Kata formulasi dapat juga dikatakan dengan perumusan jadi formulasi kebijakan adalah perumusan kebijakan.
Merujuk Sidney (2007: 79), formulasi kebijakan merupakan bagian dari tahap awal pembuatan keputusan
kebijakan. Ini artinya, formulasi kebijakan menjadi langkah awal penting karena memberikan informasi pada para
analis kebijakan dan decision makers mengenai: Apa rencana yang akan dibuat untuk mengatasi suatu fenomena
atau masalah publik? Apa tujuan dan prioritas yang hendak dituju dari formulasi kebijakan? Apakah tersedia
alternatif alternatif kebijakan? Apa kelebihan dan kekurangan dari masing masing alternatif kebijakan yang tersedia
tersebut? dan lain sebagainya. Bukan hanya itu. Yang harus dipahami adalah perumusan kebijakan merupakan
turunan dari perumusan masalah yang telah diagendakan dalam agenda kebijakan.
Mendefinisikan Formulasi Kebijakan
Thomas (2001) pernah menyatakan dalam tulisan jurnalnya yang bertajuk "Towards a New Higher Education
Law in Lithuania: Reflections on the Process of Policy Formulation" bahwa formulasi kebijakan akan bersinggungan
1. Appraisal activity, di mana data dan bukti diidentifikasi dan digunakan untuk menjadi baseline bagi perumusan
kebijakan;
2. Dialogic activity, suatu mekanisme diskusi dan komunikasi yang dilakukan di antara para aktor pembuat
kebijakan-yang mempunyai cara pandang berbeda satu dengan lain bersinggungan dengan
Mendefinisikan Formulasi Kebijakan
3. Formulation or assessment activity, merupakan inti perumusan kebijakan yang memperhitungkan juga
lingkungan, budaya, tarik ulur kepentingan antar-aktor pembuat kebijakan, dan lainnya yang berujung pada
4. Consolidation phase, merekomendasikan satu alternatif kebijakan yang kelak dituangkan dalam produk
kebijakan publik.
Model-Model Formulasi Kebijakan
Dye dalam bukunya Understanding Public Policy (1992) setidaknya terdapat sembilan model formulasi
kebijakan, yaitu: (i) model sistem, (i) model elit, (iii) model institusional atau model kelembagaan, (iv) model
kelompok, (v) model proses, (vi) model rasional, (vii) model inkremental, (viii) model pilihan publik,
dan (ix) model teori permainan. Dalam bagian ini penulis gunakan untuk memaparkan secara garis besar
proses formulasi kebijakan berlangsung hingga menjadi sebuah keputusan yang ditetapkan sebagai produk
1. Model Sistem
Model ini sebenarnya merupakan pengembangan dari teori sistem David Easton, di mana menurutnya
bahwa suatu kebijakan tidak mungkin berwujud dalam ruang vakum, tapi ia menjadi suatu kebijakan oleh
karena interaksinya dengan lingkungan sekitar. Di bawah ini gambar formulasi kebijakan publik yang
bermodel sistem.
Model-Model Formulasi Kebijakan
2. Model Elit
Model ini hendak menjelaskan bahwa proses formulasi kebijakan publik merupakan abstraksi dari keinginan
elit yang berkuasa. Hal ini dapat dirujuk pada penjelasan teori yang dikembangkan oleh Gaetano Mosca,
Vilfredo Pareto, Guido Dorso, Robert Putnam, dan C. Wright Mills yang mengembangkan "elite theory.
Model-Model Formulasi Kebijakan
4. Model Kelompok.
Formulasi kebijakan publik model kelompok sesungguhnya abstraksi dari konflik kepentingan antar
kelompok atau antarpartai dalam parlemen atau pemerintahan ketika mereka berusaha untuk menetapkan suatu
kebijakan. Konflik ini, yang penulis sebut sebagai 'konflik konstruktif, kemudian mencari titik kesetimbangan
baru di mana pada titik baru tersebut merupakan titik kompromi antara kepentingan-kepentingan yang sedang
5. Model Proses.
Dalam model pendekatan ini, kebijakan publik dimaknai sebagai suatu aktivitas yang menyertakan
6. Model Rasional. Prinsip dasar formulasi kebijakan model ini adalah bagaimana keputusan yang diambil
oleh pemerintah harus sudah diperhitungkan rasionalitasnya atau costs and benefits nya bagi warga masyarakat
7. Model Inkremental.
Bila merujuk pada buku-buku kebijakan publik yang ada, model inkremental merupakan model formulasi
8. Model Pilihan Publik. Model ini menyatakan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah haruslah kebijakan
yang memang berbasis pada public choices (pilihan publik mayoritas). Hal ini sangat masuk akal karena dalam
konteks negara demokratis, yang mengedepankan one-man-one-vote, maka siapa yang dapat menghimpun
suara terbanyak, maka dialah yang akan menjadi pemegang kekuasaan atau dalam hal ini keputusan.
9. Model Teori Permainan (game theory). Prinsip dasar dari model ini adalah bahwa kebijakan publik berada dalam
kondisi kompetisi yang sempurna sehingga pengaturan strategi agar kebijakan yang ditawarkan pada pengambil
keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh para penentang. Dalam model teori permainan pengaturan atau
Model Rasional-Komprehensif adalah teori pengambilan atau pembuatan keputusan yang paling dikenal
dan yang paling banyak digunakan karena dianggap mampu menyediakan alternatif keputusan terbaik.
Ini karena Model Rasional-Komprehensif sering dikaitkan dengan kemampuannya dalam merencanakan dan
meramalkan keputusan terbaik sehingga dianggap paling masuk akal—yang berhubungan dengan cita rasa
scientific, engineering, dan managerialist (Weiss 1977; Torgerson 1986; Howlett & Ramesh 1995).
Model-Model Pembuatan Keputusan
Model Inkremental atau disebut juga dengan ‘model penambahan' diajukan sebagai usaha untuk
menyederhanakan Model Rasional-Komprehensif yang dianggap 'terlalu sempurna, tapi tidak mampu
menjelaskan akar masalah yang harus diselesaikannya. Dalam waktu yang sama, Model Inkremental percaya
bahwa kebijakan merupakan suatu proses pengembangan dan penyesuaian atas keputusan atau kebijakan
sebelumnya
Model-Model Pembuatan Keputusan
3. Mixed-Scanning Model
Model Mixed-Scanning dikembangkan oleh Amitai Etzioni dalam tulisannya yang diterbitkan dalam jurnal
Public Administration Review dengan judul "Mixed-scanning: A "third" approach to decision-making” (1967).
Dalam tulisan tersebut, Etzioni mengkritik Model Rasional-Komprehensif yang dianggap terlalu berlebihan
dan juga mengkritik Model Inkrementalis yang kerap mencerminkan kepentingan golongan tertentu yang
paling kuat dan terorganisir, sementara kepentingan orang yang tidak mampu terlibat aktif dalam pembuatan
Model Garbage-Can yang dikenalkan oleh Cohen et al. (1972). Model ini menilai bahwa proses pengambilan
keputusan lebih didasarkan pada nalar kebiasaan atau kelaziman, dan sedikit sekali mempertimbangkan
hal-hal terkait dengan efektivitas dan efisiensi keputusan. Sebab model ini mengasumsikan bahwa proses
pengambilan keputusan lebih sering berada dalam situasi di mana informasi tidak tersedia secara lengkap,
tujuan pengambilan keputusan kerap tidak terlalu jelas, waktu yang terbatas, dan aktor kebijakan yang terkadang