimaan negara lainnya, dan karenanya secara hukum
formal bertanggung jawab kepada publik. Jadi, rentetan kebijakan publik sangat
banyak, akan tetapi dalam pemahaman kontinentalis dapat dikelompokkan menjadi
45
tiga :
1. Kebijakan publik yang bersifat makro, umum, atau mendasar, yaitu peraturanperaturan tersebut di atas.
2. Kebijakan publik yang bersifat messo, menengah, atau penjelas pelaksanaan.
Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri (Permen), Surat Edaran (SE)
Menteri, Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati/Walikota (Perbub/
Perwal). Kebijakannya dapat juga berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB)
antarMenteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro, kecil atau bawah yang mengatur pelaksanaan/implementasi kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota.
Peraturan-peraturan tersebut sifatnya mengatur (regeling), tetapi terdapat
beberapa perkecualian, yaitu kebijakan yang sifatnya makro dan messo kadang
bersifat implementasi/pelaksanaan langsung (beshicking), namun tidak berarti
kekeliruan. Kebijakan seperti itu bahkan dapat dikatakan lebih efisien karena tidak
memerlukan peraturan penjelasan tambahan yang akan menjadikan kebijakan
tersebut secara formulasi saja sudah memerlukan biaya besar (high cost economy).
Di negara-negara maju di Amerika utara, kebanyakan peraturan itu dibuat secara
detail hingga berkenaan dengan implementasi. Pada sejumlah negara di Eropa,
kebijakan publik ditata secara lebih rigid (kaku) dalam aransemen makro-messomikro. Memang tidak ada preferensi terbaik, apakah peraturan dibuat secara detail
meliputi pengaturan dan pelaksanaan, atau pengaturan dan pelaksanaan dibuat
secara terpisah. Yang jelas kelemahan utama yang dibuat secara detail (pengaturan
sekaligus pelaksanaan), adalah jika diperlukan perubahan-perubahan prosesnya
sangat sulit, berat, lama, dan karenanya sangat mahal, sebab yang diubah harus
induk kebijakan. Berbeda jika yang diubah adalah kebijakan di bawahnya, pada
tingkat penjelasan atau pelaksanaan.
Bentuk kedua kebijakan publik, selain peraturan perundang-undangan yang
terkodifikasi, adalah pernyataan-pernyataan lisan pejabat publik. Pernyataan dimaksud harus dan selalu mewakili lembaga publik yang diwakili atau dipimpinnya.
46
ruang-ruang privat, tidak dapat dianggap sebagai kebijakan publik, kecuali hal
tersebut dikemukakan kembali oleh pejabat publik secara publik.
Menurut Riant Nugroho (2012:135), ucapan pejabat publik di depan publik
yang disebut sebagai kebijakan publik harus :
1. Berisi kebenaran.
2. Konsisten, karena mencerminkan lembaganya.
3. Apabila berkenaan dengan hal-hal yang harus segera diimplementasikan oleh
struktur di bawahnya, sudah dikomunikasikan terlebih dulu dengan struktur di
bawahnya itu dan sudah siap dengan manajemen implementasinya.
4. Apabila berkenaan dengan hal-hal yang masih bersifat konsep atau rencana,
harus disampaikan secara jelas bahwa yang dinyatakannya itu adalah baru konsep atau rencana atau biasa disebut wacana.
47
instansi yang jujur dan berdisiplin, akan menghasilkan perilaku yang jujur dan
berdisiplin bukan saja di kalangan instasinya, namun juga jajaran di daerah dan
publik yang dilayaninya. Demikian halnya yang negatif, misalnya di suatu daerah
yang dipimpin oleh kepala daerah yang korup, akan mengembangkan perilaku
korup, karena korupsi dianggap sebagai kebijakan publik secara konvensi. Dalam hal
gesture, maka gerik-mimik-gaya pejabat publik akan ditirukan oleh bawahannya.
Ketika pejabat publik bermuka masam kepada bawahannya atau kepada mahasiswa, maka mereka akan mengimitasi gerak-mimik-gaya tersebut. Ketika pimpinan
bertemu dengan rekannya bercipika-cipiki, maka pejabat lain bawahannya akan
menirunya. Demikian juga dalam kehidupannya yang glamor misalnya, akan ditiru
juga oleh bawahannya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kiranya perlu dijelaskan siapa sebenarnya pejabat publik itu. Pejabat publik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Pejabat Negara :
a. Pejabat Legislatif, yaitu Ketua dan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
b. Pejabat Yudikatif, yaitu Pimpinan MA, MK, dan KY;
c. Pejabat Eksekutif, yaitu :
1) Presiden dan Wakil Presiden;
2) Menteri dan Pejabat Pemerintah setingkat Menteri (LPNK);
48
49
diri sendiri. Artinya, tidak hanya menyangkut pembuatan aturan, tetapi juga
implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya.
3. Kebijakan publik bersangkut-paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
pemerintah dalam bidang-bidang tertentu. Contohnya, dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, menggalakkan penggunaan produk dalam
negeri, mengadakan program perumahan rakyat bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, dsb.
4. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif.
Bentuk
50
BAB V
SISTEM, PROSES, DAN SIKLUS
KEBIJAKAN PUBLIK
Sistem Politik
N
Demands
P
Output
Support
U
Formulasi
Kebijakan
Publik
T
Sumber : Leo Agustino (2012:20)
Umpanbalik
51
Process
Output
Impact.
Kebijakan publik
merupakan output dari suatu input yang diproses secara politis. Adapun uraian
tentang unsur-unsur sistem kebijakan publik dimaksud adalah :
1. Input (Masukan) : Masalah Kebijakan Publik.
Hal ini timbul karena adanya faktor lingkungan kebijakan publik, yaitu suatu
keadaan yang melatarbelakangi atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya
masalah kebijakan publik tersebut yang berupa tuntutan-tuntutan, keinginankeinginan masyarakat atau tantangan dan peluang, yang diharapkan segera
dapat diatasi melalui suatu kebijakan publik. Masalah itu dapat juga timbul
justru karena dikeluarkannya suatu kebijakan publik baru.
Contohnya, masalah kebijakan publik timbul karena adanya dorongan dari
masyarakat, seperti misalnya keluarnya program SD Inpres, Pasar Inpres, dan
Puskesmas Inpres, oleh karena adanya pandangan masyarakat (tahun 1970-an)
tentang kurangnya pemerataan pembangunan.
Masyarakat menganggap
publik juga timbul karena adanya kebijakan pemerintah. Misalnya, akibat adanya
kebijakan Pemda DKI Jaya yang menetapkan bahwa di beberapa jalan protokol
kota Jakarta, kendaraan roda empat (kecuali taksi dan bus kota) diwajibkan
berpenumpang minimal tiga orang (three in one), maka muncul masalah jockey
yaitu ada orang yang dibayar untuk ikut mobil yang berpenumpang kurang dari
tiga orang.
52
Menurut
EVALUASI
KEBIJAKAN
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
MONITORING
KEBIJAKAN
54
55
BAB VI
KONTEKS MAKRO DAN ARTI PENTING
KEBIJAKAN PUBLIK
Bentuk-bentuk wadah
kewarganegaraan itu beragam, ada wadah politik seperti partai politik, wadah
ekonomi seperti badan-badan usaha, dan wadah sosial seperti asosiasi-asosiasi
formal atau informal.
3. Komponen Wilayah.
Komponen wilayah yang diakui kedaulatannya, sebagai sebuah kawasan fisik
yang kasatmata, yaitu wilayah geografis dari Sabang sampai Merauke yang
diakui oleh negara-negara dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menu-
56
rut Riant Nugroho, ke depan akan berkembang virtual nations yang mempunyai
wilayah yang maya. Bentuk pertama negara maya adalah perusahaan multinasional yang beroperasi di banyak negara, yang karyawannya mempunyai
loyalitas lebih tinggi tinimbang kepada negara nyatanya. Bentuk kedua adalah
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) internasional yang mempunai jaringan
kerja di seluruh dunia. Anggota jaringan ini pun lebih loyal kepada ideologi
yang dibawa LSM daripada kepada ideologi negara. Bentuk ketiga adalah
munculnya negara maya pada situs internet yang menawarkan orang orang dari
berbagai dunia menjadi warganya. Bentuk ke empat adalah jaringan terorisme
dan kejahatan global, termasuk jaringan
dihentikan. Mereka menjadi negara baru yang tak tersentuh oleh negara
nyata.
4. Komponen Kebijakan Publik.
Setiap negara modern pasti mempunyai konstitusi, peraturan perundangundangan, kebijakan dan keputusan sebagai aturan main hidup bersama.
Negara tanpa konstitusi adalah negara gagal karena kehidupan bersama akan
diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja yang yang bekerja untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya (tirani/oligarki). Kebijakan publik adalah
bagaimana mengatur interaksi antara negara dengan rakyat, yang tidak lain
adalah tata kelola negara, atau bagaimana memanajemeni negara.
Pada dimensi ini kita memulai pemahaman tentang arti penting kebijakan
publik pada konteks makro negara. Setiap negara terutama pemerintahan
sebagai pemegang kekuasaan, berkehendak untuk dapat mengendalikan
negara. Timbul pertanyaan dari setiap pemegang kekuasaan negara, yaitu
bagaimana mengendalikan negara?. Tetapi pertanyaan yang lebih tepat dan
relevan adalah bagaimana memanajemeni negara? karena mengendalikan
saja berarti menjaga atau memastikan agar tidak keluar dari jalur. Sementara
memanajemeni berarti mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai,
yang berarti juga ada upaya untuk melakukan value creation. Jadi, mengendalikan adalah bagian terluar dari upaya negara, dan bagian yang lebih dalam
57
adalah memanajemeni, dan bagian terdalam lagi dan paling sulit adalah
memimpin.
Bagan : Dimensi Tugas Negara :
MENGENDALIKAN
MEMANAJEMENI
MEMIMPIN
Demikianlah, maka dengan mengendalikan, memanajemeni, dan memimpin itu dikembangkan melalui kebijakan publik. Ketika pemerintah menetapkan
demokratisasi sebagai kebijakan publik, maka seluruh kehidupan bersama
berubah. Kehidupan secara simultan menjadi bagian dari ekstrapolasi kebijakan, sebagaimana bagan di bawah ini.
Bagan : Kebijakan Publik sebagai Awal Kehidupan Bersama :
Pemilupres Langsung
Otonomi Daerah
Pemilukada Langsung
DPR+DPD=MPR
KPK
Komnas-komnas
Pelayanan Satu Atap
Pemekaran Wilayah
Demokratisasi
Ideology
Political Systems
Public Policy
Ideologi adalah keyakinan politik dari kesatuan politik yang disebut negara
merdeka dan berdaulat.
h. Kepala Desa;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.
7. Badan Perwakilan Desa (BPD).
Lembaga-lembaga tersebut di atas memiliki peran dan wewenang masingmasing untuk membuat kebijakan publik sesuai dengan kedudukannya dalam
sistem pemerintahan Republik Indonesia. Di bawah ini adalah matrik ikhtisar dari
peran dan wewenang dimaksud.
AKTOR
(Nama Lembaga)
MPR
Presiden
DPR
Pemerintah
Menteri
Lembaga Pemerintah
Non Kementerian
(LPNK)
Direktorat Jenderal
Badan-badan Negara
lain-nya
Pemerintah Daerah Provinsi
DPRD Provinsi
Pemerintah Daerah
Kabu-paten/Kota
DPRD Kabupaten/Kota
Kepala Desa
BPD
Kelompok-
kelompok itu juga sering memberikan informasi kepada para pejabat publik dan
sering pula yang sifatnya teknis serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin
timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan.
Pengaruh kelompok-kelompok kepentingan terhadap kebijakan publik
bergantung pada banyak faktor, antara lain menyangkut ukuran-ukuran keanggotaan kelompok, keuangan dan sumber-sumber lain, keterpaduannya, kecakapan dari pemimpin kelompok, ada tidaknya persaingan organisasi, tingkah laku
para pejabat publik, dan tempat pembuatan keputusan dalam sistem politik.
Suatu kelompok yang besar dan dianggap baik akan cenderung efektif dalam
memengaruhi kebijakan publik dibanding dengan kelompok sebaliknya. Namun
kelompok pun bergantung bidang kepentingannya, misal kelompok kepentingan
61
yang terdiri dari para guru akan efektif memengaruhi kebijakan bidang pendidikan, namun belum tentu efektif dalam memengaruhi kebijakan yang berkaitan
dengan buruh, dan sebagainya.
2. Partai-partai Politik.
Dalam sistem politik demokrasi, partai-partai politik memegang peran penting.
Partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Ini berarti bahwa
partai-partai politik pada dasarnya lebih berorientasi pada kekuasaan dibanding
pada kebijakan publik. Namun demikian, peran partai-partai politik tidak dapat
diabaikan begitu saja pengaruhnya dalam proses pembentukan kebijakan publik.
Dalam masyarakat modern, partai-partai politik seringkali melakukan agregasi kepentingan yang mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompokkelompok kepentingan menjadi alternatif-alternatif kebijakan publik.
3. Warga Negara Individu.
Warga negara dalam hubungannya dengan legislatif maupun kelompok kepentingan lain sering diabaikan dalam pembuatan kebijakan publik. Namun dalam
beberapa hal individu dari warga negara ini masih dapat mengambil peran secara
aktif dalam pengambilan keputusan atau kebijakan publik.
(Budi Winarno, hal. 134).
62
63
laku) menyadari akan otoritas pemerintah karena itu subyek berorientasi pada
sistem politik dan proses keluaran. Namun mereka juga mempunyai sedikit
kesadaran pada proses masukan (input) atau sebagai peserta. Subyek menyadari
akan wewenang pemerintah, dan boleh menyukai atau tidak menyukai,
karenanya dalam hal ini subyek lebih bersikap pasif.
Adapun dalam budaya politik partisipan, warga negara mempunyai kesadaran politik dan informasi yang tinggi dan mempunyai orientasi eksplisit pada
sistem politik secara keseluruhan, proses input dan outputnya, dan mempunyai
partisipasi politik yang sangat tinggi.
