Anda di halaman 1dari 11

Formulasi Kebijakan Publik

FORMULASI KEBIJAKAN
DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah
Manajemen Pemasaran, Humas, dan Analisis Kebijakan

Dosen Pengampu :
Dr. Fatkuroji, M. Pd.

Disusun oleh :
Ummu Hanifah
1500128013

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
FORMULASI KEBIJAKAN
DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
I.          PENDAHULUAN
Formulasi kebijakan sebagai bagian dari proses kebijakan publik merupakan tahapan yang
paling penting. Formulasi kebijakan bisa dikatakan sebagai inti dari proses kebijakan. Karena
formulasi kebijakan berperan untuk menjawab public affairs yang ada di masyarakat melalui
pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Di Indonesia, pergeseran dalam konteks formulasi kebijakan publik juga terjadi dari satu
era ke era lainnya. Di era orde lama, partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik belum
optimal, sebab cenderung teknokratis dan berkarakter public administration as rulers dimana
para pengambil keputusan kerap tidak melibatkan pihak-pihak yang akan menjadi korban. Tak
hanya itu, formulasi kebijakan publik saat itu juga kerap cenderung one man show, dari seorang
pemimpin karismatik; Soekarno. Kebijakan penyelenggaraan Ganefo, non-blok, pendirian TVRI,
pemberdelan surat kabar serta pembubaran partai politik pernah terjadi di era ini dan
menunjukan bahwa era orde lama belum melakukan pelibatan masyarakat secara efektif dan
berkelanjutan.
Kondisi yang tidak jauh berbeda terulang kembali di era orde baru, dimana praktik
formulasi kebijakan sangat sentralistik, berkarakter citizens as voters public administration as
trustees dengan minimnya pelibatan dari elemen-elemen masyarakat yang kerap
menjadi objek dari sebuah kebijakan kala itu, selain itu, pola formulasi kebijakan juga kerap bias
dengan kepentingan-kepentingan segelintir kelompok di dalam “lingkaran cendana”, sehingga
kebijakan publik tidak lagi merepresentasikan kehendak masyarakat luas dan dampak lebih
jauhnya adalah terciptanya sistem otoritarian, dimana seorang pemimpin tidak lagi memiliki
batasan tegas dan jelas antara self interest, kepentingan keluarga, kelompok terdekat dan
masyarakatnya.[1]
Proses formulasi kebijakan publik harus mengikutsertakan masyarakat, terutama kelompok
yang mendapatakan keuntungan langsung dari sebuah kebijakan, maupun yang akan
mendapatkan dampaknya. Proses formulasi yang ideal diharapkan akan mampu melahirkan
kebijakan publik yang tepat dan relevan dengan permasalahan yang sedang terjadi. Untuk
membahas lebih jauh mengenai formulasi kebijakan maka dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai beberapa pengertian dan proses dalam formulasi kebijakan serta jenis dan tingkatan
kebijakan publik.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.  Apa pengertian formulasi kebijakan?
B.  Apa saja jenis dan tingkat kebijakan publik?
C.  Bagaimana langkah-langkah dalam formulasi kebijakan publik?

