Anda di halaman 1dari 15

MEMBACA MICHAEL HOWLETT: MENUJU

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SOSIAL POSMODERN


MEMBACA MICHAEL HOWLETT: MENUJU
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SOSIAL POSMODERN
(Review Beyond Good and Evil in Policy Implementation: Instrument Mixes, Implementation
Styles, and Second Generation Theories of Policy Instrument Choice Karya Michael Howlett)

Oleh: Astar Hadi*

ABSTRAK
Selama ini, proses implementasi kebijakan seringkali bersandar pada realitas teknis
sebagai resolusi atas problem-problem sosial. Kecenderungan positivistik, market oriented,
model top-down, merupakan siklus “lingkaran setan” yang selalu memayungi setiap proses
politik (kebijakan).
Melampui semua itu, implementasi kebijakan Generasi Kedua merupakan alternatif lain
yang melampui pendekatan-pendekatan teori kebijakan yang selama ini dipakai. Bahwa model
ini berupaya mengamini kompleksitas nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, yang tidak semata-
mata jatuh pada tendensi ilmu alam yang bersifat “objective measurenment” dan analisis
rasionalitas instrumental untuk menyelesaiakan persoalan masyarakat luas. Tapi ia merupakan
kombinasi di antara berbagai pendekatan, baik yang natural atau sosial.
Dan, kebijakan postmodern, sebagai sebuah pendekatan baru, yang juga banyak
melangsir kritik kritisnya terhadap kebijakan modern yang “murni” positivistik dan teknis,
menjadi sebuah alternatif “bijak” dalam menghadapi persoalan implementasi kebijakan yang
sedemikian komples, dengan menawarkan model-model partisipatif untuk kepentingan publik
secara umum.
Kata Kunci: implementasi kebijakan, Teori Generasi Kedua, kebijakan sosial postmodern

ABSTRACT

 
Policy implementation processes are often laying on technical reality as it resolution in solving
the social problems. Positivistic minded, market oriented and top-down model are the “evil
circle” which is always happened in every political (or policy) processes. Beyond those, there is
a new alternative, so called ‘the second generation theory’ of policy implementation.

This model tries to move into social values complexity, politics, economics and any others that is
not only corrupted by natural sciences as its “objective measurenment” and it is not also
monopolied by an instrumental rationality model. 

As new public policy approach, the term ‘postmodern’ –as parallel as what Michael Howlett
called ‘the second generation theory’— vis a vis the ‘modern’ policy, tries to propose a
partisipative and democratic model to criticize positivistic and technical model.    

