Anda di halaman 1dari 34

MODEL DAN PENDEKATAN TEORETIK KEBIJAKAN PUBLIK

Kita telah mendiskusikan panjang lebar mengenai definisi kebijakan publik di bab pertama. Masing-masing
definisi yang kita bicarakan, tentu saja mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Namun
setidak-tidaknya, definisi-definisi tersebut memberi gambaran awal mengenai apa yang dimaksud dengan
kebijakan publik. Pada Bab Ketiga ini kita akan membahas pendekatan-pendekatan dan model-model yang
dapat digunakan untuk melakukan analisis kebijakan publik. Namun sebelum itu, kita akan membedakan
terlebih dahulu antara apa yang dimaksud dengan pem-buatan keputusan (decision making) dan pembuatan
kebijakan (policy making), sesuatu yang tidak dilakukan dengan jelas oleh para peminat kebijakan publik.

Seperti telah disinggung sebelumnya, suatu kebijakan adalah "arah tindakan yang mempunyai tujuan yang
diambil oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan." Pembuatan
kebijakan secara khusus mencakup suatu pola tindakan yang membutuhkan cukup banyak waktu dan meliputi
banyak keputusan, baik yang 'rutin maupun tidak. Sedangkan pembuatan keputusan mencakup pilihan suatu
alternatif dari banyak alternatif yang berbeda. Oleh karena itu, teori-teori pembuatan keputusan lebih
berhubungan dengan bagaimana pilihan-pilihan se-perti itu dibuat. Dengan demikian, pembuatan keputusan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembuatan kebijakan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
pembuatan keputusan merupakan hasil dari kebijakan yang telah dibuat mengingat kebijakan bukan
merupakan keputusan yang berdiri sendiri. Kebijakan luar negeri Indonesia mi-salnya, akan diikuti oleh
keputusan-keputusan yang mendukung arah kebijakan tersebut. Masing-masing keputusan yang dibuat oleh
Kememerian Luar Negeri didasarkan pada berbagai macam faktor yang saling memengaruhi namun masih
dalam bingkai kebijakan politik luar negeri Indonesia.

Namun demikian, beberapa ilmuwan yang mengkaji teori kebijakan publik tidak membedakan secara tegas
antara teori pembuatan kepurusan dengan model-model perumusan kebijakan publik. James Anderson I
misalnya, memasukkan teori rasional kornprehensif, teori inkrememalisme dan teori mixed scalming ke dalam
teori pembuatan keputusan, sedangkan teori sistem, teoti kelompok, teori elite, maupun teori peran sena warga
negara sebagai model pendekatan yang dapat digunakan umuk mengkaji kebijakan publik. Sememara di sisi
yang lain, ilmuwan, sepeni Thomas R Dye menggabungkan teori inkrememalisme, rasional komprehensif, teori
elite, teori kelornpok, maupun teoti sistem sebagai perspektif yang dapat digunakan untuk mengkaji kebijakan
publik. Di sini Dye tidak membedakan secara tegas antara model, perspekrif maupun pendekatan. Ketiganya
digunakan umuk saling mempertukarkan satu dengan yang lain. Demikian juga yang dilakukan Charles O.
Jones yang mengemukakan empat perspektif yang dapat digunakan untuk mengkaji kebijakan publik, yakni:
rasionalis, inkrememalis, technician, dan reformis.
Pandangan yang agak berbeda dalam membedakan model dan pendekatan diberikan oleh Lester" dan
Stewart. Kedua penulis ini membedakan model dan pendekatan secara terpisah. Menurut Lester dan Stewart,
ada 9 pendekatan teoretik dalam analisis kebijakan publik (akan dibahas dalam bagian tersendiri dalam bab
ini). Sedangkan beberapa model yang bisa dipakai dalam melakukan studi kebijakan publik rneliputi: model
elitis, model pluralis, dan neo-pluralis. Kedua penulis ini juga menarnbahkan tipe-tipe model kebijakan yang
secara umum dibedakan antara modelnormatif dengan model deskriptif, model kasar (hard model) dengan
model halus (soft model). Perbedaan amara model deskriptif dengan model normatif dapat dilihat dari tujuan
masing-masing model. Pada model deskriptif rujuan yang ingin dicapai adalah menjelaskan atau
mem-prediksikan penyebab dan konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari pilihan-pilihan kebijakan,
sedangkan dalam model normatif, tujuan yang ingin dicapai tidak hanra menjelaskan atau membuat prediksi
terhadap penyebab maupun konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari pilihan-pilihan kebijakan yang
diambil, tetapi juga menyediakan aturan-aturan dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa
nilai yang ingin diraih. Sementara itu, pembedaan antara tipe model "kasar" dengan model "halus" dapat
dijelaskan sebagai berikut. Model kasar lebih merujuk pada "fenomena aktual yang disimbolkan", sedangkan
model halus lebih merujuk pada representasi teoretik murni atau masalah hipotetis konseptual yang
menyangkut karakteristik-karakteristik yang dibayangkan dari objek peristiwa yang menjadi titik perhatian kita.

Dari uraian beberapa penulis yang disebutkan di atas menjadi sangar jelas bahwa masing-masing penulis tidak
membedakan secara ketat untuk masing-masing konsep yang dipakai. Ini menunjukkan adanya
ketidaksepakatan di antara para ahli dalam mengkaregorisasikan teori, model maupun pendekatan. Namun
tentunya kita tidak perlu terjebak ke dalam persoalan seperti ini, sebab yang paling penting dalam pembahasan
ini adalah manfaat yang dapat kita peroleh dalam mencari "alat" untuk memudahkan kita dalam mengkaji
kebijakan publik.

Dalam pembahasan bab ini kita akan berusaha membahas model dan pendekatan secara terpisah.
Pembahasan model dan pendekatan dalam bab ini didasarkan pada be-berapa penulis seperti Anderson
(1975), Thomas R. Dye (1975), Myung S. Park (1976), Charles O. Jones (1984), Amir Santoso (1988), dan
James P Lester dan Joseph Stewart (2000). Dari masing-masing pengelompokan yang dilakukan oleh penulis-
penulis tersebut kemudian dicari sintesis dengan harapan dapat ditemukan penjelasan yang "paling baik".
BEBERAPA MODEL DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Model itu sendiri sebenarnya merupakan representasi teori yang disederhanakan tentang dunia nyata. la lebih
merujuk pada sebuah konsep atau bagan untuk menyederhanakan realitas. Berbeda dengan teori yang
kesahihannya telah dibuktikan melalui pengujian empiris, model didasarkan pada isomorphism, yaitu
kesamaan-kesamaan antara kenyataan satu dengan kenyataan lainnya (Brodbeck, 1959: 374). Atau dapat juga
dikatakan, model adalah isomorfisme antara dua arau lebih teori empiris. Dengan kedudukannya sebagai
isomorfisme antara dua atau lebih teori empiris, sehingga model sering kali sulit untuk diuji kebenarannya di
lapangan. Namun demikian, meskipun model belum menjadi teori empiris, model tetap dapat digunakan
sebagai pedoman yang sangat bermanfaar dalam penelitian, terutama penelitian yang bertujuan untuk
mengadakan penggalian ataupun penemuan-penemuan baru. Jika ditilik dari fungsinya, perbedaan antara teori
empiris dengan model adalah teori empiris difungsikan untuk menjelaskan (to explain) gejala sosial, sedangkan
model menjadi pedoman untuk menemukan (to discover) dan mengusulkan hubungan antara konsep-konsep
yang di-gunakan untuk mengamati gejala sosial. Dalam ilmu, model merupakan representasi dari sebuah
realitas.

Pada dasarnya pikiran manusia tidak mampu memahami semua realitas secara ke-seluruban, tetapi hanya
dapat mengisolasi dan memahami bagian-bagian dari realitas itu. Kemudian dengan menggunakan bagian-
bagian dari realitas itu, pikiran manusia membangun ide atau gagasan. Dengan demikian, sekalipun model
tidak sarna dengan teori, mengingat konsep-konsep yang diidealisasikan dalam model-model tidak sarna
dengan konsep-konsep teoretik, tetapi jika model benar-benar isomorfis dan dapat ditemukan bukti-bukti
empirisnya, maka model akan menjadi sebuah teori.

Penggunaan model untuk mengkaji kebijakan publik akan sangat besar sekali man-faatnya. Ada beberapa
alasan yang dapat dikemukakan dalam hal ini. Pertama, kebijakan publik merupakan proses yang kompleks.
Oleh karena itu, sifat model yang rnenye-derhanakan realitas akan sangat membantu dalam memahami
realitas yang kompleks tersebut. Dengan adanya model-model analisis kebijakan publik, seperti misalnya
mo-del implementasi kebijakan, maka kita akan lebih mudah untuk memilah-milah proses-proses implementasi
kebijakan ke dalam elemen-elemen implementasi yang lebih sederhana. Hal ini akan sangat berguna untuk
melihat variabel-variabel apa saja yang berpengaruh dalam proses implementasi kebijakan tersebut. Kedua,
seperti telah dikemukakan sebelumnya, yakni sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas
yang kompleks tanpa menyederhanakannya terlebih dahulu, maka peran model dalam menjelaskan kebijakan
publik akan semakin berguna.
Namun demikian, meskipun model sangat membantu kita untuk mengkaji kebi-jakan publik, akan tetapi kita
membutuhkan beberapa kriteria untuk menentukan apakah suatu model yang ditawarkan membantu kita atau
tidak. Untuk itu, Thomas Dye menyarankan beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk melihat kegunaan suatu
model dalam mengkaji kebijakan publik.

Pertama, apakah model menyusun dan menyederhanakan kehidupan politik sehingga kita dapat memahami
hubungan-hubungan tersebut dalam dunia nyata dan memikirnya dengan lebih jelas? Bila model yang
di-tawarkan nampak begitu sederhana sehingga mendorong terjadinya kesalahan dalam memahami realitas
atau sebaliknya, atau jika model yang ditawarkan sangat kompleks sehingga malah membuat kita bingung,
maka model tersebut mungkin tidak terlalu banyak berguna dalam membantu menjelaskan kebijakan publik.
Dengan demikian, kriteria pertama yang harus dipenuhi oleh sebuah model adalah bahwa model tidak boleh
terlalu sederhana, namun juga tidak boleh terlalu kompleks. Model yang terlalu sederhana akan mendorong
terjadinya pengertian yang salah, sedangkan model yang terlalu kompleks justru akan membingungkan.

Kedua, apakah model mengidentifikasi aspek-aspek yang paling penting dari kebijakan publik? Model
seharusnya memfokuskan aspek-aspek yang paling menonjol dari fenomena politik dan tidak ditujukan untuk
variabel-variabel yang tidak penting atau kondisi yang tidak signifikan. Pada hakikatnya, model seharusnya
mengarahkan perhatian kita pada apa yang signifikan mengenai kebijakan publik.

Ketiga, apakah model kongruen (sama dan sebangun) dengan realitas. Maksudnya adalah apakah model
menghasilkan hubungan yang kuat terhadap realitas, ataukah sebaliknya? Model tersebut sangat
diidealisasikan dan abstrak sehingga tidak berhubungan dengan dunia nyata? Model yang baik seharusnya
berhubungan dengan dunia nyara dan menjembatani pemahaman yang lebih besar pada situasi atau proses
kebijakan yang spesifik.

Keempat, apakah model mengkomunikasikan sesuatu yang bermakna menurut cara yang kita semua dapat
mengerti? Apakah model mempunyai karakteristik hubungan persetujuan, di mana konsep yang digunakan
dalam model tersebut adalah satu dan kita semua dapat mengerti? Jika model mengkomunikasikan konsep
yang tidak dapat dipahami bersama, kemudian model tersebut dinilai mempunyai sedikit hubungan
persetujuan, maka model tersebut tidak akan banyak membantu kita dalam memahami fenomena.