Budaya politik membantu membentuk budaya politik yang berpengaruh pada kebijakan publik. Hal ini juga ditandai oleh peran partai politik. Menurut
James Anderson (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya
peran partai politik dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah sistem
kepartaian yang dianut dan dipraktekkan oleh negara bersangkutan. Secara
teoritis, terdapat tiga sistem kepartaian yang masing-masing memiliki karateristik
dan konsekuensi pada peran partai politik dalam proses formulasi kebijakan publik, yaitu (Leo Agustino, ibid : 50-51) :
a. Sistem Banyak Partai (Multyparty Systems) : Di negara-negara yang menganut
atau mempraktekkan multi partai, partai politik menjalankan peran sebagai
broker yang menjadi perantara kepentingan anggotanya untuk disalurkan
kepada para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. Sepintas partai
politik menjalankan perannya sangat baik, akan tetapi sebenarnya tidak lebih
dari kelompok kepentingan belaka, dan lebih banyak memainkan peran dalam
proses formulasi kebijakan;
b. Sistem Dua Partai (Twoparty Systems) : Di negara-negara yang menganut dan
mempraktekkan sistem ini dicirikan dengan kecenderungan-kecenderungan
melibatkan diri ke dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dua partai
senantiasa berkompetisi dalam memperebutkan dukungan publik. Perannya
lebih efektif dalam mempengaruhi proses kebijakan publik seperti halnya di
Amerika Serikat (Partai Republik dan Partai Demokrat), atau di Inggris (Partai
Demokrat dan Partai Buruh);
66
Hal ini
Amerika Serikta.
warga masyarakat sdecara hati-hati. Hal ini merupakan bahan pemikiran dalam
memformulasi kebijakan publik yang tepat mulai dari proses pendefinisian,
perumusan, implementasi, sampai dengan evaluasinya.
2. Kondisi Sosial-Ekonomi.
Pros pribadi dan yang resmi, formulasi kebijakan publik tidak bisa dipisahkan
dengan faktor sosial ekonomi. Kendati kebijakan publik dapat dipandang sebagai
solusi dari konflik yang berkecamuk, tetapi juga sekaligus bisa dianggap sebagai
penyebab konflik antar kelompok yang berbeda, yaitu yang pribadi dengan yang
resmi, serta yang memilik keinginan dan kepentingan berbeda.
Salah satu sumber konflik khususnya dalam masyarakat modern adalah
kegiatan ekonomi.
pengusaha besar dengan pengusaha kecil, antara buruh dengan majikan, antara
yang berhutang dengan yang mempunyai piutang, antara penjual besar dengan
pengecer, pertokoan dengan warung-warung kecil, konsumen dengan penjual,
petani dengan pembeli komoditas pertanian, dsb.
Kelompok (golongan/partai) yang lemah atau tidak diuntungkan dalam
konflik biasanya lebih banyak mengundang dan meminta bantuan pemerintah
dalam setiap kebijakan yang ditempuh. Sementara kelompok yang puas karena
mencapai tujuannya, tidak mempunyai daya dorong untuk membawa pemerintah dalam konflik bahkan cenderung melawan kegiatan-kegiatan pemerintah.
Pelibatan pemerintah sering terjadi dalam kasus misalnya :
a. Buruh yang tidak puas dengan upah yang ditetapkan majikan (maka pemerintah/pemerintah daerah membantu dengan menetapkan UMR = Upah
Minimal Regional). Hal ini biasanya ditempuh setelah dilakukan musyawarah
melalui forum Tripartit (Pemerintah-Pengusaha-Buruh). Namun dalam kenyataan bisa saja hasil penetapan UMR ini pun diprotes atau ditolak baik oleh
pihak pengusaha maupun buruh;
b. Konsumen dirugikan oleh pasar baik mengenai harga, kualitas, maupun
ketersediaan barang;
c. Petani yang meminta pemberian subsidi, dll.
70
Memang berbeda
masanya namun issue sentral yang menjadi fokus tetaplah sama, yaitu di satu sisi
kinerja BUMN buruk, dan di sisi lain ada berbagai tekanan pada perekonomian
negara yang menuntut perubahan atau penyesuaian dengan iklim internasional.
Demikianlah dengan perannya yang begitu besar, kinerja BUMN sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Karenanya tidak mengherankan jika
kemudian restrukturisasi BUMN merupakan paket yang tidak terpisahkan dari
penataan kembali kebijakan perekonomian negara.
Dari berbagai keharusan yang timbul akibat penataan kembali perekonomian nasional selama lebih dari 10 tahun dan belakangan ini, telah memaksa
pemerintah mengubah orientasi kebijakannya kepada BUMN yaitu menuntut
kemandirian BUMN dan mendorongnya untuk menjalankan privatisasi, bahkan
menjual beberapa BUMN tertentu yang hasilnya untuk membayar utang luar
negeri yangsangat amat banyak.
Mengingat perannya yang penting dalam penataan perekonomian nasional,
kemudian langkah-langkah yang ditempuh pemerintah terhadap BUMN adalah
deregulasi menuju privatisasi BUMN :
a. Deregulasi;
b. Liberalisasi;
c. Privatisasi dari privatisasi manajemen menuju privatisasi kepemilikan
d. Privatisasi kepemilikan sebagai modernisasi manajemen BUMN.
72
BAB VII
PERAN INFORMASI DALAM PEMBUATAN
KEBIJAKAN PUBLIK
A. PENGERTIAN INFORMASI
Berkaitan dengan pengertian informasi, perlu dijelaskan terlebih dulu fakta dan
data.
1. Fakta, adalah kejadian yang sebenarnya, atau peristiwa yang benar-benar
terjadi.
2. Data, adalah :
a. Hal-hal yang diketahui;
b. Catatan daripada fakta;
c. Bahan mentah (row materials) untuk bahan informasi.
Menurut Murdick dalam Kumorotomo dan Agus Margono (1994), data adalah
fakta yang sedang tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan,
biasanya dicatat dan diarsipkan tanpa maksud untuk segera diambil kembali
untuk pembuatan keputusan.
3. Informasi, adalah data yang telah diolah kemudian dikomunikasikan sebagai
bahan untuk pembuatan/pengambilan keputusan atau kebijakan. Atau menurut
Murdick, informasi terdiri dari data yang telah diambil kembali, kemudian diolah
dan digunakan untuk memberi dukungan keterangan untuk pembuatan keputusan. Informasi adalah data yang telah disusun sedemikian rupa, sehingga
bermakna dan bermanfaat untuk pembuatan keputusan. (Sutopo, 2001:16).
Demikianlah, maka tidak tepat jika ada yang mengartikan data dan informasi
itu sama. Lain daripada itu, informasi yang diperlukan sebagai bahan dalam rangka
pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan harus yang baik dan berkualitas
tinggi, karena kualitas informasi akan sangat menentukan terhadap efektivitas dan
keberhasilan pembuatan keputusan/kebijakan. Menurut Parker (Kumorotomo dan
Agus Margono, 1994), syarat-syarat informasi yang baik adalah :
1. Ketersediaan (Availability) informasinya itu sendiri, yang harus diperoleh bagi
73
74
Dalam
adalah suatu
belum dapat
76
BAB VIII
AGENDA SETTING
A. ISU-ISU KONSEPTUAL
Agenda setting atau agenda formation (policy agenda), adalah tahap yang paling
kritis dalam proses kebijakan. Agenda setting adalah suatu tahap sebelum
perumusan kebijakan dilakukan, yaitu bagaimana isu-isu (issues) itu muncul pada
agenda pemerintah yang perlu ditindaklanjuti berupa tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk yang diharapkan pemerintah segera mengambil
tindakan, tetapi ternyata pemerintah tidak bertindak sesuai dengan keinginan
masyarakat.
Isu-isu atau masalah (terlebih yang krusial) itu dapat timbul karena keinginan,
aspirasi, atau desakan dari masyarakat. Dalam kenyataannya, sebelum masalahmasalah tersebut dipertimbangkan untuk dipecahkan, harus melalui proses yang
kompleks. Prinsipnya, agenda setting adalah pengenalan masalah yang dihadapi
oleh pemerintah dhi. organisasi/instansi-instansinya. Roger W. Cobb and Ross
dalam Howlett and Ramesh (1955) mendefinisikan agenda setting sebagai proses
di mana keinginan-keinginan dari berbagai kelompok dalam masyarakat diterjemahkan ke dalam butir-butir kegiatan agar mendapat perhatian serius dari pejabatpejabat pemerintah. Sedangkan menurut John Kingdon, agenda setting adalah
suatu daftar subyek atau masalah di mana para pejabat pemerintah dan masyarakat
di luar pemerintah yang ada kaitannya dengan pejabat dimaksud, memberikan
perhatian pada masalah tersebut.
Jumlah masalah umum begitu banyaknya sehingga tidak dapat dihitung. Dari
sekian banyak masalah itu, hanya sedikit yang mendapat perhatian yang seksama
dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan perhatian pembuat
kebijakan terhadap sejumlah kecil masalah umum dimaksud, menyebabkan timbulnya agenda kebijakan (the policy agenda) berbeda. Dengan demikian agenda
kebijakan berbeda dengan tuntutan-tuntutan dalam sistem politik (political
demands) pada umumnya, dan dan berbeda pula dengan prioritas-prioritas politik
(political priority) yang biasanya ditempatkan di urutan daftar masalah (agenda
items) teratas.
Menurut Anderson, proses pembuatan agenda kebijakan bisa berasal dari
privat (privat problem) kemudian berkembang lebih lanjut menjadi public problem
dan harus distrukturkan secara runtut yang digambarkan sebagai berikut.
Privat Problem
Public Problem
Institutional Agenda
Issues
Systemic Agenda
ini ada pada setiap jenjang sistem politik, baik lokal, regional, maupun nasional.
Contohnya, masalah kriminalitas akan muncul sebagai agenda sistemik pada tingkat
lokal, regional dan nasional; masalah hubungan luar negeri muncul hanya sebagai
agenda sistemik nasional; dan masalah pendirian gedung olah raga bagi kegiatan
para pemuda sebagai agenda sistemik lokal.
Menurut Cobb dan Elder, ada tiga prasyarat agar isu kebijakan (policy issue)
masuk dalam agenda sistemik, yaitu :
1. Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan kesadaran masyarakat.
2. Adanya persepsi atau pandangan/pendapat publik yang luas, bahwa beberapa
tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan suatu masalah.
3. Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan
suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari bebarapa unit/instansi
pemerintahan untuk memecahkannya.
Agar isu kebijakan itu menarik perhatian serta memperoleh pengakuan publik,
maka para pendukungnya harus menguasai media massa dan mempunyai sumbersumber yang cukup sehingga isunya dapat sampai kepada masyarakat. Pemerintah
harus dapat meyakinkan publik bahwa isu itu adalah masalah besar yang mereka
hadapi dan tindakan-tindakan perlu diambil untuk memecahkan masalah itu. Jika
isu mendapat dukungan dari policy makers kemudian berhasil tampil sebagai
agenda sistemik, maka tindakan sah pemerintah diperlukan untuk memecahkan
masalah itu. Agenda sistemik lebih bersifat abstrak dan umum, serta kurang
menunjukkan alternatif cara-cara pemecahannya. Contohnya, tentang mengakhiri
atau menghapuskan diskriminasi, atau meningkatkan partisipasi masyarakat.
Sementara itu agenda pemerintah (governmental agenda atau institutional
agenda), Cobb dan Elders mengartikannya sebagai, that set of items explicity up
for the active and serious consideration of autoritative decision makers. (serangkaian hal-hal yang secara tegas membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang
aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah/otoritatif). Agenda pemerintah
disusun atas masalah-masalah yang sangat membutuhkan keaktifan dan keseriusan
pembuat kebijakan untuk mempertimbangkannya. Agenda pemerintah ini mempu79
nyai sifat yang khas, lebih konkrit (nyata) dan terbatas jumlahnya. Contohnya, di
bidang ekonomi : Dasar-dasar pertimbangan dan cara-cara untuk memberantas
ijon-tengkulak.
Agenda pemerintah dapat berisi hal-hal (items) yang baru atau lama. Hal-hal
lama (old items) yang selalu muncul secara reguler pada agenda pemerintah,
misalnya tentang kenaikan gaji pegawai, kenaikan harga barang-barang, penggalian
sumber-sumber dana, stabilitas politik, dsb.
pembuat kebijakan, dan alternatif-alternatif yang dapat dipilih pun sudah banyak
terpolakan, sehingga pembuat kebijakan lebih banyak memberikan perhatian
padanya. Sedangkan hal-hal baru (new items) adalah hal-hal yang belum didefinisikan sebagai akibat munculnya situasi atau peristiwa-peristiwa yang khusus dan
baru, misalnya mengenai polusi kimia, kewajiban belajar, penggunaan energi/
tenaga matahari, dsb. Hal-hal baru ini kalau telah dikonversikan berkali-kali akan
berubah menjadi hal-hal lama atau telah menjadi rutin.
Timbul pertanyaan, mengapa beberapa masalah masyarakat dapat masuk
agenda pemerintah, sedangkan beberapa masalah masyarakat lain tidak? Menurut
Cobb dan Elder, hal-hal tersebut dapat terjadi karena masalah-masalah dalam
masyarakat begitu banyak, sehingga para pembuat kebijakan akan memilih dan
merencanakan masalah-masalah mana yang menurut mereka perlu mendapat
prioritas utama untuk diperhatikan secara serius. Jika sebagian besar pembuat
kebijakan sefaham bahwa prioritas perlu diberikan kepada masalah-masalah
tertentu, maka policy issue tersebut segera dapat dimasukkan ke dalam agenda
pemerintah.
Anderson dalam Irfan Islamy (2009:86) menyebutkan beberapa faktor yang
dapat menyebabkan masalah-masalah umum dapat masuk ke dalam agenda
pemerintah, yaitu :
1. Jika terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok, maka
kelompok-kelompok tersebut akan mengadakan reaksi dan menuntut adanya
tindakan pemerintah untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut. Contohnya,
kelompok pengusaha kecil yang merasa terdesak oleh pengusaha besar dan kuat
(konglomerat).
80
2. Para pemimpin politik dapat menjadi faktor penting dalam penyusunan agenda
pemerintah. Karena didorong adanya pertimbangan politik dan memperhatikan
kepentingan umum, mereka selalu memperhatikan masalah-masalah masyarakat dan mengusulkan upaya-upaya pemecahannya. Contohnya, karena adanya
krisis moneter, yang mengakibatkan banyak karyawan kena pemutusan hubungan kerja (phk) dan pengangguran meningkat, maka ara pemimpin politik mendesak pemerintah untuk segera mengurangi dampak krismon tersebut.
3. Timbulnya krisis atau peristiwa luar biasa dapat menyebabkan suatu masalah
masuk ke dalam agenda pemerintah. Contohnya, masalah-masalah ekonomi,
politik, sosial, dan keamanan yang mengakibatkan bentrokan etnis dan agama,
mengakibatkan pembuat kebijakan segera memasukkannya ke dalam agenda
pemerintah.
4. Adanya gerakan-gerakan protes, termasuk tindakan kekerasan, merupakan salah
satu penyebab yang dapat menarik perhatian pembuat kebijakan dan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah. Contohnya, adanya protes dari kelompokkelompok tertentu termasuk mahasiswa terhadap penculikan para aktivis
mahasiswa, maka pemerintah kemudian segera memasukkan masalah tersebut
ke dalam agenda pemerintah.
