Anda di halaman 1dari 3

NAMA : RIZKI PUTRI ANDINI

NPM : 2018510099
MATAKULIAH : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Identifikasi pembangunan Teknokratis dan Parsitipatif

 Contoh Pembangunan Teknokratis:


Upaya kita untuk terus mencari solusi bagi masalah Papua adalah tanggung jawab
kenegaraan dan juga panggilan bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia. Harus
diakui bahwa Papua memiliki dimensi yang berbeda dari permasalahan pembangunan
di wilayah lain Indonesia. Lekatnya konteks dan indikasi pemberontakan dan
seperatisme harus diakui telah menambah pelik serta keterdesakan kita untuk mencari
solusi yang damai, adil dan beradab.
Pembangunan di Papua bertumpu pada kapasitas institusi (pemerintahan) yang
lemah. Papua bergerak dalam sebuah masyarakat yang masih lemah birokrasinya.
Boleh dikatakan bahwa yang kuat dan terorganisir adalah Gereja dan pelayanannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi birokrasi modern belum terwujud, akibat
dari lemahnya sumberdaya manusia, belum berkembangnya dan disorientasi politik
dan juga birokrasi muda akibat pemekaran wilayah pemerintahan. Pada umumnya
masyarakat Papua dalam keadaan lemah kepercayaannya kepada otoritas
kepemimpinan dan kepada Pemerintah. Inilah keadaan yang disebut low trust society.
Dalam situasi seperti ini, konflik sering terjadi dan mewarnai hubungan di dalam
Pemerintahan dan juga dalam hubungan Pemerintah dengan masyarakat. Konflik
dalam komunitas adalah cermin rendah dan tiadanya kelembagaan yang dipercayai
untuk mencari keadilan. Keadaan ini mencerminkan runtuhnya sebuah social order
dalam masyarakat. Konflik dan kekerasan telah menyebabkan sulit dan kebuntuan
dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini terjadi terlalu banyak kendala dan
gangguan proses pembuatan kebijakan dan pelayanan publik sebagai akibat dari
samarnya arah kebijakan politik untuk Papua.
Sejauh uraian di atas, ada tiga hal yang telah disinggung sebagai berikut: adanya
bayang bayang kegagalan pembangunan yang menyebabkan kerawanan dan gerakan
seperatisme yang meningkat, lemahnya insitusi pembangunan dan potensi alam yang
demikian besar bagi masa depan Indonesia dan tumpuan bumi secara umum. Kiranya,
diakui atau tidak, ketiga hal diatas kiranya menjadi pergulatan teknokratis bagi
pembangunan di Papua saat ini. Kegundahan kita berputar pada kekawatiran akan
semakin besarnya opini negatif terhadap NKRI akibat pembangunan yang tidak
menyentuh kesejahteraan mayoritas masyarakat di Papua dan orang asli Papua
khususnya. Secara moral, perencana pembangunan harus memberikan kontribusi dan
menghadirkan pertanggung jawaban atas pendanaan publik. Ada perasaan bahwa kita
dikejar kejar waktu dan harus segera menghasilkan karya pembangunan yang benar
benar menyentuh kepentingan masyarakat banyak, khusususnya untuk orang asli
Papua. Pembangunan yang ada sejauh ini dapat dikatakan bias menguntungkan para
elit semata. Kita merasa ada sesuatu yang salah dan perlu perhatian serta kesungguhan
yang lebih tinggi. Pembangunan dalam hal ini harus mampu mengurangi kesenjangan,
memberikan dampak redistribusi horizontal dan juga secara vertikal. Disadari bahwa
potensi sumberdaya alam di tanah Papua sangatlah besar. Jika kita tidak dapat
menggunakanya untuk kesejahteraan masyarakat luas, maka menjadi bangsa gagal
dan harus menghadapi arus pergerakan politik anti Pemerintah yang semakin
meningkat.
Teknokrasi dan perencanaan pembangunan untuk Papua haruslah berbeda.
Standar, format, strateg, basis organisasi bahkan filosofinya haruslah berbeda.
Lembaga adat dan Gereja dapat menjadi tumpuan dan satuan kerja yang diberikan
mandat. Banyak yang telah dibahas tentang akar permasalahan pembangunan di
Papua. Telaah akar permasalahan yang ada adalah dasar pijakan membuat formula
atau solusi masalah. Salah satu acuan terkuat saat ini adalah telaah LIPI dalam Papua
Road Map : Negotiating the Past, Improving the Present, Securing the Future
(Widjojo etal, 2010). Barnabas Suebu mendefinisikan masalah Papua dalam tiga aras,
yakni Barnabas Suebu: 3 Masalah Pokok, yakni kemiskinan, pelanggaran HAM dan
ketertinggalan terhadap daerah lain.
(https://trimongalah.wordpress.com/2016/02/04/harmonisasi-tujuan-pembagunan-di-
papua-sebuah-gagasan-teknokratis/)