III.          PEMBAHASAN
A.    Pengertian Formulasi Kebijakan
Perumusan (Formulasi) kebijakan publik merupakan salah satu tahap dari rangkaian proses
pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Setelah tahapan agenda setting dilalui atau
suatu isu telah masuk agenda pemerintah, maka tahapan berikutnya adalah membuat formulasi
kebijakan. Para ahli mengemukakan pandangan tentang definisi fomulasi kebijakan publik sebagai
berikut:
Menurut Anderson yang dikutip oleh Nugroho, policy formulation is, “The development of
patinent and acceptable proposal courses of action for dealing with problem”. Formulasi
kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati
untuk masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.[2]
Menurut Dunn, perumusan kebijakan (policy formulation) adalah, “pengembangan dan sintesis
terhadap alternatif-alternatif pemecahan masalah”. [3]
Menurut Eugene, The complete formulation is “Alternative  will very probably lead to
Outcome, which we judge to be the best of the possible outcomes; therefore, we judge a
alternative to be the best.”[4] Formulasi yang lengkap adalah menentukan alternatif yang
mungkin untuk dibuat kebijakan, dimana kita menilai (mencari) yang terbaik dari kemungkinan
yang ada; oleh sebab itu, kita mencari satu alternatif yang terbaik.
Tahapan formulasi kebijakan merupakan mekanisme yang sesungguhnya untuk
memecahkan masalah publik yang telah masuk dalam agenda pemerintah. Tahapan ini lebih
bersifat teknis dibandingkan tahapan agenda setting yang lebih bersifat politis dengan
menerapkan berbagai teknis analisis untuk membuat keputusan terbaik.[5] Pada tahap formulasi
kebijakan para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif
kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan
legislatif. [6]
Menurut Dunn, dalam formulasi kebijakan dilakukan proses peramalan, yaitu menguji
masa depan yang pleusibel, potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat
kebijakan yang diusulkan, mengenali kendala yang mungkin terjadi dalam pencapaian tujuan,
dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.[7] Proses
ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya
mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama
tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik
diantara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi.[8]
Dalam formulasi kebijakan pendidikan, pendekatan teori kelompok mengumapamakan
bahwa kebijakan pendidikan merupakan titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya
adalah bahwa interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan
adalah sesuatu yang terbaik. Berdasarkan teori kelompok, individu dalam kelompok kepentingan
berinteraksi baik secara formal maupun informal, dan secara langsung atau melalui media massa
menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang
diperlukan. [9]
Sedangkan pendekatan teori rasional mengedepankan gagasan bahwa kebijakan pendidikan
sebagai “maximum social gain” yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan pendidikan
harus memilih kebijakan pendidikan yang memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Proses
formulasi kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimal bagi
masyarakat dan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya.
Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Jadi
pendekatan rasional lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis.[10]
Secara fondamental tahapan formulasi terjadi tatkala pemerintah mengakui keberadaan
masalah-masalah publik dan menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan sesuatu
dalam rangka mengatasi masalah tersebut. Karenanya dalam perumusan kebijaksanaan publik,
persoalan mendasar adalah merumuskan masalah kebijakan (policy problems) dan merancang
langkah-langkah pemecahannya (solution).[11]
Aktor-aktor yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan menurut Peters (1985) antara
lain sebagai berikut:[12]
1.    Birokrasi publik merupakan aktor yang menonjol peranannya dalam setiap proses formulasi
kebijakan, bureaucracies are central to the process of policy formulation, karena birokrasi
mempunyai pengalaman yang paling banyak dalam prosedur formulasi kebijakan.
2.    Tangki-tangki pemikir dan kabinet bayangan yang berada di sekitar birokrasi merupakan
alternatif lain sebagai formulator kebijakan publik diluar birokrasi pemerintah, karena bisa
disebabkan oleh kepakarannya.
3.    Kelompok kepentingan (interest groups) dengan memberikan tekanan kepada pemerintah agar
suatu masalah dapat masuk dalam agenda pemerintah dan berlanjut pada proses formulasi
kebijakan.
4.    Anggota dewan secara individual juga merupakan salah satu aktor yang cukup berperan dalam
proses formulasi kebijakan, kadangkala bertujuan menunjang karir politik mereka sebagai
perumus kebijakan.
Berdasarkan pengertian pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
formulasi kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk oleh para
aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian banyak
alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