Proses memasukkan masalah-masalah ke dalam agenda pemerintah bukanlah pekerjaan ringan dan merupakan kegiatan yang kompleks, karena tidak semua
pembuat kebijakan menaruh perhatian yang sama terhadap masalah tersebut. Bisa
terjadi konflik kepentingan di antara para aktor kebijakan, tentang dapat atau
tidaknya masalah-masalah tersebut masuk ke dalam agenda pemerintah.
Menurut agenda setting yang berlaku sekarang ini, maka pemerintah berperan terbatas hanya mengarahkan (steering), sedang kegiatan pelaksanaan (rowing) dilakukan oleh masyarakat. Dilihat dari jenjang pemerintahan, pemerintah
pusat membuat kebijakan, sedang pelaksanaan diserahkan kepada pemerintah
daerah. Memperhitungkan agenda setting dalam proses penyusunan kebijakan,
yang harus mendapat perhatian meliputi :
1. Kondisi masyarakat Indonesia yang jumlahnya sangat besar dan plural, namun
efisiensi dan produktivitas kerjanya masih rendah.
81
82
BAB IX
PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
Malah di
antara karyawan ada yang lebih senang main games atau bekerja di depan
komputer sambil merokok, padahal serpihan debu rokok yang sepersekian
mikron itu bisa menggerus drive machine komputer sehingga mudah rusak.
c. Keterbatasan Kelembagaan.
B. ISU-ISU KONSEPTUAL
Jika masalah-masalah yang ada dalam masyarakat (public problems) telah diketahui
dan hendak diatasi oleh pemerintah, maka pembuat kebijakan perlu memutuskan
untuk melakukan serangkaian tindakan mengatasi permasalahan dimaksud. Dalam
hal ini pembuat kebijakan harus memilih dari beberapa alternatif yang ada. Untuk
mendapatkan alternatif-alternatif itu diperlukan proses perumusan kebijakan.
Masalah-masalah kebijakan publik tidak selalu siap ada di hadapan para pem-
85
Oleh
karena itu perlu dicari apa penyebabnya. Analisis masalah dengan teknik pohon
masalah dapat digambarkan sebagai berikut :
Produksi Padi
Tidak Meningkat
Belum
Menggunakan Bibit
Unggul
Serangan
Hama
Belum
Menggunakan
Pupuk
2. Perumusan Tujuan/Sasaran.
Tujuan atau sasaran adalah suatu akibat yang secara sadar ingin dicapai atau
ingin dihindari.
Menggunakan
Bibit Unggul
Pembasmian
Hama
Menggunakan
Pupuk
3
3. Perumusan Alternatif.
Alternatif adalah pilihan tentang cara atau alat yang dapat dipergunakan untuk
mencapai tujuan/sasaran.
sasaran.
4. Perumusan Model.
Jika diperlukan, dapat dirumuskan suatu model analisis kebijakan, misalnya
dengan flow-chart, miniatur, dll.
5. Perumusan Kriteria.
Kriteria ini dapat digunakan untuk mengukur/menilai feasibilitas dari tiap-tiap
alternatif, misalnya :
a. Politik;
b. Ekonomi/finansial;
c. Administratif/Organisatoris;
d. Teknologi;
e. Sosial, budaya, dan agama;
f. Pertahanan keamanan (Hankam).
6. Penilaian Alternatif.
Alternatif-alternatif yang ada, yang perlu dinilai berdasarkan kriteria tersebut di
88
atas, adalah :
a. Politik :
Alternatif mana yang banyak mendapat dukungan dari para aktor kebijakan.
b. Ekonomi/Finansial :
Alternatif mana yang paling banyak menggunakan dana.
c. Administratif/Organisatoris :
Apakah secara administratif/organisatoris, alternatif dimaksud dapat dilaksanakan, atau apakah ada organisasi-organisasi yang melaksanakan.
d. Teknologi :
Apakah untuk alternatif-alternatif tersebut didukung oleh tersedianya
teknologi yang diperlukan.
e. Sosial, Budaya, dan Agama :
Apakah alternatif-alternatif tersebut tidak menimbulkan benturan atau
gejolak sosial, budaya, dan agama, misalnya masuk masalah SARA.
f. Pertahanan Keamanan (Hankam) :
Apakah alternatif-alternatif tersebut tidak menimbulkan gangguan terhadap
pertahanan, keamanan, dan ketertiban, atau cukup layak.
Said Zainal Abidin (2012:138-140) memberikan contoh dengan perhitungan
sebagai berikut. Misalnya dari suatu analisis, kita mendapatkan bahwa urbanisasi penduduk ke Jakarta bersumber dari ketimpangan perkembangan pembangunan antar daerah. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mengurangi
arus urbanisasi tersebut?
uangan/finansial, administratif/organisatoris, dan efektivitas, kita menilai keempat alternatif tersebut di atas. Setiap alternatif kita beri nilai secara relatif,
dan kriterianya ada lima, yaitu : Paling baik sekali (istimewa) diberi nilai 5, baik
sekali diberi nilai 4, baik diberi nilai 3, sedang diberi nilai 3, dan kurang baik
diberi nilai 1.
Alternatif 1 : Membatasi kemungkinan orang tinggal di Jakarta dengan tidak
memberikan KTP bagi pendatang baru.
- Dari segi politik : Kurang baik, karena akan menimbulkan kesan pembatasan
kebebasan warga negara bertempat tinggal di dalam negerinya sendiri;
- Dari segi ekonomi :
adanya pengangguran, akan tetapi hal ini dapat mengurangi pengadaan tenaga
kerja baru di Jakarta, sementara di pedesaan tidak ada kesempatan kerja;
- Dari segi keuangan : Paling baik, karena tidak memerlukan biaya besar;
- Dari segi administratif : Kurang baik, karena biar pun kelihatannya tidak sulit
untuk tidak memberikan KTP bagi pendatang baru, tetapi hal ini dapat
mendorong
- Dari segi administratif : Termasuk sedang, karena pembangunan daerah merupakan kegiatan yang cukup berat, walaupun hal ini bergantung pada kemampuan penanganan oleh masing-masing daerah;
- Dari segi efektivitas : Termasuk baik sekali, karena untuk mengurangi urbanisasi dan dapat memberi dorongan untuk bertindak sendiri dalam merubah arah
arus urbanisasi.
Alternatif 3 : Membatasi pertumbuhan kota Jakarta dengan mambatasi
pertambahan investasi baru;
- Dari segi politik : Termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan
kota Jakarta adalah tindakan radikal dan secara langsung sulit mendapatkan
dukungan masyarakat, selain menimbulkan nuansa yang kurang menguntungkan.
daerah.
- Dari segi ekonomi : Termasuk kurang baik, karena pembatasan pembangunan
kota dapat pula membatasi perkembangan ekonomi;
- Dari segi keuangan : Termasuk sedang, karena pembatasan pembangunan kota
Jakarta barangkali tidak akan banyak mengeluarkan biaya, akan tetapi juga
akan mengurangi tambahan pemasukan baru;
- Dari segi administratif : Termasuk sedang, karena pembatasan pembangunan
kota Jakarta tidak berarti tidak ada kegiatan, bahkan mungkin dapat menimbulkan berbagai kegiatan administratif baru;
- Dari segi efektivitas : Termasuk baik, karena pembatasan pembangunan kota
Jakarta barangkali akan mengurangi minat pendatang baru, tetapi tidak akan
mengurangi minat mereka yang sudah tinggal di Jakarta.
Alternatif 4 : Mendorong perpindahan penduduk Pulau Jawa ke wilayah lain
dengan lebih mempermudah transportasi laut ke dan dari wilayah-wilayah
tersebut.
- Dari segi politik : Paling baik sekali, karena dapat memperluas wawasan politik
masyarakat, dan lebih memungkinkan mendapat dukungan yang luas dari
berbagai pihak;
- Dari segi ekonomi : Baik sekali, karena dapat memperluas jangkauan pereko91
No.
KRITERIA
POL
EKO
KEU
ADM
EFT
JUMLAH
12
Membangun daerah.
17
Membangun
daerah.
16
transportasi
ke
Dari tabel 1 tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan daerah merupakan salah satu alternatif yang mempunyai angka tertinggi, yakni 17, disusul oleh
alternatif pembangunan transportasi ke daerah lain dengan nilai 16. Dalam
penilaian untuk pemilihan lebih lanjut, angka-angka ini belum final. Yang perlu
dinilai adalah bobot dari masing-masing kriteria itu sendiri sesuai dengan
pertimbangan dalam hubungan dengan tujuan yang lebih tinggi atau yang lebih
mendesak. Pertimbangan ini bisa jadi berhubungan dengan persatuan dan
kesatuan nasional, kepentingan untuk segera meningkatkan daya saing, yang
mungkin diperkirakan makin mendsak, dsb.
Misalnya prioritas kita pada peningkatan daya saing nasional yang mendesak, sementara persatuan dan kesatuan nasional dianggap sudah mantap. Maka
kriteria itu dapat kita beri nilai bobot sebagai berikut :
92
No.
KRITERIA
POL
EKO
KEU
ADM
EFT
JUMLAH
1x3
2x5
5x2
1x3
3x4
38
Membangun daerah.
5x3
5x5
1x2
2x3
4x4
64
1x3
1x5
2x2
2x3
3x4
30
Membangun
daerah.
5x3
5x5
1x2
2x3
3x4
60
transportasi
ke
Pada table 2 ini terlihat bahwa pembangunan daerah masih tetap merupakan strategi kebijakan yang terbaik, diikuti strategi keempat, pembangunan
transportasi ke daerah lain. Kondisi ini kelihatannya sama dengan table 1.
Namun keadaan ini tidak selalu demikian, bergantung pada prioritas yang kita
berikan terhadap kriteria-kriteria yang dipakai. Dengan demikian, pilihan kita
jatuh pada alternatif 2, yaitu pembangunan daerah dengan nilai akhir 64, diikuti
alternatif 4 dengan nilai 60.
mental dalam perumusan kebijakan pada umumnya dan kebijakan publik khususnya, karena itu masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan
baik. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang
ada dalam masyarakat. Itulah sebabnya seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dimaksud
menjadi pertanyaan yang menarik dalam sebuah evaluasi kebijakan publik.
Apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak, bergantung pada
ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. Memang dalam prakteknya menurut Rushefky (Budi Winarno, 2012:124) secara eksplisit menyatakan
kita sering gagal menemukan pemecahan masalah yang tepat dibandingkan
dengan menemukan masalah yang tepat.
2. Agenda Kebijakan.
Tidak semua masalah publik harus masuk ke dalam kebijakan publik. Masalahmasalah dimaksud saling berkompetisi antara yang satu dengan yang lainnya.
Hanya masalah-masalah tertentu yang akhirnya masuk dalam agenda. Suatu
masalah yang masuk ke dalam agenda kebijakan publik harus memenuhi syarat
tertentu antara lain, apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar
bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilaksanakan? Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan publik akan
dibahas oleh para perumus kebijakan publik berdasarkan tingkat urgensinya,
seperti oleh eksekutif (Presiden dan para pembantunya), legislatif (DPR) dan
mungkin juga yudikatif (kalangan peradilan).
3. Pemilihan Alternatif Kebijakan.
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus
kebijakan publik sepakat untuk memasukkan masalah dimaksud ke dalam
agenda kebijakan publik, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan
masalah. Dalam hal ini para perumus kebijakan publik akan berhadapan dengan
alternatif-alternatif atau pilihan kebijakan yang dapat diambil guna memecahkan
masalah tersebut.
Contoh kasus misalnya `pendirian pabrik tekstil PT. Indorayon di zaman pe94
95
BAB X
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. KONSEP IMPLEMENTASI
Implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah
penetapan dasar hukumnya (UU, Keppres, Kepmen, Perda, dsb.). Implementasi
dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan UU yang melibatkan berbagai sektor, organisasi, prosedur, dan teknik kerjasama untuk menjalankan
kebijakan dalam upaya meraih tujuan kebijakan atau program-program. Pada sisi
lain implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat
dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu
dampak (outcome).
Implementasi (pelaksanaan) kebijakan merupakan aspek yang sangat penting
dari keseluruhan proses kebijakan. Udji dalam Abdul Wahab (1991) mengemukakan, Implementasi kebijakan merupakan sesuatu yang penting, bahkan lebih
penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar atau
berupa impian atau rencana yang tersimpan dalam arsip apabila tidak
diimplementasikan.
Kendati implementasi kebijakan itu penting, akan tetapi baru beberapa
dasawarsa terakhir ini para ilmuwan sosial menaruh perhatian terhadap implementasi dalam proses kebijakan dimaksud. Kurangnya perhatian pada implementasi
kebijakan menyebabkan adanya semacam mata rantai yang hilang antara tahap
perumusan dan evaluasi kebijakan.
KEBIJAKAN PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK
PENJELAS
PROGRAM
PROYEK
KEGIATAN
PEMANFAAT
(Beneficiaries)
MISI
STRATEGI/RENCANA
KEBIJAKAN
PROGRAM
PROYEK
KEGIATAN
98
Umpan balik
(feedback)
99
MISI
(organisasi)
(raison detre)
VISI
(leader)
(where to go)
STRATEGI
(plan, how to go)
KEBIJAKAN
(decision)
KINERJA
PROGRAM
(working decision)
PENGANGGARAN
(budgeting)
PROYEK
(implementation)
PENGENDALIAN
(termasuk pengawasan)
PRODUK
(materializing the vision)
EVALUASI
3. Kebijakan publik ada yang self executing (dengan sendirinya telah terimplikasikan
begitu suatu kebijakan publik ditetapkan) seperti misalnya pengaturan kedaulatan suatu negara. Jumlah kebijakan publik yang self executing ini relatif sangat
sedikit.
4. Umumnya kebijakan publik adalah nonself executing harus dilaksanakan dan
dikendalikan oleh yang berwenang yang terdiri dari berbagai pihak, terutama
lembaga eksekutif, birokrat, dan badan-badan pemerintah serta badan-badan
legislatif (DPR/DPRD), yudikatif (MA, MK, KY) dan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat.
5. Pelaksanaan dan pengendalian kebijakan publik ditujukan agar tujuan dikeluarkannya dapat segera tercapai dengan dampak negatif sedikit mungkin.
Adapun prinsip kebijakan publik adalah :
1. Sifat kebijakan publik adalah self executing atau nonself executing.
2. Yang bertanggung jawab adalah eksekutif, legislatif, yudikatif, badan-badan
pemerintah/lembaga negara, asosiasi perusahaan swasta dan pemerintah, LSM
dan masyarakat.