Kelima, apakah model mengarahkan penyelidikan dan penelitian kebijakan publik? Model yang baik
seharusnya menyarankan sejumlah hubungan yang dapat diuji (hipotesis), dapat diamati, diukur, dan
diverifikasi. Kita harus dapat menerapkan model menurut cara yang memungkinkan pengujian empiris; suatu
model akan mempunyai sedikit kegunaan jika tidak mempunyai proposisi yang berasal dari realitas dan jika
hubungan-hubungan yang terjadi tidak dapat diukur dan diuji dengan data dunia nyata.
Keenam, apakah model menyarankan penjelasan bagi kebijakan publik? Model yang hanya menggambarkan
(describe) kebijakan publik tidak akan sarna bergunanya dengan model yang menjelaskan (explain) kebijakan
publik. Oleh karena itu, model kebijakan yang paling baik menurut Lester dan Stewart adalah model elitis dan
model pluralis.

MODEL ELITIS

Di sebagian besar negara berkembang atau negara-negara Dunia Ketiga yang mendasarkan pada sistem
otoriter, seperti misalnya Kuba, Korea- Utara, Korea Selatan era Park Chung-Hee, dan Indonesia pada era
Orde Baru, model elite merupakan model yang cukup baik untuk menjelaskan pembentukan kebijakan publik
yang berlangsung di negara-negara itu. Jika ditelusuri, konsep konuol elite atas sistem politik telah ada pada
zaman kuno, seperti halnya keberadaan teori elite itu sendiri. Teori elite mengatakan bahwa semua lembaga
politik dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya tidak bisa dielakkan didominasi oleh sekelompok individu
yang sangat kuat, yang memanipulasi instrumen-instrumen kekuasaan bagi kepentingan mereka. Kebijakan
publik merupakan produk elite, yang merefleksikan nilai-nilai mereka untuk penguatan kepentingan-
kepentingan mereka.

Dye dan Zeigler berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan preferensi nilai-nilai dari para elite yang
berkuasa. Sering kali dikatakan bahwa kebijakan publik merefleksikan tuntutan-tuntutan dari "rakyat," namun
apa yang dikatakan itu adalah mitos, bukan merupakan realitas kehidupan masyarakat demokrasi, seperti di
Amerika Serikat. Menurut Dye, teori elite mengatakan bahwa "rakyat" mempunyai perilaku apatis, dan tidak
memiliki informasi yang baik tentang kebijakan publik. Oleh karena itu, sebenarnya para elite membentuk opini
masyarakat luas mengenai persoalan-persoalan kebijakan dan bukan masyarakat luas membentuk opini elite.
Dengan demikian, para pejabat publik dan birokrat hanya sekadar menjalankan kebijakan-kebijakan yang
diputuskan oleh para elite. Kebijakan-kebijakan publik mengalir "ke arah bawah" dari para elite ke masyarakat
luas. Jadi, kebijakan-kebijakan publik itu bukan berasal dari tuntutan-tuntutan dari masyarakat luas.

C. Wright Mills dalam bukunya, the Power Elite, mengatakan bahwa semua kebijakan besar dan penting
ditentukan oleh sekelompok elite invidu, yang memiliki kedudukan sangat kuat. Argumen dasar Mills adalah
bahwa tidak semua orang mempu-nyai derajat kedudukan yang setara. Argumen ini didasarkan pada
pemikiran:
The power elite is composed of men whose positions enable them to transcend the ordinary environment of
ordinary men and women, they are in positions to make such decisions having major consequences is less
important than the fact that they do occupy such pivitol positions.

Beberapa studi tentang kota-kota dan komunits-komunitas di Amerika Serikat (AS) yang mendukung
kesimpulan teori elite, telah menimbulkan konflik dan kontroversi selama hampir lima puluh tahun antara para
ilmuwan sosiologi dan para ilmuwan politik. Beberapa studi itu, antara lain misalnya dilakukan oleh Lindblom
dalam Middletown Studies, Floyd Hunter dalam Community Power Structure, Polsby dalam Community Power
and Political Theory, dan Robert Dahl dalam Who Govern?

Thomas Dye dan Harmon Ziegler dalam the Irony of Democracy memberikan suatu ringkasan pemikiran
menyangkut model ini, sebagai berikut :

1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang
tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk
masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan.
2. Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elite ini (the ruling class)
biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonomi-nya tinggi.
3. Perpindahan dari kedudukan non-elite ke elite sangat pelan dan berkeseimbangan untuk memelihara
stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elite yang telah menerima konsensus elite
yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah.
4. Elite memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan sistem. Misalnya, di
Amerika Serikat (AS) konsensus elite mencakup perusahaan swata, hak milik pribadi, pemerintahan
terbatas dan kebebasan individu.
5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elite yang berlaku.
Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik adalah secara inkremental, ketimbang secara
revolusioner. Perubahan-perubahan secara inkremental memungkinkan munculnya tanggapan-
tanggapan hanya akan mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang relatif kecil
dibandingkan bila perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehensif.
6. Para elite secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis.
Sebaliknya, para elite memengaruhi massa yang lebih besar.

Elite

Officials and
Administrators

Mass
Model kebijakan elitis bisa ditelusuri dan berakar dari dua karya penting pakar teori Italia, yaitu Mosca dan
Pareto. Berbeda dengan pendapat Marx, Mosca dan Pareto mengatakan bahwa berdasarkan penelusuran
sejarah elitisme adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, pernyataan bahwa masyarakat tanpa
kelas adalah mitos, sehingga demokrasi tidak lebih dari sekadar kepura-puraan. Pandangan Mosca kemudian
dimodifikasi, dan selanjutnya dimunculkan pandangan baru yang menjelaskan bahwa dalam politik para elite
bisa bersaing untuk memperebutkan suara rakyat dengan tujllan untuk memeroleh legitimasi guna
melanggengkan kekuasaan mereka.

Dalam studi partai politik, Robert Michael (1915) kemudian mengembangkan model elitisme dikaitkan dengan
"hukum besi oligarki" yang berlaku di dalam organisasi. Perlu diketahui bahwa elite organisasi harus selalu
menciptakan kepentingan dan tu-juan pribadi, yang dibedakan dengan kepentingan dan tujuan anggota
organisasi. Sementara itu, Max Weber berpendapat bahwa dengan tidak adanya akuntabilitas parlemen yang
kuat, yang bisa mengancam pengambilan keputusan demokratis oleh para politisi yang terpilih, maka Weber
memberikan solusi perlunya rasionalisasi birokrasi dalam masyarakat kapitalis.

Apabila pendapat dari Mosca, Pareto, Michels, dan Weber bisa diterima, maka gagasan tentang "pemerintahan
oleh rakyat," tampak tidak riil, dan terlalu idealistis. Oleh karena itu, solusi pemecahan persoalan
perekonsiliasian elitisme dunia riil dan kebutuhan legitimasi demokratik dipecahkan oleh ahli ekonomi Joseph
Schum peter (1974). Menurut Schumpeter, di satu sisi, elitisme dilegimasi dalam negara demokrasi oleh pasar
politik, yang terdiri dari partai-partai, dan para elite yang saling bersaing dan bermusuhan. Di lain sisi, para
warga negara (qua konsumen) terlibat dalam proses pembuatan keputusan dengan cara memilih di antara
program-program kebijakan dan janji-janji dari perusahaan-perusahaan politik yang bersaing itu.

Diskusi tentang model kebijakan elitis akan terasa lengkap, jika kita bicakan bagaimana pendapat pakar ilmu
politik, seperti Harorld D. Lasswell. Dalam pandangannya, "studi politik adalah studi tentang pengaruh, dan
orang-orang yang berpengaruh adalah orang-orang yang memeroleh paling banyak. Dan, orang-orang yang
memperoleh paling banyak adalah kaum elite, sisanya adalah massa,"! Berbeda dengan penda-pat
Schumpeter dan Downs, yang mengatakan bahwa pelaksanaan fungsi "politik" bisa menjadi legitimasi
kekuasaan para elite, namun Lasswell mengatakan bahwa diperlukan politik yang lebih "preventative," di mana
pengetahuan bisa berfungsi untuk memengaruhi pembuatan keputusan. Perlu diketahui, Lasswell menerima
gagasan Pareto, dengan mengatakan bahwa terdapat sirkulasi elite di dalam demokrasi dan di era modern
terjadi pergeseran dari perjuangan kelas ke perjuangan antar "kelompok-kelompok keahlian," yang berbeda.
Menurutnya, kelompok keahlian (skill groups) ini antara lain adalah: orang-orang yang terlatih menggunakan
kekerasan (seperti elite militer dan polisi); orang-orang yang mempunyai keahlian komunikasi dan propaganda;
orang-orang yang memiliki keahlian bisnis dan perdagangan; para "teknokrat" yang mempunyai pengetahuan
teknis khusus; dan para birokrat yang memiliki keahlian administratif dan organisasional. Apa yang
dikhawatirkan oleh Lasswell adalah jika para elite lintas keahlian ini bekerja sarna untuk bersekongkol
(conspiracy), maka para elite baru ini akan mengancam demokrasi. Kombinasi antar elite yang mempunyai
kemampuan untuk memanipulasi komunikasi dan simbol, dengan para elite yang terlatih dalam soal kekerasan,
organisasi, dan pengetahuan teknis akan menimbulkan kemungkinan munculnya apa yang disebut "garrison-
state," di mana yang berkuasa adalah para dite militer, birokrat, dan teknokrat.

Lasswell berpendapat solusi untuk mencegah kemungkinan munculnya "garrison" adalah bagaimana
memperkuat demokrasi. Dia menegaskan bahwa ilmu kebijakan (policy sciences) bisa dan seharusnya punya
peran vital untuk dimainkan dalam memperkuat demokrasi dengan cara mempromosikan distribusi dan
pluralisme kekuasaan yang lebih luas. Namun, gagasan Lasswell mengontrol elite melalui ilmu kebijakan dikritik
habis-habisan dan dikatakan sangat lemah, jika dia mengabaikan pikiran-pikiran terkait dengan hak asasi dan
martabat manusia, serta keyakinan perlunya promosi diskursus publik yang kritis, yang merupakan prototipe
dari gagasan tentang "seminar keputusan" dan "planetarium lokal."

Model kebijakan elitis menuai banyak kritik. Salah satu di antaranya adalah yang dilontarkan oleh Park.
Menurutnya, jika dikatakan benar bahwa kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan dari masyarakat
luas, namun justru merefleksi-kan nilai-nilai elite yang berlaku, kemudian bagaimana teori elite tentang
pembentukan kebijakan itu bisa dipertanggungjawabkan secara politik dan merupakan repre-sentasi dari
sebuah pemerintahan yang demokratik? Juga jika memang benar bahwa pembentukan kebijakan ditentukan
oleh the power elite, kemudian alternatif-alternatif lain apa yang tersedia untuk model-model pembentukan
kebijakan? Dan jika memang benar bahwa kebijakan publik dibentuk sesuai dengan nilai-nilai elite yang
berlaku, nilai-nilai mana yang pada dasarnya secara alami konservatif, kemudian kemungkinan-kemungkinan
apa, jika ada, inovasi, dan kreativitas dalam pembentukan kebijakan publik?