Keywords: policy implementation, Second Generation Theory, postmodern policy

Pendahuluan

Kajian implementasi merupakan suatu proses merubah gagasan atau program mengenai
tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Dalam
menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung (secara efektif) dapat
dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan.
Beberapa pandangan tentang model implementasi kebijakan yang dipengaruhi oloeh
ruang dan waktu yang berusaha menggambarkan proses implementasi kebijakan untuk bisa
dilaksanakan secara efektif. Misalnya pandangan yang dikemukakan Parson (1997: 463) yang
membagi garis besar perkembangan model implementasi menjadi empat tahap yaitu: pertama,
model analisis kegagalan, memandang implementasi sebagai proses interaksi antara penyususnan
tujuan dengan tindakan (Pressman dan Widalvsky: 1973); implementasi sebagai politik adaptasi
saling menguntungkan (MC Laughlin: 1975); implementasi sebagai bentuk permainan.
Kedua, model rasional (top down) untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang
mermbuat implementasi sukses; Van Mater dan Van Horn (1975) memakai pandangan bahwa
implementasi perlu mempertimbangkan isi atau tipe kebijakan; sementara Hood (1976)
memandang implementasi sebagai administrasi yang sempurna: Sebatier dan Mazmanian (1979)
melihat implementasi dari kerangka analisisnya; Grindle (1980) memandang implementasi
sebagai proses politik dan administrasi.
Ketiga, kritikan dari pendekatan buttom up terhadap model pendekatan top-down dalam
kaitannya dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi antara pemerintah dengan warganya
(Lipski 1971); implementasi sebagai proses yang disusun melalui konflik dan tawar menawar
(wetherley dan Lipski; 1977); implementasi harus memakai multiple frameworks (Elmord 1978,
1979); implementasi harus dianalisis dalam konteks institutional structures (Hjern et. Al, 1978);
implementasi merupakan proses alur (Smith, 1973).
Keempat, teori-teori hasil sintesis hybrid theories), di mana implementasi dianggap
sebagai evolusi (Majone dan Wildavsky, 1984); implementasi9 sebagai pembelajaran (Browne
dan Wildavsky 1984); implementasi sebagai policy action continuum (Lewis dan Flynn, 1978,
1979; Barrel dan Fudge, 1981); implementasi sebagai sircular leadership (Nakamura dan
Smallwood 1980); implementasi sebagai hubungan antar organisasi (Toole dan Montjoy 1984);
implementasi sebagi teori kontigensi (Alexander 1985) dan lain sebagainya.
Dari sejumlah model teoritis terhadap implementasi kebijakan di atas, bila dikaitkan
dengan dikotomi yang terjadi dalam setiap proses implementasi kebijakan yang disung oleh
“Generasi Pertama” menyebutkan bahwa pada dasarnya alat-alat pemereintah secara luas
memberi perhatian pada studi hubungan bisnis dan pemerintah dan pengaruh regulasi Negara dan
bagaimana kaitannya dengan kebijakan ekonomi/bisnis yang efesien. Dikotomi antara dua
kekuatan, pasar dan pemerintah merupakan dilemma utama yang sampai saat ini menjadi
perdebatan yang hamper –untuk tidak mengatakan keseluruhan—selesai. Indikasi ini diperkuat
oleh besarnya peran pasar, dalam hal ini sector swasta, dalam mengambil alih kebijaka-kebijakan
yang sifatnya financial.
Contoh di Indonesia, Revisi UU No. 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan dan Perburuhan
beberapa waktu yang lalu, diamini oleh sejumlah kalangan bahwa besarnya peran sektor bisnis
terhadap kebijakan ekonomi Pemerintahan Rezim SBY melampui kekuatan-kekuatan yang
seharusnya melibatkan sektor pemerintah, sipil dan swasta. Indikasi ini memperkuat adanya
hubungan ‘TTM’ (teman tapi mesra) yang dijalankan pemerintah dan pelaku ekonomi dengan
mereduksi peran buruh dan rakyat sipil pada posisi yang periferial. Inilah yang kemudian dikenal
sebagai model top-down dalam proses implementasi.
Sementara itu, dalam paper berjudul Beyond Good and Evil in Policy Implementation:
Instrument Mixes, Implementation Styles, and Second Generation Theories of Policy Instrument
Choice, yang ditulis oleh Michael Howlett, menegaskan bahwa sudah saatnya bagi para praktisi
dan akademisi untuk melalmpui batas-batas antara yang baik dan buruk dalam memberikan
penilaian terhadap pilihan intrumen dan rekomendasinya terhadap seleksi instrument dalam
implementasi kebijakan. Menurut Howlett, dalam proses implementasi kebijakan, kita harus
beranjak dari dikotomi-dikotomi atau bahkan trikotomi tersebut dengan menunjuk pada
hubungan yang berkelindan antara alat-alat kebijakan alternative itu sendiri.
Oleh karena itu, masih menurut Howlett, desain kebijakan yang inovatif menuntut bahwa
parameter-parameter pilihan instrument yang ada harus benar-benar dipahami, supaya mampu
mengurangi resiko gagalnya sebuah kebijakan dan untuk meningkatkan kemungkinan suksesnya
kebijakan itu sendiri.

Melampui yang Baik dan Buruk: Sebuah Kritik Terhadap Kelemahan Teori Generasi
Pertama