3. Pelaksanaan dan pengendalian kebijakan publik dilakukan secara simutan.
4. Orientasi pada sasaran dan tujuan serta target group dari kebijakan publik.
5. Efektif, efisien dalam penggunaan sumber daya.
6. Berdasarkan prosedur dan tatalaksana pelaksanaan yang ditetapkan.
7. Tertib administrasi dan tertib hukum.
8. Akuntabilitas pelaksanaan.
101
menentukan kinerja kebijakan. Identifikasi indikator-indikator kinerja merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan.
Indikator-
indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
kebijakan telah direalisasikan. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna
dalam menguraikan kebijakan secara menyeluruh. Ukuran-ukuran dasar dan
tujuan-tujuan ini pun akan merupakan bukti yang dapat diukur dengan mudah
dalam beberapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha menciptakan lapangan
pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat
karya. Untuk menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu
ditentukan jumlah pekerjaan dan kemajuan proyek-proyek pembangunan yang
berkaitan.
Dalam banyak kasus, memang akan ditemukan beberapa kesulitan besar
untuk mengidentifikasi dan mengukur kinerja. Ada dua penyebabnya :
a. Mungkin bidang programnya yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks;
b. Mungkin akibat dari kekaburan-kekaburan dan kontradiksi-kontradiksi dalam
pernyataan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan.
Kadangkala kekaburan dalam ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan
sengaja pula diciptakan oleh pembuat keputusan agar dapat menjamin tanggapan positif dari orang-orang yang diserahi tanggung jawab implementasi pada
tingkat-tingkat organisasi yang lain atau sistem penyampaian kebijakan.
Pada akhirnya, pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuantujuan yang didukung oleh hasil penelitian.
2. Sumber-sumber Kebijakan.
Yang layak mendapat perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah
sumber-sumber yang tersedia. Sumber-sumber dimaksud mencakup dana atau
perangsang (insentif) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi
yang efektif.
102
mentasi kebijakan.
3. Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan.
Implementasi akan berjalan efektif jika ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijakan. Dengan begitu sangat penting memberi perhatian pada kejelasan ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, ketepatan komunikasinya dengan
para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuantujuan dasar yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Tanpa
kejelasan, bisa berakibat para pelaksana tidak mengetahui apa yang diharapkan
dari ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan itu, sehingga kebijakan akan
mengalami kegagalan.
Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu
proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan (message) ke
bawah dalam suatu organisasi atau dari organisasi ke organisasi lainnya (unit
kerja), baik sengaja atau tidak, bisa saja para komunikator salah atau menyimpangkannya serta menyebarkannya, sehingga para pelaksana menghadapi
kesulitan. Demikian juga jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasi yang tidak konsisten atau bahkan bertentangan terhadap
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan.
Implementasi kebijakan yang berhasil seringkali memerlukan mekanismemekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini akan mendorong kemungkinan yang lebih besar bagi para pejabat tinggi (atasan) untuk mendorong para
pejabat pelaksana (bawahan) bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan
ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Para pejabat dalam struktur
organisasi mempunyai pengaruh karena posisi hierarkis mereka. Para pejabat
atasan mempunyai kekuasaan personil yang diukur dari :
a. Rekrutmen dan seleksi;
b. Penugasan dan relokasi;
c. Promosi (kenaikan pangkat dan jabatan);
d. Pemberhentian (pensiun, pemecatan).
103
Di sinilah peran atasan yang memiliki kontrol atas alokasi anggaran belanja
pada biro-biro pemerintah dan kantor-kantor daerah yang dapat ditingkatkan
ataupun dikurangi.
104
miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciriciri struktur formal dari personil mereka. Perhatian juga perlu ditujukan pada
ikatan-ikatan badan pelaksana dengan pemeranserta-pemeranserta dalam
sistem penyampaian kebijakan. Meter dan van Horn (Budi Winarno, 2012:166)
mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu
organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu :
a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
b. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan
proses-proses dalam badan-badan pelaksana;
c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara
anggota-anggota legislatif dan eksekutif);
d. Vitalitas suatu organisasi;
e. Tingkat komunikasi-komunikasi terbuka yang diartikan sebagai jaringan
kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan
yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar
organisasi;
f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan
atau pelaksana keputusan.
5. Kondisi-kondisi Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel selanjutnya yang
dampaknya pada kebijakan publik menjadi pusat perhatian selama dasawarsa
yang lalu. Para peminat perbandingan politik dan kebijakan publik secara khusus
tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada
hasil-hasil kebijakan.
105
Implementasi
kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan dimaksud secara menyeluruh. Ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering disebabkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan.
Dalam kondisi seperti ini persepsi individu memegang peran. Ketidaksesuaian
kognitif individu, mungkin akan berusaha menyimpangkan pesan yang tidak
menyenangkan dengan persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan
keputusan kebijakan.
Ada beberapa alasan mengapa tujuan-tujuan suatu kebijakan ditolak oleh
orang-orang yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan tersebut,
yaitu : Tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya mungkin
bertentangan dengan sistem nilai pribadi para pelaksana, kesetiaan-kesetiaan
ekstra organisasi, perasaan akan kepentingan diri sendiri, atau karena hubunganhubungan yang ada dan yang lebih disenangi. Dengan gajala seperti ini maka
kelompok-kelompok manusia menemui kesulitan untuk melaksanakan tindakantindakan secara efektif karena mereka tidak mempunyai kepercayaan yang mendasari tindakan-tindakan tersebut.
Demikianlah, maka intensitas kecenderungan-kecenderungan pelaksana
106
akan memengaruhi kinerja kebijakan. Para pelaksana yang mempunyai pilihanpilihan negatif mungkin secara terbuka akan menimbulkan sikap menentang
tujuan-tujuan program. Jika demikian halnya, maka persoalan implementasi
akan mengundang perdebatan, bawahan mungkin menolak untuk berperanserta
dalam program tersebut sama sekali, atau mengelak secara sembunyi-sembunyi.
Di sinilah peran pengawasan dan pelaksanaan menjelaskan perbedaanperbedaan keefektifan implementasi. Itulah sebabnya para pengkaji implementasi kebijakan harus mengumpulkan banyak individu yang berasal dari unsurunsur yang cenderung beragam.
7. Kaitan antara Komponen-komponen Model.
Implementasi merupakan proses yang dinamis. Faktor-faktor yang akan memengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan dalam tahap-tahap awal mungkin akan
mempunyai konsekuensi yang kecil dalam tahap selanjutnya. Dengan demikian
studi implementasi yang dilakukan secara longitudinal menjadi sangat penting di
mana hubungan-hubungan diidentifikasikan pada suatu waktu tidak harus
diperpanjang secara kausal pada periode waktu lainnya. Hal ini akan mampu
mendeskripsikan dan membenarkan secara singkat mengenai beberapa hubungan yang dihipotesiskan sebelumnya.
Meter dan van Horn membuat kaitan (linkages) yang dibentuk antara
sumber-sumber kebijakan dengan tiga komponen lainnya (komunikasi antar
organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, karakteristik-karakteristik dari
badan-badan pelaksana, serta kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik).
Menurut mereka tipe dan tingkatan sumber-sumber yang disediakan oleh
keputusan kebijakan akan memengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi dan
pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lainnya hanya dapat
ditawarkan jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para
pelaksana dapat dicapai hanya jika sumber-sumber yang tersedia cukup untuk
mendukung kegiatan tersebut. Kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau
sumber-sumber lain dipandang tersedia, maka para pelaksana mungkin meman-
107
dang program dengan senang hati dan kemungkinan besar akan mendorong
ketaatan mereka karena berharap memperoleh keuntungan dari sumber-sumber
tadi. Sebaliknya jika suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber
pendukung dan prospektif, maka dukungan ketaatan para pelaksana terhadap
program akan menurun.
Demikianlah, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial,
dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa
tersedianya sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan
menimbulkan tuntutan (oleh warga negara, swasta, dan kelompok-kelompok
kepentingan yang terorganisasi) untuk peranserta dalam implementasi program
berhasil. Faktor ini juga akan mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk
berperanserta dalam implementasi kebijakan. Dengan perkataan lain, motivasi
mencari keuntungan dari sumber-sumber yang tersedia akan mendorong para
pemeranserta baru di dalam proses implementasi kebijakan.
Namun jika
sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, para warga negara individual dan
kepentingan-kepentingan yang terorganisasi akan memilih jalan menentang
kebijakan berdasarkan perbandingan nilai keuntungan yang didapat dengan
biaya yang harus dibayar.
menolak peraturan yang mengurangi nilai otonomi dan sebaliknya akan mendukung segala macam kebijakan yang menguntungkan kedudukannya di daerah.
Meter dan Horn pun mengajukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi,
sosial, dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana akan memengaruhi
karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana
dan capaiannya itu sendiri.
Sifat jaringan kerja komunikasi, tingkat pengawasan hierarkis, dan gaya kepemimpinan dapat memengaruhi identifikasi individu terhadap tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran organisasi. Apakah pengaruh yang ditimbulkannya mempermudah atau menghalangi implementasi yang efektif bergantung pada orientasi
dari badan pelaksana. Kecenderungan-kecenderungan individu pelaksana kebijakan juga dapat dipengaruhi oleh ikatan-ikatan formal dan tidak formal dari
badan itu dengan badan pembentuk kebijakan atau badan pelaksana kebijakan (misalnya, apakah mereka melakukan kegiatannya pada tingkat pemerintahan yang sama? Apakah suatu aliansi yang efektif telah terbentuk antara penguasa tinggi dan para pejabat pelaksana?).
8. Masalah Kapasitas.
Meter dan Horn juga menyinggung kapasitas sebagai faktor yang berpengaruh
bagi implementasi kebijakan. Menurut mereka, implementasi yang berhasil juga
merupakan fungsi dari kemampuan organisasi pelaksana untuk melakukan apa
yang diharapkan untuk dikerjakan. Kemampuan untuk melaksanakan kebijakankebijakan mungkin dihambat oleh faktor-faktor seperti staf yang kurang terlatih
dan terlalu banyak pekerjaan, informasi yang tidak memadai dan sumber-sumber
keuangan atau waktu yang tidak memungkinkan.
Masalah kapabilitas ini disoroti dalam empat komponen model, yakni :
Sumber-sumber kebijakan (sifat dan kuantitas mereka); komunikasi antarorganisasi, dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan (penyediaan dukungan politik, nasihat,
dan bantuan teknis); karakteristik-karakteristik dari badan-badan pelaksana
(kompetensi staf, kepemimpinan, vitalitas, ikatan-ikatan formal dan tidak formal
terhadap para pembuat kebijakan); dan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
(opini publik, kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisasi, kondisikondisi ekonomi dari yuridiksi).
Model proses implementasi kebijakan dapat dilihat dalam bagan di bawah
ini.
109
Kebijakan
Kinerja
Karakteristi-kerakteristik
dari Badan-badan
Pelaksana
Kecenderungan
Pelaksanapelaksana
Sumbersumber
Kondisi-kondisi Ekonomi,
Sosial, dan Politik
Sumber : Budi Winarno, 2012:160.
dsb. Barang-barang privat dikonsumsi secara individu dan dapat dipisahkan antara yang membeli dan yang tidak.
5) Liberal dan Conservative Policies.
Misalnya kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidakadilan di bidang
kesejahteraan rakyat.
c) Urutan Langkah Pelaksanaan dan Pengedalian Kebijakan :
1) Sosialisasi dan diseminasi kebijakan agar seluruh masyarat mengetahui
tentang adanya kebijakan tertentu.
2) Pembentukan organisasi pelaksanaan :
a) Pembagian tugas pokok dan fungsi;
b) Penyusunan lembaga/unit kerja;
c) Tata kerja dan petunjuk pelaksanaan;
d) Koordinasi.
3) Penyusunan Program Kerja dengan memperhatikan :
a) Hierarki kebijakan publik;
b) Kategori kebijakan publik;
c) Sistem dan proses pengelolaan kebijakan publik;
d) Faktor-faktor yang memengaruhi dinamika dan proses pembuatan
kebijakan publik dan pelaksanaannya;
e) Pemahaman terhadap masalah yang perlu dipecahkan melalui kebijakan
publik;
f) Rincian program kerja;
g) Volume target;
h) Sumber daya dan besarannya :
(1) Sumber daya alam;
(2) Sumber daya manusia;
(3) Sumber dana.
i) Waktu dan jaringan kerja (networking) pelaksanaan (Barchart, Network
Planning, dll.).
j) Prasarana dan sarana.
4) Pelaporan secara berkala hasil pelaksanaan untuk :
113
a) Pengendalian;
b) Bahan evaluasi;
c) Bahan pertanggungjawaban.
d) Esensi Pelaksanaan Kebijakan :
1) Pelaksanaan kebijakan merupakan mata rantai penting dalam proses
kebijakan publik.
2) Pelaksanaan kebijakan merupakan sarana terpenting dalam mewujudkan
tujuan.
3) Pelaksanaan kebijakan dapat dilakukan oleh :
a) Instansi pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif);
b) Perusahaan-perusahaan pemerintah (BUMN/BUMD) dan swasta (PT,
CV, Firma, UD, dll.
c) Asosiasi-asosiasi perusahaan;
d) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM);
e) Masyarakat;
f) Perorangan.
4) Pelaksanaan kebijakan konstitutif dapat berupa :
a) Kebijakan deklaratif;
b) Opreasional.
5) Dampak pelaksanaan kebijakan dirasakan oleh :
a) Lingkungan luas;
b) Lingkungan terbatas.
6) Pelaksanaan kebijakan dapat berupa :
a) Perbuatan hukum;
b) Bukan perbuatan hukum.
7) Pelaksanaan kebijakan harus memehami paradigma, visi, misi, dan nilainilai/norma yang menjadi dasar penetapan kebijakan.
8) Pelaksanaan kebijakan merupakan salah satu mata rantai kebijakan yang
mencakup :
a) Formulasi kebijakan;
b) Legislasi dan adopsi kebijakan;
114
: DAL + TK
- DAL
: WAS + TK
- Pembatalan pelaksanaan;
- Penerapan revisi program pelaksanaan.
(g) Instrumen pengawasan adalah :
- Laporan pelaksanaan yang dibuat secara berkala;
- Hasil peninjauan lapangan baik secara sampel maupun menyeluruh.
(h) Kejujuran dalam laporan pelaksanaan dan kejujuran dalam
tindakan pengendalian merupakan faktor kunci apakah kebijakan
publik yang ditetapkan dan dilaksanakan tersebut mencapai
sasaran dan tujuannya.
(i) Seperti halnya kegiatan pelaksanaan, maka kegiatan pengawasan
pun harus ditopang dengan dana, organisasi, kewenangan, prasarana dan sarana yang memadai.
dengan implementasi keputusan yang dibuat oleh lebih banyak cabang politik
120
121
Indonesia pun misalnya adanya komite sekolah (dulu POMG, POM) yang
dibentuk untuk membantu penyelenggaraan sekolah, dll.
