Anda di halaman 1dari 15

MODEL MODEL KEBIJAKAN PUBLIK

Di lingkungan para pembelajar perumusan kebijakan publik terdapat sejumlah model. Thomas R.
Dye merumuskan model-model secara lengkap dalam sembilan model formulasi kebijakan,
yaitu:
Model Kelembagaan (Institutional)
Model Proses (Process)
Model Kelompok (Group)
Model Elit (Elita) X
Model Rasional (Rational)
Model Inkremental (Incremental)
Model Teori Permainan (Game Theory)
Model Pilihan Publik (Public Choice)
Model Sistem (System)
Model lain di luar yang diinventarisir Dye antara lain:
Model Pengamatan Terpadu
Model Demokratis
Model Strategis
Model Kelembagaan
Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat
kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi, apa pun yang dibuat pemerintah dengan cara apa
pun adalah kebijakan public. Ini adalah model yang paling sempit dari sederhana di dalam
formulasi kebijakan publik. Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan
pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, di dalam formulasi kebijakan. Disebutkan dye, ada tiga
hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu bahwa pemerintah memang sahmembuat kebijakan
public, fungsi tersebut bersifat universal, dan memang pemerintah memonopoli fungsi
pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.
Model kelembagaan sebenarnya merupakan derivasi atau turunan dari ilmu politik
tradisional yang lebih menekankan struktur daripada proses atau perilaku politik. Prosesnya
mengandaikan bahwa tugas formulasi kebijakan adalah tugas lembaga-lembaga pemerintah yang
dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi dengan lingkungannya. Salah satu kelemahan dari
pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu
diterapkan (Wibawa, 1994: 6).
Model Proses
Di dalam model ini, para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan
sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Untuk itu, kebijakan public merupakan juga proses
politik yang menyerahkan rangkaian kegiatan.
Model ini memberitahu kepada kita bagaimana kebijakan dibuat
atau seharusnya dibuat, namun kurang memberikan tekanan kepada substansi seperti apa yang
harus ada. Charles O. Jones memberikan sebuah matriks sederhana yang dapat membantu
memahami formulasi kebijakan sebagai sebuah proses.
Model Teori Kelompok
Model pengambilan kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik
keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya adalah interaksi di dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah yang terbaik. Di sini individu di dalam
kelompok-kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung
atau melalui media massa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan
kebijakan piblik yang diperlukan. Di sini peran dari system politik adalah untuk memenejemeni
konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan melalui:
merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan,
menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan,
memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat),
memperkuat kompromi-kompromi

Model teori kelompok sesungguhnya merupakan abtraksi dari proses formulasi kebijakan yang
di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk
kebijakan secara interaktif. (Wibawa, 1994: 9). Model proses sendiri dapat digambarkan secara
sederhana.

Model Teori Elit


Model teori elit berkembang dari teori politik elit-massa yang melandaskan diri pada
asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang
kekuasaan atau elit dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan
diri kepada kenyataan bahwa sedemokratis apa pun, selalu ada bias di dalam formulasi
kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi
politik dari para elit. Ada dua penilaian di dalam pendekatan ini, negatif dan positif. Pada
pandanga negative dikemukakan bahwa pada akhirnya di dalam sistem politik, pemegang
kekuasan politiklah yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan
keinginannya. Dalam konteks ini, rakyat dianggap sebagai kelompok yang sengaja dimanipulasi
sedemikian rupa agar tidak masuk dalam proses formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun
bukan bermakna partisipasi melainkan mobilisasi. Pandangan positif melihat bahwa seorang elit
menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa Negara, bangsa
ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Pemimpin (atau elit) pasti
mempunyai visi tentang kepemimpinannya, dan kebijakan publik adalah bagian dari karyanya
untuk mewujudnyatakan visi tersebut menjadi kenyataan. Soekarno memilih politik sebagai
panglima sementara Soeharto memilih ekonomi sebagai panglima . Tidak ada yang secara
mutlak keliru, ini hanya masalah preferensi dari visi elit serta tentang bagaimana tujuan atau cita-
cita bangsa yang sudah disepakati akan dijalani melalui jalur yang diyakininya.
Jadi model elit merupakan abtraksi dari proses formulasi kebijakan di mana kebijakan
publik merupakan perspeksi elit politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap elit politik ingin
mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konservatif. Kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti selalu mementingkan kesejahteraan
masyarakat. Ini adalah kelemahan-kelemahan dari model elit (Wibawa, 1994: 8).