B.     Jenis dan Tingkat Kebijakan Publik


1.    Jenis-jenis Kebijakan Publik
Pada dasarnya kebijakan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai sasaran atau
objek apa yang mendasari lahirnya sebuah kebijakan tersebut. Para pakar politik mengategorikan
kebijakan publik ke dalam kategori: (1) Kebijakan substansif (misalnya: kebijakan pendidikan,
perburuhan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya), (2) Kelembagaan (misalnya: kebijakan
legislatif, kebijakan yudikatif, kebijakan departemen), dan (3) Kebijakan menurut kurun waktu
tertentu (misalnya: kebijakan masa Reformasi, kebijakan masa Orde Lama, dan kebijakan masa
Orde Baru).[13] 
Kategori lain tentag kebijakan, Anderson (1979) membagi kebijakan publik ke dalam 12
jenis:
a.    Substansive Policies,  yaitu suatu kebijakan yang menyangkut materi, isi, atau subject
matter kebijakan. Misalnya: kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi, kebijakan hukum, dan lain-
lain.
b.    Procedural Policies, yaitu kebijakan yang menyangkut siapa, kelompok mana, dan pihak mana
yang terlibat dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Misalnya: dalam merancang,
membuat dan melaksanakan UU Sisdiknas pihak mana saja yang terlibat.
c.    Distributive Policies, yaitu kebijakan yang memberikan atau keuntungan kepada sejumlah atau
sekelompok masyarakat. Misalnya dalam bidang pendidikan kebijakan distributifnya berupa
pemberian beasiswa kepada siswa yang berprestasi, dan lain-lain.
d.   Redistributive Policies, yaitu kebijakan yang arahnya memindahkan hak, kepemilikan,
kepunyaan pada masyarakat. Misalnya: penggolongan uang komite berdasarkan kekayaan orang
tua.
e.    Regulatory Policies, yaitu kebijakan yang berkenaan dengan pembatasan atas tindakan terhadap
seseorang atau sekelompok orang. Misalnya: pembatasan penjualan obat-obat tertentu.
f.     Self Regulatory Policies, kebijakan ini hampir sama dengan  regulatory policies hanya saja
lazimnya didukung oleh orang yang punya kepentingan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut.
Misalnya: surat ijin kerja, SIM, dan lain-lain.
g.    Material Policies, yaitu kebijakan mengenai penyediaan sumber-sumber material kepada
penerimanya, dengan mengenakan beban atau kerugian kepada yang mengalokasikannya.
Misalnya: pembebasan biaya komite sekolah kepada sejumlah siswa, namun bebannya
diambilkan dari kenaikan biaya komite seluruh siswa.
h.    Symbolic Policies, yaitu kebijakan yang tidak memaksa kepada banyak orang karena dilaksanak
atau tidaknya tidak berdampak besar pada masyarakat.
i.      Collectve Good Policies, yaitu kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan guna
memenuhi kepentingan orang banyak. Misalnya: kebijakan wajib belajar 9 tahun.
j.      Private Good Policies, yaitu penyediaan kebutuhan tertentu kepada masyarakat yang
membutuhkan, tetapi masyarakat tersebut harus menyediakan biaya untuk mendapatkan layanan.
Misalnya: jika ingin layanan pendidikan yang bermutu tinggi harus punya dananya.
k.    Liberal Policies, yaitu suatu kebijakan yang menuntut kepada pemerintah untuk megadakan
perubahan-perubahan untuk pemerataan hidup masyarakat.
l.      Conservative Policies, yaitu kebalikan dari kebijakan liberal, kebijakan ini mempertahankan apa
yang telah ada, tanpa rekayasa.[14]
2.    Tingkatan kebijakan Publik
Dilihat dari perspektif pengambilan kebijakan, secara konsepsional kebijakan memiliki
tingkatan yang dapat dibagi menjadi empat tingkat kebijakan, yaitu:
a.    Tingkat kebijakan nasional (national policy level); sebagai penentu kebijakan pada level ini
adalah MPR/DPR/DPD, berlaku secara nasional, disebut juga kebijakan administratif. Contoh:
UUD 1945
b.    Tingkat kebijakan umum (general policy level); disebut juga kebijakan eksekutif. Yang
termasuk dalam kebijakan ini adalah: UU, PP, dan Keputusan, Peraturan, dan Instruksi Presiden.
c.    Tingkat kebijakan khusus (special policy level); sebagai penentu tingkat kebijakan ini adalah
para Menteri sebagai pembantu presiden. Contoh: Permendikbud, Permendiknas, dan lain-lain.
d.   Tingkat kebijakan teknis (technical policy level); disebut juga kebijakan operatif karena
merupakan pedoman pelaksanaan. Penentu kebijakan ini berada pada pejabat Eselon 2 ke bawah,
seperti Direktorat Jenderal atau pimpinan lembaga non-departemen. Berdasarkan kebijakan level
inilah para guberbur, bupati, kepala dinas dan sebagainya melaksanakan kebijakan sesuai faktor
kondisional dan situasional daerahnya. [15]
Kebijakan pendidikan merupakan produk sistem dan poitik pendidikan, oleh karenanya
stratifikasi kebijakan pendidikan pada dasarnya sangat luas dan beragam, dari yang bersifat
makro seperti UUD 1945, Kepres atau Perpres, Permendikbud, hingga yang bersifat mikro
seperti Peraturan Desa, peraturan sekolah, dan lain-lain. secara ringkas, stratifikasi atau tingkatan
kebijakan pendidikan maliputi:
a.    Kebijakan pendidikan di tingkat pusat, yaitu kebijakan pendidikan yang diterapkan lembaga
pemerintah di tingkat pusat, mempunyai ruang lingkup nasional dan berlaku di semua wilayah
NKRI. Contoh: SNMPTN dan Ujian Nasional (UN).
b.    Kebijakan pendidikan di tingkat daerah, yaitu kebijakan pendidikan yang diterapkan di lembaga
pemerintah di tingkat daerah, mempunyai ruang lingkup daerah, dan berlaku pada daerah yang
mengeluarkan kebijakan tersebut. Wujud kebijakan pendidikan di daerah ada dua macam yaitu:
(1) Perda (Peraturan Daerah) tentang pendidikan yang perumusannya berada di tangan eksekutif
(Bupati/Walikota) dan legislatif (DPRD), (2) Keputusan/ Peraturan Bupati/ Walikota tentang
pedidikan. Contoh: PSB mulai dari SD/MI sampai SMA/MA/SMK/, keputusan bupati/ walikota
tentang hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan di daerahnya, dan lain-lain.[16] 

