Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TEKNIK DAN MODEL KEBIJAKAN

Disusun untuk Memenuhi Matakuliah Analisis Kebijakan Pendidikan


Dibimbing oleh Prof. Dr. Bambang Budi Wiyono, M.Pd dan Dr. Asep Sunandar,
S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:

Febiolola Milinia Triana 220132800119


Kasihadi Susanto 220132802500
Siti Anifah 220132801975

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S2 MANAJEMEN PENDIDIKAN
SEPTEMBER 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini pada mata
kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dan kewajiban
kami sebagai mahasiswa serta agar mahasiswa yang lain dapat melakukan
kegiatan seperti yang kami lakukan. Dalam tugas makalah ini kami akan
membahas mengenai “Teknik dan Model Kebijakan”.
Dengan ini tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dosen mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan, Bapak Prof. Dr. Bambang
Budi Wiyono, M.Pd dan Bapak Dr. Asep Sunandar, S.Pd., M.Pd.
2. Serta anggota kelompok yang tentunya begitu banyak membantu hingga
terselesaikannya penulisan makalah ini.
Sebagaimana hadis Rosullullah, manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
penulis menyadari tugas ini masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan di
dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membagun sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan kami.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Malang, 10 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

ii
DAFTAR GAMBAR

iii
DAFTAR TABEL

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan (policy) umumnya digunakan untuk memilih dan

menunjukkan pilihan terpenting untuk mempererat kehidupan, baik dalam

kehidupan organisasi kepemerintahan maupun privat. Kebijakan harus

bebas dari konotasi atau nuansa yang dicakup dalam kata politis (political),

yang sering diyakini mengandung makna keberpihakan akibat adanya

kepentingan. Kebijakan sebuah ketetapan berlaku dan dicirikan oleh

perilaku yang konsisten serta berulang, baik dari yang membuatnya

maupun yang menaatinya (yang terkena kebijakan). Adapun kebijakan

publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang lebih kurang saling

berhubungan (termasuk keputusan-keputusan yang tidak bertindak) yang

dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah.

Ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan

publik. Pertama, fokus utamanya adalah penjelasan kebijakan, bukan anjuran

kebijakan yang “pantas”. Kedua, sebab dan konsekuensi dari kebijakan

publik diselidiki dan diteliti dengan menggunakan metodologi ilmiah.

Ketiga, analisis dilakukan dalam rangka mengembangkan teori-teori umum

yang dapat diandalkan tentang kebijakan publik dan pembentukannya

sehingga dapat diterapkan di lembaga-lembaga dan bidang-bidang

kebijakan yang berbeda. Analisis kebijakan publik sangat berguna dalam

merumuskan ataupun mengimplementasikan kebijakan publik. Teori- teori

dalam analisis kebijakan publik pada akhirnya dapat digunakan untuk

mengembangkan kebijakan publik yang baik pada masa yang akan datang.

Tahap pengambilan keputusan dalam siklus kebijakan mendapatkan

perhatian lebih dalam tahap awal pengembangan ilmu kebijakan ketika para

analis banyak meminjam dari berbagai model pengambilan keputusan

dalam organisasi yang kompleks, sebagaimana dikembangkan oleh para ahli

1
administrasi publik dan organisasi bisnis (Anthony Cahill dan E. Sam

Overman, 1990). Pada pertengahan tahun 1960-an, diskusi tentang

pengambilan keputusan kebijakan publik berubah fokus ke perdebatan

seputar model rasional dan model inkremental (David Braybrooke dan

Charles Lindblom,, 1959: 79-88).

Tujuan dari bab ini adalah untuk membahas berbagai model yang ada

dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan menelaah

perkembangan terbaru di bidang ini. Bab ini akan diakhiri dengan

menawarkan sebuah model alternatif pengambilan keputusan dalam

pemerintahan, yang memperhitungkan permasalahan pembatasan

kekuasaan dan signifikansi subsistem kebijakan.