Model Teori Rasionalisme
Model teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan public sebagai maximum
social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang
memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Model ini dikembangkan dari model cost
benefit analysis, sebuah model yang diawali di US Corps and Engines (semacam Departemen
Pekerjaan Umum) pada tahun 1930an dalam rangka membangun bendungan dan jembatan.
Tidak dipungkiri, model ini adalah model yang paling banyak diikuti dalam praktek formulasi
kebijakan publik di seluruh dunia.
Model ini mengatakan bahwa proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada
keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah
perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain, model ini lebih
menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun
dalam urutan:
mengetahui preferensi public dan kecenderungannya,
menemukan pilihan-pilihan,
menilai konsekuensi masing-masing pilihan,
menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan,
memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Apabila dirunut, kebijakan ini merupakan model ideal dalam formulasi kebijakan, dalam arti
mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya memberikan
fokus kepada tingkat efisiensi dan keefektivan kebijakan.
Namun demikian, kebijakan ini mempunyai beberapa kelemahan pokok, yakni konsep maximum
social gain berbeda-beda di antara kelompok kepentingan. Di Indonesia, para pelaku usaha di
sektor mobil Astra dan Indomobil, misalnya berkepentingan kepada adanya proteksi sebagai
penjaga agar usahanya tetapi berjalan secara optimal, mampu memperkerjakan warga secara
maksimum, memberikan pajak perusahaan, pajak pendapatan, hingga pajak yang digerakkan
melalui pajak mobil di dalam negeri dan pajak impor mobil, sementara Bakrie dan Texmaco
berkepentingan untuk mendapatkan dukungan agar bisa mengembangkan mobil nasional yang
berkualitas dan harganya terjangkau. Pusri memerlukan harga gas kurang dari US$1/MMBTU
agar bisa memproduksi urea dengan harga jual kurang dari Rp.1.500/kg di seluruh Indonesia
agar petani mampu menjangkaunya, namun Pertamina berkeberatan sebab harga ekspor gas alam
mencapai US$3/MMBTU. Pemerintah kabupaten/kota berkepentingan agar pelaksanaan
desentralisasi segera diterapkan di tingkat kabupaten atau kota, namun provinsi berkepentingan
untuk tidak segera diturunkan karena dengan demikian koordinasi pembangunan sulit
dilaksanakan, selain karena porsi bagi provinsi akan sangat menyusut dan kehilangan control
atas kabupaten/kota.
Kedua, sangat sulit dicapai kebijakan yang maximum social gain mengingat patologi birokrasi
yang cenderung melayani diri sendiri daripada melayani publik. Kenyataan ini sulit diingkari
mengingat pegawai negeri adalah institusi yang kurang memberikan insentif yang memadai,
sehingga menciptakan kecenderungan korupsi, termasuk mengkorupsi kebijakan public. Di
Indonesia masa lalu kenyataan ini terjadi dengan menyolok, antara lain proteksi terhadap
perusahaan asing (Chandra Asri), pemberian lisensi kepada keluarga elit (Mobil Timor),
monopoli industri terigu (Kelompok Salim), hingga model-model yang lebih kecil dan tidak
tampak. Kekuasaan cenderung melestarikan dirinya sendiri, sehingga banyak cara dipakai untuk
melestarikan kekuasaan itu, termasuk dengan cara “menjual” kebijakan publik. Tidak
mengherankan jika praktisi manajemen Tanri Abeng pernah mengemukakan, pada masa itu
perusahaan lebih suka melakukan manjemen lobi (kepada penguasa) daripada menerapkan
manajemen professional, sehingga yang terbentuk adalah pengusaha-pengusaha yang besar
karena menempel dengan kekuasaan. Di zaman Soekarno terdapat sejumlah pengusaha yang
lekat dengan kekuasaan, dan sekali kekuasaan itu jatuh, keseluruhannya jatuh. Tidak banyak
berbeda dengan di zaman Soeharto.
Namun demikian, idealisme dari model rasional ini perlu diperkuat dan ditingkatkan, karena di
sepanjang sejarah kenegaraan, selalu ada negarawan-negarawan dan birokrat-birokrat
professional yang mengabdikan diri secara tulus kepada kemajuan bangsanya daripada sekadar
mencari keuntungan pribadi. Oleh karena itu, model rasional ini perlu menjadi kajian di dalam
proses formulasi kebijakan.