C.    Langkah-langkah dalam Formulasi Kebijakan Publik


Salah satu tugas dari pemerintah adalah merumuskan kebijakan publik. Proses perumusan
kebijakan juga sering disebut dengan sebutan lingkaran kebijakan (policy cycle ) menurut
Bridgman dan Davis, dalam Edi Suharto. Proses ini melibatkan berbagai lapisan dari pejabat
pemerintah dan lembaga non pemerintah.[17]
Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan, Abidin mengungkapkan bahwa proses
perumusan kebijakan publik dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan Kerangka Proses
dan Lingkungan Kebijaksanaan (KPLK). Kerangka proses tersebut menggambarkan proses kebijakan
dalam tiga dimensi, antara lain dimensi luar, dimensi dalam dan tujuan. Diantara dimensi luar dan
dimensi dalam terdapat jaringan keterkaitan (linkages).[18]
Proses formulasi kebijakan publik dalam Peraturan Menteri Negara PAN No.
PER/04/M.PAN/4/2007 yang dikutip oleh Zakaria dalam jurnal ilmu administrasinya adalah
sebagai berikut : [19]
Untuk lebih memahami mengenai proses perumusan kebijakan, Nugroho mengemukakan
Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik
yang dikembangkan untuk Kantor Menpan yang secara umum dapat digambarkan sebagai
berikut :[20]
1.    Munculnya isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat
dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan
memerlukan pengaturan pemerintah.
2.    Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. Tim kemudian
secara paralel merumuskan naskah akademik dan atau langsung merumuskan draf nol kebijakan.
3.    Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik, dalam jenjang
sebagai berikut :
a.    Forum publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar yang berkenaaan dengan masalah
terkait.
b.    Forum publik kedua, yaitu dengan instansi pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut.
c.    Forum publik yang ketiga dengan para pihak yang terkait atau yang terkena impact langsung
kebijakan, disebut juga benificiaries.
d.    Forum publik yang keempat adalah dengan seluruh pihak terkait secara luas, menghadirkan tokoh
masyarakat, termasuk didalamnnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu terkait.
Hasil diskusi publik kemudian dijadikan materi penyusunan pasal-pasal kebijakan yang akan
dikerjakan oleh tim perumus. Draf ini disebut Draf 1. Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi
dalam focused group discussion yang melibatkan dinas/instansi terkait, pakar kebijakan, dan pakar
dari permasalahan yang akan diatur. Tim perumus merumuskan Draf 2, yang merupakan Draf Final
dari kebijakan. Draf final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, untuk kebijakan UU, dibawa
ke proses legislasi yang secara perundang-undangan telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Apabila dirunut, teori Rasionalitas merupakan teori ideal dalam formulasi kebijakan, dalam
arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan.[21] Cara-cara formulasi kebijakan
menurut Teori ini antara lain: [22]
1.    Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
2.    Menemukan pilihan-pilihan
3.    Menilai konsekuensi masing-masing pilihan
4.    Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
5.    Memilih alternatif yang paling efisien.
Anderson, dalam Winarno  mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi
tindakan para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi dalam beberapa
kategori, yakni :[23]
1.    Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau
kelompok kepentingan tertentu.
2.    Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut
organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi anggota
organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. 
3.    Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut
oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan
sebagainya.
4.    Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan
tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dan dapat
dipertanggungjawabkan.
5.    Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan
pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri.
Sedangkan menurut Nigro, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi
kebijakan adalah :