123
124
akan tetapi pola dan struktur masalahnya bersumber pada masalah ketidakadilan. Kelompok-kelompok yang merasa dirugikan atau tidak mendapat manfaat dari pelaksanaan dimaksud akan bersifat apatis atau bahkan menentang
pelaksanaan. Dengan demikian maka perlu diupayakan agar masalah keadilan
mendapat perhatian semestinya.
3. Langkah-langkah Mengatasi Masalah.
a. Kelompok yang dirugikan harus mendapat kompensasi yang wajar, setidaknya
tidak menyebabkan menurunnya pendapatan mereka;
b. Biaya sosial (social cost) yang timbul haus segera diatasi dengan jika perlu
kebijakan pelaksanaan yang sesuai dengan keinginan kelompok-kelompok
yang dirugikan;
c. Meninjau dan meriview program pelaksanaan, termasuk teknis dan prosedur
serta pembiayaannya yang harus memasukkan anggaran kompensasi bagi
kelompok-kelompok yang dirugikan;
d. Jika masalah yang timbul justru lebih besar akibat buruknya bagi kehidupan
sosial ekonomi dan budaya masyarakat secara luas kebijakan tersebut, harus
segera dibatalkan dan diperbarui dengan kebijakan baru yang lebih mengena
pada sasaran.
125
BAB XI
MONITORING DAN EVALUASI
Contohnya,
4. Penjelasan (Explanation).
Untuk menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik berbeda dengan tujuannya. Contohnya, mengapa setelah menerima dana IDT sebesar Rp 20.000.
000,00 (dua puluh juta rupiah) masyarakat miskin tidak berkurang, atau
mengapa dana IDT tersebut yang mestinya digulirkan kepada kelompok lainnya,
ternyata tidak dapat digulirkan.
hadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai. William N. Dunn (2000)
mengaitkan evaluasi dengan informasi mengenai nilai atau manfaat hasil
kebijakan.
Dari aspek spesifikasi obyeknya, berarti menilai hasil berbagai macam
program yang dilaksanakan pemerintah, sesuai dengam masalah-masalah yang
dihadapi masyarakat, seperti misalnya di bidang kesehatan, ketenagakerjaan,
perumahan, dsb., apakah terlaksana dengan baik atau belum. Dari aspek teknik
penilaian, yaitu cara-cara dalam mengumpulkan data/informasi yang diperlukan
untuk menilai hasil program-program pemerintah tadi. Teknik yang dipakai
mulai dari yang sangat ilmiah (scientific) dan sistematis, sampai yang dapat
menimbulkan kesan (impressio-nistic). Yang pertama akan menghasilkan data
penilaian kuantitatif dan yang kedua data penilaian kualitatif. Contohnya, jika
penilaian dilakukan dengan penelitian (research), maka hasilnya akan ilmiah dan
sistematik, sedangkan jika dilakukan dengan pengamatan saja (observasi),
hasilnya akan merupakan kesan-kesan saja.
Selanjutnya dari aspek metode analisisnya, akan dapat menunjukkan hasil
akhir (kesimpulan) dari kegiatan menilai program-program pemerintah tersebut,
yaitu apakah efektif atau tidak; mempunyai dampak positif yang lebih besar dari
dampak negatifnya, atau sebaliknya.
Kesulitan dalam evaluasi kebijakan antara lain adalah tujuan-tujuan dalam
kebijakan publik jarang dilakukan (ditulis) secara jelas, dalam arti seberapa jauh
tujuan-tujuan kebijakan publik itu harus dicapai. Pengembangan ukuran-ukuran
yang tepat dan dapat diterima oleh semua pihak sulit dilakukan. Lain daripada
itu, evaluasi kebijakan, seperti tahap-tahap lainnya merupakan kegiatan politis.
Evaluasi kebijakan selalu melibatkan para birokrat (pejabat pemerintahan), para
politisi, dan juga seringkali melibatkan juga pihak-pihak di luar pemerintahan.
Menurut Samodera Wibawa (1994), evaluasi kebijakan merupakan aktivitas
ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pembuat kebijakan di dalam tubuh
birokrasi pemerintah. Di tangan para aktor kebijakan ini, evaluasi memiliki fungsi
yang sangat penting, yaitu memberikan masukan untuk penyempurnaan dalam
kebijakan berikutnya. Dengan melakukan evaluasi, pemerintah dapat mening128
Kriteria-kriteria
Akibatnya
129
dsb.
c. Evaluasi Keefektifan (Evectiveness Evaluation), yang bertujuan untuk menilai
apakah program telah dilaksanakan, kemudian diadakan perbandingan
kesesuaian antara pelaksanaan program dengan tujuan kebijakan;
d. Evaluasi Proses (Process Evaluation), yang mengkaji peraturan-peraturan dan
prosedur-prosedur operasional organisasi yang digunakan dalam penyampaian program;
e. Evaluasi Yudisial (Judicial Evaluation).
Dengan mengadakan pengkajian apakah kebijakan yang dibuat pemerintah
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Apakah tidak melanggar HAM dan hak-hak individu?
f. Evaluasi Politis (Political Evaluation).
Evaluasi ini hanya masuk dalam proses kebijakan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya Pemilihan Umum (Legislatif, Presiden, Kepala Daerah).
Sementara itu bentuk evaluasi kebijakan menurut Parsons (2005) dapat
dibedakan menjadi :
a. Evaluasi Formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan/program
sedang diimplementasikan dan apa saja kondisi yang bisa meningkatkan
keberhasilan implementasi;
b. Evaluasi Sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengukur dampak
kebijakan/program secara aktual terhadap permasalahan.
3. Sifat Evaluasi.
a. Fokus nilai : Evaluasi ditujukan peda pemberian nilai terhadap manfaat atau
kegunaan dari suatu kegiatan, program, atau kebijakan;
b. Interdependensi fakta dan nilai : Hasil evaluasi tidak hanya bergantung pada
bukti-bukti (fakta) tetapi juga terhadap nilai;
c. Berorientasi masa kini dan masa lalu : Evaluasi mempersoalkan hasil sekarang
dan masa lalu;
d. Dualitas nilai : Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.
130
4. Fungsi Evaluasi.
Beberapa fungsi utama dalam analisis evaluasi kebijakan, yaitu :
a. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya tentang kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik;
b. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemilihan dan target;
c. Memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan
lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.
5. Kriteria Evaluasi.
Ada beberapa kriteria untuk mengevaluasi hasil kebijakan, antara lain :
a. Efektivitas : Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?
b. Efisiensi : Seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil
yang diinginkan efiesien?
c. Kecukupan : Seberapa jauh capaian hasil yang diinginkan memecahkan
masalah?
d. Pemerataan : Apakah biaya dan manfaatnya didistribusikan dengan merata
kepada kelompok-kelompok yang berbeda?
e. Responsivitas : Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan preferensi
atau nilai kelompok-kelompok tertentu?
f. Ketepatan : Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau
bernilai?
6. Tipe Evaluasi.
Menurut Howlett dan Ramesh (1995), evaluasi mempunyai tiga tipe :
a. Evaluasi Administratif, dengan maksud untuk menjamin bahwa kebijakan
telah dilaksanakan dengan biaya dan beban sekecil mungkin pada setiap
warga negara;
b. Evaluasi di bidang hukum, yaitu yang berkaitan dengan cara di mana program pemerintah dilaksanakan oleh aparat hukum yang mungkin menimbulkan konflik antara tindakan pemerintah dengan konstitusi atau standar yang
131
132
dapat menekan harga pokok dan mencapai harga jual yang layak, sehingga
meraih nilai tambah dari keuntungan yang besar. Dengan begitu walaupun
pemerintah pada awalnya telah mengorbankan penerimaan negara, namun
pada akhirnya dapat diperoleh penerimaan negara yang lebih besar, yang
berasal dari pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan). Keberhasilan lainnya adalah tumbuhnya ekonomi secara memadai,
sehingga dapat menanggulangi pengangguran dan kemiskinan, serta pada
gilirannya akan menekan kriminalitas. Yang penting, dengan pengorbanan
pemerintah dapat diukur efektifitas biayanya (cost benefit effectiveness).
Jika dalam evaluasi kinerja kebijakan ternyata instrumen yang digunakan
kurang memuaskan, kiranya perlu ditinjau kembali apakah instrumennya yang
kurang tepat, atau sasaran kebijakannya yang perlu disesuaikan.
penting sekali untuk memantau hasil kebijakan sebagai awal dari evaluasi.
3. Banyak metode dan teknik yang relevan dengan evaluasi semu, evaluasi formal,
dan evaluasi teoritis.
Di bawah ini digambarkan dengan tabel tentang tek nik evaluasi dengan tiga
pendekatan.
No.
1.
PENDEKATAN
Evaluasi Semu
TEKNIK
-
Sajian grafik
Tampilan tabel
Angka indeks
Analisis seri waktu terinterupsi
133
2.
Evaluasi Formal
3.
PERTANYAAN-PERTANYAAN
1. Apa tujuan kebijakan atau program?
2. Apakah bukti yang dapat diterima mengenai
capaian tujuan program kebijakan?
3. Tindakan kebijakan apa (mis. Sumber daya,
tuntunan, aktivitas, staf) tersedia untuk pencapaian
tujuan?
4. Kenapa tindakan A dapat membawa kepada tujuan
O?
5. Apa yang diharapkan oleh berbagai pelaku (mis.
kongres, OMB, BPK, Kantor Walikota) mengenai
program dalam hal inerja? Aakah harapan tersebut
konsisten?
134
j. Evaluasi presentasi.
Dalam menentukan hasil kebijakan dengan total kinerja terbesar dan
menyajikan informasi kepada pembuat keputusan yang relevan dan penting,
harus ditemukan adanya bottle neck dari suatu kegiatan yang akan berpengaruh
pada capaian sasaran secara keseluruhan. Di sini harus dimanfaatkan prinsip
win-win solution.
3. Teknik-teknik Pengukuran.
a. Tujuan :
1) Tujuan kebijakan harus jelas;
2) Menentukan dan mengukur kriteria keberhasilan;
3) Berapa yang dianggap cukup (spesifik dan prioritas);
4) Pengaruh sampingan;
5) Informasi;
6) Pemisahan pengaruh program dari pengaruh-pengaruh lain;
7) Sasaran-sasaran multi program;
8) Penyebaran pengaruh;
9) Sensitifitas politik dari pemantauan dan evaluasi;
10) Pembiayaan.
b. Teknik-teknik untuk Evaluasi Sistematik :
1) Pemilihan teknik metodologi perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugian sebagai ciri-cirinya termasuk juga pertimbangan etika dan politik yang
dipakai;
2) Dalam mempertimbangkan metodologi harus diingat bahwa ketepatannya
ditentukan oleh maksud evaluasi dibuat;
3) Sangat diharapkan pada permulaan maksud evaluasi harus jelas dan
perbedaan pendapat harus dipecahkan terlebih dulu;
4) Kriteria seleksi untuk ukuran kinerja :
a) Ketepatan dan keabsahan : Pengukuran harus berupa angka kuantitatif
sesuai dengan maksud dan tujuan untuk pelayanan dan mengarah
mempertemukan kebutuhan warga negara dan mengurangi seminimal
137
terhadap keberhasilan dalam jangka pendek tetapi juga harus seimbang dengan
138
potensi keberhasilan dalam jangka panjang. Metode BSc ini dapat diumpamakan
sebagai dashboard mobil atau cockpit pesawat terbang yang memberikan data
akurat dan relevan kepada pengemudi/pilot organisasi. BSc dikembangkan sebagai suatu sistem pengukuran kinerja yang memungkinkan para eksekutif memandang/mengetahui perusahaan/organisasi dari berbagai perspektif secara simultan.
139
b. Kepuasan Pelanggan.
Tolok ukurnya antara lain meliputi :
- Number of customers;
- Market share;
- Annual sales/customer;
- Customer lost person;
- Average time spend on customer relations;
- Customer/employee;
- Sales closed/sales contast;
- Satisfide customer index;
- Customer loyality index;
- Cost/customer;
- Number of visit;
- Number of complaints;
- Marketing expenses;
- Brand image index;
- Average customer size;
- Customer rating;
- Customer visit to the company;
- Average time from customer contact to sales response;
- Service expense/customer/year.
c. Penyempurnaan Proses Internal.
Tolok ukurnya antara lain meliputi :
- Administrative expenses/total revenue;
- Processing time out payment;
- On time delivery;
- Average lead time;
- Lead time product development;
- Lead time from arder to delivery;
- Lead time supplier;
- Lead time production
140
kepuasan pelanggan.
Dengan LO yang
143
BAB XII
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Akan tetapi
sebagai ilmu tersendiri, ilmu kebijakan dimulai setelah Perang Dunia II, yakni
dengan terbitnya buku karya Harold D. Lasswell dan Daniel Larner yang berjudul
The Policy Science : Recent Development in Scope and Methods pada tahun 1951.
Buku ini berorientasi praktis dan dianggap sebagai buku pertama yang ditulis cukup
sistematis yang menyumbang lahirnya Ilmu Kebijakan sebagai ilmu sosial terapan.
(Said Zainal Abidin, 1991).
Dalam perkembangan selanjutnya, para penulis masa kini lebih menyukai
istilah Analisis Kebijakan Publik (Policy Analysis) daripada istilah Ilmu Kebijakan
(Policy Science). Kebijakan publik meliputi dua dimensi, yaitu proses kebijakan
(policy process) dan analisis kebijakan (policy analysis). Dimensi pertama, mengkaji
proses penyusunan kebijakan, mulai dari identifikasi dan perumusan masalah,
implementasi kebijakan, monitoring kebijakan, serta evaluasi kebijakan. Sedangkan
dimensi kedua, meliputi penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat
multidisiplin dalam proses kebijakan. Dengan demikian analisis kebijakan tidak
hanya terkait pada satu disiplin ilmu saja, tetapi terkait atau dengan pendekatan
berbagai disiplin ilmu, yaitu penerapan berbagai metode dan teknik analisis.
144
Aplikasi
analisis kebijakan publik meliputi wilayah permasalahan yang sangat luas, misalnya
energi, pendidikan, hubungan internasional, kriminalitas, kesejahteraan masyarakat, pangangguran, transportasi, lingkungan hidup, stabilitas keamanan, kemiskinan, dsb.
145
C. FAKTOR-FAKTOR STRATEGIS
KEBIJAKAN PUBLIK
YANG
BERPENGARUH
DALAM
PERUMUSAN
1. Faktor Politik.
Faktor politik ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan,
karena dalam perumusan kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor
kebijakan (policy actors), baik dari kalangan pemerintah (Presiden, para
Menteri/LPNK, Panglima TNI, Kepala POLRI, Kejaksaan, dsb.), maupun dari
kalangan bukan pemerintah (Swasta/Pengusaha, LSM, Asosiasi Profesi, Ilmuwan,
Media Massa, dll.).