Masih menurut Park, pertanyaan kritis lain adalah, siapa yang memainkan peran penting? Teori elite
menganjurkan bahwa hanya mereka, para elite (the elites), yang mempunyai peran signifikan dalam isu-isu
kebijakan penting, tetapi bagaimana mengenai masalah-masalah sehari-hari yang membutllhkan keputusan-
keputusan kebijak-an secara langsung yang barangkali melibatkan perdebatan atau persaingan politik? Teori-
teori elitisme berdampak pada perumusan kebijakan mempunyai validitas dalam proposisi mereka, tetapi
proposisi bahwa masyarakat luas mempunyai pengaruh kecil atau bahkan tidak ada dalam perumusan
kebijakan sangat sulit diterima.

Sementara itu Anderson berpendapat kllrang lebih sama dengan apa yang dikatakan Park. Anderson
mengatakan walaupun model ini dapat berguna untuk menjelaskan kebijakan yang berlangsung di negara-
negara otoriter, tetapi model ini bersifat agak provokatif. Dalam pandangan model ini, kebijakan merupakan
produk elite, merefleksikan nilai-nilai mereka dan membantu tujuan-tujuan mereka. Walaupun salah satu dari
tujuan-tujuan itu mungkin merupakan keinginan untuk memberikan kesejahteraan massa.

Kebijakan publik di Kuba menjadi conroh yang menarik untuk menjelaskan model ini. Di Kuba kebijakan-
kebijakan publik yang dibangun bersifat elitis dengan bertumpu pada sosok otoriter Fidel Castro, dan
belakangan karena sakit-sakitan, digantikan oleh adiknya Raul Castro. Pemimpin di negara ini lebih
menekankan mobilisasi massa rakyat dan menghalangi setiap oposisi yang dijalankan oleh kelompok-kelompok
yang berusaha menentang Presiden Castro. Akibatnya, kebijakan publik lebih mencerminkan pandangan-
pandangan elite yang memerintah terutama Castro, ketimbang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan massa
rakyat. Di Kuba model pembangunan lebih ditujukan untuk pemerataan, dibandingkan pertumbuhan dengan
berrumpu pada sistem sosialis dan lebih menekankan pada usaha-usaha mobilisasi massa, dibandingkan
usaha untuk mendorong partisipasi.

Singkatnya, model elite lebih memusatkan perhatian pada peran kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan-
kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik segelintir orang
memerintah orang banyak, para elite politik memengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya. Namun
demikian, apakah para elite memerintah dan menenrukan kebijakan dengan pengaruh yang kecil dari massa
merupakan proposisi yang sulit dibuktikan. Untuk mempertahankan proposisi ini secara berhasil seorang
ilmuwan politik Robert Dahl mengatakan bahwa orang harus mengidentifikasi "kelompok yang mengendalikan,
dibandingkan dengan ukuran mayoritas, yang bukan merupakan artefak dari peraturan-peraturan demokratik,
suaru minoritas individu-individu yang mempunyai pilihan-pilihan yang secara teratur berlaku dalam kasus-
kasus perbedaan pilihan-pilihan tentang masalah-masalah politik pokok." Perlu dipahami pula di sini bahwa
Dahl merupakan salah satu ilmuwan politik yang tidak bisa menerima implikasi sepenuhnya dari teori elite. Dahl
menyarankan suatu modifikasi teori elite menjadi teori "polyarchy." Menurut Dahl, teori ini menggabungkan
pemerintahan elite dan kesepakatan demokratik, tidak sarna sekali menolak konsep pemerinrahan oleh 'it
power elite, "tetapi mencoba unruk memperluas teori elite dalam batas-batas ideologi demokrasi.

MODEL PLURALIS DAN NEO-PLURALIS


Berkebalikan dengan model elite yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elite politik, maka model pluralis
lebih percaya pada peran subsistem-subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Di negara-negara
berkembang yang menganut sistem politik otoriter, model elitis akan cukup memadai untuk menjelaskan proses
politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di Negara yang mendasarkan
diri pada sistem demokrasi, terlebih demokrasi pluralis seperti di AS.
Dalam pandangan kaum pluralis, kebijakan publik pada dasarnya adalah hasil dari persaingan bebas antara ide
dan kepentingan. Menurut Dahl, Poisby, dan penganut pluralis awal Amerika lainnya, kekuasaan didistribusikan
secara luas dan sistem politik sangat teratur sehingga proses politik pada hakikatnya dikendalikan oleh tuntutan
dan opini publik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dahl misalnya dalam sebuah studinya tentang New Haven
sebagai berikut:

Sistem politik Amerika Serikat tidak berdiri sendiri dari kelas homogen dengan kepentingan kelas yang
terdefinisi dengan baik. Dalam kenyataannya, sistem politik di New Haven mudah ditembus oleh siapa saja
yang memerhatikan dan berkepentingan dengan kultur stratum politik ... Independensi, penetrabilitas, dan
heterogenitas dari pelbagai segmen stratum politik tidak selalu menjamin bahwa setiap kelompok yang
dikecewakan akan mendapatkan juru bicara.

Namun pandangan demokrasi liberal, yang mengatakan bahwa partisipasi dalam permainan politik terbuka
untuk semua orang, ditolak oleh Schanschneider, yang berpendapat bahwa "tidak selalu benar, orang dengan
kebutuhan terbanyak akan paling aktif berpartisipasi dalam panggung politik - barang siapa yang menentukan
permainan apa yang berlaku, maka ia juga akan menentukan siapa yang boleh masuk ke dalam permainan."

Pandangan-pandangan pluralis disarikan dari ilmuwan Robert Dahl dan David Truman. Pandangan pluralis
dapat dirangkum dalam uraian berikut :

1. Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individu-individu yang Jain dalam
proses pembuatan keputusan.

2. Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubungan-hubungan kekuasaan lebih


dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini dibuat maka hubungan-hubungan
kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan
kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat.

3. Tidak ada pembedaan yang tetap di antara "elite" dan "massa". Individu-individu yang berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan dalam suatu waktu tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang
berpartisipasi dalam waktu yang lain. Individu masuk dan keluar dalam partisipasinya sebagai pembuat
keputusan digolongkan menjadi aktif atau tidak aktif dalam politik.

4. Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kesehatan merupakan aset dalam
politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak aset politik yang ada.

5. Terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang
mendominasi pembuatan kepurusan untuk semua masalah kebijakan.
6. Kompetisi dapat dianggap berada di antara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang
merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang dicapai di antara kompetisi pemimpin-pemimpin
politik

Lebih jauh Dahl berpendapat bahwa saat kekuasaan didistribusikan di kalangan kelompok, pembuatan
kebijakan, misalnya dalam ranah pendidikan dan pembangunan kembali (redevelopment) kawasan urban
dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas, bukan lagi dilakukan oleh elite tunggal. Sebagaimana dijelaskan
pula oleh Polsby yang mengatakan "Dalam setiap bidang isu, muncul aktor-aktor yang berbeda atau beragam,
sehingga peran mereka juga berbeda, maupun jenis alternatif yang mereka pilih juga beragam." Namun,
pendapat Polsby ini direspons oleh Bachrach dan Baratz dengan mengatakan bahwa hal yang gagal dipahami
oleh kaum plural is adalah sejauh mana pihak-pihak yang berkuasa itu bisa menyingkirkan isu dan problem dari
agenda pembuatan kebijakan. Politik bukan semata-mata seperti yang didefinisikan oleh Lasswell sebagai
persoalan "siapa memeroleh apa, kapan, dan bagaimana dia memerolehnya, namun sesungguhnya politik
berkaitan dengan persoalan siapa yang disingkirkan, kapan, dan bagaimana dia disingkirkan.

Dalam Who Governs, yang ditulis oleh Dahl (1961), dia melakukan modifikasi terhadap pandangannya terkait
dengan pluralisme. Modifikasi ini yang kemudian membedakan pandangan pluralisme awal, dengan pluralisme
baru atau neopluralisme. Menurut Dahl, nilai, dan prinsip yang dianut oleh kaum pluralis terbukti lebih kokoh
(kerangka normatif), namun kerangka analisisnya memasukkan sejumlah kritik dari kaum Marxis maupun kaum
elitis pada era tahun 1960-an. Selain Dahl, sebagai pendukung utama "neo-pluralisme" adalah Charles
Lindblom. Menurut Lindblom, pembuatan kebijakan publik harus dikaitkan dengan konsep "pemecahan" atau
"muddling through." Bersama dengan Dahl, Lindblom menggulirkan pandangan pluralisnya pertama kali tahun
1950an. Namun, sebagai penganur pluralis dan inkrementalis, gagasan tentang pembuatan kebijakan publik
mengalami perubahan pada tahun ] 970-an. Dalam Politics and Market (1977), Lindblom mengatakan bahwa
pembuatan kebijakan dikendalikan olen oleh kerja kapitalisme, khususnya kepentingan bisnis dan pasar.

Dalam Dilemmas of Plural is Democracy: Autonomy versus Control (1982), Dahl berkesimpulan bahwa
pembuatan kebijakan bukanlah sebuah kegiatan yang netral. Fakta menunjukkan bahwa tuntutan kepentingan
bisnis mendominasi tuntman kelompok-kelompok lain. Oleh karena itu, menurut pandangan baru mereka,
mengatakan bahwa proses pembuatan kebijakan publik dibiaskan demi keuntungan pihak yang kuat, dan
dimanfaatkan untuk kelompok yang kurang kuat. Dekade sebelum tahun 1970-an Dahl dan Lindblom
mengabaikan perkembangan sosial dan ekonomi, namun pasca tahun 1970-an realitas poliyarchy dan berbagai
faktor sosial ekonomi yang muncul di era tahun 1970-an menjadi pertimbangan analisis neopluralisme.
Singkatnya, politik pluralisme tidak terjadi di tingkat lapangan. Sebaliknya, kepentingan bisnis sangat
meme-ngaruhi proses pembuatan keputusan dalam demokrasi liberal. Sebelumnya, mereka percaya bahwa
dalam demokrasi liberal dengan pemerintahan pluralis, kepentingan bisa diseimbangkan dan kekuasaan bisnis
bisa dinetralisir oleh kepentingan lain, namun dekade 1970-an mereka berkesimpulan bahwa demokrasi liberal
berjalan unruk pad a akhirnya melanggengkan kepenringan sistem kapitalis.

Dalam bukunya Preface to Economic Democracy (1985), Dahl berpendapat bahwa pemecahan masalah
kapitalisme dalam demokrasi liberal bukan dengan cara menghabisi kapitalisme, namun dengan cara
menciptakan demokrasi yang lebih partisipatif, adil, dan terbuka, sebagai prasyarat agar demokrasi menjadi
jauh lebih efektif dalam menghadapi kekuasaan kepenringan ekonomi. Semenrara itu, Lindblom juga
berpendapat bahwa untuk memperbaiki "kerusakan ekonomi dan politik" dalam demokrasi liberal, yang
disebabkan oleh cakupan agenda politik yang sempit dan cacat, plus distorsi sistem pendidikan, maupun peran
dominan kelompok bisnis yang kuat, yang didukung oleh kepentingan media. Oleh karena itu, solusi yang
diajukan adalah memanfaatkan teori-teori penetapan agenda yang dibangun dalam tahun 1960-an.26

Sementara itu, pandangan].K. Galbraith sebetulnya justru jauh lebih awal, ketimbang Dahl dan Lindblom. Lewat
tulisannya yang berjudu lAmerican Capitalism (1963), Galbraith berpendapat bahwa tahun 1950-an bahaya
bagi demokrasi, yang berasal dari pertumbuhan bisnis raksasa, bisa dihadapi dengan "kekuatan penyeimbang,"
yaitu ke-pentingan raksasa pula. Oleh karenanya, kepenringan raksasa harus ditandingi oleh kepentingan
raksasa yang lain. Namun fakta menunjukkan bahwa kekuatan korporasi menjadi semakin sangat besar,
sehingga Galbraith semakin pula pesimis untuk melakukan upaya pembatasan bisnis raksasa itu. Dalam The
New Industrial State, (1969), Galbraith menyatakan bahwa pembuatan kebijakan publik telah didominasi oleh
"teknostruktur," yang kuat, baik yang ada di dalam pemerintahan, maupun perusahaan-perusahaan. Akhirnya,
Galbraith berkesimpulan bahwa demokrasi pluralis sebagian besar adalah mitos. Galbraith kemudian
menegaskan bahwa unruk bisa mengubah hal itu, agenda kebijakan yang radikal perlu dilakukan, dengan fokus
pada keadilan dan kontrol terhadap "teknostruktur."