1.2 Ruang Lingkup Bahasan
Lola
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini diperlukan
ruang lingkup bahasan agar, hasil makalah sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Adapun ruang lingkup bahasan sebagai berikut:
1. Mampu mengetahui pengertian …………..
2.
3.

2
1.3 Tujuan
Lola
Dari ruang lingkup bahasan tersebut munculah tujuan makalah sebagai
berikut:
1. Mampu mengetahui pengertian …………

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan Publik (Lola)

B. Model Kebijakan Publik (Bersama)


1) Model Menurut Hasil dan Dampak
a. Model Rasional
Model rasional adalah rasional dalam pengertian bahwa model

tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan

keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk

mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran

pemikiran positivisme dan rasionalisme pada zaman pencerahan yang

berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk

meningkatkan kondisi hidup manusia (Michael Carley, 1980: 11).

Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai

permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ilmiah dan

rasional, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai

alternatif solusi, kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik (Carol

H. Weiss, 1977: 531).

Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional

berakar pada usaha awal untuk membangun sebuah disiplin ilmu tentang

perilaku organisasi dan administrasi publik. Berbagai elemen dari model

ini bisa ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal,

seperti Henry Fayol di Prancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di

Inggris dan Amerika Serikat. Dengan menjadikan ide yang dikemukakan

4
oleh Fayol dalam studinya tentang industri batu bara di Prancis menjelang

abad ke-20 (Henry Fayol, 1985).

Gulick dan Urwick mengodifikasikan sebuah model sebagai

keputusan terbaik yang bisa diambil. Model podscorb yang mereka

kembangkan menyiratkan bahwa organisasi dapat memaksimalkan kinerja

melalui perencanaan, pengorganisasian, pengambilan keputusan,

penentuan pilihan, pengoordinasian, perekrutan, dan penganggaran yang

terencana (Luther Gullick, 1937). Bagi Gulick dan Urwick, pengambilan

keputusan atas suatu tindakan tertentu berarti menimbang antara

keuntungan dan biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan.

Model ini merupakan model perumusan kebijakan yang paling

terkenal dan paling luas diterima para kalangan pengkaji kebijakan publik.

Pada dasarnya model ini terdiri atas beberapa elemen, yaitu sebagai

berikut.

1)  Pembuatan keputusan dihadapkan pada masalah tertentu. Masalah ini

dapat dipisahkan dengan masalah lain atau dapat dipandang bermakna

dibandingkan dengan masalah lain.

2) Tujuan, nilai, atau sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan

dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.

3)  Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.

4) Konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan

alternatif diteliti.

5) Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat

dibandingkan dengan alternatif lain. Pembuat keputusan memiliki

alternatif beserta konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan,

nilai atau sasaran yang hendak dicapai. Keseluruhan proses tersebut

akan menghasilkan suatu keputusan rasional, yaitu keputusan yang

efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

Kritik terhadap model rasional datang dari ilmuwan Herbert Simon, di

awal 1950-an, dia menyodorkan beberapa rintangan bagi para pembuat

5
keputusan dalam mencapai rasionalitas komprehensif yang „murni‟.

Penilaian Simon mengenai model rasional menyimpulkan bahwa

keputusan publik dalam praktiknya tidak dapat memaksimalkan

keuntungan yang lebih besar dari biaya, tetapi hanya cenderung untuk

memuaskan para pembuat keputusan. Ada 3 hal yang menyebabkannya,

yaitu manusia:

1. memiliki keterbatasan intelektual,

2. mempunyai keterbatasan waktu dan tenaga,

3. mempunyai keterbatasan informasi.

Langkah-langkah pengambilan keputusan secara rasional adalah sebagai

berikut.