Model rasional ini juga dikenal dengan model “rasional komprehensif”. Ada beberapa penulis
yang memilih menggunakan konsep rasional komprehensif dengan memasukkan faktor
“Kekomprehensifan” di dalamnya. Unsur-unsur dalam model R-K tidak jauh berbeda dengan
rasional, yaitu:
Pembuat keputusan dihadapkan kepada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari
masalah-masalah lain, atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat
diperbandingan satu sama lain.
Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan
dapat diterapkan rankingnya sesuai dengan urutan kepentingannya.
Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara saksama.
Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap alternatif yang dipilih diteliti.
Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan
alternatif lainnya.
Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya, yang dapat memaksimasi
tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang digariskan. (Wahab, 2002: 19; Winarno, 2002: 75).
Pada akhirnya, model ini dihadapkan dengan kritikan bahwa para pengambil keputusan tidak
mampu merumuskan “masalah” itu sendiri, sehingga kebijakannya justru tidak rasional.
Contohnya, di Indonesia ada masalah kemiskinan, namun pemecahannya adalah membentuk
Komite Penanggulangan Kemiskinan. Demikian juga dengan masalah pupuk. Kelangkaan pupuk
karena pabrik yang tua, “ditembak” dengan cara merayonisasi distribusi pupuk. Kedua, pada
pakteknya pengambil keputusan acapkali tidak mempunyai cukup kecakapan untuk melakukan
syarat-syarat dari model ini, mulai dari analisa, penyajian alternatif, memperbandingkan
alternatif, hingga penggunaan teknik-teknik analisis komputer yang paling maju untuk
menghitung rasio untung-rugi.
Model Inkrementalis
Model inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional.
Dikatakannya, para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang disyaratkan
oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual, maupun biaya,
ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah
dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakn sebelumnya yang harus dipertahankan, dan
menghindari konflik (Wibawa, 1994: 11; Winarno, 2002: 77-78; Wahab, 2002: 21).
Model ini melihat bahwa kebijakan public merupakan variasi ataupun kelanjutan dari
kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model pragmatis/praktis. Pendekatan
ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersedian
informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif.
Sementara itu, pengambil kebijakan dihadapkan ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya.
Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya.
Pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang
pluralistik, yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan
seluruh warga.
Di Indonesia kebijakan seperti ini dapat dilihat pada kebijakan pemerintah hari ini
untuk mengambil oper begitu saja kebijakan-kebijakan di masa lalu, secarut-marut apa pun
kebijakan tersebut, seperti kebijakan desentralisasi, kebijakan kepartaian, kebijakan Letter of
Intent dengan IMF, kebijakan debt rescheduling dan seterusnya. Memang, ada juga upaya untuk
membuat kebijakan baru, namun pada kenyataannya kebijakan-kebijakan tersebut tidak tidak
mendapatkan dukungan yang memadai, seperti kebijakan pembentukkan Komite
Penanggulangan Kemiskinan yang ditujukan untuk merumuskan konsep baru penanggulangan
kemiskinan.
Kebijakan ini acapkali baik, namun di dalam dunia yang berubah dengan cepat,
kebijakan inkrementalis sama dengan menggunakan SIM A untuk mengendarai pesawat ulang
alik. Kemajuan yang terjadi acapkali membuat kebijakan-kebijakan di masa lalu cepat sekali
menjadi usang. Kejatuhan dari Orde Baru antara lain dikarenakan kebijakan yang diambil hanya
mengandalkan kepada keunggulan-keunggulan di masa lalu. Jadi, dalam tingkat tertentu,
kebijakan inkrementalis tidak saja terjadi karena keterbatasan sumber daya, melainkan juga
karena keberhasilan di masa lalu yang menciptakan rasa puas diri yang berkepanjangan
(complacent).
Model Pengamatan Terpadu (Mixed-Scanning)
Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional dengan model inkremental.
Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi, Amitai Etzioni pada tahun 1967. Ia
memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan-keputusan
pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan pokok dan urusan tinggi
yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan keputusan-
keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai. Model ini ibaratnya
pendekatan dengan dua kamera: kamera dengan wide angle untuk melihat keseluruhan, dan
kamera dengan zoom untuk melihat detailnya (Winarno, 2002: 78; Wahab, 2002: 23-24).
Pada dasarnya, model ini adalah model yang amat menyederhanakan masalah. Etzioni punhanya
memperkenalkan dalam sebuah papernya dalam Public Administration Review Desember 1967
dengan judul “Mixed Scanning: A Third Approach to Decision Making”. Namun harus diakui, di
Indonesia model ini disukai karena merupakan “model kompromi”, meski tidak efektif.