PENDEKATAN TEORETIK KEBIJAKAN PUBLIK


Para ilmuwan politik telah menciptakan teori-teori dan model-model untuk membantu mereka dalam memahami
dan menjelaskan proses pembuatan keputusan. Mereka juga mengembangkan bermacam-macam pendekatan
teoretik untuk membantu mereka dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun kebanyakan
pendekatan teoretik ini belum dikembangkan secara khusus untuk analisis kebijakan publik, namun
pendekatan-pendekatan teoretik ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut. Kita akan membahas
beberapa pendekatan teoretik yang sering dibicarakan oleh para ahli dalam mengkaji kebijakan publik.
Seberapa besar manfaat yang dapat kita ambil dari penggunaan pendekatan-pendekatan teoretik tersebut
dalam mengkaji kebijakan publik, tergantung pada sumbangan yang diberikan dalam mengarahkan perhatian
kita dan memberi penjelasan bagi kegiatan politik atau dalam kasus ini, kebijakan publik.

PENDEKATAN KELOMPOK
Beberapa kontriburor utama dari pendekatan teoretik kelompok terhadap sistem politik dan kebijakan publik
bisa disebutkan antara lain adalah: Arthur Bentley (1908), The Process of Government, David Truman (1951),
The Governmental Process, Earl Latham (1952), The Group Basis of Politics. Di kalangan para teoritisi
kelompok terdapat pan-dangan yang sarna tentang konsep kelompok. Menurut mereka, kelompok-kelompok
adalah the ultimate "real" of politics.

Truman berpendapat bahwa sebuah kelompok kepentingan adalah sebuah kelompok perilaku yang sarna,
yang membuat tunturan-tuntutan tertentu terhadap kelompok-kelompok lain dalam suatu masyarakat.
Kelompok semacam ini menjadi politis, "jika dan pada saat kelompok membuat tuntutan melalui atau pada
lembaga-Iembaga pemerintahan. Individu-individu adalah penting dalam politik, hanya pada saat me-reka
bertindak sebagai bagian dari atau mengatasnamakan kepentingan kelompok. Kelompok menjadi jembatan
yang penting yang menghubungkan antara individu clan pemerintahannya. Politik sesungguhnya adalah
perjuangan antarkelompok unruk me-mengaruhi kebijakan publik. Oleh karena itu, tugas yang amat penting
bagi sebuah sistem politik adalah bagaimana mengelelola konflik kelompok dengan : (1) Membangun aturan-
aturan main di dalam perjuangan kelompok; (2) Mengatur kompromi dan menyeimbangkan kepentingan yang
berbeda; (3) Menjadikan kompromi clalam bentuk kebijakan publik; dan (4) Memaksakan kompromi-kompromi
ini.

Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil
dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Suatu kelompok merupakan kumpulan individu-
individu yang diikat oleh tingkah laku atau kepentingan yang sarna. Mereka mempertahankan dan membela
tujuan-tujuan dalam persaingannya vis-a-vis kelompok-kelompok lain. Bila suatu kelompok gagal dalam
mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakan-tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan
politik dan pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknya. Berbeda dengan
apa yang dimaksud suaru kelompok potensial, adalah sekumpulan individu-individu dengan perilaku yang
sama, berinteraksi untuk membentuk suatu kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-
kepentingan mereka. Pada akhirnya, "social equilibrium" di-capai pada waktu pola-pola interaksi kelompok
dikarakteristikkan oleh suatu tingkat slabilitas yang tinggi .

Dalam kerangka memengaruhi kebijakan publik, kelompok-kelompok kepentingan barangkali akan


menggunakan berbagai macam sumber untuk memengaruhi pembuatan kebijakan tersebut, seperti misalnya
uang, prestise, informasi, perhatian media massa, kepemimpinan dan keahlian-keahlian pengelolaan politik.
Sementara itu, kelompok-kelompok yang memiliki sumber-sumber keuangan yang cukup mungkin saja tidak
mempunyai sumber lain yang memadai, seperti misalnya: akses terhadap media. Dengan demikian, kebijakan-
kebijakan publik akan mengarah kepada kepentingan kelompok besar yang berpengaruh, baik secara
ekonomis, maupun non-ekonomis, dan semakin jauh dari kepentingan kelompok-kelompok kecil.

Pendekatan kelompok mempunyai anggapan dasar bahwa interaksi dan perjuangan antar kelompok
merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti
penting hanya bila ia merupakan partisan dalam atau wakil kelompok-kelompok tertentu. Dengan melalui
kelompok-kelompok-lah individu-individu berusaha untuk mendapatkan pilihan-pilihan politik yang mereka
inginkan.

Kebijakan publik pada suatu waktu tertentu dalam pandangan ini merupakan equilibrium yang dicapai dalam
perjuangan berbagai kelompok. Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok
kepentingan yang diharapkan akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam proses pembuatan kebijakan
publik. Besar kecilnya pengaruh kelompok-kelompok tersebut ditentukan oleh jumlah, kekayaan, kekuatan
organisasi, kepemimpinan, akses terhadap para pembuat keputusan dan kohesi dalam kelompok.

Jika para ilmuwan konsisten menggunakan pendekatan kelompok, maka kehidupan politik akan dilihat sebagai
perjuangan anrara kelompok-kelompok dalam sistem politik. Para pembuat kebijakan dipandang sebagai pihak
yang menanggapi secara konstan tekanan-tekanan kelompok, tawar-menawar (bargaining), perundingan dan
kompromi anrara tuntutan-tuntutan yang berbeda dari kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam politik. Hal
ini sejalan dengan pendapat Park yang mengatakan sebagai berikut :

Group theory tries to describe political activity in term of group struggle and conflict. Policy makers are
constantly responding to group pressures, and making policy process are explained in terms of the continuing
process of bargaining, negotiating, and compromising among the competing groups in order to maximize their
interests.
Dalam memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing, kelompok-kelompok ini dapat menggunakan
strategi membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik kebijakan bahwa
koalisi-koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan koalisi kecil. Kelompok-kelompok kepentingan dalam
politik lebih memusatkan pada lembaga legislatif, ketimbang cabang-cabang pemerintahan lain, dan birokrasi
eksekutif menduduki tempat kedua sebagai pilihan-pilihan untuk mendapatkan akses. Kelompok-kelompok
mengetahui dengan baik bahwa anggota-anggota dari lembaga legislatif dapat mencampuri kegiatan-kegiatan
birokrasi untuk kepentingan mereka. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya, dalam demonstrasi-demonstrasi yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa, petani maupun buruh hampir selalu ditujukan kepada lembaga
legislatif. Sementara itu, hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok dengan birokrasi cenderung semakin
erat dan Iebih baik, jika kedua kekuatan itu mempunyai struktur-stfuktur fungsional yang paralel.

Namun demikian, seperti diungkapkan oleh Anderson, pendekatan ini mempunyai kelemahan, yakni terlalu
meremehkan peranan bebas dan kreatif yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Ini disebabkan oleh perhatiannya yang terlalu berlebihan terhadap peran
kelompok-kelompok dalam sistem politik. Oleh karena itu, menganalisis kebijakan publik hanya mendasarkan
pada pendekatan kelompok menjadi agak kurang memadai tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang
memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik

Pendekatan Proses Fungsional


Suatu cara lain untuk mendekati studi pembentukan kebijakan adalah dengan jalan memusatkan perhatian
kepada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan. Harold Lasswell mengemukakan
tujuh kategori analisis fungsional yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional :

1. Intelegensi: Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan mendapat perhatian para


pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan diproses.
2. Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk mengatasi suatu
masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.
3. Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan atau diterapkan dan oleh siapa?
4. Permohonan (invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu bertentangan dengan
peraturan-peraturan atau undang-undang dan menuntut penggunaan peraturan-peraturan atau
undang-undang?
5. Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya diterapkan atau
diberlakukan?
6. Penilaian: Bagaimana pelaksanaan/implementasi kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu dinilai?
7. Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau lIndang-undang semula dihentikan atau dilanjutkan
dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?

Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin berusaha
menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan semula. Walaupun Lasswell mengatakan
bahwa desain ini sebagai "proses keputusan (decision process)", desain ini berada di luar pembuatan
keputusan yang berangkat dari pilihan-pilihan khusus dan sebenarnya mencakup "arah tindakan tentang suatu
masalah", suatu batasan kebijakan yang telah kita sebutkan pada bagian awal tulisan ini.

Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat pada lembaga-Iembaga
atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain analisis ini memberi keuntungan untuk analisis
komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi
yang berbeda ini dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalam sistem politik atau unit-unit pemerintahan
yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini juga mempunyai kelemahan. Penekanannya pada
kategori-kategori fungsional mungkin akan menyebab-kan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan
dan pengaruh variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dalam bahasa yang
lebih ringkas, kita dapat mengatakan bahwa pembentukan kebijakan lebih dari sekadar proses intelektual.

BELUM EDIT

Pendekatan Kelembagaan (Institusionalisme)


Struktur-struktur dan lembaga-Iembaga pemerintah telah lama merupakan fokus yang penting dari ilmu .politik.
Kajian ilmu politik tradisional memfokuskan studi pada lembaga-Iembaga pemerintah. Dalam pandangan
tradisional, kegiatan-kegiatan politik secara umum berpusat di sekitar lembaga-Iembaga pemerintah tertentu,
seperti kongres/DPR, kepresidenan, pengadilan, pemerintah daerah, partai politik dan sebagainya. Kegiatan
individu-individu dan kelompok-kelompok secara umum diarahkan kepada lembaga-Iembaga pemerintah dan
kebijakan publik secara otoritatif ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga-Iembaga pemerintah.

Oleh karena itu, hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-Iembaga pemerintah dilihat sebagai hubungan
yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan
dilaksanakan oleh suatu lem-baga pemerintah. Lembaga-Iembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang
berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan.
Kebijakan-kebijakan pemerintah secara umum dipandang sebagai kewajiban-kewajiban yang sah yang
menuntut loyalitas warga negara. Rakyat mungkin memandang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
kelompok-kelompok dan asosiasi-asosiasi lain dalam masyarakat, seperti misalnya korporasi, organisasi
profesional asosiasi sipil dan sebagainya sangat penting dan bahkan mengikat. Tetapi hanya kebi-jakan-
kebijakan pemerintah sajalah yang membutuhkan kewajiban-kewajiban yang sah. Kedua, kebijakan-kebijakan
pemerintah memerlukan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat
menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan
oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi lain dalam masyarakat bersifat lebih terbatas dibandingkan
dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, ke-unggulan dari kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan tcrsebut dapat menuntut loyalitas dari semua warga
negaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan
memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk
pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.