Apa yang kita pahami dengan melampui implementasi kebijakan yang buruk? Bahwa
para pakar yang masuk dalam lingkaran teori generasi kedua menegaskan bahwa dalam proses
implementasi kebijakan dibutuhkan suatu bentuk desain yang tepat berupa instrument campuran.
Teori generasi kedua berusaha memfokuskan diri pada sejumlah kecil kunci dasar implementasi
yang berwujud pendekatan “pisau bedah” terhadap penggunaan instrument kebijakan tersebut,
yaitu:
1. Pentingnya mendesain kebijakan yang melibatkan suatu campuran instrument kebijakan
yang dipilih secara hati-hati untuk menciptakan interaksi positif satu sama lain dan untuk
merespon pada yang sifatnya khusus/particular, yaitu sector kebijakan yang bergantung
pada konteks implementasinya
2. Pentingnya mempertimbangkan cakupan isntrumen kebijakan yang luas ketika
merancang campuran tersebut daripada mengasumsikan bahwa suatu pilihan harus dibuat
di antara regulasi dan pasar  (Sinclair 1997).
3. Dalam konteks tekanan berkelanjutan pada pemerintah untuk mengerjakan yang lebih
dengan yang sedikit,perlu mengupayakan penggunaan instrument berbasis insentif,
perlunya beraneka bentuk regulasi yang dilakukan oleh industri itu sendiri, dan perlunya
kebijakan-kebijakan yang bisa melibatkan pihak ketiga secara komersial dan non-
komersial untuk mencapai pemenuhan, seperti misalnya para supplier dan pelanggan.
4. Pentingnya mencari jaringan kerja baru yang sesuai dengan instrument kebijakan
procedural yang ditekankan dalam menghadapi tantangan-tantangan pemerintahan.
Instrument kebijakan “generasi selanjutnya”, semisal instrument informasi, dan beraneka
teknik jaringan kerja manajemen misalanya dengan menghadirkan komite penasehat dan
konsultan public dalam keadaan tertentu menjadi cukup penting di sini (Gunningham dan
Sinclair 2002).
Empat poin yang menjadi landasan dari teori generasi kedua menunjukkan bahwa dalam
setiap proses implementasi kebijakan dituntut untuk lebih fleksibel, inovatif, adaptif dan
interpretative sehingga tujuan suatu kebijakan dapat singkron cara mencapai tujuan tersebut
serta kelompok sasarannya.
Di samping itu semua, dapat dipahami bahwa formulasi kebijakan adalah proses yang
terintegrasi dengan implementasi dan evaluasi sehingga membentuk sebuah siklus yang
menyebabkan tidak jelasnya batas-batas antara formulasi, implementasi dan evaluasi.
Terkait dengan penjelasan di atas, para pakar Teori Generasi Kedua mensinyalir bahwa
model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh Generasi Pertama cenderung
menyederhanakan pilihan instrument dalam wilayah politik hanya pada batas-batas
generalisasi antara penggunaan dan desain instrument semata tanpa melihat kompleksitas
proses implementasinya. Hal ini bisa dilihat pada bentuk penilaian dikotomis terhadap proses
implementasi kebijakan ekonomi yang cenderung mengidentifikasi “kegagalan pasar”
dengan serta merta menjatuhkan vonis bahwa pasar tidak sanggup berjalan tanpa adanya
intervensi dari pemerintah.
Dari sini dapat di jelaskan bahwa model implementasi yang merujuk pada penilaian “baik
dan buruk” justeru tidak mampu menyelasaikan persoalan publik yang sangat kompleks.
Artinya, alih-alih menghasikan model implementasi yang “ideal.” Teori Generasi Pertama
cenderung menyikapi problem implementasi secara reaksioner, yaitu melihat setiap tindakan
implementasi hanya pada permukaannya saja tanpa merespon “sesuatu” yang berada dibalik
“kegagalan” implementasi itu sendiri. Sehingga, permasalahan sebenarnya yang
mengakibatkan “buruknya” implementasi kebijakan publik tidak bisa diselasaikan.
Lebih-lebih, logika yang digunakan dalam setiap proses implementasi cenderung pada
hitungan “cost-benefit” dan melulu menyangkut hitungan “kalkulus politik” dan
“kepentingan ideologis” kelompok/partai tertentu yang justeru tidak mampu memberi
manfaat bagi publik. Howlett menulis:

First generation studies of policy instruments conducted by political scientists thus


tended to be motivated precisely by the desire to understand what economists assumed
the rationale for policy instrument choice. public policy makers were not generally
thought to be driven by question of theoretical purity -especially when, as is the case with
economic theory, the theory is contested -but rather by a more overt political calculus of
electoral or ideological cost and benefit
 