Mengkompromikan Rasional dan Inkremental dapat dilihat ketika Soekarno menggabungkan
antara “Agama” dengan “Komunisme” pada doktrinnya yang disebut sebagai Nasakom.
Jadi, meski banyak pakar memasukkan sebagai salah satu “model “, saya hanya memaparkannya
sebagai salah satu wacana yang tidak perlu kita masukkan sebagai salah satu model terpilih.
Model Demokratis
Beberapa pengajar di Indonesia belakangan ini sering mengelaborasi sebuah model
yang berintikan bahwa pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara
dari stakeholders. Pada hemat saya, model ini dapat dikatakan sebagai “Model Demokratis”
karena menghendaki agar setiap “pemilik hak demokrasi” diikutsertakan sebanyak-banyaknya.
Model ini berkembang khususnya di negara-negara yang baru saja mengalami transisi
ke demokrasi, seperti Indonesia. Gambaran sedrhana dapat diandaikan dalam sebuah proses
pengambilan keputusan demokratis dalam teori politik.
Model ini biasanya diperkaitkan dengan implementasi good governance bagi pemerintah yang
mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten dan pemanfaatan
(beneficiaries) diakomodasi keberadaannya.
Pada hemat saya, model yang dekat dengan model “pilihan public” ini baik, namun kurang
efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber
daya. Namun jika dapat dilaksanakan model ini sangat efektif dalam implementasinya, karena
setiap pihak mempunyai kewajibanuntuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan, karena
setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.
Model Strategis
Meskipun disebut “startegis”, pendekatan ini tidak mengatakan bahwa pendekayan lain
“tidak strategis”. Intinya adalah bahwa pendekatan ini menggunakan rumusan runtutan
perumusan strategi sebagai basis perumusan kebijakan. Salah satu yang banyak dirujuk adalah
John d. Bryson, seorang pakat perumusan strategis bagi organisasi non-bisnis.
Bryson mengutip Olsen dan Eadie untuk merumuskan makna perencanaan stretegis,
yaitu upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan yang penting yang
membentuk dan memadu bagaimana menjadi organisasi (atau entitas lainnya), apa yang
dikerjakan organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya)
mengerjakan hal seperti itu (Bryson, 2002: 4-5). Perencanaan strategis mensyaratkan
pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif, dan menekankan implikasi masa depan
dengan keputusan sekarang (Bryson, 2002: 5).
Perencanaan strategis lebih memfokuskan kepada pengidentifikasian dan pemecahan
isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi,
dan berorientasi kepada tindakan (Bryson, 2002: 7-8). Perencanaan strategis dapat membantu
organisasi untuk:
berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif
memperjelas masa depan
menciptakan prioritas
membuat keputusan sekarang dengan mengingat konsekuensi masa depan
mengembangkan landasan yang koheren dan kokoh bagi formulasi keputusan
menggunakan kekuasaan yang maksimum dalam bidang-bidang yang berada di bawah
kontrol organisasi
membuat keputusan yang melintasi tingkat dan fungsi
memecahkan masalah utama organisasi
menangani keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif
membangun kerja kelompok dan keahlian
(Bryson, 2002: 12-13)
Proses perumusan strategis sendiri disusun dalam lengkah-langkah sebagai berikut:
memprakarsai dan menyepakati proses perenanaan strategis yang meliputi kegiatan memahami
manfaat proses perencanaan strategis, mengembangkan kesepakatan awal,
merumuskan panduan proses,
memperjelas mandat dan misi organisasi, yang meliputi kegiatan perumusan misi dan mandat
organisasi,
menilai kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman. Proses ini melibatkan kegiatan
perumusan hasil kebijakan yang diinginkan, manfaat kebijakan, analisa SWOT (penilaian
lingkungan eksternal dan internal), proses penilaian, dan panduan proses penialain itu sendiri,
mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi. Proses ini melibatkan kegiatan-kegiatan
merumuskan hasil dan manfaat yang diinginkan dari kebijakan, merumuskan contoh-contoh isu
strategis, mendeskripsikan isu-isu strategis,
merumuskan strategi untuk mengelola isu (Bryson, 2002).
Model ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai salah satu derivate manajemen dari model rasional
karena mengandaikan bahwa proses perumusan kebijakan adalah proses rasional, dengan
perbedaan bahwa model ini leih fokus kepada rincian-rincian langkah manajemen strategis.
