Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN KE - 4

MATA KULIAH

TEORI ORGANISASI PUBLIK


OLEH
DR. H. ARAS SOLONG, M.Si

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR (UIM)
TAHUN AJARAN 2020-2021
MATERI HARI INI
MODEL-MODEL IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PUBLIK
1. Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling
pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang
hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile
karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke
tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan
manusia”.Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi
gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan
apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam
sebuah sistem. Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono
(2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses
pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar.
2. Implementasi Kebijakan Bottom Up
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik
terhadap model pendekatan rasional (top down).Parsons (2006),
mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi
adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan.
Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah
negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006),
model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di
lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Ahli
kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam
persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy
(2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur.
Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses
kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau
perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.
KONSEP EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
Dalam Studi Analisis Kebijakan Publik, maka salah satu cabang bidang
kajiannya adalah Evaluasi Kebijakan. Mengapa Evaluasi Kebijakan
dilakukan?karena pada dasarnya setiap kebijakan negara ( public policy )
mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. ( Abdul Wahab, 1990 : 47-
48 ), mengutip pendapat Hogwood dan Gunn ( 1986 ), selanjutnya
menjelaskan bahwa penyebab dari kegagalan suatu kebijakan ( policy failure
) dapat dibagi menjadi 2 katagori, yaitu : (1) karena “non implementation”
( tidak terimplementasi ), dan (2) karena “unsuccessful” ( implementasi yang
tidak berhasil ).
Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu
tidak dilaksanakan sesuai dengan di rencanakan.Sedangkan implementasi yang
tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan
sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak
menguntungkan, maka kebijakan tersebut tidak dapat berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki. Biasanya
kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor-faktor
diantaranya : pelaksanaannya jelak ( bad execution ), kebijakannya sendiri itu
memang jelek ( bad policy ) atau kebijakan itu sendiri yang bernasib kurang baik
( bad luck ). Adapun telaah mengenai dampak atau evaluasi kebijakan adalah,
dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat dari suatu kebijakan atau dengan
kata lain untuk mencari jawaban apa yang terjadi sebagai akibat dari pada
“implementasi kebijakan” ( Abdul Wahab, 1997 : 62 ).
MODEL EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
( House, 1978 : 45 ) dalam William Dunn, mengemukakan beberapa Model
Evaluasi Kebijakan Publik yang terdiri dari :
1. The Adversary Model, para evaluator dikelompokkan menjadi dua, yang
pertama bertugas menyajikan hasil evaluasi program yang positip, hasil
dampak kebijakan yang efektif dan baik, tim kedua berperan untuk
menemukan hasil evaluasi program negatif, tidak efektif, gagal dan yang
tidak tepat sasaran. Kedua kelompok ini dimaksudkan untuk menjamin
adanya netralitas serta obyektivitas proses evaluasi. Temuannya
kemudian dinilai sebagai hasil evaluasi.Menurut model dari evaluasi ini
tidak ada efisiensi data yang dihimpun.
2. The Transaction Model, Model ini memperhatikan penggunaan metode studi
kasus, bersifat naturalistik dan terdiri dua jenis, yaitu : evaluasi responsif
(responsive evaluation) yang dilakukan melalui kegiatan - kegiatan secara
informal, ber ulang-ulang agar program yang telah direncanakan dapat
digambarkan dengan akurat ; dan evaluasi iluminativ (illuminativ evaluation)
bertujuan untuk mengkaji program inovativ dalam rangka mendeskripsikan dan
menginterpretasikan pelaksanaan suatu program atau kebijakan. Jadi evaluasi
model ini akan berusaha mengungkapkan serta mendokumenter pihak-pihak
yang berpartisipasi dalam program.
3. Good Free Model, model evaluasi ini ber tujuan untuk mencari dampak aktual
dari suatu kebijakan, dan bukan hanya sekedar untuk menentukan dampak
yang diharapkan sesuai dengan ditetapkan dalam program. Dalam upaya
mencari dampak aktual, evaluator tidak perlu mengkaji secara luas dan
mendalam tentang tujuan dari program yang direncanakan.Sehingga evaluator