Generasi Kedua: Mengamini Fleksibilitas Implementasi


 
Beranjak dari kelemahan generasi pertama yang hanya terfokus pada model instrument
kebijakan “tunggal” yang bersifat vis a vis, Howlett menyandarkan analisisnya pada model
anlisis implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh generasi kedua. Di mana, dalam
model ini, instrumen dikotomis digantikan dengan model yang melibatkan aspek
komplementer dan aspek konflik di dalam instrument campuran dan mengadopsi pendekatan
yang lebih fleksibel dan tidak (terlalu) ideologis.  Mengapa harus melibatkan aspek
komplementer dan aspek konflik? dan mengapa harus menggunakan pendekatan yang lebih
fleksibel?
Howlett menegaskan bahwa pentingya mencari menu altrnatif dalam menentukan pilihan
instrument tidak terlepas dari perubahan budaya politik secara terus menerus dan perkembangan
teknologi informasi (information technology) yang, mau tidak mau, merubah –meminjam istilah
Immanuel Kant— kategori imperatif (categorical imperative) dari model-model tradisional
menuju desain kebijakan yang inovatif dan serba kompleks.
Senada dengan Howlett, Berman menandaskan, dengan memandang implementasi sebagai
pertautan antara strategi implementasi dan situasi kebijakan serta dampak kebijakan bergantung
pada interaksi antara strategi implementasi serta berbagai kendalanya, maka hendaknya strategi
implementasi dirancang-bangun berdasarkan situasi dan kendala-kendala tersebut (Berman,
1980).
Dalam hal ini, Berman menawarkan dua macam strategi implementasi kebijakan, yaitu
“programmed and adaptive” yang didasarkan pada “situational parameter”. Menyangkut
situational parameter strategi implementasi ini Berman lantas menjelaskan bahwa, jika situasi
kebijakan dicirikan oleh konteks implementasi kebijakan yang disepakati bersama dan konflik
yang kecil maka pendekatan programmed menjadi relevan. Sementara jika situasi kebijakan
berbanding terbalik, yaitu terjadinya konflik yang besar antara anggota dari system implementasi
dan tidak adanya struktur koordinasi terpecah-pecah serta ketika lingkungan implementasi tidak
stabil, maka pendekatanadaptive cocok untuk strategi implementasi ini.
Lebih jauh, apabila situasi kebijakan sudah sedemikian kompleks dan situational
parameter-nya tidak bisa diidentifikasi dengan jelas, baik Berman maupun Howlett,
menyarankan untuk dipilah-pilahnya situasi dan lingkungan kebijakan dalam konteks yang lebih
kecil sehingga “mixed strategic approach” dalam masing-masing situasi dapat diterapkan.
Dengan demikian, situasi kebijakan pada level pemerintahan dapat saja berbeda
sehingga menuntut strategi yang berbeda pula. Artinya, pendekatan atau strategi yang fleksibel
sangat diperlukan sesuai dengan situasi dan level organisasi di mana implementasi itu
berlangsung.

Dari Modernisme Menuju Posmodernisme: Sebuah Kritik Kebijakan

Apa yang membedakan kebijakan postmodern dari kebijakan modern? Merujuk pada
perkembangan dalam administrasi publik berawal dari tiga pandangan hirarkhis Administrasi
Publik Lama (Old Public Administration) vis a vis Manajemen Publik Baru (New Public
Management). Pertama, administrasi public ortodok (lama) yang dimotori oleh Woodrow
Wilson, Frederick Taylor, Luther Gullick dan Herbert Simon. Menurut mereka, administrasi
public netral dari nilai-nilai, yang dalam banyak hal, terkait dengan model normative. Di mana,
model normative menunjuk pada apa yang seharusnya dilakukan seorang administrator dalam
merumuskan kebijakan public. Dalam hal ini, khususunya dalam hubungannya dengan proses
politik (atau kebijakan), persoalan efisiensi (yang dilawankan dengan sifat responsifitas proses
kebijakan/politik) merupakan criteria utama dalam menilai suatu kerja administrative. Di
samping itu, desain publiknya bersifat system tertutup (closed system) dengan menyandarkan
pada control tunggal eksekutif sebagai otoritas tertinggi yang beroperasi secara top-down.
Sementara fondasi teoritis utama yang digunakan oleh penganut aliran Administrasi Publik Lama
adalah teori pilihan rasional (rational choice theory).
Kedua, kritik terhadap model normative aliran Administrasi Publik Lama, yang
dianggap sebagai sebuah model yang tertutup. Para ahli teori dan praktisi, seperti Marshall
Dimock, Robert Dahl, dan –yan termasyhur— Dwight Waldo, menganggap model normative
tidak memberikan ruang gerak yang luas bagi adanya keterbukaan, tidak adanya partisipasi
public oleh karena modelnya yang sangat sentralistik, yang terpusat pada satu otoritas dan
bersifat top-down. Walaupun demikian, kritik terserbut hanya bisa diterima dalam situasi tertentu
karena ide-ide kritis mereka “tenggelam” oleh model yang berlaku ketika itu, dan, secara umum
mereka tetap patuh pada model normative tersebut.
Ketiga, pada perekembangan selanjutnya dikenalakan model alternative terhadap birokrasi
tradisional dengan memasukkan unsur-unsur bisnis yang sifatnya privat untuk urusan-urusan yang
sifatnya public, yang kemudian dikenal dengan aliran Manajemen Publik Baru (New Public
Management). Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Todd Gaebler dan David Ousborne
dengan karya monumentalnya, yaitu Reinventing Government. Model ini menawarkan mekanisme pasar
atau ekonomi sebagai alternative “terbaik” dalam mendesain dalam melaksanakan kebijakan publik.
Dalam rekomendasi awal, ada semacam komitmen teoritis bahwa yang penting untuk
menyelenggarakan desain dan implementasi (kebijakan) publik adalah ide tentang teori pilihan public
(public choice theory), teori agency (agency theory), yang secara umum berpusat pada model okonomi.