1.    Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. Formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari
dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi
kebijakan.  
2.    Adanya pengaruh kebiasaan lama. Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal,
sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan program tertentu cenderung akan diikuti, meskipun
keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah.  
3.    Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat
keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses pengangkatan
pegawai baru.
4.    Adanya pengaruh dari kelompok luar. Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga
sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan
mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi
kebijakan.
5.    Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang
terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan  atau bahkan orang-orang yang bekerja di
kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini
disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada
orang lain akan disalahgunakan.[24]
Meskipun birokrasi seringkali merasa sebagai pekerjaan yang bersifat rutin, namun proses
formulasi kebijakan juga menuntut kreativitas dan kepekaan politik (political sensitivity) untuk
menghasilkan formulasi kebijakan yang berkualitas. Problem yang dimiliki pemerintah dalam
setiap pemecahan masalah adalah kurangnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah tentang
masalah; dan kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah tentang hubungan sebab akibat
timbulnya masalah. Alat bantu untuk membantu menganalisis masalah dan mencari pemecahan
masalah dalam proses formulasi adalah:
1.    Social cost benefit analysis, digunakan untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah
dan memaksimalkan manfaat yang dapat diperoleh. Dalam analisis ini juga menggunakan
perhitungan social cost dan efek perluasan manfaat (externalities).
2.    Decision analysis, dengan asumsi bahwa suatu akibat tertentu akan terjadi bila decision
maker  mengambil keputusan yang tertentu pula, seperti dalam pohon pembuatan keputusan.[25]
Untuk menghasilkan formulasi kebijakan pendidikan yang baik, kriteria yang perlu
diperhatikan, yaitu: (1) Formulasi kebijakan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik
atau hanya menciptakan lingkungan tertentu, (2) Formulasi kebijakan dapat dipergunakan
menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini berarti bahwa waktu,
biaya, dan tenaga yang telah banyak dihabiskan, tidak sekedar dipergunakan memecahkan satu
macam masalah. [26]

IV.          KESIMPULAN
Formulasi kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk
oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian
banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.
Kebijakan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai sasaran atau objek apa yang
mendasari lahirnya sebuah kebijakan tersebut. Anderson membagi kebijakan publik dalam 12
jenis: Substansive Policies, Procedural Policies, Distributive Policies, Redistributive Policies,
Regulatory Policies, Self Regulatory Policies, Material Policies, Symbolic Policies, Collectve
Good Policies, Private Good Policies, Liberal Policies, Conservative Policies. Dilihat dari
perspektif pengambilan kebijakan, kebijakan memiliki tingkatan yang dapat dibagi menjadi
empat tingkat kebijakan, yaitu: tingkat kebijakan nasional, tingkat kebijakan umum, tingkat
kebijakan khusus, dan tingkat kebijakan teknis.
Nugroho mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil dari
Pedoman Umum Kebijakan Publik sebagai berikut: (1) Munculnya isu kebijakan, (2) Setelah
pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. (3) Setelah terbentuk,
rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik. Banyak faktor yang berpengaruh
dalam proses formulasi kebijakan, namun u ntuk menghasilkan formulasi kebijakan pendidikan
yang baik, kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Formulasi kebijakan pendidikan tidak
mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu, (2) Formulasi
kebijakan dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang.  