6
Contoh pengambilan keputusan kebijakan publik model rasional :

Pemerintah akan meningkatkan produksi beras di suatu kecamatan. Model

ini akan melihat aspek-aspek yang berkaitan dengan peningkatan produksi

beras, seperti penyediaan bibit unggul, pupuk, irigasi, ketersediaan lahan

pertanian, upah buruh tani, cuaca, penyediaan pestisida. Masing-masing

aspek akan dilihat dari sisi apakah sebagai faktor penghambat atau

pendorong untuk memperhitungkan efisiensi, keuntungan dan kerugian.

Alternatif akan diambil dari suatu kebijakan yang mengandung sesedikit

mungkin risiko kerugian dan inefisiensi.

b. Model Inkremental
Kritik terhadap model rasional komprehensif akhirnya

melahirkan model penambahan atau inkrementalisme. Berawal dari kritik

terhadap model rasional komprehensif, model ini berusaha menutupi

kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari

banyak masalah yang ditemui dalam model rasional komprehensif.

Model inkremental pada dasarnya merupakan kritik terhadap

model rasional. Pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti

yang diisyaratakan oleh pendekatan rasional karena tidak memiliki cukup

waktu, intelektual, dan biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang

tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya,

adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan

dan menghindari konflik (Wibawa, 1994: 11).

Model ini lebih bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan secara

aktual cara-cara yang digunakan para pejabat dalam membuat keputusan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari model

penambahan (inkrementalisme), yaitu sebagai berikut.

1)  Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empiris terhadap tindakan

yang dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat satu sama lain.

7
2)  Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif

untuk menanggulangi masalah yang dihadapi. Alternatif-alternatif ini

hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.

3)  Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi

beberapa konsekuensi yang dianggap penting.

4)  Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali

secara berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan

penyesuaian sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin

sehingga masalah dapat dikendalikan.

5)  Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap

“tepat” pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik bahwa

persetujuan terhadap berbagai analisis dalam rangka memecahkan

persoalan tidak diikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil

merupakan sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah

disepakati.

6)  Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan

remedial dan diarahkan lebih banyak pada perbaikan terhadap

ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada

mempromosikan tujuan sosial pada masa depan.

Inkrementalisme merupakan proses pembuatan keputusan dan

kebijakan yang merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama

antara banyak partisipan. Dalam kondisi seperti ini, keputusan yang

bijaksana akan lebih mudah dicapai kesepakatan apabila persoalan yang

dipersengketakan berbagai kelompok dalam masyarakat hanya berupa

perubahan terhadap program yang sudah ada atau hanya menambah atau

mengurangi anggaran belanja.

Sementara itu, konflik akan meningkat apabila pembuat

keputusan memfokuskan pada perubahan kebijakan besar yang dapat

menimbulkan keuntungan atau kerugian besar. Karena ketegangan politik

yang timbul demikian besar dalam menetapkan program atau kebijakan

8
baru, kebijakan masa lalu diteruskan untuk tahun depan, kecuali ada

perubahan politik secara substansial. Dengan demikian, pembuatan

keputusan secara inkrementalisme penting dalam rangka mengurangi

konflik, memelihara stabilitas, dan sistem politik.

Menurut pandangan kaum inkrementalis, para pembuat

keputusan dalam menunaikan tugasnya berada di bawah keadaan yang

tidak pasti, yang berhubungan dengan konsekuensi dari tindakannya

untuk masa depan maka keputusan inkremental dapat mengurangi risiko

atau biaya ketidakkepastian. Inkrementalisme juga mempunyai sifat

realistis karena didasari kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang

waktu, kecakapan dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk

melakukan analisis yang menyeluruh terhadap semua penyelesaian

alternatif masalah yang ada. Di samping itu, orang ingin bertindak secara

pragmatis, tidak selalu mencari cara hingga yang paling baik dalam

menanggulangi suatu masalah. Singkatnya, inkrementalisme menghasilkan

keputusan yang terbatas, dapat dilakukan dan diterima.