Model Teori Permainan

Model seperti ini biasanya di-cap sebagai model konspiratif. Sesungguhnya teori
permainan sudah mulai mengemuka sejak berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang
tersedia, karena sebagian besar dari kepingan fakta tersebut tersembunyi erat.
Gagasan pokok dari kebijakan dalam model teori permainan adalah, pertama,
formulasi kebijakan berada di dalam situasi kompetisi yang intensif, dan kedua, para aktor
berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen melainkan situasi pilihan yang
sama-sama bebas atau independen. Sama seperti sebuah permainan catur, setiap langkah yang
bertemu dengan kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif
bebas.
Model teori permainan adalah model yang sangat abstrak dan deduktif di dalam formulasi
kebijakan. Sesungguhnya model ini mendasarkan kepada formulasi kebijakan yang rasional
namun di dalam kondisi kompetitif di mana tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi hanya
ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, namun juga aktor-aktor lain termasuk yang berada “di
luar jangkauan kendali pembuat kebijakan”. Salah satu contoh adalah proses pemulihan ekonomi
Indonesia. Apabila pembuat kebijakan mempergunakan teori permainan, maka asumsinya adalah
tidak jaminan penuh keberasilan setiap kebijakan publik Indonesia untuk melakukan pemulihan
ekonomi Indonesia, karena keberhasilannya juga ditentukan oleh kebijakan-kebijakan publik
negara-negara lain. Indonesia, misalnya, berkepentingan untuk memperoleh dukungan finansial
dari IMF juga lebih berkepentingan untuk menaruh dananya untuk menyelamatkan Amerika
Latin yang mempunyai dampak ekonomi lebih buruk kepada Amerika ketimbang Indonesia,
serta penyelamatan Turki serta negara-negara eks Blok Timur sebagai bagian dari gengsi
Amerika untuk mempertahankan bahw apilihan kapitalisme lebih baik daripada komunisme.
Pemulihan Indonesia pun bergantung kepada kebijakan negara-negara tetangga di Asia Tenggara
dan Pasifik, serta negara-negara yang menjadikan Indonesia sebagai satelitnya, seperti Jepang.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kepastian bagi tenaga kerjanya ditanggapi
dengan eksodusnya investor-investor asing di Indonesia, terakhir dan yang paling menyentak
adalah hengkangnya Sony dari Indonesia.
Konsep kunci dari teori permainan adalah strategi, di mana konsep kuncinya
bukanlah yang paling optimum namun yang paling aman dari serangan lawan. Jadi, di dasarnya
konsep ini mempunyai tingkat konservativitas yang tinggi, karena pada intinya adalah
strategi defensif. Pada hemat saya, pendekatan teori permainan ini dapat pula dekembangkan
sebagai strategi ofensif terlebih apabila yang bersangkutan berada dalam posisi superior atau
mempunyai dukungan sumber daya yang memadai.
Inti dari teori permainan yang terpenting adalah bahwa ia mengakomodasi kenyatan
paling riil, bahwa setiap negara, setiap pemerintahan, setiap masyarakat tidak hidup dalam
vakum. Ketika kita mengambil keputusan, maka lingkungan tidak pasif, melainkan membuat
keputusan yang bisa menurunkan keefektifan keputusan kita. Disini teori permainan memberikan
kontribusi yang paling optimal.
Model Pilihan Publik
Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan
kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar kebijakan ini
sendiri berakar dari teori ekonomi pilihan public (economic of public choice) yang
mengandaikan bahwa manusia adalah homo economic yang memiliki kepentingan-kepentingan
yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand.
Pada intinya, setiap kebijakan public yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan
pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiaries atau customer dalam konsep bisnis).
Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian melibatkan publik melalui kelompok-
kelompok kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling
demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-
pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah pemikiran yang dilandasi
gagasan John Locke bahwa pemerintah adalah sebuah lembaga yang muncul dari kontrak
sosial di antara individu-individu warga masyarakat.
Model ini membantu untuk menjelaskan, kenapa para pemenang pemilu acapkali gagal
memberikan yang tebaik kepada masyarakat karena mereka lebih berkepentingan
kepada publiknya yaitu para pemberi suara atau pendukungnya. Model ini juga membantu kita
memahami kenapa kebijakan-kebijakan publik tempatnya selalu di tengah-tengah dari kebijakan
yang liberal maupun yang konservatif.