2. Faktor Ekonomi/Finansial.
Faktor Ekonomi/finansial atau pembiayaan pun peru dipertimbangkan, terutama
jika kebijakan dimaksud akan menggunakan dana yang cukup besar, atau akan
berpengaruh pada siatuasi ekonomi dalam negara.
3. Faktor Administrasi/Organisasi.
Dalam perumusan kebijakan perlu juga dipertimbangan faktor administratif/
organisatoris, yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan
didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada
organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4. Faktor Teknologi.
Faktor teknologi pun dalam perumusan kebijakan perlu dipertimbangkan, yaitu
apakah teknologi yang ada mendukung jika kebijakan itu diimplementasikan.
5. Faktor Sosial, Budaya, dan Agama.
Faktor sosial, budaya, dan agama pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah
kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama,
atau memasuki masalah SARA (Suku Agama, Ras, dan Antar Golongan).
6. Faktor Pertahanan dan Keamanan.
Faktor hankam ini akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan dikeluarkan tidak akan mengganggu stabilitas keamanan
146
negara, dsb. Faktor-faktor tersebut di atas, akan menjadi cerita dalam menentukan kelayakan (feasibilitas) dari alternatif-alternatif kebijakan yang akan dipilih
dalam langkah-langkah perumusan kebijakan.
Di Inggris, keba-
nyakan studi tentang kebijakan sosial dan administrasi. Analisis yang menaruh
perhatian pada isi kebijakan, biasanya meneliti satu kasus, atau lebih gun a
melacak bagaimana kebijakan tertentu muncul, bagaimana kebijakan diimplementasikan, dan apa hasil-hasilnya.
2. Studi-studi tentang Proses Kebijakan (Studies of Policy Process).
Yang menjadi sorotan atau perhatian utama dalam studi ini adalah tahap-tahap
148
yang harus dilalui oleh isu (issue) kebijakan sebelum menjadi program/agenda
pemerintah dan usaha-usaha yang dilakukan untuk menilai pengaruh berbagai
faktor terhadap perkembangan isu tersebut. Studi-studi ini seringkali berkaitan
dengan bidang-bidang kebijakan yang lebih khusus (specific policy areas), namun
mungkin juga memusatkan perhatiannya pada proses kebijakan yang berlangsung di lingkungan suatu organisasi atau masyarakat tertentu.
3. Studi-studi tentang Keluaran Kebijakan (Studies of Policy Outputs).
Studi-studi ini pada umumnya untuk menjelaskan mengapa tingkat pengeluaran
biaya atau atau penyediaan jasa oleh pemerintah anara daerah yang satu dengan
daerah lainnya tidak sama. Studi-studi semacam ini menurut Thomas R. Dye
disebut policy determination, yaitu studi-studi yang menempatkan kebijakan
sebagai variabel tergantung (policy as dependent variables), serta berusaha
memahami kebijakan-kebijakan tersebut dilihat dari aspek sosial-ekonomi,
teknologi, dll. yang mempengaruhinya.
4. Studi-studi tentang Evaluasi (Studies of Evaluation).
Studi-studi ini kadqangkala disebut studi dampak kebijakan (policy impact
studies), karena memang bermaksud untuk menganalisis dampak kebijakankebijakan tertentu terhadap penduduk atau kelompoak sasaran.
5. Studi-studi tentang Informasi untuk Pembuatan Kebijakan (Studies of Information for Policy Making).
Dalam studi ini, informasi dihimpun dan disusun sedemikian rupa guna
membantu pembuat kebijakan agar bisa mengambil keputusan-keputusan yang
tepat. Informasi ini mungkin berasal dari evaluasi yang dilakukan oleh kalangan
pemerintah sendiri sebagai bagian dari proses monitoring yang biasa dilakukan,
atau bisa juga yang memang telah disiapkan oleh para analis kebijakan dari
lingkungan akademik, yang hendak menerqapkan pengetahuan dan keahlian
mereka untuk memecahkan masalah-masalah praktis.
6. Proses Kepenasihatan (Advocacy Process).
149
Merupakan suatu proses yang dilakukan oleh para analis untuk memperbaiki
sistem-sistem pembuatan kebijakan. Proses ini pada umumnya tercermin
dalam berbagai upaya yang dilakukan untuk menyempurnakan mesin-mesin
pemerintahan melalui realokasi fungsi-fungsi dan tugas-tugas, seta dalam upaya
memantapkan landasan bagi pemilihan alternatif-alternatif kebijakan melalui pengembangan melalui sistem-sistem perencanaan serta pendekatan-pendekatan
baru untuk menilai dan memilih alternatif terbaik.
7. Nasihat Kebijakan (Policy Advocacy).
Merupakan suatu kegiatan yang melibatkan para analis dalam mendesakkan
alternatif-alternatif atau gagasan-gagasan tertentu dalam proses kebijakan, baik
secara perorangan atau dalam rangka kerjasama dengan pihak lain.
isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris. Model seringkali sulit untuk
diuji kebenarannya di lapangan, namun tetap dapat digunakan sebagai pedoman
yang sangat bermanfaat dalam penelitian, terutama yang bertujuan untuk
mengadakan penggalian atau penemuan-penemuan baru.
Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar manfaatnya. Alasannya, pertama, kebijakan publik merupakan proses yang kompleks,
sehingga dapat disederhanakan melalui model sehingga akan membantu dalam
memahami realitas yang kompleks tersebut, terutama berguna untuk melihat
variabel-variabel apa saja yang berpengaruh dalam proses implementasi
kebijakan dimaksud. Kedua, karena sifat alamiah manusia yang tidak mampu
150
Maksudnya,
Model harus
Karenanya
menurut Lester dan Stewart (Budi Winarno, 2012:45) model kebijakan yang
paling baik adalah model elitis dan pluralis.
Sementara itu model kebijakan publik yang dikemukakan oleh Budi
Winarno (2012:45) ada dua macam , yaitu :
a. Model Elitis.
Di sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga (berkembang) yang menerapkan sistem otoriter seperti di Kuba, Korea Utara, dan Indonesia para era Orde
Baru, model elite dipandang cukup baik untuk menjelaskan pembentukan
kebijakan publik. Sebenarnya konsep kontrol elit atas sistem politik telah ada
sejak zaman kuno, seperti halnya teori elit sendiri. Teori elite mengatakan
bahwa semua lembaga politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak
dapat dielakkan didominasi oleh sekelompok individu yang sangat kuat, yang
memanipulasi instrument-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka.
Kebijakan publik karenanya merupakan produk elite, yang merefleksikan nilainilai mereka untuk penguatan kepentingan mereka.
rakat luas yang membentuk opini elite. Dengan demikian, para pejabat publik
dan birokrat hanya sekedar menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan
oleh para elite. Kebijakan-kebijakan publik mengalir ke arah bawah dari
para elite ke masyarakat, bukan berasal dari tuntutan atau aspirasi masyarakat.
Dye dan Zeigler dalam The Irony of Democracy (1970) dalam Budi Winarno (2012:46-47) memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut model
elite sebagai berikut :
1) Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai
kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya
sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat, sementara masyarakat tidak memutuskan kebijakan;
2) Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi.
Para elite ini (the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat
yang tingkat ekonominya tinggi;
3) Perpindahan dari kedudukan nonelite ke elite sangat pelan tetapi berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya
kalangan nonelite yang telah menerima konsensus elite yang mendasar
yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah;
4) Elite memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan sistem. Contohnya di AS, konsensus elit mencakup perusahaan
swasta, hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan kebebasan individu;
5) Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilainilai elite yang berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik
adalah secara inkremental tinimbang secara revolusioner.
Perubahan-
besar.
Teori elite ini banyak mendapat kritik, salah satunya dikemukakan oleh
Myung S. Park (1976). Menurut Park, jika kebijakan publik tidak merefleksikan
tuntutan-tuntutan masyarakat luas, namun hanya merefleksikan nilai-nilai
elite yang berlaku, bagaimana mungkin pembentukan kebijakan publik itu bisa
dipertanggungjawabkan secara politik dari sebuah pemerintahan demokratik?
Selain kebijakan publik ditentukan oleh the power elite, apa tidak ada
alternatif lain yang tersedia untuk model-model kebijakan publik itu? Jika
kebijakan publik ditentukan sesuai dengan nilai-nilai elite yang berlaku, nilainilai mana yang pada dasarnya secara alami konservatif, kemudian
kemungkinan-kemungkinan apa, jika ada, inovasi dan kreativitas dalam pembentukan kebijakan publik?
mengatakan bahwa hanya mereka para elite yang berperan dalam isu-isu
kebijakan penting, tetapi bagaimana mengenai masalah-masalah sehari-hari
yang membutuhkan keputusan-keputusan kebijak-an secara langsung yang
melibatkan perdebatan atau persaingan politik?
Menurut Anderson (1969), model elitis sangat berguna untuk menjelaskan kebijakan publik yang berlangsung di negara-negara otoriter, dan
model ini bersifat agak provokatif. Kebijakan ini produk elite merefleksikan
nilai-nilai mereka dan membantu tujuan-tujuan mereka, namun salah satu
dari tujuan itu mungkin merupakan keinginan untuk memberikan kesejahteraan masyarakat luas.
Singkatnya, model elitis lebih memusatkan perhatian pada peran kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik. Hal ini didasarkan
pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elite politik memengaruhi massa rakyat dan bukan
sebaliknya. Dalam hal ini Robert Dahl (1958) menyarankan suatu modifikasi
teori elite menjadi teori polyarchy yang menggabungkan pemerintahan elite
dengan kesepakatan demokratik, artinya tidak menolak samasekali konsep
pemerintahan oleh a power elite tetapi mencoba untuk memperluas teori
elite dalam batas-batas ideologi demokrasi. (Budi Winarno, 2012:48).
154
b. Model Pluralis.
Jika model elitis titik perhatiannya lebih bertumpu pada elite politik, maka
kebalikannya, model pluralis lebih percaya pada peran subsistem-subsistem
yang berada dalam sistem demokrasi. Di negara-negara berkembang model
elitis akan cukup memadai untuk menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di negara yang
mendasarkan diri pada sistem demokrasi, terlebih demokrasi plural seperti di
AS.
Pandangan-pandangan pluralis disarikan oleh Robert Dahl dan David
Truman. Rangkumannya dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan
individu-individu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.
2) Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, namun
lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini
dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan tampak,
karena akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3) Tidak ada pembedaan yang tetap di antara elite dan massa. Individuindividu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu
waktu tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam
waktu yang lain. Individu masuk dan keluar dalam pertisipasinya sebagai
pembuat keputusan digolongkan menjadi aktif atau tidak aktif dalam
politik.
4) Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kekayaan merupakan aset dalam politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari
sekian banyak aset politik yang ada.
5) Terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua
masalah kebijakan.
6) Kompetisi dapat dianggap berada di antara pemimpin. Kebijakan publik
lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang
155
156
Misalnya dalam
kan?
6) Penilaian : Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalannya dinilai.
7) Terminasi : Bagaimana peraturan-peraturan atau UU semula dihentikan
atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi.
Desain analisis ini memiliki beberapa keuntungan. Pertama, tidak terikat
pada lembaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus.
Kedua,
Setiap warga
negara harus memiliki cukup kebebasan untuk berperanserta dalam masalahmasalah politik, mempunyai sikap kritis yang sehat dan harga diri, serta mampu.
Para pembuat keputusan lebih responsif terhadap warga negara yang
berperanseta aktif, dengan tanggapan utama pada masyarakat aktivis, yang
memiliki tingkat pendapatan dan pendidikan yang tinggi. Tetapi biasanya
masyarakat ini tidak mewakili masyarakar bawah. Respon para pembuat
keputusan akan lebih besar pada masyarakat lapisan bawah jika terdapat
konsensus antarkelompok yang berperanserta dan kelompok yang tidak
berperanserta. Hal ini dapat pula diperbesar oleh kerjasama antarorganisasi/
partai terpilih. Partai-partai besar dapat diibaratkan perusahaan-perusahaan
perantara yang berusaha meningkatkan dukungan politik.
e. Pendekatan Psikologis.
Perhatian pendekatan ini diberikan pada hubungan antarpribadi dan faktorfaktor kejiwaan yang memengaruhi tingkah laku orang-orang yang terlibat
dalam proses pelaksanaan kebijakan publik. Menurut Amir Santoso (1993:
11), Individu-individu selama dalam proses kebijakan tidak kehilangan diri,
sebaliknya mereka dianggap sebagai peserta yang sangat penting yang
memainkan peran dalam pembentukan kebijakan. Pendekatan ini menjelaskan hubungan antarpribadi perumus dengan pelaksana kebijakan. Hubungan
ini menjadi variabel yang menentukan keberhasilan atau kegagalan kebijakan
suatu program. Dengan merujuk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menyatakan adanya tiga jenis hubungan yang berbeda antara perumus dengan
pelaksana kebijakan, yaitu adaptasi bersama, kooptasi, dan nonimplementasi.
f. Pendekatan Proses.
Pendekatan yang paling umum dipakai adalah mengidentifikasi tahap-tahap
dalam proses kebijakan publik, kemudian menganalisis determinan-determinan dari masing-masing tahap tertentu. Hal ini merujuk pada konsep siklus
kebijakan yang lazim dikenal seperti ban berjalan (conveyor). Dalam pendekatan ini masalah-masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai suatu isu
159
Memang
tentang sejumlah besar players (pemain) dan nilai-nilai dalam proses pembuatan kebijakan, yang dengan demikian mempunyai katalog yang lebih baik
dari berbagai perspektif yang dihadirkan pada saat kebijakan sedang dipertimbangkan.
atas program dan prosedur sehingga dapat terjadi penundaan yang tidak ada
gunanya dalam perumusan dan implementasi. Akibatnya biaya pembuatan
kebijakan dan implementasi akan meningkat, dan kepentingan-kepentingan
yang tidak senang akan mencoba merusak program-program melalui litigasi
atau meminta perlindungan kepada parlemen.
l. Pendekatan Normatif atau Preskriptif.
Dalam pendekatan ini analis perlu mendefinisikan tugasnya sebagai analis
kebijakan sama seperti orang yang mendefinisikan end state dalam arti
bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa dicapai. Para pendukung pendekatan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan
retorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain
tentang manfaat dari posisi mereka. Tipe analisis ini mengarah pada tuduhan
bahwa para analis kebijakan seringkali menyembunyikan ideologi mereka sebagai ilmu.
m. Pendekatan Ideologik.