Model inkremental melihat pengambilan keputusan sebagai kegiatan

praktis yang berfokus pada pemecahan masalah yang sedang dihadapi

daripada berupaya mencapai tujuan jangka panjang. Dalam model ini,

cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan masalah ditemukan melalui

trial and error daripada evaluasi yang komprehensif dari semua cara yang

ada. Para pengambil keputusan hanya mempertimbangkan beberapa

alternatif yang familiar dan dianggap pantas, kemudian berhenti mencari

alternatif lain ketika percaya bahwa sebuah alternatif yang dapat diterima

9
telah ditemukan.

Kelemahan model incremental adalah hanya dapat diambil ketika masalah

yang dihadapi pembuat kebijakan publik merupakan masalah „rutin‟ dan

tidak dapat dilaksanakan untuk mengatasi masalah krisis.

Contoh Penyusunan anggaran belanja (APBD atau APBN) adalah masalah

rutin. Penggajian pegawai adalah masalah rutin. Kenaikan hanya

mengikuti anggaran-anggaran sebelumnya. Tetapi ketika terjadi krisis

moneter, penyusunan anggaran dan penggajian pegawai tidak dapat lagi

ditetapkan dengan sedikit perubahan dari kebijakan yang lalu. Di

Indonesia pada masa krisis moneter, penyusunan anggaran mengalami

perubahan yang drastis, demikian juga kenaikan gaji pegawai, sehingga

muncul tunjangan krisis bagi pegawai negeri dan kenaikan tunjangan

pejabat hingga 2.000 %.

Contoh pembuatan kebijakan publik model incremental adalah sebagai

berikut. Pembuat kebijakan publik akan meningkatkan produksi beras di

suatu kecamatan. Tahun 2001 produksi beras 10 ton/tahun dengan

suntikan dana pertanian 100 juta. Tahun 2002 produksi beras meningkat

menjadi 20 ton/tahun dengan suntikan dana 200 juta. Model incremental

10
akan membuat kebijakan publik pada tahun 2003 produksi beras

ditingkatkan menjadi 30 ton/tahun dengan suntikan dana 300 juta.

Menurut Andrew Weiss dan Edward Woodhouse (1992: 255), jika

model inkremental dapat memberikan deskripsi yang akurat tentang cara

membuat keputusan kebijakan publik, para kritikus ternyata juga

menemukan beberapa kesalahan sebagai implikasi dari alur penelaahan

yang disarankan model ini, antara lain sebagai berikut.

1. Model ini dikritik karena sangat kurang memerhatikan orientasi tujuan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Fosters bahwa inkrementalisme akan

membuat kita melintasi berbagai persimpangan berulang-ulang tanpa

mengetahui arah tujuan kita.

2. Model ini dikritik karena kecenderungan inherennya pada

konservatisme, terlalu pesimis terhadap perubahan berskala besar dan

inovasi.

3. Model ini dianggap tidak demokratis karena membatasi pengambilan

keputusan hanya pada tawar-menawar sekelompok kecil orang-orang

pilihan, para pembuat kebijakan senior.

Dengan tidak memerhatikan analisis dan perencanaan yang

sistematis dan menegasi kebutuhan untuk mencari alternatif baru, model

ini dianggap mendorong munculnya keputusan berdasarkan perhitungan

jangka pendek, yang akan menimbulkan konsekuensi negatif jangka

panjang. Selain itu, model ini juga dikritik karena hanya memiliki

kemampuan analitis yang sempit.

Yehezkel Dror (1954: 164) mencatat contoh inkrementalisme hanya bisa

bekerja ketika ada kontinuitas problem dalam jangka waktu yang cukup

panjang, yaitu ketika problem ini berusaha diselesaikan melalui kebijakan

tertentu. Model ini juga mensyaratkan cara yang dibutuhkan untuk

menjalankan kebijakan tersebut selalu bisa dipakai. Inkrementalisme juga

11
memiliki karakteristik sebagai model pengambilan keputusan di sebuah

lingkungan yang relatif stabil dan sulit untuk diaplikasikan pada situasi-

situasi tidak biasa, seperti krisis (D.C. Nice, 1987: 145).


c. Model Mixed-Scanning
Model pengamatan campuran, yakni suatu model terhadap

pembuatan keputusan yang memperhitungkan keputusan-keputusan

pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses pembuatan kebijakan

pokok dan urutan tinggi yang menentukan petunjuk- petunjuk dasar,

proses mempersiapkan keputusan pokok dan menjalankan setelah

keputusan itu tercapai.