 Contoh Pembangunan Partisipatif:


Istilah pembangunan partisipatif atau partisipatori development sudah lama
bergaung. Banyak proyek pemerintah (terutama bila didanai bantuan asing)
mensyaratkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh pola partisipatif di Indonesia,
adalah keberadaan Musbangdes (Musyawarah Pembangunan Desa) yang merupakan
langkap mengakomodir pendapat masyarakat dalam pembangunan desanya. Namun
dalam praktek hal ini masih terkendala tidak siapnya komponen pemerintah di tingkat
bawah, khususnya aparat desa. Ketidaksiapan aparat bisa diakibatkan oleh
ketidakfahaman akan arti dan maksud Musyawarah Pembangunan Desa itu sendiri.
Atau pula belum mengetahui bagaimana strategi/cara mengumpulkan pendapat
masyarakat luas. selain itu juga minimnya dana yang tersedia untuk pelaksanaan
Musyawarah Pembangunan Desa. Sehingga dalam pelaksanaannya, seringkali hanya
dilakukan oleh beberapa tokoh yang belum tentu mewakili masyarakat secara luas.
Atau bahkan kerap pula hanya dilakukan oleh aparat desa secara sepihak. Selain
menyoal keterlibatan masyarakat, selama ini hasil Musbangdes cenderung hanya ke
arah pembangunan fisik, dan hanya beberapa saja yang berwujud pembangunan non-
fisik (misal peningkatan SDM masyarakat). Praktek Pembangunan Partisipatif
Hal di atas, adalah alasan bagi Yayasan Duta Awam Solo (YDASolo) Jawa
Tengah, mengambil inisiatif untuk 'mencontohkan' pelaksanaan merancang
pembangunan di desa. Sejak akhir 2003 YDASolo membantu pelaksanaan Musbandes
di beberapa desa, yang dikemas organisasi ini dalam program Perencanaan Strategis
Desa (Renstra Desa). Dari contoh Renstra Desa di ke-empat desa itu, tersusun
kegiatan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. baik berupa
pembangunan sarana/prasarana fisik maupun berupa upaya peningkatan SDM
masyarakat serta pendataan potensi desa yang dapat dikembangkan. Selain itu,
tersusun juga data kendala-kendala bagi pengembangan masyarakat.
Urutan Pelaksanaan Kegiatan Renstra tahap paling awal adalah kegiatan
sosialisasi ke masyarakat dan aparat desa. Yakni mengenai pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam membuat sebuah perencanaan pembangunan desa. Dari sosialisasi
ini diharapkan muncul kesadaran dan semangat (masyarakat dan aparat) akan
pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menentukan pembangunan desa, sejak dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi akhir. Tahap selanjutnya, adalah
menentukan waktu pelaksanaan Renstra dan peserta yang terlibat di dalamnya.
Penentuan waktu ini penting agar masyarakat yang terlibat dapat terus mengikuti
kegiatan. Sedangkan penentuan peserta dilakukan karena memang tidak mungkin
semua masyarakat terlibat. Maka YDASolo bersama unsur-unsur di desa yang ada,
menyepakati kriteria peserta Renstra. Dalam contoh keempat desa di atas, peserta
Renstra bukan saja berdasarkan kewilayahan yang ada di desa, tapi juga ada wakil