Sekalipun demikian, pendekatan ini juga mempunyai kelemahan sebagaimana pen-dckatan-pendekatan yang
lain. Kelemahan pendekatan tradisional yang paling men-colok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu
politik tidak mencurahkan per-hatian yang banyak pada hubungan antar struktur lembaga-lembaga pemerintah
dan substansi kebijakan pllblik. Sebaliknya, studi-studi lembaga biasanya lebih berusaha menjelaskan
lembaga-Iembaga pemerintflh secara khusus, seperti misalnya struktur, organisasi, kewajiban dan fungsi-fungsi
tanpa secara otomatis menyelidiki dampak dari karakteristik-karakteristik lembaga-lembaga tersebut pada hasil-
hasil kebijakan. Aturan-aturan kanstitusi dan undang-undang dijelaskan secara terperinci sebagaimana
kantor-kamar dan badan-badan pemerintah yang banyak sekali jumlahnya, baik di pllsat mau-pun di daerah-
daerah. Kebijakan-kebijakan publik kadang-kadang dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dan hubungan antara
struktur dan kebijakan publik secara luas tidak diselidiki.

Meskipun studi lembaga pada awalnya mempunyai fokus yang sempit dalam ilmu politik, tetapi pendekatan
struktur tidak berarti merupakan suatu pendekatan yang tidak produktif sama sekali. Lembaga-Iembaga
pemerintah sebenarnya merupakan pola-pola perilaku yang tersusun dari individu-individu dan kelompok-
kelompok. Kata "ter-susun" kita artikan sebagai pola-pola perilaku yang cenderung berlaku selama kurun waktu
tertenru. Pola-pola perilaku individu dan kelompok yang stabil ini mungkin memengaruhi substansi kebijakan
publik. Lembaga-Iembaga mungkin tersusun sedemikian rupa untuk memudahkan dampak kebijakan tertentu
dan untuk menghalangi dampak kebijakan yang lain. Pola-pola seperti ini barangkali akan memberikan
keuntungan kepada kepentingan-kepentingan tertentu dalam masyarakat dan tidak mem-berikan keuntungan
kepada kepentingan-kepentingan lain. Individu-individu dan kelompak-kelompok tertentu mungkin memperoleh
akses yang besar dari kekuasaan pe-merintah menurut seperangkat karakteristik struktur tertentu, ketimbang
perangkat yang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa srruktur-struktur lembaga-Iembaga pemerintah
mungkin mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi pembentllk-an kebijakan.

Dalam pandangan Anderson, pendekatan lembaga tidak merupakan pendekatan yang sempit atau bersifat
deskriptif karena seorang ilmuwan dapat saja menanyakan hubungan-hubungan yang terjadi antara aturan-
aturan lembaga dan substansi kebijak-an publik. Selain itu, seorang ilmuwan juga dapat menyelidiki hubungan-
hubungan ini dalam suatu bentuk yang sistematik dan komparatif34.

Penting untuk diingat bahwa dampak aturan-aturan lembaga pada kebijakan pub-lik merupakan suatu
pertanyaan empirik yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Para pembuat perubahan sering mengatakan
dengan bersemangat bahwa suatu perubahan khusus dalam struktur lembaga akan menghasilkan perubahan-
perubahan dalam kebijakan publik tanpa menyelidiki hubungan yang sebenarnya antara struktur dan kebijakan.
Pandangan seperti diungkapkan Anderson, telah mendorong mereka terperangkap dalam anggapan atas dasar
logika apriori bahwa perubahan-perubahan lembaga akan mendatangkan perubahan-perubahan kebijakan.
Dengan demikian, se-orang peminat kebijakan publik harus bersikap hati-hati dalam menilai dampak struk-tur
pada kebijakan. Struktur lembaga, susunan, dan prosedur mungkin dapat mempu-nyai pengaruh yang
signifikan terhadap kebijakan, namun melakukan analisis kebijakan hanya dengan mendasarkan pada aturan-
aturan lembaga akan mempunyai dampak yang keeil pada kebijakan publik, jika kekuatan-kekuatan lingkungan
yang mendasari, seperti misalnya kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik tetap konstan. Selan-jutnya
lihat halaman berikut gambar 3.3.: Pendekatan Teoretik Kelembagaan: Organist1si Pemerintahan Amerika
Serikat (Sumber: US Government Organization Manual, 1975-1976, him. 21, dalam Dye, Understanding Public
Policy, hIm. 22).

Pendekatan Peran serta Warga Negara

Penjelasan pembuatan kebijakan publik ini didasarkan pada pemikiran demokrasi klasik dari John Locke dan
pemikiran John Stuart Mill, yang menekankan pengaruh yang baik dari peran warga negara dalam
perkembangan kebijakan publik. Dengan keikutserraan warga negara dalam masalah-masalah masyarakat,
maka para warga ne-gara akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan rasa tanggung
jawab sosial yang penuh, dan menjangkau perspektif mereka di luar batas-batas kehi-dupan pribadi.

Teori peran serta warga negara didasarkan pada harapan-harapan yang tinggi ten-tang kualitas warga negara
dan keinginan mereka untuk terlibat dalam kehidupan pub-Iik. Menurut teori ini, dibutuhkan warga negara yang
memiliki struktur-struktur ke-pribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi demokrasi. Setiap warga
negara harus memiliki cukup kebebasan untuk berperan serta dalam masalah-masalah politik, mempunyai
sikap kritis yang sehat dan harga diri yang cukup dan yang lebih penting adalah perasaan mampu. Di atas
segala-galanya, para warga negara harus tertarik dalam politik dan menjadi terlibat secara bermakna35
Sayangnya apa yang dike-tahui tentang kebiasaan-kebiasaan politik dari warga negara pada umumnya
merupa-kan suatu gambaran suram yang bertentangan dengan cita-cita demokrasi. Studi-srudi empirik
mertgungkapkan tekanan-tekanan otoritarianisme yang kuat pada rakyat biasa, toleransi yang rendah dan
ketidaktahuan yang meluas. Studi-studi tentang pendapat umum mengungkapkan bahwa orang cenderung
menyaring informasi yang tidak di-inginkan dan memandang stimuli politik secara selektif berdasarkan pikiran-
pikiran yang dipahami sebelumnya.

Sekalipun rakyat biasa digambarkan sebagai sekelompok warga negara yang tidak mempunyai informasi politik
dan tidak mempunyai keahlian dalam bentuk-benruk yang dihasilkan oleh penelitian survei, kebijakan publik itu
sendiri merupakan suaru perbaikan terhadap ketidakacuhan yang tampak. Dengan adanya peningkatan
program-program kesejahteraan publik serra ditopang oleh tingkat pendidikan masyarakat yang semakin baik,
banyak sekali warga negara yang semakin terlibat dalam kegiatan politik dan sering berhubungan langsung
dengan birokrasi-birokrasi pemerintah. Selain iru, mereka biasanya juga memiliki pengetahuan yang terinci
tentang program-program dan prosedur-prosedur pemerintah sejalan dengan usaha para warga negara unruk
me-muaskan kebutuhan-kebutuhan dasar, seperri misalnya pendapatan, pekerjaan, rumah, dan kesehatan.
Dengan keterlibatan secara pribadi, para warga negara memperoleh ber bagai pengetahuan politik dan
kebijakan publik.

Beberapa penelitian berkenaan dengan peran serta warga negara mengungkapkan bahwa para pembuat
kebijakan lebih responsif terhadap warga negara yang mempu-nyai peran serra, ketimbang warga negara yang
tidak mempunyai peran serra. Oi samping iru, mereka cenderung menerima tuntutan-tuntutan dan pilihan-
pilihan agenda yang diusulkan oleh kelompok warga negara yang berperan serta dalam rangka meme-cahkan
masalah. Para pembuat keputusan juga lebih responsif dalam suatu masyarakat yang mempunyai tingkat
peran serta yang tinggi, dengan tanggapan utama pada ma-syarakat akrivis, yang biasanya mempunyai ringkar
pendapatan yang tinggi dan pen-capaian pendidikan yang lebih baik, namun demikian mereka ini ridak
mewakili ma-syarakar bawah. Sementara itu, respons para pembuat kebijakan pada lapisan masyarakar bawah
akan lebih besar, jika rerdapat konsensus yang ringgi antarkelompok yang ber-peran serra dan kelompok yang
ridak berperan serra, tetapi dengan ketidaksesuaian antarkelompok-kelompok itu, para pembuat keputusan
menjadi kurang responsif. Sedangkan kelompok masyarakar yang tidak berperan serta akan memperoleh
tanggap-an yang lebih besar dari para pembuat keputusan, jika dalam masyarakat tersebut rer-dapat
konsensus yang tinggi.
Tanggapan dari para pembuat kebijakan dapat pula diperbesar oleh kerja sarna antarorganisasi parrai yang
terpilih. Partai-partai besar ibarat "perusahaan-perusahaan perantara" yang berusaha untuk meningkarkan
dukungan politik. Tujuan utama partai yang berkuasa adalah memenangkan pemilihan kembali, sementara di
sisi yang lain, partai-parrai yang tidak berkuasa juga menginginkan keberhasilan pemilihan. Pada ring-kat
individu, banyak para pejabat yang membuat kebijakan dalam suatu ketidaksetara-an polirik, khawatir
kehilangan kedudukan mereka dalam pemilihan mendatang. Da-lam rangka memenangkan pemilihan umum,
partai-partai polirik menggunakan isu-isu kebijakan untuk membujuk para pemilih agar memberikan dukungan
mereka dengan jalan memasukkan kebijakan-kebijakan publik ke dalam program-program partai. Partai-partai
politik ini, dalam kampanye-kampanye mereka, menjanjikan program-program yang bersifar lebih populis dan
akan dilaksanakan apabila partai mereka menjadi peme-nang dalam pemilihan umum.

Pendekatan Psikologis

Pokok perhatian pendekatan ini diberikan pada hubungan antarpribadi dan fak-tor-faktor kejiwaan yang
memengaruhi ringkah laku orang-orang yang terlibat dalam proses pelaksanaan kebijakan. Individu-individu
selama dalam proses pelaksanaan ke-bijakan tidak kehilangan diri, tetapi sebaliknya mereka dianggap sebagai
peserta yang sangar penting yang memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan36

Selain iru, menurut Amir Santoso pendekaran ini juga menjelaskan hubungan antarpribadi antara perumus dan
pelaksana kebijakan. Hubungan tersebut menjadi variabel yang menentukan keberhasilan atau kegagalan
suatu program. Dengan meru-juk pendapat McLaughlin, Amir Santoso menyatakan bahwa terdapat tiga jenis
hu-

bungan yang berbeda antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan, } adaptasi bersama, kooptasi
dan non-implementasi.