Model ini merupakan upaya menyambungkan antara model

rasional dan model inkremental. Amitai Etzioni (1967) memperkenalkan

teori sebagai suatu pendekatan terhadap formulasi keputusan pokok dan

inkremental, menetapkan proses formulasi kebijakan pokok dan urusan

tinggi yang menentukan petunjuk dasar, proses yang mempersiapkan

keputusan pokok dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai. Pada

dasarnya, model ini sangat menyederhanakan masalah (Nugroho, 2004:

124). Amitai Etzioni (1980) mencoba membuat model gabungan dengan

penggunaan mixedscanning. Pada dasarnya ia menyetujui model rasional,

namun dalam beberapa hal juga mengkritiknya. Demikian pula, ia melihat

kelemahan model pembuatan keputusan inkremental. Etzioni (1980),

memperkenalkan mixed scanning sebagai suatu pendekatan terhadap

pembuatan keputusan yang memperhitungkan keputusan pokok dan

inkremental, menetapkan proses-proses pembuat kebijakan urusan tinggi

yang menentukan petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan

keputusan pokok, dan menjalankannya setelah keputusan itu tercapai.

Strategi penyelidikan campuran (mixed scanning strategy)

menggunakan elemen-elemen dari dua pendekatan dengan menggunakan

dua kamera, yaitu sebuah kamera dengan sudut pandang lebar, yang

mencakup semua bagian luar angkasa, tetapi tidak sangat terperinci dan

12
kamera yang kedua membidik dengan tepat daerah-daerah yang diambil

oleh kamera pertama untuk mendapatkan penyelidikan yang mendalam.

Menurut Etzioni, (1980), daerah-daerah tertentu mungkin luput dari

penyelidikan campuran ini, namun pendekatan ini masih lebih baik

dibandingkan dengan inkrementalisme yang tidak dapat mengamati

tempat-tempat yang kacau di daerah-daerah yang tidak dikenal.

Dalam penyelidikan campuran, para pembuat keputusan dapat

memanfaatkan teori-teori rasional komprehensif dan inkremental dalam

situasi-situasi yang berbeda. Penyelidikan campuran juga

memperhitungkan kemampuan yang berbeda dari para pembuat

keputusan. Semakin besar kemampuan para pembuat keputusan

memobilisasi kekuasaan untuk melaksanakan keputusan, semakin besar

pula penyelidikan campuran dapat digunakan secara realistis oleh para

pembuat keputusan.

Menurut Etzioni, (1980), apabila bidang cakupan penyelidikan

campuran semakin besar, akan semakin efektif pembuatan keputusan

tersebut dilakukan.

Dengan demikian, penyelidikan campuran merupakan bentuk pendekatan

“kompromi” yang menggabungkan pengguanaan inkrementalisme dan

rasionalisme sekaligus.

Walaupun demikian, Etzioni (1980), tidak memberikan pejelasan

yang cukup memadai menyangkut cara pendekatan itu digunakan dalam

praktiknya. Meskipun demikian, pendekatan yang ditawarkan Etzioni

dapat membantu mengingatkan kenyataan penting bahwa keputusan

berubah secara besar dan proses keputusan yang berbeda adalah wajar

sejalan dengan sifat keputusan yang berubah tersebut.

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang rumit. Oleh

karena itu, beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan

kebijakan publik untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih

mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan model-model perumusan

13
kebijakan digunakan untuk lebih menyederhanakan proses perumusan

kebijakan yang berlangsung secara rumit.