Thomas Sowell (1987) dalam Budi Winarno (2012:68) menamakan pendekatan ini visi (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing, yaitu
pertama, visi yang dibatasi (the constrained vision) yang merupakan suatu
gambaran manusia egosentrik dengan keterbatasan moral. Karenanya, tantangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk membuat yang
terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/
keterbatasan tinimbang menghamburkan energi dalam suatu upaya yang siasia untuk mengubah sifat manusia. Dengan logika ini kemudian orang mengandalkan pada insentif tinimbang disposisi, untuk mendapatkan perilaku yang
pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadap hukuman memberikan insentif untuk memperoleh perilaku yang pantas.
Kedua, visi yang tidak dibatasi (the unconstrained vision) memberikan
suatu pandangan tentang sifat manusia yang mampu memperoleh
keuntungan sosial.
164
BAB XIII
KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG
PENDIDIKAN
165
Kegiatan Tidak/Kurang
Strategis
II
Pemerintah dengan
Masyarakat
Masyarakat
III
IV
Pemerintah
Pemerintah (dibiarkan)
Menurut Riant Nugroho (2003:54), dilihat dari empat kuadran tersebut di atas,
kebijakan pendidikan termasuk dalam kuadran I sehingga diperlukan partisipasi
aktif sektor di luar pemerintah. Pendidikan sebenarnya bisa dilaksanakan oleh
masyarakat, tetapi pemerintah menganggap bahwa pendidikan merupakan kegiatan strategis bagi perkembangan sebuah negara karena penentu kualitas sebuah
bangsa terletak pada tingkat pendidikan yang dicapai penduduknya. Karenanya
pemerintah tidak bisa lepas tangan.
lompok penekan), serta faktor-faktor selain manusia yang akan maupun telah
mempengaruhi kebijakan.
Sementara itu kebijakan pendidikan menurut Devine (2007) memiliki empat
dimensi pokok, yaitu dimensi normatif, struktural, konstituentif, dan teknis.
Dimensi normatif terdiri atas nilai, standar, dan filsafat, yang memaksa masyarakat
untuk melakukan peningkatan dan perubahan melalui kebijakan pendidikan yang
ada. Dimensi ini memerlukan dukungan dimensi struktural yang berkaitan dengan
ukuran pemerintah (sentralisasi, desentralisasi, atau bentuk lain), dan struktur organisasi, metode, dan prosedur yang menegaskan dan mendukung kebijakan bidang
pendidikan.
168
yang lebih baik Pemahaman Sudjatmoko adalah bahwa pembangunan merupakan sebuah proses alami, otonom, dan kontekstual. Menurut Sudjatmoko,
pembangunan adalah proses belajar yang bertahap, sehingga selalu ada proses
kapitalisasi kemajuan pada setiap tahap.
Dokumen-
169
pilan.
Demikianlah pemahaman akan pendidikan seperti dikemukakan di atas
memberikan arah bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yang melekat pada
setiap kehidupan bersama, atau dalam bahasa politik menurut Riant Nugroho
(2008:20) disebut sebagai negara-bangsa, dalam rangka menjadikan kehidupan
bersama itu mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dan mengantisipasi
perkembangan kehidupannya. Mengingat peran strategisnya itu, maka pendidikan perlu dikembangkan oleh negara. Maka tepatlah pemahaman mengenai
pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agarpeserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.
Dari uraian tentang pembangunan dan pendidikan tersebut di atas, maka
dapat dikatakan untuk menyelenggarakan pembangunan bangsa dan negara
adalah melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Yang dimaksud
dengan seluas-luasnya adalah segala upaya yang dilakukan demi terwujudnya
masyarakat modern yang didambakan.
170
jawab atas apa saja yang diputuskan termasuk berimplikasi pada keuangan dan
manajemen dibebankan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Di sinilah
kabupaten/kota memiliki kewenangan dan tanggung jawab pada semua urusan
kecuali urusan luar negeri, moneter, peradilan, pertahanan, keamanan, dan
agama. Dengan demikian urusan pendidikan dan kebudayaan, juga yang lainnya
seperti pertanahan, pertanian, tenaga kerja dan transmigrasi, kesehatan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, perhubungan, perdagangan dan industri, koperasi, penanaman modal, serta pelayanan dasar lainnya menjadi urusan otonomi
daerah.
Devolusi dalam bidang pendidikan menurut Florestal dan Cooper (1997)
dalam M. Munadi & Barnawi (2011:24-25) memiliki lima keistimewaan, yaitu :
a. Melatih tanggung jawab secara legal dari departemen pusat;
b. Tidak di bawah pengawasan hierarki departemen pusat;
c. Dapat melatih kekuasaan yang diberikan oleh hukum;
d. Dapat bertindak sesuai dengan wilayah hukumnya;
e. Departemen pusat tidak bertanggung jawab untuk tindakan lembaga lokal.
Sementara itu Christopher Pollit, Johnson Birchal, dan Keith Putman (1998)
dalam Riant Nugroho (2008:25-26) memahami desentralisasi sebagai sebuah
upaya yang bersifat ekonomis, yaitu meminimalisasi biaya dari sumber daya yang
ada, untuk meningkatkan hasil atau kinerja. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
kualitas kinerja ditentukan oleh standar-standar yang dapat diukur dalam
takaran profesional dengan standar-standar teknis. Aspek inti dari kinerja desentralisasi adalah kualitas, responsivitas, akuntabilitas, dan kontrol.
Demikianlah, maka dapat dirumuskan desentralisasi sebagai pendelegasian
manajemen pembangunan dan pelayanan publik dari pemerintah (pusat) kepada
daerah-daerah otonom yang diselenggarakan oleh organisasi administrasi publik
daerah dalam rangka efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan pemerintah/
negara.
172
Much
Little
Formalized
Decentalization
True
Decentralization
Centralizaion
2. Jika individu atau kelompok berpartisipasi secara luas dalam pembuatan keputusan, tetapi hanya dalam keputusan terprogram (programmed decisions),
disebut desentralisasi formal.
3. Jika yang terjadi individu atau kelompok berpartisipasi secara luas, tetapi dalam
pembuatan keputusan tak terprogram (nonprogrammed decisions), disebut
desentralisasi nyata (true decentralization).
Desentralisasi pun bisa memiliki dua sifat, yaitu rendah dan tinggi. Greenberg
dan Baron (2003:555) menggambarkannya dalam tabel sebagai berikut :
Perbandingan Desentralisasi Rendah dan Tinggi
Low Decentralization High Centralization
High Decentralization Low Centralization
(Desentralisasi Rendah Sentralisasi Tinggi)
(Desentralisasi Tinggi Sentralisasi Rendah
Menghapuskan tambahan tanggung Dapat mengurangi tingkat manajemen,
jawab yang tidak diinginkan oleh orang
membuat sebuah organisasi pembelajar.
yang melakukan pekerjaan-pekerjaan
rutin.
Izinkan pembuatan keputusan krusial Menaikkan kesempatan yang sangat
dibuat oleh individu yang mempunyai
besar untuk keputusan yang dibuat oleh
big picture.
orang yang mengakrabi masalah.
Sumber : M. Munadi & Barnawi, 2011:23.
174
sehingga terselenggara kesejahteraan bagi masyarapat (publik). Hal ini memungkinkan tumbuhnya potensi sebuah lingkungan dan suasana yang komunikatif demokratis dalam masyarakat dengan banyak anggota. (Habermas dalam Hardiman,
1993:127-129).
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat, menurut Suci Handayani (2006:18)
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Partisipasi masyarakat sebagai tujuan. Partisipasi semacam ini akan membelenggu, mendistorsi, dan menghilangkan hak warga negara untuk terlibat proaktif dalam setiap kebijakan yang diambil. Pamaknaan ini hanya menekankan
pada aspek partisipasi formal atas masyarakat.
2. Partisipasi masyarakat sebagai alat.
maksud bahwa setiap tindakan partisipasi menjadi sebuah keniscayaan. Pemaknaan ini keterlibatan masyarakat harus proaktif.
Pemaknaan-pemaknaan partisipasi masyarakat mensyaratkan beberapa hal
sebagai berikut (Munadi & Barnawi, 2011:29) :
1. Kesadaran penuh kelompok elite atas interaksinya dengan kelompok nonelite.
2. Kelompok nonelite tidak merasa interaksinya dengan kelompok elite sebagai
sebuah bentuk belas kasihan.
3. Interaksi yang ada menjadikan kedua kelompok (elite dan nonelite) berpartisipasi
aktif.
4. Partisipasi berawal dari penentuan tujuan bersama dan cara-cara mewujudkannya, pelaksanaan, memperoleh hasil (keuntungan), serta penilaian terhadap
seluruh kegiatan atau program.
5. Interaksi kedua kelompok menghasilkan keputusan strategis di bidang pendidikan (formasi kepegawaian, pengembangan profesional staf, anggaran, tanah dan
bangunan, pengelolaan sumber daya, serta kurikulum).
Adapun bentuk partisipasi masyarakat dalam pendidikan menurut Soebagio
Atmodiwirio (2000:74-75) meliputi :
1. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan sekolah
maupun jalur pendidikan luar sekolah pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan sekolah.
175
D. KEBIJAKAN PENDIDIKAN
1. Rumusan Kebijakan.
Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
176
Sistem Pendidikan Nasional, maka Pemerintah (Pusat) d.h.i. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sekarang ditambah dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), karena urusan
pendidikan tinggi beralih dari Kemendikbud ke Kemenristek Dikti, merumuskan
lebih lanjut kebijakan pelaksanaannya.
depan itu tetap berada pada koridor kebijakan pendidikan yang ada, sesuai
dengan Pasal 50 (5) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyebutkan
bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, dan Pasal 10
(3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan
bahwa urusan pendidikan merupakan kewenangan Pemda (daerah otonom)
karena tidak termasuk di dalam kelompok urusan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Kebijakan pendidikan model Jembrana ini memilih pola negara kesejahteraan yaitu negara menanggung kabutuhan sosial dari rakyat, khususnya di
bidang pendidikan daripada menyerahkan kepada mekanisme pasar atau swasta.
Kebijakan ini satu jiwa dengan Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan dan
Kebudayaan yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, yang pemerintah wajib membiayainya. Tanggung jawab negara dipresentasikan sebagai
tanggung jawab Pemda dalam memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia
yang berada di Jembrana (warga daerah Kabupaten Jembrana) berhak mendapatkan pendidikan dasar yang dibiayai oleh Pemda. Sekarang ini memang sudah
diprogramkan oleh Pemerintah Pusat dengan wajib belajar sembilan tahun
(Wajar Dikdas 9 Tahun) yang memang peserta didiknya dibebaskan dari biaya.
Malahan rencananya akan ditingkatkan menjadi 12 tahun, artinya sampai tingkat
SLTA.
2. Implementasi Kebijakan.
a. Birokrasi Pendidikan.
Birokrasi pendidikan Indonesia adalah hierarki jabatan-jabatan khusus di lingkungan Depatemen (sekarang Kementerian) Pendidikan dan Kebudayaan yang
didasarkan atas aturan peraturan tertulis. (Soebagio Atmodiwirio, 2000:68).
Titik beratnya adalah pada kewenangan dan kekuasaan para pejabat yang
diangkat oleh Mendibud dalam pelaksanaan tugasnya. Jadi, birokrasi di sini
179
ul satu sama lain dari detik ke detik, hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke
tahun, yang selalu menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata
kelakuan. Hal ini sifatnya konkrit, nyata, terjadi di sekeliling kita, bisa diobservasi, dipotret, dan didokumentasikan.
Wujud ketiga kebudayaan disebut kebudayaan fisik, yaitu keseluruhan
(totalitas) hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat, yang sifatnya paling konkrit berupa benda-benda atau hal-hal
yang dapat diraba, dilihat, atau dipotret. Misalnya benda-benda besar seperti
rumah, pabrik, candi, dll.; benda-benda kecil seperti baju, buku, ponsel, dll.;
benda-benda bergerak seperti mobil, kapal laut/udara, tampilan kesenian, dll.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas tak terpisah satu dengan yang
lainnya. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah
kepada pikiran dan tindakan manusia. Pikiran, ide-ide, tindakan dan karya
manusia menghasilkan benda-benda dan kebudayaan fisik, sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama
makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatannya, bahkan cara berpikiranya. Sungguh pun ketiga
wujud kebudayaan itu erat berkaitan, namun untuk keperluan analisis perlu
diadakan pemisahan yang tajam, dalam arti kebudayaan dapat dilihat dengan
jelas dari aspek mana pembahasannya.
Demikianlah, maka memasukkan kebudayaan ke dalam salah satu tugas
pokok dan fungsi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, terlalu sumir, karena
hanya melihat dari satu aspek yaitu kebudayaan fisik, yang hendak dijual ke
publik. Padahal kebudayaan kental dengan nuansa nilai, norma/kaidah, adatistiadat yang keberlanjutannya perlu dengan upaya pendidikan.
Maka
belum mengubahnya, dalam arti masih tetap ada Dinas Pendidikan dan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata.
Latar belakang efisiensi dari penggabungan sekolah, secara keilmuan didukung oleh pemikiran Herbert Simon.
merupakan tugas seluruh dinas secara koordinatif. Yang tepat justru digabung dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Ketahanan Pangan Kabupaten, padahal ketahanan pangan mestinya merupakan kerja koordinasi dari berbagai unsur atau lintas dinas, bukan merupakan
institusi sendiri. Demikian juga setiap ada Dinas, maka di lingkungan Setda
terdapat juga Bagian yang
dengan alasan untuk memudahkan koordinasi dengan Dinas-dinas bersangkutan. Inilah yang menyebabkan pemborosan anggaran karena setiap ada
dinas/setda tentu memerlukan biaya operasional, mobilitas, tunjangan jabatan, dll.
184
c. Kelembagaan Sekolah.
Menurut catatan Soebagio Atmodiwirio (2000:56-57), sistem persekolahan
sejak kemerdekaan Indonesia, tercatat sebagai berikut :
1) Periode 1945 1950 :
a) Pendidikan rendah : Sekolah Rakyat (SR) enam tahun;
b) Pendidikan menengah umum : SMP dan SMA lama pendidikan masingmasing tiga tahun;
c) Pendidikan menengah kejuruan, lama pendidikan tiga tahun :
- Tingkat pertama : SMEP, ST, SKP, SGB, KPKPKB (Sekolah Guru Darurat
untuk Kewajiban Belajar);
- Tingkat atas : SMEA, STM, SPMA, SKMA, SPM (Sekolah Pendidikan
Masya-rakat), SMKA (Sekolah Menengah Kehakiman Atas), SGA (Sekolah Guru A), SGTK, SGKP, SGPD).
d) Pendidikan tinggi : Universitas, Konservatori/Karawitan, Kursus B-1,
ASRI.