Pada kenyataannya, baik model Administrasi Publik Lama maupun Manajemen Publik Baru memiliki
banyak kesamaan, terutama pada tingkat ketergantungan dan komitmen yang sama pada model-
model pilihan rasional. Pertanyaan utama yang kemudian muncul adalah, apakah struktur insentif
cukup tepat dalam rangka mengobati atau mendamaikan suatu korporasi/kerja sama atau bahkan
komplain-komplain yang muncul dari pegawai/pekerja rendahan?
Berbeda dengan dua mainstream Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru yang
berakar pada gagasan tentang pilihan rasional, alternative terbaru yang sampai saat ini secara massif
diwacanakan, yaitu Pelayanan Publik Baru (New Public Service). Ada empat wacana kontemporer yang
menjadi focus dari aliran ini, yaitu: (1) teori tentang kewarganegaraan demokratis, (2) model-model
komunitas dan masyarakat sipil, (3) humanisme organisasi, dan (4) administrasi public postmodern.

Lantas, apa kaitan antara ketiga aliran di atas, bila dibawa pada wilayah perdebatan
antara kebijakan yang lekat pada watak modernisme di satu sisi dan posmodernisme di sisi lain?
Dari penjelasan singkat soal perkembangan teoritis administrasi publik di atas, pendekatan
(kebijakan) modern oleh sejumlah pakar disematkan pada model kebijakan dalam Administrasi
Publik Lama dan Manajemen Publik Lama yang bersandar pada teori pilihan rasional, pilihan
ekonomis, rasionalitas instrumental (dalam bahasa Max Webber) dan atau rasionalitas
teknokratis-teknologis dalam bahasa Jurgen Habermas. Dalam hal ini, seperti halnya kritik
Habermas, domain modernisme memandang hampir setiap persoalan sosial selalu menggunakan
pendekatan yang positivistik –bersandar pada logika ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang
dikenalkan Bapak Sosiologi Auguste Comte— dalam membaca dan menyelesaikan persoalan
sosial yang begitu kompleks.
Paralel dengan pendekatan positivisme, modernisme menyandarkan klaim universal
bahwa ilmu-ilmu sosial bisa dipahami dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan
pendekatan yang digunakan dalam ilmu alam. Dalam pengertian lain, fakta-fakta sosial atau
kehidupan organisasional bisa dipisahkan dari nilai-nilai, norma dan moral; bahwa peranan ilmu
memfokuskan dirinya pada fakta ketimbang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Sementara itu, Pelayanan Publik Baru dipahami sebagai alur dari wacana (kebijakan)
postmodern. Inti dari kebijakan postmodern terletak pada spirit utama dalam filsafat administrasi
publik, bahwa yang paling penting dalam setiap proses politik (kebijakan) adalah bagaimana
kebijakan tersebut efektif dan partisipatif. Dalam melihat kehidupan sosial, kebijakan
postmodern memandang, baik fakta ataupun nilai sangat sulit untuk dipisahkan, alih-alih, dalam
banyak kasus, persoalan nilai ternyata lebih berharga ketimbang fakta-fakta dalam memahami
tindakan manusia. “… postmodern public administration theorist have a central commitment to
the idea of “discourse”, the notion that public problems are more likely resolved through
discourse than through “objective” measurenment or rational anlysis” (Mc Swite 1997, 377).
Administrasi publik posmodern memandang, ide tentang diskursus menunjuk pada pentingnya
konstelasi pertarungan wacana social sebagai sikap kritis terhadap dinamika publik yang kompleks
untuk disikapi secara arif oleh para penntu kebijakan. Bahwa diskursus memandang administrator
dan warga negara saling terlibat satu sama lain, tidak hanya sebatas pada hubungan kepentingan
pribadi yang rasional, lebih-lebih mereka terlibat sebagai partisipan yang membangun relasi layaknya
antar sesama manusia.