2) Model Proses atau Stagist (Lola)

C. BBBBBBBB

TIPOLOGI UNTUK MENGANALISIS KEBIJAKAN


Pada hakikatnya tipologi adalah suatu cara yang ditempuh untuk

mengorganisasikan fenomena menjadi kategori-kategori tertentu guna

mengsistematisasikan proses analisis. Theodore Lowi berpenddapat bahwa

kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi 3 tipe, yakni regulatoris,

distributif dan redistributif. Kebijakan-kebijakan regulatoris (regulatory

policies) pada umumnya bermaksud untuk membatasi jumlah pihak

pemberi pelayanan tertentu atau untuk melindungi publik dengan cara

menetapkan aturan-aturan tertentu dimana kegiatan-kegiatan swasta dapat

dilakukan.

Pada prinsipnya kebijakan regulatif itu mencakup suatu pilihan

langsung seperti siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

Karena adanya pilihan seperti itulah, maka ada kemungkinan beragam

kelompok akan terlibat dalam konflik, tawar menawar dan negosiasi untuk

menentukan siapa yang akan menang (atau dimenangkan) dan siapa yang

akan kalah (atau dikalahkan).

Kebijakan-kebijakan distributif (ditributive policies) ialah

kebijakan-kebijakan untuk mendorong atau mempromosikan, biasanya

lewat subsidi, kegiatan-kegiatan swasta yang dinilai memiliki nilai sosial

tinggi. Pada tipe kebijakan publik semacam ini tidak ada pihak yang

menang atau pihak yang kalah; disini juga tidak ada para pihak yang

bersengketa karena semua orang dianggap bisa memetik manfaat yang

setara (misalnya, Kebijakan Pendidikan)

14
Kebijakan-kebijakan redistributif (redistributive policies) ialah

kebijakan-kebijakan yang dinaksudkan untuk mendistribusikan kembali

kemakmuran/kekayaan atau benda-benda yang dianggap bernilai dalam

masyarakat. Pada dasarnya kebijakan ini berusaha untuk mendistribusikan

manfaat yang berasal dari satu kelompok tertentu ke kelompok yang

lainnya (misalnya, kebijakan kesejahteraan). Dengan demikian, kebijakan

redistriutif cenderung bercirikan ideologi tertentu dan seringkali

melibatkan konflik klas.

Lowi berpendapat ketiga bidang kebijakan tersebut merupakan arena-

arena pergumulan kekuasaan yang sesungguhnya. Setiap arena kebijakan

tertentu cenderung mengembangkan ciri struktur politik, proses politik,

elit dan hubungan-hubungan kelompoknya sendiri atau perpolitikannya

sendiri. Sebagai contoh, pada arena kebijakan regulatoris dicirikan secara

kental adanya koalisi diantara kelompok-kelompok kepentingan.

Koalisi kelopok kepentingan ini kerapkali terlibat konflik dengan

kelompok-kelompok kepentingan lain, dan karena kondisinya yang sering

tidak stabil, mereka akan berusaha untuk melakukan tawar menawar dan

kompromi. Dengan demikian, pada arena kekuasaan seperti ini, ciri

utamanya adalah adanya pluralisme. Pada arena kebijakan distributif,

keputusan-keputusan lebih dicirikan oleh adanya semacam pola

penggiliran yang relatif teratur krtimbang konflik; hubungan kekuasaan

yang berlangsung relatif stabil dan sedikit sekali adanya konflik. Pola yang

elitis merupakan ciri khas pada arena kekuasaan ini. Pada kebijakan

redistributif, konflik banyak terjadi, tetapi itu hanya berlangsung sebatas

dikalangan organisasi-organisasi elit.

Sejak dikembangkan, tipologi Lowi sebenarnya telah dikritik oleh

banyak kalangan ilmuwan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Sejumlah

pakar misalnya, ada yang menilai bahwa sulit kiranya untuk memisahkan

kebijakan regulatif dari kebijakan distributif dan redistributif. Ada pula

15
yang menyatakan bahwa realita kebijakan publik itu sesungguhnya jauh

lebih kompleks ketimbang tipologinya Lowi yang sedrhana itu.