Model kebijakan publik, meski ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak sosial,
namun memiliki kelemahan pokok di dalam realitas interaksi itu sendiri, karena interaksi akan
terbatas pada publik yang mempunyai akses dan di sisi lain terdapat kecenderungan dari
pemerintah untuk memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas. Tidak jarang kita melihat
kebijakan public yang tampak adil namun apabila dikaji, ia hanya menguntungkan sejunlah kecil
warga atau kelompok saja. Misalnya, konsep perdagangan bebas adalah konsep yang adil, namun
keadlian itu akan lenyap apabila diterapkan dalam keadaan di mana terjadi kesenjangan antara
sebagian kecil masyarakat yang sudah kempeten dan yang jauh dari kompeten. Seperti membuat
jalan tol, namun yang memiliki mobil hanya 10% dari populasi, dan 90% sisanya bersepeda
motor, bersepeda angin, dan berjalan kaki. Model ini sesuai, namun ada ceteris paribus-nya,
yaitu apabila sudah tercapai kondisi kesetaraan yang tinggi di antara masyarakat.
Model Sistem
Pendekatan ini pertama kali oleh David Easton yang melakukan analogi dengan sistem
biologi. Pada dasarnya system biologi merupakan proses interaksi antara makhluk hidup dengan
lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil.
Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Dalam
pendekatan ini dikenal tiga komponen: input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari
pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah
dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah
(Wibawa, 1994: 7; Winarno, 2002:70).
Jadi, formulasi kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan
merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, maka
sistem politik terdiri dari input, throughtput, dan output.
Dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik berada di dalam sistem
politik dengan mengandalkan kepada masukan (input) yang terdiri dari dua hal yaitu tuntutan
dan dukungan.
Model ini merupakan model yang paling sederhana namun cukup komprehensif, meski
tidak memadai lagi untuk digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan atau formulasi
kebijakan publik.
Mana Model yang Paling Sesuai?
Dari pemetaan dua belas model tersebut kita melihat bahwa untuk merumuskan atau
mebuat kebijakan tidaklah sederhana karena paling tidak ada dua belas model dapat membantu
kita untuk malkukan tugas tersebut. Masalahnya adalah, model yang mana yang paling sesuai
dengan tugas perumusan atau formulasi kebijakan?
Landasan Teori : Evaluasi Kebijakan Publik
Dalam mengevaluasi suatu kebijakan, analis akan dihadapkan pada 3(tiga) aspek yaitu :
Aspek perumusan kebijakan, pada aspek ini analis berusaha mencari jawaban bagaimana
kebijakan tersebut dirumuskan , siapa yang paling berperan dan untuk siapa kebijakan tersebut
dibuat.
Aspek implementasi kebijakan, pada aspek ini analis berusaha untuk mencari jawaban
bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya dan
bagaimana performance dari kebijakan tersebut. Aspek ini merupakan proses lanjutan dari tahap
formulasi kebijakan. Pada tahap formulasi ditetapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan
sedangkan pada tahap implementasi kebijakan , tindakan (action) diselenggaran dalam
mencapai tujuan. Menurut Bressman dan Wildavsky (Jones, 1991) implementasi adalah suatu
proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu mencapai tujuan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan, para ahli kebijakan publik banyak menggunakan
model implementasi yang salah satunya adalah model Merilee S Grindle (1980). Medel Grindle
menyajikan 3 (tiga) komponen kelayakan yaitu : 1) tujuan kebijakan, 2) aktivitas pelaksanaan
yang dipengaruhi oleh content yang terdiri atas : kepentingan yang dipengaruhi, tipe manfaat,
derajat perubahan, posisi pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sumber daya yang
dilibatkan, dan context yang terdiri atas : kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dilakukan
pelaksana; karakteristik rezim dan lembaga; compliance serta responsiveness. Model ini
menggambarkan semua variabel yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.
Aspek evaluasi, pada aspek ini analis berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan
oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Evaluasi kebijakan menurut Samudro, dkk (1994) dilakukan untuk mengetahui : 1) proses
pembuatan kebijakan; 2) proses implementasi; 3) konsekuensi kebijakan ; 4) efektivitas dampak
kebijakan. Evaluasi pada tahap pertama, dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan
dilaksanakan, kedua evaluasi tersebut evaluasi sumatif dan formatif, evaluasi untuk tahap kedua
disebut evaluasi implementasi , evaluasi ketiga dan keempat disebut evaluasi dampak kebijakan.
Sedangkan evaluasi menurut Limberry (dalam Santoso, 1992), analisis evaluasi kebijakan
mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu kebijakan dan membahas hubungan antara cara-cara
yang digunakan dengan hasil yang dicapai.