Seperti yang telah disinggllng sebelllmnya, menurllt Lester dan Stewart, terda banyak pendekatan (9
pendekatan) secara lebih khllSUS terhadap analisis kebijakan pu lik.r Misalnya, peneliti mllngkin tertarik dalam
analisis terhadap sebagian dari pro kebijakan publik (misalnya, agenda setting, dan policy implementation) atau
Sl1<ltll b dang substantif (misalnya, environmental policy). Peneliti mungkin mengandalkan pa pendekatan
statistik yang ketat atall pendekatan yang lebih intuitif Peneliti mllngki juga menggunakan pendekatan preskriptif
(apa yng seharusnya) atau pendekatan tn pirik (apakah). Selanjutnya, menurut Lester dan Stewart, untuk
pemahaman yangmtn dalam dan detail, di bawah ini dibahas 9 pendekatan alternatif dalam analisis kebij,ik
publik. Saran yang diberikan oleh kedua penulis ini adalah untuk praktisnya, pendl bebas memanfaatkan satu
pendekatan atall kombinasi dari pendekatan-pendekat tersebut.
Pendekatan Proses

Barangkali pendekatan yang paling umum dipakai adalah unruk mengidentifik tahap-tahap dalam proses
kebijakan publik, dan kemudian menganalisis determina determinan dari masing-masing tahap tertentu. Ini
merujuk pada konsep siklll\ k bijakan yang lazim dikenal, seperti ban berjalan (conveyor). Dalam pendekatan 10
masalah-masalah masyarakat pertama-tama diakui sebagai suatu isu unruk dilakll tindakan, dan kemudian
kebijakan ditetapkan, diimplementasikan oleh para pej,lb agensi, dievaluasi, dan akhirnya diterminasi atau
diubah atas dasar keberhasilan ,It kekurangannya. Tentu saja proses ini jauh lebih kompleks, ketimbang
gambaran ran lebih sederhana ini. Namun demikian, pada saat kita bicara tentang siklus kebijak,lII kita bicara
suatu proses kebijakan melalui mana kebanyakan kebijakan publik melin tasi. Sekalipun, realitas dari proses
kebijakan adalah sangat kompleks, proses ini bi dipahami secara lebih baik dengan membayangkannya seolah-
olah kebijakan itllill lewati sejumlah tahap yang berbeda-beda. Selama lebih dari tiga dekade, para anau
kebijakan publik telah membuat kemajuan secara substansial dalam memeroleh pem haman yang lebih baik
tentang siklus kebijakan. Beberapa penulis telah meneliti asp k aspek tertentu dari siklus kebijakan publik, dan
telah memajukan pemahaman tentan setiap tahap kebijakan. Berbagai aspek siklus kebijakan telah dipelajari
seeUJ leb mendalam, ketimbang aspek-aspek lainnya (misalnya, perumusan kebijakan pllblik sementara
aspek-aspek lain baru mulai dikembangkan lebih jauh oleh penelitian ran berupaya memajukan konsep-konsep
yang tercakup atau menguji sejumlah hipote yang menjelaskan aspek tertentu dari siklllS kebijakan (misalnya,
perubahan keblJak an). Misalnya hasil studi John Kingdon telHang agenda setting telah memberikan pen
jelasan yang sangat bermanfaat tentang determinan-determinan penting dari tahap ill

Risel mendatang seyogianya diarahkan untuk menguji model ini, dan model-model lam darimasing-masing
tahap dari siklus kebijakan. Hasil studi ini baru merupakan pl'rmulaan untuk meneliti politik teIHang perubahan
kebijakan.

Pendekatan Substantif

Banyak ilmuwan kebijakan publik menjadi spesialis substanrif dalam suatu bi-d.mg tertentu. Misalnya, mereka
mungkin menganalisis determinan-determinan dari perumusan kebijakan lingkungan, implemenrasi, atau
perubahan. Para ilmuwan lain-nya menjadi spesialis kebijakan pendidikan, spesialis kebijakan pemeliharaan
kesehat-an, spesialis kebijakan energi, spesialis kebijakan penanggulangan kejahatan, atau spe-

ialis kebijakan kesejahteraan. Para spesialis ini mungkin tetap berada dalam konreks uatll bidang substantif
bagi sebagian besar karir profesional mereka, atau secara alter-luriC mereka mungkin meneliti kebijakan dalam
suatu bidang tertenru unruk jangka pendek, dan kemudian berpindah ke bidang kebijakan lainnya. Suatu
penelitian ten-tangartikel-artikel yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal terkemuka di Amerika Serikat,
bagian besar bidang yang dipelajari dari perspektif substanrif adalah kebijakan eko-nomi (14,5%),
ilmu/kebijakan teknologi (14,1 %), dan kebijakan luar negeri (13,7%).

uaru penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa studi-studi kebijakan kesehatan clan sumber
alam/energi/lingkungan adalah bidang-bidang yang paling banyak dipe-Iajari sdama kurun waktu 1875-1984.3R
Namun demikian, bidang-bidang substanrif yang menarik perhatian yang paling besar mungkin akan berubah
daram kurun waktu lertl'ntu.

Beherapa ilmuwan kebijakan berpendapat bahwa keahlian (expertise) dalam bidang ubslanrif sangat
dibutuhkan dan memberikan kepada seseorang kredibilitas yang sa-ngat besar, ketimbang seorang analis
kebijakan "generic," yang merupakan seorang spe-ialis kebijakan kesejahteraan bulanan dan spesialis
kebijakan penanggulangan kejahat-n bulan berikutnya. Unruk memeroleh keahlian dalam suatu bidang
substanrif sering

Ii membutuhkan seseorang menjadi akrab dengan aspek-aspek teknik dan politik ri sualU bidang kebijakan.
Misalnya, Charles O. Jones menulis sebuah buku klasik nrang kebijakan kualitas udara dalam tahun 1970-an;
dia harus mempunyai hubung-n )'ang sangat akrab dengan isu-isu teknik maupun isu-isu politik yang berkaitan
dengan udara bersih:\l) Dengan melakukan hal demikian, dia mampu menghasilkan se-uah buku yang sangat
bagus yang mengombinasikan keterampilan analisis kebijakan nran keahlian substantif.

[)i lain sisi, beberapa i1muwan kebijakan berpendapat bahwa pengetahuan subs-ntlf seeara relatif tidak
diperlukan untuk menjadi seorang analis kebijakan yang ba

pilan dalam proses dan metode kebijakan publik. Substansi secara relatif tidak pen{ln Namun demikian, dalam
pandangan Lester dan Stewart, substansi adalah penllno rena bisa memberikan seseorang suatu wawasan
tentang persoalan-persoalan \,\11 tanyakan dalam melakukan suatu analisis kebijakan. Pengetahuan tentang
slibst, n I dibutuhkan untuk memahami dan untuk menginterpretasikan penemuan-pcnemu empirik dari seorang
peneliti. Bagaimanapun, akan selalu ada mereka yang hlrp dapat salah satu pandangan atau menentang
pengetahuan substantif dalam al1.lli i bijakan. Ini merupakan bidang dari pilihan individual untuk menaikkan
gcng i k ilmuan dari para ilmuwan kebijakan.

Pendekatan Logical-Positivist
Pendekatan logical-positivist, sering kali disebut sebagai pendekatan perila (behavioral approach) atau
pendekatan keilmuan (scientific approach), menganjurk penggunaan teori-teori yang berasal dari penelitian
deduktif (deductively derived tlJeoTi model-model, pengujian hipotesis, data keras (hard data), metode
komparasi, dan an lisis statistik yang ketat. "Keilmuan" (scientific) dalam konteks ini mempunyai makna
beberapa hal. Pertarna, mempunyai makna mengklarifikasi konsep-konsep kllnCl )In digunakan dalam analisis
kebijakan. Misalnya, konsep-konsep, seperti implemcJIl kebijakan harus didefinisikan lebih hati-hati, ketimbang
pada masa lalu. Sebelumn implementasi didefinisikan sebagai dikotomi yaltidak, ketimbang sebagai suatu pro
merancang garis-garis pedoman, menyediakan dana, memonitor kinerja, dan mempe baiki undang-undang.
Kedua, mempunyai makna bekerja dari teori ekspli it telllan perilaku kebijakan, dan menguji teori ini dengan
hipotesis-hipotesis. Ketiga, memp nyai makna menggunakan data keras, mengembangkan langkah-langkah
yang ba terhadap berbagai fenomena, dan secara ideal, menyelidiki bermacam-macam penjl an melewati
waktu. Pendekatan ini sebenarnya mulai digunakan pada saat terjadi reI lusi perilaku (behavioral revolution)
dalam ilmu sosial segera setelah Perang DuniJ I Pendekatan ini telah berlangsung selama lebih dari 50 tahun,
dan telah menjadi p dekatan epistemologi yang dominan dalam ilmu politik. Namun demikian, pend ka an
keilmuan ini bukan tanpa kritik, yang berpendapat bahwa pendekatan itu k I dalam memahami proses kebijakan
dengan memperlakukannya sebagai sebuah "pro~ rasional."41 Yaitu, proses kebijakan adalah jauh lebih
kompleks, ketimbang perspek[ seperti ban berjalan. Dengan demikian, pendekatan ini tidak memberi kemlllwkin
untuknya sebagai suatu teknik anal is is yang sangat canggih. Kritik ini mengamhtl be tuk dekonstruksi
postpositivist terhadap metode-metode perilaku tradisional, dan b r pendapat sebagai penggantinya
pendekatan yang lebih intuitif atau pendekatan pan sipatori terhadap analisis kebijakan publik

Pendekatan Ekonometrik

Pendekatan ekonometrik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the pllblic choice approach) atau
pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada leori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan
bahwa sifat alami manusia dtasumsikan "rasional," atau dimotivasi oleh peneapaian seeara pribadi murni.
Pende-blan ini beranggapan bahwa orang mengejar preferensi-preferensi mereka yang berbo-hot tetap,
terlepas hasil-hasil kolektif.42 Seeara esensial, pendekatan ini mengintegrasi-bn wawasan umum tentang riset
kebijakan publik dengan metode-metode keuangan puhlik. Misalnya, diasumsikan bahwa preferensi-preferensi
individu adalah sempit dan heragam, yang membutuhkan individu mengagregasikan preferensi-preferensinya
ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta tindakan pemerintah.

Pendekatan ini telah memerolah respek dalam ilmu kebijakan, sekalipun dikritik sehagai pendekatan yang agak
sempit terhadap anal is is kebijakan. Seeara khusus, ada yang berpendapat bahwa pendekatan ini tidak sarna
sekali salah, tetapi pendekatan ini dianggap tidak lengkap dalam asumsi-asumsinya tentang sifat manusia dan
kekuasaan politik. Secara khusus, manusia adalah altruistik (tidak hanya rasional atau egois), dan dengan
demikian, kadangkala dimotivasi untuk melayani kepentingan publik atau ke-pentingan kolektif. 43

Pendekatan Fenomologik (Postpositivist)


Dalam kurun waktu belakangan muneul keeewaan y~ng semakin meningkat de-ngan penggunaan metode-
metode keilmuan (termasuk pendekatan positivisme logik d~ln pendekatan ekonometrik) dalam studi kebijakan
publik. Para ilmuwan yng me-Ilentang studi keilmuan (behaviora~ terhadap kebijakan publik lebih menyukai
suatu pelldekatan di mana intuisi adalah lebih penting daripada pendekatan-pendekatan ke-ilmllan/positivist.
Pendekatan ini dinamakan pendekatan phenomologik, naturalistik, ,Hau postpositivist. Pada intinya,
pendekatan ini berpendapat bahwa para analis perlu mengadopsi "suatu respek bagi penggunaan intuisi yang
sehat seeara tertib, yang di-rillya dilahirkan dari pengalaman yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis,
kuan-lifibsi, dan data keras," Seeara merodologik, para analis memperlakukan setiap poton-gan Jari fenomena
sosial sebagai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif menjadi yang paling
penting. Pandangan alternatif ini dideskrip-

ikan oleh kepedlliiannya dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis kerja, ketimbang
dengan penglljian hipotesis yang ketat, dan dengan hubung-an umbal balik antara peneliti dan objek studi,
ketimbang observasi yang terpisah di pihak para analis. Untuk mengumpulkan 'bukti," pendekatan ini lebih
memanfaatkan penggllnaan srudi-studi kasus seeara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-tcknik
analisis yang eanggih. Singkatnya, pendekatan ini lebih menekankan pada kepeduliannya pada keketatan
keilmuan dengan intuisi dan pembenaman seeara men luruh dalam informasi yang relevan.

Kritik-kritik terhadap pendekatan postposivisti naturalistik lebih dikaitkan pad. k kurangan keketatannya dan
bergerak menjauhi pendekatan keilmuan yang dianjurk oleh kelompok behavioralis dan kelompok ekonomi.
Seolah-olah para pendukung pe dekatan post positivist/naturalist ini menginginkan peneliti kembali ke
pendekatan pr behavioral! praperilaku tahun 1940-an dan tahun 1950-an, di mana srudi-studi de kriptif,
nonscientific, dan intuitive memberikan eiri sebagian besar apa yang dilakuk bagi analisis kebijakan.