Dalam konteks pelayanan publik (public service), diskursus berarti suatu bentuk pelayanan publik
yang mengakomodasi “pertarungan” wacana publik sebagai agenda setting para pembuat kebijakan
(stakeholders) terhadap problem-problem yang ada melalui proses tindakan komunikasi aktif dengan
warganegara tanpa adanya dominasi sepihak.

Seperti diungkapkan Wahab (1998), penggunaan nomenklatur pelanggan atau konsumen dalam
konteks pelayanan publik mengandung makna bahwa hakikat dan pendekatan dalam pemberian
pelayanan publik yang semua berkiblat pada kepentingan birokrasi (bureacratic-oriented) atau
berorientasi pada produsen (producer-oriented) berubah menjadi berorientasi pada
konsumen   (consumer-driven approach). Mengikuti Pollitt (1988:86), Wahab menegaskan,
bahwa tujuan utamanya bukan sekedar untuk menyenangkan hati para penerima pelayanan
publik, melainkan untuk memberdayakan mereka. Sebab, orientasi kearah pelayanan publik yang
lebih baik (better public service delivery) juga mencerminkan penegasan akan arti penting posisi
dan perspektif para pengguna dalam sistem pelayanan publik tersebut. publik tidak hanya
diperlakukan sebagai obyek (sebagai klien jasa pelayanan semata), tetapi juga sebagai
warganegara yang aktif (active citizen). Bagi pembuat kebijakan dan administrator publik (pada
semua level) perspektif demikian membawa konsekuensi mendasar atau berupa kewajiban ganda
yang harus mereka pikul sebagai perwujudan akuntabilitas kepada publik (lihat Abdul Wahab,
1998).