Dengan demikian studi evaluasi kebijakan (Sudiyono, 1992) merupakan suatu analisis yang
bersifat evaluatif sehingga konsekuensinya lebih restrospeksi dibandingkan prospeksi. Dan
dalam mengevaluasi seorang analis berusaha mengidentifikasi efek yang semula direncanakan
untuk merealisir suatu keberhasilan dan dampak apa yang ditimbulkan dari akibat suatu
kebijakan.
Studi evaluasi ini mempunyai 2 (dua) pendekatan (Sudiyono,1992) yaitu :
Pendekatan kepatuhan, asumsinya apabila para pelaksana mematuhi semua petunjuk atau aturan
yang diberikan maka implementasi sudah dinilai berhasil. Kemudian pendekatan ini
disempurnakan lagi dengan adanya pengaruh : a) ekstern, kekuatan non birokrasi dalam
pencapaian tujuan, b) intern, program yang dimaksudkan untuk melaksanakan suatu kebijakan
sering tidak terdesain dengan baik sehingga perilaku yang baik dari para pelaksana (birokrasi)
tetap tidak akan berhasil dalam mencapai tujuan kebijakan.
Pendekatan perspektif, “what’s happening (apa yang terjadi). Pendekatan ini menggambarkan
pelaksanaan suatu kebijakan dari seluruh aspek karena implementasi kebijakan melibatkan
beragam variabel dan faktor.
Dalam studi evaluasi, menurut Finsterbusch dan Motz (dalam Samudro dkk, 1994) terdapat 4
(empat) jenis evaluasi yaitu :
Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan pengukuran kondisi atau
penilaian terhadap program setelah meneliti setiap variabel yang dijadikan kriteria program.
Sehingga analis tidak mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaran terhadap program.
Single program befora-after, merupakan penyempurnaan dari jenis pertama yaitu adanya data
tentang sasaran program pada waktu sebelum dan setelah program berlangsung.
Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi tidak untuk yang
pertama dan analis hanya melihat sisi keadaan sasaran bukan sasarannya.
Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain sehingga informasi yang
diperoleh adalah efek program terhadap kelompok sasaran.
Evaluasi Kebijakan Publik dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
1) Evaluasi Administratif, adalah evaluasi kebijakan publik yang
dilakukan dalam lingkup pemerintah atau instansi-instansi yang
dilakukan oleh badan-badan.
2) Evaluasi Yudisial, adalah evaluasi terhadap kebijakan publik yang
berkaitan dengan obyek-obyek hukum : apa ada pelanggaran hukum
atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Yang melakukan
evaluasi yudisial adalah lembaga-lembaga hukum seperti pengacara,
pengadilan kejaksaan dan sebagainya.
3) Evaluasi politik, pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik parlemen
maupun partai politik. Namun sesungguhnya
evaluasi politik bisa dilakukan oleh masyarakat secara umum.
Dari pembahasan tersebut maka hubungan antara hukum dan kebijakan publik didasarkan pada 2
konteks persolan, yakni :
a. Konteks tentang keadilan, ini menyangkut tentang kebutuhan masyarakat
akan rasa adil ditengah sekian banyak dinamika dan konflik ditengah
masyarakat.
b. Konteks tentang aspek legalitas, ini menyangkut dengan apa yang
dimaksud dengan hukum positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh
sebuah kekuasaan negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat
dipaksakan atas nama hukum.
Dua konteks tersebut diatas sering kali terjadi perbenturan, terkadang
hukum positif ternyata tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan, dan
sebaliknya rasa keadilan sering kali tidak memiliki kepastian hukum.
Ditengah itu maka komprominya adalah bagaimana agar semua hukum positif
yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan itu sendiri.
Berangkat dari kesadaran tersebutlah maka, selanjutnya hukum pada
dasarnya akan lebih banyak berbicara pada sekian banyak rentetan aturanaturan
yang sah dan legal. Masyarakat akan lebih banyak dikendalikan
dinamika sosialnya oleh aturan-aturan ini. Dan pada sisi ini kemudian
masyarakat moderen memunculkan gagasan tentang kebijakan publik sebagai
sebuah instrumen dalam mengendalikan masyarakat. Gagasan tentang
kebijakan publik ini bertemu dengan teori-teori moderen negara seperti good
governance dan reinventing govrenment. Maka implikasinya masyarakat yang
semakin cepat itu harus segera diikuti oleh responsifitas negara yang cepat
pula. Hukum dengan segala aspek formal dan legalnya itu terkadang di
rasakan membelenggu percepatan yang di maksud.