Pendekatan Partisipatori

Pendekatan partisiparori ini dikaitkan dengan pandangan Peter DeLeon, \'an mempunyai kaitan erat dengan
tantangan post positivist, dan meneakup inklusi perh tian yang besar dan nilai-nilai dari berbagai stakehoders
dalam proses pembuatan kep tusan kebijakan.44 Pendekatan ini agaknya lebih dekat dengan apa yang discbul
ole Harold Lasswell, "policy sciences of democracy, di mana populasi yang diperluas dari pa warga negara
yang dipengaruhi terlibat dalam perumusan dan implemenrasi kebijak publik melalul serangkaian dialog yang
tidak berkesinambungan.45 Pendekatan inllll eakup dengar pendapat terbuka seeara ekstensif dengan
sejumlah besar warga neg yang mempunyai kepedulian, di mana dengar pendapat ini disusun dalam suatu
unruk mempereepat para individu, kelompok-kelompok kepentingan, dan para pejab agensi memberikan
kontribusi mereka kepada pembuatan desain dan redesain kebila an. Tujuan yang dinyatakan dari analisis
kebijakan partisipatori adalah mengumpul informasi sehingga para pembentuk kebijakan bisa membuat
rekomendasi dan kep tusan yang lebih baik (misalnya, informasi yang lebih lengkap). Sebagai suatu pendeka
an terhadap analisis, pendekatan ini menyarankan pertimbangan tenrang sejuml.th b sar pemain (players), dan
nilai-nilai dalam proses pembuatan kebijakan, dan den demikian, mempunyai katalog yang lebih baik dari
berbagai perspektif yang dihad, kan pada saat kebijakan sedang dipertimbangkan.

Oi lain sisi, kritik-kritik terhadap pendekatan partisipatori sering kali meng.ua bahwa kerlibatan warga negara
yang meningkat akan menimbulkan peningkatan pu dalam pertikaian kelompok atas program dan prosedur,
dan hal ini akan men i m 1111 I penundaan yang tidak ada gunanya dalam perumusan dan implemenrasi, schin
biaya pembuatan kebijakan dan implemenrasi akan meningkat pula seear,l dram dan kepentingan-kepentingan
yang tidak senang akan meneoba merusak progra program melalui litigasi atau minra perlindungan kepada
parlemen. Lebih dari ilUmana ekspcrimen-eksperimen partisipatori telah dicoba sebelumnya, kebingungan dan
kop.Hik akan segera meningkat.

Pendekatan partisipatori mungkin bermanfaat sebagai arahan kepada pembentuk-an agenda. perumusan
kebijakan, dan implementasi kebijakan, ketimbang tahap-tahap lain dalam proses kebijakan publik. Dalam
beberapa hal, pendekatan ini lebih merupa-~an preskripsi untuk desain atau redesain kebijakan atau,
ketimbang sebagai sllatu pen-katan empirik untuk memahami pembentukan kebijakan atau implementasi.

Pcndekatan Normatif atau Preskriptif

Dalam pendekatan normatif atau preskriptif, analis perlu mendefinisikan tugas-n)'a sebagai analis kebijakan
sarna seperti orang yang mendefinisikan "end state," dalam ani b,d1\va preskripsi ini bisa diinginkan dan bisa
dicapai. Para pendukung pendekatan lIli sering kali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan
retorika dalam ualU cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari posisi ll1ereka.
Bebcrapa contoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa dilihat dari hasil-hasil

lUdi ~'ang dilakukan oleh Henry Kissinger, Jeane Kirkpatrick, atau para ilmuwan poli-tik praktisi lainnya. Pada
intinya, mereka menggunakan agumen-argumen yang lihai dan (kadang kala) secara selektif menggunakan
data untuk mengajllkan suatu posisi POlllik dan ul1tuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi mereka dalam suaru
pilihan ke-bljakan yang layak. Kadang kala, tipe analisis ini mengarah kepada tuduhan bahwa para 'lI1alis
kebijakan sering kali menyembunyikan ideologi mereka sebagai ilmu.
Pcndekatan Ideologik

ekalipun tidak semua analis secara eksplisit mengadopsi pandangan konservatif lau p,lI1dangan liberal, mereka
nyaris selalu mempunyai suatu pandangan yang ter-tallaIll dalam analisis kebijakan mereka. Thomas Sowell
menamakan pendekatan ideo-IOl!i Ini "Yisi" ("visions") dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing.46

Pcrtl/llla, "visi yang dibatasi" (the constrained vision) merupakan suatu gambaran manusia egosentrik dengan
keterbatasan moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan oSlal yang fundamental adalah untuk membuat
yang terbaik dari kemungkinan-kcmungkinan yang ada dalam keterpaksaan/keterbatasan, ketimbang
menghamburkan

rgi d31am suatu upaya yang sia-sia untuk mengubah sifat man usia. Dengan logika Inl. kemudian. orang
seyogianya mengandalkan pada insentif, ketimbang disposisi, un-uk menJapatkan perilaku yang panras.
Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadap ukuman memberikan insenrif untuk memeroleh perilakll yang
panras. Secara funda-

ntJI, hal ini menghasilkan suatu pandangan konservatif tentang sifat manusia dan n mengarah kepada posisi
kebijakan yang lebih konservatif, jika orang beranggapan bahwa keterpaksaan utama berasal dari dalam
individu, ketimbang pembebanan berasal dari Iingkungan di luar individu.

Kedua, "visi yang tidak dibatasi" (the unconstrained vision) memberikan SlIa(u dangan ten tang sifat manusia di
mana pemahaman dan disposisi manusia adalah III ul1tuk memeroleh keuntungan-keuntugan sosial. Menurut
perspektifini, manusi,ll11 merasakan secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting, kcrim
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, dan karenanya mampu bertindak secara k ten dan secara adil, bahkan
pada saat kepentingan-kepentingan mereka atau kdu mereka terlibat. Kemudian, pandangan telHang sifat
manusia ini, sering kali Jikalt dengan pandangan liberal bahwa sifat manusia adalah tidak mempunyai keterbat
Agaknya, keterbatasan justru dikenakan oIeh lingkungan di luar individu.

Pendekatan Historis / Sejarah

Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka hp evolusi kebijakan publik melintasi
waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian ttlU kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puluh tahun atau
lebih. Dcng.lll mikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik sebelumnya yang
tidak dikenali karena anal is is menggunakan kerangka waklu pendek (misaln.ya, analisis Iintas sektional atau
analisis terbatas pada kurun wakru dekade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik dari
riuk dang kurun waktu yang panjang analis bisa memeroleh perspektif yang jauh lebih tentang pola-pola yang
ada dalam pembuatan kebijakan publik, baik misalnya Ji Il negara maju, seperti di AS, maupun di negara-
negara berkembang, seperti di Ind Sla.

Dalam kasus kebijakan publik di AS misalnya, ada dua perspektif yang berrcIll an mengenai sifat pembuatan
kebijakan publik. Pertama, perspektif yang mcnjcl,l bahwa pembuatan kebijakan cenderung mengikuti pola
siklus atau pola "zigZiI mana kecenderungan-kecenderungan yang lebih konservatis mengikuri kecenJcrun
kecenderungan liberal, dan kemudian pola ini terulang melinrasi waktu. Perspckt menyarankan suatu
pendekatan reaktif terhadap pembuatan kebijakan yang rer dan dalam beberapa hal, nonrasional sepanjang
waktu. Kedua, perpektif yang m rankan suatu penjelasan evolusioner, di mana kebijakan publik mereAeksikan
pcm jaran kebijakan, sejalan AS berkembang menuju pembuatan kebijakan yang Itbih (dan dengan implikasi
lebih rasional).

Pendekatan Kebijakan Global

Sejauh ini kita telah banyak mendiskusikan beberapa model dan pendekaun retik dalam analisis kebijakan
publik. Namun, perlu diingat model dan penJd\3 teoretik itu terkait dengan pembahasan formasi agenda dan
definisi masalah atau problem Ji dalam ranah negara nasional. Mengapa demikian? Mcnjelang berakhirnya
abad kl:-20, ll1emasuki abad ke-21, dan didahului oleh peristiwa-peristiwa besar, yaitu ke-bangkitan
neoliberalisme melalui kemenangan kelompok Kanan Baru (the New Right) .ttau kelompok Neoliberal, dan
menyusul kemudian berakhirnya Perang Dingin, du-nia mengalami perubahan besar yang sangat cepat, dan
memunculkan sebuah feno-mena baru yang kemudian dikenal dengan globalisasi. Konsekuensinya adalah
agenda kebijakan publik tidak lagi semata-mata ditentukan dan didefinisikan dalam ruang ling-kUI nasiona!.
Oleh karenanya, sistem politik (dengan "kotak hitam" atau "black box,"

ang dianggap tempat krusial decisions diputuskan oleh policy makers), sebagai sebuah pl'ndekatan dalam
kebijakan publik, yang konotasinya terkait dengan institusi nasional ,/fall pClIJerintahan nasional atau negara
bangsa, dalam konteks tertentu sudah tidak mmJ'Jdai lagi, clan digantikan oleh apa yang disebut sistem global
(global system), atau \'\'allerstein menyebutI1ya sistem dunia (world system).47

G/oba!isasi dan Globalisme

Dalam sistem global, struktur dan proses saling berkairan. Masing-masing aktor, h.uk negara bangsa (nation-
state), maupun unit-unit polirik lainnya, seperti akror-aktor transnasional (transnational actors), seperti MNCs,
dan lembaga-Iembaga governance glolltl!: IMF, WTG, dan World Bank, berperilaku dalam sebuah cara yang
fundamental bcrkaitan ridak hanya dengan struktur dan proses internal dalam dimensi polirik, so-
ial, dan ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup, rerapi juga berkairan dengan per-psi mereka renrang rempar
dan peran mereka dalam sisrem global. Sisrem global .ldalah sistem yang hierarkhis, di mana para aktor
secara akur menyadari kedudukan dan status mereka, dan ini menenrukan apa yang bisa mereka lakukan.

Dalam konreks globalisasi isu dan masalah menjadi semakin kabur, apakah do-meslik atau global, dan ini
disebabkan oleh globalisasi yang telah membuar state bor-der!l'SS.'s lebih dari itu, globalisasi relah pula
membuar dunia sekarang ini semakin It'rilllegrasi, dalam dimensi-dimensi polirik, sosial, ekonomi, budaya dan
sebagainya. S.llah sam fakror penyebabnya adalah revolusi di bidang reknologi komunikasi dan hi.l)'a-hiaya
transportasi yang semakin murah. Selain itu, globalisasi relah memuncul-bn suatLi pola hubungan bam di mana
enriras-entiras polirik, seperti negara tidak lagi o(onom dan berdaulat penuh aras wilayah reritorialnya atau
sebagai saru-samnya enti-las polilik pemegang kedalliatan. State borderless sebagai bentuk ekonomi polirik
baru di era globalisasi ini, telah mengurangi kemampuan negara dalam melakllkan kontrol polirik, ekonomi,
sosial dan budaya. Sebaliknya, globalisasi relah memunculkan suarll benluk hubungan saling keterganrungan
(interdependence) dan saling kererhubungan

imrrcollllcctiolJ) anrarnegara bangsa dan aktor-aktor transnasional yang terintegrasi se-ra !!lobal.