Dalam kenyataan, kebijakan-kebijakan publik itu seringkali

berawal sebagai tipe kebijakan tertentu, namun dengan berjalannya waktu

kemudian bergeser atau berubah menjadi tipe kebijakan yang lainnya. Atas

kritikan-kritikan tadi para pembela tibologi Lowi menjawab bahwa tipologi

itu betapapun juga masih ada manfaatnya, terutama apabila orang mau

memahami kebijakan publik sebagai suatu kontinum, bukan sebagai

kategori-kategori yang terpisah dan berdiri sendiri.

Sejumlah kebijakan mungkin lebih kental sifat regulatorisnya

ketimbang kebijakan lainnya (misalnya pada kasus kebijkan antri

kriminallitas atau anti narkoba) dan sejumlah kebijakan tertentu mungkin

lebih kental sifat redistributifnya ketimbang kebijakan lainnya (misalnya

pada kasus kebijakan pajak pendapatan progresif). Tapi terlepas dari

semua kritik itu harus diakui bahwa hingga saat ini tipologi Lowi tersebut

masih tergolong sebagai salah satu alat konseptual yang cukup andal dan

telah lebih dari tiga dasa warsa dimanfaatkan oleh para pakar dala studi-

studi kebijakan publik.

Di luar Lowi, beberapa pakar lain sebenarnya juga pengembangan

tipologi tertentu untuk mengkategorikan berbagai kebijakan publik.

Mancur Olson (1965), misalnya, telah membadakan antara apa yang

disebut sebagai public goods (barang-barang publik) dan private goods

(barang-barang privat). Barang-barang publik ialah barang-barang yang

tersedia untuk semua orang, dan tak seorang pun dapat dikecualikan

pemanfaatannya. Sedangkan barang-barang privat ialah barang-barang

yang dapat dicegah menarik keuntungan dari pemanfaatannya atau harus

dikenakan ongkos untuk bisa memanfaatkannya.

Lewis Forman (1967) juga mengembangkan alatkonseptual untuk

membedakan antara kebijakan yang satu dengan yang lainnya. Dia

membedakan antara kebijakan-kebijakan yang bersifat kewilayahan/areal

16
(areal policies) dan kebijakan-kebijakan yang bersifat segmental (segmental

policies). Kebijakan-kebijakan yang bersifat areal adalah kebijakan-

kebijakan yang mempengaruhi keseluruhan penduduk disuatu wilayah

geografis tertentu, sedangkan kebijakan-kebijakan yang bersifat segmental

adalah kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi beragam orang pada saat

yang berbeda disuatu wilayah penduduk yang berbeda pula.

Serupa dengan pandangan diatas, Eulau dan Eyestone (1968) telah

membedakan antara kebijkan adaptif dan kebijakan pengendalian/kontrol.

Kebijakan-kebijakan yang adaptif ialah kebijakan yang sengaja dirancang

untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu, sedangkan kebijakan-

kebijakan pengendalian pada umumnya adalah kebijakan yang

dimaksudkan untuk mengarahkan lingkungan.

BAB III
PENUTUP

17
A. KESIMPULAN (Lola)
AAAAAAAAAAAAAAAAAAA

B. SARAN (Mbak Anifah)


AAAAAAAAAAAAAAAAA

DAFTAR RUJUKAN

18
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta,
2005.
Eddi Wibowo, T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkisilan, Kebijakan Publik dan
Budaya, Yayasan Pembaharu Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta,
2004.
Intan Fitri Meutia, Analisis Kebijakan Publik, CV Anugrah Utama Raharja,
Lampung, 2013
Wayne Parsons, Public Policy, Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University
Press, Jogjakarta, 2003.
Sahya Anggara, Kebijakan Publik, Pustaka Setia, Bandung, 2018
Sri Suwitri, Konsep Dasar Kebijakan Publik, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2011

19

Anda mungkin juga menyukai