V.          PENUTUP
Demikianlah makalah yang penulis susun. Apabila terdapat kekurangan
dan kesalahan dalam penyusunan maupun penjelasan pada makalah ini penulis mohon maaf  serta
mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta:Yayasan Pancur Siwah, 2000
Bardach, Eugene, A practical guide for policy analysis : the eightfold path to more effective problem solving , Los Angeles:
Sage, 2012
Basyarahil, Abubakar, “Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan”, Jurnal Ilmiah
Administrasi Negara , Tahun II, Nomor 2, 2011
Budi, Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Pressindo, 2007
Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Terj. Samodra dkk, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2003
Edi, Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2008
Hasbullah, H. M., Kebijakan Pendidikan,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015
Nawawi, Ismail, Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek), Surabaya,: PMN, 2009
Nugroho, Riant, Public Policy, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011
Sutapa, Mada, “Analisis Kebijakan Pendidikan”, Buku Pegangan Kuliah, Yogyakarta: Jurusan
Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2005
Syamsuri, Formulasi Kebijakan,  Juni
2012  dalam http://kebijakanpublik12.blogspot.co.id/2012/06/formulasi-kebijakan.html, diakses
tanggal 2 Juni 2016
Tilaar, H.A.R. & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Zakaria, Yahya dan Paulus Israwan Setyoko, “Pelibatan Masyarakat Sebagai Etika Dalam
Formulasi Kebijakan Publik Guna Mencegah Praktik Korupsi”,  Jurnal Ilmu Administrasi
Unsoed,  Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman, 2012
[1] Yahya Zakaria dan Paulus Israwan Setyoko, “Pelibatan Masyarakat Sebagai Etika Dalam Formulasi
Kebijakan Publik Guna Mencegah Praktik Korupsi”,  Jurnal Ilmu Administrasi Unsoed, (Magister Ilmu
Administrasi Universitas Jenderal Soedirman, 2012), hlm. 11
[2] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 186
[3] William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Terj. Samodra dkk, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2003), hlm. 132
[4] Eugene Bardach, A practical guide for policy analysis : the eightfold path to more effective problem
solving, (Los Angeles: Sage, 2012), hlm. 32
[5] Mada Sutapa, “Analisis Kebijakan Pendidikan (Suatu Pengantar)”, Buku Pegangan Kuliah, (Yogyakarta:
Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2005), hlm. 19
[6] H. M. Hasbullah. Kebijakan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 64
[7] William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik..., hlm. 26-27
[8] Ismail Nawawi, Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek, (Surabaya,:
PMN, 2009), hlm. 79
[9] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 89
[10] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 195 
[11] Abubakar Basyarahil , “Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan”, Jurnal Ilmiah
Administrasi Negara , (Tahun II, Nomor 2, 2011), hlm. 7
[12] Mada Sutapa, “Analisis Kebijakan Pendidikan (Suatu Pengantar)”..., hlm. 19
[13] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 52
[14] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 52-55
[15] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 48-50
[16] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 47-48
[17] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 23
[18] Abidin, Kebijakan Publik. (Jakarta:Yayasan Pancur Siwah, 2000), hlm. 123
[19] Yahya Zakaria dan Paulus Israwan Setyoko, “Pelibatan Masyarakat Sebagai Etika Dalam Formulasi
Kebijakan Publik Guna Mencegah Praktik Korupsi”..., hlm. 13
[20] Riant Nugroho, Public Policy, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), hlm. 551
[21] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 196
[22] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 195 
[23] Winarno Budi, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), hlm. 16
[24] Syamsuri, Formulasi Kebijakan, Juni
2012  dalam http://kebijakanpublik12.blogspot.co.id/2012/06/formulasi-kebijakan.html, diakses tanggal 2 Juni 2016
[25] Mada Sutapa, “Analisis Kebijakan Pendidikan (Suatu Pengantar)” ..., hlm. 20
[26] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 81

Anda mungkin juga menyukai