Diskusi tentang globalisasi perlu pula melihat pandangan Giddens. Menurut Giddens, terdapat tiga faktor utama
yang membentuk globalisme sebagai berikut: per-tama, perusahaan transnasional; kedua, berkembangnya
integrasi ekonomi; dan ketiga, globalisasi ekonomi dan media.49 Menurut Giddens, ruang dan waktu di dunia
mo-dern telah ditata ulang, dan memuculkan sebuah tatanan baru itu dalam dirinya, yang mengandung ciri
"global". Globalisasi memuat beberapa dimensi kehidupan. (Lihat gambar 3.4.) Selanjutnya, Giddens juga
berpendapat bahwa ada tiga teori pentingyang mendasari terjadinya proses globalisme. Pertama, imperialisme
dan neo-imperialisme: globalisme sebagai produk dari ekspansi kapitalisme; kedua, dependensi: globalisme
sebagai perkembangan yang timpang dan dominasi dunia maju atas dunia yang belum maju; ketiga, sistem
dunia: globalisme sebagai produk relasi negara inti (core), semi-pinggiran (semi-periphery), dan pinggiran
(periphery).5o

GAMBAR

Dalam globalisasi neoliberal dan pasar bebas, yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan pasar (the powers of
market), seperti MNCs, dan pendukungnya: lembaga-lembaga governance global, seperti IMF, Bank Dunia,
dan WTO, yang semakin kuat dan berpengaruh, maka kemampuan negara dalam menyusun agenda dan
membentuk kebijakan nasionalnya secara mandiri menjadi semakin melemah. Terlebih bagi sebuah negara,
yang mengintegrasikan ekonomi nasionalnya kedalam ekonomi global yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi, perdagangan, dan finansial global, yang notabene-nya adalah the powers of market dan lembaga-
lembaga governance globaL, yang semua ini dimasukkan ke dalam apa yang disebut kekuatan-kekuatan
neoliberal. Bagi negara-negara yang menganut kebijakan embedded neoliberalism (neoliberalisme yang
terkendali),'il dalam arti menginregrasikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi glo-

bal, negara-negara tersebut tidak kehilangan kemarnpuan mereka dalam membentuk dan
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan nasional mereka. Sebagai contoh ada-lah China, yang menganut
kebijakan Sosialisme Pasar (Market Socialism). Negara itu mengintegrasikan ekonorni nasionalnya ke dalam
ekonomi global, namun China ma-sih mampu secara mandiri menyusun agenda kebijakan dan
mengimplementasikan kebijakan nasionalnya secara lebih mandiri, misalnya dalam kebijakan pembangunan.
Sekalipun kebijakan ekonomi China menganut pasar bebas, negara Tirai Bambu ini mampu bertindak sebagai
regulator, dalam menjalankan fungsi regulatif, infrastrukral, dan redistributif,52 untuk mengamankan kebijakan
pro-rakyat dalam hal memberikan kesejahteraan bagi para warga negaranya. Dalam konteks ini, kebijakan
pembangunan China berlandaskan pada apa yang disebut negara pembangunan (developmental state). China
tidak hanya mampu menepis tekanan-tekanan kuat dan gencar dari kekuatan-kekuatan pasar (the powers of
market), dan lernbaga-lembaga governance global, tapi China bahkan mampu memanfaatkan mereka dengan
berperan sebagai regulator. China, dengan demikian, masih mempunyai a greater freedom of action dalam
rnembentuk agenda, merumuskan, dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan nasionalnya, se-iring
meningkatnya serbuan dan intervensi dari kekuatan-kekuatan neoliberal skala glo-bal ke banyak negara
berkembang, termasuk Indonesia.

Dalam sebuah sistern global kebijakan-kebijakan publik di banyak negara di saru sisi, sangat dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan. neoliberal skala global, yang meng-andalkan pada foreign direct investment (FDf), skill
people, the global media, dan pengua-saan teknologi tinggi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa telah terjadi
pelernahan ke-mampuan pembuat kebijakan nasional dalam menyusun agendanya. Globalisasi, yang
menjadikan borderlessness memunculkan semakin perkasanya kekuatan-kekuatan neo-liberal yang semakin
berpengaruh dan menyebar luas di segala penjuru dunia, sehingga membuat peran negara-bangsa menjadi
termarjinalisasi dan semakin melemah vis-a-vis aktor-aktor non-negara (transnational acton), khususnya MNCs.
Di sisi lain, di era glo-balisasi kebijakan-kebijakan publik bisa berlangsung dalam suaru sistem global atau
sistem dunia. Oleh karena iru, pertanyaan yang diajukan adalah apa ciri khas dari sis-tem global dan apa
darnpaknya terhadap cara pandang kita dalam mengalisis proses penetapan agenda dan cara penyelesaian
masalah-masalah publik. McGrew dan Lewis, 1992) mernberikan ciri utama dari global politics sebagai
berikut:53

Pertama, Kompleksitas dan diversitas: terjadi peningkatan dalam kompleksitas dan diversitas dalam konteks
instirusi dan organisasi, yang berakibat "agenda global" men-jadi semakin rumit. Dalam hubungan internasional
konternporer era globalisasi perlu dibedakan isu-isu keamanan tradisional dan keamanan non-tradisionaJ.54
Pendekatan

keamanan tradisional terkait erat dengan tradisi realisme dan neorealisme. Kaum neo-r~lisme beranggapan
objek acuan keamanan adalah negara dan struktur internasional yang anarkhis. Oleh karena itu, negara harus
meningkatkan kemampuan militer untuk mengamankan dan menjaga kedaulatannya. Dengan demikian,
keamanan dan perta-hanan bukan lagi satu-satunya isu global, masih ada isu-isu lain yang disebut sebagai isu
keamanan non-tradional, berkaitan dengan human security.

Dimensi keamanan non-tradisional menjelaskan bahwa keamanan diterjemahkan tidak hanya pada kekuatan
bersenjata dan politik, tetapi lebih didominasi oleh faktor-faktor, yang berkaitan dengan populasi penduduk,
kejahatan transnasional yang ter-organisasi (misalnya human trafficking dan drugs trafficking), terorisme,
sumber daya alam, global warming, bencana alam, lingkungan hidup, penyakit (disease), dan kejahat-an cyber,
dan sebagainya. Semua ini merupakan apa yang disebut existential threats, yaitu ancaman-ancaman yang
akan selalu ada dan senantiasa mengancam kehidupan sebuah komunitas, tidak hanya dalam sebuah negara,
namun mengancam kemanusian secara menyeluruh di muka bumi ini, atau worldwide. Ringkasnya, masalah
dan isu publik menjadi kabur apakah domestik ataukah global, demikian pula dalam penetap-an agenda,
nasional atau global.

Kedua, Pola interaksi yang intens: level interaksi dan lingkup interaksi negara bangsa menjadi semakin besar.
Dala~ sebuah sistem global, interaksi negara bangsa tidak lagi hanya anrarnegara bangsa dalam konteks
hubungan multilateral, terapi juga interaksi negara bangsa dengan aktor-aktor non-negara, yang cakupannya
sangar luas, yairu worldwide.

Ketiga, Kerenranan negara bangsa: adanya kairan strukrural antara area domesrik dan eksrernal (global),
memberikan implikasi bahwa agenda kebijakan nasional sema-kin dipengaruhi oleh perkembangan negara-
negara lain dalam semua dimensi kehidup-an, yang pada gilirannya berarti negara bangsa di era globalisasi ini
semakin berkurang kemampuannya dalam mengonrrol agendanya. Negara bangsa relah kehilangan
otono-minya, sehingga kebijakan publik dalam mengatasi masalah arau isu publik ridak bisa diselesaikan
secara sendirian. Oleh karena iru, kerja sama anrarnegara bangsa sangar dibutuhkan untuk membentuk
agenda, maupun kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah publik lintas baras negara, baik
berkairan dengan isu-isu keamanan tradisional, maupun isu-isu keamanan non-rradisional.

Keempat, Perubahan yang pesat dan melebar: perubahan bukan hanya cepat, re-rapi juga bisa melebar secara
ridak rerduga, menyenruh isu-isu dan masalah publik lainnya. Dari sudut pandang penentuan agenda, hal ini
sangatlah penting. Dalam hal ini Rossenall berpendapat bahwa:

lsu ditransformasikan seperti aliran yang menurun. Saar aliran memeroleh mo-mentum dan menyeret banyak
aktor yang lebih banyak, nilai-nilai dan konsekuen-sinya di dalamnya mengisyaratkan adanya peru bahan, dan
masing-masing nilai dan konsekuensi itu memperbesar kompleksiras dan dinamika struktur yang
meng-hubungkan para akror tersebllr. Seperti istilah meteorologi, butterfly effect, suatu
bukan tidak mungkin pelaku bisnis dalam negeri bisa menjadi mitra dan sekaligus mendukung kebijakan
pemerintah untuk mau menjadi penyeimbang atau counter balance bagi pelaku bisnis global, yang dikendalikan
oleh para kapitalis pasar global. Fakta sekarang ini menunjukkan bahwa di satu sisi, pelaku bisnis national/lokal
sangar lemah, yang hanya mampu memiliki peran marjinal, ibaratnya tukang jahit, atau pe-rakitan (assembling),
komoditas perusahaan-perusahaan bisnis global, sementara di sisi lain, pelaku bisnis global, yang didukung
oleh FDI, SDM yang sarat dengan high skill people, teknologi canggih, dan the power a/media, menjadi
penguasa yang kuat, domi-nan, menentukan dalam pasar domestik, sekaligus pengaruh kuat mereka dalam
pe-nyusunan agenda, perumusan, dan implementasi kebijakan publik, yang mengabdi ke-pada kepentingan
mereka, yakni kepentingan kapitalis global, yang dikendalikan oleh negara-negara maju dan Barat.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan sebelumnya menyangkut pen-dekatan-pendekatan teoretik,
yang dapat digunakan dalam analisis kebijakan adalah bahwa para ilmuwan politik secara individual sering kali
menunjukkan suatu prefe-rensi untuk satu teori, dil1andingkan dengan menggunakan pendekatan yang lain.
Masing-masing pendekatan yang telah disampaikan di awal uraian, seperti tdah ditun-jukkan sebelumnya
mempunyai kelemahan dan keunggulannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam tulisan ini tidak berpretensi
untuk mengatakan bahwa suatu pende-katan teoretik adalah sangat memuaskan atau paling baik untuk
melakukan analisis terhadap kebijakan publik, dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Hal ini terjadi
karena bisa jadi suatu pendekatan akan sangat "mumpuni" untuk melakukan analisis terhadap suatu kebijakan
tertentu, tetapi mungkin pendekatan tersebut tidak akan ba nyak membantu dalam melakukan analisis
terhadap kebijakan lainnya. Masing-masing teori atau pendekatan lebih memusatkan pada aspek-aspek politik
dan pembuatan ke-bijakan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan, seperti ini nampakn)'J lebih
bermanfaat bagi beberapa tujuan dan beberapa situasi terrentu, ketimbang bagi tujuan-tujuan dan situasi-
situasi yang lain.

Dengan demikian, secara umum orang tidak harus terikat secara ketat atau dog. matis kepada model atau
pendekatan teoretik terrentu. Suatu aturan yang baik adalah yang bersifat elastis dan luwes dan menggunakan
teori-teori tersebut sebagai komep-konsep yang mengorganisir yang nampak paling bermanfaat untuk
mdakukan analisis kebijakan, serra penjelasan yang memuaskan mengenai kebijakan publik atau tindakan
politik terrentu. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa penjdasan telHang perilaku politik dan bukan
pengesahan pendekatan teoretik terrentu seharusnya meru-pakan tujuan pokok dari penyelidikan dan analisis
politik. Dengan demikian, masing-masing pendekatan teoretik yang tdah dibahas sebelumnya dapat
memberikan sum-bangan dalam memahami pembuatan kebijakan publik.

Anda mungkin juga menyukai