Ada beberapa crucial point yang membedakan antara kebijakan postmodern dari


kebijakan modern, yaitu:
1. Serve citizens, not customer: kepentingan public merupakan hasil dialog bersama tentang
nilai-nilai kebersamaan ketimbang agregasi kepentingan pribadi setiap individu. Oleh
karena itu, pelayan public tidak hanya respon terhadap permintaan “pelanggan” akan tetapi
lebih focus pada hubungan-hubungan saling percaya dan kolaborasi aktif dengan dan antara
warga Negara.
2. Seek the public interest: administrator public harus berkontribusi untuk membangun
kolektifitas terhadap kepentingan public. Tujuannya tidak ditujukan untuk memperoleh
solusi yang cepat yang (hanya) dimotori oleh pilihan pribadi. Lebih dari itu, adanya kreasi
kepentingan dan pertanggungjawaban yang lahir atas dasar nilai-nilai saling berbagi.
3. Value citizenship over entrepreneurship: kepentingan public lebih baik jika dijalankan
dengan komitmen pelayan public dan warga Negara dalam menciptakan kontribusi yang
bermakna terhadap masyarakat daripada dikemudikan oleh manajer wira usaha yang lebih
banyak bertindak sebagai “uang” public yang sifatnya kembali pada kepentingan pribadi
manajer tersebut.
4. Think strategically, act democraticly: kebijakan dan program yangmempertemukan
kebutuhan-kebutuhan public akan sangat efektif dan responsible jika dicapai malalui upaya
kolektif dan proses kolaboratif.
5. Recognize that accountability is not simple: pelayan public seharusnya memiliki atensi
yang lebih besar dari pasar; mereka juga bergerak berdasarkan hukum dan undang-undang,
nilai komunitas, norma politik, standar professional dan pada kepentingan warga Negara.
6. Serve rather than steer: sangat penting bagi pelayan public untuk bekerja berdasarkan jiwa
kepemimpinan yang berbasis nilai untuk membantu warga Negara dalam
mengartikulasikan dan memperoleh kepentingan mereka ketimbang upaya untuk
mengontrol dan menyetir masyarakat dalam tujuan-tujuan baru.
7. Value people, not just productivity: organisasi public dan jaringan di mana mereka
berpartispasi akan memberi hasil jangka panjang yang baik jika saja mereka bekerja
melalui proses-proses kolaboratif dan memimpin berdasarkan rasa hormat terhadap seluruh
masyarakat.
Bila kebijakan Posmodern ini dikaitkan dengan pandangan Howlett soal implementasi
kebijakan, maka dapat dipahami bahwa teori Generasi Kedua beranjak pada wilayah yang tidak
lagi melihat pada batas-batas “baik dan “buruk” suatu kebijakan sosial. Artinya, menurut
Howlett, Generasi Kedua mencanangkan model implementasi kebijakan yang mendekontruksi
dikotomi tersebut pada suatu pemahaman yang tidak bersifat teknis semata dan tentunya, harus
mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik sebagai pilihan instrumennya.
Dari sini, menurut hemat penulis, Howlett memandang Generasi Kedua pada fokusnya
pada model implementasi kebijakan yang tidak lagi terjebak pada mekanisme pasar dan atau
orientasi ortodoks “campur tangan” pemerintah, akan tetapi yang dikedepankan adalah
mempertemukan berbagai kepentingan sosial warga Negara, kelompok komunitas, pihak swasta,
dan sebagainya, sebagai bagian dari sasaran implementasi kebijakan yang partisipatif, responsive
dan demokratis. Pada titik ini, Pelayanan Publik Baru atau Kebijakan sosial postmodern menjadi
“pengantin” baru bagi teori Generasi Kedua yang, pada dasarnya tetap memandang penting
model-model Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru dengan
mendekonstruksinya pada wilayah yang tidak melulu positivistik, teknis, teknokratis, akan tetapi
melingkupi berbagai dimensi kebijakan sosial yang multikompleks.
Dalam proses implementasi kebijakan yang hanya mengikuti logika ilmu-ilmu alam,
maka model implementasinya akan cenderung mengalami sentralitas pengukuran dari atas (top-
down) yang seringkali bersifat memaksa untuk menyeragamkan semua konteks dan lingkungan
tanpa mengindahkan situasi sosial yang sebenarnya. Pada fase ini, implementation gap sangat
mungkin terjadi. Pendekatan kebijakan dan implementasi yang demikian itu seringkali
menghadapi berbagai kendala dan ganjalan. Artinya, dengan memaksakan model dan pendekatan
yang seragam berdasarkan kalkulasi matematis semata, ternyata menimbulkan ketergantungan
bahkan matinya inisiatif masyarakat lokal yang disebabkan oleh hilangnya ruh nilai-nilai
lokalitas mereka. Masyarakat yang semestinya dipandang sebagai modal utama (social capital) –
meminjam Francis Fukuyama— dalam kebijakan pembangunan, justru menjadi ajang
pemubaziran. Kebijakan BLT (bantuan tunai langsung) pada pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla saat ini merupakan contoh implementasi kebijakan sosial yang justru
tidak mampu memberikan semangat pemberdayaan, alih-alih, ia justru “mengajarkan”
ketergantungan masyarakat untuk memperoleh sesuatu secara instan. 

Penutup: Menuju Implementasi Kebijakan Sosial Posmodern

Semangat dari Ilmuwan Generasi Kedua adalah semangat postmodern. Bahwa dalam era era globalisasi
media yang ditandai dengan laju percepatan lalu-lintas informasi dan teknologi komunikasi, situasi yang
tidak menentu dan serba kompleks, merupakan cirri khas dari paradigma postmodern yang melihat
wajah dunia sebagai “fluidity, uncertainty, ambiguity, and discontinuity …organization boundaries are
blurred with the development of partnership and joint ventures, sub-contracting and peripherial
workforces, and social and technology –based network” (Buchanan dan Badham, 1999). Sehubungan
dengan proses kebijakan dalam situasi seperti ini, masih Buchanan dan Badham, mengemukakan: “in
conditions of high uncertainty, when decisions are unstructured, or unprogrammable, difficult choice are
typically resolved by political means… large and complex organization, reasonable people are also likely
to disagree about means and ends, and are also likely to fight (figuratively speaking) for what they
believe.” Desain implementasi kebijakan dan program pembangunan yang dibutuhkan dalam keadaan
seperti ini adalah organisasi yang di dalamnya memungkinkan untuk lebih reponsifnya organisasi dalam
menyikapi berbagai isu yang sedang merebak (Zauhar, 1993).
Seperti halnya Teori Generasi Kedua, dalam wilayah Adminitrasi Publik, kritik utama
posmodernisme terhadap modernisme adalah pada proyek rasionalismenya, khususnya teori pilihan
rasional berbasis pasar (rational choice theory) dan keahlian teknokratis. Melampui model “baik dan
buruk” dalam implementasi kebijakan, komitmen utama teori postmodern terletak pad ide tentang
“wacana” ketimbang pada objektivitas pengukuran atau analisis rasional terhadap resolusi
(penyelesaian) persoalan-persoalan public (Mc. Swite, 1997; 377 dalam Denhardt). Bahwa wacana
otentik yang ideal melihat administrator dan warganegara saling terlibat satu sama lain, tidak semata-
mata mendasarkan pada sebatas kepentingan pribadi tiap individu secara rasional, akan tetapi sebagai
partisipan yang saling terlibat satu sama lainnya. Hubungan individu tidak dilihat hanya pada ukuran-
ukuran rasional (untung-rugi) akan tetapi bersifat eksperensial, intuitif dan emosional.