Tidak boleh dilupakan juga pada masa pra kemerdekaan adanya partisipasi pendidikan swasta yang hampir seluruhnya berlandaskan keagamaan, misalnya :
a) Islam : Pendidikan Surau, Pesantren, Madrasah, Perguruan Muhammadyah (HIS, MULO, AMS, CVO, HIK), Pendidikan MaArif ;
b) Kristen : Seminari untuk anak-anak dari pemuka pribumi. Selain belajar
agama di sini diajarkan juga membaca, menulis, dan berhitung. Juga
ada zending yang menyelenggarakan pendidikan dasar, sekolah latin,
seminarium theologicum, akademi pelayaran, dan sekolah Tinghwa;
c) Kebangsaan : Majlis Luhur Taman Siswa, Pendidikan INS Kayutaman.
Pada masa kemerdekaan peranserta masyarakat ini antara lain diwujudkan melalui pendidikan sekolah swasta yang bercirikan keagamaan
seperti : Muhammadyah, Maarif, Kristen dan Katholik, dan yang bercirikan
kebangsaan seperti Taman Siswa.
2) Periode 1950 1975 :
a) Pendidikan pra sekolah, dan pendidikan dasar : TK dan SD enam tahun;
185
tahun;
c) Pendidikan kejuruan :
- Tingkat pertama : SMEP, SKP, ST, STP, SGB, KPKPKB;
- Tingkat atas : SMEA, SGA, SMOA, SKMA, SPMA, SGKP,STM, SPM, SPIK.
d) Pendidikan tinggi : Universitas, Institut Teknologi, Institut Pertanian,
Institut Keguruan, Sekolah Tinggi, dan Akademi.
3) Periode 1978 sekarang :
a) Pendidikan pra sekolah : TK, Roudhatul Athfal.
b) Pendidikan dasar : SD, MI;
c) Pendidikan menengah umum : SMP dan SMA;
d) Pendidikan menengah kejuruan :
- Tingkat pertama : ST, SKKP;
- Tingkat atas : SMEA, SMKK, STM, SPMA, SKMA, SMTK (Sekolah Menengah Teknik Kerumahtanggaan), SMPS (Sekolah Menengah Pekerja Sosial), SMKI (Sekolah Menengah Kerajinan Industri), SMT Peb. (Sekolah
Menengah Teknologi Pembangunan), SMTP (Sekolah Menengah Teknologi Pertama), SMT Grafika, SMT Penerbangan, SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa), SMM (Sekolah Menengah Musik), STM Kimia, STM
Perkapalan.
e) Pendidikan tinggi : Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, Politeknik.
Catatan : Sekarang ini sekolah menengah untuk tingkat pertama seperti
SMEP, SKP, ST tidak ada lagi (dihapus). Untuk tingkat atas seperti SMEA,
SMKK, STM, SPMA, SMOA dihapus dan diganti atau masuk menjadi Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Kemudian SMA pernah berganti nama menjadi
SMU, namun kini sudah kembali menjadi SMA.
Kelembagaan sekolah di lingkungan Pemda Kabupaten/Kota mengikuti
pedoman dari pusat, yaitu pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan dasar
sekarang ini meliputi SD/MI enam tahun ditambah SLTP (SMP/MTs) tiga tahun,
dalam rangka pelaksanaan Wajar Dikdas Sembilan Tahun. Adapun pendidikan
186
menengah adalah SLTA yang terdiri dari SMA, SMK, MA dan MAK baik negeri
maupun swasta. Dulu pernah ada Pendidikan Guru Agama (PGA) tiga tahun
setingkat SLTP dan PGA enam tahun setingkat SLTA berada dalam naungan
Depertemen Agama, sekarang manjadi MA. Selain itu ada juga pendidikan
prasekolah seperti PAUD dan TK, malah kini dikembangkan juga grup bermain
(playgroup).
Teknis edukatif untuk pendidikan dasar dan menengah umum mengikuti
pedoman dan juknis dari Kemendikbud, sedangkan untuk pendidikan Agama
(PAI) mengikuti pedoman dan juknis dari Kementerian Agama (Kemenag). Untuk
PAI penyelenggaraannya malah banyak dilakukan oleh masyarakat, seperti
diniyah, madrasah ibtidaiyah, dan pesantren.
3. Anggaran Pendidikan.
Pada prinsipnya dana pendidikan setiap tahun dianggarkan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sesuai dengan Pasal 49 (1)
UU No. 20 Tahun 2003 dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari APBD. Namun di daerah dalam prakteknya banyak yang tidak
sampai 20% mengingat keterbatasan kemampuan keuangannya. Dana ini pun
sudah termasuk anggaran untuk tiap sekolah yang dimasukkan dalam APBS
dalam bentuk hibah.
Sekarang ini ada ketentuan bahwa setiap sekolah (TK/SD, SLTP, dan SLTA)
negeri tidak diperbolehkan memungut iuran sekolah dari orang tua/wali murid
karena sudah digratiskan oleh Pemerintah/Pemda. Hal ini sebenarnya menutup
kemungkinan kepedulian orang tua/wali murid yang mampu untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan, padahal sesuai dengan Pasal 46 (1) UU
No. 20 Tahun 2003 tanggung jawab pendanaan pendidikan itu bukan saja
terletak pada Pemerintah/Pemda, tetapi juga tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemda, dan masyarakat. Pengertian masyarakat mungkin termasuk
juga dunia usaha/swasta. Sebelumnya malah ada kebijakan dalam Manajemen
187
Berbasis Sekolah (MBS), jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS)
lebih tinggi dari bantuan atau subsidi (hibah) Pemerintah/Pemda, maka kekurangannya pihak sekolah melalui persetujuan Komite Sekolah dapat memungut
iuran kepada orang tua/wali murid, sebaliknya jika APBS lebih rendah dari
bantuan atau hibah Pemerintah/Pemda maka pihak sekolah tidak perlu lagi
memungut iuran dari orang tua/wali murid.
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,
kecukupan, dan keberlanjutan. Untuk itu Pemerintah, Pemda, dan masyarakat
mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Adapun pengelolaan dana pendidikan dimaksud berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Untuk sekolah-sekolah swasta bantuan atau subsidi dari Pemerintah itu biasanya dalam bentuk penempatan tenaga guru negeri yang dipekerjakan (dpk)
atau diperbantukan (dpb).
4. Kurikulum.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum pada semua jenjang
dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan
satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memperhatikan :
a. Peningkatan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Peningkatan akhlak mulia;
c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. Tuntutan dunia kerja;
188
190
jukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak
dimiliki oleh organisasi-organisasi lain, dan memiliki karakter tersendiri di mana
terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan
kehidupan umat manusia. Itulah sebabnya sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat kerjasama dan koordinasi yang tinggi dengan berbagai stakeholders.
Keberhasilan sekolah adalah keberhasilan dari kepala sekolahnya sebagai
manajer.
Kepala sekolah yang sukses jika dia memahmi keberadaan sekolah sebagai
organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranannya
sebagai seorang manajer yang diberi tanggung jawab memimpin sekolah. Kunci
keberhasilan kepala sekolah karena peranannya :
a. Sebagai pejabat formal;
b. Sebagai manajer;
c. Sebagai pemimpin;
d. Sebagai pendidik;
e. Sebagai staf dalam hierarki kepemimpinan pendidikan yang lebih luas.
Terdapat tiga macam peran kepemimpinan dilihat dari otoritas dan status
formal seorang pemimpin. Penjelasannya sebagai berikut (Wahjosumidjo, 1999:
90-93) :
a. Peranan Hubungan antar Perseorangan (Interpersonal Roles). Peranan ini
timbul akibat otoritas formal dari seorang manajer yang meliputi figurehead,
leadership, dan liaison.
1) Figurehead : Figurehead berarti lambang. Kepala sekolah sebagai lambang
mempunyai kedudukan yang selalu melekat dengan sekolah. Karenanya
kepala sekolah harus selalu dapat memelihara integritas diri agar peranannya sebagai lambang tidak menodai nama sekolah.
2) Leadership (kepemimpinan) : Peranan sebagai pemimpin mencerminkan
tanggung jawab kepala sekolah untuk menggerakkan seluruh sumber daya
yang ada di sekolah, sehingga lahir etos kerja dan produktivitas yang tinggi
dalam mencapai tujuan pendidikan.
3) Liaison (Penghubung) : Kepala sekolah berperan menjadi penghubung an192
tara kepentingan sekolah dengan lingkungan di luar sekolah. Secara internal sekolah, kepala sekolah menjadi alat perantara antara wakil kepala
sekolah, para guru, staf tata usaha, dan siswa dalam menyelesaikan kepentingan mereka. Tujuan liaison adalah memperoleh informasi dari berbagai
pihak untuk keberhasilan tugas kepala sekolah.
b. Peranan Informasional (Informational Roles).
Kepala sekolah berperan untuk menerima dan menyebarluaskan/meneruskan
informasi kepada para guru, staf tata usaha, siswa, dan orang tua/wali murid.
Dalam fungsi informasional inilah kepala sekolah berperan sebagai pusat urat
syaraf (nerve centre) sekolah. Ada tiga macam peran kepala sekolah sebagai
pusat urat syaraf, yaitu :
1) Sebagai Motivator : Kepala sekolah selalu memotivasi bawahan dan
mengadakan pengamatan terhadap lingkungan, yaitu kemungkinan adanya
informasi-informasi yang berpengaruh terhadap kinerja sekolah seperti
sasus, gosip, kabar angin (hearsay).
2) Sebagai Disseminator : Kepala sekolah bertanggung jawab untuk menyebarluaskan dan membagi-bagikan informasi kepada para guru, staf tata
usaha, siswa, dan orang tua/wali murid.
3) Sebagai Spokesman (Juru Bicara) : Kepala sekolah menyebarkan (transmits)
informasi kepada lingkungan di luar yang dianggap perlu. Di sini kepala
sekolah berperan sebagai wakil resmi sekolah.
c. Peranan Pengambil Keputusan (Desicional Roles).
Peran ini sangat penting karena pada prinsipnya inti dari kepemimpinan
adalah pengambilan keputusan.
hatikan gangguan yang timbul, tidak saja akibat kurang mempertimbangkan situasi kondisi, tetapi juga akibat tidak mampu mengantisipasi semua
akibat keputusan yang telah diambil.
3) A Resource Allocator : Kepala sekolah bertanggung jawab atas penentuan
penjatahan siapa yang akan menerima sumber-sumber yang disediakan,
a.l. sumber daya manusia, dana, peralatan, dan berbagai kekayaan sekolah
lainnya.
4) A Negotiator Roles : Kepala sekolah harus mampu untuk mengadakan
pembicaraan dan musyawarah, atau menjalin komunikasi dan usaha
dengan pihak luar termasuk dunia usaha/swasta. Dalam kerjasama ini
meliputi kebutuhan pasar tenaga kerja, penempatan lulusan, penyesuaian
kurikulum, tempat praktek tenaga pengajar, dsb. Fungsi negosiator ini
akan lebih banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah kejuruan, khususnya
dengan dunia usaha dan industri.
Kepala sekolah sebagai pejabat formal, dan pemimpin-pemimpin formal
pada umumnya, akan berhasil baik dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya jika selalu memperhatikan tujuh hal yang sangat berpengaruh (Wahjosumidjo, Ibid:93), yaitu :
a. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku;
b. Variabel-variabel yang terjadi di dalam sekolah maupun di luar sekolah;
c. Interaksi antara sumber daya manusia (guru, staf TU, siswa, orang tua/wali
murid), sistem, dan berbagai macam peralatan dan hal-hal yang lain yang
berkaitan;
d. Efektivitas;
e. Masalah untung dan rugi;
f. Terpercaya dan berpengalaman, artinya kepala sekolah harus selalu memelihara kepercayaan yang diberikan oleh atasan. Ia harus senantiasa membuka
diri untuk menerima dan mencari pengalaman sesuai dengan perkembangan
keadaan;
g. Kewibawaan, status, stres, dan konflik.
194
Komite
Sekolah dipimpin oleh salah satu dari orang tua atau wali murid. Posisi Komite
Sekolah ini sangat strategis karena dapat membantu segala hal yang berkaitan
dengan kelancaran penyelanggaraan pendidikan sekolah.
Pendayagunaan Komite Sekolah sesuai dengan pemahaman yang tidak lagi
berpikir tentang School Based Management (SBM), namun peningkatan keefektifannya. Metode yang dikembangkan adalah kontrol dari komunitas sekolah di
dalam manajemen sekolah. Manajemen sekolah yang bertatakelola yang baik
sesuai dengan prinsip GG, adalah manajemen yang mampu menyeimbangkan
pemenuhan hak dan kewajiban dari para partisipan di dalam proses pendidikan,
khususnya antara kepala sekolah, guru, dan peserta didik. Pemberdayaan Komite Sekolah merupakan pilihan yang dianggap efektif karena terjalinnya interaksi
dan komunikasi yang baik antara sekolah dengan pihak stakehorlders khususnya
orang tua/wali murid.
7. Lembaga Swadaya Masyarakat Eksternal : Dewan Pendidikan.
Dewan Pendidikan pertama kali dikembangkan dengan acuan Kepmendiknas
No. 044/U/2002, yang pada setiap daerah otonom dibentuk. Dewan Pendidikan
adalah badan yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di daerah otonom
dimaksud.
195
Kebijakan
Pendidikan
(Dinas?Pemda)
Dewan Pendidikan
Penyelenggaraan
Pendidikan
(Manajemen Sekolah)
Komite Sekolah
Konstituen Luas
(Masyarakat Daerah)
Konstituen Sempit
Orangtua Murid
Dalam prakteknya kurang berperan sebagaimana mestinya. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal.
karena yang diangkat menjadi Ketua adalah orang pilihan Kepala Daerah, sehingga kurang memperhatikan profesionalismenya di bidang pendidikan. Kedua,
struktur organisasi dan sumber daya belum ditata secara baik, karena terdiri dari
orang-orang yang tidak kapabel dalam hal pengelolaan pendidikan, di antaranya
karena ada juga dari kalangan partai politik dan LSM.
Menurut Riant Nugroho (2008:138), marginalisasi Dewan Pendidikan berbeda dengan konsep kebijakan yang menjadi salah satu arus utama pada saat ini,
yaitu deliberative policy analysis model, model yang mensyaratkan bahwa setiap
kebijakan termasuk kebijakan pendidikan, dirumuskan setelah melalui proses
partisipasi yang aktif bahkan proaktif dari publik melalui civil society institutions196
197
DAFTAR KEPUSTAKAAN
198
199
200
SOAL-SOAL LATIHAN
1.
2.
3.
4.
D. Agenda Setting :
1.
2.
3.
4.