(peneliti) dalam posisi yang bebas menilai dan ada obyektivitas.
BENTUK PENYIMPANGAN DALAM PROSES
KEBIJAKAN PUBLIK
Studi kebijakan publik dalam konteks Indonesia menjadi semakin penting dan
menarik jika dikaitkan dengan wacana otonomi daerah yang kini tengah dijalankan.
Pelaksanaan otonomi daerah tersebut diharapkan akan memberi kesejahteraan
kepada sebagian besar rakyat, namun dibalik harapan tersebut juga diliputi
kekhawatiran. Otonomi daerah dicemaskan hanya akan melahirkan “raja-raja kecil” di
daerah, yang tidak memperdulikan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, maka
studi kebijakan publik dengan alasan profesional semakin dibutuhkan.
Dalam posisi yang bersebelahan dengan kebijakan publik yang semakin penting,
perihal kebijakan publik akan menjadi sebuah upaya tanggung jawab dari pemerintah
untuk melayani masyarakat sebagai individu yang menjadi ladang penerapan
kebijakan publik. Kebijakan publik menjadi sebuah tindakan pemegang kebijakan
untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu terhadap
masyarakatnya.Kemudian diambil suatu upaya untuk mencapai kebijakan publik yang
tepat sasaran sesuai dengan prinsip good governance. Maka dibentuklah suatu
agenda kebijakan yang dimaksudkan sebagai wadah untuk menampung masalah-
masalah yang akan diselesaikan oleh pemerintah.
Agenda kebijakan berbentuk daftar masalah tersebut kemudian di identifikasi
oleh lembaga pengambil keputusan untuk dijadikan pembahasan guna menentukan
kebijakan publik yang akan diambil. Tetapi kenyataan yang diterima oleh
masyarakat agenda kebijakan tidak sepenuhnya tercapai, karena dalam
penerapannya kelembagaan pemerintah malah mendapat permasalahan yang lebih
rumit. Hal ini disebabkan antara lain keterbatasan waktu dan begitu banyaknya
masalah yang harus ditangani oleh sebuah lembaga pengambil keputusan.
Korupsi adalah penyebab utama mengapa tingkat kesejahteraan masyarakat di
Indonesia tidak bisa ditingkatkan melalui kebijakan pemerintah.Fenomena korupsi
juga menjelaskan mengapa krisis multi-dimensional di Indonesia yang terjadi sejak
tahun 1998 terjadi berkepanjangan dan tak kunjung bisa ditanggulangi.Tidak
berlebihan jika seorang pakar mengatakan bahwa korupsi adalah akar dari semua
masalah (the root of evils) di Indonesia.Dari perspektif administrasi publik, penyebab
korupsi adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi publik. Selain itu tidak diikutkannya
masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dalam birokrasi membuat
akuntabiltas birokrasi sulit diwujudkan.
Syed Hussein Alatas seorang ahli sosiologi korupsi memaparkan 7 tipologi korupsi, yang dalam
derajat tertentu dapat mengidentifikasi fenomena korupsi dalam kebijakan publik. Ketujuh tipologi
korupsi itu adalah sebagai berikut :
1. Transaktif (korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang
memberi dan menerima keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif menjalankan
perbuatan tersebut)
2. Eksortif (korupsi yang menyatakan bentuk-bentuk koersi tertentu, dimana pihak-pihak pemberi
dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orang,
atau hal-hal yang dihargainya)
3. Investif ( korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa, tanpa adanya pertalian
langsung dengan keuntungan tertentu bagi pemberi, selain keuntungan yang diharapkan akan
diperoleh di masa mendatang )
4. Nepotistik (korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada pertemanan atau yang
mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik )
5. Autogenik ( korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya
diketahui seorang diri )
6. Suportif ( korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi
atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi )
7. Defensif ( korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka memepertahankan diri dari
pemerasan )
Mencegah korupsi dan kolusi tidaklah begitu sulit, kalau kita semua sadar
untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) diatas
kepentingan pribadi dan golongan. Sebab betapapun sempurnanya peraturan,
kalau niat korup tetap ada dihati yang memiliki peluang untuk melakukan
perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan terus terjadi. Sebab faktor mental
yang menentukan. Selain itu, hendaklah dipahami juga tanggung jawab atas
perbuatan terkutuk ini (apabila dilakukan dengan cara kolusi) tidak hanya terletak
pada mental pejabat saja, tetapi juga terletak pada mental pengusaha tertentu
yang berkolusi yang selalu ingin menggoda oknum pejabat untuk mendapatkan
fasilitas dan keuntungan sebesar-besarnya. Walaupun pejabat ingin melakukan
korupsi, kalau tidak disambut oleh oknum pengusaha berupa pemberian suap atau
janji memberi imbalan, korupsi tidak akan separah ini. Suap sungguh sangat
berbahaya, karena si penerima suap tidak akan tanggung-tanggung dalam
menyalahgunakan kewenangannya, sehingga kekayaan dan aset negara dipreteli
dalam jumlah milyaran atau trilyunan rupiah.
TERIMA KASIH
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR (UIM)
TAHUN AJARAN 2020-2021

Anda mungkin juga menyukai