lembaga yang ada di desa, golongan usia, dan golongan profesi. Tentu peserta harus
meluangkan waktu untuk mengikuti Renstra hingga selesai. Ada pula kriteria, bahwa
peserta sudah tinggal di wilayah tersebut dalam waktu tertentu, sehingga mengetahui
masalah-masalah yang ada di sekitarnya.
Dari Renstra, terdatalah masalah yang ada dan potensi yang ada di desa.
kemudian dilakukan perencanaan pemanfaatan potensi untuk menyelesaikan
permasalahan yang sudah di-list oleh peserta Renstra, atau rencana kegiatan
berdasarkan potensi yang ada. Kalau disederhanakan dalam poin-poin urutan (garis
besar) pelaksanaan, maka Renstra desa yang difasilitasi oleh YDASolo, adalah
sebagai berikut:
1. Sosialisasi: Terutama untuk memberi pemahaman tentang alasan dan tujuan
pelaksanaan Renstra.
2. Perencanaan: Menentukan peserta, waktu dan tempat pelaksanaan.
3. A. Pemetaan Masalah: Memetakan seluruh masalah yang ada di desa, dalam
kategori jenis masalah, penyebab dan dampak.
B. Pemetaan Potensi: Memetakan seluruh potensi yang ada di desa
4. Membuat Keterkaitan Antar Masalah: Yakni masalah dianalisis
keterkaitannya dan hubungan sebab akibatnya.
5. Memilih Prioritas: Masalah yang sudah dipetakan, dipilih sesuai tingkat
kebutuhan dan kemudahan penyelesaiannya.
6. Merancang Kegiatan Penyelesaian Masalah: Masalah yang sudah dianalisis
dan dipilih, kemudian disusun langkah-langkah penyelesaiannya, lengkap
dengan peta stakeholder (pihak terkait), kebutuhan (dalam kegiatan
menyelesaikan masalah) dan potensi yang mendukung penyelesaian masalah.
Hasil Rensra ini merupakan rencana/agenda pembangunan desa untuk beberapa
tahun, tergantung kesepakatan yang dibuat peserta kapan kegiatan tersebut akan
di lakukan. Hasil Renstra dari ke-empat desa yang di sebut di atas sangat
beragam, namun dapat dikelompokkan menjadi:
1. Permasalahan Kesehatan
2. Permasalahan Pendidikan
3. Permasalahan Pertanian
4. Kebutuhan sarana/prasarana fisik
5. Soal pelestarian Sumber Daya Alam
6. Persoalan pengembangan ekonomi Di Desa Nguneng misalnya, dari hasil
Rentra telah tersusun rangkaian kegiatan bidang kesehatan, mulai dari
pengorganisasian kader kesehatan desa, training-training untuk peningkatan
SDM kader kesehatan.
Beberapa kendala memang ada, namun dengan niatan memperjuangkan
pembanguan partisipatif, jalan keluar juga selalu ada. Dengan berkumpul dan
bermusyawarah dengan masyarakat yang semakin sadar hak-tanggung jawabnya
sebagai warga, selalu saja kita dapat menghimpun kekuatan dalam menyelesaikan
masalah. Dalam perjalanan di empat desa itu, selanjutnya Musbangdes yang ada
diharapkan makin dapat menyerap pelajaran, sehingga Musbangdes betul-betul
bertumpu pada permasalahan yang nyata di masyarakat, dengan memanfaatkan
pula potensi yang ada di desa sebaik-baiknya.
(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/19590826198
6031-JAJAT_S_ARDIWINATA/Pembangunan_Partisipatif_Dalam_Praktek.pdf)

Anda mungkin juga menyukai