Walau demikian, model implementasi kebijakan sosial postmodern tetap sulit untuk
didefinisikan secara tegas karena wilayahnya yang terlalu kompleks, penuh ambiguitas, tidak pasti dan
formasi sosial-organisasional di dalamnya tidak bisa diprediksi. Demikian halnya kelemahan yang
dihadapi oleh Ilmuwan Generasi Kedua. Howlett (hal. 6) mengatakan:

“… it has become more and more apparent to many observers that the kind of precision
recquired for such maximizing instrument choices will never be achieved, not just
because of poorly defined, ambiguous, decision-making circumstances and information
asymmetric bet, more fundamentally, because the utility of the instruments themselves,
and hence the calculation of their attractiveness, is heavily context dependent…”.  

Di balik itu semua, alternatif kebijakan sosial posmodern –seperti halnya konsep filsafat politik posmodern— menawarkan pentingnya
“wacana” yang mengedepankan implementasi kebijakan sosial yang bersumber pada akomodasi budaya lokal. Di mana, bentuk
implementasi kebijakan terkait dengan adanya proses deliberasi demokrasi dalam bentuk partisipasi dan tindakan komunikasi aktif setiap
warga negara dalam ruang publik yang bebas dominasi.

Daftar Pustaka

 
Berman, Paul. 1980. “Thinking about Programmed and Adaptive Implementation: Matching
Strategies to Situations”, dalam Ingram dan Mann (Eds.). 1980. Why Policies Succeed or
Fail. London Sage Publication.

Buchanan, Dave and Badaham, Richard. 1999. Power, Politics and Organizational Change:
Winning the Turf Game. London , Thousand Oak, New Delhi . Sage Publication.

Denhardt, J.V. dan Denhardt, R.B. Tanpa Tahun. The New Public Service

Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Comunicative Action. Boston . Beacon Press.

Hardiman, F. Budi. 2003. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta . Kanisius

Howlett, Michael. 2004. “Beyond Good and Evil in Policy Implementation: Instrument Mixes,
Implementation Styles, and Second Generation Theories of Policy Instrument
Choice”. www.google.com

______ and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy: Policy Cucles and Policy
Subsystems. Toronto, New York ,Oxford . Oxford University Press.

John B. Cobb, Jr. 2005. “Kebijakan Sosial Posmodern” dalam David Ray Griffin (Ed.) Visi-visi
Posmodern: Spritualitas dan Masyarakat. Pustaka Filsafat.

Kellner, Douglas. “Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical


Intervention.”http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html
 

Osborne,  David  and  Ted  Gaebler.  1992. Reinventing Government: How the Entrepreneural


Spirit Is Transforming the Public Sector from Schoolhouse to Statehouse. City hall to Pentagon.
Reading, MA: Addison Wesley.

Paskarina, Caroline. “Dilema Ruang Publik dalam Demokratisasi.” Bandung Institute of


Governance Studies. Edisi 07 / III / Oktober-Nopember 2005.

Wahab, Solichin Abdul. 1998. Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan yang
Responsif dan Berkualitas. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.

______ “Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam perspektif teori Governance.” Makalah untuk
Pengukuhan Guru Besar untuk Ilmu Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Brawijaya Malang. 2000.

Zuhar, Soesilo. 1993. Administrasi Program dan Proyek Pembangunan. Malang. IKIP Malang

* Astar Hadi adalah alumni Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UMM yang sedang menempuh studi pada Program
Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, Program Studi Ilmu Administrasi Publik, konsentrasi Kebijakan
Publik, dan penulis buku Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Mark Slouka terhadap Jagat Maya, LKiS,
Yogyakarta, 2005.
Posted by Astar Hadi in 00:49:37

Anda mungkin juga menyukai