Landasan Teori : Kualitas Pelayanan Masyarakat
Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh pemerintah melalui aparat pemerintah,
walaupun tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, namun tetap harus mengutamakan kualitas
layanan yang sesuai dengan tuntutan, harapan dan kebutuhan masyarakat. Aparat pemerintah
harus menyadari posisi dan peran mereka sebagai pelayan masyarakat. Bila dimata masyarakat
kesan yang muncul tidak demikian, berarti pelayanan yang diterima selama ini bukanlah produk
pelayanan yang sepenuh hati, melainkan pelayanan yang didasari oleh kewajibannya sebagai
abdi negara.
Pelayanan masyarakat yang diselenggarakan pemerintah, walau tidak bertujuan untuk mencari
keuntungan (profit) namun tidaklah harus mengabaikan kualitas pelayanan yang diberikan.
Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh pemerintah melalui aparat pemerintah tetap
harus mengutamakan kualitas layanan yang sesuai dengan tuntutan, harapan dan kebutuhan
masyarakat.
Aparat pemerintah sebagai unsur pemerintah (melayani) terkait langsung dengan pelayanan
kepada masyarakat sebagai unsur lain (yang dilayani). Sikap dan perilaku serta vehicle aparat
pemerintah akan menjadi suatu ukuran keberhasilan pemerintah untuk mencapai tujuan
organisasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan harapan, dan masyarakat akan
merasa puas serta tidak mengeluh.
Karena menurut Kolter (1994:561) ada lima determinan kualitas pelayanan atau jasa yang dapat
dirinci, yaitu:
1) Keterandalan (reability) ; kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan
tepat dan terpecaya.
2) Koresponsifan (responsineness) ; kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan
jasa dengan cepat atau ketanggapan.
3) Keyakinan (confidence) ; pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka
untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau assurance.
4) Empaty (emphaty) ; syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.
5) Berwujud (tangible) ; penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi.
Dari determinan kualitas pelayanan tersebut jika kita rujuk pendapat Gaspersz (dalam Lukman,
1998:8) yang mendefinisikan dimensi kualitas pelayanan meliputi:
1) Ketepatan waktu pelayanan;
2) Akurasi pelayanan;
3) Kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan;
4) Tanggung jawab;
5) Kelengkapan;
6) Kemudahan mendapatkan pelayanan;
7) Variasi model pelayanan;
8) Pelayanan pribadi;
9) Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan; dan
10) Atribut pendukung pelayanan lainnya.
Ada banyak dimensi lain dapat digunakan untuk mengukur kualitas jasa atau layanan. Menurut
Parasuraman dkk (dalam Tjiptono, 1996:70) menentukan lima dimensi pokok kualitas jasa yaitu
:Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana
komunikasi.
Keandalan (reability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera,
akurat dan memuaskan.
Daya tanggap (responsiveness), keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan
memberikan pelayanan dengan tanggap.
Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat yang dipercaya,
bebas dari bahaya resiko atau keragu-raguan.
Empati (emphaty), melu\iputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik,
perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Hal serupa juga dikemukakan Oliver (dalam Supranto, 2001: 233) bahwa : Kepuasan adalah
tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan
harapannya. Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang
dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka pelanggan akan kecewa. Bila
kinerja sesuai dengan harapan, pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan,
pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk dari pengalaman masa lalu,
komentar dri kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya.
Merujuk pada pemikiran di atas maka kualitas pelayanan kepada masyarakat yang baik
mempunyai variabel; keandalan, jaminan, bukti langsung, mutu, kecepatan, kepuasan
masyarakat, kepercayaan terhadap pemerintah.diharapkan seluruh unsur pelayanan yang diterima
sedikitpun tidak menimbulkan keluhan bagi masyarakat yang dilayani serta masyarakat merasa
puas.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan kepada masyarakat adalah
budaya kerja melalui dimensi sikap, perilaku yang akan memberikan harapan dan kepuasan
kepada masyarakat dari hasil proses pelayanan yang mereka terima dari aparat pemerintah.
Dengan memahami pendekatan teori-teori di atas, diharapkan melalui kepemimpinan Camat
diharapkan mampu meciptakan kerja pegawai yang efektif sehingga dalam memenuhi funggsi
kepelayanannya pemerintah kecamatan yang merupakan perangkat dari pemerintah
Kabupaten/Kota dapat membaca dan memberikan keinginan, kebutuhan, dan harapan yang
dinginkan rakyat sesuai dengan prinsip-prisip yang tertuang dalam pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai